ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara regulasi diri dengan kecenderungan adiksi terhadap game online pada remaja awal. Kriteria sampel yang digunakan adalah remaja awal (12-15 tahun) dan sudah bermain game online selama minimal 6 bulan. Teknik sampling yang digunakan purposive sampling.Jumlah sampel yang diambil ada 80 orang, yang diambil di empat lokasi di daerah Salatiga dan Karanggede.
Metode pengumpulan data pada variable adiksi game online berupa Game Addiction Scaleyang diadopsi dari teori Griffiths & Davies(2004) yang menggambarkan adanya ketergantungan terhadap game online pada remaja berdasarkan kriteria DSM IV dengan mengembangkan tujuh aspek diantaranya : Sailience, Tolerance, Mood Modification, Relapse, Withdrawal symptoms, Conflict, dan Problems.Pada variable regulasi diri menggunakan Self Regulation Quesionaire (SRQ) dari Brown, Miller, &Lawendowski (1999). Hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi product moment rxy = - 0,323 ; p = 0,003 (p < 0,05) yang berarti terdapat hubungan negatif dan signifikan antara regulasi diri terhadap kecenderungan adiksi game online pada remaja.
ABSTRACT
This study aims to investigate the relationship between self-regulation with a
tendency to addiction to online games in early adolescence . Criteria sample is early
adolescence ( 12-15 years ) and has been playing games online for at least 6 months .
The sampling technique used purposive sampling . The number of samples were 80
people, who were taken at four locations in the area and Karanggede Salatiga .
Methods of data collection in the form of online gaming addiction variables Game
Addiction Scale, which was adopted from the theory of Griffiths and Davies (2004) which
describes the dependence on online games on adolescents based on DSM-IV criteria by
developing seven aspects including : Sailence , Tolerance , Mood modification , Relapse
, Withdrawal symptoms , Conflict , and Problems . In the variable self-regulation using
Self Regulation Quesionaire (SRQ) from Brown , Miller , & Lawendowski (1999) . The
results of this study showed the value of the product moment correlation r xy = - 0.323 ;
p = 0.003 (p<0.05) , which means there is a negative and significant relationship between
self-regulation on the trend of online gaming addiction in adolescents .
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin pesat
menghasilkan produk-produk teknologi yang memberikan manfaat dan
kemudahan bagi manusia, mulai dari manfaat ilmu pengetahuan, pendidikan dan
hiburan. Salah satu produk teknologi yang memberikan manfaat hiburan yaitu
game online (Ameliya, 2008).Game online adalah game yang berbasis elektronik dan visual (Rini, 2011). Game online mempunyai perbedaan yang sangat besar dengan game lainya yaitu pemain game tidak hanya dapat bermain dengan orang yang berada disebelahnya namun juga dapat bermain lain di lokasi lain, bahkan
hingga pemain dibelahan bumi lain (Young, 2007). Game online merupakan situs
yang menyediakan berbagai jenis permainan yang dapat melibatkan beberapa
pengguna internet di berbagai tempat yang berbeda untuk saling terhubung
diwaktu yang sama dengan melalui jaringan komunikasi online (Young, 2009). Hal ini memungkinkan para pemain mendapat kesempatan sama-sama bermain,
berinteraksi dan berpetualang serta membentuk komunitasnya sendiri dalam dunia
maya.
Game online tidak hanya memberikan hiburan tetapi juga memberikan tantangan yang menarik untuk diselesaikan sehingga individu bermain game online tanpa memperhitungkan waktu demi mencapai kepuasan. Hal ini menjadikan gamer tidak hanya menjadi penikmat game online tetapi juga dapat menjadi pecandu game online (Pratiwi,2012). Istilah kecanduan (addiction) awalnya digunakan terutama mengacu kepada penggunaan alkohol dan
suatu perilaku atau zat. Kecanduan game online ditandai oleh sejauh mana seseorang bermain game secara berlebihan yang dapat berpengaruh negatif bagi pemain game tersebut (Weinstein, 2010).
Menurut Lemmens (2009) seseorang yang mengalami kecanduan game online akan mengalami beberapa gejala seperti salience (berpikir tentang bermain game online sepanjang hari), tolerance (waktu bermain game online yang semakin meningkat), mood modification (bermain game online untuk melarikan diri dari masalah), relapse (kecendrungan untuk bermain game online kembali setelah lama tidakbermain), withdrawal (merasa buruk jika tidak dapat bermain
game online),conflict (bertengkar dengan orang lainkarena bermain game online secara berlebihan), dan problems (mengabaikan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan permasalahan). Tujuh kriteria kecanduan game online ini merupakan pengukuran untuk mengetahui kecanduan atau tidaknya seorang
pemain game online yang ditetapkan. Pemain yang memenuhi empat dari tujuh criteria di atas, menunjukan indikasi mengalami kecanduan game online. Kecanduan bermain game secara berlebihan dikenal dengan istilah Game Addiction (Grant & Kim, 2003). Artinya seseorang seakan-akan tidak ada hal yang ingin dikerjakan selain bermain game, dan seolah-olah game ini adalah hidupnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusumadewi (2009) mengenai hubungan
kecanduan game online terhadap keterampilan sosial remaja membuktikan bahwa
expresivity (EE). Disimpulkan bahwa semakin kecanduan seorang remaja terhadap game online maka semakin rendah keterampilan sosialnya dan berdampak pada prilaku masing-masing individu, yang sampai pada taraf tertentu
dapat dikategorikan sebagai adiksi. Orang yang kecanduan game online akhirnya
dapat mengarah pada munculnya prilaku kompulsif, tak acuh pada kegiatan yang
lain, dan gejala aneh, seperti rasa tak tenang pada saat keinginan tersebut tidak
terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa kecanduan bermain game online memberikan dampak negatif bagi kehidupan emosional remaja.
Menurut Papalia dkk (2004) Masa remaja merupakan periode transisi dari
perkembangan masa kanak kanak menuju ke masa dewasa, batasan usia remaja
menurut World Health Organization yaitu 10-20 tahun. Masa remaja adalah masa
transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif dan psikososial
dari masa anak – anak (childhood) ke masa dewasa (adulthood). Saat ini peneliti
Sarwono (2001) batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah menjadi definisi
remaja Indonesia.
Menurut Hurlock (1973) Remaja yang paling rentan akan
perkembangannya adalah masa remaja pada tahap remaja awal karena Masa
remaja awal merupakan masa transisi, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya
baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial Pada masa transisi tersebut
kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan
kecenderungan munculnya perilaku menyimpang, Pada kondisi tertentu perilaku
menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu, Melihat kondisi
keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan
dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan
remaja (Ekowarni, 1993).
Remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain game online akan menghambat proses interaksi dengan teman sebaya, termasuk kematangan identitas dirinya. Hal ini dapat membatasi kesempatan remaja untuk
dapat belajar dari lingkungan sosialnya dan belajar peran dari teman sebayanya.
Remaja yang bermain game online dapat menginternalisasikan elemen-elemen yang didapatkan dari game online, seperti aksi tokoh game yang dimainkannya (Mazalin & Moore, 2004). Penelitian yang dilakukan Anderson dan Bushman
(2001) menyatakan bahwa perilaku pemain game online dapat menjadi kasar dan
agresif karena terpengaruh dari yang dilihat dan yang dimainkan dalam permainan
game online tersebut.
American Medical Association menyatakan bahwa pada tahun 2007 terdapat 90% remaja Amerika bermain game online dan 15% atau lebih dari 5 juta
remaja mengalami kecanduan game online, sedangkan di Cina pada tahun2007 terdapat 10% atau 30 juta remaja yang mengalami kecanduan game online (Young, 2009). Situs resmi game online Indonesia yaitu detik net menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 50% jumlah pengguna game online diIndonesia adalah pelajar dan mahasiswa (Hariyanto, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata pengguna game online baik di luar negeri maupun dalam negeri adalah
& Dwiastuti, 2007) menunjukan bahwa pengguna game online terbanyak dari
kalangan remaja. Hal ini juga didukung oleh penelitian Djunaidi & Dwiastuti
(2007) yang mengatakan bahwa pengunjung rental game online didominasi oleh remaja SMA dan mahasiswa. Hasil penelitian Danforth (2003) menunjukan hal
yang menyerupai dimana remaja rata-rata bermain game online selama 10 jam dan ada juga yang sampai 24 jam. Bermain game online yang dilakukan secara berlebihan dapat menyebabkan adiksi atau kecanduan.
Riset di Amerika Serikat menemukan bahwa beberapa organisasi
mengalami dampak negatif sebagai akibat dari kecanduan akan games off-line (seperti Solitaire dan Tetris yang populer di dekade 1980-an lalu), yang memang rata-rata banyak di-install dalam komputer. Untuk saat ini ada pula games online
seperti ayo dance, poker, the sims dan lain-lain yang sangat disukai banyak orang.
Menurut survei terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti Kementerian Kesehatan,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan di Singapura, sekitar 520.000 pelajar SMP dan
SMA mengalami kecanduan internet, terutama untuk game online dan e-mail. Survei menunjukkan bahwa 9 persen dari pelajar SMP dan 14 persen dari pelajar
SMA mengakses internet lebih dari lima jam setiap hari kerja. Adiksi terhadap
game online adalah kesenangan bermain game karena memberi rasa kepuasan tersendiri bagi individu tersebut. Contoh kasus “Seperti anak laki-laki yang tidak
lulus sekolah atau mendapatkan nilai yang kurang karena di pengaruhi oleh dunia
internet, ia selalu kecanduan untuk bermain internet atau di warnet bahkan sampai
lupa waktu. Seketika berangkat sekolah pamit pada orang tua tetapi ia ternyata
penting daripada pendidikan sangat di sayangkan waktu terbuang hanya untuk
bermain game online” (Amarildo Rizkia,2009)
Hawadi (2007) mengemukakan bahwa pada prinsipnya game memiliki sifat seduktif, yaitu membuat orang menjadi kecanduan untuk terpaku di depan
monitor selama berjam jam. Apalagi game online di rancang untuk suatu reinforcement atau penguatan yang bersifat segera begitu permainan berhasil melampaui target tertentu. game online menyebabkan remaja terasa tertantang sehingga terus-menerus memainkanya, dan menyebabkan remaja tidak memiliki
skala prioritas dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sikap kurang memiliki self control yang baik terhadap ketertarikanya pada game online dan pada saat itulah seseorang yang kecanduan atau bermain game harus bisa mengatur diri mereka sendiri. Hal ini membutuhkan pengaturan diri pada pecandu game online tersebut
atau dengan kata lain regulasi diri pada perilaku adiksi game online.
Regulasi diri (self regulation) merupakan dasar dari proses sosialisasi karena berhubungan dengan seluruh domain yang ada dalam perkembangan fisik,
kognitif, social, dan emosional (Papalia & Olds, 2001). Selain itu regulasi diri
(self regulation) juga merupakan kemampuan mental serta pengendalian emosi (Papalia & Olds, 2001). Seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian
emosi dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang untuk dapat
mengatur dirinya dengan baik (Papalia & Olds, 2001). Regulasi diri dapat
dipahami sebagai penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran,
hal.65). Regulasi diri meliputi self – generation dan pemantauan secara kognitif terhadap pikiran, perasaan dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa
mengandalkan orang lain (Santrock, 2007).
Zimmerman (dalam Ormrod. 2003), juga menjelaskan jika seseorang
disebut memiliki regulasi diri jika pikiran dan perilakunya berada dibawah
kendalinya sendiri, tidak dikendalikan oleh orang lain dan lingkungan. Menurut
Carver & Scheier, (1998); Vohs & Baumeister, (2004), bahwa istilah regulasi diri
(Self-regulation) sering digunakan secara luas yang mengacu pada upaya-upaya
individu untuk mengubah pikiran (thoughts), perasaan (feelings), keinginan (desires) , dan tindakan (actions) dalam mencapai tujuan hidup tertentu. (de Ridder, & de Wit, …), terutama jika berhadapan dengan masalah dan rintangan,
baik masalah pribadi maupun sosial.
Peneliti telah melakukan studi awal melalui metode observasi kepada 8
remaja di dua warung internet (warnet) penyedia game online di desa Togaten , Pasar Sapi dan di desa Nanggulan didapatkan data bahwa pengunjung warnet
lebih banyak adalah remaja usia 10-16 tahun dan didominasi oleh remaja laki-laki.
Hal yang paling banyak dilakukan oleh remaja tersebut adalah bermain game online. Remaja tersebut mengatakan lebih suka bermain game online di warnet daripada berkumpul dengan teman-temannya dengan alasan bermain game online
lebih menyenangkan, dapat menghilangkan rasa bosan dan dapat melampiaskan
kekesalan mereka di kehidupan nyata, Dengan bermain game online meraka seakan melupakan semua (keluarga, Teman bermain , dan tanggung jawabnya
remaja tersebut menghabiskan waktu bermain game online lebih dari 3 jam/hari dan biasanya meningkat setiap harinya. Dari 7 dari 8 remaja mengatakan
merasakan ada sesuatu yang hilang atau bosan jika tidak bermain game online dalam sehari dan akan timbul perasaan senang saat memulai bermain game online
kembali. Mereka bermain game online dan menjadi kecanduan itu dikarenakan
Kurangnya pengawasan , kontrol diri , pengendalian dan self-regulation pada diri
mereka sendiri sehingga mereka terus-menerus bermain game online.
Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “hubungan antara regulasi diri dengan kecenderungan adiksi
game online pada remaja ”Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian tersebut dengan merumuskan permasalahan
sebagai berikut: Apakah ada hubungan negative yang signifikan antararegulasi
diri dengan kecenderungan adiksi game online pada remaja ?
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan rumusan malasah :
Tinjauan Pustaka Adiksi Game online
Pengertian Adiksi Game online
Game online adalah permainan dimana banyak orang yang dapat bermain pada waktu yang sama dengan melalui jaringan komunikasi online (Internet). Game online dapat juga menghasilkan uang tambahan yaitu dengan menukarkan mata uang di game online dengan bentuk rupiah atau bisa juga dengan menjual karakter game online kepada orang lain (Ayu Rini, 2011: 89). Dengan demikian kecanduan game online merupakan salah satu jenis kecanduan yang disebabkan oleh teknologi internet atau yang lebih dikenal dengan internet addictive disorder
(IAD). Internet dapat menyebabkan kecanduan, salah satunya adalah Computer game Addiction (berlebihan dalam bermain game). Game online merupakan bagian dari internet yang sering dikunjungi dan sangat digemari dan bisa
menyebabkan kecanduan yang memiliki intensitas yang sangat tinggi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan pengertian adiksi game online adalah
suatu keadaan seseorang terikat pada kebiasaan yang sangat kuat dan tidak bisa
lepas untuk bermain game online. Memiliki kesenangan bermain game karena memberi rasa kepuasan tersendiri, sehingga ada perasaan untuk mengulangi lagi
kegiatan yang menyenangkan ketika bermain game online. Seor ang pecandu
Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Adiksi Game Online
Faktor – faktor yang memengaruhi perilaku adiksi game online dalam studi kualitatif Wan dan Choiu (2006) diantaranya kontrol diri, motivasi dan
kebutuhan psikologis seperti keinginan berkuasa, keinginan berprestasi, kesepian.
Frekuensi bermain game online juga menjadi penyebab seseorang semakin terikat
dan menjadi pecandu (Griffiths, davies& Chappell, 2004). Depresi juga
merupakan faktor atau determinan yang cukup kuat pada munculnya kecanduan
terhadap game online (Haagsma, 2008).
Sedangkan menurut hasil penelitian dari Kim et al (2009) bahwa seseorang
yang memiliki ketrampilan sosial rendah dapat membentuk perilaku kompulsif
terhadap penggunaan internet. Remaja yang sedikit memiliki teman terpaksa
memusatkan perhatiannya pada bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dilakukan
sendiri seperti bermain game online (Soedjarwo & Istiwidayanti, 2001).
Bersadarkan peneliti Yee (2002) dua faktor yang menyebabkan seseorang
kecanduan terhadap permainan game online :
a) Attraction factor
b) Motivation factor
Yaitu suatu kondisi didunia nyata yang menekan sehingga menjadi
sarana yang mendorong untuk bermain game. Individu yang memiliki sel
esteem rendah dalam kehidupanya, game online bisa menjadi tempat pelarian karena dalam permainan individu dapat menutupi sifat lemah dan
ketidakmampuanya
Berdasarkan beberapa penjelasan dari teori di atas maka dapat
disimpulkan faktor – faktor yang memengaruhi perilaku adiksi game online
diantaranya faktor atraksi, faktor motivasi, kontrol diri, depresi, frekuensi bermain
games, keinginan berkuasa, keinginan berprestasi, kesepian, ketrampilan sosial
yang rendah, ketersediaan jaringan PC, kurangnya perhatian orangtua, pengaruh
teman.
Aspek - Aspek Adiksi Game Online Pada Remaja
Griffiths & Davies (dalam Lemmens, 2009) mengembangkan dua puluh
satu aitem yang menggambarkan adanya ketergantungan terhadap game online pada remaja berdasarkan kriteria DSM IV dengan mengembangkan tujuh aspek
diantaranya :
a. Salience( berfikir tentang bermain game online sepanjang hari ): sebuah aktivitas tertentu yang menjadikan sebuah peristiwa yang paling penting
dalam hidup seseorang dan mendominasi pemikiran mereka (keasyikan
b.Tolerance( waktu bermain game online yang semakin meningkat ) : ini adalah proses dimana meningkatnya jumlah aktivitas tertentu yang
diperlukan untuk mecapai suatu efek tertentu.
c. Mood modification( bermain game online untuk melarikan diri dari masalah ) : hal ini mengacu pada pengalaman subjektif seseorang, ini merupakan
konsekuensi dari terlibatnya dalam kegiatan tertentu dan dapat dilihat
sebagai coping (yaitumelarikan diri dari perasaan)
d.Relapse( kecenderungan untuk bermain game online kembali setelah lama tidak bermain ): ini cenderung pada kegiatan yang terulang yang telah
diobati selama bertahun-tahun dan muncul kembali
e. Withdrawal symptoms( merasa buruk jika tidak dapat bermain game online): suatu perasaan yang tidak menyenangkan atau efek fisik yang terjadi ketika
aktivitas tertentu dihentikan atau tiba-tiba dikurangi, misalnya , marah.
f. Conflict( bertengkar dengan oranglain karena bermain game online secara berlebihan ): konflik ini mengacu pada konflik antara pecandu dan orang
disekitar mereka (konflik antar pribadi), konflik dengan kegiatan lain
(pekerjaan, kehidupan sosial, hobi dan minat) atau dari dalam diri individu
sendiri (konflik intrapsikis) terkait dengan kegiatan tertentu.
g.Problem ( mengabaikan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan permasalahan ) : mengacu pada masalah yang disebabkan oleh bermain
Masalah lainnya mungkin juga terjadi didalam diri subjek seperti konflik
psikis dan perasaan terhadap hilangnya kontrol diri)
Tujuh kriteria kecanduangame online ini merupakan pengukuran untuk
mengetahui kecanduan atau tidaknya seorang pemain game online, apabila pemain yang menunjukkan gejala empat dari tujuh aspek di atas maka dirinya
memiliki indikasi sebagai remaja yangmengalami kecanduan game online(Lemmens, 2009).
Regulasi Diri (Self Regulation)
Pengertian Regulasi Diri (Self Regulation)
Baumeister dan Vohs ( dalam McCullough & Willoughby, 2009) dalam
buletin psikologi yang diterbitkan APA (American Psychology Association) mendefinisikan regulasi diri dengan aktivitas bagaimana seseorang mengontrol
dirinya atau tanggapannya untuk mengejar tujuan dan memenuhi standar.
Bandura (dalam Boekaerts, Pintrich, dan Zeidner, 2003) mengatakan
bahwa dalam perspektif kognisi sosial, regulasi-diri dipandang sebagai proses
interaksi triadik antara personal, behavioral, dan environmental (lingkungan). Hal itu tidak hanya memerlukan keterampilan perilaku dalam mengelola-diri
oleh diri-sendiri, perasaan, dan tindakan yang direncanakan untuk pencapaian
tujuan-tujuan pribadi.
Selanjutnya terdapat definisi lain yang diungkapkan oleh Miller & Brown
(dalam Papalia & Olds, 2001) bahwa self regulation atau regulasi diri sebagai kapasitas untuk merencanakan, mengarahkan, dan memonitor prilaku fleksibel
untuk mengubah keadaan. Self regulation adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai dengan apa yang mereka ketahui
sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
Berdasarkan dari beberapa pengertian yang sudah di uraikan, dapat
disimpulkan bahwa regulasi diri (self regulation) adalah kemampuan dalam
mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan memonitor perilaku
untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan strategi tertentu dan
melibatkan unsur fisik, kognitif, motivasi, emosional, dan social.
Tahapan Regulasi Diri (Self Regulation)
Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya.Dalam mencapai suatu tujuan yang
diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, sosial,
pengendalian emosi yang baik sehimgga membawa seseorang kepada self regulation yang baik. Miller & Brown (dalam Neal & Carey, 2005) memformulasikan self regulation sebanyak tujuh tahap yaitu:
Yaitu langkah awal individu dalam menerima informasi dari berbagai
sumber.Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui
karakter yang lebih khusus dari suatu masalah.Seperti kemungkinan adanya
hubungan dengan aspek lainnya.
b. Evaluating atau mengevaluasi.
Setelah kita mendapatkan informasi, langkhan berikutnya adalah menyadari
seberapa besar masalah tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu
menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi
di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan
yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya
yang termasuk dalam proses pembelajaran.
c. Triggering atau membuat suatu perubahan.
Sebagai akibat dari suatu proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya,
timbul perasaan positif atau negative. Individu menghindari sikap-sikap atau
pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat dengan
norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada pada tahap ini yaitu disebut
juga kecenderungan ke arah perubahan.
d. Searching atau mencari solusi.
Pada tahap sebelumnya proses evaluasi menyebabkan reaksi-reaksi emosional
dan sikap. Pada akhir proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan
membuat individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk
mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan untuk mengurangi
pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi.
e. Formulating atau merancang suatu rencana.
yaitu perencanaan aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan
seperti soal waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek
lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.
f. Implementing atau menerapkan rencana
yaitu setelah semua perencanaan telah teralisasi, baerikutnya adalah secepatnya
megarah pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang
mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan
dalam proses.
g. Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.
Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir.Pengukuran tersebut dapat
membantu dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang tidak
direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil
yang didapat sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan hasil uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya
searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.
Remaja awal
Masa remaja adalah masa transisi perkembangan yang melibatkan
perubahan fisik, kognitif, dan psikososial dari masa anak-anak (childhood) ke masa dewasa (adulthood) (Papalia, et,al., 2004). Sarwono (2001) menggunakan batasan umur 11-24 tahun dan belum menikah menjadi definisi remaja indonesia.
Sedangkan Monks dkk. (2001) membedakan masa remaja awal dengan batasan
usia 12-24 tahun, remaja awal 11-24 tahun, remaja tengah untuk usia 15-18 tahun
dan remaja akhir 19-24 tahun.
Pada penelitian ini, peneliti mengambil sampel pada remaja awal (11-24
tahun) karena remaja yang paling rentan akan perkembanganya adalah masa
remaja pada tahap remaja awal karena masa remaja awal merupakan masa
transisi, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik,
psikis,maupun secara sosial (hurlock,1973).
Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis,
yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang, Pada
kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu, Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang
kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu
melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut
dengan kenakalan remaja. (Ekowarni, 1993)
Hubungan Antara Regulasi Diri Pada Remaja Dengan Kecenderungan Adiksi Terhadap Game Online
Seseorang yang mengalami kecanduan game online akan mengalami beberapa gejala seperti salience (berpikir tentang bermain game online sepanjang hari), tolerance (waktu bermain game online yang semakin meningkat), mood modification (bermain game online untuk melarikan diri dari masalah), relapse (kecendrungan untuk bermain game online kembali setelah lama tidak bermain),
withdrawal (merasa buruk jika tidak dapat bermain game online),conflict (bertengkar dengan orang lain karena bermain game online secara berlebihan), dan problems (mengabaikan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan permasalahan). Tujuh kriteria kecanduan game online ini merupakan pengukuran
untuk mengetahui kecanduan atau tidaknya seorang pemain game online yang ditetapkan pemain yangmendapatkan empat dari tujuh kriteria merupakan indikasi
pemain yang mengalami kecanduan game online (Lemmens, 2009).
Santrock (2010) mengemukakan bahwa salah satu ketrampilan yang
penting dimiliki remaja adalah kemampuan meregulasi dan mengontrol emosi dan
perilaku. Laki – laki biasanya memperlihatkan regulasi diri yang lebih rendah
dibandingan perempuan (Eisenberg, Spinrad & Smith, 2004).
Rendahnya regulasi diri pada diri individu menyebabkan banyak
permasalahan yang ditimbulkan dari kecanduan game online secara kognitif adalah menurunnya prestasi akademik (Yee, 2002). Permasalahan lainnya yang
ditimbulkan akibat ketergantungan terhadap game online adalah masalah relasi sosial pada remaja. Menurut Hurlock (1999) remaja juga memiliki tugas untuk
membentuk dan mempertahankan relasi sosial yang bertanggung jawab.
Pemenuhan tugas perkembangan remaja tersebut memerlukan ketrampilan
sosial.Young (1996) menemukan bahwa 53% individu yang mengalami
kecanduan internet mempunyai permasalahan dalam relasi sosialnya.
Penelitian Amstrong, Philips dan Salling (2000) menyimpulkan individu
dengan ketrampilan sosial yang kurang atau kepercayaan diri yang rendah lebih
mungkin untuk kecanduan terhadap internet sebagai bentuk kompensasi dari
ketidakmampuannya tersebut. Kim et al (2009) dalam penelitiannya menyatakan
seseorang yang kesepian atau memiliki ketrampilan sosial yang rendah dapat
membentuk perilaku kompulsif terhadap penggunaan internet dan menghasilkan
dampak buruk bagi kehidupannya.
Metode Penelitian
Populasi adalah suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karateristtik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2009).
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Suharsimi Arikunta, 1995).Yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah remaja awal yang berusia 12-15
Sampel Dan Teknik Sampling Penelitian
Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karateristik yang
dimiliki oleh karateristik tersebut (Sugiyono, 2009).Sampel adalah kelompok
kecil yang diamati dan merupakan bagian dari populasi sehingga sifat dan
karakteristik populasi juga di miliki oleh sampel. Adapun kriteria sampel dalam
penelitian ini diantaranya :
a) Remaja awal yang berusia 12 – 15 tahun
b) Telah bermain game online selama minimal 6 bulan. Asumsinya remaja yang memiliki ketergantungan terhadap game online baru
dapat terlihat bila minimal 6 bulan bermain menurut ketentuan dari
DSM IV (Young, 1998)
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Sugiyono, 2009)
Metode pengumpulan data
Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian
adalah metode kuantitatif dengan skala sebagai alat pengumpulan data. Skala
adalah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah
pertanyaan atau pernyataan tertulis untuk dijawab secara tertulis untuk dijawab
secara tertulis oleh responden penelitian.Setiap subjek yang termasuk dalam
sampel penelitian ini diharapkan mengisi masing –masing alat ukur tersebut
secara lengkap. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala
Skala Kecenderungan Adiksi Game Online
Skala Kecenderungan Adiksi Game Online adalah skala yang dibuat untuk
mengetahui apakah responden memiliki kecenderungan adiksi pada game online atau tidak. Kecenderungan adiksi game online diukur dengan menggunakan skala
yang dikembangkan oleh Griffiths & Davies (dalam Lemmens, 2009) yaitu Game
Addiction Scale yang memiliki 21 aitem yang menggambarkan adanya ketergantungan terhadap game online pada remaja berdasarkan kriteria DSM IV dengan mengembangkan tujuh aspek diantaranya : Sailience, Tolerance, Mood Modification, Relapse, Withdrawal symptoms, Conflict, dan Problems.
Adapun skoringnya berkisar dari 1 = tidak pernah; 2 = jarang; 3 =
kadang-kadang; 4 = sering; 5 = sangat sering. Nilai reliabilitas pada skala adiksi game online sudah diuji cobakan oleh Griffiths & Davies (2004)dan menemukan alpha cronbach berkisar 0,92 – 0,94 yang dilakukan pada 352 sampel di penelitian
pertama dan 369 pada sampel penelitian kedua.
Dalam penelitian ini skala kecenderungan adiksi game online dalam uji
coba ini tidak ada aitem yang gugur, Adapun daya diskriminasi aitem diuji
cobakan kembali dengan menggunakan try out terpakai pada skala
Kecenderungan Adiksi Game Online pada variabel ini berkisar antara 0,324-0,708. Koefisien reliabilitas skala dengan formulasi Alpha’s Cronbach ditemukan
Skala Regulasi Diri
Skala ini dibuat untuk mengukur regulasi diri yang didasarkan pada tujuh
tahapan dalam penilaian regulasi diri dari Brown, Miller, & Lawendowski (1999)
diantaranya Receiving atau menerima informasi yang relevan, Evaluating atau mengevaluasi, Triggering atau membuat suatu perubahan, Searching atau mencari
solusi, Formulating atau merancang suatu rencana, Implementing atau menerapkan rencana, Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah
dibuat. Adapun nilai reliabilitas test retest pada SRQ adalah 0.94.
Skala regulasi diri ini diukur dengan menggunakan skala Likert yang
diadopsi dari teori Brown, Miller, & Lawendowski (1999). Skala regulasi diri
memiliki 63 aitem yang di skor mulai dari nilai 1 hingga 5, yaitu : SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju) , STS (Sangat Tidak Setuju) . Pemberian skor bergerak dari rentang nilai lima (SS) sampai dengan satu (STS)
untuk aitem – aitem favourable, sedangkan untuk aitem – aitem unfavourable pemberian skor bergerak dari nilai satu (SS) sampai dengan empat (STS).
Dalam penelitian ini , Skala Regulasi Diri dalam uji coba ini tidak ada
aitem yang gugur Adapun daya diskriminasi aitem diuji cobakan kembali dengan
menggunakan try out terpakai pada Skala Segulasi Diri pada variabel ini berkisar
antara 0,318-0,764. Koefisien reliabilitas skala dengan formulasi alpha’s
cronbachditemukan sebesar 0,925. Adapun jumlah aitem gugur adalah 25 aitem,
Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data ini dilaksanakan pada tanggal 28 November 2014
didaerah salatiga dan sekitarnya. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Skala Regulasi Diri sebanyak 63 aitem dan Skala Adiksi Game Online terdiri dari 21 item. Selama pelaksanaan uji coba dan penelitian ini, peneliti
dibantu oleh penjaga warnet dengan peneliti memberi satu persatu angket kepada
subyek dan dalam pengisian peneliti menunggu subyek menyelesaikannya .
Sebelum peneliti memberikan skala tersebut ke subjek yang bersangkutan, peneliti
memastikan terlebih dahulu apakah subjek sudah sesuai dengan karakteristik
populasi dalam penelitian ini dan menanyakan apakah sudah pernah diminta untuk
mengisi skala sebelumnya. Bila sudah sesuai barulah peneliti memberikan skala
tersebut. Sebelum meminta subjek untuk mengisi skala, peneliti sebelumnya
memberitahukan mengenai petunjuk pengisian skala tersebut. Selama pengisian,
peneliti menunggu subjek sampai selesai mengisi skala. Jika subjek sudah selesai
mengisi skala, peneliti memeriksa secara langsung skala untuk mengetahui dan
memastikan ada nomor yang terlewatkan atau tidak.
Deskripsi Statistik Penelitian
Analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai
subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok
subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.Berdasarkan
skor yang didapat, maka diperoleh gambaran umum mengenai hubungan antara
Gambaran umum Skor Variabel-variabel penelitian Descriptive StatisticsRegulasi Diri
Mean Std.
Deviation
N
Regulasi Diri 116.8875 27.74655 80
Berdasarkan kategorisasi regulasi diri dapat dilihat bahwa N = 80, Mean =
116,89 , Std. Deviation = 27.74655 ,
Kategorisasi variabel Regulasi Diri
Kategori Jenjang
Jumlah subjek
Bobot
Sangat Rendah ≤ 63,34 0 0%
Rendah 63,34< x ≤ 88,67 0 0%
Sedang 88,67< x ≤139,3 75 93,75%
Tinggi 139,3< x ≤164,63 5 6,25%
Sangat Tinggi x >164,63 0 0%
Total 100%
Tabel diatas artinya regulasi diri dalam kategori sedang dan yang lainnya
tersebar dalam level rendah sebanyak 93,75%, level tinggi sebanyak 6,25%dan
level sangat tinggi 0%.
Descriptive Statistics AdiksiGameOnline
Mean Std.
Deviation
N
Adiksi Game Online
62.9375 7.64289 80
Berdasarkan kategorisasi adiksigame online dapat dilihat bahwa N = 80,
Mean = 62.9375, Std. Deviation = 7.64289.
Kategorisasi variabel Kecenderungan Adiksi Game Online
Kategori Jenjang
Jumlah subjek
Bobot
Sangat Rendah ≤ 35 0 0%
Rendah 35< x ≤ 49 5 6,25%
Sedang 49< x ≤77 52 65%
Tinggi 77< x ≤91 17 21,25%
Sangat Tinggi x >91 6 7,5%
x = skor kecenderungan adiksi game online
Tabel diatas artinya adiksi game online dalam kategori sedang dan yang lainnya tersebar dalam level rendah sebanyak 6,25%, level tinggi sebanyak
21,25% dan level sangat tinggi 7,5%.
Hasil Uji Asumsi, Analisis Data dan Interpretasi
Analisis data yang dilakukan untuk membuktikan kebenaran dari hipotesis
yang telah diajukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis
Korelasi Product Moment dari Pearson. Sebelum menguji kebenaran hipotesis dilakukan uji asumsi yang berupa uji normalitas dan uji linearitas sebagai syarat
penggunaan statistik parametric yaitu Korelasi Product Moment.
Uji Asumsi Uji Normalitas
Data setiap variabel diuji dengan menggunakan program uji normalitas
sebaran.Perhitungan normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan teknik
analisis Kolmogorov-Smirnov (K-SZ) dari SPSS (Statistical Packages for Social Sciences) 17.0.
Uji normalitas pada variabel regulasi diri menunjukkan hasil K-SZ sebesar
1,033dengan p = 0,236 ( p>0,05). Uji normalitas pada variabel adiksi game online
menunjukkan hasil K-SZ sebesar 1,089 dengan p = 0,189 (p>0,05). Berdasarkan
uji normalitas tersebut dapat disimpulkan bahwa distribusi dari kedua variabel
[image:33.595.99.522.202.629.2]Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel
penelitian.Dengan memiliki nilai F = 0,842 , Sig = 0.677 , p > 0,05 pada deviation
from linearity sehingga dapat dibuktikan bahwa pada taraf kepercayaan 95% tidak
terjadi penyimpangan signifikan terhadap linearitas. Artinya korelasi antara
variabel Regulasi Diri dan Kecenderungan Adiksi Game Online bersifat linier.
Uji Linieritas
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regulasi Diri *
Kecenderungan
Adiksi
Between
Groups
(Combined) 21793.333 27 807.160 1.075 .401
Linearity 5361.253 1 5361.253 7.143 .010
Deviation
from
Linearity
16432.080 26 632.003 .842 .677
Within Groups 39026.467 52 750.509
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa terdapat hubungan
negatif dan signifikan antara regulasi diri terhadap kecenderungan adiksi game online pada remaja, yang ditunjukkan dengan hasil rxy = - 0,323 ; p = 0,003 ( p <0,05 ). Hal ini berarti semakin tinggi regulasi diri yang dimiliki maka semakin
rendah kecenderungan adiksi terhadap game online, sebaliknya semakin rendah regulasi diri yang dimiliki maka semakin tinggi kecenderungan adiksi terhadap
game online . Ini berarti hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya. Untuk melihat seberapa besar koefisien determinasi yang
ditunjukkan dalam Nilai koefisien determinasi yaitu 10,43% Artinya regulasi diri
memberikan sumbangan terhadap kecenderungan adiksi game online sebesar 10,43 % dan sisanya 100 % - 10,43 % = 89,57 % ditentukan oleh faktor-faktor
lain.
Pembahasan
Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara regulasi diri terhadap kecenderungan adiksi
game online pada remaja, yang ditunjukkan dengan hasil rxy = - 0,323 ; p = 0,003 ( p < 0,05% ) yang berarti semakin tinggi regulasi diri yang dimiliki maka
semakin rendah kecenderungan adiksi terhadap game online, sebaliknya semakin rendah regulasi diri yang dimiliki maka semakin tinggi kecenderungan adiksi
terhadap game online . Ini berarti hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang
Berdasarkan tingkat signifikansi yang dimiliki dapat dilihat dari nilai p =
0,003 (p<0.05%) yang artinya hubungan antara regulasi diri terhadap
kecenderungan adiksi game online pada remaja adalah signifikan. Hal ini sesuai
dengan teori dari Hawadi (2007) yang mengemukakan bahwa pada prinsipnya
game memiliki sifat seduktif, yaitu membuat orang menjadi kecanduan untuk terpaku di depan monitor selama berjam – jam. Game online menyebabkan remaja
terasa tertantang sehingga terus-menerus memainkanya, dan menyebabkan remaja
tidak memiliki skala prioritas dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sikap kurang
memiliki self control yang baik terhadap ketertarikanya pada game online dan pada saat itulah seseorang yang kecanduan atau bermain game harus bisa
mengatur diri mereka sendiri. Hal ini membutuhkan pengaturan diri (regulasi diri)
pada pecandu game online tersebut atau dengan kata lain regulasi diri pada perilaku adiksi game online.
Regulasi diri (self regulation) merupakan dasar dari proses sosialisasi karena berhubungan dengan seluruh domain yang ada dalam perkembangan fisik,
kognitif, social, dan emosional (Papalia & Olds, 2001). Selain itu regulasi diri
(self regulation) juga merupakan kemampuan mental serta pengendalian emosi (Papalia & Olds, 2001). Seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian
emosi dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang untuk dapat
mengatur dirinya dengan baik (Papalia & Olds, 2001). Regulasi diri dapat
dipahami sebagai penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran,
hal.65). Regulasi diri meliputi self – generation dan pemantauan secara kognitif terhadap pikiran, perasaan dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa
mengandalkan orang lain (Santrock, 2007).
Zimmerman (dalam Ormrod. 2003), juga menjelaskan jika seseorang
disebut memiliki regulasi diri maka pikiran dan perilakunya berada dibawah
kendalinya sendiri, tidak dikendalikan oleh orang lain dan lingkungan. Tingginya
tingkat adiksi terhadap game online pada remaja ini,salah satunya disebabkan karena rendahnya regulasi diri yang mereka miliki. Regulasi diri yang rendah
pada diri individu menyebabkan banyaknya permasalahan bagi para pecandu
game online secara kognitif, fisik, emosional maupun sosial.
Mazalin dan Moore (2004), juga menyatakan aktivitas internet seperti
bermain game online yang dilakukan oleh remaja akan mengurangi dan membatasi interaksi individu dengan teman sebayanya yang seharusnya lebih
sering terjadi pada masa remaja. Kedekatan remaja secara langsung dengan teman
sebaya di dunia nyata dapat mempengaruhi remaja untuk belajar peran,
menentukan sikap dan membentuk perilaku yang juga mempengaruhi
perkembangan identitas remaja.Kurangnya kedekatan secara langsung dengan
teman sebaya merupakan salah satu hal yang dapat membatasi kesempatan remaja
untuk belajar dari lingkungan sosialnya dan belajar peran dari teman sebaya.
(kecendrungan untuk bermain game online kembali setelah lama tidak bermain),
withdrawal (merasa buruk jika tidak dapat bermain game online), conflict (bertengkar dengan orang lain karena bermain game online secara berlebihan), dan problems (mengabaikan kegiatan lainnya sehingga menyebabkan permasalahan). Tujuh kriteria kecanduan game online ini merupakan pengukuran
untuk mengetahui kecanduan atau tidaknya seorang pemain game online yang ditetapkan pemain yang mendapatkan empat dari tujuh kriteria merupakan
indikasi pemain yang mengalami kecanduan game online (Lemmens, 2009). Adapun kategori adiksi terhadap game online pada remaja di penelitian ini tergolong sedang dengan melihat nilai Mean Empiris = 62,9375; Mean Hipotetsik
= 63 dan Standar deviasi hipotetik = 14, artinya adiksi terhadap game online pada
remaja awal masih dapat dikendalikan, ini dapat terlihat dari nilai regulasi diri
yang dimiliki oleh subjek yang juga tergolong sedang dengan nilai Mean Empiris
= 116, 8875; Mean Hipotetik = 114 dan standar deviasi hipotetik = 25,33.
Dampak negatif secara psikologis bagi remaja yang kecanduan
permainan online menurut penelitian Soleman (2009) diantaranya : pikiran para pemain game online menjadi terus menerus memikirkan permainan yang sedang dimainkan. Para pemain menjadi sulit berkonsentrasi terhadap studi, pekerjaan,
sering bolos atau menghindari pekerjaan, bersikap cuek, acuh tak acuh, kurang
peduli terhadap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya serta dalam takaran yang
lebih parah, para pemain mampu melakukan apapun demi bisa bermain permainan
online seperti berbohong, mencuri uang dan lain-lain. Selain itu terbiasa hanya
tertutup,sulit mengekspresikan diri ketika berada dilingkungan nyataDalam
penelitian ini, besarnya pengaruhi regulasi diri terhadap kecenderungan adiksi
terhadap game online dapat terlihat dari nilai koefisien determinasi yaitu sebesar
10,43% dan sisanya 89,57 % ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti : motivasi
diri, kesepian, depresi, ketrampilan sosial yang rendah dan sebagainya.
Regulasi diri pada remaja di penelitian ini tergolong sedang (sekitar 65%
atau 52 orang) yang ditunjukkan dengan N = 80, Mean = 116,89. Kecenderungan
adiksi game online pada remaja di penelitian ini juga tergolong sedang, hal ini dapat dilihat dengan nilai N = 80, Mean = 62.9375, Std. Deviation = 7.64289
yang lainnya tersebar dalam level tinggi sebanyak 6,25% (5 orang).
Kelemahan dalam penelitian ini diantaranya kurang adanya kontrol dari
peneliti saat pengisian skala berlangsung dimana subjek saling bertanya selama
pengisian skala tersebut, subjek banyak yang kurang memahami pernyataan yang
dibuat sehingga saat pengisian skala tersebut kondisi menjadi gaduh, kurangnya
konsentrasi saat pengisian skala karena subjek mengerjakan sambil bermain game.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hubungan negatif dan signifikan
antara regulasidiri terhadap kecenderungan adiksi pada game online, yang berarti
semakin tinggi regulasi diri yang dimiliki maka semakin rendah kecenderungan
Saran
a) Bagi Remaja
Remaja dapat lebih dapat mengontrol dirinya agar tidak terperosok dalam
permainan game online yang terus-menerus yang akibatnya dapat mempengaruhi prestasi akademik, kehidupan sosial serta emosional
remaja itu sendiri.
b) Bagi Orangtua
Orangtua dapat memberikan pengawasan ekstra serta batasan waktu
kepada remaja yang sering bermain game agar remaja tidak kehilangan
kontrol dalam bermain game online yang nantinya dapat berdampak negatif bagi kehidupan emosional maupun sosialnya.
c) Bagi Peneliti berikutnya
Bagi peneliti berikutnya yang tertarik meneliti mengenai permasalahan
sejenis, dapat melihat dari faktor-faktor lainnya seperti motivasi diri,