• Tidak ada hasil yang ditemukan

NALISIS STRUKTUR DAN NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT MASYARAKAT WAKORUMBA SELATAN DI SULAWESI TENGGARA SERTA MODEL PELESTARIANNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NALISIS STRUKTUR DAN NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT MASYARAKAT WAKORUMBA SELATAN DI SULAWESI TENGGARA SERTA MODEL PELESTARIANNYA."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………i

KATA PENGANTAR………....ii

UCAPAN TERIMA KASIH………..v

DAFTAR ISI………...ix

DAFTAR LAMPIRAN………...xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...1

1.2Rumusan Masalah ……….12

1.3Tujuan Penelitian………...13

1.4Manfaat Penelitian………13

1.5Metode Penelitian……….13

1.6Lokasi Penelitian………...14

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Pendekatan Struktural………15

2.2 Unsur-unsur Pembentuk Karya Sastra ………...16

2.2.1 Alur ……….18

2.2.2 Tokoh dan Penokohan………20

2.2.3 Latar………...21

2.2.4 Tema dan Amanat………...22

2.3 Nilai Budaya………...25

(2)

2.3.2 Pengertian Kebudayaan………..27

2.3.3 Pengertian Nilai Budaya………...33

2.3.4 Unsur-unsur kebudayaan………42

2.3.5 Wujud dan Komponen Budaya………..42

2.3.5.1 Wujud Budaya………42

2.3.5.2 Komponen Budaya……….44

2.3.6 Hubungan Antara Unsur-unsur Kebudayaan………...44

2.4 Cerita Rakyat………...48

2.4.1 Pengertian Cerita Rakyat………...48

2.4.2 Jenis dan Macam Cerita Rakyat………..51

2..4.3 Fungsi Cerita Rakyat………..52

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Instrumen Penelitian……….55

3.2 Teknik Pengumpulan Data………55

3.3 Sumber Data Penelitian………56

3.4 Teknik Pengolahan Data………...56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………..…………..61

4.2 Pengumpulan dan Deskripsi Data………..…………..80

4.3 Analisis Data……….83

(3)

4.3.2 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Wambona 105 4.3.3 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat

Ngkaa-ngkaasi……….121

4.3.4 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Latai-tai Nsapole dan Wakina-kina Mboro………….………..156

4.3.5 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Kucing dan Tikus………179

4.3.6 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Anak Yatim……….……207

4.4 Hasil Analisis………...230

4.5 Pembahasan Hasil Analisis………...240

4.5.1 Isi Struktur………240

4.5.2 Nilai Budaya……….247

BAB V MODEL PELESTARIAN CERITA RAKYAT MASYARAKAT WAKORUMBA SELATAN 5.1 Bahan Ajar di Sekolah………261

5.2 Buku Kumpulan Cerita Rakyat………..277

5.3 Lomba Bercerita……….278

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan………280

6.2 Saran………..287

(4)
(5)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Bahasa-bahasa daerah yang menjadi media pengucapan tradisi lisan itu juga merupakan bagian dari kebudayaan tradisional, yaitu bahasa yang paling tepat dapat mengekspresikan isi kebudayaan daerah yang bersangkutan (Rosidi, 1995:125-126)

Eksistensi cerita rakyat merupakan suatu fenomena budaya yang bersifat universal dalam kehidupan masyarakat. Sebagai produk budaya masyarakat, sastra lisan baik jenis prosa maupun puisi dapat dijumpai hampir di seluruh tempat di dunia. Sastra lisan pada umumnya tercipta sebagai tanggapan dan hasil pemikiran sistem kemasyarakatan (Razali dan Joson, 2000:2).

(6)

2

Perubahan pola pikir masyarakat dapat pula menyebabkan ketidakpedulian mereka terhadap sastra lisan. Sastra lisan hanya dipandang sebagai kisah-kisah yang tidak masuk akal dan berada diluar jangkauan akal sehat. Hal ini tentu menjadi ancaman terhadap eksistensi sastra lisan, jika masyarakat melupakannya dari kehidupan mereka (Razali dan Jonson, 2000:1).

Kemampuan sastra lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, itu membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang baik yang terkandung dalam sastra lisan bangsa Indonesia yang dapat ditemui di seluruh daerah di Indonesia, tetapi yang menjadi tanggung jawab kita sebagai penikmat sekaligus pewaris adalah bagaimana menempatkan warisan leluhur itu sebagai salah satu kekayaan yang perlu diwariskan, dipahami, dan dinikmati, serta pada akhirnya akan menjadi pengunkap tirai kehidupan masa lampau yang dapat dijadikan tempat bercermin bagi kehidupan sekarang.

(7)

3

Tentang peranan sastra lisan telah banyak dikemukakan di dalam seminar pengembangan sastra Indonesia yang diselenggarakan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa depertemen pendidikan dan kebudayaan tahun 1975. Dalam seminar itu,dikemukakan bahwa sastra lisan memiliki peranan penting, tidak saja ditinjau dari segi pembinaan dan pengembangan sastra daerah, tetapi juga penting dalam pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia (Amir Hakim, 1993: 2)

Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting sebagaimana telah disinggung di atas, maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan segera. Lebih–lebih lagi bila diingat bahwa terjadinya perubahan dalam masyrakat, seperti adanya kemajuan-kemajuan dalam teknologi, adanya radio, dan televisi dapat menyebabkan berangsur hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti melakukan penyelamatan sastra lisan itu dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak ditemukan nilai-nilai serta cara hidup dan berpikir masyarakat yang memiliki sastra lisan itu (Rosidi, 1995: 123).

Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal adanya sastra lisan, demikian juga halnya masyarakat Wakorumba Selatan. Sastra lisan masyarakat Wakorumba Selatan disebarkan secara lisan dan hanya didasarkan pada daya ingat penuturnya saja, sehingga tidak mustahil jika sastra lisan masyarakat Wakorumba Selatan mengalami penyimpangan dari bentuk aslinya.

(8)

4

di seluruh daerah di Indonesia. Anak-anak lebih suka menonton televisi atau mendengarkan radio, dari pada mendengarkan dongeng kakek dan neneknya. Fungsi kakek dan nenek sebagai pendongeng digantikan oleh radio dan kaset rekaman dalam bahasa Indonesia yang dijajakan dimana-mana secara luas (Rosidi, 1995:130-131).

Cerita rakyat merupakan salah satu tradisi lisan yang memiliki nilai-nilai budaya yang sudah dilupakan oleh masyarakatnya pada saat ini. Karena sumber cerita rakyat yang berasal dari orang-orang tua yang sebagian besar telah meninggal, belum tentu mereka wariskan kepada anak cucunya. Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa ada cerita yang versinya berbeda-beda dalam satu desa. Bahkan ada sebuah cerita yang hanya diingat sebagian-sebagian saja sehingga tidak didapatkan cerita yang utuh. Pengungkapan cerita rakyat yang tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan seperti itu sangat memungkinkan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya pun akan hilang.

Selain itu pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra memang pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal (Nestapa, 2005). Beberapa keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal jika mau dipetakan barangkali berkisar pada hal-hal berikut.

(9)

5

mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas (Rosidi 1997:19-25). Lain halnya, keterbatasan buku penunjang ini sedikit terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi ikut menjadi penyebab dalam hal ini.

Berbagai kendala di atas menyebabkan pembelajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan.

(10)

6

emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa.

Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif).

Pembelajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre atau pun tidak.

Barangkali ada yang menganggap apa yang tersebut di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre.

(11)

7

dapat memahami sekaligus mendapatkan manfaat dari cerita-cerita rakyat itu. Banyak di antara cerita itu kita jumpai dengan tema kepahlawanan, misalnya cerita-cerita yang bersumber pada dua cerita India Mahabharata dan Ramayana seperti Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama. Kita juga menemukan cerita-cerita pengaruh Islam seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah; atau dengan tema percintaan, misalnya Cerita Panji yang muncul pada abad ke-14 di Jawa. Cerita yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Jawa tengahan ini berkembang luas dan ikut memperkaya kesusastraan di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bali dan Melayu dan beberapa negara di Asia Tenggara. Dalam sastra Melayu lama satu versi cerita ini muncul dalam bentuk syair berjudul Syair Ken Tambuhan. Syair ini sendiri berkisah tentang percintaan dua anak raja yang penuh lika-liku sebelum pada akhirnya mencapai kebahagiaan seperti yang mereka cita-citakan. Bahkan beberapa di antara telah dikenal luas oleh kita sekarang Universitas Negeri Surabaya (http://kamalinev.wordpress.com/2007/08/25/pembelajaran-sastra-lama-dan-sastra-modern-antara-ada-dan-tiada/ 2009).

Kita bersyukur peninggalan tertulis yang kaya itu masih ada sekarang dan dapat kita nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat perawatan yang baik oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada sastra-sastra lama. Namun demikian, sejauh manakah kita memberi pengetahuan dan memperkenalkan cerita-cerita rakyat itu kepada para pelajar.

(12)

8

(13)

9

Terlepas dari beberapa masalah di atas, beberapa cara dapat ditempuh oleh kita untuk mengajak siswa-siswi kita berkenalan dengan sastra lama. Pertama, kita dapat memperkenalkan mereka pada cerita-cerita lama yang sudah amat dikenal, seperti Mahabharata, baik melalui versi cerita popolernya semisal Arjuna Mencari Cinta atau dalam versi yang lain. Melalui itu, tercipta kemungkinan untuk menjelaskan sejarah keberadaan cerita itu dan aktifitas masyarakat zaman dulu dalam melestarikan dalam bentuk tulisan. Kedua, kearifan yang terkandung di dalam cerita-cerita lama harus pula dicangkokkan dalam pengajaran sastra modern. Hal ini dilakukan karena dalam kurikulum tidak ada ruang khusus untuk sastra lama sehingga harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan sastra modern merupakan kesinambungan dari sastra lama. Ketiga, kurikulum yang membuka peluang masuknya muatan lokal memungkinkan para guru untuk mengajak siswa berkenalan dengan cerita-cerita lama setempat.

(14)

10

bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah. Namun, apabila membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita rakyat, maka betapa banyak dan beragamnya cerita rakyat nusantara itu. Cerita rakyat yang ribuan itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah setempat apabila kita tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah sastra nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita akan mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu (Rusyana, 1981).

Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia dengan demikian merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti Gramedia dan Yayasan Obor.

Penerjemahan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara normatif, sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam proses apresiasi dan pembelajarannya di sekolah.

(15)

11

Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok (Mahayana, 2007).

Oleh karena itu penelitian terhadap cerita-cerita rakyat dianggap sangat penting untuk memperkaya khasanah media pembelajaran sastra di sekolah-sekolah, terutama bagi sekolah-sekolah di daerah tempat hidup cerita rakyat tersebut. Dengan memperkenalkan cerita-cerita rakyat yang hidup dikalangan masyarakat Wakorumba Selatan misalnya, kita akan mendapat informasi tentang tata cara hidup masyarakat lama Wakorumba Selatan serta latar belakang budaya masyarakat tersebut.

(16)

12

Dengan demikian cerita ini menarik untuk dikaji sekaligus untuk memperkenalkan sastra lisan masyarakat Wakorumba Selatan yang berupa cerita rakyat, kepada masyarakat luar masyarakat Wakorumba Selatan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengangkat dan memperkenalkan kembali cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan pada generasi muda masyarakat Wakorumba Selatan yang telah banyak melupakan cerita-cerita rakyat yang ada di masyarakatnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji cerita rakyat “ Masyarakat Wakorumba Selatan” untuk di kaji secara ilmiah. Oleh karena itu penulis mengambil judul “Analisis Struktur dan Nilai Budaya Budaya dalam cerita rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan di Sulawesi Tenggara serta Model Pelestariannya”. Hasil penelitian diharapkan dapat menunjang pembelajaran muatan lokal serta pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah, khususnya penyediaan wacana lokal yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa kecintaan siswa pada budayanya khususnya sastra lisan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah ini dirinci ke dalam dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimanakah struktur cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan?

2. Bagaimanakah nilai-nilai budaya masyarakat Wakorumba Selatan dalam cerita-cerita rakyat tersebut?

(17)

13 1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui struktur cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai budaya dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan.

3. Untuk mengetahui model-model pelestarian cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. sebagai upaya pelestarian sastra daerah dalam rangka pengembangan budaya daerah dan budaya nasional.

2. sebagai bahan informasi bagi masyarakata luar tentang kultur masyarakat dan budaya masyarakat lama.

3. sebagai bahan bacaan melalui pembelajaran sastra dan muatan lokal bagi generasi sekarang maupun yang akan datang, untuk memahami nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan

4. sebagai bahan dokumentasi bagi peneliti dan pembaca yang akan mendalami sastra lisan, khususnya dalam mengkaji dan menganalisis nilai-nilai budaya dalam cerita rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan.

1.5 Metode Penelitian

(18)

14

dengan yang lain dengan menggunakan kata-kata atau kalimat tanpa menggunakan angka-angka statistik dalam suatu struktur yang logik serta mempergunakan pemahaman yang mendalam dimana kesemuanya itu akan dideskripsikan apa adanya sesuai kenyataan pada data atau objek yang di teliti, yaitu nilai-nilai budaya dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan di Sulawesi Tenggara.

1.6 Lokasi Penelitian

(19)

55 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Instrumen Penelitian

Instrument yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Tape recorder untuk merekam cerita rakyat yang dijadikan data penelitian. 2. Camera untuk mengambil gambar-gambar yang berhubungan dengan cerita

yang dijadikan data penelitian..

3. Lembar pencatatan digunakan untuk melengkapi data cerita-cerita rakyat yang direkam.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data penelitian (Maryaeni, 2005: 16). Pengumpulan data sastra lisan dapat diawali dengan langkah perekaman. Perekaman sejauh mungkin harus dilaksanakan dalam konteks sastra lisan asli. Maksudnya sastra lisan tersebut sedang dilantunkan atau didongengkan dan peneliti merekam secara langsung (Endraswara, 2003: 152).

(20)

56

1. Teknik rekaman dipakai disini karena peneliti bermaksud mengumpulkan cerita rakyat yang berupa sastra lisan. Dengan demikian, hasil rekaman ditranskripsikan ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi bahan tertulis. 2. Teknik observasi dilakukan untuk melihat dan mengamati pola hidup dan

budaya yang ada dalam masyarakat Wakorumba Selatan.

3. Teknik wawancara dilakukan, baik terhadap pencerita maupun kepada pemuka masyarakat yang dianggap patut memberikan keterangan mengenai tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat.

3.3 Sumber Data Penelitian

Data yang dijadikan bahan penelitian cerita-cerita rakyat yang hidup dalam masyarakat Wakorumba Selatan. Sumber data penelitiannya adalah orang-orang tua di kecamatan Wakorumba Selatan yang mengetahui cerita-cerita rakyat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Data data tersebut direkam, dicatat serta dikumpulkan kemudian dianalisis.

3.4 Teknik Pengolahan Data

Dari data yang terkumpul, selanjutnya diolah dengan prosedur sebagai berikut: a. Seleksi

(21)

57 b. Transkripsi

Setelah data diseleksi, kemudian data cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan ditranskripsi dari bahasa lisan ke dalam bahasa tulis dengan menggunakan huruf latin.

c. Penerjemahan

Setelah data cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan ditranskripsi, selanjutnya diterjemahkan apa adanya ke dalam bahasa Indonesia dengan terjemahan bebas.

d. Memaparkan lingkungan penceritaan, yakni lingkungan kecamatan Wakorumba Selatan.

e. Menganalisis struktur dari cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan berdasarkan pedoman analisis di bawah ini;

Pedoman Analisis Struktur Cerita Rakyat

Struktur cerita Indikator unsur intrinsik Keterangan

Alur Jalinan peristiwa

Tema dan amanat • Persoalan yang mendasari cerita

• Pesan yang terkandung dalam cerita

Tokoh dan penokohan • Tokoh utama dan tokoh pembantu

• Karakter tokoh

Latar 1) Latar tempat

2) Latar waktu

(22)

58

Pedoman Analisis Nilai Budaya

NO Nilai Budaya Karakteristik nilai Analisis

indikator nilai 1 Hubungan

manusia dengan diri sendiri

1) Memelihara kesucian diri baik jasmani maupun rohani.

2) Memelihara kerapihan diri. Faktor kerapihan sebagai manifestasi adanya disiplin pribadi dan keharmonisan pribadi. 3) Berlaku tenang dan tidak terburu-buru 4) Menambah pengetahuan hidup ini penuh

dengan pergulatan dan kesulitan

5) Membina disiplin pribadi salah satu kewajiban terhadap diri sendiri adalah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk disiplin pribadi. Disiplin pribadi membutuhkan sifat dan sikap yang terpuji yang disertai dengan kesabaran, ketekunan, kerajinan, kesetiaan, tabah, dan lain-lain. Sifat bagi pembinaan pribadi.

2 Hubungan manusia dengan sesamanya

1. Tolong menolong dalam kebaikan 2. Bersikap dermawan

3. Bersikap adil terhadap sesama

4. Bijaksana, tidak kaku melaksanakan ketentuan-ketentuan

5. Pemaaf, suka memaafkan orang lain. 6. Musyawarah, suka merundingkan masalah 7. Tenggang rasa, menegang rasa dalam

melakukan tindakan yang mengenai orang lain.

3 Hubungan manusia dengan alamnya

1. Memanfaatkan alam, alam sebagai sumber kehidupan yang menyimpan kekayaan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Manusia mengolah alam untuk keberlangsungan hidupnya

(23)

59

menyesuaikan diri dengan alam untuk kepentingan dirinya.

3. Mencintai alam, alam sebagai sarana manausia untuk berbakti dan mengabdi pada Allah Swt. Keindahan alam menjadikan ketakwaan manusia untuk menyadari akan kebesaran sang penciptanya, Allah Swt. Manusia tidak mampu membuat tiruan alam menandingi keindahanya.

4 Hubungan manusia dengan tuhannya

1. Beriman, meyakini bahwa dia benar-benar ada. Dia memiliki segala sifat

2. Berada pada garis dan jalan-Nya yang lurus 3. Ikhlas; kewajiban manusia beribadah hanya

kepada Allah Swt dengan ikhlas dan pasrah, tidak boleh beribadah kepada apa pun dan siapa pun selain pada-Nya

4. Tadaruk dan khusyu dalam beribadah pada Allah

5. Arajak atau optimisme dan doa; manusia harus mempunyai pengaharapan bahwa Allah akan memberi rahmat kepadanya. Dengan sikap ini, maka manusia memanjatkan doa pengharapan atas rahmat dan istigfar memohon diampuni semua kesalahannya.

6. Husnudan; sikap manusia berbaik sangka. Hendaklah kita mempunyai prasangka yang baik bahwa Allah akan memberikan rahmat, mengampuni dosa kita, dan tidak membiarkan kesengsaraan, dan penderitaan yang kekal.

7. Tawakal; mempercayakan diri kepada-Nya dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan yang telah direncanakan dengan mantap 8. Tasyakur dan kanaah; berterima kasih atas

(24)

60

9. Malu; sikap malu lebih patut ditujukan pada Allah yang dengan sikap tersebut, seorang mukmin malu mengerjakan kejahatan dan malu ketinggalan dalam hal kebaikan. Seoramg mukmin, yakin betul bahwa segala tindak tanduknya dilihat oleh Allah Swt baik yang terbuka maupun yang tersembunyi. Rasa malu mencegah seseorang untuk berbuat maksiat.

10.Taubat dan istighfar; manusia tidak lepas dari dosa . dalam keadaan seseorang terjerumus ke dalam salah satu dosa, hendaklah manusia segera ingat kepada Allah dan menyesali perbuatannya yang salah. Memohon ampun kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya.

Pedoman analisis di atas di buat berdasarkan teori dari Kluchon (dalam Koentjaraningrat, 1985: 28)

g. Membahas hasil analisis struktur dan nilai budaya dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan.

h. Memberikan gambaran tentang usaha-usaha atau model pelestarian cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan di Masyarakat.

(25)

261 BAB V

MODEL PELESTARIAN CERITA RAKYAT MASYARAKAT

WAKORUMBA SELATAN

Cerita-cerita yang ada dalam masyarakat Wakorumba Selatan merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang perlu dilestarikan, mengingat saat ini cerita-cerita rakyat tersebut sudah mulai dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Di sisi lain, orang-orang tua yang menjadi informan utama cerita-cerita rakyat ini sudah banyak yang meninggal dan sebagian lagi sudah tidak mengingat cerita-cerita tersebut secara utuh, sehingga dilapangan ditemui ada beberapa cerita yang memiliki versi yang berbeda-beda.

Pelestarian cerita-cerita rakyat tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu: 1) menjadikan cerita-cerita rakyat tersebut sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah baik melalui mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia atau melalui mata pelajaran muatan lokal; 2) melalui penginfetarisasian cerita-cerita tersebut kemudian di buat dalam bentuk buku kumpulan cerita rakyat; 3) melalui kegiatan lomba bercerita, yang melibatkan masyarakat Wakorumba Selatan secara langsung.

5.1 Bahan Ajar

(26)

262

eksistensi dirinya dalam kehidupan. Selain itu, pembelajaran sastra di sckolah dimaksudkan mengembangkan daya apresiasi siswa terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam sebuah karya sastra secara keseluruhan baik itu berupa nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan sesamanya, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alamnya, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya atau nilai-nilai lain.

Karya sastra yang baik dapat berupa pola pikir individu setelah membaca, menelaah karya sastra itu dengan cara yang seksama. Karya sastra dapat menarik karena di dalamnya terkandung kenikmatan yang dapat menghibur bahkan memotivasi diri dalam menjalani setiap aktifltas keseharian.

Hasil penelitian pada Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara perlu ditindaklanjuti, yaitu dengan mengajukan hasil penelitian tersebut sebagai bahan ajar. Bahan ajar ini diajukan karena cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan merupakan salah satu sastra lisan yaag ada di Sulawesi Tenggara yang sudah harnpir punah. Tidak bisa dipungkiri, dengan kemajuan zaman yang serba moderen nilai-nilai budaya masyarakat lampau akan hilang. Oleh karena itu, melalui pembelajaran prosa khususnya cerita rakyat, siswa dapat mengetahui lebih banyak tentang nilai-nilai dalam masyarakat lampau di Sulawesi Tenggara.

(27)

263

lisan daerahnya khususnya cerita rakyat itu sendiri. Tidak heran bayak siswa-siswi yang tidak mengetahui cerita rakyatnya daerahnya. Olehnya itu cerita rakyat ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra atau materi pembelajaran melalui pelajaran bahasa Indonesia atau mata pelajaran Muatan Lokal di Sulawesi Tenggara khususnya di kecamatan Wakorumba Selatan, atau di daerah-daerah lain di Indonesia.

Selain itu, cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan tersebut disarankan menjadi bahan ajar karena memang sesuai dengan pokok bahasan dalam silabus bahasa Indonesia kelas VII. Hal ini didasarkan pada komponen pembelajaran yaitu membantu siswa mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebab kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajarn adalah pada standar kompetensi dan kompetensi dasarnya. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar harus mengacu atau merujuk pada standar kompetensi. Pelajaran bahasa Indonesia berisi seperangkat kompetensi yang harus dimiliki dan dicapai oleh siswa pada tiap tingkatan. Kerangka ini terdiri dari empat komponen utama, yaitu; 1) standar kompetensi, 2) kompetensi dasar, 3) indikator, dan 4) materi pokok. Untuk lebih jelasnya tentang pembelajaran cerita rakyat akan dipaparkan pada silabus berikut ini.

SILABUS Nama Sekolah : ………. Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/semester : VII/1

Standar Kompetensi : 1. Berbicara

Mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan bercerita

(28)

264

Mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan No Kompetensi

dasar

Materi pembelaja ran

Indikator Kegiatan pembelajaran

Penilaian Alokasi waktu

Sumber/bahan /alat

(1) (2) (3) (4) ( 5) (6) (7) (8) 1 Bercerita dengan

urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimic yang tepat

Cerita rakyat

Mampu mendongeng dengan urutan yang baik dengan memperhatikan suara, lafal, intonasi, dan gerak/ mimik

• Bertanya jawab dengan siswa tentang cerita rakyat nusantara yang popular

•Menceritakan cerita rakyat yang pernah didengar dengan cara lisan

•Mendengarkan cerita rakyat “Ngkaa-ngkaasi” •Bertanya jawab

tentang jalan cerita dan tokoh

•Mencari hubungan tema dengan kehidupan sehari-hari

•Mengerjakan latihan mendongeng •Mengerjakan tugas

Lisan dan tertulis

4 x 40 menit

Cerita rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan

2 Menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng yang diperdengarkan

Dongeng •Menentukan tema dongeng yang diperdengarkan •Menunjukan

relevansi tema dengan situasi sekarang •Mengemukakan

hal-hal yang menarik dalam dongeng yang diperdengarkan dengan alas an yang logis •Menyimpulkan

pesan dongeng

•Mengerjakan tugas •Bertanya jawab

tentang hal-hal yang menarik dari dongeng

•Membacakan dongeng “Anak Yatim”

•Menyampaikan pesan, hal-hal menarik dan tidak menarik dari dongeng

•Mengerjakan latihan pada buku siswa •Mengerjakan tugas

Lisan dan tertulis

3 x 40 menit

(29)

265

pada buku siswa

Setelah dijabarkan dalam bentuk silabus, maka bahan ajar tersebut dirincikan dalam format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Alokasi waktu yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah 6 jam pelajaran dengan tiap pertemuan memiliki alokasi waktu 3x40 menit yang kemudian dibagi menjadi dua Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Nama Sekolah : ………

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : VII/1

Pertemuan ke : 1

Alokasi Waktu : 3 × 40 menit

Standar Kompetensi : Mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan

Kompetensi Dasar : Bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi,gerak, dan mimik yang tepat

Indikator : Mampu mendongeng dengan urutan yang baik dengan memerhatikan suara, lafal, intonasi, dan gerak/mimik

I. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti pembelajaran ini, siswa mampu mendongeng dengan urutan yang baik, disertai lafal, gerak, dan mimik yang sesuai.

II. Materi Ajar

Dongeng “Anak Yatim”

(30)

266

semenjak La Moelu masih bayi. Disamping yatim, dia juga miskin. Kadang-kadang sepanjang hari perutnya tidak di sentuh oleh makanan.

Pada suatu hari La Moelu pergi memancig ikan di sungai. Dari pagi hari sampai sore hari, dia belum mendapatkan ikan seekor pun. Hampir saja ia putus asa, tetapi dengan kesabarannya, di sore hari kailnya mulai tergetar tandanya ada ikan yang terkait. Dengan hati gembira dan penuh hati-hati, ia menarik tali kailnya perlahan-lahan. Semakin mendekat semakin berdebar hatinya. Tak sabar lagi ia menarik kailnya, maka tampak di mata kailnya seekor ikan yang mungil. Meskipun demikian, La Moelu tetap senang sekali dengan bentuk ikan itu. Ia pun pulang ke rumah. Sampai di rumah hal itu dilaporkannya pada Ayahnya. Ayahnya yang sangat tua itu pun sangat senang melihat ikan mungil hasil tangkapan La Moelu. Ayahnya memberi petunjuk agar ikan itu disimpan di sebuah kembok bersama dengan airnya.

(31)

267

kewalahan mencari tempat. Terakhir ikan di simpan ke dalam drum, keesokan harinya ikan itu sudah berubah sebesar drum.

“Bawalah ikan mu ke laut, di sini suadah tidak ada tempat lagi” kata Ayah La Moelu. Maka pagi-pagi sekali, La Moelu memikul ikannya hendak dibawa ke laut. Sebelum ikannya dilepas di laut bebas, lebih dahulu La Moelu berjanji dengan ikannya “sebelum aku melepaskanmu ke laut, lebih dahulu aku memberi nama panggilanmu. Kamu saya beri nama Jennande Teremombonga. Bila nama itu dipanggil, datanglah kamu dengan segera” katanya. Ikannya pun setuju. Setelah itu ikan tersebut dilepas ke laut, alngkah senangnya berenang di laut bebas.

Pada keesokan paginya, La Moelu pergi ke laut untuk memberi makan ikannya. Tiba di tepi laut, dia segera memangil ikannya. “Jenannde Teremombonga” dengan sekejap saja, ikan raksasa itu sudah tiba di tepi laut. Diberinya ikan itu makan, sesudah makan, ikan itu kembali ke laut lepas. Begitulah kegiatan La Moelu tiap pagi.

(32)

268

Mereka bertiga berembuk untuk menangkap ikan itu. Salah seorang diantara mereka maju ke tepi laut lalu memanggil Jenannde Teremombonga. Seperti biasanya, bila ikan itu dipanggil, maka segera ikan itu menuju ke tepi laut. Ke tiga pemuda itu heran melihat ikan itu tidak seperti biasanya, tidak segera merapat ke tepi laut, karena wajah orang itu tidak sama dengan tuannya. Para pemuda itu semakin kesal, setelah melihat perilaku ikan tersebut. Tetapi dengan kelihain mereka, ikan itu tertangkap juga. Dagingnya mereka potong-potong lalu dibagi-bagi, masing-masing satu pikul. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Keluarga mereka sangat gembira dengan daging ikan sebanyak itu.

Pada hari berikutnya, seperti biasa La Moelu pergi ke laut untuk memberi makan ikannya. Sesampainya di tepi laut, ia pun memanggil ikannya “Jenannde Teremombonga”. Biasanya hanya sekali saja memanggil, ikan itu sudah berada di tepi laut. Kali ini sudah berturut-turut tiga kali dipanggilnya namun ikan itu tak kunjung datang. La Moelu sedih memikirkan nasibnya. Oleh karena itu ia kembali ke rumah dengan perasaan kesal dan sedih.

(33)

269

diberikan hanya daun papaya, sedangkan mereka makan dengan lauk daging ikan besar. Hati La Moelu bertambah sedih.

Ketika pulang, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh pemuda itu. Sampai di rumah, tulang ikan tersebut ditanam seperti biji tanaman. Sungguh aneh, pada keesokan harinya, tulang ikan itu tumbuh seperti tanaman biasa, hanya saja tulang ikan itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan dan berbuah berlian. Semakin hari pohon itu semakin besar. Penduduk negeri itu silih berganti pergi menyaksikan peristiwa ajaib itu. Setelah tanaman menjadi besar, daun, bunga dan buahnya dijual sedikit demi sedikit. Mulai saat itulah La Moelu bisa menabung uang. Lama kelamaan ia menjadi seorang kaya raya. Banyak orang miskin yang ditolongnya, termasuk family yang pernah mencuri ikannya. Oleh karena itu, seluruh rakyat di negeri itu sangat senang dan sayang kepada La Moelu. Sekarang hidup La Moelu, aman, sejahtera dan bahagia.

III. Metode Pembelajaran - Contoh

- Tanya jawab - Latihan - Penugasan

IV. Langkah-Langkah Pembelajaran A. Kegiatan Awal

(34)

270 B. Kegiatan Inti

- Menceritakan cerita rakyat yang pernah didengar secara lisan - Membacakan dongeng ”Ngkaa-ngkaasi”

- Bertanya jawab tentang jalan cerita dan tokoh

- Mencari hubungan tema dengan kehidupan sehari-hari - Mengerjakan latihan pada buku siswa

- Mengerjakan tugas pada buku siswa C. Kegiatan Akhir

Berdiskusi tentang realitas dalam dongeng V. Sumber/Bahan/Alat

Kumpulan Cerita rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan VI. Penilaian

Bentuk tes: lisan dan tertulis Keterangan

No Aspek penilaian Bobot Nilai

1 Pemahaman terhadap alur cerita a. Baik (3)

b. Kurang baik (2) c. Tidak baik (1)

5

2 Penguasaan teknik bercerita a. Baik (3)

b. Kurang baik (2) c. Tidak baik (1)

5

3 Performance (penampilan) a. Baik (3)

b. Kurang baik (2)

(35)

271 c. Tidak baik (1)

Skor maksimum 3 (3 × 5) = 45

Nilai perolehan siswa = skor perolehan X 100 skor maksimum

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Nama Sekolah : ....

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : I/1

Pertemuan ke- : 2

Alokasi Waktu : 3 × 40 menit

Standar Kompetensi : Mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan bercerita

Kompetensi Dasar : Menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng yang diperdengarkan

Indikator : 1. Mampu menentukan tema dongeng yang diperdengarkan 2. Mampu menunjukkan relevansi tema dengan situasi sekarang

3.Mampu menemukan hal-hal yang menarik dalam dongeng yang diperdengarkan dengan alasan yang logis

4. Menyimpulkan pesan dongeng I. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti pembelajaran ini, siswa mampu - memahami isi dongeng yang didengar;

- mengemukakan hal-hal yang menarik disertai alasan;

(36)

272 II. Materi Ajar

Dongeng “Anak Yatim”

Dahulu kala hiduplah seorang anak yatim bernama La Moelu. Dia tinggal bersama ayahnya yang sudah tua sekali. Ibunya sudah lama meninggal dunia, yaitu semenjak La Moelu masih bayi. Disamping yatim, dia juga miskin. Kadang-kadang sepanjang hari perutnya tidak di sentuh oleh makanan.

Pada suatu hari La Moelu pergi memancig ikan di sungai. Dari pagi hari sampai sore hari, dia belum mendapatkan ikan seekor pun. Hampir saja ia putus asa, tetapi dengan kesabarannya, di sore hari kailnya mulai tergetar tandanya ada ikan yang terkait. Dengan hati gembira dan penuh hati-hati, ia menarik tali kailnya perlahan-lahan. Semakin mendekat semakin berdebar hatinya. Tak sabar lagi ia menarik kailnya, maka tampak di mata kailnya seekor ikan yang mungil. Meskipun demikian, La Moelu tetap senang sekali dengan bentuk ikan itu. Ia pun pulang ke rumah. Sampai di rumah hal itu dilaporkannya pada Ayahnya. Ayahnya yang sangat tua itu pun sangat senang melihat ikan mungil hasil tangkapan La Moelu. Ayahnya memberi petunjuk agar ikan itu disimpan di sebuah kembok bersama dengan airnya.

(37)

273

Ayahnya pun sangat kaget melihat hal itu. Ia pun menyuru La Moelu untuk meletakan ikan itu di dalam lesung berama dengan airnya. Pada hari berikutnya, ikan itu pun sudah membesar seperti lesung. La Moelu semakin heran, lalu Ayahnya menyuruhnya lagi untuk menyimpan ikan itu di dalam guci besar. Pada keesokan harinya, ikan itu sudah membesar lagi seperti guci besar itu. La Moelu hampir kewalahan mencari tempat. Terakhir ikan di simpan ke dalam drum, keesokan harinya ikan itu sudah berubah sebesar drum.

“Bawalah ikanmu ke laut, di sini suadah tidak ada tempat lagi” kata Ayah La Moelu. Maka pagi-pagi sekali, La Moelu memikul ikannya hendak dibawa ke laut. Sebelum ikannya dilepas di laut bebas, lebih dahulu La Moelu berjanji dengan ikannya “sebelum aku melepaskanmu ke laut, lebih dahulu aku memberi nama panggilanmu. Kamu saya beri nama Jennande Teremombonga. Bila nama itu dipanggil, datanglah kamu dengan segera” katanya. Ikannya pun setuju. Setelah itu ikan tersebut dilepas ke laut, alngkah senangnya berenang di laut bebas.

(38)

274

Pada suatu waktu kegiatan La Moelu diintai oleh tiga pemuda ganteng. Ke tiga pemuda ini masih tergolong familinya. Mereka mengintai kegiatan La Moelu dari atas pohon bakau yang rimbun. Ke tiga pemuda itu tercenggang ketika melihat ikan sebesar raksasa, maka timbul niat jahat mereka untuk mencuri ikan raksasa itu. Kehendak jahat mereka itu dilakukan setelah La Moelu pulang ke rumah.

Mereka bertiga berembuk untuk menangkap ikan itu. Salah seorang diantara mereka maju ke tepi laut lalu memanggil Jenannde Teremombonga. Seperti biasanya, bila ikan itu dipanggil, maka segera ikan itu menuju ke tepi laut. Ke tiga pemuda itu heran melihat ikan itu tidak seperti biasanya, tidak segera merapat ke tepi laut, karena wajah orang itu tidak sama dengan tuannya. Para pemuda itu semakin kesal, setelah melihat perilaku ikan tersebut. Tetapi dengan kelihain mereka, ikan itu tertangkap juga. Dagingnya mereka potong-potong lalu dibagi-bagi, masing-masing satu pikul. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Keluarga mereka sangat gembira dengan daging ikan sebanyak itu.

(39)

275

memikirkan nasibnya. Oleh karena itu ia kembali ke rumah dengan perasaan kesal dan sedih.

Ke esokan paginya, La Moelu pergi berjalan-jalan ke rumah salah seorang pemuda tadi. Kebetulan saat itu mereka sedamg makan. Lauk mereka daging ikan besar. ”Mungkin inilah daging ikan besarku” kata La Moelu dalam hatinya. Ia menahan kesedihannya. La Moelu juga di ajak untuk makan tetapi lauk yang diberikan hanya daun papaya, sedangkan mereka makan dengan lauk daging ikan besar. Hati La Moelu bertambah sedih.

(40)

276 III. Metode Pembelajaran

- Contoh - Tanya jawab - Latihan - Penugasan

IV. Langkah-Langkah Pembelajaran A. Kegiatan Awal

Bertanya jawab tentang manfaat kegiatan membaca dongeng B. Kegiatan Inti

- Bertanya jawab tentang hal-hal menarik dari dongeng - Membacakan dongeng ”Anak Yatim”

- Menyampaikan pesan serta hal-hal yang menarik dan tidak menarik dari dongeng

C. Kegiatan Akhir

- Mengerjakan latihan pada buku siswa - Mengerjakan tugas pada buku siswa V. Sumber/Bahan/Alat

Kumpulan cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan VI. Penilaian

(41)

277

No Aspek penilaian Bobot Nilai

1 Mengidentifikasi tema dan amanat dongeng

a. Baik (3)

b. Kurang baik (2) c. Tidak baik (1)

5

2 Mengaitkan tema dengan kehidupan sehari-hari

a. Benar disertai alasan (3) b. Benar tidak ada alasan (2) c. Salah (1)

5

3 Menyampaikan hal yang menarik dan tidak menarik

a. Benar disertai alasan (3) b. Benar tidak ada alasan (2) c. Salah (1)

5

4 Menyimpulkan alasan

a. Benar disertai bukti (3) b. Benar tanpa disertai bukti (2) c. Salah (1)

5

Skor maksimum 4 (3 × 5) = 60

Nilai perolehan siswa = skor perolehan X 100 skor maksimum

5.2 Buku Kumpulan Cerita

(42)

278

Adapun susunan buku tersebut dapat dilihat pada perkiraan daftar isi buku di bawah ini;

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH BAGIAN I

CERITA RAKYAT ASAL MULA SANGHIA PURE-PURE CERITA RAKYAT WAMBONA

CERITA RAKYAT NGKAA-NGKAASI

CERITA RAKYAT LATAI-TAI NSAPOLE DAN WAKINA MBORO CERITA RAKYAT KUCING DAN TIKUS

CERITA RAKYAT ANAK YATIM BAGIAN II

TUUTUULA SABHABHUNO SANGHIA PURE-PURE TUUTULA WAMBONA

TUUTULA NGKAA-NGKAASI

TUUTULA LATAI-TAI NSAPOLE BHE WAKINA MBORO TUUTULA BHEKA BHE WULAWO

TUUTULA ANAHI MOELU DAFTAR INFORMAN

RIWAYAT PENULIS

5.3 Lomba Bercerita

(43)

279

terhadap cerita-cerita rakyat ini dianggap sangat perlu. Salah satu cara pelestarian cerita rakyat termasuk didalamnya nilai-nilai budayanya adalah dengan mengadakan kegiatan lomba bercerita. Lomba bercerita merupakan cara untuk mendorong para pelajar khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk mengetahui dan memahami cerita-cerita rakyat yang ada di masyarakat Wakorumba Selatan.

Kegiatan ini direncanakan akan diadakan ditempat-tempat formal maupun non formal. Misalnya seperti pada perayaan hari kemerdekaan, dimana pada saat itu banyak lomba diadakan untuk memperingati hari kemerdekaan tersebut, baik lomba dalam bidang olah raga maupun dalam bidang seni budaya. Dengan kegiatan ini, diharapkan masyarakat Wakorumba Selatan yang belum tau atau mulai melupakan cerita rakyat tersebut akan mengetahui dan dapat mengingat kembali cerita-cerita yang ada dalam masyarkatnya. Bentuk penilaian dari lomba bercerita-cerita dapat dilihat di bawah ini;

No Aspek penilaian Bobot

1 Pemahaman terhadap alur cerita a.Baik (3)

b. Kurang baik (2) c.Tidak baik (1)

5

2 Penguasaan teknik bercerita a. Baik (3)

b. Kurang baik (2) c. Tidak baik (1)

5

3 Performance (penampilan) a. Baik (3)

b. Kurang baik (2) c. Tidak baik (1)

(44)

289

DAFTAR PUSTAKA

Achyar, Wardinah, 1986. Sastra Lisan Lampung. Jakarta: Depdikbud.

Alpansyah. 2005. “Carut Marut Pelajaran Sastra Kita” Sriwijaya Pos, Minggu 7 Agustus.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Argesindo.

Danandjaya, James, 1986. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. Djamaris, Edward. 1993. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai

Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Med Press. Esten M. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Jakarta: Balai Pustaka

Esten, Mursal.2000. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Gafar, Zainal Abidin. 1991. Struktur Sastra Lisan Serawi. Jakarta: Depdikbud. Hakim, Amir. 1993. Struktur Sastra Lisan Kerinci. Jakarta: Depdikbud.

Hendrayani, Eulis. 2003. “Kajian Nilai Budaya dalam Buku Kumpulan Puisi Karya Rendra” (Tinjaun Deskriptif-Analisis terhadap Puisi-puisi Karya Rendra untuk Kepentingan Penyusunan Model Bahan Pembelajaran Puisi di SMA). Bandung: Tesis UPI tidak Diterbitkan.

Ikram, Achdiati. 1997. “Sastra Lama sebagai Penunjang dalam Pengembangan Sastra Modern” dalam Pudjastuti (ed.). 1997.

Kasim, Razali, dkk. 2000. Struktur Sastra Lisan Batak Toba. Jakarta: Depdiknas. Koentjaraningrat, 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

(45)

290

Mahayana, Maman S. 2007. “Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah” diakses di http://johnherf.wordpress.com/2007/02/07/bahasa-dan-sastra-indonesia-di-sekolah/

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Malang: Bumi Aksara.

Nestapa, Wangsa. 2005. “Selamat Tidur Sastra Sekolah” Kompas, Jumat 22 Juni. Noor, Redyanto. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fakultas Sastra

Universitas Diponegoro.

Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Oemarjati, B.S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Pujileksono, Sugeng. 2009. Pengantar Antropologi. Malang: Umm Press.

Ranchman, Rasna. 1994. Tinjauan Terhadap Nilai-Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Cerita Rakyat Masyarakat Muna. Skripsi Strata Satu pada FKIP Universitas Haluoleo Kendari: tidak diterbitkan.

Ratna, Nyoman Kutha.2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya ke Daerahan dalam Ke Indonesian. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajib. 1997. Pembinaan Minat Baca Apresiasi dan Penelitian Sastra. Jakarta: Panitia Tahun Buku Internasional.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: CV Gunung Larang. Saini K.M dan Sumardjo, Jakob.1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Sapta, Andi. 2009. Pengembangan Bahan Ajar. diakses di http://andy

(46)

291

Sauri, Sofyan. 2009. Nilai-nilai Budaya (Online). Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai

Sayuti, A. Suminto.1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Semi,Atar.1998. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sikki, Muhamad. 1986. Struktur Sastra Lisan Toraja. Jakarta: Depdikbud. Tarigan, Henry.G.1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Universitas Negeri Surabaya. 2009. Pembelajaran Sastra Antara Ada dan Tiada. diakses di (http://kamalinev.wordpress.com/2007/08/25/pembelajaran-sastra-lama-dan-sastra-modern-antara-ada-dan-tiada/

Wahyudi, Ibnu. 2007. “Menyiasati Kurikulum Pelajaran Sastra Indonesia di Sekolah: Kiat untuk Mafhum dan Berbenah” diakses di http://johnherf.wordpress.com/2007/02/07/bahasa-dan-sastra-indonesia-di-sekolah/

Wellek, R dan Warren, A, 1995. Theory of Literature ( diindonesiakan oleh Melanni Budinata). Jakarta : Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip Dasar Ilmu Gizi .Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.. Ilmu Pangan .Cetakan Pertama Jakarta: Universitas

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap kesadaran Wajib Pajak warga Desa Sukajadi Kecamatan Perbaungan dalam membayar

No.. Dengan melihat kondisi diatas, dapat diketahui tujuan pengembangan jaringan ini dikarenakan masih banyak jalan yang belum diperbaiki serta untuk

Ayah dan Mama...Inilah kata-kata yang mewakili seluruh rasa, sungguh aku tak mampu menggantikan kasihmu dengan apapun, tiada yang dapat kuberikan agar setara dengan

menjalankan KIM WASMAT sebagai mekanisme penilai perilaku Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas 2A Narkotika Pakem Yogyakarta dalam hal ini pihak Lapas lebih

Kemampuan antara siswa satu dengan siswa lainnya tidaklah sama. Oleh karena itu seorang guru tidak diperbolehkan menuntut seorang siswa sebagaimana siswa lain karena itu perbuatan

Dasaplast Nusantara Jepara karena hal ini berhubungan dengan komunikasi serta pembagian kerja yang mempengaruhi pada kinerja karyawan. Semakin baik kinerja karyawan