• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENERAPAN STRATEGI THE FIRING LINE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENERAPAN STRATEGI THE FIRING LINE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh

HAFIZAH DELYANA 1201459

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA

(2)
(3)

Oleh Hafizah Delyana

S. Pd. Universitas Negeri Padang. 2011

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan (M. Pd.)

pada Program Studi Pendidikan Matematika

Hafizah Delyana

Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2014

(4)

Penelitian ini bertujuan mengkaji masalah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa sebelum dan setelah memperoleh pembelajaran the firing line dan konvensional, serta melihat disposisi matematis setelah pembelajaran the firing line. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen dan populasi siswa kelas VIII di SMPN 7 Padang. Sampel terdiri dari dua kelas yang dipilih secara purporsif yaitu kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional dan kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran the firing line. Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini ialah instrumen tes kemampuan komunikasi matematis dan skala disposisi matematis. Analisis data yang digunakan adalah uji perbedaan rataan dua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran the firing line lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, (2) disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran the firing line berbeda dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

(5)

ABSTRACT

The purposes of this research were to improve the ability of students in mathematical communication which they get Firing Line learning, and assessing the improvement of students’ mathematical disposition after apply the Firing Line and conventional learning. This research is a quasi experiment with design group control non-equivalent. The population of this research is class VIII SMP which one of the junior school in Padang. The class selected as a control group who obtain conventional learning and the other classes as the experimental group gained the firing line learning. The instrument used to collect data in this study consisted of test, scale mathematical disposition, and observation sheets.Then, test will be analysed with the SPSS 17. The results of this research are, (1)the ability of student’s mathematical communication who get the Firing Line learning is better than students who get conventional learning, (2) the students’s mathematical disposition who get the Firing Line is better than students who get conventional learning.

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Matematika diajarkan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA sampai ke beberapa fakultas di perguruan tinggi. Dengan demikian, sangat diharapkan peserta didik menguasai dan termotivasi untuk belajar matematika, yang akan sangat membantu mereka untuk lebih memudahkan memahami ilmu-ilmu lain. Matematika merupakan ilmu dasar yang memegang peranan penting dalam membentuk pola pikir peserta didik. Mengingat pentingnya pengajaran matematika, guru harus mampu mendidik dan melatih siswa dalam belajar agar tujuan matematika di sekolah dapat tercapai. Sebagai seorang pendidik, guru harus mampu memotivasi dan membuat siswa senang belajar matematika yang pada akhirnya hasil belajar matematika akan meningkat.

Tujuan pendidikan dalam mengembangkan kemampuan peserta didik akan dicapai oleh proses pembelajaran. Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan matematis siswa. Kemampuan matematis siswa sebaiknya sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi; (2) belajar untuk bernalar; (3) belajar untuk memecahkan masalah; (4) belajar untuk mengaitkan ide; dan (5) belajar untuk merepresentasikan ide-ide.

(7)

untuk membekali peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Depdiknas, 2006). Kurikulum yang disusun juga sudah memperhatikan aspek pengembangan kemampuan komunikasi matematis dan aspek-aspek pengiring yang ditimbulkan dalam pembelajaran matematika. Adapun tujuan mata pelajaran matematika untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa mampu:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).

(8)

Pendapat tentang pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika diusulkan NCTM (2000) yang menyatakan bahwa program pengajaran matematika sekolah yang baik harus menekankan siswa untuk :

1. Mengatur dan mengaitkan mathematical thinking mereka melalui komunikasi. 2. Mengkomunikasikan dan menilai mathematical thinking mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang lain.

3. Menganalisis dan menilai matematika dan strategi yang dipakai orang lain 4. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekpresikan ide-ide matematika

secara benar.

Kemampuan komunikasi matematis perlu terimplementasi dalam ide, gagasan dan konsep matematis sehingga akan berakibat pada pembentukan pemahaman dan komunikasi matematis. Baroody (Ansary, 2003) menyatakan bahwa paling tidak ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan. Pertama, matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, akan tetapi matematika juga merupakan suatu alat yang tidak ternilai untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas. Kedua, pembelajaran matematika merupakan aktivitas sosial dan juga sebagai wahana interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Baroody, NCTM (2000) juga menyatakan pentingnya kemampuan mengkomunikasikan ide mengenal matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi yang merupakan salah satu dari daya matematik.

(9)

memahami tentang apa yang tidak dimengerti oleh siswa. Guru akan lebih percaya diri dalam mengenali kemampuan siswa ketika mempersiapkan soal tes dan dapat menunjukkan pemahaman yang benar tentang konsep.

Sehubungan dengan hal di atas, Sumarmo (2010) memaparkan ciri khas keterampilan komunikasi matematis yang hendaknya dikembangkan dalam pembelajaran yaitu, agar siswa dapat: (1) menghubungkan materi fisik atau benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematis; (2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematis secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari ke dalam bahasa atau simbol matematis; (4) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika; (5) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematis tertulis; (6) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; dan (7) menjelaskan dan membuat pernyataan tentang matematika yang telah dipelajari.

Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia juga diperlihatkan oleh hasil penelitian internasional seperti pada Programme for International Student Assesment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). PISA (2009) menyebutkan bahwa kemampuan siswa SMP Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal masalah matematis sangat lemah. Penelitian PISA ini bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa yang duduk diakhir tahun pendidikan dasar telah menguasai pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan TIMSS bertujuan untuk menguji beberapa kemampuan matematis siswa kelas empat Sekolah Dasar dan kelas delapan Sekolah Menengah Pertama yang meliputi kemampuan pengetahuan, penerapan, penalaran dan komunikasi.

(10)

memprihatinkan kalau dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Singapura (peringkat ke-2), China (peringkat ke-3), Korea (peringkat ke-4) dan Jepang (peringkat ke-9), masing-masing dengan skor rata-rata kemampuan matematisnya di atas 500. Selain itu, PISA tahun 2009 juga menunjukkan rendahnya kemampuan matematis siswa Indonesia jika dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Terkait dengan kemampuan komunikasi matematis siswa, TIMSS (Kemendiknas, 2011) menyampaikan bahwa siswa kita lemah dalam mengerjakan soal-soal yang menuntut berargumentasi dan berkomunikasi. Hal ini dicontohkan dalam soal berikut ini:

Gambar 1.1

Soal Komunikasi Matematis TIMMS

(11)

menyebabkan keadaan tersebut adalah kurangnya pengalaman belajar siswa yang melibatkan kemampuan komunikasi secara maksimal yang berasal dari pemikiran mereka.

Hasil laporan PISA, TIMSS dan beberapa penelitian sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih tergolong rendah. Meskipun hal tersebut bukan merupakan alat ukur mutlak bagi keberhasilan pendidikan Indonesia, tetapi hal tersebut dapat dijadikan sebagai evaluasi untuk memotivasi berbagai pihak dalam dunia pendidikan agar prestasi belajar siswa di Indonesia dapat ditingkatkan khususnya dalam pelajaran matematika.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi siswa belum berkembang dengan baik. Pembelajaran matematika bersifat klasikal yaitu guru masih menggunakan metode ceramah tanpa banyak melihat kemungkinan penerapan metode lain yang sesuai dengan jenis materi, bahan dan alat yang tersedia. Rangkaian kegiatan pembelajaran yang terjadi di kelas menyebabkan siswa hanya menghafal rumus dan langkah-langkah pengerjaan soal tanpa melibatkan kemampuan komunikasi yang optimal. Jika siswa diberikan permasalahan diluar konteks yang diajarkan, maka siswa merasa bingung karena tidak bisa mencari alternatif penyelesaian yang lain. Hal ini disebabkan siswa tidak terbiasa dalam mengerjakan soal-soal atau permasalahan yang tidak rutin.

(12)

dalam penelitian ini masih berada pada kategori sedang. Hal ini, mungkin terjadi karena pembelajaran yang dilakukan belum cocok dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Sehingga, perlu dicoba strategi pembelajaran aktif yang lain.

Menurut Ruseffendi (1982) salah satu penyebab hasil belajar matematika siswa yang rendah terletak pada proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas, yakni guru menyajikan materi pelajaran dalam bentuk informasi dan tugas-tugas rutin. Akibatnya, pembelajaran menjadi kurang bermakna, tidak menarik minat dan tidak membangkitkan motivasi serta tidak mengembangkan pola pikir siswa dalam belajar. Disamping itu, siswa juga belum mampu mengkomunikasikan ide-ide dan gagasan mereka ke dalam bentuk bahasa dan simbol matematika yang diinginkan.

Selain permasalahan yang diuraikan di atas, menurut Syaban (2009) kurangnya rasa percaya diri, keingintahuan, dan keinginan siswa untuk berbagi dengan siswa lainnya juga terlihat selama proses pembelajaran. Padahal sikap tersebut merupakan faktor yang dapat mendukung seseorang untuk dapat berpikir secara logis dan sistematis dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa memandang dan menyelesaikan masalah; apakah percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir terbuka untuk mengeksplorasi berbagai alternatif strategi penyelesaian masalah.

(13)

perhitungan secara langsung tanpa mencoba memahami terlebih dahulu maksud yang diinginkan soal. Oleh karena itu, guru harus mampu memberikan pengalaman belajar yang baik pada siswa Untuk meningkatkan disposisi matematis.

Disposisi matematis berkembang tidak hanya secara eksplisit tetapi terintegrasi dalam pembelajaran matematika. Menurut Mulyana (2004) disposisi matematika siswa berkembang ketika mereka mempelajari aspek kompetensi lainnya. Sebagai contoh, ketika siswa membangun strategic competence dalam menyelesaikan persoalan nonrutin, sikap dan keyakinan mereka sebagai seorang pelajar menjadi lebih positif. Siswa membutuhkan kesabaran dan kegigihan dalam membangun strategic competence tersebut. Hal ini sesuai dengan Kilpatrick (2001) yang menyatakan bahwa disposisi matematika siswa merupakan faktor utama dalam menentukan kesuksesan pendidikan mereka.

Maxwell (2001) menyatakan bahwa disposisi tidak dapat dengan mudah dinilai tetapi secara intrinsik terkait dengan pembelajaran. Jika guru di sekolah menengah dapat membantu kompetensi matematika siswa melalui menggabungkan disposisi ke dalam proses pembelajaran, maka siklus negatif dalam pembelajaran matematika beberapa siswa dapat rusak, dampaknya siswa dapat menganggap matematika sebagai bagian yang menyenangkan dan berharga dari hidup mereka. Hariwijaya (2009) menambahkan bahwa anak yang mahir bermatematika memiliki beberapa potensi, yaitu menguasai konsep matematika, penalaran yang logis, dan positive disposition, yaitu sikap yang menunjukkan bahwa matematika bermanfaat dalam kehidupannya. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki disposisi matematis yang baik akan memiliki pemahaman matematis yang baik pula.

(14)

berminat, dan berfikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dalam konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide–ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah. Sejalan dengan pendapat tersebut, Noer (2011) mengatakan bahwa jiwa positif dapat memecahkan berbagai masalah serta mencerahkan suasana. Magnet kekuatan positif dapat menarik kegembiraan, kesenangan, keberhasilan, stamina, semangat, optimisme, dan berbagai nilai kepositifan lain dari dalam diri. Kepositifan yang dimiliki oleh seorang guru akan berefek kuat kepada siswanya dan semua yang ada dalam sekolah, seperti tugas rutinitas, problematika pendidikan, dan lain sebagainya. Semakin positif pikiran dan hati, niscaya semakin sehat, bahagia, nyaman, sukses dan berhasil pula dalam kehidupan. Ada empat hal penting dalam penanaman rasa kepositifan dalam diri, yaitu berpikir positif, berhati positif, bertutur kata positif, dan bertindak positif.

Disamping itu, Sumarmo (2012) sepakat dengan butir (5) dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, yang juga menekankan ranah afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika. Pembinaan komponen ranah afektif siswa dalam pembelajaran matematika memerlukan disposisi matematis, yaitu keinginan, kesadaran, dedikasi dan kecendrungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematis dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan akhlak mulia. Oleh karena itu, disposisi matematis merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan belajar siswa. Siswa memerlukan disposisi matematis untuk mampu menghadapi masalah, mengambil tanggung jawab, dan mengembangkan kebiasaan kerja yang baik dalam belajar matematika.

(15)

menarik. Erita (2009) mengemukakan bahwa guru cenderung mengajarkan siswa belajar dengan cara menghafal. Hal tersebut juga didukung oleh hasil observasi yang peneliti lakukan yakni guru cenderung hanya menyampaikan secara informatif materi yang ada di dalam buku paket.

Kebiasaan–kebiasaan yang dilakukan dapat menentukan kesuksesan yang akan dicapai individu. Kebiasaan–kebiasaan positif yang dilakukan memiliki potensi untuk membentuk kemampuan–kemampuan positif. Kemampuan positif juga dapat terjadi dari proses pembelajaran yang diikuti dengan semangat positif. Semangat positif akan menarik sebanyak mungkin nilai–nilai positif dalam kelas, sekolah, siswa, dan sesama rekan. Semangat positif tersebut juga harus diperoleh dari diri sendiri sebelum orang lain memberikan pengaruh positif kepada diri kita. Pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran aktif (active learning) yakni the firing line dapat membantu siswa dalam melatih keterampilan sosial siswa seperti bertanya, berpendapat, dan mendorong siswa yang pasif untuk berkontribusi aktif di dalam kelas serta menumbuhkan sikap-sikap positif siswa selama proses pembelajaran. Pernyataan di atas diperkuat oleh Vygotsky (Ackerman, 1996) yang menyatakan bahwa interaksi sosial sangat penting dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan pendapat Vygotsky, Suherman (2003) juga menyebutkan bahwa kondisi pembelajaran dengan kelompok kecil ini menonjolkan interaksi dalam kelompok, sehingga terjadi komunikasi antarsiswa terutama dalam menyelesaikan suatu masalah.

(16)

mengerti dengan jawaban yang diberikan. Siswa akan membentuk kelompok-kelompok kecil, dimana dalam kelompok-kelompok ini mereka akan saling berbagi pengetahuan dan bekerja sama. Disamping itu, siswa juga dituntut untuk mampu mempresentasikan ide dan jawaban mereka di depan siswa lainnya. Proses pembelajaran yang menggunakan strategi ini berpengaruh terhadap disposisi matematis yang dimiliki siswa.

Beberapa penelitian membukikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu dalam proses belajar mengajar. Dalam penelitian yang dilakukan Polio (1984) terlihat bahwa siswa hanya memperhatikan pembelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang disediakan. Disamping itu, penelitian yang dilakukan McKeachie (1986) menyatakan bahwa dalam 10 menit pertama perhatian siswa dapat mencapai 70% dan berkurang menjadi 20% pada 20 menit terakhir. Kondisi di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di dalam kelas. Hal ini menyebabkan siswa mengalami kegagalan dalam memahami materi karena siswa lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga materi yang telah dipelajari di kelas cenderung untuk dilupakan.

(17)

Kelompok-kelompok kecil dengan keanggotaan heterogen diharapkan dapat membantu siswa dengan tingkat kemampuan rendah dan sedang melalui tutor sebaya dengan siswa yang tergolong tinggi di antara mereka.

Strategi ini membantu siswa lebih ingat lagi pelajaran yang baru dipelajari serta membuat siswa lebih termotivasi untuk mempersiapkan diri mereka sebelum belajar. Selama proses pembelajaran mereka akan berdiskusi dengan teman, bertanya, dan membagi pengetahuan yang diperoleh dengan yang lainnya. Strategi ini didesain untuk menghidupkan kelas, belajar menyenangkan dan meningkatkan keterlibatan fisik. Keterlibatan fisik ini meningkatkan partisipasi siswa di dalam kelas sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa. Guru berperan mengatur jalannya pembelajaran agar teratur, konstruktif, dan tidak pasif.

Berdasarkan uraian di atas, studi ini berfokus pada penerapan strategi the firing line, dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa, yang diharapkan dapat memperbaiki hasil belajar matematika dan menumbuhkan sikap-sikap positif yang ada dalam diri siswa. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengajukan suatu penelitian yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Penerapan Strategi The Firing Line dalam Pembelajaran Matematika”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(18)

2. Apakah terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line dengan siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:

1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line dan siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional.

2. Perbedaan disposisi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line dengan siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi guru, diharapkan dari penerapan pembelajaran the firing line dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pelajaran secara efektif dan menciptakan suasana aktif dan menyenangkan.

2. Bagi siswa, diharapkan dari penerapan pembelajaran the firing line dapat membantu siswa mengembangkan dan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis.

(19)

4. Bagi peneliti, dapat menjadi sarana bagi pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan sebagai acuan/referensi untuk peneliti lain (penelitian yang relevan) dan pada penelitian yang sejenis.

1.5Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah atau variabel yang digunakan, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari istilah atau variabel-variabel tersebut.

1. Kemampuan komunikasi matematis

Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk menyusun suatu argument dan mengungkapkan pendapat, serta memberikan penjelasan secara tertulis berdasarkan data dan bukti yang relevan yang meliputi representasi dan menulis.

2. Disposisi matematis

Disposisi matematis adalah kecendrungan untuk berpikir dan bertindak secara positif yang mencakup minat belajar, kegigihan dan kemauan untuk menemukan solusi serta apresiasi terhadap matematika.

3. Strategi pembelajaran the firing line

Strategi the firing line merupakan salah satu strategi pembelajaran aktif yang menggunakan regu tembak yang akan mengajak siswa untuk dapat menyampaikan pendapatnya tentang suatu konsep melalui kegiatan permainan yang membutuhkan kerjasama dalam kelompok serta mengkomunikasikan jawabannya dalam bentuk tulisan.

(20)
(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan disposisi matematis siswa melalui pembelajaran the firing line. Sebelum menerapkan pembelajaran the firing line siswa diberikan soal pretes. Tujuan diberikannya pengukuran sebelum perlakuan (pretes) adalah untuk melihat kesetaraan kemampuan awal kedua kelompok, sedangkan pemberian postes dilakukan setelah proses belajar mengajar berlangsung, dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan akhir kedua kelompok, serta gain ternormalisasi untuk melihat peningkatan dari masing-masing kelompok pada kemampuan komunikasi matematis dan disposisi matematis siswa setelah mendapatkan perlakuan.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental atau eksperimen semu. Pada quasi eksperimental, subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa adanya (Ruseffendi, 2005). Penggunaan desain ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengefektifkan waktu penelitian supaya tidak membentuk kelas baru yang akan menyebabkan perubahan jadwal yang telah ada. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005) berikut, yakni subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya.

Desain ini menggunakan pretes dan postes dengan kelompok-kelompok yang tidak diacak (desain kelompok kontrol non ekivalen), yang diilustrasikan sebagai berikut:

Kelas Eksperimen : O X O

(22)

Keterangan:

O : Pretes atau Postes Kemampuan Komunikasi Matematis X : Pembelajaran The firing Line

: Subjek tidak dikelompokkan secara acak

Berdasarkan desain penelitian yang dipilih maka peneliti harus memilih dua kelas yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen (kelas perlakuan) merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran the firing line dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah kelompok siswa yang pembelajarannya tidak menggunakan pembelajaran the firing line (konvensional).

3.2Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini melibatkan dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

1. Variabel bebas pada penelitian ini yaitu strategi pembelajaran the firing line. 2. Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kemampuan komunikasi matematis

dan disposisi matematis siswa.

3.3Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas VIII pada SMP Negeri 7 di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat tahun ajaran 2013/2014 dengan materi Bangun Ruang Sisi Datar. Sampel penelitian ini yaitu siswa kelas VIII dari dua kelas di SMP Negeri 7 Padang. Pemilihan siswa kelas VIII sebagai subyek penelitian didasarkan karena siswa tersebut merupakan kelompok siswa yang

(23)

dirasa siap untuk menerima perlakuan penelitian ini baik secara waktu dan materi yang tersedia.

Berdasarkan desain penelitian, maka peneliti harus memilih dua kelas. Dua kelas yang dipilih sebagai sampel penelitian yaitu kelas VIII1 dan VIII2. Dari

dua kelas tersebut kemudian dipilih lagi secara acak kelas yang menjadi kelompok eksperimen dan kelas yang menjadi kelompok kontrol. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa peneliti tidak memungkinkan untuk mengambil sampel secara acak atas individu-individu. Dengan demikian, titik sampel yang digunakan adalah kelas-kelas yang sudah terbentuk agar kelas-kelas tersebut representatif terhadap populasinya. Oleh karena itu, peneliti akan meminta pertimbangan guru matematika di sekolah tersebut. Oleh karena itu, peneliti memilih sampel penelitian secara purposive. Sehingga terpilihlah siswa kelas VIII1 sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIII2 sebagai kelompok

kontrol yang masing-masing berjumlah 29 siswa.

3.4Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan nontes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa, sedangkan instrumen dalam bentuk nontes yaitu skala disposisi matematis dan lembar observasi. Berikut ini merupakan uraian dari masing-masing instrumen yang digunakan.

3.4.1Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

(24)

mengukur higher level learning outcomes. Tes kemampuan komunikasi matematis dibuat untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII mengenai materi yang sudah dipelajarinya.

Adapun rincian indikator kemampuan komunikasi matematis yang akan diukur adalah sebagai berikut.

1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.

2) Mengekspresikan, mendemonstrasikan dan melukiskan ide-ide matematika ke dalam bentuk gambar, tabel, grafik atau model matematika lain.

Kemampuan komunikasi matematis siswa dapat diukur dengan menggunakan pedoman penskoran tes kemampuan komunikasi matematis yang diadaptasi dari holistic scoring rubrics Cai, Lane dan Jacabcsin (Ansari 2003).

Tabel 3.1

Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang komunikasi matematis dan dijawab dengan benar dan jelas atau lengkap 3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang

komunikasi dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang komunikasi dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang komunikasi atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban

3.4.2Skala Disposisi Matematis

(25)

indikatornya: (1) percaya diri dalam menyelesaikan masalah matematis; (2) berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba metode alternatif dalam menyelesaikan masalah; (3) gigih dalam mengerjakan tugas matematika; (4) berminat, memiliki keingintahuan, dan memiliki daya cipta dalam aktivitas bermatematis; (5) mengapresiasikan peran matematis sebagai alat dan bahasa; (6) berbagi pendapat dengan orang lain. Skala disposisi matematis ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert, yang terdiri atas 4 kategori respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan tidak ada pilihan netral. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap ragu–ragu siswa untuk tidak memihak pada pernyataan yang diajukan.

3.43 Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk memperoleh gambaran tentang suasana pembelajaran terkait dengan aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi ini dilakukan oleh peneliti dan satu orang guru matematika dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan siswa dan guru selama pembelajaran berlangsung dan sebagai informasi pendukung apabila ada informasi yang tidak diperoleh melalui skala disposisi matematis siswa. Observasi terhadap aktivias guru dilakukan sebagai refleksi pada proses pembelajaran, sehingga pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik dari pembelajaran sebelumnya dan sesuai dengan skenario pembelajaran.

(26)

pembelajaran berlangsung dalam beberapa kali pertemuan dan hasilnya dicatat dalam lembar observasi yang telah disediakan. Data yang dihasilkan dari lembar observasi ini berupa persentase. Persentase aktivitas siswa dan guru yang menerapkan pembelajaran the firing line dapat diklasifikasikan menggunakan aturan klasifikasi aktivitas siswa sebagai berikut.

Tabel 3.2

Klasifikasi Aktivitas Siswa Persentase Klasifikasi 0% < x ≤ 24% Sangat Kurang 24% < x ≤ 49% Kurang 49% < x ≤ 74% Cukup 74% < x ≤ 99% Baik x = 100% Sangat Baik

3.5Teknik Pengembangan Instrumen

Sebelum soal instrumen dipergunakan dalam penelitian, soal instrumen tersebut diujicobakan terlebih dahulu pada siswa yang telah memperoleh materi yang berkenaan dengan penelitian ini. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen tersebut telah memenuhi syarat instrumen yang baik atau belum, yaitu validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran.

3.5.1Tes Kemampuan Komunikasi Matematis 1) Validitas

(27)

Validitas instrumen diketahui dari hasil pemikiran dan hasil pengamatan. dari hasil tersebut akan diperoleh validitas teoritik dan validitas butir tes. a) Validitas Teoritik

Validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi menunjukkan pada kondisi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan teori dan aturan yang ada. Pertimbangan terhadap soal tes kemampuan komunikasi dan skala disposisi matematis yang berkenaan dengan validitas isi, konstruk dan muka diberikan oleh ahli dalam hal ini yaitu dua orang dosen pembimbing, satu orang dosen ahli bidang matematika dan satu orang guru bidang studi matematika, serta satu orang ahli bahasa yaitu guru bahasa Indonesia di sekolah menengah.

Validitas isi suatu alat evaluasi artinya ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang dievaluasikan (Suherman, 2003). Validitas isi dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Apakah soal pada instrumen penelitian sesuai atau tidak dengan materi yang diajarkan.

Validitas muka dilakukan dengan melihat tampilan dari soal yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir. Suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga testi tidak mengalami kesulitan ketika menjawab soal.

(28)

Hasil dari validitas teoritik ini dilakukan uji Cochran’s Q dengan bantuan program SPSS 16 for Windows, untuk melihat keterkaitan antar skor yang diberikan oleh beberapa validator. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif k sampel berpasangan bila datanya berbentuk nominal dan frekuensi dikotomi. Hal ini dikarenakan jawaban pada lembar validitas ini berbentuk ya-tidak. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : Para penimbang memberikan pertimbangan yang seragam

H1 : Para penimbang memberikan pertimbangan yang tidak

seragam

Kriteria pengujian yang digunakan, adalah jika p-value (sig.) lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima, dan untuk kondisi lainnya H0

ditolak (langkah-langkah pengujian seperti pengujian pada hipotesis penelitian). Hasil perhitungan selengkapnya ada pada Lampiran C.1 halaman 219 untuk tes kemampuan komunikasi matematis dan Lampiran C.2 halaman 220 untuk skala disposisi matematis. Berikut ini merupakan rekapitulasi hasil perhitungannya.

Tabel 3.3

Hasil Uji Cochran’s Q Validasi Teoritik

Intrumen Test Statistik Keterangan N Cochran’s Q Df Asymp Sig.

Tes KKM 6 3,800 3 0,284 Terima H0 Skala DM 26 6,830 3 0,078 Terima H0 H0 : validator melakukan penilaian seragam.

Hasil analisis menunjukkan bahwa validator melakukan penilaian seragam terhadap tes kemampuan komunikasi matematis siswa dan skala disposisi matematis siswa.

(29)

Validitas butir tes diuji dengan bantuan Microsoft Excel 2007 dengan langkah-langkah sebagai berikut (Sundayana,2010):

1. Menghitung harga korelasi setiap butir tes menggunakan rumus Product Moment Pearson sebagai berikut.

Keterangan :

rx y: Koefisien validitas. X : Skor item butir soal Y : Jumlah skor total tiap soal n : Jumlah subyek.

2. Melakukan perhitungan uji-t dengan rumus.

3. Mencari ttabel dengan ttabel = tα (dk = n-2).

4. Membuat kesimpulan, dengan kriteria pengujian sebagai berikut: Jika thitung > ttabel, butir soal valid, atau

Jika thitung≤ ttabel, butir soal tidak valid.

Dengan ketentuan klasifikasi koefisien validitas sebagai berikut Tabel 3.4

Klasifikasi Koefisian Validitas Koefisien Validitas Interpretasi

0,80 < rxy≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < rxy≤ 0,80 Tinggi

0,40 < rxy≤ 0,60 Sedang

0,20 < rxy≤ 0,40 Rendah

0,00 < rxy≤ 0,20 Sangat Rendah

rxy≤ 0,00 Tidak Valid

(30)

Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan dengan nilai kritis (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan valid apabila pada taraf signifikasi didapat

[image:30.612.193.501.248.398.2]

. Hasil perhitungan validitas dari soal yang telah diujicobakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut ini:

Tabel 3.5

Hasil Uji Coba Validitas Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Butir Soal rxy thitung Kriteria Interprestasi

0,42 2,56 Sedang Valid 0,71 5,46 Tinggi Valid 0,73 5,86 Tinggi Valid 0,70 5,37 Tinggi Valid 0,63 4,48 Tinggi Valid 6 0,30 1,71 Rendah Tidak Valid Catatan: ttabel ( = 0,05) = 2,0484 dengan N = 30

Tabel 3.5 menunjukkan bahwa dari 6 butir soal yang mengukur kemampuan komunikasi matematis, hanya 5 soal yang dinilai valid. Hasil perhitungan uji validitas ini dapat dilihat pada Lampiran C.4 halaman 223.

2) Reliabilitas

Suatu alat evaluasi disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap dan digunakan untuk subjek yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas tes ini adalah rumus Cronbach’s Alpha (Sundayana,2010), dengan bantuan Microsoft Excel 2007 sebagai berikut.

(31)

Keterangan:

: reliabilitas instrumen.

: jumlah varians skor tiap–tiap butir tes. : varians total.

: banyaknya butir tes.

[image:31.612.249.464.293.409.2]

Menurut Suherman (2003) ketentuan klasifikasi koefisien reliabilitas sebagai berikut.

Tabel 3.6

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Besarnya nilai r11 Klasifikasi

0,80 < r11≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < r11≤ 0,80 Tinggi

0,40 < r11≤ 0,60 Cukup

0,20 < r11≤ 0,40 Rendah

r11≤ 0,20 Sangat rendah

Hasil perhitungan reliabilitas instrumen ini dapat dilihat pada Lampiran C.4 halaman 223, diperoleh koefisien reliabilitas instrumen tes kemampuan komunikasi matematis adalah 0,79 yang menunjukkan tingkat reliabilitas tinggi.

3) Daya Pembeda

(32)

Keterangan:

: Daya pembeda.

: Jumlah skor kelompok atas

: Jumlah skor kelompok bawah

: Jumlah skor maksimal ideal kelompok atas

[image:32.612.230.470.350.479.2]

Menurut Suherman (2001) klasifikasi interpretasi daya pembeda soal sebagai berikut:

Tabel 3.7

Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda Kriteria Daya Pembeda Interpretasi

DP ≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup

0,40 < DP ≤ 0,70 Baik

0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

Hasil perhitungan daya pembeda soal dengan bantuan Microsoft Excel 2007 ini dapat dilihat pada Lampiran C.4 halaman 223, dari 5 soal yang mengukur kemampuan komunikasi matematis, terdapat 3 soal kategori baik dan 2 soal kategori cukup. Data hasil uji coba dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut.

Tabel 3.8

Hasil Uji Coba Daya Pembeda Butir Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Butir Soal Daya

(33)

1 0,28 Cukup

2 0,34 Cukup

3 0,41 Baik

4 0,66 Baik

5 0,5 Baik

4) Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal tes (Arikunto, 2006). Menurut Sundayana (2010), tingkat kesukaran untuk soal uraian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan :

: Indeks Kesukaran.

: Jumlah skor kelompok atas

: Jumlah skor kelompok bawah

: Jumlah skor maksimal ideal kelompok atas

: Jumlah skor maksmal ideal kelompok bawah

[image:33.612.212.436.110.196.2]

Klasifikasi tingkat kesukaran soal dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut. Tabel 3.9

(34)

0,3 IK ≤ 0,7 Sedang 0,7 IK ≤ 1,00 Mudah IK = 1,00 Sangat Mudah

[image:34.612.222.474.111.160.2]

Hasil perhitungan indeks kesukaran soal instrumen dengan bantuan Microsoft Excel 2007 ini dapat dilihat pada Lampiran C.4 halaman 223, untuk tes kemampuan komunikasi matematis, diperoleh 1 soal dengan kategori mudah dan 4 soal dengan kategori sedang. Data tingkat kesukaran pada uji coba butir tes secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3.10 berikut.

Tabel 3.10

Hasil Uji Coba Tingkat Kesukaran Butir Tes Kemampuan Komunikasi Matematis No Soal TK Interpretasi

1 0,77 Soal mudah

2 0.70 Soal Sedang 3 0,70 Soal Sedang 4 0,61 Soal Sedang 5 0,50 Soal Sedang

Berdasarkan hasil analisis data ujicoba soal di atas maka peneliti tidak memakai satu dari enam soal karena soal tersebut tidak valid. Sehingga peneliti hanya menggunakan lima soal karena soal-soal tersebut sudah memenuhi syarat dan dapat digunakan dalam penelitian.

3.5.2Skala Disposisi Matematis

(35)

matematika. Skala disposisi matematis ini akan diberikan kepada siswa kelompok kontrol dan eksperimen setelah melaksanakan postes. Skala disposisi matematis ini terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dosen pembimbing untuk diperiksa perihal kesesuaian indikator dan tata bahasa (kebahasaan) pada disposisi matematis.

Sebelum skala disposisi ini diterapkan, dilakukan uji validitas expert. Dalam hal ini yang bertindak sebagai evaluator adalah 4 orang dosen. Tahap pertama, skala disposisi matematis ini divalidasi oleh 2 orang dosen dan 1 orang ahli bahasa untuk memperoleh gambaran apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam skala disposisi matematis dapat dipahami oleh siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari hasil uji validitas teoritik, tersebut terdapat beberapa item yang kurang ringkas dan tepat dari segi bahasa, sehingga pembimbing menyarankan peneliti untuk memperbaiki dan membuang beberapa item skala disposisi matematis sebelum diujicobakan kepada siswa agar layak untuk digunakan pada uji tahap kedua.

Setelah instrumen skala disposisi matematis dinyatakan layak digunakan, kemudian dilakukan ujicoba tahap kedua pada 5 orang siswa kelas IX SMP Negeri 7 Padang di luar sampel penelitian. Tujuan ujicoba pada tahap kedua ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa sekaligus memperoleh gambaran apakah pernyataan-pernyataan dari skala disposisi matematis dapat dipahami oleh siswa. Dari hasil ujicoba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua pernyataan yang berjumlah 26 butir dapat dipahami dengan baik oleh siswa.

(36)
[image:36.612.119.562.118.649.2]

Berikut ini merupakan tahapan–tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini:

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian

Identifikasi Masalah

Penyusunan Bahan Ajar

Penyusunan Instrumen

Uji Coba Instrumen

Analisis validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran

Pelaksanaan Penelitian

Tes Awal (Pretes)

Kelas Eksperimen

Pembelajaran matematika dengan

The Firing Line

Kelas Kontrol

Pembelajaran matematika dengan konvensional

Skala Disposisi Matematis

Analisis Data

(37)

Berikut rincian prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:

Prosedur pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengumpulan data. Uraian dari kedua tahap tersebut adalah sebagai berikut;

3.6.1Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian meliputi tahap-tahap penyusunan proposal, seminar proposal, studi pendahuluan, penyusunan instrumen penelitian pengujian instrumen dan perbaikan instrumen. Kegiatannya meliputi:

1. Menentukan jadwal penelitian

Penentuan jadwal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat melakukan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap (II) Tahun Pelajaran 2013/2014.

2. Menyiapkan perangkat pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku, dengan mengkaji terlebih dahulu silabus mata pelajaran matematika kelas VIII semester genap. Pengkajian dilakukan terhadap materi pelajaran, alokasi waktu, indikator pencapaian serta Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP disusun disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran the firing line.

3. Mempersiapkan kartu yang berisi pertanyaan yang digunakan dalam penelitian.

4. Membuat kisi-kisi tes uji coba.

5. Mempersiapkan instrumen pengumpulan data berupa tes kemampuan komunikasi matematis, skala disposisi, dan lembar observasi.

(38)

Guru menerapkan pembelajaran the firing line di kelas eksperimen. Berikut ini dijelaskan proses pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen, yaitu:

a. Siswa duduk pada kelompok yang telah ditentukan.

b. Siswa memperhatikan guru menyampaikan tujuan pembelajaran.

Penggunaan strategi the firing line, dengan langkah-langkah sebagai berikut ini.

1) Menetapkan tujuan menggunakan “Regu Tembak”

2) Guru menyusun kursi dalam formasi dua berbaris berhadapan. 3) Guru menyediakan kursi yang cukup untuk seluruh siswa di kelas. 4) Guru memisahkan kursi-kursi menjadi sejumlah regu beranggotakan

3-5 siswa pada tiap sisi atau deret.

Setiap kelompok beranggotakan siswa yang memiliki kemampuan yang beragam. Kelompok dibentuk oleh guru matematika berdasarkan nilai ujian tengah semester mereka. Mereka diminta untuk saling membantu dan bekerjasama dalam kelompoknya. Siswa yang pintar membantu siswa yang lemah, begitu juga sebaliknya. 5) Guru memilih dua kelompok yang ada untuk maju kedepan misalnya

kelompok X dan Y.

Kedua kelompok yang akan bermain dipilih secara acak dengan cara melakukan pengundian. Kedua kelompok saling berkompetisi dalam menyelesaikan soal-soal yang terdapat di dalam kartu. Mereka saling menghargai apapun jawaban yang diberikan oleh kelompoknya. 6) Salah seorang dari kelompok X mengambil satu kartu yang telah

dipersiapkan guru secara acak.

(39)

ikut mengarahkan siswa kepada konsep yang akan dipelajari. Guru akan mengkonfirmasi setiap jawaban siswa dan meminta kelompok lain untuk menanggapinya. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana siswa mencoba menemukan berbagai alternatif penyelesaian

7) Kelompok X menunjuk salah seorang dari kelompok Y yang duduk dihadapannya untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam kartu dengan waktu yang telah ditentukan.

Kelompok yang berperan sebagai sebagai sasaran tembak tidak boleh bekerjasama, namun mereka hanya diperbolehkan menjawab “ya” jika benar dan sebaliknya. Dalam hal ini, hanya siswa yang ditembakkan soal yang bertanggung jawab menyelesaikannya. Siswa kelompok Y akan menjawab sesuai dengan tuntutan soal. Ada dua kondisi soal yang ditemukan, yaitu soal yang membutuhkan penjelasan secara lisan dan soal yang membutuhkan penjelasan secara tertulis.

8) Jika kelompok Y yang ditunjuk tidak dapat menjawab maka pertanyaan akan dilemparkan kepada anggota kelompok X, selanjutnya jika anggota kelompok X juga tidak mampu menjawab maka pertanyaan akan dlemparkan kepada kelompok lain.

Siswa kelompok X diperbolehkan untuk bekerjasama dengan teman sekelompoknya untuk mencuri skor dari kelompok Y. Hal ini juga berlaku untuk kelompok yang tidak ikut bermain, mereka juga saling bekerjasama dalam menyelesaikan soal tersebut.

(40)

siswa X untuk menembakkan tugas atau pertanyaan kepada siswa Y yang duduk di hadapannya. Lanjutkan dengan jumlah babak sesuai dengan jumlah tugas diberikan.

Mereka melakukan langkah ini dengan disiplin. Hal ini menunjukkan rasa antusias mereka dalam menerapkan pembelajaran the firing line.

10)Hal ini berlangsung sampai waktu atau kartu yang disediakan habis. 11)Guru membimbing siswa membuat kesimpulan.

2. Kelas Kontrol

Guru menerapkan pembelajaran konvensional di kelas kontrol. Berikut ini dijelaskan proses pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol, yaitu:

a. Guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. b. Guru memberikan apersepsi tentang materi yang akan dipelajari.

c. Guru menjelaskan materi pembelajaran. d. Guru membahas soal bersama siswa e. Guru menyimpulkan materi dengan siswa

f. Guru membagikan lembaran soal PR kepada siswa.

3.6.3Tahap pengumpulan data

Tahap pengumpulan data terdiri atas tahap pengolahan data, analisis data, dan penyusunan laporan secara lengkap.

3.7Teknik Pengumpulan Data

(41)

diberikan kepada kedua kelas sampel setelah diberikan perlakuan. Data yang berkaitan dengan disposisi matematis siswa dikumpulkan melalui penyebaran skala disposisi matematis siswa pada akhir pembelajaran, sedangkan lembar observasi dilakukan oleh seorang observer untuk observasi guru dan seorang observer lainnya untuk mengobservasi siswa pada setiap pertemuan.

3.8Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Untuk itu pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan, dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.

3.8.1Analisis Data Kualitatif

Data kualitatif dalam penelitian ini berupa data dari hasil lembar observasi aktivitas guru dan siswa selama menerapkan proses pembelajaran the firing line. Pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dalam beberapa kali pertemuan dan hasilnya dicatat dalam lembar observasi yang telah disediakan. Data hasil observasi ini disajikan dalam bentuk persentase yang akan dihitung persentase aktivitas siswa dalam setiap pertemuan. Persentase setiap aktivitas siswa dihitung dengan menggunakan rumus (Sudjana, 2008) berikut ini:

Keterangan:

P = Persentase aktivitas F = Frekuensi aktivitas

% 100

 

(42)

N = Jumlah siswa yang diteliti

[image:42.612.218.462.188.309.2]

Persentase aktivitas siswa diklasifikasikan dengan menggunakan aturan klasifikasi aktivitas siswa sebagai berikut:

Tabel 3.11

Klasifikasi Aktivitas Siswa Persentase Klasifikasi 0 % < x ≤ 24 % Sangat Kurang 24 % < x ≤ 49 % Kurang 49 % < x ≤ 74 % Cukup 74 % < x ≤ 99 % Baik

x = 100 % Sangat Baik

Hasil pada lembar observasi ini akan dijadikan sebagai bahan masukan untuk pembahasan hasil secara deskriptif. Hasilnya dianalisis melalui laporan esai yang menyimpulkan kriteria, karakteristik serta proses yang terjadi dalam pembelajaran.

3.8.2Analisis Data Kuantitatif

Data kuantitatif yang diperoleh dalam penelitian ini akan dilakukan uji statistik. Pengujian tersebut dilakukan pada hasil uji instrumen, data pretes dan postes, N-gain serta skala disposisi matematis siswa. Hasil uji instrumen diolah dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel 2007 untuk memperoleh validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal. Data hasil pretes, postes, N-gain dan skala disposisi matematis siswa diolah dengan menggunakan bantuan Software SPSS 16 For Windows dan Microsoft Excel 2007.

1) Data Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

(43)

konvensional. Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis diolah melalui tahapan sebagai berikut:

a) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.

b) Membuat tabel data skor pretes dan postes siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

c) Menentukan skor peningkatan kemampuan komunikasi matematis dengan rumus gain ternormalisasi Hake (1999) yaitu:

Hasil perhitungan gain ternormalisasi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake (2002), yaitu:

Tabel 3.12

Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya Gain (g) Klasifikasi g ≥ 0,70 Tinggi 0,30 ≤ g < 0,70 Sedang g < 0,30 Rendah

d) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skor pretes, postes dan gain ternormalisasi kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk dengan taraf signifikan α = 0,05.

Rumusan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

Ho : data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

H1 : data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

Dengan kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α(α =0,05), maka Ho ditolak.

(44)

Apabila data tidak berdistribusi normal, maka dapat langsung dilakukan pengujian hipotesis penelitian dengan uji nonparametrik Mann-Whitney U. Uji Mann-Whitney U dilakukan dengan taraf signifikansi α = 0,05. Kriteria pengujiannya yaitu terima H0 untuk , dan tolak H0 jika sebaliknya. Uji perbedaan

dua rerata dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 16 for Windows dengan taraf signifikan α = 0,05. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa data skor pretes dan postes kemampuan komunikasi berdistribusi normal, namun untuk data N-gain berdistribusi tidak normal maka dapat langsung dilakukan pengujian hipotesis penelitian dengan uji nonparametrik Mann-Whitney U.

e) Menguji homogenitas varians data skor pretes, postes dan gain ternormalisasi kemampuan komunikasi matematis menggunakan uji Levene dengan taraf signifikan α = 0,05.

Rumusan hipotesis yang akan diuji adalah:

Ho : data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi

homogen.

H1 : data sampel berasal dari populasi yang tidak memiliki variansi

homogen.

Dengan kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α = 0,05), maka Ho ditolak.

Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α = 0,05), maka Ho diterima.

(45)

dilakukan dengan bantuan software SPSS 16 for Windows dengan taraf signifikan α = 0,05. Kriteria pengujian, jika Sig > 0,05 maka H0

diterima, dan H0 ditolak jika sebaliknya.

2) Data Skala Disposisi Matematis

[image:45.612.218.437.470.532.2]

Angket disposisi matematis yang terdiri dari 26 butir pernyataan diberikan kepada siswa setelah diberi perlakukan, yaitu kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran the firing line dan kelas kontrol yang menerapkan pembelajaran konvesional. Model skala sikap yang digunakan adalah model skala Likert. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan tersebut terbagi ke dalam 4 kategori, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Dalam penelitian ini tidak menggunakan pilihan jawaban netral (N), hal ini bertujuan untuk menghindari kecenderungan siswa tidak berani memihak terhadap pernyataan-pernyataan pada angket disposisi matematis siswa. Berikut disajikan tabel penskoran skala disposisi matematis belajar siswa:

Tabel 3.13

Pembobotan Skala Disposisi Matematis Siswa Arah Pernyataan SS S TS STS

Positif 4 3 2 1 Negatif 1 2 3 4

Untuk melihat klasifikasi kemandirian belajar siswa digunakan analisis proporsi (persentase). Untuk menghitung proporsi (persentase) data digunakan rumus sebagai berikut:

(46)

= Persentase jawaban

= Skor total suatu butir/indikator pernyataan siswa

= Skor maksimum ideal suatu butir/indikator pernyataan siswa

Selanjutnya, untuk menjawab hipotesis 2 yaitu terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line dengan siswa yang menerapkan pembelajaran konvesional, dilakukan uji perbedaan rataan dengan uji nonparametik. Karena uji nonparametik yang paling kuat sebagai pengganti uji-t dengan asumsi yang mendasari yaitu jenis skalanya ordinal. Uji Mann-Whitney U dilakukan dengan bantuan program software SPSS 16 for Windows dengan taraf signifikan = 0,05

3.9Jadwal Penelitian

[image:46.612.113.530.461.666.2]

Jadwal penelitian dilakukan pada tahun 2013-2014, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.14.

Tabel 3.14

Jadwal Penelitian pada Tahun 2013 – 2014

No Kegiatan

2013 2014

9 10 11 12 1 2 3 4 5 1 Pengajuan judul penelitian

2 Penyusunan proposal penelitian

3 Penyusunan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian

4 Uji coba perangkat

pembelajaran dan instrumen penelitian

(47)

data serta penyusunan laporan hasil penelitian 7 Penyerahan dan revisi

(48)

Hafizah Delyana, 2014

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi.

5.1Kesimpulan

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran the firing line adalah salah satu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Pembelajaran the firing line dapat memberi peluang kepada siswa untuk turut aktif dalam kegiatan pembelajaran dan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehigga dapat disimpulkan bahwa:

1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line lebih baik daripada siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional, namun peningkatan kemampuan komunikasi kedua kelompok berada dalam klasifikasi sedang.

2. Disposisi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran the firing line berbeda dengan siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional.

5.2Implikasi

Berdasarkan simpulan di atas dan pembahasan di bab IV diperoleh beberapa implikasi yaitu sebagai berikut:

1. Secara umum penggunaan pembelajaran the firing line dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa. 2. Penerapan pembelajaran the firing line mendapat respon yang positif siswa

(49)

Hafizah Delyana, 2014

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

pandang siswa bahwa belajar matematika tidak harus selalu kaku, tapi matematika dapat dipelajari dengan melakukan sebuah permainan sehingga siswa menjadi tidak tegang mengikuti pembelajaran.

3. Penerapan pembelajaran the firing line yang dikelola dengan baik oleh guru dapat mengembangkan disposisi matematis siswa.

5.3Rekomendasi

Kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pembelajaran the firing line dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan membuat siswa berpartisipasi secara aktif dalam setiap pembelajaran.

2. Peneliti hanya melihat peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa saja, maka disarankan kepada peneliti lain dapat melanjutkan penelitian pada kemampuan matematis yang lain.

3. Penelitian ini hanya terbatas pada satu pokok bahasan, yaitu bangun ruang sisi datar, oleh karena itu disarankan kepada peneliti lain dapat melanjutkan penelitian pada pokok bahasan yang berbeda.

4. Sebelum melaksanaka pembelajaran the firing line sebaiknya guru membuat perencanaan pembelajaran yang matang, sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai dengan rencana, dan waktu yang digunakan menjadi lebih efektif..

Gambar

Gambar 1.1 Soal Komunikasi Matematis TIMMS
Tabel 3.1 Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 3.2  Klasifikasi Aktivitas Siswa
Tabel 3.4 Klasifikasi Koefisian Validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dedak yang digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pakan ternak. adalah dedak

[r]

Kepala Bidang memparaf Surat Jawaban ke Gubernur diteruskan kepada Kepala BKD untuk diparaf diteruskan kepada SEKDA untuk ditandatangani.. surat jawaban

Analisis laporan keuangan ini sangatlah penting untuk mengetahui tingkat likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas agar perusahaan dapat melakukan tindakan tindakan atau

Berdasarkan evaluasi terhadap perhitungan PPh Pasal 21 atas karyawan pada tahun 2006 yang dipotong oleh PT Loka Mampang Indah Realty hanya sebagian kecil yang telah sesuai dengan

“Pengaruh Kepemimpinan, Komitmen Organisasi dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Penyadapan Perkebunan Nusantara IX (Persero) Balong Beji Kalitelo Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa harga yang ditawarkan kepada pelanggan, biaya yang sebenarnya terjadi, laba kotor yang dapat diakui sebagai laba yang