• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN ALAT BUKTI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM TINDAK PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KEKUATAN ALAT BUKTI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM TINDAK PIDANA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

1

SKRIPSI

KEKUATAN ALAT BUKTI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM TINDAK PIDANA

(Studi Kasus Putusan Nomor 940/Pid B/2016/Pengadilan Negeri Makassar)

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

AINUN RAMDHANI 4513060142

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2017

(2)

2

(3)

1

(4)

2

(5)

3

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobilalamin. Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan Nya yang senatiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kekuatan Alat Bukti Closed Ciruit Television (CCTV) Dalam Perkara Pidana Studi Kasus Putusan Nomor 940/Pid B/2016/Pengadilan Negeri Makassar”. Adapun penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa.

Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesarjanaan pada fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar sebagai bagian dari perjalanan hidup, penulis menyadari masih banyak kekurangan serta kelemahan didalamnya.

Semua itu tidak terlepas dari ketidak sempurnaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Walaupun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik. Karena penulis yakin setiap manusia mendambakan yang terbaikdidalam hidup mereka. Untuk itu penulis sangat berterima kasih jika ada yang ingin memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini dimasa yang akan datang.

Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan

(6)

4

skripsi hingga tahap penyempurnaan skripsi penulis. Untuk itu penghargaan dan ucapan terima kasih penulis hanturkan kepada :

1. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Amrullah dan Ibunda Mardewi yang telah memenuhi segala kebutuhan penulis serta tidak henti- hentinya menyanggupi berbagai keinginan yang diajukan penulis.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa doa dan dukungan dari kedua orangtua penulis tidak dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhmmad Saleh Pallu, M. Eng. selaku selaku Rektor Universitas Bosowa, berserta staf dan jajarannya.

3. Bapak Dr. Ruslan Renggong, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, beserta staf dan jajarannya.

4. Ibu Hj. Sitti Zubaidah, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bosowa.

5. Bapak Dr. Ruslan Renggong, SH., MH., dan Ibu Hj. Suryana Hamid, SH., MH., selaku pembimbing, terima kasih untuk semua saran, petunjuk, dan bimbingannya kepada penulis selama ini.

6. Bapak Dr. Salam Siku, SH., MH., dan Bapak Basri Oner, SH., MH., selaku penguji penulis, terima kasih untuk segala masukannya.

7. Staf Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bosowa yang telah mengajarkan penulis selama ini.

8. Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Ketua Kejaksaan Negeri Negeri Makassar, dan Kapolsek Kota Besar Bontoala Makassar

(7)

5

berserta jajarannya yang telah membantu penulis pada proses penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Buat yang terkasih kakak Indah Chaerunnisa S,M dan adik penulis Dirayati Annisa, (Alm) Fadhlul Khaliq dan Nadiyah Ulya yang telah menjadi penyemangat dalam setiap kondisi senang maupun duka, dan telah membantu serta mengupayakan segalanya sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

10. Buat Arnita Ruslan, Dzaki Aulia, Nunu Mukhlisa Masihu, dan Haryati Indah Rezki atas segala dukungan yang diberikan kepeda penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada Nurmala Rahman, Riatul Husnah, Rahmawati Rahman, dan Rani Asri yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyeselesaikan skripsi ini.

12. Keluarga besar Fakultas Hukum khususnya kawan-kawan seperjuangan KPK 2013 dan sahabat-sahabatku yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas doa, kebersamaan, dukungan, dan bantuan yang berarti bagi penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini dengan baik.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih.

Semoga segala bantuan dan amal kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT dan tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih. Dan semoga skripsi ini

(8)

6

meberikan manfaat sebagai bahan literature dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan skripsi ini

Makassar, 25 Juli 2017

AINUN RAMDHANI

(9)

7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

1.5 Metode Penelitian... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana ... ..8

2.1.1 Pengertian Hukum Acara Pidana... 8

2.1.2 Sistem Peradilan Pidana ... 10

2.2 Asas-asas Hukum Acara Pidana ... 12

2.3 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 14

2.3.1 pengertian Tindak Pidana ... 14

2.3.2 Unsur-unsur Tindak Pidana ... 16

(10)

8

2.4 Teori Pembuktian dan Alat Bukti Sah ... 19

2.4.1 Teori Pembuktian ... 20

2.4.2 Alat Bukti Sah ... 22

2.4.3 Alat Bukti Elektronik ... 35

BAB 3 PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Penggunaan Closed Circuit Television Dalam Perkara Pidana ... 41

3.2 Kendala-kendala yang dihadapi Alat Bukti Closed Circuit Television dalam perkara Pidana ... 46

3.3 Analisis Putusan ... 48

3.3.1 Posisi Kasus ... 48

3.3.2 Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 49

3.3.3 Tuntutan Penuntut Umum ... 51

3.3.4 Amar Putusan ... 52

3.3.5 Analisis Penulis ... 53

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 62

4.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN

(11)

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan teknologi informasi sangat berkembang pesat dalam bidang kehidupan. Dulu banyak daerah-daerah terpencil yang tidak terjamah oleh teknologi, kini dapat merasakan juga teknologi informasi yang beredar saat ini. Teknologi informasi sebenarnya sudah hadir sejak dahulu. Dulu manusia menciptakan teknologi karena dorongan untuk hidup lebih baik sehingga mendorong manusia untuk membuat sebuah teknologi yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan dengan muda sehingga muncullah teknologi hingga sekarang.

Saat ini teknologi informasi masih berkembang pesat disegala aspek kehidupan dari yang sederhana hingga yang mukhtahir.

Ditinjau dari sudut pandang perkembangan teknologi informasi memberikan dampak positif dan negatif dalam aspek kehidupan. Hal tersebut tidak dapat dihindari sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi, salah satunya adalah kejahatan. Kejahatan merupakan tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencela dan menyatakan penolakan atas kelakuan itu. Maka dari itu hukum hadir untuk mengkomodir kepentingan masyarakat. Semakin majunya peradaban manusia, sebagai implikasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan

(12)

2

teknologi, muncullah berbagai jenis kejahatan berdimensi baru.

maka dari itu diperlukan upaya untuk menanggugulangi kejahatan tersebut dalam prefektif hukum.

Hukum merupakan peraturan yang berupa norma dan saksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Tujuan hukum ada 3 yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Secara umum hukum yang berlaku dapat dibagi menjadi dua yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana sendiri digolongkan dalam hukum publik.

Dalam hukum pidana negara berupaya menuntut pelaku untuk dihukum demi mencapai keadilan.

Untuk mencapai suatu putusan yang adil, tata cara persidangan dibutuhkan pembuktian. Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan, mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti atau tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum.

Dilihat dari tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, dimana kekuatan pembuktian yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan tedakwa melalui alat-alat bukti dan keyakinan hakim, maka sistem pembuktian perlu

(13)

3

diketahui dalam upaya memahami sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara Pidana.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan elektronik Closed Circuit Televison (CCTV) banyak digunakan sebagai alat bukti atau setidak-tidaknya penunjang alat bukti lain dalam perkara pidana, pada umumnya CCTV digunakan untuk alasan keamanan namun sekarang fungsi CCTV sudah bisa membantu para penegak hukum dalam sistem pembuktian. Seperti halnya pada kasus jesicca dan ada beberapa kasus lain. Berhadapan pada keabsahan CCTV sebagai alat bukti sudah tentu akan bertentangan dengan instrument hukum mengingat pada pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana tidak menyebutkan secara jelas kedudukan CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik melakukan suatu penelitian dengan judul skripsi yaitu: Kekuatan Alat bukti Closed Circuit Televison dalam perkara Pidana.

Dalam hal ini, penulis ingin membahas tentang apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam menggunakan CCTV sebagai alat bukti atau setidak-tidaknya penunjang alat bukti lain sebagai dasar menjatuhkan putusan. Sehingga hal ini sangat menarik untuk dikaji dan dibahas dalam suatu skripsi. Berdasarkan dari alasan yang penulis kemukakan di atas, hal tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang

(14)

4

diharapkan, oleh karena itu memerlukan waktu dan proses yang cukup lama.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kekuatan pembuktian Closed Circuit Television (CCTV) dalam proses pembuktian perkara pidana pada putusan No.940/Pid.B/2016/PN Makassar ?

2. Bagaimanakah kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian perkara yang menggunakan Closed Circuit Televison (CCTV) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Closed Circuit Television (CCTV) dalam proses pembuktian perkara di pidana (Studi Kasus No.940/Pid.B/2016/PN Makassar.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penggunaan Closed Circuit Televison (CCTV) dalam proses pembuktian perkara.

1.4 kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan lingkup penelitian, maka kegunaan penelitian ini meliputi :

1.Kegunaan Praktis

Penilitian ini diharapkan berguna sebagai:

(15)

5

a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, dibidang hukum pidana dan hukum acara pidana, khususnya mengenai alat bukti sebagai Closed Circuit Television dalam pembuktian acara pidana

b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan acuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan misalnya untuk penulisan karya ilmiah ataupun penulisan skripsi yang menyangkut hukum acara pidana.

c. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi awal pada pengembangan penelitian selanjutnya

2. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk mengembangkan wawasan mengenai hukum, khususnya mengenai alat bukti CCTV sebagai pembuktian dalam persidangan.

1.4 Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif yang didukung oleh data empiris.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, yaitu di

(16)

6

Pengadilan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan kepolisian sektor Bontoala

3. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian ini, adalah:

1) Data primer

Data primer diperoleh dari hasil penelitian langsung di Pengadilan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan kepolisian sektor bontoala dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak terkait.

2) Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data-data laporan, arsip-arsip di Pengadilan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan kepolisian sektor bontoala serta studi pustaka mengenai kekuatan pembuktian Closed Circuit Television (CCTV) dalam proses pembuktian perkara di pengadilan.

4. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1) Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan Hakim di Pengadilan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dengan pihak terkait dan Kepolisian Sektor Bontoala.

(17)

7

2) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data-data laporan, arsip- arsip di Pengadilan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Kepolisian Sektor Bontoala serta studi pustaka mengenai kekuatan alat bukti Closed Circuit Televison (CCTV) dalam proses pembuktian perkara di pengadilan.

5. Analisis Data

Data yang berhasil dihimpun kemudian diolah dan disusun, serta dianalisis secara kualitatif. Dari hasil tersebut kemudian dipaparkan secara deskriptif (penggambaran) secara sistematik dalam bentuk laporan penelitian skripsi.

(18)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana 2.1.1 Pengertian Hukum Acara Pidana

Istilah hukum acara pidana, hukum proses pidana atau hukum tuntutan pidana. di Belanda memakai istilah strafvordering yang jika diterjemahkan menjadi tuntutan pidana. Di Indonesia sendiri dikenal istilah Hukum Acara Pidana.

“Hukum acara pidana yang merupakan aturan formal beracara pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara pidana, telah menetapkan aturan-aturan yang mengatur tugas dan kewenangan kompenen sistem peradilan pidana, yakni penyidik, penuntut umum, hakim pada semua tingkatan, advokat, dan petugas rutan/lembaga pemasyarakatan.” (Ruslan Renggong, 2014:151)

Hukum Acara Pidana (formil) adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana cara atau menyelenggarakan hukum pidana material, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Secara sederhana hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu aturan-aturan tentang tata cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Proses hukum acara pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No 8 tahun 1981 yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, namun dalam undang-undang tersebut tidak ada suatu pasal pun yang memberikan definisi hukum acara pidana.

(19)

9

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran hukum dengan menetapkannya kedalam suatu putusan hakim, putusan itu sendiri pun secara kumulatif harus sekaligus bermakna sebagai pelaksanaan perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana. Oleh karena itu kebenaran yang hendak diputuskan bukan sekedar benar tetapi benar dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai perlindungan hukum dan hak asasi manusia. Tujuan hukum acara pidana dapat dibaca pada Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diterbitkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut.

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara pidana,secara jujur dan tepat dan dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan pada tahap persidangan perkara tersebut.”

Berdasarkan tujuan hukum acara pidana diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap- lengkapnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang sesungguhnya.

2.1.2 Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari criminal justice system,

(20)

10

suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law enforment officer) di Amerika Serikat.

Istilah sistem peradilan pidana secara otomatis mengharapkan sistem tersebut bekerja secara berkaitan satu dengan yang lain, saling berhubungan dalam satu tujuan bersama, oleh karena itu, sistem peradilan pidana dengan sendirinya disebut sebagai Integrated Criminal Justice System. Pendekatan dalam peradilan pidana memiliki ciri, sebagai berikut:

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat)

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebuh utama dari efesiensi penyelesaian perkara.

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administrasion of justice. (Ruslan Renggong, 2014:154)

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan intergratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Usaha untuk mengurangi atau melenyapkan gambaran pada masyarakat, bahwa sistem peradilan pidana tidak atau kurang berfungsi yaitu, dengan meningkatkan efektivitas setiap dan masing- masing subsistem serta bekerja lebih terpadu untuk memperoleh efisiensi bersama (keseluruhan sistem) yang lebih tinggi.

Sistem peradilan pidana secara otomatis mengharapkan sistem tersebut bekerja secara berkaitan antara satu dengan yang lain, saling hubungan antara satu tujuan bersama, oleh karena itu sistem peradilan pidana dengan sendirinya disebut sebagai Intergated Criminal Justice System. Adapun tujuan sistem peradilan pidana sebagai berikut:

(21)

11

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak melakukan kejahatannya

Adapun tujuan utama sistem peradilan pidana yaitu menanggulangi masalah kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut keempat subsitem yang terdapat di dalamnya secara administratif merupakan lembaga penegak hukum yang masing- masing bersifat mandiri. Akan tetapi , secara fungsional mereka dituntut untuk bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif untuk mecapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. (Ruslan Renggong, 2014:159)

Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP dan aturan hukum acara pidana yang bersifat khusus, merupakan sistem peradilan yang terpadu (integrated criminal justice system) yang diletakkan diatas prinsip diferensiasi fungsional yakni membedakan fungsi dan wewenang setiap kompenen penegak hukum berdasarkan instansinya. Pembedaan yang tegas tidak berarti menimbulkan perbedaan dalam proses peradilan pidana, akan tetapi lebih dimaksudkan agar aparat penegak hukum seperti pada tingkatan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat memahami dan mengetahui batas-batas fungsi dan wewenang sehingga tidak terjadi rebutan dalam penanganan perkara.

(22)

12

2.2 Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Asas Hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata “asas” diformatkan sebagai “principle”, sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:52) ada 3 pengertian “asas” : 1) hukum dasar 2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpunan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar cita-cita.

Peraturan konkret (Seperti Undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.

Asas hukum mempunyai keterkaitan dengan sistem hukum dan sistem peradilan, sehingga setiap terjadi pertentangan didalam mekanisme kerjanya, senantiasa akan diselesaikan oleh asas hukum sebagai prinsip dasar yang mendasari suatu peraturan hukum berlaku secara universal. (Marwan Mas, 2011:111)

Adapun asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap keseluruhan harkat dan martabat manusia yang ditegakkan, sebagaimana termasuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain :

1. Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

2. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitas atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut mengadili tanpa alasan berdasarkan

(23)

13

undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

3. Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan atau lazim disebut contante justitie

4. Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa penuntut umum memiliki hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara. Penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan umumbukan hukum. Menurut asas ini penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana, jika menuntut pertimbangan akan merugikan kepentingan umum.

5. Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) adalah seseorang wajib dianggap tidak besalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan putusan itu sudah In Kracht (telah berkekuatan hukum tetap). Jadi seseorang hanya dapat dikatakan bersalah, sepanjang hal tersebut telah dinyatakan dalam putusan hakim dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.

6. Asas Equal Justice Under The Law atau asas Perlakuan yang Sama didepan Hukum. Setiap orang (tersangka maupun terdakwa) baik miskin maupun kaya, pejabat maupun orang biasa di dalam pemeriksaan baik di hadapan penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan harus diperlakukan sama.

(24)

14

7. Asas terbuka untuk umum pada pemeriksaan pengadilan maupun pembacaan putusan. Untuk tindak pidana tertentu, (misalnya tindak pidana pemeriksaan) pemeriksaan acara pembuktian dilakukan terutup untuk umum, begitu pula dalam pengadilan anak.

8. Asas perintah tertulis dari yang berwenang, artinya segala tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dapat dilakukakan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh undang-undang.

9. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya, artinya bahwa setipa orang wajib diberikan kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan dipemeriksaan guna kepentingan pembelaan.

2.3 Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana 2.3.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan starbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”

(25)

15

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan

“subjek tindak pidana.” ( Wirjono Prodjodikoro, 2003:59)

Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan masalah atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:

1. Perbuatan Pidana

Mulyanto menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan Pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. (Teguh Prasetyo, 2011:47)

Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperliatkan sesorang yang besifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

2. Peristiwa Pidana

Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah

“Peristiwa Pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam pasal 14 ayat (1). Secara substansif, Pengertian dari

(26)

16

istilah “Peristiwa pidana” menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.

3. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman.

Istilah ini banyak dipergunakan dalam tindak pidana khusus, misalnya:

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi. Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut juga sesorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

Mengenai kewajiban berbuat atau tidak berbuat terdapat pada pasal 164 KUHP.

2.3.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut unsur- unsur tindak pidana, yaitu :

a. Adanya perbuatan, artinya lebih merujuk kepada melakukan sesuatu (melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum) atau tidak

(27)

17

melakukan sesuatu (tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya diperintahkan oleh hukum)

b. Adanya suatu akibat tertentu, dari perbuatan si pelaku timbul berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab akibat (causal vervand) antara sipelaku dan kerugian kepentingan tertentu.

c. Adanya sifat melawan hukum (onrechmatigheid) dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur tertulis. Tanpa adanya unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.

Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut doktrin (Leden Marpaung, 2009:10) yaitu :

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku termasuk didalamnya segala termasuk didalam segala sesuatu yang terkadung didalam unsur ini terdiri dari :

1) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa) pada umumnya kesengajaan terdiri dari 3 bentuk yaitu :

• Kesengajaan sebagai tujuan untuk mencapai sesuatu arinya bahwa si pelaku memang benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan hukuman pidana.

(28)

18

• Kesengajaan yang tidak mempunyai tujuan melainkan suatu kekhilafan atau keinsyafan artinya bahwa sipelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar tindak pidana tetapi ia tahu bahwa akibatnya pasti akan mengikuti perbuatan itu

• Kesengajaan sebagai kemungkinan (bukan kepastian) artinya kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya bayangan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan- kejahatan.

4) Merencanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam pasal 308 KUHP.

b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas : 1) Perbuatan manusia berupa perbuatan aktif atau perbuatan positif

dan perbuatan pasif atau perbuatan negatif yaitu perbuatan yang mediamkan atau membiarkan.

(29)

19

2) Akibat perbuatan manusia. Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum.

3) Keadaan-keadaan. Keadaan dibedakan menjadi keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan sipelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

2.4 Teori Pembuktian dan Alat Bukti Sah

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan apakah seseorang yang didakwakan bersalah atau tidak, bisa dilihat dari tempat ataupun waktunya.

Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental yang diadaptasi dari sistem hukum buatan Belanda. Seperti yang kita ketahui bahwa pada sistem hukum ini hakimlah yang menilai dengan keyakinannya sendiri berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem hukum anglo sakson yang dimana juri lah yang menetukan apa seseorang bersalah atau tidak. Juri disini yang dimaksud adalah terdiri dari orang-orang awam yang menentukan salah tidaknya

(30)

20

seorang terdakwa sedangkan hakim hanya mempimpin sidang dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau peerbuatan yang dilakukan seseorang.

Masalah pembuktian sangat penting dan utama sebagaimana menurut pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian. (Andi Sofyan dan Andi Aziz, 2013:220)

2.4.1. Teori Pembuktian

1. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka

Dalam suatu sistem pembuktian untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan hanya keyakinan hakim saja. Hakim mengikuti hati nuraninya dan semua tergantung kebijaksanaan hakim. Jadi putusan hakim dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat bukti yang diatur dalam undang-undang, padahal hakim sendiri hanyalah seorang manusia biasa. Tentunya dapat salah dalam keyakinananya dan bisa saja terjadi kesalahpahaman. Sistem pembuktian ini pernah dianut di Indonesia pada pengadilan listik dan pengadilan kabupaten.

2. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif Suatu sistem pembuktian yang yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-

(31)

21

undang pada sistem ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Pada sistem ini keyakinan hakim dikesampingkan. Pada sistem ini undang-undang menetapkan secara terbatas mengenai alat bukti yang boleh dipakai hakim dan cara-cara bagaimana hakim menggunakan alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang serupa. Jika alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan dalam undang-undang maka hakim harus menetapkan secara sah terbukti meskipun hakim berkeyakinan bahwa yang terbukti dianggap tidak benar.

3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis

Pada sistem pembuktian ini peranan keyakinan hakim sangat penting. namun hakim baru dapat menghukum seorang tedakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan hakim tersebut harus disertai dengan alasan- alasan yang logis. Pada sistem ini hakim harus menguraikan apa saja yang menjadi alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya, alasan tersebut harus bisa diterima dan masuk akal. Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu, tetapi tidak ditetapkan oleh undang- undang. Banyak alat bukti lain yang digunakan untuk menetukan bersalah atau tidaknya terdakwa merupakan kewenagan hakim sepenuhnya tentu saja hakim harus bisa menjelaskan alasan-alasan mengenai putusan yang diambilnya.

(32)

22

4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pada sistem ini dapat dikatakan berupa penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian bedasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara sistem yang saling bertolak belakang. Sistem ini mengakomodasi sistem sistem pembuktian undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim belaka sehingga hasil dari penggabungan ini adalah salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2.4.2 Alat Bukti Sah

Dikaji dari prefektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khusunya pembuktian memegang peranan penting dalam menetukan seseorang bersalah atau tidak sehingga dijatuhkan oleh pidana oleh hakim.

Pembuktian dikategorikan dalam hukum pidana formil.

Secara umum pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia usaha untuk menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.

Pembuktian memegang peranan penting penyelesaian suatu tindak pidana dimuka pengadilan. Penerapan hukum materil dalam kasus-

(33)

23

kasus kongkrit yang dihadapi di depan pengadilan untuk mengetahui kebenarannya. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang terpenting dalam hukum acara pidana. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa- peristiwa tertentu.

Adapun enam butir yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgroden)

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen)

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering)

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht)

5. Beban pembuktian yang diwajibkan di muka siding pengadilan (bewijslast) bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum)

6. Bukti minimum yang dapat dilakukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum)

(34)

24

Menurut sistem HIR, dalam acara pidana atau perdata hakim terkait pada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ada dalam Undang-undang saja. Berdasarkan pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa;

Alat-alat bukti yang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut :

1.Keterangan Saksi

Keterangan Saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pada umumnya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi :

Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

(35)

25

Dalam pasal 185 KUHAP, berbunyi :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan depan saksi pengadilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap apa yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekaan yang diperolah dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi hakim harus dengan sungguh-sungguh memperlihatkan

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukt;

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk member keterangan tertentu;

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;

(36)

26

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain,tidak merupakan lat bukti,namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah.

Pada umumnya semua orang bisa jadi saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi :

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau saudara semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau isti terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah, yakni berbunyi : a. Anak yang umumnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum maka mereka itu tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan,karena itu keternagan merka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.” (Andi Hamzah, 2002:258-259)

(37)

27

Orang yang karena harkat, martabatnya atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada Pasal 170 KUHAP berbunyi: (1) Mereka yang karena pekerjaannya harkat dan martabat atau jabatanya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memeberikan keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

(2) Hakim yang menetukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti Pasal 185 ayat (1), bagaimana terdapat keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga. Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan.

Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenakan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materil dan pula untuk perlindungan tarhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya.

Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam Pasal 183 yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa

(38)

28

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan : keterangan seseorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya.”

Namun apabila disuatu persidangan seorang terdakwa mengaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti yaitu keterangan terdakwa. Akhirnya terpenuhilah syarat minimun pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan ahli dilihat dalam pasal 184 KUHAP yaitu : Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pada pasal 1 angka 28. Pasal ini memberikan pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap (2002, 297- 302) hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti:

1. Pasal 1 angka 28

(39)

29

Keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP

Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.

2. Pasal 133 (1) KUHAP

Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

4. Pasal 179 KUHAP

(1) Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan

(40)

30

memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1) ada dua kelompok ahli:

1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.

2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.

Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan.

Menurut M. Yahya Harahap (1985:819) bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:

1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.

Pada saat penyidik melakukan penyidikan untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Atas permintaan penyidik,

(41)

31

ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang

Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut

(42)

32

menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Keleluasaan hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.

c. Surat

Pengertian surat menurut Asser-Anema surat-surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. (Andi Hamzah, 2002:71)

Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

(43)

33

dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d. Petunjuk

Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Ketrangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

(44)

34

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.

Bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain.

e. Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(45)

35

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.

2.4.3 Alat bukti elektronik

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat 1 alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, namun Saat ini teknologi sudah semakin maju sudah banyak yang menggunakan alat bukti Elektronik dalam penyelesaian sengketa dipengadilan. Pada Pasal 5 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 dijelaskan sebagai berikut : (1) informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik da/atau hasil cetakan merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) informasi dan/atau dokumen elektronik hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah.

Sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku diindonesia. pada pasal diatas sudah dijelaskan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik atau hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1).

(46)

36

Sebenarnya sebelum diundangkannya Undang-undang No 11 Tahun 2008 pengakuan data elektonik sebagai alat bukti sudah ada hanya saja terbatas pada kasus kasus yang menyangkut terorisme, korupsi dan pencucian uang. Dengan diundangkannnya UU No 11 Tahun 2008 maka penggunaan alat bukti elektronik tidak terbatas saja hanya pada kasus terorisme, korupsi dan pencucian uang. Namun meski begitu penggunaan alat elektonik sebagai alat bukti tidak serta merta digunakan dokumen elekteronik yang digunakan sebagai alat bukti adalah dokumen elektronik yang dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjwabkan karena dokumen eletronik sangat muda dimanilupasi keasliannya pada Pasal 6 Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan : informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang inforamsi yang tercantum dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Pada Pasal 35 Undang-undang Informasi dan Tansaksi Elektronik memutuskan bahwa larangan untuk memanipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan perusakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik tersebut seolah- olah otentik dan saksi yang melanggar Pasal 35 ini ada pada Pasal 51 ayat (1) yaitu setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun (dua

(47)

37

belas tahun) dan denda paling banyak 12.000.000.000 (dua belas milyar rupiah).

Sebelumnya secara materil mengenai alat bukti ini sudah termuat dalam peraturan perundang-undangan. Namun secara formil hukum acara belum mengatur tentang dokumen mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti. Kemudian diundangkanlah Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang atas perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik terkait dengan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 44 huruf b Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang infomasi dan transaksi elektronik (UU ITE) ,serta Pasal 26A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka dibutuhkan pengaturan kembali tentang kedudukan bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sebelumnya dalam UU ITE pada pasal 5 menyatakan bahwa : 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dan Pasal 44 Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana

(48)

38

dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah menyatakan “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal-pasal diatas bertentangan dengan UUD 1945 . Mahkamah Konstitusi kemudian mengganti frasa tersebut menjadi “Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik ”

Pasal-Pasal tersebut harus di baca menjadi:

Pasal 5

Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(49)

39

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah Alat bukti lain berupa Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang- undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan mengubah status dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana yang akibatnya maka seluruh informasi elektronik/dokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai pasal 31 ayat (3) UU ITE, di luar itu maka informasi elektronik/dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti.

Implikasinya adalah, di satu sisi hal ini positif bagi penegakan hukum penyadapan di Indonesia, karena penyadapan dan rekamannya jika dijadikan sebagai bukti haruslah sesuai dengan Undang-undang.

Namun di sisi lain, kondisi ini justru mempersempit penggunaan informasi elektronik/dokumen elektronik dalam penegakan hukum karena Undang-

(50)

40

undang terlihat menyamakan pengertian intersepsi, penyadapan dengan perekaman (elektonik).

Dengan adanya Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang atas perubahan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut telah mengubah standar pembuktian di Indonesia. Sebelumnya tidak diatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti maka pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terbatas untuk informasi elektronik dan dokumen elektronik maka keabsahan perolehan suatu alat bukti menjadikan suatu alat bukti memiliki nilai pembuktian atau tidak.

Ditinjau dari cara perolehannya maka harus dikaitkan dengan frase dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Akibatnya jika rekaman pembicaraan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan undang-undang maka rekaman pembicaraan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah. Sebaliknya untuk CCTV yang bersifat publik tidak perlu proses perekamannya dilakukan dengan permintaan aparat penegak hukum. Namun, apabila hasil rekaman CCTV tersebut hendak dijadikan alat bukti dalam proses penegakan hukum pidana maka hasil rekaman CCTV tersebut baru dapat dijadikan alat bukti jika ada permintaan dari aparat penegak hukum.

Dalam kasus-kasus pidana ke depan maka seluruh dokumen elektronik/informasi elektronik dalam penegakan hukum pidana tidak

(51)

41

dapat digunakan sebagai bukti/petunjuk jika tidak memenuhi syarat yang di putuskan oleh dalam undang-undang No 19 Tahun 2016

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Penggunaan Closed Circuit Televison Dalam Perkara Pidana Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mendapatkan kebenran materil atau setidak-tidaknya kebenaran materil. Seperti yang diketahui bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang diajukan di persidangan serta dengan keyakinan hakim bahwa benar bahwa terdakwa yang melakukan.

Di masa lalu alat bukti yang dapat diterima dalam proses peradilan hanya mengacu pada 5 alat bukti yang terdapat pada KUHAP Pasal 184 ayat (1) dan tidak menyebutkan alat bukti elektronik begitu pula di bidang pembuktian hukum perdata diindonesia yang diatur dalam HIR (Herzene Indonesisech Reglement) yaitu alat bukti yang sah berupa naskah otentik, keterangan saksi, pengakuan, dan persangkaan oleh hakim. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat berkembang pesat dibidang telekomunikasi, informasi, dan komputer.

Oleh karena itu manfaat CCTV adalah mencegah para pelaku criminal melakukan suatu kejahatan, memantau keadaan ataupun kegiatan dalam suatu ruangan tempat yang dipasangi CCTV, dan menunjang penyidikan

(52)

42

tindak kejahatan yang telah terjadi, hasil rekaman CCTV dapat dijadikan bukti kejahatan.

Tingkatan penyidikan mempunyai posisi yang tidak bias diabaikan. Kekuasaan dan kewenangan polisi sebagai penyidik sangat penting. Penyidikan yang dilakukan tentu diarahkan pada pembuktian, sehingga tersangka dapat dituntut kemudian dipidana. Demikian pula dari hasil penyidikan yang dilakukan terhadap suatu kasus yang dituangkan dalam berita acara penyidikan. Tentu bias diharapkan berguna untuk pemeriksaan berikutnya.

Penyidikan telah diarahkan pada proses pembuktian nantinya di persidangan, maka penyidikan merupakan langkah awal pemeriksaan yang akan digunakan oleh pihak yang berkepentingan selanjutnya yaitu penuntut umum, hakim, maupun terdakwa itu sendiri dan penasehat hukumnya. Oleh karena itu pada tingkatan penyidikan dan penyidikan diharapkan bias berfungsi secara maksimal. Maka pada tingkat penyidikan kegunaan CCTV tidak bias di ragukan lagi sebagai bagian dari pembuktian.

Pembuktian mempunyai peranan yang penting dalam proses peradilan pidana di pengadilan. Dengan pembuktian bias diketahui nasib seorang terdakwa. Bisa saja orang yang bersalah mendapatkan hukuman bisa juga orang yang tidak bersalah bebas dari hukuman. Maka dari itu kehati-hatian dan kecermatan hakim sangat dibutuhkan.

(53)

43

Pembuktian merupakan suatu kegiatan mebuktikan dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada kepada hakim untuk memperkuat keyakinan hakim baik itu pembuktian secara lisan maupun tulisan. Suatu kebenaran itu harus terbukti dengan mencocokkan dengan alat bukti yang ada. Maka dari itu hukum acara pidana bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materil.

Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena untuk mencari kebenaran materil sangat tidak mudah. Seperti yang diketahui alat bukti yang tersedia sangat relatif.

Pembuktian merupakan bagian yang terpenting dalam pemeriksaan perkara oleh karena itu pada pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenal alat bukti yang sah terdiri atas :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Berdasarkan pasal 183 KUHAP bahwa pembuktian harus berdasarkan setidak-tidaknya dua alat bukti sah serta dengan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Perlu diketahui bahwa keyakinan hakim tidak timbul dengan sendirinya melainkan timbul dari alat bukti yang

(54)

44

telah disebutkan dalam undang-undang dan keadaan-keadaan lain.

Namun meski alat bukti yang tersedia sudah cukup namun apabila hakim tidak memperoleh keyakinan terhadap apa yang terjadi maka hakim belum bias menjatuhkan pidana.

Dalam perkara pidana umum, ketentuan mengenai alat bukti elektronik tidak diatur secara jelas dalam KUHAP sehingga disini hakim harus melakukan penemuan hukum untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Hakim sebagai bagian dari aparat penegak hukum yang memeriksa dan mengadili terdakwa tidak boleh menolak suatu perkara dikarenakan tidak ada aturan hukum yang mengaturnya.

Sehingga hakim tidak dapat mengatakan KUHAP belum mengatur ketentuan bukti elektronik.

Hakim sebagai arapat penengak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan penemuan hukum dan menginterpretasikan alat bukti elektronik sebagai perluasan dari alat bukti petunjuk yang merupakan alat bukti sah sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Dalam menilai keabsahannya sebagai alat bukti hakim mengacu pada alat bukti lain, dan keyakinan hakim itu sendiri. Pada tingkatan pemeriksaan penyidikan mengundang ahli, meskipun ahli bukan orang yang melihat, mendengar, menegtahui secara langsung apa yang terjadi namun dengan keahliannya kesaksian seorang ahli juga memiliki nilai pembuktian yang kuat.

Referensi

Dokumen terkait

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Tahapan suksesi yang dialami Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir yang telah mengalami masa suksesi lebih lanjut, karena nilai keanekaragaman,

Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu perhatian dari World Health Organization (WHO), karena angka kematian ibu dan anak merupakan salah satu masalah dari negara ASEAN,

Pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011, Perusahaan dan Entitas Anak telah membayar sebesar Rp153.634.644 dan Rp97.252.540 dan yang disajikan sebagai bagian dari Uang

“I didn’t think so.” He glanced around, as if come for the first time to a new place.. “No one is likely to pass down these corridors,

‘I have matter here that will vindicate John the moment it is seen by the right people, and make Ned Kelley a wanted man.’.. Jane

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak

Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau