• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Administrasi dan Administrasi Publik

Administrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin (Yunani) yang terdiri atas dua kata yaitu “ad” dan “ ministrate” yang berarti “to serve” yang dalam Bahasa Indonesia berarti melayani atau memenuhi.

R.D.H. Kusumaatmadja dalam Ragawino (2006: 18) mengatakan bahwa Administrasi dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari dua arti : Dalam arti sempit administrasi adalah kegiatan tulis menulis, catat mencatat dalam setiap kegiatan atau tata usaha. Dalam arti luas administrasi adalah kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Dr. Sondang Siagian (2012:13) mendefinisikan administrasi sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Irra Chisyanti Dewi ( 2011: 3) dalam Buku Pengantar Admintrasi mengatakan bahwa admintrasi memiliki pengertian dalam arti yaitu sebagai perkerjaan tulis menulis atau ketataushaan atau kesekretarisan , yaitu meliputi kegiatan menerima, mencatat ,menghimpun,mengolah mengadakan ,mengirim, menyimpan.

The Liang Gie (2009:9) dalam bukunya Administrasi Perkantoran Modern mengatakan bahwa administrasi memiliki pengertian dalam arti luas, yaitu

16

(2)

Adminstrasi merupakan proses kerjasama beberapa individu dengan cara yang efisien dalam mencapai tujuan sebelumnya. Hal tersebut menyelesaikan bahwa serangkaian kegiatan yang memerlukan proses kerja sama dan bukan merupakan hal yang baru karena dia telah timbul bersama-bersama dengan timbulnya pemidahan manusia.

Menurut George Terry (Sutha, 2018) mendefinisikan administrasi sebagai Perencanaan, pengendalian, pengorganisasian pekerjaan perkantoran, serta penggerakan mereka yang melaksanakan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Istilah Administrasi Negara berasal dari bahasa latin administrate yang dalam bahasa Belanda diartikan sama dengan besturen yang berarti fungsi pemerintah.

Salah satu ahli, Henry dalam Pasolong (2017:22) mengemukakan ruang lingkup administrasi publik yang dapat dilihat dari topik-topik yang dibahas selain perkembangan ilmu administrasi itu sendiri, antara lain :

1. Organisasi publik, pada prinsipnya berkenaan dengan model-model organisasi dan perilaku birokrasi.

2. Manajemen publik, yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen, evaluasi program, dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen sumber daya manusia.

3. Implementasi, yaitu menyangkut pendekatan terhadap kebijakan publik dan implementasinya, privatisasi, administrasi antar pemerintahan dan etika birokrasi.

(3)

Secara konseptual, administrasi publik dimaksudkan untuk lebih memahami hubungan pemerintah dengan publik serta meningkatkan responsibilitas kebijakan terhadap berbagai kebutuhan publik, dan juga melembagakan praktik-praktik manajerial agar terbiasa melaksanakan suatu kegiatan dengan efektif, efisien dan rasional dalam Pasolong (2017:1).

Menurut Nicholas Henry dalam Pasolong (2017:9) Definisi administrasi publik adalah:

“Suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan praktik dengan tujuan mempromosi pemahaman terhadap pemerintah dalam hubungannya dengan masyarakat yang diperintah, dan juga mendorong kebijakan publik agar lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Administrasi publik berusaha melembagakan praktik-praktik manajemen agar sesuai dengan nilai efektivitas, efisiensi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara lebih baik”.

Harbani Pasolong (2007:8) mengartikan bahwa administrasi publik sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan publik secara efisien dan efektif.

George J. Gordon dalam Syafiie (2006:25) merumuskan Administrasi

publik sebagai seluruh proses baik yang dilakukan organisasi maupun perseorangan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif, eksekutif serta pengadilan.

Pendapat dari Felix A. Nigro (2016:14) mengemukakan bahwa definisi administrasi publik adalah:

1. Upaya berbagai kelompok yang kooperatif di seting publik.

(4)

2. Mencakup tiga lembaga negara eksekutif, legislatif, yudikatif yang semuanya saling terhubung.

3. Berperan penting dalam perumusan kebijakan publik dan karenanya menjadi bagian dari proses politik

4. Berbeda secara signifikan di hal-hal tertentu dari administrasi swasta.

5. Berkaitan erat dengan kelompok-kelompok swasta dan individu-individu terkait penyediaan jasa dan layanan bagi komunitas.

Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo Administrasi Negara melakukan fungsi bantuan pemerintah berarti pemerintah (pejabat) tidak dapat memenuhi tugas - tugas tanpa administrasi Negara.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa administrasi publik adalah kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga dalam melaksanakan tugas atau kegiatan pemerintah yang dikeluarkan oleh badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam memenuhi kebutuhan publik secara efisien dan efektif.

2.1.2 Konsep Kebijakan Publik

Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa inggris “policy”.

Kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah maupun tidak dilakukan pemerintah.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian kebijakan menurut Dye (dalam Subarsono, 2010:2) adalah: “publik policy is whatever governments choose to do or not to do”(apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak

(5)

dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak) yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.

Carl J Frierich dalam Winarno (2016: 20) mendefinisikan kebijakan publik

sebagai suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.

Menurut Rusli (2013:36) kebijakan publik memiliki kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kebijakan publik tidak bersifat spesifik dan sempit tetapi luas dan strategis, oleh karena itu berfungsi sebagai pedoman umum untuk keputusan-keputusan khusus dibawahnya.

Menurut Willy N. Dunn dalam Syafiie (2006:106) Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertanahan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalis, perkotaan dan lain-lain.

W.I Jenkins dalam Wahab (2012:15) merumuskan kebijakan publik sebagai berikut : kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan

(6)

yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi, keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.

Kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis (Nasucha,2004:37).

Dari defnisi kebijakan publik diatas dapat dikatakan bahwa : (1) kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2) kebijakan publik harus berorientasi kepada kepentingan publik, dan (3) kebijakan publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.

Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik untuk dilaksanakan dalam bentuk riil bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakan publik untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan publik itu sendiri.

Menurut Pasolong (2017:48) jenis-jenis kebijakan publik dapat telusuri melalui undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 7 menjelaskan jenis dan hirarki peraturan-perundangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2. Undang-undang/Peraturan,

(7)

3. Peraturan Pemerintah , 4. Peraturan Presiden, 5. Peraturan Daerah .

Sedangkan menurut Nugroho dalam Pasolong (2017:48) kebijakan publik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Kebijakan yang bersifat makro, yaitu kebijakan atau peraturan yang bersifat umum.

2. Kebijakan yang bersifat meso, yaitu kebijakan yang bersifat menengah atau memperjelas pelaksanaan, seperti kebijakan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Wali Kota.

3. Kebijakan yang bersifat mikro, yaitu kebijakan yang bersifat mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya, seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Pasolong (2017:49) mengemukakan proses perumusan kebijakan publik yaitu dimulai dari analisis kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Berikut penjelasannya :

1. Analisis kebijakan

Nugroho dalam Pasolong (2017:50), mengatakan bahwa analisis kebijakan pemahaman akan suatu kebijakan atau pula pengkajian untuk merumuskan suatu kebijakan.

(8)

2. Pengesahan kebijakan

Proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima.

3. Implementasi kebijakan

Wijaya dan Supardo dalam Pasolong (2017:67), mengatakan bahwa implementasi adalah proses mentransformasikan suatu rencana ke dalam praktik.

4. Evaluasi kebijakan

Evaluasi digunakan untuk mempelajari tentang hasil yang diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dalam pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari mereka yang berada diluar lingkungan politik.

Rossi & Freeman dalam Pasolong (2017:70).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas tentang kebijakan publik maka penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan pemerintah yang bersifat mengatur dalam merespon permasalahan yang dihadapi masyarakat dan mempunyai tujuan tertentu, berorientasi kepada kepentingan publik (masyarakat) dan bertujuan untuk mengatasi masalah.

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Kata implementasi berasal dari kata Bahasa Inggris yaitu to implement, yang artinya mengimplementasikan atau juga implementasi diartikan sebagai

(9)

pelaksanaan atau penerapan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.

Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Menurut Ripley dan Franklin dalam Winarno (2016:134) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjukan pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Implementasi mencakup banyak macam kegiatan, pertama bertanggung jawab dalam menjalankan program. Kedua, badan-badan pelaksana mengembankan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana- rencana dan desain program. Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja.

Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif tetapi gagal memperoleh substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik.

Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil merupakan kondisi yang diperlukan sekaligus tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir yang positif. Hal ini

(10)

sangat berpengaruh pada pencapaian suatu kebijakan dalam memecahkan persoalan publik.

Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris “policy”.

Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksaan berasal dari kata “wisdom”. Peneliti berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah kebijaksanaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan- pertimbangan yang lebih lanjut, sedangkan kebijakan mencakup peraturan- peraturan yang ada didalamnya termasuk konteks politik.

Menurut Nugroho (2008) dalam Rusli (2013:32) berpendapat bahwa beberapa ilmuwan di Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan sebagai ganti policy. Sesungguhnya, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena kebijaksanaan

adalah salah satu dari ciri kebijakan publik.

Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan pada umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seorang kelompok atau pemerintah, kebijakan mempunyai hambatan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. Akan tetapi kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik sosial yang ada dimasyarakat. Apabila kebijakan bertentangan dengan nilai- nilai yang ada dimasyarakat, maka kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Oleh sebab itu, untuk mengimplementasikan suatu kebijakan

(11)

ada dua pilihan, yakni langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan turunan.

Menurut Teori Implementasi Kebijakan (George Edward III, 1980:1), Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial karena seberapa baiknya suatu kebijakan kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan dengan baik implementasinya maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan terwujud.

Menurut Van Meter and Van Horn dalam Winarno (2016:135) menyatakan bahwa :

“Implementasi kebijakan meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya”.

Presmann dan Waldavsky dalam Jones (1991: 295) mengatakan bahwa

implementasi kebijakan merupakan tahapan lanjut dari formulasi kebijakan.Pada tahap formulasi diterapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan. Sedangkan tindakan (action) untuk mencapai tujuan diselenggarakan pada tahap implementasi kebijakan, implementasi adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk mencapainya.

Nugroho (2008: 429) berpendapat bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk

(12)

program atau melalui formulasi kebijakan dereviat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang- undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan pengadilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutnya secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya.

Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dalam hal ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai kemungkinan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas melaksanakan program.

Dapat diketahui, makna dasar yang terkandung dalam kata implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: Rusli (2013:91)

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan

Berdasarkan pendapat para ahli diatas tentang implementasi kebijakan maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya

(13)

tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan berjalan tidak selalu mulus, banyak faktor yang mempengaruhi disekelilingnya yang turut mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Disamping itu bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting, bahkan lebih penting dari pembuatan keputusan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang strategis dan menentukan terhadap pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam tahap formulasi sebuah kebijakan.

2.1.4 Model Implementasi Kebijakan Publik

Berdasarkan dari beberapa definisi yang dikemukakan sebelumnya terungkap makna bahwa implementasi kebijakan publik adalah sesuatu yang kompleks, yang melibatkan berbagai bentuk kegiatan, berbagai pihak, terkait dengan lingkungan atau konteks dimana kebijakan itu hendak diterapkan untuk mencapai tujuannya. Rusli (2015:92).

Diantaranya sejumlah model yang digunakan untuk melihat bagaimana faktor-faktor mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, maka beberapa diantaranya akan diuraikan Parsons dalam Rusli (2015:94) :

1. Model Top down (implementasi sistem rasional)

Model ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.

(14)

2. Model Bottom up

Model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Model ini juga menekankan pada fakta bahwa implementasi dilapangan memberikan keleluasan dalam penerapan kebijakan.

Sedangkan Agustino (2017:130-131) mengatakan bahwa perkembangan studi implementasi kebijakan telah memasuki generasi ketiga, dimana generasi pertama memperkenalkan pendekatan top-down. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa implementasi kebijakan dimulai dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintah, sehingga pelaksanaannya pun bersifat tersentralisasi. Atau dalam kata lain, pendekatan top-down bertitik-tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh aktor pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh aparatur, administratur, atau birokrat di semua tingkatan- terutama pada tingkat bawah. Maka tidak heran apabila Letser dan stewart Jr.

(2000:108) menamakan pendekatan ini dengan istilah the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando). Dimana inti pendekatan ini adalah

hendak menjelaskan sejauh mana tindakan para pelaksana melaksanakan konten kebijakan sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan atau oleh aktor kebijakan di tingkat pusat.

Generasi kedua perkembangan teori implementasi kebijakan memperkenalkan pendekatan bottom-up atau dalam istilah Letser dan Stewart Jr.

(2000:108) dinamakan the market approach (pendekatan pasar) sebagai respon atas pendekatan top-down. Para penggagas pendekatan ini menolak gagasan bahwa kebijakan ditentukan di tingkat pusat dan pelaksana harus tetap berpegang pada

(15)

tujuan ini seketat mungkin. Mereka berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah publik sebaiknya dimulai dari ‘bawah’ yang mengenal dan memahami konteks masalah yang dirasakan oleh mereka.

Dan generasi ketiga memperkenalkan pendekatan hybrid atau pendekatan campuran (antara pendekatan top-down dengan pendekatan buttom-up).

Pendekatan ini awalnya dikembangkan oleh Richard Elmore (dlm. Pulzl & Treib 2007) seorang simpatisan pendekatan top-down yang merasa gundah dengan kelemahan dua pendekatan yang ada. Oleh sebab itu, ia menggabungkan forward- mapping dengan backward-mapping yang intinya adalah para pembuat kebijakan

harus mulai mempertimbangkan instrumen kebijakan dan sumber daya yang tersedia untuk perubahan kebijakan (forward-mapping) dan juga harus mengetahui struktur insentif pelaksana dan kelompok sasaran (backward-mapping).

1. Model Grindle (Rusli,2015:95-98)

Grindle (1980) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik

dan administratif. Menurut Grindle (1980), dua kelompok faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu : variable isi kebijakan (content of policy) dan variable konteks kebijakan (context of policy).

2. Model Edward III (Rusli,2015:100)

Melalui model implementasi kebijakan publiknya yang diberi nama direct and indirect impact on implementation, Edward menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau implementasi kebijakan publik. Diantara faktor- faktor tersebut secara stimultan bekerja dan berinteraksi yang pada gilirannya

(16)

berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut adalah :

 Komunikasi (Communication )

 Sumber daya (Resources )

 Disposisi atau Sikap Pelaksana (Dispositions )

 Struktur Birokrasi (Bureaucratic structure)

3. Model Van Metter dan Van Horn (Rusli,2015:102)

Model implementasi kebijakan yang dikembangkankan oleh Donald S Van Metter dan Carl E. Van Horn (1975) berdasarkan teori yang memiliki argument

bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Kinerja kebijakan dipengaruhi oleh enam variable bebas yang saling berkaitan, yang terdiri dari : (1) Standar/ukuran dan sasaran-sasaran kebijakan; (2) sumber-sumber daya; (3) karakteristik/sifat implementor kebijakan (badan/instansi/pelaksana); (4) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksaan; (5) sikap para pelaksana; (6) lingkungan ekonomi,sosial, dan politik.

4. Model Mazmanian dan Sabatier (Rusli,2015:108)

Mazmanian dan Sabatier (1983:21-30) menyatakan, bahwa peran penting

dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan- tujuan formal pada keseluruhan tahapan proses implementasi. Selanjutnya, variable-variabel tersebut secara umum diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori variabel bebas, yaitu :

(17)

1) Risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang akan dikendalikan (Tractability of the problem)

2) Kemampuan keputusan kebijkan untuk menstruktrkan proses implementasinya secara tepat (Ability of policy decision to structure implementation)

3) Variable-variabel di luar kebijakan/peraturan perundangan yang mempengaruhi implementasinya (Non- statutory variables affecting implementation)

Jika dikaitkan dengan bermacam-macam kasus dan konteks kebijakan, maka diantara semua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan jika digunakan sebagai acuan untuk melihat bagaimana kebijakan publik itu dilaksanakan dalam mencapai tujuannya.

2.1.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses Implementasi Kebijakan

George C. Edward III merupakan salah satu ahli yang mengemukakan

model-model implementasi. Implementasi kebijakan menurut Edward merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan publiknya yang diberi nama Direct and Indirect impact on Implementation ia menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan atau implementasi kebijakan publik. Diantara faktor-faktor tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi yang pada gilirannya berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan implementasi kebijakan publik Rusli (2013:100-104).

(18)

Gambar 2.1

Model Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward

Sumber :Budiman Rusli,2015:100

Menurut Edward III dalam implementasi kebijakan publik ada empat faktor/variabel yang mempengaruhi proses keberhasilan dalam sebuah kebijakan, yaitu :

1. Komunikasi (Communication )

Implementasi agar efektif, maka semua pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan suatu kebijakan harus mengetahui apa yang seharusnya dilakukan.

Perintah-perintah untuk melaksanakan kebijakan harus diberikan pada personil yang tepat dan mereka harus mengkomunikasikannya dengan jelas, akurat dan konsisten agar tidak menimbulkan salah pengertian. Ada tiga hal yang menyangkut dalam proses komunikasi kebijakan adalah :

a. Transmisi (Transmission)

Sebelum pemerintah mengimplementasikan suatu keputusan, pembuat kebijakan diharapkan sadar akan keputusan yang telah dibuat dan telah mengeluarkan surat perintah untuk pelaksanaannya. Pertentangan pendapat antara para pelaksana

Komunikasi

Struktur

Sumber Daya

Disposisi

Implementasi

(19)

dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan pun menjadi salah satunya. Adanya hirarki birokrasi membuat tingkat efektifitas komunikasi kebijakan yang dijalankan juga sedikit mengalami hambatan, dikarenakan adanya hambatan dalam komunikasi mengakibatkan para pelaksana kebijakan mengabaikan persyaratan suatu kebijakan.

b. Kejelasan (Clarity)

Kejelasan informasi yang disampaikan akan meminimalisir kemungkinan terjadinya distorsi atau penyimpangan informasi dari apa yang seharusnya atau dikehendaki oleh pemberi informasi. Melalui informasi dan proses komunikasi yang jelas diharapkan tidak muncul misinterprestasi, sehingga proses implementasi kebijakan bisa lebih mudah dilaksanakan dalam mencapai tujuannya.

c. Konsistensi (Consistency)

Jika implemnetasi kebijakan ingin berlangsung secara efektif, maka perintah- perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Dari beberapa faktor yang menghasilkan komunikasi yang tidak jelas juga menyebabkan komunikasi yang tidak konsisten, yaitu :

1) Kompleksitas kebijakan publik,

2) Kesulitan-kesulitan untuk memulai program baru,

3) Banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan (Multiple objectives of many policies).

2. Sumber daya (Resources )

Ketersediaan sumber-sumber yang memadai sangat penting dalam rangka mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Sumber yang penting meliputi

(20)

jumlah staf yang memadai dengan pengalaman yang cukup, memiliki informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan, kewenangan dan fasilitas-fasilitas. Sumber daya tersebut meliputi :

a. Staf (Staff)

Diperlukannya staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksakan tugas-tugas mereka. Tingkat kualitas dari SDM tentunya menjadi faktor penting karena merekalah yang menjadi pelaksana kebijakan.

Peningkatan kualitas SDM, motivasi dan diadakannya pelatihan bagi pelaksana kebijakan tentunya perlu agar pelaksana kebijakan dapat melakukannya dengan benar sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan lebih yang mereka miliki terkait implementasi kebijakan tersebut.

b. Informasi (Information)

Terdapat dua bentuk informasi, pertama adalah informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan, kedua adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi secara langsung, yang pertama adalah beberapa tanggungjawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi tepat pada waktunya dan yang kedua adalah ketidakefisienan.

c. Wewenang (Authory)

Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda-beda. Tetap harus ada yang namanya formal namun hal tersebut tetap terbatas, jika tidak wewenang ini akan dapat disalahgunakan.

(21)

d. Fasilitas (Facilities)

Fasilitas fisik menjadi salah satu sumber penting dalam implementasi.

Seorang pelaksana memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, mempunyai informasi-informasi, bahkan mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

3. Disposisi (Dispositions )

Salah satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, dengan demikian menyangkut keinginan atau kehendak untuk melaksanakan kebijakan.

4. Struktur Birokrasi (Bureaucratic structure)

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implemntasi kebijakan. Salah satu aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adanya prosedur operasi yang standar (SOP). Standar operasional ini menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

2.1.4.2 Faktor yang Menjadi Penghambat Proses Implementasi Kebijakan Dalam implementasi kebijakan terdapat berbagai hambatan, menurut Gow dan Morss dalam Pasolong (2017:69) hambatan tersebut antara lain :

1. Hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan 2. Kelemahan institusi

(22)

3. Ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif 4. Kekurangan dalam bantuan teknis

5. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi 6. Pengaturan waktu

7. Sistem informasi yang kurang mendukung 8. Perbedaan agenda tujuan antar aktor 9. Dukungan yang berkesinambungan

2.2 Kebijakan Program Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja (AUSREM)

Permenkes No. 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak Bagian Kelima

Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja Pasal 28

(1) Setiap Anak Usia Sekolah dan Remaja harus diberikan pelayanan kesehatan.

(2) Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar setiap Anak memiliki kemampuan berperilaku hidup bersih dan sehat, memiliki keterampilan hidup sehat, dan keterampilan sosial yang baik sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

(3) Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui:

(23)

a. Usaha Kesehatan Sekolah; dan

(4) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan guru pembina usaha kesehatan sekolah, guru bimbingan dan konseling, Kader kesehatan sekolah dan konselor sebaya.

Pasal 29

(1) Usaha Kesehatan Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf a dilakukan meliputi kegiatan:

a. Pendidikan Kesehatan;

b. Pelayanan Kesehatan; dan

c. Pembinaan Lingkungan sekolah sehat.

(2) Usaha Kesehatan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor.

(3) Pelayanan Kesehatan melalui Usaha Kesehatan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

(1) Pelayanan kesehatan peduli remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b dilakukan melalui:

a. Pelayanan Konseling;

b. Pelayanan Klinis Medis;

c. Pelayanan Rujukan;

d. Pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kesehatan Remaja;

e. Partisipasi Remaja; dan

(24)

f. Keterampilan Sosial.

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada semua remaja, dilaksanakan di dalam atau di luar gedung untuk perorangan atau kelompok.

Pasal 31

(1) Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a diberikan oleh konselor terlatih kepada Remaja untuk membantu agar Remaja mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan dapat berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggungjawab.

(2) Pelayanan klinis medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat

(1) huruf b diberikan kepada Remaja yang menderita penyakit tertentu sesuai standar.

(3) Pemberian pelayanan rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c meliputi pelayanan rujukan bidang:

a. Medis;

b. Sosial; dan c. Hukum.

(4) Pelayanan rujukan bidang sosial dan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c harus dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pemberian komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan Remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan tahap tumbuh kembang dan kebutuhan Remaja.

(25)

(6) Partisipasi Remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara melibatkan Remaja secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan peduli Remaja serta pemberdayaan konselor sebaya.

(7) Keterampilan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf f dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga pendidik dengan melibatkan peran Remaja sesuai standar.

Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan peduli Remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 33

(1) Komunikasi, informasi, dan edukasi diberikan kepada semua Anak Usia Sekolah dan Remaja.

(2) Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh tenaga kesehatan, guru usaha kesehatan sekolah, guru bimbingan dan konseling, dan konselor sebaya.

(3) Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain diberikan melalui ceramah tanya jawab, kelompok diskusi terarah, dan diskusi interaktif dengan menggunakan sarana dan media komunikasi, informasi, dan edukasi.

Pasal 34

(1) Materi pemberian Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 meliputi :

(26)

a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b. Tumbuh kembang Anak Usia Sekolah dan Remaja;

c. Kesehatan reproduksi;

d. Imunisasi;

e. Kesehatan jiwa dan NAPZA;

f. Gizi;

g. Penyakit menular termasuk HIV dan AIDS;

h. Pendidikan Ketrampilan Hidup Sehat (PKHS);dan i. kesehatan intelegensia.

(2) Materi Pemberian komunikasi informasi dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai tahap tumbuh kembang dan kebutuhan Anak Usia Sekolah dan Remaja.

Bagian Keenam

Perlindungan Kesehatan Anak Paragraf 1

Umum Pasal 35

(1) Perlindungan Kesehatan Anak bertujuan untuk :

a. Menjamin terpenuhinya hak-hak Anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan; dan

b. Memberikan perlindungan kepada Anak dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

(2) Perlindungan Kesehatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

(27)

melalui :

a. Pelayanan kesehatan bagi korban KtA termasuk kasus tindak pidana perdagangan orang/trafiking;

b. Pelayanan kesehatan bagi Anak berhadapan dengan hukum di lapas/rutan;

c. Pelayanan kesehatan bagi Anak dengan Disabilitas;

d. Pelayanan kesehatan bagi Anak terlantar di panti/lembaga kesejahteraan sosial anak;

e. Pelayanan kesehatan bagi Anak jalanan/pekerja Anak; dan

f. Pelayanan kesehatan bagi Anak didaerah terpencil dan tertinggal, perbatasan dan terisolasi.

Paragraf 2

Pelayanan Kesehatan Bagi Korban KtA Pasal 36

(1) Pelayanan kesehatan bagi korban KtA diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas/institusi lain.

(2) Pelayanan kesehatan bagi korban KtA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :

a. Penyuluhan dampak kekerasan terhadap tumbuh kembang anak;

b. Penanganan kasus darurat medis;

c. Konseling dan kesehatan jiwa;

d. Pemeriksaan fisik dan status mental ;

e. Pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium darah dan urine, rontgen;

f. Rekam medis;

(28)

g. Kunjungan rumah;

h. Pencatatan dan pelaporan;

i. Pembuatan Visum et Repertum;

j. Pemberian rujukan medis; di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan bila diperlukan; dan

k. Rujukan untuk bantuan hukum dan psikososial.

(3) Pelayanan kesehatan bagi korban KtA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berjenjang sesuai sistem rujukan.

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan kesehatan mampu tatalaksana korban KtA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

(1) Tenaga kesehatan yang dalam melakukan pelayanan kesehatan menemukan adanya dugaan KtA wajib memberitahukan kepada orang tua dan/atau pendamping Anak tersebut, disertai anjuran melaporkan dugaan KtA tersebut kepada kepolisian.

(2) Dalam hal orang tua atau pendamping korban KtA menolak dilakukan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga kesehatan wajib memberikan informasi kepada kepolisian sesegera mungkin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3

Anak Berhadapan dengan Hukum di Lapas/Rutan dan Anak Terlantar, Anak Jalanan atau Pekerja Anak di Panti/Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

(29)

Pasal 39

(1) Pelayanan kesehatan bagi Anak Berhadapan dengan Hukum di Lapas/Rutan dan Anak Terlantar, Anak Jalanan atau Pekerja Anak di Panti/Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dilakukan oleh tenaga kesehatan.

(2) Puskesmas yang wilayah kerjanya memiliki lapas/rutan dan panti/lembaga kesejahteraan sosial anak harus melakukan pelayanan kesehatan paling sedikit meliputi:

a. Penyuluhan mengenai kesehatan Anak;

b. Penyuluhan mengenai kesehatan lingkungan;

c. Penjaringan kesehatan;

d. Pemberantasan sarang nyamuk;

e. Imunisasi;

f. Pengobatan sesuai dengan indikasi medis; dan/atau g. Konseling dan pelayanan kesehatan jiwa.

(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan usia Anak Berhadapan dengan Hukum di Lapas/Rutan dan Anak Terlantar, Anak Jalanan atau Pekerja Anak di Panti/Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak.

Paragraf 4

Anak dengan Disabilitas Pasal 40

(1) Pelayanan kesehatan Anak dengan Disabilitas dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan atau diluar fasilitas pelayanan kesehatan.

(2) Pelayanan kesehatan Anak dengan Disabilitas yang dilakukan diluar fasilitas

(30)

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain dapat dilakukan melalui sekolah luar biasa, sekolah inklusif, institusi lain, dan keluarga.

(3) Pelayanan kesehatan Anak dengan Disabilitas yang dilakukan di sekolah luar biasa dan sekolah inklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terintegrasi dengan usaha kesehatan sekolah.

(4) Dalam hal pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Puskesmas yang wilayah kerjanya terdapat Sekolah Luar Biasa, harus dilakukan paling sedikit meliputi:

a. Penyuluhan tentang kesehatan anak;

b. Penyuluhan tentang kesehatan lingkungan;

c. Penjaringan kesehatan;

d. Pemberantasan sarang nyamuk;

e. Imunisasi;

f. Pengobatan;

g. Konseling dan pelayanan kesehatan jiwa; dan/atau h. Pelayanan kesehatan intelegensia.

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayananan kesehatan Anak di sekolah luar biasa, pelayanan kesehatan Anak di Lapas/Rutan, pelayanan kesehatan Anak di panti, dan pelayanan kesehatan Anak jalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Menteri.

(31)

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang mempunyai masalah dalam pelaksanaan implementasi kebijakan Program Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja (AUSREM) yang belum optimal, adapun masalah telah dipaparkan di uraian sebelumnya. Dalam upaya untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian, penulis mengambil teori dari George C. Edward III dalam Rusli (2015:100-104).

Teori ini disebut diambil karena penulis melihat indikator masalah-masalah yang ada dalam pelaksanan implementasi kebijakan Program Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja (AUSREM) sangat relavan dengan teori tersebut.

Merujuk model implementasi kebijakan menurut George C. Edward III dalam Rusli (2015:100-104) yang penulis gunakan, ada empat faktor/variabel yang mempengaruhi proses keberhasilan dalam sebuah kebijakan, yaitu :

1. Komunikasi (Communication ) 2. Sumber daya (Resources )

3. Disposisi atau sikap pelaksana (Dispositions ) 4. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure )

Mengacu pada pendapat yang dikemukakan di atas, maka penulis menggambarkan kerangka pemikiran penelitian untuk memudahkan pemecahan masalah seperti gambar dibawah ini :

(32)

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas penulis menguraikan hipotesis sebagai berikut “Implementasi Kebijakan Program AUSREM di Dinas Kesehatan Kabupaten Subang akan optimal bilamana memperhatikan unsur-unsur Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi serta Struktur Birokrasi”.

Implementasi Kebijakan Program AUSREM di Dinas Kesehatan Kabupaten Subang belum optimal

Implementasi Kebijakan Publik 1. Komunikasi (Communication)

a. Transmisi (Transmission) b. Kejelasan (Clarity) c. Konsistensi (Consistency) 2. Sumber daya (Resources)

a. Staff (Staff )

b. Wewenang (Authority) c. Informasi (Information) d. Fasilitas (Facilities)

3. Disposisi atau sikap pelaksana (Dispositions) 4. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure )

George C. Edward III dalam Rusli (2015:100-104)

Implementasi Kebijakan Program AUSREM di Dinas Kesehatan Kabupaten Subang berjalan optimal

Referensi

Dokumen terkait

2.5 Pembebanan Jembatan Rangka Baja Canai Dingin Pejalan Kaki Beban merupakan gaya luar yang bekerja pada suatu struktur.. Umumnya penentuan besarnya beban yang bekerja pada

Pada produk tutup kemasan minyak wangi di ukur menggunakan digimatic caliper 200 mm, jumlah sample 5 pcs, average secara keseluruhan berwana hitam menandakan OK, tetapi dimensi

Agar lebih aman dipakai sengkang dengan jarak yang tidak melebihi s maks. diambil jarak sengkang, s rencana =

Pada pengujian OES ini, sampel harus dikonversi ke bentuk atom bebas dengan Pada pengujian OES ini, sampel harus dikonversi ke bentuk atom bebas dengan menggunakan sumber energi

Staf Badan Kelengkapan merupakan perwakilan individu dari masing-masing anggota ILMPI yang dipilih dengan mekanisme yang ditentukan oleh Pengurus Harian Nasional

Dari peta kendali tersebut, terlihat bahwa tidak ada pengamatan yang berada di luar batas kendali sehingga dapat dikatakan bahwa jenis cacat crack telah terkendali.. Gambar 7

Penelitian tentang mineral ini penting dilakukan karena dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap sistem kekebalan tubuh yang nantinya akan mempengaruhi

Skripsi ini menggambarkan tentang pelaksanaan penanggulangan bencana melalui program Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Malang