PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.) DAN EKSTRAK ETANOLIK JAHE EMPRIT (Zingiber officinale Roscoe) TERHADAP JUMLAH SEL DARAH PUTIH
PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Defi Krishartant ri
NIM : 098114031
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.) DAN EKSTRAK ETANOLIK JAHE EMPRIT (Zingiber officinale Roscoe) TERHADAP JUMLAH SEL DARAH PUTIH
PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Defi Krishartant ri
NIM : 098114031
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku ( Filipi 4 : 13)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab
Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;
Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa
kemenangan ( Yesaya 41 : 10)
Karya kecil ini kupersembahkan kepada :
Papi JC, ini semua atas kasih karuniaMu
Papa dan Mama, sebagai bentuk sayang dan baktiku
Mas Yoga dan Mbak Rissa, terima kasih sudah menginspirasiku
vii
PRAKATA
Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, atas
segala berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Pengaruh Pemberian Campuran Madu Kelengkeng (Nephelium
longata L.) dan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ( Zingiber officinale Roscoe )
Terhadap Jumlah Sel Darah Putih Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar” untuk
memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala dan
hambatan, namun berkat dukungan, bimbingan, kritik, dan saran dari berbagai
pihak penulis dapat menyelesaikannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Yunita Linawati M.Sc., Apt selaku Dosen Pembimbing atas
kebijaksanaan, perhatian, dan kesabarannya untuk membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.
4. Ibu dr. Fenty M.Kes., Sp.PK selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
kritik serta saran terhadap skripsi ini.
5. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt selaku Ketua Program Studi
Farmasi sekaligus Ketua Tim Panitia Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
6. Pak Kayat, Pak Heru, dan Pak Parjiman atas semua bantuan yang telah
diberikan.
7. Teknisi LPPT UGM dan Balkes Yogyakarta : Bu Istini dan Bu Atika atas
8. Marketing Laboratorium Klinik Hi Lab Yogyakarta atas bantuan yang
diberikan
9. Teman-teman seperjuangan penelitian atas kebersamaan, kerja sama,
kesabaran, dan dukungan : Raisa Novitae, Chrissa Hygianna, dan Inthari
Alselusia.
10. Sahabat yang selalu membuat tawa dan mendengar keluh kesah penulis :
Betari Ambarukmi, Indah Kertawati, Meita Eryanti, Hertarinda, Yulia Naila
Karima.
11. Teman-teman di villa Agatha atas rasa kekeluargaan sebagai saudara.
12. Teman-teman di FKK A 2009 atas kebersamaannya selama ini
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi
informasi bagi pembaca.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
PRAKATA ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAS GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
INTISARI ... xv
ABSTRACT ... xvi
BAB I. PENGANTAR A.Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 5
2. Keaslian penelitian... 5
3. Manfaat penelitian ... 7
a. Manfaat teoritis ... 7
b. Manfaat praktis ... 8
B.Tujuan Penelitian ... 8
1. Tujuan umum ... 8
2. Tujuan khusus ... 8
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA A.Madu ... 9
1. Jenis madu ... 9
2. Komposisi madu ... 10
B.Jahe ... 11
1. Sistem imun nonspesifik ... 17
2. Sistem imun spesifik ... 18
D.Sel Darah Putih ... 19
E. Immunomodulator ... 24
F. Landasan Teori ... 25
G.Hipotesis ... 26
BAB III. METODE PENELITIAN A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27
B.Variabel dan Definisi Operasional ... 28
1. Variabel penelitian ... 28
2. Definisi operasional ... 28
C.Bahan Penelitian ... 29
D.Alat Penelitian ... 29
E. Tata Cara Penelitian ... 30
1. Penyiapan bahan utama ... 30
2. Pembuatan serbuk simplisia ... 30
xi
4. Tahap praperlakuan senyawa uji ... 31
5. Pembuatan suspensi sel darah merah domba (SDMD) 1% ... 31
6. Tahap penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit ... 32
7. Tahap orientasi dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit ... 33
8. Tahap percobaan ... 34
F. Analisis Hasil ... 36
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Identifikasi Madu Kelengkeng ... 37
B.Pernyataan Kebenaran Simplisia ... 38
C.Pembuatan Serbuk Jahe Emprit ... 38
D.Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ... 39
E. Pembuatan Suspensi Darah Merah Domba ... 42
F. Uji Imunostimulan Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit terhadap Jumlah Total Leukosit dengan Metode Flow Cytometry ... 43
G.Tahap Orientasi Dosis Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanol Jahe Emprit ... 44
1. Tahap orientasi hitung total leukosit ... 45
2. Tahap orientasi hitung jenis leukosit ... 46
H. Pengaruh Pemberian Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanol Jahe Emprit terhadap Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit Pada Hewan Uji Tikus Jantan Galur Wistar ... 47
1. Hitung total leukosit ... 48
2. Hitung jenis leukosit ... 49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 54
B.Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 55
LAMPIRAN ... 59
DAFTAR TABEL
Tabel I. Purata±SD total leukosit setelah pemberian madu kelengkeng dan
ekstrak etanol jahe emprit pada tahap orientasi ... 45
Tabel II. Purata±SD hitung jenis leukosit setelah pemberian madu
kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit pada tahap orientasi ... 47
Tabel III. Purata±SD total leukosit setelah pemberian madu kelengkeng dan
ekstrak etanol jahe emprit pada tahap percobaan ... 48
Tabel IV. Purata±SD hitung jenis leukosit setelah pemberian madu
kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit pada tahap percobaan. 50
Tabel V. Hasil analisis uji post-hoc tukey jumlah netrofil setelah pemberian
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun ... 16
Gambar 2. Neutrofil ... 21
Gambar 3. Basofil... 21
Gambar 4. Eosinofil ... 22
Gambar 5. Monosit ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 59
Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian ... 60
Lampiran 3. Surat Keterangan Determinasi Tanaman Jahe Emprit... ... 61
Lampiran 4. Foto Madu Kelengkeng ... 62
Lampiran 5. Foto Identifikasi Madu Kelengkeng ... 62
Lampiran 6. Proses Penetapan Kadar Air Serbuk Jahe Emprit ... 63
Lampiran 7. Perhitungan Kadar Air dalam Serbuk ... 64
Lampiran 8. Proses Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ... 65
Lampiran 9. Pembuatan Suspensi Darah Merah Domba ... 66
Lampiran 10 Perhitungan Dosis Pemberian Ekstrak Etanol Jahe Emprit dan Madu Kelengkeng... 67
Lampiran 11. Alat-Alat yang Digunakan Untuk Menghitung Leukosit... ... 69
Lampiran 12. Pengujian Statistik Hitung Total Leukosit Tahap Orientasi ... 70
Lampiran 13. Pengujian Statistik Hitung Jenis Neutrofil Orientasi ... 71
Lampiran 14. Pengujian Statistik Hitung Jenis Monosit Orientasi ... 73
Lampiran 15. Pengujian Statistik Hitung Jenis Limfosit Orientasi... 75
Lampiran 16. Pengujian Statistik Hitung Jenis Basofil Orientasi ... 76
Lampiran 17. Pengujian Statistik Hitung Jenis Eosinofil Orientasi ... 77
Lampiran 18. Pengujian Statistik Hitung Total Leukosit Tahap Percobaan ... 78
Lampiran 19. Pengujian Statistik Hitung Jenis Neutrofil Percobaan ... 79
Lampiran 20. Pengujian Statistik Hitung Jenis Monosit Percobaan ... 82
Lampiran 21. Pengujian Statistik Hitung Jenis Limfosit Percobaan... 84
Lampiran 22. Pengujian Statistik Hitung Jenis Basofil Percobaan ... 85
xv
INTISARI
Sistem imun merupakan salah satu pertahanan tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan dari berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Madu yang mengandung flavonoid dan jahe yang mengandung gingerol dan shorgaol diduga memiliki aktivitas pada sistem pertahanan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe emprit pada hewan uji tikus putih jantan galur wistar.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 30 tikus dibagi dalam enam kelompok, yaitu lima kelompok perlakuan madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit dan satu kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Lima kelompok perlakuan terdiri dari satu kelompok perlakuan jahe tunggal dosis 2,0 mL/200gBB, satu kelompok perlakuan madu tunggal dosis 0,6 mL/200gBB, dan tiga kelompok perlakuan campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit dengan perbandingan 75:25, 50:50, 25:75. Perhitungan jumlah sel darah putih dilakukan dengan metode flow cytometry. Data yang diperoleh dievaluasi secara statistik dengan melakukan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-smirnov. Analisis data yang terdistribusi normal dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian bila terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Data yang tidak terdistribusi normal akan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah sel darah putih.
ABSTRACT
Immunity system is one of defense body system against dangerous ingredient in the environmental. Honey containing flavonoid and ginger containing gingerol and shorgaol expect have activity to immune system. The aim of this research is to get information about effect administration combination kelengkeng honey and emprit ginger to total leucocyte count on animals test of male rats Wistar strain.
This research is experimental with one way complete randomized design. Total of 30 rats was divided into six groups. Five groups received kelengkeng honey and etanolic extract of emprit gingerol and one group as control group. There are one group received only honey dose 0,6 mL/200gBB, one group received only ginger dose 2,0 mL/200gBB, and three groups received combination honey and ginger with combination 75:25, 50:50, and 25:75. Calculation of total leucocyte count with flow cytometry method. Data were analyzed by statistic, normality test by Kolmogorov-Smirnov. Normal distribution data analyzed with one way ANOVA test with significance level 95%. If signification < 0,05 continued with Tukey test. Abnormal distribution data analyzed with Kruskal-Wallis.
The result shown administration combination honey and etanolic extract of ginger have no effect to total leucocyte count and different leucocyte count
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Sistem imun merupakan salah satu pertahanan tubuh yang diperlukan
untuk mempertahankan keutuhan tubuh terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
dari berbagai bahan dalam lingkungan hidup ( Baratawidjaja, 2010). Bila kondisi
pertahanan tubuh tidak baik maka zat asing yang berasal dari luar tubuh mudah
menginfeksi sehingga menimbulkan penyakit. Diperlukan tindakan nyata untuk
menjaga sistem pertahanan tubuh dalam keadaan baik salah satunya dengan
penggunaan imunomodulator.
Imunomodulator adalah suatu senyawa yang dapat mempengaruhi sistem
imun tubuh, yang dapat menormalkan kembali sistem kekebalan tubuh pada
keadaan dimana tubuh tidak berhasil menormalkan sistem kekebalannya sendiri
(Abbas and Litchman, 2005). Imunomodulator dapat berasal dari senyawa alam
dan dapat juga berasal dari senyawa sintetik.
Masyarakat telah menggunakan bahan dari alam untuk menormalkan
sistem imun. Penggunaan bahan dari alam ini menjadi solusi yang efektif karena
Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya
tanaman-tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional. Tanaman-tanaman-tanaman
ini mudah didapat karena dapat ditanam di pekarangan rumah dan harganya
ekonomis. Bahan dari alam yang digunakan oleh masyarakat untuk menormalkan
Madu dan jahe sering digunakan secara bersamaan pada minuman susu
telor madu jahe (STMJ). STMJ dinikmati masyarakat sebagai minuman yang
dapat menghangatkan badan dan menghilangkan masuk angin. Selain itu,
campuran madu dan jahe digunakan sebagai obat herbal untuk menangani flu
(Suranto, 2004). Omoya dan Akharaiyi (2012) melakukan penelitian campuran
madu dan jahe sebagai antibakteri dan hasilnya adalah campuran madu dan jahe
memiliki zona hambat pada bakteri uji.
Madu adalah cairan manis alami yang berasal dari nektar tumbuhan yang
diproduksi oleh lebah madu (Suranto, 2007). Madu dapat dibedakan berdasarkan
jenis flora yang menjadi sumber nektarnya contohnya madu monoflora. Madu
monoflora adalah madu yang berasal dari satu tumbuhan utama. Madu monoflora
dinamakan berdasarkan jenis bunga yang menjadi sumber nektarnya, misalnya
madu bunga matahari, madu kelengkeng, dan madu jeruk (Suranto, 2007).
Madu kelengkeng (Nephelium longata L.) merupakan salah satu madu
monoflora yang diproduksi secara kontinyu di Indonesia. Madu kelengkeng
berasal dari bunga kelengkeng yang diketahui mempunyai khasiat yang sangat
baik bagi kesehatan ( Parwata, Ratnayani, dan Listya, 2010). Berdasarkan survei
langsung di pasaran, madu kelengkeng paling banyak diminati oleh masyarakat.
Madu kelengkeng memiliki rasa manis, lebih legit, dan rasanya tajam ( Sarwono,
2001; Suranto, 2004). Rasa manis yang dimiliki madu kelengkeng inilah yang
Banyak penelitian tentang efek terapeutik yang terdapat pada madu
kelengkeng. Hasil penelitian Siddiqa (2008) menyatakan bahwa madu kelengkeng
memiliki aktivitas antibakteri. Parwata dkk, (2010) menyatakan bahwa madu
kelengkeng memiliki aktivitas antioksidan. Inayah, Marianti, dan Lisdiana (2012)
menyatakan bahwa penggunaan madu kelengkeng dapat menurunkan kolesterol
dan malonildealdehida.
Komposisi madu kelengkeng berdasarkan hasil penelitian Siddiqa (2008)
diketahui bahwa di dalam madu kelengkeng mengandung gula dan flavonoid
sedangkan di dalam madu randu terdapat gula dan tidak ditemukan adanya
flavonoid. Aktivitas imunomodulator pada madu kelengkeng diduga disebabkan
oleh adanya kandungan flavonoid pada madu kelengkeng. Hasil dari penelitian
Khumairoh, Tjandrakirana, Budijastuti (2012), menyatakan bahwa flavonoid yang
terdapat dalam daun sambiloto (Androgaphis paniculata) dapat meningkatkan
jumlah leukosit darah tikus putih. Pengaruh madu terhadap peningkatan jumlah
leukosit juga diperkuat oleh penelitian Tonks (cit., Manyi-Loh, et al., 2011),
dimana hasil penelitian menunjukkan madu dapat meningkatkan leukosit.
Jahe ( Zingiber officinale ) merupakan salah satu bahan alam, dari famili
Zingiberaceae yang secara luas digunakan sebagai pemberi rasa dan herba
tradisional. Rimpang jahe biasa digunakan masyarakat pada kondisi masuk angin,
gangguan pencernaan, batuk kering, peningkatan nafsu makan, dan penghangat
badan. Penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan efek farmakologi jahe dan
bahan yang diisolasi di dalamnya antara lain antitumor, antiinflamasi,
antioksidan (Badreldin, Bluden, Tanira, dan Nemmar, 2008). Komponen aktif dari
jahe adalah gingerol dan shorgaol yang telah dilaporkan memiliki efek
farmakologis sebagai imunomodulator ( Mellawati, 2008). Shorgaol dan gingerol
pada jahe dilaporkan juga dapat meningkatkan jumlah leukosit total, limfosit, dan
neutrofil (Sivagurunathan, Meera, dan Innocent, 2011).
Sel darah putih merupakan unit mobile dari sistem pertahanan tubuh. Sel
darah putih (leukosit) merupakan salah satu bagian dari respon imun nonspesifik.
Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Respon imun nonspesifik tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak
lahir (Baratawidjaja, 2010). Bagish (1994) menyatakan yang paling berperan
dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel darah putih yang fungsi utamanya adalah
memakan penyusup asing, mengeluarkan zat kimia yang vital untuk sistem imun,
dan saling mengontrol sel darah putih lain dalam menjalankan fungsinya.
Penelitian ini dirancang berdasarkan penelitian yang dilakukan Tonks
(cit., Manyi-Loh, et al., 2010) dan penelitian Sivagurunathan et al., (2011) bahwa
madu dan jahe dapat meningkatkan sel darah putih. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pemberian campuran madu kelengkeng dengan ekstrak etanolik jahe
emprit (EEJE) terhadap sistem imun nonspesifik dengan melihat jumlah sel darah
putih pada tikus dengan metode flow cytometry. Dengan demikian, didapatkan
informasi mengenai penggunaan campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik
1. Permasalahan
a. Apakah campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit
memberikan pengaruh berupa peningkatan terhadap jumlah sel darah putih
pada hewan uji tikus jantan galur Wistar?
b. Apakah campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap jumlah sel darah putih bila
dibandingkan dengan bentuk jahe emprit tunggal atau madu tunggal pada
hewan uji tikus jantan galur Wistar?
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah dilakukan penelitian
mengenai pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak
etanolik jahe emprit terhadap sel darah putih pada tikus jantan galur Wistar.
Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu :
a. Du, Pan, Zhang, Zhang, Liu, Chen, et al., 2010, Zingiber officinale extract
modulates γ-rays-induced immunosupression in mice. Hasil penelitian
menunjukkan ekstrak Zingiber officinale dapat meningkatkan secara
signifikan bobot relatif limpa dan jumlah makrofag pada mencit yang
diradiasi dibandingkan dengan mencit yang diradiasi tetapi tidak diberikan
ekstrak Zingiber officinale.
b. Gomathi, Prameela, Kumar, dan Rajendra, 2012, Evaluation of
Immunomodulatory activity of Anthocyanins from two forms of Brassica
oleracea. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak kubis putih dan
hipersensitivitas tipe lambat, hitung total sel darah putih, dan tes Carbon
Clearance. Hasil statistik menyatakan terjadi perbedaan yang signifikan
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.
c. Mastan, Saraseeruha, Gourishankar, Chaitanya, Raghunandan, Reddy, et
al., 2008, Immunomodulatory Activity of Methanolic Extract of Syzygium
Cumini Seeds. Hasil penelitian menunjukkan biji Syzygium Cumini dapat
meningkatkan secara signifikan jumlah total leukosit dan limfosit
(p<0,05).
d. Mellawati, 2008, Pengaruh Pemberian Ekstrak Zat Pedas Rimpang Jahe
Emprit Terhadap Fagositosis Makrofag Pada Mencit Jantan Yang
Diinfeksi Dengan Listeria monocytogenes. Hasil penelitian menunjukkan
ekstrak zat pedas rimpang jahe emprit dosis 25mg/kgBB dapat
meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag peritoneal pada mencit
jantan yang diinfeksi Listeria monocytogenes yang sebanding dengan
imunostimulator sintetik (Levamisol hidroklorida 2,5 mg/kgBB) dan
imunostimulator alami (ekstrak Echinacea 10 mg/kgBB).
e. Omoya dan Akharaiyi, 2012, Mixture of Honey and Ginger Extract for
Antibacterial Assesment on Some Clinical Isolates. Hasil penelitian
menunjukkan campuran madu dan ekstrak metanol dan etanol jahe emprit
memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi terhadap bakteri gram
negatif dan positif dibandingkan madu tunggal atau ekstrak metanol dan
f. Parwata, Ratnayani, Listya, 2010, Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar
Beta Karoten Pada Madu Randu (Ceiba pentandra) Dan Madu Kelengkeng
(Nephelium Longata L.). Hasil penelitian menunjukkan aktivitas
antiradikal bebas madu kelengkeng lebih besar dibandingkan madu randu
sedangkan kadar beta karoten madu randu lebih besar dibandingkan madu
kelengkeng.
g. Sari, 2006, Aktivitas Imunomodulator Infusa Daun rambutan (Nephelium
lappaceum, L) Terhadap Respon Imun Non-Spesifik Pada Mencit Secara
In Vivo. Hasil penelitian menunjukkan pada hitung total leukosit terdapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok ekstrak infusa 200 mg/kgBB
terhadap kelompok konrol negatif. Pada hitung jenis leukosit terdapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok ekstrak infusa 100 mg/kgBB
terhadap kelompok kontrol negatif baik pada parameter monosit maupun
neutrofil.
3. Manfaat penelitian
a) Manfaat teoretis.
1) Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai manfaat dari
campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe emprit sebagai
imunomodulator
2) Menambah informasi dalam bidang kefarmasian mengenai potensi
b) Manfaat praktis. Memberikan informasi dan menambah wawasan
masyarakat mengenai manfaat madu kelengkeng dan jahe emprit dalam
meningkatkan kesehatan.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu
kelengkeng dan ekstrak jahe emprit pada hewan uji tikus jantan galur
Wistar sebagai imunomodulator.
2. Tujuan khusus
Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu
kelengkeng dan ekstrak jahe emprit terhadap jumlah sel darah putih pada
9
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Madu
Madu adalah cairan manis alami berasal dari nektar tumbuhan yang
diproduksi oleh lebah madu dan disimpan dalam sel-sel sarang lebah. Pengobatan
menggunakan madu sudah diketahui sejak dahulu kala ( Suranto, 2007).
1. Jenis madu
Jenis madu berdasarkan karakteristiknya dapat dibedakan menjadi
madu berdasarkan sumber nektar, letak geografi, dan teknologi pemrosesannya
(Suranto, 2007).
Madu berdasarkan sumber nektarnya yaitu madu monoflora, madu
poliflora, flora, ekstra flora, dan madu embun. Madu monoflora adalah madu
yang berasal dari satu tumbuhan utama sedangkan madu poliflora adalah madu
yang berasal dari nektar beberapa jenis tumbuhan bunga ( Suranto, 2007).
Madu flora adalah madu yang yang bersumber dari nektar yang terdapat
dalam bunga. Madu ekstra flora dihasilkan dari sumber tanaman yang tidak
memiliki bunga. Madu embun adalah madu yang dibuat dari cairan yang
dihasilkan oleh serangga yang terdapat di pohon-pohon ( Suranto, 2004).
Madu berdasarkan letak geografi dicirikan sesuai dengan letak geografi
di mana madu tersebut diproduksi. Misalnya madu Timur jauh, Bashkirian,
Yaman, Cina, Selandia Baru, dan lain-lain (Suranto, 2007).
Madu berdasarkan teknologi pemrosesan dibedakan menjadi madu
dari sarangnya. Madu ekstraksi adalah madu yang didapat dari proses
sentrifugasi (Suranto, 2007).
2. Komposisi madu
Komponen utama madu adalah gula. Jumlah gula di dalam madu
sebanyak 80% dan 85% dari gula tersebut berupa fruktosa dan glukosa
(Suranto, 2004). Komponen minornya antara lain asam fenolat, enzim, asam
askorbat, asam organik, asam amino, dan flavonoid (Khalil, Sulaiman, dan
Boukraa, 2010). Madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium,
magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin-vitamin yang
terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C),
piridoksin (B6), niasin (B3), asam pantotenat (B5), biotin (B7), asam folat
(B9), dan vitamin K. Di dalam madu juga terdapat enzim yang penting antara
lain enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase.
Semua enzim ini berguna untuk proses metabolisme dalam tubuh. Madu juga
mengandung asam. Kandungan asam utama yang terdapat dalam madu adalah
asam glutamat. Asam organik yang juga terdapat dalam madu adalah asam
asetat, asam butirat, format, suksinat,glikolat, malat, proglutamat, sitrat, dan
piruvat (Suranto,2004).
3. Manfaat madu
Madu digunakan sebagai antioksidan, mencegah kanker, penyakit
kardiovaskular, inflamasi, degenerasi saraf, penyembuhan luka, penyakit
infeksi, dan dapat digunakan sebagai tambahan makanan (Khalil et al., 2010).
(2010) menyatakan madu randu, madu hutan, madu rambutan, dan madu
kelengkeng memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda pada bakteri
pembusuk.
Madu juga mempunyai kontribusi bagi kesehatan manusia. Madu dapat
menstimulasi sistem imun tubuh untuk menghadapi infeksi. Kemampuan madu
untuk menstimulasi sistem imun telah diteliti oleh Tonks (cit., Manyi-Loh, et
al., 2011) bahwa madu dapat menstimulasi sistem imun dengan mempengaruhi
leukosit dan makrofag. Molan (cit., Manyi-Loh, et al., 2011) menyatakan
bahwa gula pada madu merupakan komponen esensial bagi makrofag untuk
menghasilkan hidrogen peroksida, komponen dominan untuk mengganggu
aktivitas bakteri. Kandungan asam pada madu juga membantu makrofag
mengganggu aktivitas bakteri. pH asam pada madu menyebabkan kondisi asam
pada vakuola sel fagosit sehingga dapat membantu dalam proses kematian
bakteri yang tertelan.
B. Jahe
Tanaman jahe termasuk dalam suku temu-temuan ( Zingiberaceae ) yang
dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-1700 meter dpl. Sejak dulu, jahe
sudah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan sebagai bahan baku obat
tradisional ( Winarto, 2003).
1. Taksonomi jahe
Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jahe diklasifikasikan sebagai
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale
( Hapsoh, Hasanah, dan Julianti, 2008)
2. Morfologi
Ciri umum tanaman jahe adalah tumbuh berumpun. Jahe tumbuh tegak,
berbatang semu dengan tinggi 30-100cm, dan tidak bercabang. Batang
berbentuk bulat yang tersusun dari pelepah daun, berwarna hijau pucat dengan
warna pangkal batang kemerahan (Winarto, 2003).
Bagian terpenting yang memiliki nilai ekonomis pada tanaman jahe
terdapat pada akar tongkat yang lebih dikenal dengan sebutan “rimpang”. Jika
rimpang tersebut dipotong, nampak warna daging yang bervariasi, mulai putih
kekuningan, kuning, atau jingga tergantung pada klonnya. Rimpang jahe
memiliki aroma yang sangat spesifik, tajam, pahit, dan langu. Aroma jahe
disebabkan oleh adanya minyak atsiri yang umumnya berwarna kuning dan
Berdasarkan bentuk, ukuran, dan warna rimpang, ada 3 jahe yang
terkenal di Indonesia, yaitu jahe putih atau kuning besar yang disebut juga jahe
badak atau jahe gajah, jahe putih kecil atau jahe emprit, dan jahe merah
(Winarto, 2003).
3. Jenis jahe
Secara umum, jahe dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu jahe putih
besar (jahe badak), jahe putih kecil (jahe emprit), dan jahe merah (jahe sunti).
Di antara ketiga jenis tersebut, yang paling banyak disuling menjadi minyak
atsiri adalah jahe emprit ( Rusli, 2010).
Jahe putih besar (jahe badak) merupakan jahe yang memiliki rimpang
yang lebih besar dan gemuk dengan ruas rimpang lebih menggembung dari
kedua varietas lainnya. Bagian dalam rimpang apabila diiris atau dipotong atau
dipatahkan akan terlihat berwarna kekuningan. Panjang rimpang 15-35 cm
dengan diameter berkisar 8,47-8,50 cm. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik
saat berumur muda ataupun berumur tua baik sebagai jahe segar ataupun jahe
olahan (Syukur, 2002).
Jahe putih kecil (jahe emprit) merupakan jahe yang paling sering
ditemui di pasaran umum. Rimpang jahe emprit lebih besar ketimbang jahe
sunti, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan jahe gajah. Seratnya lembut dan
aromanya tidak tajam. Bentuk rimpang agak pipih dan berwarna putih
kekuningan ( Santoso, 2008). Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Jahe
ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan
Jahe merah (jahe sunti) lebih banyak digunakan untuk industri
obat-obatan dan harganya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jahe lainnya.
Rimpang jahe sunti berwarna merah sampai jingga muda. Diameter rimpang
dapat mencapai empat cm dengan panjang rimpang hingga 12,5 cm.
Ukurannya paling kecil dibandingkan dengan jahe gajah dan jahe emprit.
Seratnya kasar, aromanya tajam, dan rasanya sangat pedas (Santoso, 2008).
Jahe ini memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe emprit
sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan ( Syukur, 2002).
4. Komposisi jahe
Di dalam rimpang jahe, terdapat unsur-unsur yang bermanfaat, yaitu
oleoresin, yang terdiri atas minyak asiri (volatile oil) dan minyak tak menguap
(non-volatile oil). Minyak asiri bersifat mudah menguap dan merupakan
komponen yang menyebabkan aroma (bau) khas jahe. Minyak tak menguap
terdiri atas komponen-komponen yang menyebabkan rasa pedas dan pahit,
disebut juga fixed oil (zingerol, zingerone, shogaol, dan resin) ( Suprapti,
2003).
Oleoresin dan minyak atsiri jahe terdapat pada sel-sel minyak jaringan
korteks dekat dengan permukaan kulit ( Koswara, 1995). Oleoresin merupakan
campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan
pelarut organik. Menurut Guenther (1952), oleoresin jahe merupakan cairan
kental berwarna kuning, mempunyai rasa pedas yang tajam, larut dalam
alkohol dan petroleum eter, dan sedikit larut dalam air. Jahe mengandung resin
adalah lebih higienis dan memberikan rasa pedas yang lebih kuat dibandingkan
bahan asalnya.
5. Manfaat jahe
Jahe digunakan secara luas di dunia sebagai komponen penting dalam
pemberi rasa dan herba tradisional. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk
meneliti manfaat dari jahe. Mishra, Kumar, and Kumar (2012) menyatakan bahwa
jahe memiliki efek sebagai antiemetik, antikoagulan, antitusif, dan analgesik. Jahe
juga digunakan untuk menghangatkan tubuh (termogenik) karena jahe merupakan
tanaman herbal yang bersifat panas dan pedas. Geng et al., (2011), menyatakan
bahwa ekstrak jahe memiliki efek terapeutik dengan meningkatkan perbaikan
DNA, dan peningkatan status antioksidan, mereduksi peroksidasi lipid, dan
menurunkan kerusakan DNA pada mencit yang diradiasi oleh 60CO γ-ray.
Motawi, Hamed, Shabana, Hashem, Naser (2011), menyatakan bahwa jahe dapat
digunakan untuk menurunkan aktivitas radikal bebas dan menormalkan struktur
sel hati yang mengalami liver fibrosis. Badreldin et al (2008), menyatakan bahwa
aksi farmakologis utama dari jahe adalah imunomodulator, anti tumor, anti
inflamasi, anti apoptosis, anti hiperglikemik, anti mikrobia, anti platelet, anti
ulcer, dan antioksidan. Hasil dari penelitian Sivagurunathan et al., (2011)
menyatakan bahwa jahe memiliki efek imunostimulan lebih tinggi bila
C. Sistem Imun
Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda
asing yang berpotensi merugikan atau sel abnormal. Gabungan sel, molekul, dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun
(Baratawidjaja, 2010). Sistem imun diperlukan untuk tiga hal, yaitu
mempertahankan tubuh dari patogen penginvasi seperti mikroorganisme penyebab
penyakit yaitu virus dan bakteri, mengidentifikasi dan menghancurkan sel kanker
yang timbul di dalam tubuh, dan membersihkan sel-sel tua misalnya sel darah
merah yang sudah uzur dan sisa jaringan misal jaringan yang rusak akibat trauma
atau penyakit (Sherwood,2011). Sistem imun dibagi menjadi sistem imun alamiah
atau nonspesifik/ natural/ innate/ native/nonadaptif dan didapat atau spesifik/
adaptif/ acquired (Baratawidjaja, 2010).
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
Respon imun nonspesifik dan spesifik adalah komponen dari sebuah
molekul yang bekerja sama dalam menjalankan fungsinya. Respon imun
nonspesifik dan respon imun spesifik saling meningkatkan efektivitas dan respon
imun yang terjadi merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen
lainnya yang terdapat dalam sistem imun. Mekanisme sistem imun nonspesifik
memberikan perlindungan awal yang efektif dalam melawan infeksi. Meskipun,
banyak mikrobia patogen yang resisten terhadap imunitas nonspesifik sehingga
dibutuhkan kekuatan yang lebih dari imunitas adaptif untuk mengeliminasinya.
Imun nonspesifik yang merespon mikrobia juga menstimulasi respon imun adaptif
(Abbas and Litchmann, 2005).
1. Sistem imun nonspesifik
Sistem imun innate atau yang disebut juga sistem imun natural atau
native merupakan perlindungan awal tubuh dalam melawan mikrobia.
Perlindungan itu terdiri dari mekanisme perlindungan secara selular dan
biokimia yang memberikan respon secara cepat terhadap infeksi.
Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah 1) pertahanan fisik dan
kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada
permukaan epitel; 2) perangkat humoral, antara lain berupa komplemen;
protein kompleks yang banyak dijumpai dalam serum individu normal,
memiliki fungsi meningkatkan fagositosis dan mampu merusak membran
bakteri apabila terpacu menjadi aktif melalui reaksi enzimatik; interferon (IFN)
suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh berinti dan terdiri
dari IFN-α, IFN-β, dan IFN-γ dimana ketiganya dapat meningkatkan aktivitas
replikasi virus. 3) perangkat seluler, yang mempunyai fungsi utama fagositosis.
Ini diperankan oleh sel fagositik seperti monosit, makrofag, dan netrofil.
Fagosit ini merupakan komponen utama dalam imunitas alamiah umumnya
terhadap bakteri (Baratawidjaja, 2000; Marsetyawan 2000).
Respon imun nonspesifik dalam mempertahankan diri terhadap
masuknya molekul asing dengan cara fagositosis. Antigen harus melekat pada
sel fagosit terlebih dahulu supaya dapat terjadi fagositosis. Terdapat mediator
tertentu yang disebut faktor leukotaktis atau kemotaktis yang berasal dari
antigen maupun dilepaskan oleh neutrofil atau makrofag yang sebelumnya
berada di lokasi tersebut. Pelepasan mediator tersebut yang menyebabkan sel
fagosit dapat bergerak ke sel sasaran (Benjamini, Coico, dan Sunshine, 2003).
2. Sistem imun spesifik
Sistem imun spesifik atau yang disebut sistem imun adaptif memiliki
spesifisitas yang jelas terhadap molekul dan mempunyai kemampuan untuk
“mengingat” dan merespon lebih dahsyat terhadap pemaparan yang berulang
dari mikroba yang sama (Abbas and Litchmann, 2005). Sistem imun ini
membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat
memberikan responsnya sehingga dikatakan berperan di garis belakang ( the
second line of defense ) ( Marsetyawan, 2000). Sistem imun adaptif dapat
mengenali dan bereaksi dengan mikrobial dan substansi nonmikrobial dalam
jumlah besar. Sistem imun adaptif memiliki kapasitas yang luar biasa untuk
membedakan antara mikrobia dan molekul dan karena alasan itulah disebut
spesifik adalah spesifitas, diversitas, memori, spesialisasi membatasi diri ( self
limition) dan membedakan self dari non-self (Marsetyawan, 2000). Komponen
utama dari imunitas adaptif adalah limfosit dan produk yang dihasilkan seperti
antibodi. Substansi dari luar yang menginduksi respon imun spesifik disebut
antigen ( Abbas and Litchmann, 2005). Sistem imun spesifik terdiri atas sistem
humoral dan sistem selular. Pada sistem imunitas humoral, sel B melepas
antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler. Pada imunitas selular, sel
T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba atau
mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi
(Baratawidjaja, 2010).
D. Sel Darah Putih
Sel darah putih tidak berwarna (yaitu, “putih”) kecuali jika secara
spesifik diwarnai agar dapat dilihat dengan mikroskop. Sel darah putih memiliki
bentuk lebih besar daripada sel darah merah. Setiap milimeter kubik terdapat
rerata 7000 sel darah putih (Sherwood, 2011).
Sel darah putih merupakan unit mobil dari sistem pertahanan tubuh. Sel
darah putih dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu granulosit dan agranulosit
(Fischbach, 2004). Dalam keadaan normal, sekitar dua pertiga sel darah putih
adalah granulosit, terutama neutrofil, sementara sepertiga adalah agranulosit
1. Granulosit
Granulosit terdiri dari neutrofil, basofil, dan eosinofil. Disebut
granulosit karena adanya granula khusus yang terbungkus membran pada
sitoplasma netrofil, basofil, dan eosinofil. Namun, setiap sel juga memiliki
sebuah nukleus yang berbelah banyak dengan bentuk variasi, yang mana
membuat sel darah putih bergranula ini juga disebut polimorfonuklear leukosit
(Fischbach, 2004).
a. Neutrofil. Neutrofil merupakan garis pertahanan penting dalam sistem
fagositik. Granula neutrofil memiliki sifat kimia yang netral sehingga susah
untuk diwarnai dengan pewarna asam atau basa. Fungsi utama neutrofil adalah
pertahanan tubuh berupa migrasi ke tempat-tempat infeksi dan peradangan,
pengenalan dan pengolahan antigen asing, fagositosis dan pemusnahan, dan
pencernaan debris jaringan dan mikroorganisme (Sacher dan McPherson,
2004). Neutrofil menjadi komponen leukosit pertama yang tiba di tempat
terjadinya luka. Neutrofil bekerja dengan cepat tetapi tidak mampu bertahan
lama. Neutrofil tidak mampu bertahan lama karena cadangan energi yang
terbatas dan tidak dapat diisi kembali sehingga kemampuan fagositosisnya
terbatas. Pada manusia dan karnivora, neutrofil merupakan bagian terbesar dari
Gambar 2. Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010)
b. Basofil. Basofil merupakan leukosit granular yang memiliki jumlah paling
sedikit di antara komponen leukosit lainnya. Basofil memiliki inti yang bulat
atau oval dengan banyak granula kecil berwarna gelap yang terwarnai kuat
dengan zat warna yang bersifat basofilik seperti hematoksilin (Tizard, 2009).
Basofil sangat terkait dengan reaksi alergi, mengandung granula yang dipadati
dengan histamin, heparin, dan zat kimia lain yang meningkatkan inflamasi.
Biasanya, stimulus yang menyebabkan basofil melepaskan kandungan
granulanya merupakan suatu alergen (Fischbach, 2004).
Gambar 3. Basofil (Weiss dan Wardrop, 2010)
c. Eosinofil. Eosinofil adalah komponen sel darah putih yang memiliki afinitas
terhadap pewarna merah eosin. Eosinofil efektif melawan parasit multiseluler
meningkat selama infeksi parasit. Eosinofil menyerang parasit dengan cara
mengeluarkan molekul toksik dari sitoplasma granulanya. Namun, molekul
toksik yang dikeluarkan eosinofil kadang membahayakan karena molekul
toksik ini juga dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan normal dan juga
dapat menimbulkan reaksi alergi. Eosinofil juga memiliki kemampuan untuk
fagositosis (Martini and Nath, 2009). Namun, tingkat fagositosisnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan neutrofil. Eosinofil bergerak lebih lamban
dan kurang efisien dalam fagositosis dan pemusnahan bakteri. Walaupun
mampu melakukan fagositosis, eosinofil tidak bersifat bakterisidal (Sacher and
McPherson, 2004)
Gambar 4. Eosinofil (Weiss dan Wardrop, 2010)
2. Agranulosit
Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Kedua sel ini tidak memiliki
granula khusus dan memiliki satu nukleus besar yang tidak berbelah. Monosit
dan limfosit juga disebut mononuclear leukosit (Fischbach, 2004).
a. Monosit. Di darah, monosit adalah sel yang berbentuk bulat, memiliki
nukleus yang besar dan bentuknya oval atau seperti kacang merah. Monosit
berkembang menjadi fagosit profesional dan berfungsi untuk melawan
dan beredar kurang lebih 72 jam. Sel-sel ini kemudian bermigrasi dari
pembuluh darah ke dalam jaringan dan akan mengalami perubahan menjadi
makrofag yang merupakan bentuk matang dari monosit ( Tizard, 2009).
Makrofag adalah sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam
jumlah besar. Makrofag mencerna sel yang memiliki ukuran yang sama bahkan
makrofag juga dapat mencerna sel yang ukurannya lebih besar. Makrofag dapat
memfagositosis sel darah merah dan sel darah putih yang telah lisis. Makrofag
bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagosit berulang-ulang kali
(Corwin, 2009).
Gambar 5. Monosit (Weiss dan Wardrop, 2010)
b. Limfosit. Limfosit merupakan leukosit kedua terbanyak di darah perifer.
Sel-sel ini merupakan komponen esensial pada sistem pertahanan imun terutama
pada sistem imun spesifik. Fungsi utamanya adalah berinteraksi dengan antigen
dan menimbulkan respons imun. Terdapat dua subtipe utama, limfosit-T dan
limfosit-B, yang masing-masing melakukan fungsi imunologik tersendiri.
Limfosit-T berperan dalam imunitas selular dan memodulasi responsivitas
sel kanker. Limfosit-B terutama bertanggung jawab untuk imunitas humoral
dan pembentukan antibodi (Sacher dan McPherson, 2004).
Gambar 6. Limfosit (Weiss dan Wardrop, 2010)
E. Imunomodulator
Imunomodulator adalah substansi yang dapat mengembalikan
ketidakseimbangan sistem imun. Cara kerja imunomodulator meliputi 1)
mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu (imunorestorasi); 2)
memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan 3) menekan respons imun
(imunosupresan).
Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun
yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti
immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune
Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi
sumsum tulang, hati, dan timus (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Imunostimulator yaitu suatu senyawa yang dapat merangsang sistem
imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunostimulator dapat digolongkan
Imunostimulator spesifik adalah senyawa yang dapat memberikan spesifitas
antigenik dalam respon imun, seperti vaksin atau antigen lain. Imunostimulator
non spesifik adalah suatu senyawa yang tidak memiliki spesifitas antigenik, tetapi
dapat meningkatkan respon imun terhadap antigen lain atau menstimulasi
komponen dari sistem imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant dan
imunostimulator non spesifik lainnya (Saxena, Sharma, Bharti, dan Rathore,
2012).
Imunosupresor adalah suatu senyawa yang dapat menekan sistem imun
tubuh (Saxena et al., 2012). Pemberian radiasi dan interferon dalam dosis tinggi
merupakan contoh dari penggunaan imunosupresor yang telah digunakan secara
eksperimental dalam klinik. Selain itu, imunosupresor juga merupakan
pendekatan umum dalam usaha mencegah dan menangani reaksi penolakan dalam
proses transplantasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
F. Landasan Teori
Sistem imun merupakan bentuk pertahanan yang diperlukan untuk
melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan dari berbagai bahan dalam
lingkungan hidup. Bila sistem imun tidak berada dalam kondisi yang baik, maka
zat asing yang berasal dari luar tubuh mudah menginfeksi dan menimbulkan
penyakit. Usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga sistem imun dalam kondisi
yang baik, salah satunya dengan penggunaan imunomodulator dari alam
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan madu dan jahe dapat
meningkatkan jumlah sel darah putih yang merupakan lini pertama dalam sistem
imun tubuh. Tonks (cit., Manyi-Loh, et al., 2011) menyatakan madu dapat
berperan dalam sistem imun dengan mempengaruhi leukosit dan makrofag. Madu
mengandung flavonoid dan hasil penelitian Khumairoh dkk (2012) menyatakan
bahwa flavonoid dapat meningkatkan jumlah leukosit tikus putih. Sivagurunathan
et al., (2011), menyatakan jahe yang mengandung gingerol dan shogaol dapat
mempengaruhi jumlah leukosit total, limfosit, dan neutrofil.
Penggunaan campuran tanaman yang berkhasiat obat telah terbukti
memberikan efek yang lebih baik daripada diberikan dalam bentuk tunggal
tunggal. Omoya dan Akharaiyi (2012) menyatakan bahwa penggunaan campuran
madu dan jahe menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan
pada penggunaan tunggal. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa campuran
antara madu dan jahe ini juga akan memiliki pengaruh terhadap jumlah sel darah
putih.
G. Hipotesis
Campuran madu kelengkeng (Nephelium longata L.) dan ekstrak etanolik
jahe emprit (Zingiber officinale Roscoe) memiliki pengaruh terhadap jumlah sel
darah putih pada hewan uji tikus putih jantan galur Wistar dan pengaruh yang
ditimbulkan lebih baik bila dibandingkan dengan madu kelengkeng tunggal dan
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan
rancangan acak pola searah. Disebut eksperimental murni karena dilakukan
dengan memberi perlakuan terhadap kelompok perlakuan dan hasilnya
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan. Rancangan acak
yaitu sampel yang digunakan ditetapkan dengan pengacakan agar setiap sampel
mendapat kesempatan yang sama untuk masuk dalam kelompok kontrol atau
kelompok perlakuan. Pola searah ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang
sama pada kelompok perlakuan. Penelitian menggunakan subyek uji tikus jantan
galur Wistar yang diperoleh dari Laboratorium Imuno Hayati Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Kriteria inklusi yaitu tikus kelamin jantan dengan berat
badan 150-250 g, berumur 2-3 bulan, dan bergalur wistar. Kriteria drop out adalah
tikus yang mati selama perlakuan. Penelitian dilakukan di laboratorium
Farmakologi Toksikologi dan Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta serta di unit III Laboratorium Penelitian dan
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
a. Variabel utama.
1) Variabel bebas : perbandingan dosis campuran madu
kelengkeng dan ekstrak etanol jahe
emprit
2) Variabel tergantung : jumlah sel darah putih
b . Variabel pengacau.
1) Variabel yang dikendalikan : jenis makanan, variasi genetik, jenis
kelamin, berat badan, umur tikus,
dan galur tikus
2) Variabel yang tidak dikendalikan : patofisiologis tikus dan kondisi
psikologis tikus
2. Definisi operasional
a. Campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit. Larutan yang
terdiri dari campuran madu monoflora yang berasal dari nektar bunga
kelengkeng dan ekstrak kental yang berasal dari hasil ekstraksi serbuk rimpang
jahe emprit.
b. Sel darah putih. Sel darah putih tidak berwarna (yaitu, “putih”) kecuali jika
secara spesifik diwarnai agar dapat dilihat dengan mikroskop. Sel darah putih
memiliki bentuk lebih besar daripada sel darah merah. Setiap milimeter kubik
C. Bahan Penelitian
1. Bahan utama
a. Madu kelengkeng yang diperoleh dari PT. Madu Pramuka.
b. Simplisia kering jahe emprit yang diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal
Jalan Kaliurang km 21,5 Yogyakarta
2. Hewan uji
Tikus putih jantan galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 200-300 g
diperoleh dari Laboratorium Imono Hayati Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bahan untuk ekstraksi jahe emprit
Etanol 96%
4. Bahan untuk uji jumlah sel darah putih
Sampel darah tikus yang sebelumnya telah diinjeksi dengan campuran
madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit, antigen Suspensi Darah
Merah Domba (SDMD) 1% yang didapat dari Balai Kesehatan Yogyakarta.
D. Alat Penelitian
1. Pembuatan serbuk kering dan proses ekstraksi rimpang jahe emprit
Mesin grinder, sendok, batang pengaduk, corong Buchner, timbangan
analitik, ayakan no mesh 40, rotary evaporator, erlenmeyer 1000 mL , gelas
ukur 250 mL, maserator, cawan porselen, kertas saring Whatman, dan oven.
2. Pembuatan campuran larutan uji
3. Pengujian jumlah sel darah putih
Spuit injeksi oral 3 mL, spuit injeksi peritoneal 3 mL, pipa kapiler,
tabung EDTA, Sysmex XT 1800i.
E. Tata Cara Penelitian
1. Penyiapan bahan utama
Simplisia jahe emprit yang digunakan berasal dari pabrik pembuat jamu
tradisional di Yogyakarta yaitu CV. Merapi Farma Herbal di jalan Kaliurang
km 21,5. Madu kelengkeng yang digunakan berasal dari PT. Madu Pramuka.
2. Pembuatan serbuk simplisia
Simplisia kering jahe emprit dibuat menjadi sediaan serbuk
menggunakan mesin grinder kemudian diayak menggunakan pengayak
dengan nomor 40 mesh. Bobot serbuk jahe emprit setelah dilakukan
penyerbukan dan pengayakan ditimbang untuk dihitung persen rendemen
serbuknya.
Penetapan kadar air di dalam serbuk dilakukan untuk memenuhi
persyaratan obat tradisional menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
661/Menkes/SK/VII/199. Penetapan kadar air di dalam serbuk dilakukan
dengan metode gravimetri menggunakan alat Hallogen Moisture Balance.
Sebanyak ±5 g serbuk yang sudah diayak dimasukkan ke dalam alat kemudian
diratakan. Timbang bobot serbuk rimpang sebagai bobot sebelum pemanasan
Timbang serbuk rimpang setelah pemanasan (bobot B). Selisih bobot A dan B
merupakan kadar air dari zat yang diteliti.
Rumus penentuan kadar air : �−�
� � 100%
3. Pembuatan ekstrak etanolik rimpang jahe emprit
Pembuatan ekstrak etanolik rimpang jahe emprit dilakukan dengan
metode maserasi. Sebanyak 50,0 g serbuk rimpang jahe emprit dimasukkan ke
dalam tabung erlenmeyer bertutup, lalu ditambahkan 250,0 ml pelarut etanol
96%. Kemudian dilakukan ekstraksi selama 3x24 jam. Selanjutnya, dilakukan
penyaringan dengan menggunakan corong Buchner. Filtrat yang diperoleh,
dikumpulkan dan diuapkan untuk menghilangkan etanol dengan menggunakan
rotary evaporator. Pelarut yang masih tersisa diuapkan menggunakan oven
pada suhu 40◦C. Ekstrak kental yang diperoleh digunakan dalam pembuatan
sediaan uji.
4. Tahap praperlakuan senyawa uji
Sebelum penelitian dilaksanakan, semua hewan uji ditimbang berat
badannya, kemudian hewan uji dipelihara selama 1 minggu di Laboratorium
Farmakologi-Toksikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk
penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
5. Pembuatan suspensi sel darah merah domba (SDMD) 1%
Darah domba segar yang telah diberi antikoagulan disentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm untuk memisahkan plasma dari sel darah merah.
bawah yang berupa endapan sel darah merah, ditambahkan larutan PBS pH 7,2
sebanyak 3 kali volume SDMD yang tersisa. Tabung kemudian dibolak-balik
dengan perlahan-lahan sampai SDMD tersuspensi secara homogen, kemudian
disentrifugasi lagi. Pencucian paling sedikit dilakukan tiga kali. Setelah
disentrifugasi, PBS dikeluarkan sehingga yang tertinggal adalah SDMD 100%.
Ambil 0,5 mL suspensi SDMD 100%, tambahkan PBS dengan volume sama
sehingga didapat suspensi SDMD 50%. Untuk mendapatkan suspensi SDMD
1%, maka dari 1 mL suspensi SDMD 50% ditambahkan PBS ad 50 mL.
6. Tahap penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit
Penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik
rimpang jahe emprit didasarkan pada Suranto (2007) dan penelitian Mellawati
(2008). Suranto menyatakan bahwa dosis madu yang dianjurkan pada manusia
adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan (15 mL). Konversi dosis pada manusia
yang berat badannya 70 kg ke tikus yang berat badannya 200 g adalah 0,018
(Ngatidjan, 1991). Dosis madu untuk tikus 200 g adalah :
Faktor konversi x dosis penggunaan 2 kali/hari = 0,018 x 30 mL
= 0,54 mL ≈ 0,6 mL
Untuk dosis ekstrak etanolik jahe emprit didasarkan pada penelitian
Mellawati (2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mellawati dosis 25
mg/kgBB volume pemberian 0,2 mL/20 g BB memberikan efek yang optimal
dan sama dengan imunostimulator sintetik (Levamisol hidroklorida) dan
Dosis ekstrak rimpang jahe emprit untuk tikus 200 g adalah :
Volume pemberian x berat badan tikus = 0,2 mL/20 g BB x 200 g
= 2 mL
Untuk dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit
dibuat menjadi 5 komposisi sebagai berikut dengan dasar perhitungan seperti
pada lampiran 10 :
Komposisi 1 : jahe 100% = 2 mL
Komposisi 2 : jahe 75% ; madu 25% = 1,5 mL ; 0,2 mL
Komposisi 3 : jahe 50% ; madu 50% = 1 mL ; 0,3 mL
Komposisi 4 : jahe 25% ; madu 75% = 0,5 mL ; 0,5 mL
Komposisi 5 : madu 100% = 0,6 mL
7. Tahap orientasi dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit
Sebanyak 18 hewan uji dibagi dalam enam kelompok, yaitu satu
kelompok kontrol negatif dan lima kelompok perlakuan dimana masing-masing
kelompok terdiri dari tiga ekor tikus. Pembagian kelompok-kelompok tersebut,
yaitu :
a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan
b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi
perlakuan ekstrak jahe dengan volume pemberian 2,0 mL.
c. Kelompok perlakuan 2 (Jahe 75% : Madu 25%) : kelompok tikus yang
diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,5
d. Kelompok perlakuan 3 (Jahe 50% : Madu 50%) : kelompok tikus yang
diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,0
mL dan madu kelengkeng sebanyak 0,3 mL.
e. Kelompok perlakuan 4 (Jahe 25% : Madu 75%) : kelompok tikus yang
diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 0,5
mL dan madu kelengkeng sebanyak 0,5 mL.
f. Kelompok perlakuan 5 (Madu 100%) : kelompok tikus yang diberi
larutan madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL.
Delapan belas hewan uji tersebut akan diambil darahnya untuk diuji jumlah total
dan hitung jenis leukosit.
Pengujian jumlah sel darah putih dilakukan dengan metode yang
dilakukan Gomathi, Prameela, Kumar, dan Rajendra (2012). Semua tikus diinjeksi
SDMD 1% dengan dosis 2,0 mL/200g BB secara intraperitonial pada hari 0
(Kumala, Dewi, Nugroho 2012). Tikus yang terdapat dalam kelompok perlakuan
diberikan campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe secara oral sesuai dengan
komposisi yang telah ditetapkan selama tujuh hari berturut-turut. Sampel darah
diambil dari sinus orbital pada hari ke delapan dan dikumpulkan dalam tabung
EDTA. Sampel darah diukur menggunakan Sysmex XT 1800i automated
hematology analyzer yang dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab Yogyakarta.
8. Tahap percobaan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit
Pada tahap percobaan ini, sebanyak 30 ekor hewan uji dibagi dalam
perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri atas lima ekor tikus.
Pembagian kelompok-kelompok tersebut sama seperti pada tahap orientasi yaitu :
a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan
b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi perlakuan
ekstrak jahe dengan volume pemberian 2,0 mL.
c. Kelompok perlakuan 2 (Jahe 75% : Madu 25%) : kelompok tikus yang
diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,5 mL
dan madu kelengkeng sebanyak 0,2 mL.
d. Kelompok perlakuan 3 (Jahe 50% : Madu 50%) : kelompok tikus yang diberi
perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,0 mL dan
madu kelengkeng sebanyak 0,3 mL.
e. Kelompok perlakuan 4 (Jahe 25% : Madu 75%) : kelompok tikus yang
diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 0,5 mL
dan madu kelengkeng sebanyak 0,5 mL.
f. Kelompok perlakuan 5 (Madu 100%) : kelompok tikus yang diberi larutan
madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL.
Tiga puluh ekor tikus tersebut akan diambil darahnya untuk diuji jumlah total dan
hitung jenis leukosit sama halnya pada tahap orientasi.
Pengujian jumlah sel darah putih pada tahap percobaan dilakukan
sama dengan pengujian jumlah sel darah putih pada tahap orientasi. Semua
tikus diinjeksi SDMD 1% dengan dosis 2,0 mL/200g BB secara intraperitonial
pada hari 0. Tikus yang terdapat dalam kelompok perlakuan diberikan
komposisi yang telah ditetapkan selama tujuh hari berturut-turut. Sampel darah
diambil dari sinus orbital pada hari ke delapan dan dikumpulkan dalam tabung
EDTA. Sampel darah diukur menggunakan Sysmex XT 1800i automated
hematology analyzer yang dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab
Yogyakarta.
F. Analisis Hasil
Data yang diperoleh dievaluasi secara statistik dengan melakukan uji
Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan Levene Test untuk melihat
homogenitas varian. Jika data yang didapatkan terdistribusi normal dan homogen
(P > 0,05), analisis data dilanjutkan dengan analisis statistik parametrik one way
ANOVA taraf kepercayaan 95%, selanjutnya jika terdapat perbedaan yang
bermakna pada data maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Namun, jika data tidak
terdistribusi normal (p < 0,05) maka data dianalisis dengan uji non-parametrik
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian campuran
madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit terhadap jumlah sel darah putih
pada hewan uji tikus putih jantan galur Wistar. Pengukuran jumlah sel darah putih
dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab Yogyakarta menggunakan metode flow
cytometry. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
mengetahui normalitas data dilanjutkan dengan uji Levene untuk mengetahui
homogenitas data dan selanjutnya uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan
95%.
A. Identifikasi Madu Kelengkeng
Salah satu bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
madu kelengkeng yang diperoleh dari PT Madu Pramuka (lampiran 4). Dilakukan
identifikasi madu kelengkeng untuk mendapatkan kebenaran identitas dan
keaslian madu kelengkeng. Proses identifikasi madu pada penelitian ini dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut.
a. Menuangkan madu ke dalam segelas air. Madu yang murni langsung
mengendap dan tidak bercampur dengan air sehingga air tetap jernih
(Ihsan, 2011).
b. Menumpahkan madu ke dalam sebuah bejana atau wadah. Madu murni
pada saat dituang tetesannya menjadi seperti benang dan tidak
c. Mencium aroma khas dari madu. Madu yang murni akan beraroma
khas sesuai dengan jenis bunga yang menjadi sumber nektarnya
(Sulaiman, 2010).
Hasil identifikasi berdasarkan cara-cara di atas didapatkan hasil madu
kelengkeng yang digunakan adalah madu murni karena ketika dituang ke dalam
segelas air, madu tersebut langsung mengendap dan tidak bercampur dengan air
sehingga air tetap jernih, pada saat dituang tetesannya seperti benang dan tidak
terputus alirannya (Lampiran 5) , serta tercium bau khas buah kelengkeng, karena
madu kelengkeng berasal dari nektar bunga kelengkeng sebagai sumber utama
nektarnya.
B. Pernyataan Kebenaran Simplisia
Penelitian ini juga menggunakan ekstrak yang berasal dari rimpang
tanaman Zingiber officinale Roscoe. Kebenaran identitas simplisia yang diteliti
dijamin oleh CV. Merapi Farma Herbal, tempat peneliti mendapatkan rimpang
tanaman. Surat keterangan simplisia terlihat pada lampiran 3.
C. Pembuatan Serbuk Jahe Emprit
Simplisia kering jahe emprit sebanyak 1,5 kg yang diperoleh dari CV.
Merapi Farma Herbal dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu ±500C
selama 15 menit sebelum dilakukan penyerbukan. Simplisia yang sudah kering
(grinder). Penyerbukan ini bertujuan untuk memperbesar luas permukaan kontak
antara simplisia dengan cairan penyari sehingga proses penyarian senyawa dapat
optimal. Serbuk kemudian diayak menggunakan pengayak dengan nomor 40
mesh. Tujuan dari pengayakan bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk
jahe emprit.
Serbuk kering jahe emprit yang diperoleh setelah diserbuk dan diayak
sebanyak 1 kg. Selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen untuk menghitung
berapa persen serbuk jahe emprit yang didapat dari rimpang kering jahe emprit.
Nilai rendemen serbuk jahe emprit sebesar 66,67%.
Selanjutnya serbuk yang sudah dibuat dilakukan penetapan kadar air
untuk mengetahui kualitas dari serbuk. Penetapan kadar air dilakukan
menggunakan metode gravimetri. Analisis gravimetri, yaitu analisis kuantitatif
berdasarkan berat tetapnya (berat konstan) (Gandjar dan Rohman, 2010).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia
adalah 10%. Rata-rata kadar air yang diperoleh dari serbuk jahe emprit yang
dibuat sebesar 9,50 % (Lampiran 7), sehingga dapat disimpulkan simplisia yang
digunakan sudah memenuhi syarat simplisia yang baik.
D. Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit
Pembuatan ekstrak kental dilakukan ekstraksi dengan menggunakan
difusi osmosis. Digunakan metode maserasi karena metode ini sederhana
dibandingkan dengan metode ekstraksi lainnya.
Pada pembuatan ekstrak etanolik simplisia jahe emprit, serbuk jahe yang
digunakan sebanyak 50 g yang dilarutkan dalam 250 mL etanol. Komposisi ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daryono (2010) bahwa komposisi
yang optimal untuk serbuk yang ingin disari dengan cairan penyari adalah 1 : 5.
Proses ekstraksi serbuk rimpang jahe emprit dilakukan dengan
menggunakan etanol 96% sebagai cairan penyari. Pemilihan etanol 96%
didasarkan pada sifat etanol sebagai penyari universal yang mampu melarutkan
senyawa polar maupun senyawa non polar namun tetap dapat memisahkan dengan
baik beberapa senyawa dengan tingkat kepolaran tertentu. Selain itu, penggunaan
etanol akan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan air sebagai cairan
penyari. Jika air digunakan sebagai cairan penyari, penyarian yang dilakukan
rentan terhadap kontaminasi mikroba dan dalam proses penguapannya untuk
mendapatkan ekstrak yang kental membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan etanol yang mudah menguap dan tidak mudah ditumbuhi mikroba.
Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 96% yang didasarkan dari
penelitian Ramadhan dan Phaza (2010) yang menyatakan bahwa konsentrasi
etanol yang digunakan semakin tinggi maka rendemen ekstrak yang didapat akan
semakin banyak. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pelarut yang digunakan
semakin tinggi maka kepolaran pelarut akan semakin rendah sehingga akan
dimana dilihat dari aspek kepolarannya, oleoresin di dalam jahe bersifat kurang
polar.
Proses maserasi dilakukan selama tiga kali 24 jam disertai dengan
pengadukan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Perendaman akan membantu peresapan (penetrasi) cairan penyari dan
pelunakan sel sehingga senyawa yang diinginkan mudah tersari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel serbuk simplisia dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif. Penarikan zat aktif keluar dari sel disebabkan adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel dimana
konsentrasi di dalam sel lebih pekat dibandingkan di luar sel sehingga cairan yang
memiliki kepolaran yang sama dengan penyari akan larut dalam penyari lalu akan
bergerak menuju ke luar sel yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Pada
proses maserasi juga dilakukan pengadukan setiap hari. Pengadukan bertujuan
untuk mengoptimalkan pembasahan pada serbuk sehingga seluruh bagian serbuk
terendam dalam cairan penyari. Pengadukan juga berfungsi untuk mencegah
terjadinya keseimbangan antara konsentrasi di dalam sel dengan di luar sel. Jika
dilakukan pengadukan, perbedaan konsentrasi akan tetap terjaga untuk
mendapatkan penyarian yang optimal sesuai teori difusi dimana senyawa aktif di
dalam sel yang memiliki konsentrasi tinggi akan terus menerus berdifusi ke luar
sel yang memiliki konsentrasi lebih rendah.
Setelah tiga hari, maserat dipisahkan dari ampasnya dengan cara disaring
menggunakan corong Buchner dan kertas saring. Proses selanjutnya adalah