33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Seting Penelitian
4.1.1. Gambaran Desa Poleganyara
Secara topografis desa Poleganyara adalah desa
yang terletak di kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso,
propinsi Sulawesi Tengah. Desa ini berada kurang lebih 3 km
dari kecamatan Pamona Timur.
Administrasi berpusat di kecamatan Pamona Timur.
Adapun batas wilayahdesa Poleganyara sebelah utara
berbatasan dengan desa Taripa, sebelah timur berbatasan
dengan desa Tiu dengan luas wilayah 4.600 ha, di sebelah
barat berbatasan dengan desa Didiri dan di sebelah selatan berbatasan dengan desa Kancu’u. Desa Poleganyara hanya
memiliki satu wilayah yang dikepalai oleh kepala desa. Total
penduduk desa Poleganyara berjumlah 1334 jiwa.
Berdasarkan tingkat pendidikan, warga desa Poleganyara kebanyakan adalah tamatan SMP (24,28%),
disusul SD (23,83%). Dilihat dari perkembangan tingkat
34
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan adanya
lulusan S1 sebanyak 14 orang (1,04%).
Table 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Penduduk
Satuan (orang) %
1. Belum Sekolah 165 12,36%
2. Tidak Tamat SD 232 17,39%
3. SD 318 23,83%
4. SMP 324 24,28%
5. SMA 276 20,68%
6. D1/D2 10 0,74%
7. D3 5 0,37%
8. S1 14 1,04%
Total 1334 100%
Sumber : Kantor kepala Desa Poleganyara, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso (2012)
4.1.2. Fasilitas kesehatan di Desa Poleganyara
Desa Poleganyara memiliki satu Puskesmas Pembantu yang berada ditepi jalan utama,tepatnya ditengah
desa Poleganyara. Tenaga kesehatan di Puskesmas Pembantu desa Poleganyara berjumlah satu orang yakni
perawat. Puskesmas pembantu di desa Poleganyara
merupakan cabang dari Puskesmas di kecamatan Pamona
35
4.1.3. Profil Riset Partisipan Penelitian
Untuk mengetahui perilaku pencegahan rehipertensi
maka dilakukan wawancara atas pengalaman 30 orang partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan
batasan umur karena fokus penelitian adalah untuk
mendeskripsikan perilaku pencegahan rehipertensi yang
dilakukan warga desa Poleganyara pada umumnya. Dari
hasil penelitian, pada dasarnya umur tidak mempengaruhi
perilaku pencegahan rehipertensi dilihat dari perilaku
pencegahan yang dilakukan setiap partisipan tidak jauh
berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu, jenis
pekerjaan dari 30 riset partisipan bebeda-beda namun
kebanyakan memiliki rutinitas yang sama dalam keseharian,
yakni pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik.
Pendidikan partisipan penelitian yaitu berpendidikan
S1 ada 1 orang, SMA/SPG berjumlah 10 orang, SMP
berjumlah 7 orang, SD berjumlah 12 orang. Berdsarkan hasil
penelitian, tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki oleh 30
riset partisipan tidak terlalu mempengaruhi secara signifikan
perilaku mereka dalam mencegah rehipertensi.
Pada bagian ini peneliti melakukan analisis data
36
menentukan tema-tema dari setiap jawaban riset partisipan.
Setiap tema ini mendeskripsikan perilaku pencegahan
terhadap rehipertensi. Rehipertensi adalah pengulangan
hipertensi atau kambuhnya hipertensi. Tema perilaku
pencegahan rehipertensi ini yaitu upaya pengecekan
tekanan darah, pola konsumsi, pengendalian stres, pola
tidur, penggunaan ramuan tradisional dan obat medis,
37 Tabel 2. Profil Riset Partisipan Penelitian
38
L Poleganyara Menikah SMP Wiraswasta Sejak 2009 150/90 140/90 14 Ibu IG 56
39 23 Ibu W 56
tahun
P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2010 160/80 140/90
24 Ibu O 37 tahun
P Poleganyara Menikah SMA Petani Sejak 2011 130/90 130/90
25 Ibu BM 55 tahun
P Poleganyara Menikah SMA Wiraswasta Sejak 2011 150/100 135/90 26 Ibu SD 69
tahun
P Poleganyara Menikah SPG Petani Sejak 2004 150/90 120/90
27 Ibu TT 46 tahun
P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 2012 140/90 140/90
28 Ibu NT 54 tahun
P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2006 150/80 120/90
29 Bapak NY 78 tahun
L Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1967 150/90 150/90 30 Ibu RT 62
tahun
40
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Upaya PengecekanTekanan Darah
Upaya pengecekan tekanan darah merupakan usaha yang
dilakukan melalui pengukuran tekanan darah dengan tensimeter
untuk mengetahui nilai tekanan darah pada satu waktu.
a. Frekuensi dan Alasan
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 riset partisipan,
13 riset partisipan melakukan cek tekanan darah 2 atau 3 bulan
sekali atau hanya pada saat sakit. 1 riset partisipan hanya
melakukan cek tekanan darah saat sakit, setelah sakit meskipun
gejala hipertensi muncul, tidak dilakukan cek tekanan darah. 14
riset partisipan melakukan cek tekanan darah 1 sampai 3 kali
dalam 1 bulan,dan 2 partisipan lainnya rutin yaitu dengan
frekuensi yang lebih seringdimana partisipan pertama
melakukan cek tekanan darah setiap pagi sedangkan partisipan
kedua melakukan cek tekanan darah setiap dua hari sekali.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh riset partisipan
yakni mereka hanya melakukan pengukuran tekanan darah jika muncul gejala hipertensi, dan sebaliknya jika tidak muncul gejala
tersebut maka tidak dilakukan pengukuran tekanan darah. Hal
41
wawancara dengan ibu BT yang mengatakan: “Saya tensi nanti
sakit saja, kalau tidak, tidak ditensi. Bulan ini tidak ada pergi tensi, 2
bulan yang lalu ada, mungkin setiap dua bulan”” (P7,8). Pendapat
yang sama juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang lain,
dimana mereka melakukan pengukuran tekanan darah jika sakit.
Hanya saja 14 riset partisipan ini lebih sering melakukan
pengukuran tekanan darah karena gejala hipertensi yang sering
muncul dan tekanan darah yang tidak turun meskipun
merasakan gejala hipertensi yang tidak terlalu parah.
Ada 2 riset partisipan yang rutin melakukan pengukuran
tekanan darah karena, partisipan pertama sedang dalam
pengobatan paska stroke ringan, sedangkan partisipan kedua
memiliki alat tensimeter digital sendiri dirumah.
b. Tempat Pengukuran Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan oleh riset partisipan
dibeberapa tempat berbeda yakni, Puskesmas Taripa,
Puskesmas Pembantu, Rumah Bidan dan dirumah bagi yang
memiliki alat pengukuran tekanan darah sendiri.
Puskesmas pembantu terletak ditengah desa
Poleganyara yang memiliki 1 orang tenaga kesehatan yakni
seorang perawat. Karena letak tempat yang dekat dengan rumah
42
dikunjungi oleh partisipan dalam melakukan pengukuran
tekanan darah. Puskesmas Taripa berada di Kecamatan yang
berjarak kurang lebih 4 km dari desa Polegayara, sehingga
jarang dikunjungi oleh riset partisipan karena letaknya yang jauh.
Puskesmas Taripa dikunjungi oleh partisipan jika akan bertemu
dokter. Selain itu, yang sering dikunjungi juga adalah Bidan desa Kancu’u, berjarak agak jauh dari desa poleganyara kurang lebih
7 km. Secara keseluruhan, 30 riset partisipan pernah
mengunjungi tempat-tempat layanan kesehatan tersebut untuk
memeriksakan diri atau melakukan cek kesehatan. c. Nilai Tekanan Darah
Berdasarkan pengakuan dari 30 riset partisipan,
mereka memiliki tekanan darah diatas 150/90 mmHg saat
pertama kali mendapat hipertensi, seperti pengakuan dari ibu BM misalnya yang mengatakan: “Eh karna makan daging.
Biasanyakan cuma 90/80, pe tensi kamari 150/100. Kan banyak dia
naik itu to, dari yang biasa cuma 90 jadi 150, jadi tua pusing, kaget to.
Jadi sudah, dikase obat sama bidan Kancu. Ini lagi belum tau lagi ini
berapa, ada tensi itu, tunggu.”(P25,2). Nilai tekanan darah dari 30
riset partisipan saat mendapatkan hipertensi menurut JNC VII
43
atau 90-99 (mmHg) dan 17 partisipan pada hipertensi derajat II
yaitu >160 atau >100 (mmHg).
Selain nilai tekanan darah yang disampaikan oleh riset
partisipan berdasarkan kejadian hipertensi yang sudah dialami,
peneliti melakukan pengukuran tekanan darah sebelum memulai
wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
riset partisipan (RP) saat berlangsungnya wawancara. Berapa
beberapa kali juga peneliti melakukan pengukuran tekanan
darah sebanyak tiga kali dengan rentang waktu 1 bulan. Hal ini
dilakukan untuk memastikan nilai tekanan darah partisipan
setelah melalui proses perilaku pencegahan rehipertensi yang
telah dilakukan dan didapatkan kesimpulan sebagai berikut nilai
tekanan darah 30 RP adalah sebagai berikut: Normal yaitu<120
atau <80 (mmHg) dengan 1 partisipan dengan umur 37 tahun; Prehipertensi yaitu 120-139 atau 80-89 (mmHg) 19 partisipan
kisaran umur 41-76 tahun dan hipertensi derajat 1 yaitu 140-159
atau 90-99 (mmHg) 9 partisipan kisaran umur 46-78 tahun. Dari
hasil pengukuran ini terlihat adanya perbedaan nilai tekanan
darah dari 30 partisipan dimana terjadi penurunan tingkat
tekanan darah dibandingkan dengan nilai tekanan darah saat
44 4.2.2. Pola Konsumsi
Berdasarkan hasil penelitian, setiap riset partisipan paham
tentang pencegahan rehipertensi dalam hal membatasi pola konsumsi beberapa bahan maupun jenis makanan yang paling sering
dapat memicu munculnya hipertensi. Setiap riset partisipan memiliki
pola konsumsi yang hampir sama dalam menjaga kestabilan tekanan
darah, hal ini berdasarkan informasi yang diterima oleh riset partisipan
baik melalui tenaga kesehatan maupun dari orang lain yaitu saling
berbagi informasi dengan sesama yang juga memiliki riwayat
hipertensi.
a. Konsumsi Garam
Penggunaan garam berlebih dapat memicu
meningkatnya tekanan darah. Setiap riset partisipan paham
bahwa dengan mengurangi jumlah garam yang dikonsumsi
dapat mencegah hipertensi. Ini terlihat dalam hasil wawancara
dimana 29 dari 30 riset partisipan mengurangi jumlah garam
yang dikonsumsi. Dari 29 riset partisipan tersebut, 3 riset
partisipan diantaranya terkadang tidak mengkonsumsi garam
sama sekali, khususnya ketika gejala hipertensi muncul, garam
tidak digunakan dalam makanan yang dikonsumsi. Setelah
tekanan darah kembali normal mereka kembali mengkonsumsi
45
Berdasarkan hasil wawancara dari 29 riset partisipan
yang mengurangi konsumsi garam, beberapa cara mengukur
garam dalam campuran makanan bergantung pada banyaknya
masakan yang dimasak. Dari 29 riset partisipan, 13 diantaranya
mengukur penggunaan garam dalam campuran masakan
dengan menggunakan ujung sendok makan. Ada 4 partisipan
mengukur konsumsi garam dengan menggunakan jari tangan. 5
riset partisipan lainnya mengatakan mengkonsumsi garam
dalam jumlah yang sedikit sejak mendapat hipertensi, tidak
memiliki takaran tetapi hanya membatasi dengan mengurangi
jumlah garam yang dikonsumsi. 7 riset partisipan yang terdiri dari
laki-laki mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah
diatur jumlah garamnya karena biasanya mereka juga
mengingatkan kepada anggota keluarga yang memasak makanan untuk mengurangi garam bahkan kadang diminta
untuk tidak menggunakan garam dalam masakan. hal yang
sama disampaikan juga oleh 7 anggota keluarga dari 7 riset
partisipan yang mengatakan bahwa selalu mengurangi takaran
garam dalam masakan rumah khususnya bagi anggota keluarga
yang memiliki hipertensi.
Ada 1 riset partisipan yang tidak mengurangi jumlah
46
wawancara dengan riset partisipan ini yakni ibu O, mengatakan:“Garam itu, masih ba garam hahaha, tidak bisa ma ade
tidak ba garam hahaha”(P24,18). Ibu O menyukai rasa asin, namun ketika ditanya apakah itu mempengaruhi munculnya
hipertensi ibu O menjawab bahwa tekanan darah naik karena
makanan asin, tetapi menurut ibu O seperti dalam wawancara berikut: “Ada juga, kalo berapa hari itu saya makan ba garam, ada
biasa dia muncul, pi tensi lagi so nae lagi. Tapi abis itu kalau diistirahat
akan tidak oh, turun pasti depe rasa sakit. Kan saya minum akan
ramuan juga to, bae saya rasa, tidak apa-apa, belum apa-apa yau.
Cumakan tidak diminta-minta sakit to.” (P24,20). Meskipun
konsumsi garam ini berpengaruh terhadap hipertensi, ibu O
mampu mengantisipasi setiap gejala hipertensi yang muncul
yang disebabkan konsumsi garam berlebih sehingga meskipun
memiliki hipertensi, tidak merubah pola konsumsi garam, dimana
masih tetap sama seperti sebelumnya.
b. Konsumsi MSG
MSG merupakan salah satu bahan makanan yang
menyebabkan hipertensi jika digunakan dalam jumlah
berlebih.Setiap riset partisipan memahami bahwa pentingnya
membatasi penggunaan MSG dalam campuran makanan demi
47
partisipan berkurang bahkan ada riset partisipan yang tidak
menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan, hal
ini dilakukan setelah riset partisipan memiliki riwayat tekanan
darah tinggi.
Jenis MSG yang sering digunakan adalah vitsin dan
masako. Bagi riset partisipan yang menggunakan vitsin dalam
masakan, takarannya sebanyak 1 bungkus kecil dan jika
menggunakan masako, untuk 1 bungkus dapat digunakan 4-6
kali pemakaian dalam memasak. Seperti dalam wawancara dengan ibu T misalnya yang mengatakan: “1 bungkus masako itu
banyak to, saya biasa 1 bungkus itu 5-6 kali pake, jangan juga banyak
dipake tidak enak.” (P22,19).
Dari 30 riset partisipan, riset partisipan (46,67%) tidak
menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan
yang diolah sendiri. sedangkan 16partisipan yang lain (53,33%)
menggunakan MSG.
Beberapa alasan riset partisipan tidak menggunakan
MSG karena tidak terbiasa menggunakannya dan tidak
menyukai rasa dari makanan jika menggunakan MSG sebagai
bahan campurannya, seperti dalam wawancara dengan ibu BT yang mengatakan: “Ane penyedap rasa bere’e ku pa pake ungkari
48
tidak. Saya rasa tidak enak juga, jadi tidak usah saya taruh)”, hal
serupa juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang tidak
menyukai bumbu penyedap rasa untuk digunakan dalam
masakan karena tidak terbiasa maupun tidak menyukai rasa
masakan jika ditambahkan MSG.Ada 16 riset partisipan yang
masih menggunakan MSG sebagai penambah cita rasa dalam
masakan.
c. Konsumsi Daging
Mengurangi konsumsi daging sangat penting dalam
menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
Berdasarkan hasil wawancara, jenis daging yang sering
dikonsumsi oleh riset partisipan adalah daging babi, daging sapi
dan daging ayam. Jenis daging ini yang umumnya sering
dikonsumsi penduduk desa Poleganyara.
Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang frekuensi
mengkonsumsi daging, 28 dari 30 riset partisipan mengatakan
jarang mengkonsumsi daging karena untuk mengkonsumsi
daging hanya didapatkan pada waktu tertentu, misalnya pada
acara pesta pernikahan, ibadah kolom (ibadah kelompok gereja)
atau padungku (acara pengucapan syukur desa atas hasil panen
49
Jarang-jarang kalo makan daging. Paling kalo ada acara, pesta bagitu,
padungku atau biasa ba evang baru makan daging babi atau sapi,
daging ayam juga.” (P18,13). Hal serupa juga disampaikan oleh 27 riset partisipan bahwa untuk mengkonsumsi daging jika ada
acara yang dilaksanakan baik itu acara kerohanian, pesta
pernikahan maupun acara syukuran desa. Sedangkan 2 riset
partisipan tidak memiliki frekuensi konsumsi daging karena sejak
mendapat hipertensi sudah berhenti mengkonsumsi daging.
Sebanyak 28 riset partisipan masih mengkonsumsi
daging dalam jumlah yang sedikit dalam artian membatasi
jumlah potongan daging yang dikonsumsi. Rata-rata mereka
mengkonsumsi daging sebanyak 4-5 potongan kecil setiap kali
makan, hal ini untuk mencegah rehipertensi.
Dari 28 riset partisipan yang masih mengkonsumsi
daging, beberapa riset partisipan yang mengkonsumsi 1 jenis
daging yaitu 5 riset partisipan hanya mengkonsumsi daging babi,
5 partisipan lainnya hanya mengkonsumsi daging ayam.
Beberapa partisipan yang mengkonsumsi 2 jenis daging
yaituada 9 riset partisipan yang mengkonsumsi daging babi dan
daging ayam dan 2 riset partisipan yang mengkonsumsi daging
babi dan daging sapi serta 1 riset partisipan yang mengkonsumsi
50
mengkonsumsi 3 jenis daging yaitu 3 riset partisipan
mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan daging ayam, dan
2 partisipan yang mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan
daging anjing. Untuk partisipan yang mengkonsumsi 4 jenis
daging yaitu 1 partisipan masih mengkonsumsi daging ayam,
daging kelelawar daging anjing dan daging babi.
Alasan riset partisipan tidak mengkonsumsi daging
maupun mengurangi jumlah konsumsi daging karena pentingnya
untuk tetap menjaga tekanan darah agar tetap normal serta
untuk menghindari penyakit karena beberapa partisipan merasa
sakit yang sangat mengganggu dan tidak ingin merasakan lagi
gejala penyakit tersebut, seperti yang disampaikan oleh ibu NK dalam wawancara: “saya tidak makan daging. Daging sapi, daging
babi, ikan lele saya tidak makan, paniki saya tidak makan, cuma daging
ayam, ikan mujair dan ikan laut saja yang saya makan. Sudah lama
dari kena penyakit itu bukan karena pantangan atau dokter larang
makan itu, tapi saya rasa sendiri lama saya pantangan makan tidak
pernah lagi kena kembali penyakit itu oh berarti betul. Karena bukan
orang lain yang rasa, saya yang rasa. Kesembuhannya saya yang
rasakan. Kalau paksa makan daging nanti kena lagi itu penyakit.”
51
Dari 28 riset partisipan, terdapat2riset partisipan yang
masih mengkonsumsi daging namun melakukan tindakan
pencegahandengan membuat ramuan untuk diminum setelah
mengkonsumsi daging. Hal ini dilakukan oleh ibu MH yang dalam wawancara mengatakan “Biasa daun balacai. Tapi biasa juga kalo
saya makan daging, tapi tidak juga kalo makan daging karena so
jarang. Tapi kalo saya makan, sebelum itu sa so bikin akan ramuan.”
(P21,6). Hal serupa juga dismpaikan oleh ibu S dengan
membuat ramuan dari daun balakama. Menurut mereka, cara ini
sangat membantu untuk mencegah rehipertensi yang
disebabkan konsumsi daging.
d. Konsumsi Sayuran
Perbanyak mengkonsumsi sayuran dapat mengurangi
risiko hipertensi serta menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi.
Sayur merupakan jenis makanan yang sering dikonsumsi
oleh seluruh riset partisipan dan dikonsumsi setiap hari. Setiap
kali makan, sayuran menjadi pelengkap menu makanan
sedangkan lauk tidak didapat setiap hari dalam menu makanan,
dikarenakan letak desa yang jauh dari pasar. Namun biasanya
juga penduduk desa memanfaatkan sungai atau aliran air
52
wawancara dengan ibu UB yang mengatakan: “Kalo makan tiap
hari biasa saja, biasa makan sayur, ya sayur paku, katedo, labu siam,
sayur kacang, yang begitu-begitu. Ikan jarang-jarang, kecuali saya
punya anak itu biasa pulang bawa pancingan baru makan ikan, ikan
laut juga jarang-jarang, paling sering sayur itu tiap hari pasti
ada.”(P16,45). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset
partisipan yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan disekitar
desa serta memanfaatkan sungai untuk mendapatkan ikan
dikarenakan keterbatasan sumber pemenuhan kebutuhan
makanan sehingga seluruh partisipan memiliki cara yang sama
dalam memenuhi kebutuhan konsumsi makanan.
Dari 30 riset partisipan kebanyakan mengkonsumsi
sayuran yang ditanam sendiri seperti kacang panjang, daun
kacang, terong, labu kuning, labu siam, selain itu juga jenis sayur
yang tumbuh didaerah sekitar desa seperti daun ubi (daun
singkong) atau sayur paku (pakis). Jenis sayuran daun singkong dan pakis merupakan sayuran yang paling sering dikonsumsi
karena banyak tumbuh disekitar desa, maka setiap kali beberapa
partisipan yang kembali dari kebun atau sawah, mampir memetik
sayuran ini untuk dibawa pulang, seperti dalam wawancara dengan ibu JN yang mengatakan: “Iyo hari-hari, eh daun ubi, sayur
53
bunga papaya dicampur dengan sayur paku. Pa tua biasa kalo pulang
dari sawah so bawa pulang deng sayur dia pete dipinggir-pinggir kuala
itu.” (P15,14). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset
partisipan dimana mereka memanfaatkan tumbuhan seperti
daun singkong dan sayur paku yang banyak tumbuh disekitar
desa untuk memenuhi kebutuhan makanan setiap hari.
e. Konsumsi Buah-buahan
Mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung
vitamin dapat mengurangi risiko hipertensi. Di desa
Poleganyara, buah-buahan jarang ditemui untuk menjadi bahan
konsumsi setiap hari, terkecuali pada musim buah seperti
durian, rambutan, langsat dan manggis dapat dikonsumsi setiap
hari selama musim buah tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset
partisipan, buah-buahan termasuk yang jarang dikonsumsi. Dari
30 riset patisipan hanya 1 riset partisipan yang sering
mengkonsumsi buah seperti papaya dan pisang, bapak R.T
mengatakan bahwa setiap pulang dari sekolah, istri bapak R.T
membeli pisang atau papaya untuk dikonsumsi dirumah. 29 riset
partisipan yang lain jarang mengkonsumsi buah karena
biasanya menunggu buah matang dari pohonnya seperti
54
seminggu sekali. Hal ini juga dikarenakan letak pasar yang jauh,
sehingga kebanyakan warga memilih menanam pohon buah
sendiri. Pohon pisang dan papaya banyak ditanam dihalaman
rumah atau kebun, sehigga untuk mendapatkannya cukup
mudah.
Dalam hubungannya dengan pencegahan rehipertensi,
1 riset partisipan bapak IM sering mengkonsumsi buah ketimun
jika gejala hipertensi muncul. Meskipun tidak tiap hari memiliki
persediaan ketimun, namun mengkonsumsi buah ini menjadi
kebiasaan untuk mencegah rehipertensi, seperti dalam kutipan wawancara dengan bapak IM mengatakan: “Cuma waktu sakit itu
saja saya minum obat. So sembuh, saya tidak pake lagi. Ketimun saja.
Terakhir saya pake itu obat di Palu. Itu saja. Sekarang cuma
makan-makan ketimun. Kalo minum ramuan belum pernah, belum coba juga.
Tapi kalo saya makan ketimun enak saya rasa biar tekanan karena
abis itu saya istirahat.”
4.2.3. Pola Tidur
Sebanyak 24 riset partisipan memiliki jam tidur antara pukul
20.00 sampai 22.00. Keadaan desa yang sudah sepi jika malam
sehingga banyak warga yang memilih untuk cepat tidur. 4 riset
55
menonton malam dan susah tidur. 2 riset partisipan lain berumur lebih
dari 60 tahun dan memiliki gangguan tidur. Yang pertama bapak WP
tidur pukul 21.00, terbangun pukul 00.00 kemudian tidur lagi dan
terbangun pukul 03.00. Sering terbangun ini disebabkan karena kaget
meskipun sudah tertidur pulas. Yang kedua bapak RT, memiliki
gangguan tidur karena memiliki penyakit maag, sehingga sering
terbangun pukul 01.00 atau 02.00. setelah itu bisa tidur kembali dan
bangun pukul 04.00. karena memiliki gangguan tidur, riset partisipan
ini sering tidur siang sebanyak 2 kali yaitu pukul 09.00 dan pukul
15.00.
Semua riset partisipan memiliki jam bangun tidur paling
terlambat pukul 06.00 pagi, hal ini merupakan kebiasaan sejak dulu.
Pekerjaan yang dimulai setiap pagi mengharuskan mereka untuk
bangun lebih awal untuk melakukan aktivitas dirumah terlebih dulu sebelum melakukan pekerjaan harian. Dari 30 riset partisipan, 23 riset
partisipan bangun pagi pukul 05.00 dan 06.00, 6 riset partisipan
bangun pukul 03.00 dan 04.00 dan 1 riset partisipan terbangun pukul
01.00 atau 02.00 pagi karena memiliki penyakit maag.
Kualitas tidur merupakan rentang waktu antara tidur sampai
bangun tidur. Dari 30 partisipan, 21 patisipan memiliki jumlah waktu
tidur 7 sampai 8 jam, 6 partisipan memiliki jumlah waktu tidur 8,5
56
Untuk tidur siang, 28 riset partisipan jarang tidur siang karena
pekerjaan yang dilakukan juga pada siang hari sehingga untuk
melepas lelah hanya dengan duduk-duduk atau berbaring ditempat
kerja untuk sekedar beristirahat. Seluruh riset partisipan hanya tidur
siang jika sedang sakit. Berbeda halnya dengan 2 riset partisipan
yang telah berumur lebih dari 60 tahun, mereka sering tidur siang
setiap harinya karena memiliki gangguan tidur saat malam. Bapak
W.P misalnya, tidur kembali pukul 11.00 dan biasanya tidur selama
1-2 jam setelah melakukan kegiatan harian. Sedangkan bapak R.T tidur
siang sebanyak 2 kali yakni pukul 11.00 dan 15.00 namun lamanya
tidur tidak lebih dari 1 jam.
Adapun 28 riset partisipan lainnya memiliki gangguan tidur jika
sedang sakit sehingga tidur tidak nyenyak atau sering terbangun. Hal
57
05.30 7-8 Jarang tidur siang, kecuali sangat capek
58
20 WP 22.00 05.00 7 Tidak tidur siang kecuali sedang sakit. 21 MH 20.00 05.00 9 Tidak tidur siang, hanya istirahat
dengan duduk.
22 TE 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang
23 W 21.00 05.00 8 Tidur siang kecuali sedang capek.
24 RO 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang.
25 BM 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang, hanya
mengistirahatkan diri. 26 SD 21.00 03.00 atau 04.00 6-7 Tidak tidur siang
27 TT 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang
28 NT 22.00 atau 23.00 06.00 7-8 Tidak tidur siang
29 NY 21.00 06.00 9 Tidur siang sehari 2 kali
59 4.2.4. Aktivitas Fisik
Setiap riset pastisipan memiliki aktivitas fisik yang berbeda,
hal ini dikarenakan jenis pekerjaan yang dimiliki setiap riset partisipan
berbeda juga. Bagi yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri
kebanyakan hanya melakukan aktivitas ditempat kerja yakni di
sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga, sedangkan yang
lainnya memiliki aktivitas dirumah dan dikebun atau sawah.
Ada 27 riset partisipan bekerja sebagai petani. mereka sering
melakukan aktivitas dikebun dan disawah. Aktivitas ini dilakukan
setiap hari karena menjadi sumber pendapatan dan selain itu juga
aktivitas fisik ini menurut partisipan sudah merupakan bagian dari
olahraga yaitu menggerakan anggota tubuh. 3 partisipan lainnya
memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan
aktivitas di sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga.
Aktivitas yang dilakukan bermacam-macam, ketika disawah
atau dikebun mereka bekerja membersihkan rumput-rumput, jalan air
yang mengairi sawah. Letak kebun dan sawah yang jauh dari rumah
ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 2-3 km. Bagi 2 riset
partisipan yang tidak lagi melakukan aktivitas dikebun atau sawah,
setelah melakukan aktivitas di sekolah, mereka memilih beraktivitas
60
seperti rempah-rempah dan sayuran, dan melakukan pekerjaan
rumah seperti menyapu, membersihkan dalam rumah dan halaman
rumah, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang mengatakan: “Hoi, so jarang, sudah tidak lagi karena sudah banyak pekerjaan lagi yang
mo diselesaikan di sekolah to. Kalau dulu saya rajin mamancing, pulang
sekolah abis ba masak, sudah mo pi kebun kalo dulu. Sekarang banyak
pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan dirumah. Biasa orang datang dirumah
mo ba ambe data kong tidak ada kita, sedangkan itu bapak so datang ambe
dan so musti secepatnya mo diurus. Makanya so jarang lagi saya keluar.
Paling kalo libur sekolah saja, itupun cuma satu atau dua kali saja. Pokoknya
ma ade ini kalo mo pi kebun jarang. Pekerjaan saja yang dipake ba olahraga,
rupa ba kasi bersih rumah, pokoknya samua pekerjaan rumah, halaman, itu
saja so rasa capek so berat, lumayan pake olahraga, makanya so tidak pigi
di kebun.” (P4,27). Kegiatan inipun menurut mereka sangat membantu
dalam menggerakan anggota tubuh.
Untuk melihat jenis aktivitas fisik yang menjadi rutinitas dari
setiap riset partisipan melalui jenis pekerjaannya, dapat dilihat dalam
61
Table 4. Jenis Aktivitas Fisik.
No. Responden Pekerjaan Rumah Bekerja disawah Bekerja dikebun Bekerja di lahan sawit
62
Table 4.memperlihatkan bahwa seluruh riset partisipan
memiliki pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik cukup besar yang
dapat mempengaruhi kondisi tubuh. Dari hasil wawancara, aktivitas
fisik yang dilakukan oleh seluruh riset partisipan berpengaruh positif
pada kondisi kesehatan tubuh. Sebaliknya, jika tidak melakukan
aktivitas fisik yaitu hanya berdiam diri atau melakukan aktivitas yang
tidak mengeluarkan keringat, mereka akan merasa sakit seperti
pegal-pegal karena kurangnya gerakan tubuh seperti hasil
wawancara dengan ibu HB yang mengatakan: “Tidak. Kalo istrahat ini kan tidak kerja, tapi saya tidak bisa tidak kerja. Tetap ada saja mo dibuat.
Kalo so waktunya makan, pigi makan, ba kase bersih rumah. Semua dibuat.
Tidak mo saki bagitu. Biasa so dilupa itu sakit. Wancetu yau se’i to bere’e,
be bisa ku be’e molengko. Malahan kalo tidak buat apa-apa, itu saya rasa
tambah sakit.” (P18,11). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset
partisipan yang mengatakan bahwa aktivitas fisik memiliki pengaruh
yang baik bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya jika hanya berdiam diri tidak melakukan kegiatan fisik maka akan merasa seperti mau sakit.
4.2.5. Pengendalian Stres
Pengendalian stress merupakan cara yang dilakukan untuk
63
menenangkan pikiran jika terjadi suatu masalah. Melalui hasil
wawancara terhadap 30 riset partisipan, ditemukan cara
mengendalikan stress, yakni dengan menyibukan diri. Hal ini dilakukan
oleh semua riset partisipan untuk dapat mengalihkan dan merilekskan
pikiran selama beberapa waktu.
Dari hasil penelitian menurut 30 riset partisipan, pikiran sangat
berpengaruh terhadap munculnya suatu penyakit, khususnya terhadap
hipertensi, jika terlalu banyak beban pikiran dapat menimbulkan
gejala-gejala seperti pusing, sakit kepala, tegang batang leher yang dapat
mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Mengutip wawancara
dengan ibu YP misalnya, yang mengatakan: “Iyo, itu pokoknya saya, kalo banyak dipikir pokoknya nae tekanan. Buat pantangan saya patangan
memang, kuat pantangan saya, cuma saya dari dokter, memang dibilang
dokter saya sampai bagini tekanan-tekanan cuma karna pikiran saja bukan
karna salah makan. Saya tidak makan daging, cuma sayur rebus saja.”
(P17,30). Hal serupa juga disampaikan oleh bapak RT yang mengatakan: “Iyo bagitu, sampe sekarang. Soalnya to biasa juga kalo tidak
ada mama Ardi dirumah ada keluar begitu jadi biasa saya makan saja apa
yang ada to, biasa kalo ada yang ba acara lagi saya makan lagi. Bukan tidak
dimakan itu daging, kalo macam daging dicampur deng daun ubi bagitu to,
dimakan itu tapi sedikit-sedikit to. Hah, kemudian pikiran, biasa itu kalo terlalu
banyak dipikir to misalnya pekerjaan ini, ada beban pikiran pasti nae, hmm di
64
dipikir ini masalah, dulukan mengendalikan yang dipikir itu belum seperti
sekarang. lari sama mama mpado atau tidak ke Taripa.” (P3,9). Ini
menunjukan bahwa pikiran juga berpengaruh terhadap tekanan darah,
khususnya dengan orang yang memiliki hipertensi, pikiran yang berat
dapat dengan mudah langsung meningkatkan tekanan darah, sehingga
mengontrol pikiran dan emosi sangat penting untuk menjaga kestabilan
tekanan darah.
Beberapa cara yang dilakukan oleh riset partisipan dalam
mengontrol pikiran maupun emosi jika menghadapi suatu masalah
yakni, yang pertama meluapkan amarah jika terjadi suatu masalah. Hal
ini dilakukan oleh 24 riset partisipan, seperti dalam wawancara yang
dengan ibu EG misalnya, yang mengatakan: “Ba veto sampe puas,
soalnya kalo tidak abis, tidak enak saya rasa, jadi kase kaluar samua biar lega
to, enak hati tidak ada disimpan-simpan, pikiran juga, tidak ada dipikir-pikir.
Cuma paling tidak sampe 1 hari”. Hal serupa disampaikan juga oleh 24
partisipan bahwa dengan mengungkapkan emosi yang dirasakan
membantu melegakan hati sehingga tidak menjadi beban pikiran, hal
ini juga membantu menenangkan pikiran. Ada 6 riset partisipan memilih
diam dan melakukan aktivitas yang lain yaitu melakukan aktivitas fisik
seperti bekerja.
Untuk aktivitas yang berhubungan dengan pengendalian stress,
65
menyibukan diri dengan melakukan aktivitas fisik, interaksi sosial dan
istirahat atau tidur. Untuk aktivitas fisik seperti melakukan pekerjaan
dirumah, dikebun atau sawah dan melakukan hobi seperti memancing,
hal ini membantu mengalihkan beban pikiran karena kegiatan berpusat pada aktivitas fisik seperti yang dikatakan oleh ibu NT: “Kalo emosi juga
mo bikin banyak pikiran, tidak juga. Kemarin saya butuh uang 3 juta saya tidak
stres juga, yang penting dicari solusinya to. Kalo marah-marah juga tidak
terlalu. Cuma biasa yang bikin saya naik darah itu saya punya cucu yang
kembar itu malas mo mandi, dia itu. Tapi kalo so abis dikase mandi di kamar
mandi, sudah abis ulang kita pe marah yang penting dia mau mandi. Tapi kalo
mo ba veto-veto juga tidak. Pikiran itu pasti ada, tapi saya kalo sibuk, beh tidak
ingat lagi. So sibuk dengan cucu ba jaga, ba masak, pi kebun, setidaknya tidak
jadi beban begitu to kalo so ada dikerja“. Hal serupa juga disampaikan oleh
29 riset partisipan bahwa dengan melakukan kegiatan yang melibatkan
aktivitas fisik dapat mengalihkan pikiran-pikiran jika sedang mengalami
masalah tertentu.
Berinteraksi sosial yakni dengan teman atau tetangga
membantu juga dalam merilekskan pikiran karena dengan mengobrol
dapat membantu melupakan masalah untuk sementara waktu, seperti hasil wawancara dengan ibu PT: “Tidak ada, tidak ada. Babacirita itu saja.
Kalo so lama-lama ba cirita so dilupa ulang itu to, itu emosi tadi. Saya yang
penting teman ba cerita saja, so tidak di ingat-ingat lagi itu yang dimarah tadi,
66
lainnya dimana memiliki teman bercerita dapat mengurangi beban
emosi karena dapat membantu melupakan perasaan emosi tersebut
untuk sementara waktu.
Menenangkan pikiran juga dilakukan dengan Istirahat atau
hanya sekedar berbaring dikamar dan tidur, misalnya dalam wawancara dengan Ibu S yang mengatakan “Dulu itu kalau marah skali
to, ba veto. Tapi abis itu sudah, puas kalo dikase kaluar samua itu jengkel, kalo
so begitu saya so maso kamar, ba guling-guling, atau tidak ada-ada saja yang
mo dibuat to macam kase bersih halaman, atau pigi dimuka situ ba cerita
dengan tetangga. Lama-lama dilupa juga apa yang dimarah akan tadi
hahaha.” (P26,29). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan bahwa istirahat atau dengan berbaring dapat merilekskan
pikiran-pikiran.
Selain dari beberapa aktivitas diatas, ada 1 riset partisipan yang
menambahkan salah satu kegiatan dalam menenangkan pikiran yakni
dengan melakukan kegiatan spiritual seperti menyanyi lagu rohani dan berdoa, seperti dikatakan ibu AG dalam wawancara: “Ya itu, saya
mending menyanyi-menyanyi kidung rohani itu, mo sementara ba apa saya
pasti menyanyi itu. Naik motor juga begitu. Bagitu kita pe cara kalo supaya
tenang-tenang pikiran ini. Kalo so dirumah ada masalah saya maso dikamar
itu baca Alkitab, berdoa, sebelumnya saya menyanyi-menyanyi dulu. Begitu
saja. Kalo emosi memang so itu salah satunya, ya yang penting saya so
67
tenangnya nanti abis itu, yang penting emosi sudah keluar.“ (P4,22). Menurut
ibu AG, aktivitas rohani seperti menyanyi dan berdoa sangat membantu
untuk menenangkan pikiran setelah meluapkan emosi.
4.2.6. Penggunaan Ramuan dan Obat Medis
Ramuan merupakan jenis obat yang berasal dari buah-buahan
maupun tumbuh-tumbuhan yang diolah sedemikian rupa kemudian
dikonsumsi jika muncul gejala suatu penyakit tertentu. Dalam
masyarakat desa Poleganyara, penggunaan ramuan dalam
mengobati penyakit tertentu lebih banyak digunakan dari pada obat
dokter. Dari 30 riset partisipan, 23 riset partisipan menggunakan
ramuan jika muncul gejala hipertensi sedangkan 7 riset partisipan
lainnya tidak menggunakan ramuan tetapi obat dokter sebagai
pengobatan hipertensi.
Dalam mengkonsumsi ramuan, takaran yang digunakan dan
frekuensi setiap kali minum ramuan berbeda-beda. Kebanyakan dari
riset partisipan menggunakan takaran sendiri dalam jumlah bahan
yang digunakan, namun jumlah yang diminum dalam ukuran yang
sama yakni 1 gelas sekali minum.
a. Ramuan
Jenis ramuan yang digunakan oleh riset patisipan ada
68
yang mengkonsumsi ramuan sebagai pecegahan rehipertensi
menggunakan lebih dari satu jenis ramuan. Hal ini berdasarkan
jenis ramuan yang mudah didapatkan pada saat munculnya
gejala hipertensi.
Dari hasil penelitian terhadap 23 riset partisipan yang
mengkonsumsi ramuan, jenis ramuan yang digunakan adalah
daun balacai (daun jarak), daun sambiloto, balakama (daun
kemangi), daun papaya, mengkudu, daun salam, bawang putih,
daun sup, daun alpukat dan daun belimbing. Daun balacai dan
daun kemangi merupakan jenis ramuan yang paling sering
dikonsumsi oleh kebanyakan riset partisipan karena mudah
didapat dan mudah dalam pembuatan. Cara Pembuatan
Dalam hasil wawancara, tidak semua riset partisipan
mengatakan cara pembuatan dari beberapa ramuan yang pernah dikonsumsi dan hanya mengungkapkan cara
pembuatan dari jenis ramuan yang sering dikonsumsi yaitu
balacai, balakama, daun salam, sambiloto, daun belimbing,
daun papaya, daun sirsak, mengkudu.
Pada umumnya cara pembuatan ramuan oleh setiap
partisipan sama. Setiap jenis ramuan yang diketahui oleh 23
69
riset partisipan itu sendiri, namun ada beberapa riset
partisipan yang mendapat bantuan dari anggota keluarga
untuk membuat ramuan jika riset partisipan tidak mampu
membuatnya karena sedang sakit atau sedang mengalami
gejala penyakit yang terlalu berat.
Ada 2 riset partisipan memiliki perilaku tertentu
dalam mencegah rehipertensi selain mengkonsumsi ramuan
yaitu dengan memanfaatkan jenis bahan makanan tertentu
seperti bawang putih dan daun papaya. Bawang putih
digunakan lebih banyak dalam masakan seperti dalam
wawancara dengan bapak RT yang mengatakan: “Sering.Jangankan itu kalo pusing-pusing saja minum obat. Hah,
tapi kebanyakan anu, biasa minum ramuan anu itu, apa ini, itu
rumput-rumput dimasak nah itu cepat juga. Biasa juga bawang
putih. Kalo saya ba masak itu saya kase banyak itu bawang putih.
Kan bawang putih juga kase turun tekanan juga to“ (P3,11). Daun papaya dengan rasa pahit yang khas dipercaya juga dapat
menurunkan gejala hipertensi. Dilihat dalam wawancara
dengan bapak BK yang mengatakan : “Tidak ada saya kalo pake ramuan. Saya itu biasa rebus daun papaya dengan dimakan
daun pepayanya. Kalau itu kita makan cepat sekali. Tapi kalau
70
dia kan pahit, makanya bisa cuma direbus itu saya bisa makan, atau
dicampur disayur to. Begitu saja.”(P11,29). Menurut mereka hal ini berpengaruh terhadap pencegahan rehipertensi, dimana
71
Table 5. Cara Pembuatan Ramuan dan Frekuensi
No. Jenis Cara Pembuatan Frekuensi
1. Balakama (kemangi)
Ambil daun balakama secukupnya, dicuci bersih kemudian, disiram dengan air panas. Diamkan hingga hangat kemudian diminum.
1 gelas perhari
2 Daun balacai 3 lembar daun balacai, dicuci bersih, kemudian disiram dengan air panas, diamkan hingga hangat kemudian diminum.
1-2 gelas perhari
3 Daun sambiloto
Ambil 7 lembar daun sambiloto, dicuci bersih kemudian disiram dengan air panas, diamkan hingga hangat kemudian diminum.
1 gelas perhari
5 Daun salam Ambil 7 lembar daun salam, direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih di perkirakan tinggal 1 gelas. Dinginkan kemudian diminum.
1 gelas perhari
6 Daun pepaya Ambil 3 daun papaya kuning yang telah jatuh, rebus sampai mendidih, kemudian airnya diminum
1 gelas perhari
7 Daun sirsak daun sirsak, dicuci bersih kemudian direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih (diperkirakan tinggal 1 gelas)
1-2 gelas perhari
72 Frekuensi dan Alasan
Frekuensi mengkonsumsi ramuan dalam sehari diatur
oleh riset partisipan, sehingga frekuensi meminumnya ada
yang berbeda dan ada pula yang sama. Ramuan tersebut
hanya dikonsumsi ketika muncul gejala hipertensi sedangkan
jika gejala telah berkurang maka dihentikan mengkonsumsi
ramuan tersebut.
Frekuensi meminum ramuan tidak teratur karena
bergantung pada jenis ramuan yang diminum. Ada 1 jenis
ramuan yakni daun salam, yang jika diminum terlalu sering
dapat menurunkan darah secara siginifikan dan
menyebabkan darah rendah. Hal ini dialami oleh 2 riset partisipan, seperti yang disampaikan oleh ibu R: “Iyo sama
khasiatnya itu no. Cuma kalo daun salam kalo talalu sering diminum
jadi tiba-tiba turun saya pe darah. Waktu itu kan saya pi ba priksa
di bidan kancu dia bilang, kenapa ini ibu biasanya darah tinggi
sakarang tinggal 80 tekanan darahnya ibu. Sa baru ingat o iyo ada
jojo daun salam owi. 4 hari berturut-turut waktu itu saya minum itu
ramuannya daun salam. Makanya memang musti dikase berenti
kalo so kurang depe sakit.” (P2,54). Hal yang sama juga
disampaikan oleh ibu O bahwa jika mengkonsumsi daun
73
signifikan sehingga disarankan untuk menghentikan
konsumsi ramuan daun salam jika gejala hipertensi
berkurang. Frekuensi dari setiap ramuan dapat dilihat pada
table 4.4. Takaran
Takaran yang dimaksud adalah banyaknya jumlah
bahan yang digunakan dalam pembuatan ramuan dan
ukuran banyaknya yang diminum dalam sekali konsumsi.
Takaran ini berbeda untuk beberapa partisipan, ada yang
jumlahnya sama, ada yang jumlahnya berbeda. Namun untuk
setiap ramuan yang dibuat, 23 riset partisipan memiliki
ukuran konsumsi yang sama yakni 1 gelas untuk satu kali
minum.
Table 6. Takaran Jenis Ramuan
No. Jenis Ramuan Takaran
1. Mengkudu 3 biji
2. Balakama ( daun kemangi) 1 genggam
3. Daun balacai 3-5 helai
4. Daun belimbing 7 helai
5. Daun sambiloto 7 lembar
Berdasarkan hasil wawancara dengan 12 riset
partisipan menyebutkan takaran yang digunakan untuk
74
(kemangi), daun balacai (daun jarak), daun belimbing dan
daun sambiloto. Banyaknya daun yang digunakan untuk
setiap ramuan harus berjumlah ganjil. Hal ini berdasarkan
kepercayaan dari setiap riset partisipan. Jumlah yang
digunakan adalah 3 helai daun, 5 helai daun, 7 helai daun
dan seterusnya. Namun dari 23 partisipan mengatakan
hanya menggunakan 3 atau 7 helai daun dalam pembuatan
ramuan, sedangkan untuk kemangi jumlahnya segenggam.
Jumlah ini tidak berpengaruh terhadap manfaat yang
didapatkan oleh riset partisipan karena pada umumnya hasil
yang didapatkan setelah mengkonsumsi ramuan, 23 riset
partisipan mengatakan bahwa perasaan setelah
mengkonsumsi ramuan baik dan sangat berpengaruh untuk
mengurangi gejala hipertensi yang muncul.
11 riset partisipan lainnya hanya menyebutkan jenis
dan cara pembuatan ramuan tanpa menyebutkan jumlah
bahan yang digunakan. Namun secara keseluruhan 23 riset
partisipan yang menggunakan ramuan memiliki cara yang
75
a. Penggunaan Obat Medis dan Alasan
Dari 30 riset partisipan 7 riset partisipan hanya
mengkonsumsi obat sebagai pencegahan rehipertensi. Obat yang sering diminum adalah katopril. Adapun alasan
penggunaan obat karena sudah terbiasa sejak dulu dan
merasa lebih baik setelah minum obat, seperti dalam
wawancara dengan ibu AL mengatakan: “Ane da puramo nu
pakuli, malai mo yaku. Karna be bisa ane bere’e. matu’a mo wance’i.
japodo pakuli. Maeka ku yaku ane rata ju’a se’i. ane ramuan bere’e,
biasa mo pai pakuli, lese kuepe.” (Kalo sudah mau habis obat,
langsung saya pergi. Karena saya tidak bisa kalau tidak obat. Sudah tua begini hanya obat saja. Takut saya kalau penyakit ini kambuh. Kalo ramuan tidak ada, minum obat saja karena so bagus juga dengan obat saya rasa to).(P6,15).Hal serupa dikatakan oleh bapak WP: “Minum obat saja. Tidak ada minum-minum ramuan.
Dari dulu so dengan obat soalnya to, jadi saya minum obat terus.”
Alasan lainnya yaitu karena tidak mampu mengkonsumsi
ramuan seperti yang dikatakan oleh ibu BT: “Bere’e japodo
pakuli setu. Ane re’e bara nja, ja pakuli ungkari Puskesmas. Ane
76
partisipan yang hanya menggunakan obat jika mengalami
hipertensi.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui
bahwa ketujuh riset partisipan bergantung pada obat karena
telah memiliki kepercayaan dan perasaan yang lebih baik jika
mengkonsumsi obat.
4.2.7. Merokok dan Alkohol
Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset partisipan,
terdapat 7 riset partisipan yang memiliki kebiasaan merokok sekaligus
konsumsi alkohol sedangkan 23 riset partisipan lainnya pernah
mengkonsumsi alkohol.
a. Merokok
Dari hasil penelitian kepada 30 riset partisipan, terdapat 7
partisipan yang hanya terdiri dari pria ini memiliki riwayat merokok.
Perilaku ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan
memiliki riwayat merokok yang cukup berat seperti menghabiskan
beberapa bungkus rokok dalam sehari, misalnya dalam wawancara dengan bapak RT yang mengatakan: “Bukan tanya
berapa batang tanya berapa bungkus. HahahahhaPapa ade, ya
3bungkusan lah dulu itu 1 hari hahaha, pernah kiss dulu itu, mama ade
77
Saya tidak bisa tidak minum kopi, sakit saya punya kepala itu. Tapi saya
heran juga, saya dulu disuruh dokter merokok, waktu tekanan darahku
200. Saya ingat waktu saya mo pigi KKN to disuruh merokok.” (P3,56).
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 riset partisipan,
mereka tidak lagi memiliki kebiasaan merokok sejak mendapat
hipertensi. Kebiasaan ini berhenti karena mereka menyadari akan
bahayanya terhadap kesehatan serta pengaruhnya terhadap
keuangan, seperti dalam wawancara berikut dengan bapak IM
yang memiliki pendapat yang sama dengan 6 riset partisipan lainnya, mengatakan: “Kesehatan juga. Tapi memang so berenti
merokok karena sadar juga cuma abis doi disitu saja, sedangkan ini kerja
cari doi susah (sambil tertawa) depe mama juga so kase-kase larangan
to brenti jo merokok supaya sehat juga dirumah.” (P12,30).
Selain dari ketujuh riset partisipan yang memiliki riwayat
merokok, 23 riset partisipan lainnya yang tidak memiliki riwayat
merokok mempunyai pendapat tentang merokok dimana merokok merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu kesehatan
seperti wawancara dengan ibu AL yang mengatakan: “Nje, be lese.
Tidak bagus untuk kesehatan to, ngkaimu setu nanginu pa nu saguer.
Tapi saya tidak. Cuma laki-laki disini yang merokok to. Cuma itu, saya
sesak kalau ada asap rokok dirumah, makanya saya suruh dorang kalo
ba rokok sana di teras. Kalo saguer waktu masih muda pernah minum
78
wancetu.” (ah, tidak bagus untuk kesehatan, kakek yang masih minum saguer. Tapi saya tidak. Hanya laki-laki disini yang merokok. Cuma saya ssesak kalo ada asap rokok di rumah makanya saya suruh kalau ada yang merokok di teras. Kalau saguer pernah minum waktu masih muda, kalau sekarang tidak pernah lagi) (P6,34). Hal serupa juga disampaikan oleh 22 riset partisipan yang mengatakan bahwa merokok merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu
kesehatan.
b. Konsumsi Alkohol
Ada 7 riset partisipan yang memiliki riwayat alkohol yang
telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun setelah
mendapat hipertensi 7 riset partsipan tersebut telah mengurangi
konsumsi alkohol dimana mereka hanya mengkonsumsi alkohol
hanya dalam waktu tertentu seperti dalam acara keluarga,
syukuran desa dan Desember ketika natal. Banyaknya minuman
yang diminumpun dikurangi hanya 1-3 gelas.
Ada 4 riset partisipan yang terdiri dari wanita, masih
mengkonsumsi alkohol untuk membantu tidur maupun hanya
sekedar minum. Banyaknya minuman yang diminum hanya 1-3
gelas, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang
79
Cukup 2 gelas saguer biasa saya minum cuma mo kase tidur saja.”
(P4,25). Hal serupa juga disampaikan oleh 3 riset partisipan yang lain bahwa mengkonsumsi alkohol hanya untuk sekedar minum
dan membantu untuk dapat tidur. Konsumsi alkohol yang
dilakukan oleh 11 riset partisipan ini tidak mempengaruhi tekanan
darah secara signifikan karena mereka mampu mengontrol jumlah
minuman yang diminum. Berbeda halnya dengan 19 riset
partisipan lainnya yang tidak mengkonsumsi alkohol. Mereka
pernah mencoba sekali untuk minum alkohol jenis saguer namun
berhenti minum karena tidak menyukai rasa dari saguer.
Jenis alkohol yang sering dikonsumsi adalah bir dan
saguer. Bir hanya didapatkan dalam acara tertentu seperti natal,
sedangkan saguer merupakan jenis alkohol, berasal dari pohon
aren, diolah sendiri oleh beberapa penduduk desa yang dengan
mudah didapatkan sehingga saguer menjadi minuman yang
80 4.2.8 Perubahan Perilaku
Pada umumnya penyakit hipertensi yang dialami oleh seluruh
partisipan disebabkan oleh perilaku yang dilakukan sejak masih muda. Perilaku ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan
tanpa mengetahui konsekuensi dari perilaku tersebut, seperti yang
diungkapkan oleh bapak RT yang mengatakan “Paling tinggi 140 normal
130 pernah 150 waktu nae tekanan to karna makan coto sapi nah disitu saya
nae tekanan dengan sering juga itu lalu daging kambing. Tapi dulu kan tidak
ditahu to, ini so ditahu hahaha” (P3,25). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 partisipan yang lain bahwa sebelumnya tidak mengetahui bahwa
mereka memiliki kebiasan yang dapat meningkatkan tekanan darah,
dimana umumnya sering mengkonsumsi makanan asin dan daging
yang dapat menyebabkan hipertensi.
Setelah mengetahui konsekuensi dari kebiasaan konsumsi yang
dilakukan, seluruh partisipan mengalami perubahan perilaku sebagai
respon untuk mengurangi rehipertensi. Tidak semua partisipan
menjelaskan tentang respon terhadap perubahan perilaku yang
dilakukan. Beberapa alasan perubahan perilaku ini terjadi karena
partisipan tidak ingin merasakan rasa sakit yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu EG mengatakan, “hahaa, itu lagi. Tapi kalo daging sapi, so tako-tako. Tapi kalo
coba-81
coba. Pernah saya lupa huh tidak enak butul saya punya kepala ini, kandati
tidur nyenyak klo datang depe sakit itu ta bangun. So stop butul, kong musti
dicek itu daging memang yang mo dimakan” (P1,29). Hal serupa juga
disampaikan oleh 6 partisipan yang lain bahwa rasa sakit yang diderita
akibat hipertensi memberikan dampak psikis yakni rasa sakit yang
ditimbulkan dari penyakit hipertensi terus diingat oleh partisipan,
alasan lain yaitu keterbatasan aktivitas yang dapat mengganggu
pekerjaan. Selain itu, 3 partisipan lain menambahkan bahwa mereka
merasa takut jika sampai terkena stroke akibat tingginya tekanan
darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu NK yang mengatakan “Apalagi RW, jangan bilang mo makan, eeee, tidak saya tidak makan itu, tidak
mau. Makanya orang bilang nene Kede tidak makan daging yau? Saya bilang
orang tidak mo mati kalau tidak makan daging. So panyakit ini yang dijaga,
saya so rasa saya pe panyakit ini. Apalagi kalo tekanan bisa sampe stroke,
dulu kan begitu, huh, jangan sampe, so itu yang dijaga ini.” (P8,29). 4 lainya
mengungkapkan adanya keterbatasan aktivitas fisik jika sakit dan
pekerjaan menjadi terbengkalai, seperti yang diungkapkan oleh ibu NT
mengatakan, “Iyo, jadi memang kalo so rasa-rasa mo muncul lagi to, so ada
obat yang disimpan, saya so beli memang sama mama Pado itu. Oh musti
cepat dicegah itu, sabantar be’e bisa wo’u da molengko, be mewali ba nja
napowia” (jadi jika gejala muncul ada persediaan obat saya beli sama mama
82
partisipan lainnya mengungkapkan bahwa pentingnya perubahan
perilaku untuk menjaga kesehatan karena partisipan memiliki penyakit
jantung sedangkan satu partisipan lain mengatakan bahwa pentingnya
hal tersebut agar masih bisa menikmati hidup.
Dari 30 partisipan, tidak semuanya mengungkapkan tentang
perubahan perilaku. ada 8 partisipan yang mengungkapkan tentang
perubahan perilaku didapatkan melalui pengetahuan yang dimiliki,
yakni pengetahuan yang didapatkan dari petugas kesehatan seperti yang diungkapkan oleh ibu PT yang mengatakan “Ada juga, seperti
kurangi makan garam itu lalu dibilang dokter di Taripa, kurangi yang ba
baminyak, diperhatikan jam tidor jang talalu larut. Banyak pikiran, yang kayak
begitu di kasi tahu, so tahu jadi memang so musti dijaga betul to biar jangan
sakit lagi. Cuma biasa juga kalo disebabkan yang lain-lain rupa pikiran juga
biasa bisa muncul itu tekanan. Makanya diusahakan, itu yang sulit biasa to.”
(P5,66), selain itu 7 partisipan mengungkapkanbahwa pengetahuan
didapatkan dari sesamayakni melalui pengalaman orang lain dengan penyakit hipertensi, seperti yang diungkapkan oleh ibu “Saya tidak rebus
o, Cuma saya kuca bagini (sambil memperagakan mengucek), cuci dengan
air dingin yang so masak sampe bersih, diperas, baru saya ramas ulang
dengan airpanas dengan depe getah itu, kan depe getah yang bikin cepat itu.
Kan nanti airnya ba putih-putih karna ada depe getah. Tua onal itu yang kasi
83
mereka mendapatkan informasi melalui sesama yang sama-sama
memiliki hipertensi, biasanya ketika kumpul tetangga saling berbagi
84
4.3. Pembahasan
Untuk menjawab tujuan penelitian dari perilaku pencegahan
rehipertensi di desa Poleganyara, peneliti menggunakan beberapa teori
untuk mendukung pembahasan riset partisipan yang terdiri dari 30
orang dimana dari hasil penelitian ini didapatkan perilaku mengenai
pencegahan rehipertensi.
4.3.1. Upaya Pengecekan Tekanan darah
Upaya pengecekan tekanan darah merupakan salah satu
pencegahan rehipertensi yang dapat dilakukan. Adapun upaya
pengecekan tekanan darah meliputi beberapa hal yakni frekuensi,
tempat dan nilai tekanan darah.
Frekuensi dilihat dengan seberapa sering penderita hipertensi
mengukur tekanan darah yang bertujuan agar penderita hipertensi
dapat mengetahui kondisi tekanan darahnya pada satu waktu. Dari
hasil penelitian, frekuensi ini dipengaruhi oleh seberapa sering
hipertensi kambuh, dalam artian bahwa frekuensi pengukuran
tekanan darah disesuaikan dengan saat munculnya gejala hipertensi. Dari 30 riset partisipan, 28 partisipan mengakui frekuensi pengukuran
darah 1 sampai 3 bulan sekali sedangkan 2 riset partisipan lainnya
85
Dari frekuensi ini juga dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui
seberapa sering hipertensi muncul.
Tempat pengukuran tekanan darah dilakukan di pusat layanan
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, maupun pada petugas
kesehatan yang memiliki alat untuk mengukur tekanan darah seperti
mantri dan bidan. Dari hasil penelitian, tempat pengukuran tidak
mempengaruhi pencegahan rehipertensi, hanya sebagai sarana
dalam melakukan pengecekan tekanan darah.
Dalam penelitian ini, nilai tekanan darah yang dimaksud
adalah berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh riset partisipan
saat awal mendapatkan hipertensi, yaitu berdasarkan pengakuan dari
setiap riset partisipan saat wawancara yang didukung dengan data
Puskesmas dan pengukuran nilai tekanan darah yang dilakukan oleh
peneliti sebelum memulai wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk melihat kondisi tekanan darah setelah riset partisipan melalui proses
tindakan pencegahan hipertensi yang telah dilakukan. Selain itu, nilai
tekanan darah ini sangat penting agar penderita hipertensi
mengetahui batasan nilai tekanan darah normal maupun tinggi.
Semua riset partisipan memiliki nilai tekanan darah yang
normal saat dilakukan pengukuran tekanan darah sebelum
86
tindakan pencegahan hipertensiterhadap stabilnya kondisi tekanan
darah.
Berdasarkan hasil penelitian, upaya pengecekan tekanan
darah berpengaruh dalam pencegahan rehipertensi karena dengan
mengetahui nilai tekanan darah dapat mempengaruhi psikologis dari
penderita hipertensi. Menurut National Center for Chronic Disease
Prevention and Health Promotion(2015), pentingnya untuk mengukur
tekanan darah secara rutin karena tekanan darah tinggi dapat muncul
sewaktu-waktu tanpa peringatan mengenai tanda dan gejala yang
muncul. Untuk frekuensi dilakukannya pengukuran hanya jika
merasakan gejala hipertensi yang muncul.
4.3.2. Pola Konsumsi
Pola konsumsi merupakan kebiasaan dalam mengatur
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pada mereka yang memiliki
hipertensi, pola konsumsi ini mengalami perubahan yaitu dengan
membatasi bahan dan jenis makanan yang menurut mereka dapat
menyebabkan hipertensi. Adapun pola konsumsi yang didapatkan
dari hasil penelitian ini meliputi sayuran dan buah, daging serta
penggunan garam dan MSG. Penelitian menunjukan bahwa pola
87
meningkatkan konsumsi buah dan sayuran dapat mengurangi risiko
hipertensi (Lelong.et al, 2014).
a. Konsumsi Garam
Dari hasil penelitian, seluruh partisipan menyukai rasa asin
dalam mengkonsumsi makanan, dimana hal ini berlangsung
sebelum mendapatkan hipertensi. Setelah mendapatkan
hipertensi 29 dari 30 partisipan mengurangi takaran konsumsi
garam sedangkan 1 partisipan masih mengkonsumsi garam
seperti biasa tanpa mengurangi jumlah yang dikonsumsi.
Mengurangi konsumsi garam ini dilakukan secara terus
menerus hingga terbiasa, bahkan kadang 7 partisipan tidak
menggunakan garam sama sekali pada makanan yang
dikonsumsi. Menurunkan jumlah konsumsi garam ini dapat
menurunkan risiko hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Frisoli,TM., et.al. (2012) bahwa mengurangi
konsumsi garam dapat mengurangi risiko hipertensi dan penyakit
jantung lainnya serta membantu penderita hipertensi yang sedang
menjalani terapi pengobatan hipertensi untuk menjaga tekanan
darah tetap stabil.
b. Konsumsi MSG
MSG (monosodium glutamate) merupakan bumbu penyedap
88
bahan makanan. Adapun jenis MSG yang sering digunakan yaitu
masako dan vitsin, dimana semua partisipan pernah
menggunakannya dalam masakan dengan takaran yang
berbeda-beda, disesuaikan dengan banyak sedikitnya makanan yang
dimasak.
Dari hasil penelitian seluruh partisipan membatasi
penggunaan MSG dalam campuran masakan setelah
mendapatkan hipertensi. Dari 30 partisipan, 14 diantaranya tidak
lagi menggunakan MSG dalam masakan sedangkan 16 partisipan
lainnya masih menggunakan MSG sebagai pelengkap masakan
dengan takaran yang dikurangi. Ini bertujuan untuk menghindari
peningkatan tekanan darah.
Mengurangi atau menghindari penggunaan MSG dapat
membantu mencegah hipertensi. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Bruce, Neal (2006) tentang adanya pengaruh MSG
dengan risiko peningkatan tekanan darah yang dapat
menyebabkan hipertensi dan sebaliknya, mengurangi
penggunaan MSG dapat menurunkan risiko hipertensi. Hal serupa
juga disampaikan oleh Shi, et al (2011), dalam penelitiannya pada
1227 pria dan wanita China yang mengkonsumsi MSG dalam
jumlah yang cukup banyak, secara signifikan meningkatkan
89
peningkatan tekanan darah yang disebabkan MSG berlangsung
lebih cepat.
c. Konsumsi daging
Di desa Poleganyara, daging merupakan jenis makanan yang
cukup sering ditemui dalam acara-acara yang diadakan di desa
baik acara yang bersifat kerohanian maupun seperti pesta
pernikahan. Berbeda dalam mengkonsumsi dengan olahan
sendiri dirumah, daging jarang ditemukan dalam menu makanan
setiap hari, selain harganya yang cukup mahal,juga ketersediaan
daging yang hanya ditemukan pada waktu-waktu tertentu jika
dilakukan pemotongan, karena kebanyakan daging berasal dari
hasil ternak penduduk desa.
Frekuensi mengkonsumsi daging bisa mencapai satu atau
dua kali dalam seminggu. Hal ini dipengaruhi jika ada acara-acara tertentu yang diselenggarakan di desa, meskipun terkadang juga
dalam beberapa minggu tidak mengkonsumsi daging, namun hal
ini biasanya jarang terjadi. Dalam penelitian ini, frekuensi
mengkonsumsi daging tidak memiliki pengaruh yang cukup
signifikan karena selain tidak dikonsumsi setiap hari, partisipan
lebih pada membatasi jumlah konsumsi daging.
Terdapat perbedaan jumlah konsumsi daging sebelum dan
90
membatasi jumlah konsumsi daging menjadi lebih sedikit
dibandingkan konsumsi daging sebelum menderita hipertensi
yang bertujuan untuk mencegah kambuhnya hipertensi.
Pengurangan jumlah konsumsi daging ini memberi dampak positif
dalam usaha mencegah hipertensi.Hal ini sejalan dengan
penelitian Miura,et.al (2004) bahwa mengurangi konsumsi daging
(kecuali ikan) dapat menurunkan risiko hipertensi.
Jenis daging yang sering dikonsumsi yaitu daging babi,
daging sapi, daging kelelawar, daging anjing dan daging ayam.
Menurut partisipan jenis daging ini dapat menyebabkan hipertensi
jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al (2008), bahwa daging
merah dapat meningkatkan risiko hipertensi (tidak termasuk jenis
unggas).
d. Konsumsi sayuran dan buah-buahan
Dari hasil penelitian, jenis makanan yang sering dikonsumsi
setiap hari merupakan jenis makanan yang mudah ditemukan.
Karena letak desa yang jauh dari pasar maka variasi jenis
makananpun terbatas. Jenis makanan yang paling banyak
dikonsumsi yaitu sayuran seperti daun singkong, kol, daun dan
bunga papaya, kacang panjang, buncis, labu siam, bayam, sawi,