• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng (Nephelium longata L.) dan ekstrak etanolik jahe emprit (Zingiber officinale Roscoe)terhadap jumlah sel darah putih pada tikus putih jantan galur wistar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng (Nephelium longata L.) dan ekstrak etanolik jahe emprit (Zingiber officinale Roscoe)terhadap jumlah sel darah putih pada tikus putih jantan galur wistar"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.) DAN EKSTRAK ETANOLIK JAHE EMPRIT (Zingiber officinale Roscoe) TERHADAP JUMLAH SEL DARAH PUTIH

PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Defi Krishartant ri

NIM : 098114031

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.) DAN EKSTRAK ETANOLIK JAHE EMPRIT (Zingiber officinale Roscoe) TERHADAP JUMLAH SEL DARAH PUTIH

PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Defi Krishartant ri

NIM : 098114031

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang

memberi kekuatan kepadaku ( Filipi 4 : 13)

Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab

Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;

Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa

kemenangan ( Yesaya 41 : 10)

Karya kecil ini kupersembahkan kepada :

Papi JC, ini semua atas kasih karuniaMu

Papa dan Mama, sebagai bentuk sayang dan baktiku

Mas Yoga dan Mbak Rissa, terima kasih sudah menginspirasiku

(8)

vii

PRAKATA

Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, atas

segala berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Pengaruh Pemberian Campuran Madu Kelengkeng (Nephelium

longata L.) dan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ( Zingiber officinale Roscoe )

Terhadap Jumlah Sel Darah Putih Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar” untuk

memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala dan

hambatan, namun berkat dukungan, bimbingan, kritik, dan saran dari berbagai

pihak penulis dapat menyelesaikannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Yunita Linawati M.Sc., Apt selaku Dosen Pembimbing atas

kebijaksanaan, perhatian, dan kesabarannya untuk membantu penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.

4. Ibu dr. Fenty M.Kes., Sp.PK selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

kritik serta saran terhadap skripsi ini.

5. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt selaku Ketua Program Studi

Farmasi sekaligus Ketua Tim Panitia Skripsi Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

6. Pak Kayat, Pak Heru, dan Pak Parjiman atas semua bantuan yang telah

diberikan.

7. Teknisi LPPT UGM dan Balkes Yogyakarta : Bu Istini dan Bu Atika atas

(9)

8. Marketing Laboratorium Klinik Hi Lab Yogyakarta atas bantuan yang

diberikan

9. Teman-teman seperjuangan penelitian atas kebersamaan, kerja sama,

kesabaran, dan dukungan : Raisa Novitae, Chrissa Hygianna, dan Inthari

Alselusia.

10. Sahabat yang selalu membuat tawa dan mendengar keluh kesah penulis :

Betari Ambarukmi, Indah Kertawati, Meita Eryanti, Hertarinda, Yulia Naila

Karima.

11. Teman-teman di villa Agatha atas rasa kekeluargaan sebagai saudara.

12. Teman-teman di FKK A 2009 atas kebersamaannya selama ini

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi

informasi bagi pembaca.

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAS GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I. PENGANTAR A.Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 5

2. Keaslian penelitian... 5

3. Manfaat penelitian ... 7

a. Manfaat teoritis ... 7

b. Manfaat praktis ... 8

B.Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan umum ... 8

2. Tujuan khusus ... 8

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA A.Madu ... 9

1. Jenis madu ... 9

2. Komposisi madu ... 10

(11)

B.Jahe ... 11

1. Sistem imun nonspesifik ... 17

2. Sistem imun spesifik ... 18

D.Sel Darah Putih ... 19

E. Immunomodulator ... 24

F. Landasan Teori ... 25

G.Hipotesis ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B.Variabel dan Definisi Operasional ... 28

1. Variabel penelitian ... 28

2. Definisi operasional ... 28

C.Bahan Penelitian ... 29

D.Alat Penelitian ... 29

E. Tata Cara Penelitian ... 30

1. Penyiapan bahan utama ... 30

2. Pembuatan serbuk simplisia ... 30

(12)

xi

4. Tahap praperlakuan senyawa uji ... 31

5. Pembuatan suspensi sel darah merah domba (SDMD) 1% ... 31

6. Tahap penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit ... 32

7. Tahap orientasi dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit ... 33

8. Tahap percobaan ... 34

F. Analisis Hasil ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Identifikasi Madu Kelengkeng ... 37

B.Pernyataan Kebenaran Simplisia ... 38

C.Pembuatan Serbuk Jahe Emprit ... 38

D.Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ... 39

E. Pembuatan Suspensi Darah Merah Domba ... 42

F. Uji Imunostimulan Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit terhadap Jumlah Total Leukosit dengan Metode Flow Cytometry ... 43

G.Tahap Orientasi Dosis Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanol Jahe Emprit ... 44

1. Tahap orientasi hitung total leukosit ... 45

2. Tahap orientasi hitung jenis leukosit ... 46

H. Pengaruh Pemberian Campuran Madu Kelengkeng dan Ekstrak Etanol Jahe Emprit terhadap Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit Pada Hewan Uji Tikus Jantan Galur Wistar ... 47

1. Hitung total leukosit ... 48

2. Hitung jenis leukosit ... 49

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 54

B.Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ... 59

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Purata±SD total leukosit setelah pemberian madu kelengkeng dan

ekstrak etanol jahe emprit pada tahap orientasi ... 45

Tabel II. Purata±SD hitung jenis leukosit setelah pemberian madu

kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit pada tahap orientasi ... 47

Tabel III. Purata±SD total leukosit setelah pemberian madu kelengkeng dan

ekstrak etanol jahe emprit pada tahap percobaan ... 48

Tabel IV. Purata±SD hitung jenis leukosit setelah pemberian madu

kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit pada tahap percobaan. 50

Tabel V. Hasil analisis uji post-hoc tukey jumlah netrofil setelah pemberian

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun ... 16

Gambar 2. Neutrofil ... 21

Gambar 3. Basofil... 21

Gambar 4. Eosinofil ... 22

Gambar 5. Monosit ... 23

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 59

Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian ... 60

Lampiran 3. Surat Keterangan Determinasi Tanaman Jahe Emprit... ... 61

Lampiran 4. Foto Madu Kelengkeng ... 62

Lampiran 5. Foto Identifikasi Madu Kelengkeng ... 62

Lampiran 6. Proses Penetapan Kadar Air Serbuk Jahe Emprit ... 63

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Air dalam Serbuk ... 64

Lampiran 8. Proses Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit ... 65

Lampiran 9. Pembuatan Suspensi Darah Merah Domba ... 66

Lampiran 10 Perhitungan Dosis Pemberian Ekstrak Etanol Jahe Emprit dan Madu Kelengkeng... 67

Lampiran 11. Alat-Alat yang Digunakan Untuk Menghitung Leukosit... ... 69

Lampiran 12. Pengujian Statistik Hitung Total Leukosit Tahap Orientasi ... 70

Lampiran 13. Pengujian Statistik Hitung Jenis Neutrofil Orientasi ... 71

Lampiran 14. Pengujian Statistik Hitung Jenis Monosit Orientasi ... 73

Lampiran 15. Pengujian Statistik Hitung Jenis Limfosit Orientasi... 75

Lampiran 16. Pengujian Statistik Hitung Jenis Basofil Orientasi ... 76

Lampiran 17. Pengujian Statistik Hitung Jenis Eosinofil Orientasi ... 77

Lampiran 18. Pengujian Statistik Hitung Total Leukosit Tahap Percobaan ... 78

Lampiran 19. Pengujian Statistik Hitung Jenis Neutrofil Percobaan ... 79

Lampiran 20. Pengujian Statistik Hitung Jenis Monosit Percobaan ... 82

Lampiran 21. Pengujian Statistik Hitung Jenis Limfosit Percobaan... 84

Lampiran 22. Pengujian Statistik Hitung Jenis Basofil Percobaan ... 85

(16)

xv

INTISARI

Sistem imun merupakan salah satu pertahanan tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan dari berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Madu yang mengandung flavonoid dan jahe yang mengandung gingerol dan shorgaol diduga memiliki aktivitas pada sistem pertahanan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe emprit pada hewan uji tikus putih jantan galur wistar.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 30 tikus dibagi dalam enam kelompok, yaitu lima kelompok perlakuan madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit dan satu kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Lima kelompok perlakuan terdiri dari satu kelompok perlakuan jahe tunggal dosis 2,0 mL/200gBB, satu kelompok perlakuan madu tunggal dosis 0,6 mL/200gBB, dan tiga kelompok perlakuan campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit dengan perbandingan 75:25, 50:50, 25:75. Perhitungan jumlah sel darah putih dilakukan dengan metode flow cytometry. Data yang diperoleh dievaluasi secara statistik dengan melakukan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-smirnov. Analisis data yang terdistribusi normal dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian bila terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Data yang tidak terdistribusi normal akan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah sel darah putih.

(17)

ABSTRACT

Immunity system is one of defense body system against dangerous ingredient in the environmental. Honey containing flavonoid and ginger containing gingerol and shorgaol expect have activity to immune system. The aim of this research is to get information about effect administration combination kelengkeng honey and emprit ginger to total leucocyte count on animals test of male rats Wistar strain.

This research is experimental with one way complete randomized design. Total of 30 rats was divided into six groups. Five groups received kelengkeng honey and etanolic extract of emprit gingerol and one group as control group. There are one group received only honey dose 0,6 mL/200gBB, one group received only ginger dose 2,0 mL/200gBB, and three groups received combination honey and ginger with combination 75:25, 50:50, and 25:75. Calculation of total leucocyte count with flow cytometry method. Data were analyzed by statistic, normality test by Kolmogorov-Smirnov. Normal distribution data analyzed with one way ANOVA test with significance level 95%. If signification < 0,05 continued with Tukey test. Abnormal distribution data analyzed with Kruskal-Wallis.

The result shown administration combination honey and etanolic extract of ginger have no effect to total leucocyte count and different leucocyte count

(18)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sistem imun merupakan salah satu pertahanan tubuh yang diperlukan

untuk mempertahankan keutuhan tubuh terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan

dari berbagai bahan dalam lingkungan hidup ( Baratawidjaja, 2010). Bila kondisi

pertahanan tubuh tidak baik maka zat asing yang berasal dari luar tubuh mudah

menginfeksi sehingga menimbulkan penyakit. Diperlukan tindakan nyata untuk

menjaga sistem pertahanan tubuh dalam keadaan baik salah satunya dengan

penggunaan imunomodulator.

Imunomodulator adalah suatu senyawa yang dapat mempengaruhi sistem

imun tubuh, yang dapat menormalkan kembali sistem kekebalan tubuh pada

keadaan dimana tubuh tidak berhasil menormalkan sistem kekebalannya sendiri

(Abbas and Litchman, 2005). Imunomodulator dapat berasal dari senyawa alam

dan dapat juga berasal dari senyawa sintetik.

Masyarakat telah menggunakan bahan dari alam untuk menormalkan

sistem imun. Penggunaan bahan dari alam ini menjadi solusi yang efektif karena

Indonesia kaya akan sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya

tanaman-tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional. Tanaman-tanaman-tanaman

ini mudah didapat karena dapat ditanam di pekarangan rumah dan harganya

ekonomis. Bahan dari alam yang digunakan oleh masyarakat untuk menormalkan

(19)

Madu dan jahe sering digunakan secara bersamaan pada minuman susu

telor madu jahe (STMJ). STMJ dinikmati masyarakat sebagai minuman yang

dapat menghangatkan badan dan menghilangkan masuk angin. Selain itu,

campuran madu dan jahe digunakan sebagai obat herbal untuk menangani flu

(Suranto, 2004). Omoya dan Akharaiyi (2012) melakukan penelitian campuran

madu dan jahe sebagai antibakteri dan hasilnya adalah campuran madu dan jahe

memiliki zona hambat pada bakteri uji.

Madu adalah cairan manis alami yang berasal dari nektar tumbuhan yang

diproduksi oleh lebah madu (Suranto, 2007). Madu dapat dibedakan berdasarkan

jenis flora yang menjadi sumber nektarnya contohnya madu monoflora. Madu

monoflora adalah madu yang berasal dari satu tumbuhan utama. Madu monoflora

dinamakan berdasarkan jenis bunga yang menjadi sumber nektarnya, misalnya

madu bunga matahari, madu kelengkeng, dan madu jeruk (Suranto, 2007).

Madu kelengkeng (Nephelium longata L.) merupakan salah satu madu

monoflora yang diproduksi secara kontinyu di Indonesia. Madu kelengkeng

berasal dari bunga kelengkeng yang diketahui mempunyai khasiat yang sangat

baik bagi kesehatan ( Parwata, Ratnayani, dan Listya, 2010). Berdasarkan survei

langsung di pasaran, madu kelengkeng paling banyak diminati oleh masyarakat.

Madu kelengkeng memiliki rasa manis, lebih legit, dan rasanya tajam ( Sarwono,

2001; Suranto, 2004). Rasa manis yang dimiliki madu kelengkeng inilah yang

(20)

Banyak penelitian tentang efek terapeutik yang terdapat pada madu

kelengkeng. Hasil penelitian Siddiqa (2008) menyatakan bahwa madu kelengkeng

memiliki aktivitas antibakteri. Parwata dkk, (2010) menyatakan bahwa madu

kelengkeng memiliki aktivitas antioksidan. Inayah, Marianti, dan Lisdiana (2012)

menyatakan bahwa penggunaan madu kelengkeng dapat menurunkan kolesterol

dan malonildealdehida.

Komposisi madu kelengkeng berdasarkan hasil penelitian Siddiqa (2008)

diketahui bahwa di dalam madu kelengkeng mengandung gula dan flavonoid

sedangkan di dalam madu randu terdapat gula dan tidak ditemukan adanya

flavonoid. Aktivitas imunomodulator pada madu kelengkeng diduga disebabkan

oleh adanya kandungan flavonoid pada madu kelengkeng. Hasil dari penelitian

Khumairoh, Tjandrakirana, Budijastuti (2012), menyatakan bahwa flavonoid yang

terdapat dalam daun sambiloto (Androgaphis paniculata) dapat meningkatkan

jumlah leukosit darah tikus putih. Pengaruh madu terhadap peningkatan jumlah

leukosit juga diperkuat oleh penelitian Tonks (cit., Manyi-Loh, et al., 2011),

dimana hasil penelitian menunjukkan madu dapat meningkatkan leukosit.

Jahe ( Zingiber officinale ) merupakan salah satu bahan alam, dari famili

Zingiberaceae yang secara luas digunakan sebagai pemberi rasa dan herba

tradisional. Rimpang jahe biasa digunakan masyarakat pada kondisi masuk angin,

gangguan pencernaan, batuk kering, peningkatan nafsu makan, dan penghangat

badan. Penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan efek farmakologi jahe dan

bahan yang diisolasi di dalamnya antara lain antitumor, antiinflamasi,

(21)

antioksidan (Badreldin, Bluden, Tanira, dan Nemmar, 2008). Komponen aktif dari

jahe adalah gingerol dan shorgaol yang telah dilaporkan memiliki efek

farmakologis sebagai imunomodulator ( Mellawati, 2008). Shorgaol dan gingerol

pada jahe dilaporkan juga dapat meningkatkan jumlah leukosit total, limfosit, dan

neutrofil (Sivagurunathan, Meera, dan Innocent, 2011).

Sel darah putih merupakan unit mobile dari sistem pertahanan tubuh. Sel

darah putih (leukosit) merupakan salah satu bagian dari respon imun nonspesifik.

Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam

menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Respon imun nonspesifik tidak

ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak

lahir (Baratawidjaja, 2010). Bagish (1994) menyatakan yang paling berperan

dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel darah putih yang fungsi utamanya adalah

memakan penyusup asing, mengeluarkan zat kimia yang vital untuk sistem imun,

dan saling mengontrol sel darah putih lain dalam menjalankan fungsinya.

Penelitian ini dirancang berdasarkan penelitian yang dilakukan Tonks

(cit., Manyi-Loh, et al., 2010) dan penelitian Sivagurunathan et al., (2011) bahwa

madu dan jahe dapat meningkatkan sel darah putih. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pemberian campuran madu kelengkeng dengan ekstrak etanolik jahe

emprit (EEJE) terhadap sistem imun nonspesifik dengan melihat jumlah sel darah

putih pada tikus dengan metode flow cytometry. Dengan demikian, didapatkan

informasi mengenai penggunaan campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik

(22)

1. Permasalahan

a. Apakah campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit

memberikan pengaruh berupa peningkatan terhadap jumlah sel darah putih

pada hewan uji tikus jantan galur Wistar?

b. Apakah campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit

memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap jumlah sel darah putih bila

dibandingkan dengan bentuk jahe emprit tunggal atau madu tunggal pada

hewan uji tikus jantan galur Wistar?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah dilakukan penelitian

mengenai pengaruh pemberian campuran madu kelengkeng dan ekstrak

etanolik jahe emprit terhadap sel darah putih pada tikus jantan galur Wistar.

Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu :

a. Du, Pan, Zhang, Zhang, Liu, Chen, et al., 2010, Zingiber officinale extract

modulates γ-rays-induced immunosupression in mice. Hasil penelitian

menunjukkan ekstrak Zingiber officinale dapat meningkatkan secara

signifikan bobot relatif limpa dan jumlah makrofag pada mencit yang

diradiasi dibandingkan dengan mencit yang diradiasi tetapi tidak diberikan

ekstrak Zingiber officinale.

b. Gomathi, Prameela, Kumar, dan Rajendra, 2012, Evaluation of

Immunomodulatory activity of Anthocyanins from two forms of Brassica

oleracea. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak kubis putih dan

(23)

hipersensitivitas tipe lambat, hitung total sel darah putih, dan tes Carbon

Clearance. Hasil statistik menyatakan terjadi perbedaan yang signifikan

antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

c. Mastan, Saraseeruha, Gourishankar, Chaitanya, Raghunandan, Reddy, et

al., 2008, Immunomodulatory Activity of Methanolic Extract of Syzygium

Cumini Seeds. Hasil penelitian menunjukkan biji Syzygium Cumini dapat

meningkatkan secara signifikan jumlah total leukosit dan limfosit

(p<0,05).

d. Mellawati, 2008, Pengaruh Pemberian Ekstrak Zat Pedas Rimpang Jahe

Emprit Terhadap Fagositosis Makrofag Pada Mencit Jantan Yang

Diinfeksi Dengan Listeria monocytogenes. Hasil penelitian menunjukkan

ekstrak zat pedas rimpang jahe emprit dosis 25mg/kgBB dapat

meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag peritoneal pada mencit

jantan yang diinfeksi Listeria monocytogenes yang sebanding dengan

imunostimulator sintetik (Levamisol hidroklorida 2,5 mg/kgBB) dan

imunostimulator alami (ekstrak Echinacea 10 mg/kgBB).

e. Omoya dan Akharaiyi, 2012, Mixture of Honey and Ginger Extract for

Antibacterial Assesment on Some Clinical Isolates. Hasil penelitian

menunjukkan campuran madu dan ekstrak metanol dan etanol jahe emprit

memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi terhadap bakteri gram

negatif dan positif dibandingkan madu tunggal atau ekstrak metanol dan

(24)

f. Parwata, Ratnayani, Listya, 2010, Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar

Beta Karoten Pada Madu Randu (Ceiba pentandra) Dan Madu Kelengkeng

(Nephelium Longata L.). Hasil penelitian menunjukkan aktivitas

antiradikal bebas madu kelengkeng lebih besar dibandingkan madu randu

sedangkan kadar beta karoten madu randu lebih besar dibandingkan madu

kelengkeng.

g. Sari, 2006, Aktivitas Imunomodulator Infusa Daun rambutan (Nephelium

lappaceum, L) Terhadap Respon Imun Non-Spesifik Pada Mencit Secara

In Vivo. Hasil penelitian menunjukkan pada hitung total leukosit terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok ekstrak infusa 200 mg/kgBB

terhadap kelompok konrol negatif. Pada hitung jenis leukosit terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok ekstrak infusa 100 mg/kgBB

terhadap kelompok kontrol negatif baik pada parameter monosit maupun

neutrofil.

3. Manfaat penelitian

a) Manfaat teoretis.

1) Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai manfaat dari

campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe emprit sebagai

imunomodulator

2) Menambah informasi dalam bidang kefarmasian mengenai potensi

(25)

b) Manfaat praktis. Memberikan informasi dan menambah wawasan

masyarakat mengenai manfaat madu kelengkeng dan jahe emprit dalam

meningkatkan kesehatan.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu

kelengkeng dan ekstrak jahe emprit pada hewan uji tikus jantan galur

Wistar sebagai imunomodulator.

2. Tujuan khusus

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian campuran madu

kelengkeng dan ekstrak jahe emprit terhadap jumlah sel darah putih pada

(26)

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Madu

Madu adalah cairan manis alami berasal dari nektar tumbuhan yang

diproduksi oleh lebah madu dan disimpan dalam sel-sel sarang lebah. Pengobatan

menggunakan madu sudah diketahui sejak dahulu kala ( Suranto, 2007).

1. Jenis madu

Jenis madu berdasarkan karakteristiknya dapat dibedakan menjadi

madu berdasarkan sumber nektar, letak geografi, dan teknologi pemrosesannya

(Suranto, 2007).

Madu berdasarkan sumber nektarnya yaitu madu monoflora, madu

poliflora, flora, ekstra flora, dan madu embun. Madu monoflora adalah madu

yang berasal dari satu tumbuhan utama sedangkan madu poliflora adalah madu

yang berasal dari nektar beberapa jenis tumbuhan bunga ( Suranto, 2007).

Madu flora adalah madu yang yang bersumber dari nektar yang terdapat

dalam bunga. Madu ekstra flora dihasilkan dari sumber tanaman yang tidak

memiliki bunga. Madu embun adalah madu yang dibuat dari cairan yang

dihasilkan oleh serangga yang terdapat di pohon-pohon ( Suranto, 2004).

Madu berdasarkan letak geografi dicirikan sesuai dengan letak geografi

di mana madu tersebut diproduksi. Misalnya madu Timur jauh, Bashkirian,

Yaman, Cina, Selandia Baru, dan lain-lain (Suranto, 2007).

Madu berdasarkan teknologi pemrosesan dibedakan menjadi madu

(27)

dari sarangnya. Madu ekstraksi adalah madu yang didapat dari proses

sentrifugasi (Suranto, 2007).

2. Komposisi madu

Komponen utama madu adalah gula. Jumlah gula di dalam madu

sebanyak 80% dan 85% dari gula tersebut berupa fruktosa dan glukosa

(Suranto, 2004). Komponen minornya antara lain asam fenolat, enzim, asam

askorbat, asam organik, asam amino, dan flavonoid (Khalil, Sulaiman, dan

Boukraa, 2010). Madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium,

magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin-vitamin yang

terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C),

piridoksin (B6), niasin (B3), asam pantotenat (B5), biotin (B7), asam folat

(B9), dan vitamin K. Di dalam madu juga terdapat enzim yang penting antara

lain enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase.

Semua enzim ini berguna untuk proses metabolisme dalam tubuh. Madu juga

mengandung asam. Kandungan asam utama yang terdapat dalam madu adalah

asam glutamat. Asam organik yang juga terdapat dalam madu adalah asam

asetat, asam butirat, format, suksinat,glikolat, malat, proglutamat, sitrat, dan

piruvat (Suranto,2004).

3. Manfaat madu

Madu digunakan sebagai antioksidan, mencegah kanker, penyakit

kardiovaskular, inflamasi, degenerasi saraf, penyembuhan luka, penyakit

infeksi, dan dapat digunakan sebagai tambahan makanan (Khalil et al., 2010).

(28)

(2010) menyatakan madu randu, madu hutan, madu rambutan, dan madu

kelengkeng memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda pada bakteri

pembusuk.

Madu juga mempunyai kontribusi bagi kesehatan manusia. Madu dapat

menstimulasi sistem imun tubuh untuk menghadapi infeksi. Kemampuan madu

untuk menstimulasi sistem imun telah diteliti oleh Tonks (cit., Manyi-Loh, et

al., 2011) bahwa madu dapat menstimulasi sistem imun dengan mempengaruhi

leukosit dan makrofag. Molan (cit., Manyi-Loh, et al., 2011) menyatakan

bahwa gula pada madu merupakan komponen esensial bagi makrofag untuk

menghasilkan hidrogen peroksida, komponen dominan untuk mengganggu

aktivitas bakteri. Kandungan asam pada madu juga membantu makrofag

mengganggu aktivitas bakteri. pH asam pada madu menyebabkan kondisi asam

pada vakuola sel fagosit sehingga dapat membantu dalam proses kematian

bakteri yang tertelan.

B. Jahe

Tanaman jahe termasuk dalam suku temu-temuan ( Zingiberaceae ) yang

dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-1700 meter dpl. Sejak dulu, jahe

sudah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan sebagai bahan baku obat

tradisional ( Winarto, 2003).

1. Taksonomi jahe

Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jahe diklasifikasikan sebagai

(29)

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale

( Hapsoh, Hasanah, dan Julianti, 2008)

2. Morfologi

Ciri umum tanaman jahe adalah tumbuh berumpun. Jahe tumbuh tegak,

berbatang semu dengan tinggi 30-100cm, dan tidak bercabang. Batang

berbentuk bulat yang tersusun dari pelepah daun, berwarna hijau pucat dengan

warna pangkal batang kemerahan (Winarto, 2003).

Bagian terpenting yang memiliki nilai ekonomis pada tanaman jahe

terdapat pada akar tongkat yang lebih dikenal dengan sebutan “rimpang”. Jika

rimpang tersebut dipotong, nampak warna daging yang bervariasi, mulai putih

kekuningan, kuning, atau jingga tergantung pada klonnya. Rimpang jahe

memiliki aroma yang sangat spesifik, tajam, pahit, dan langu. Aroma jahe

disebabkan oleh adanya minyak atsiri yang umumnya berwarna kuning dan

(30)

Berdasarkan bentuk, ukuran, dan warna rimpang, ada 3 jahe yang

terkenal di Indonesia, yaitu jahe putih atau kuning besar yang disebut juga jahe

badak atau jahe gajah, jahe putih kecil atau jahe emprit, dan jahe merah

(Winarto, 2003).

3. Jenis jahe

Secara umum, jahe dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu jahe putih

besar (jahe badak), jahe putih kecil (jahe emprit), dan jahe merah (jahe sunti).

Di antara ketiga jenis tersebut, yang paling banyak disuling menjadi minyak

atsiri adalah jahe emprit ( Rusli, 2010).

Jahe putih besar (jahe badak) merupakan jahe yang memiliki rimpang

yang lebih besar dan gemuk dengan ruas rimpang lebih menggembung dari

kedua varietas lainnya. Bagian dalam rimpang apabila diiris atau dipotong atau

dipatahkan akan terlihat berwarna kekuningan. Panjang rimpang 15-35 cm

dengan diameter berkisar 8,47-8,50 cm. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik

saat berumur muda ataupun berumur tua baik sebagai jahe segar ataupun jahe

olahan (Syukur, 2002).

Jahe putih kecil (jahe emprit) merupakan jahe yang paling sering

ditemui di pasaran umum. Rimpang jahe emprit lebih besar ketimbang jahe

sunti, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan jahe gajah. Seratnya lembut dan

aromanya tidak tajam. Bentuk rimpang agak pipih dan berwarna putih

kekuningan ( Santoso, 2008). Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Jahe

ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan

(31)

Jahe merah (jahe sunti) lebih banyak digunakan untuk industri

obat-obatan dan harganya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jahe lainnya.

Rimpang jahe sunti berwarna merah sampai jingga muda. Diameter rimpang

dapat mencapai empat cm dengan panjang rimpang hingga 12,5 cm.

Ukurannya paling kecil dibandingkan dengan jahe gajah dan jahe emprit.

Seratnya kasar, aromanya tajam, dan rasanya sangat pedas (Santoso, 2008).

Jahe ini memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe emprit

sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan ( Syukur, 2002).

4. Komposisi jahe

Di dalam rimpang jahe, terdapat unsur-unsur yang bermanfaat, yaitu

oleoresin, yang terdiri atas minyak asiri (volatile oil) dan minyak tak menguap

(non-volatile oil). Minyak asiri bersifat mudah menguap dan merupakan

komponen yang menyebabkan aroma (bau) khas jahe. Minyak tak menguap

terdiri atas komponen-komponen yang menyebabkan rasa pedas dan pahit,

disebut juga fixed oil (zingerol, zingerone, shogaol, dan resin) ( Suprapti,

2003).

Oleoresin dan minyak atsiri jahe terdapat pada sel-sel minyak jaringan

korteks dekat dengan permukaan kulit ( Koswara, 1995). Oleoresin merupakan

campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan

pelarut organik. Menurut Guenther (1952), oleoresin jahe merupakan cairan

kental berwarna kuning, mempunyai rasa pedas yang tajam, larut dalam

alkohol dan petroleum eter, dan sedikit larut dalam air. Jahe mengandung resin

(32)

adalah lebih higienis dan memberikan rasa pedas yang lebih kuat dibandingkan

bahan asalnya.

5. Manfaat jahe

Jahe digunakan secara luas di dunia sebagai komponen penting dalam

pemberi rasa dan herba tradisional. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk

meneliti manfaat dari jahe. Mishra, Kumar, and Kumar (2012) menyatakan bahwa

jahe memiliki efek sebagai antiemetik, antikoagulan, antitusif, dan analgesik. Jahe

juga digunakan untuk menghangatkan tubuh (termogenik) karena jahe merupakan

tanaman herbal yang bersifat panas dan pedas. Geng et al., (2011), menyatakan

bahwa ekstrak jahe memiliki efek terapeutik dengan meningkatkan perbaikan

DNA, dan peningkatan status antioksidan, mereduksi peroksidasi lipid, dan

menurunkan kerusakan DNA pada mencit yang diradiasi oleh 60CO γ-ray.

Motawi, Hamed, Shabana, Hashem, Naser (2011), menyatakan bahwa jahe dapat

digunakan untuk menurunkan aktivitas radikal bebas dan menormalkan struktur

sel hati yang mengalami liver fibrosis. Badreldin et al (2008), menyatakan bahwa

aksi farmakologis utama dari jahe adalah imunomodulator, anti tumor, anti

inflamasi, anti apoptosis, anti hiperglikemik, anti mikrobia, anti platelet, anti

ulcer, dan antioksidan. Hasil dari penelitian Sivagurunathan et al., (2011)

menyatakan bahwa jahe memiliki efek imunostimulan lebih tinggi bila

(33)

C. Sistem Imun

Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda

asing yang berpotensi merugikan atau sel abnormal. Gabungan sel, molekul, dan

jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun

(Baratawidjaja, 2010). Sistem imun diperlukan untuk tiga hal, yaitu

mempertahankan tubuh dari patogen penginvasi seperti mikroorganisme penyebab

penyakit yaitu virus dan bakteri, mengidentifikasi dan menghancurkan sel kanker

yang timbul di dalam tubuh, dan membersihkan sel-sel tua misalnya sel darah

merah yang sudah uzur dan sisa jaringan misal jaringan yang rusak akibat trauma

atau penyakit (Sherwood,2011). Sistem imun dibagi menjadi sistem imun alamiah

atau nonspesifik/ natural/ innate/ native/nonadaptif dan didapat atau spesifik/

adaptif/ acquired (Baratawidjaja, 2010).

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Respon imun nonspesifik dan spesifik adalah komponen dari sebuah

(34)

molekul yang bekerja sama dalam menjalankan fungsinya. Respon imun

nonspesifik dan respon imun spesifik saling meningkatkan efektivitas dan respon

imun yang terjadi merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen

lainnya yang terdapat dalam sistem imun. Mekanisme sistem imun nonspesifik

memberikan perlindungan awal yang efektif dalam melawan infeksi. Meskipun,

banyak mikrobia patogen yang resisten terhadap imunitas nonspesifik sehingga

dibutuhkan kekuatan yang lebih dari imunitas adaptif untuk mengeliminasinya.

Imun nonspesifik yang merespon mikrobia juga menstimulasi respon imun adaptif

(Abbas and Litchmann, 2005).

1. Sistem imun nonspesifik

Sistem imun innate atau yang disebut juga sistem imun natural atau

native merupakan perlindungan awal tubuh dalam melawan mikrobia.

Perlindungan itu terdiri dari mekanisme perlindungan secara selular dan

biokimia yang memberikan respon secara cepat terhadap infeksi.

Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah 1) pertahanan fisik dan

kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada

permukaan epitel; 2) perangkat humoral, antara lain berupa komplemen;

protein kompleks yang banyak dijumpai dalam serum individu normal,

memiliki fungsi meningkatkan fagositosis dan mampu merusak membran

bakteri apabila terpacu menjadi aktif melalui reaksi enzimatik; interferon (IFN)

suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh berinti dan terdiri

dari IFN-α, IFN-β, dan IFN-γ dimana ketiganya dapat meningkatkan aktivitas

(35)

replikasi virus. 3) perangkat seluler, yang mempunyai fungsi utama fagositosis.

Ini diperankan oleh sel fagositik seperti monosit, makrofag, dan netrofil.

Fagosit ini merupakan komponen utama dalam imunitas alamiah umumnya

terhadap bakteri (Baratawidjaja, 2000; Marsetyawan 2000).

Respon imun nonspesifik dalam mempertahankan diri terhadap

masuknya molekul asing dengan cara fagositosis. Antigen harus melekat pada

sel fagosit terlebih dahulu supaya dapat terjadi fagositosis. Terdapat mediator

tertentu yang disebut faktor leukotaktis atau kemotaktis yang berasal dari

antigen maupun dilepaskan oleh neutrofil atau makrofag yang sebelumnya

berada di lokasi tersebut. Pelepasan mediator tersebut yang menyebabkan sel

fagosit dapat bergerak ke sel sasaran (Benjamini, Coico, dan Sunshine, 2003).

2. Sistem imun spesifik

Sistem imun spesifik atau yang disebut sistem imun adaptif memiliki

spesifisitas yang jelas terhadap molekul dan mempunyai kemampuan untuk

“mengingat” dan merespon lebih dahsyat terhadap pemaparan yang berulang

dari mikroba yang sama (Abbas and Litchmann, 2005). Sistem imun ini

membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat

memberikan responsnya sehingga dikatakan berperan di garis belakang ( the

second line of defense ) ( Marsetyawan, 2000). Sistem imun adaptif dapat

mengenali dan bereaksi dengan mikrobial dan substansi nonmikrobial dalam

jumlah besar. Sistem imun adaptif memiliki kapasitas yang luar biasa untuk

membedakan antara mikrobia dan molekul dan karena alasan itulah disebut

(36)

spesifik adalah spesifitas, diversitas, memori, spesialisasi membatasi diri ( self

limition) dan membedakan self dari non-self (Marsetyawan, 2000). Komponen

utama dari imunitas adaptif adalah limfosit dan produk yang dihasilkan seperti

antibodi. Substansi dari luar yang menginduksi respon imun spesifik disebut

antigen ( Abbas and Litchmann, 2005). Sistem imun spesifik terdiri atas sistem

humoral dan sistem selular. Pada sistem imunitas humoral, sel B melepas

antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler. Pada imunitas selular, sel

T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba atau

mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi

(Baratawidjaja, 2010).

D. Sel Darah Putih

Sel darah putih tidak berwarna (yaitu, “putih”) kecuali jika secara

spesifik diwarnai agar dapat dilihat dengan mikroskop. Sel darah putih memiliki

bentuk lebih besar daripada sel darah merah. Setiap milimeter kubik terdapat

rerata 7000 sel darah putih (Sherwood, 2011).

Sel darah putih merupakan unit mobil dari sistem pertahanan tubuh. Sel

darah putih dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu granulosit dan agranulosit

(Fischbach, 2004). Dalam keadaan normal, sekitar dua pertiga sel darah putih

adalah granulosit, terutama neutrofil, sementara sepertiga adalah agranulosit

(37)

1. Granulosit

Granulosit terdiri dari neutrofil, basofil, dan eosinofil. Disebut

granulosit karena adanya granula khusus yang terbungkus membran pada

sitoplasma netrofil, basofil, dan eosinofil. Namun, setiap sel juga memiliki

sebuah nukleus yang berbelah banyak dengan bentuk variasi, yang mana

membuat sel darah putih bergranula ini juga disebut polimorfonuklear leukosit

(Fischbach, 2004).

a. Neutrofil. Neutrofil merupakan garis pertahanan penting dalam sistem

fagositik. Granula neutrofil memiliki sifat kimia yang netral sehingga susah

untuk diwarnai dengan pewarna asam atau basa. Fungsi utama neutrofil adalah

pertahanan tubuh berupa migrasi ke tempat-tempat infeksi dan peradangan,

pengenalan dan pengolahan antigen asing, fagositosis dan pemusnahan, dan

pencernaan debris jaringan dan mikroorganisme (Sacher dan McPherson,

2004). Neutrofil menjadi komponen leukosit pertama yang tiba di tempat

terjadinya luka. Neutrofil bekerja dengan cepat tetapi tidak mampu bertahan

lama. Neutrofil tidak mampu bertahan lama karena cadangan energi yang

terbatas dan tidak dapat diisi kembali sehingga kemampuan fagositosisnya

terbatas. Pada manusia dan karnivora, neutrofil merupakan bagian terbesar dari

(38)

Gambar 2. Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

b. Basofil. Basofil merupakan leukosit granular yang memiliki jumlah paling

sedikit di antara komponen leukosit lainnya. Basofil memiliki inti yang bulat

atau oval dengan banyak granula kecil berwarna gelap yang terwarnai kuat

dengan zat warna yang bersifat basofilik seperti hematoksilin (Tizard, 2009).

Basofil sangat terkait dengan reaksi alergi, mengandung granula yang dipadati

dengan histamin, heparin, dan zat kimia lain yang meningkatkan inflamasi.

Biasanya, stimulus yang menyebabkan basofil melepaskan kandungan

granulanya merupakan suatu alergen (Fischbach, 2004).

Gambar 3. Basofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

c. Eosinofil. Eosinofil adalah komponen sel darah putih yang memiliki afinitas

terhadap pewarna merah eosin. Eosinofil efektif melawan parasit multiseluler

(39)

meningkat selama infeksi parasit. Eosinofil menyerang parasit dengan cara

mengeluarkan molekul toksik dari sitoplasma granulanya. Namun, molekul

toksik yang dikeluarkan eosinofil kadang membahayakan karena molekul

toksik ini juga dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan normal dan juga

dapat menimbulkan reaksi alergi. Eosinofil juga memiliki kemampuan untuk

fagositosis (Martini and Nath, 2009). Namun, tingkat fagositosisnya lebih

rendah bila dibandingkan dengan neutrofil. Eosinofil bergerak lebih lamban

dan kurang efisien dalam fagositosis dan pemusnahan bakteri. Walaupun

mampu melakukan fagositosis, eosinofil tidak bersifat bakterisidal (Sacher and

McPherson, 2004)

Gambar 4. Eosinofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

2. Agranulosit

Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Kedua sel ini tidak memiliki

granula khusus dan memiliki satu nukleus besar yang tidak berbelah. Monosit

dan limfosit juga disebut mononuclear leukosit (Fischbach, 2004).

a. Monosit. Di darah, monosit adalah sel yang berbentuk bulat, memiliki

nukleus yang besar dan bentuknya oval atau seperti kacang merah. Monosit

berkembang menjadi fagosit profesional dan berfungsi untuk melawan

(40)

dan beredar kurang lebih 72 jam. Sel-sel ini kemudian bermigrasi dari

pembuluh darah ke dalam jaringan dan akan mengalami perubahan menjadi

makrofag yang merupakan bentuk matang dari monosit ( Tizard, 2009).

Makrofag adalah sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam

jumlah besar. Makrofag mencerna sel yang memiliki ukuran yang sama bahkan

makrofag juga dapat mencerna sel yang ukurannya lebih besar. Makrofag dapat

memfagositosis sel darah merah dan sel darah putih yang telah lisis. Makrofag

bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagosit berulang-ulang kali

(Corwin, 2009).

Gambar 5. Monosit (Weiss dan Wardrop, 2010)

b. Limfosit. Limfosit merupakan leukosit kedua terbanyak di darah perifer.

Sel-sel ini merupakan komponen esensial pada sistem pertahanan imun terutama

pada sistem imun spesifik. Fungsi utamanya adalah berinteraksi dengan antigen

dan menimbulkan respons imun. Terdapat dua subtipe utama, limfosit-T dan

limfosit-B, yang masing-masing melakukan fungsi imunologik tersendiri.

Limfosit-T berperan dalam imunitas selular dan memodulasi responsivitas

(41)

sel kanker. Limfosit-B terutama bertanggung jawab untuk imunitas humoral

dan pembentukan antibodi (Sacher dan McPherson, 2004).

Gambar 6. Limfosit (Weiss dan Wardrop, 2010)

E. Imunomodulator

Imunomodulator adalah substansi yang dapat mengembalikan

ketidakseimbangan sistem imun. Cara kerja imunomodulator meliputi 1)

mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu (imunorestorasi); 2)

memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan 3) menekan respons imun

(imunosupresan).

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun

yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti

immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune

Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi

sumsum tulang, hati, dan timus (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Imunostimulator yaitu suatu senyawa yang dapat merangsang sistem

imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunostimulator dapat digolongkan

(42)

Imunostimulator spesifik adalah senyawa yang dapat memberikan spesifitas

antigenik dalam respon imun, seperti vaksin atau antigen lain. Imunostimulator

non spesifik adalah suatu senyawa yang tidak memiliki spesifitas antigenik, tetapi

dapat meningkatkan respon imun terhadap antigen lain atau menstimulasi

komponen dari sistem imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant dan

imunostimulator non spesifik lainnya (Saxena, Sharma, Bharti, dan Rathore,

2012).

Imunosupresor adalah suatu senyawa yang dapat menekan sistem imun

tubuh (Saxena et al., 2012). Pemberian radiasi dan interferon dalam dosis tinggi

merupakan contoh dari penggunaan imunosupresor yang telah digunakan secara

eksperimental dalam klinik. Selain itu, imunosupresor juga merupakan

pendekatan umum dalam usaha mencegah dan menangani reaksi penolakan dalam

proses transplantasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).

F. Landasan Teori

Sistem imun merupakan bentuk pertahanan yang diperlukan untuk

melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan dari berbagai bahan dalam

lingkungan hidup. Bila sistem imun tidak berada dalam kondisi yang baik, maka

zat asing yang berasal dari luar tubuh mudah menginfeksi dan menimbulkan

penyakit. Usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga sistem imun dalam kondisi

yang baik, salah satunya dengan penggunaan imunomodulator dari alam

(43)

Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan madu dan jahe dapat

meningkatkan jumlah sel darah putih yang merupakan lini pertama dalam sistem

imun tubuh. Tonks (cit., Manyi-Loh, et al., 2011) menyatakan madu dapat

berperan dalam sistem imun dengan mempengaruhi leukosit dan makrofag. Madu

mengandung flavonoid dan hasil penelitian Khumairoh dkk (2012) menyatakan

bahwa flavonoid dapat meningkatkan jumlah leukosit tikus putih. Sivagurunathan

et al., (2011), menyatakan jahe yang mengandung gingerol dan shogaol dapat

mempengaruhi jumlah leukosit total, limfosit, dan neutrofil.

Penggunaan campuran tanaman yang berkhasiat obat telah terbukti

memberikan efek yang lebih baik daripada diberikan dalam bentuk tunggal

tunggal. Omoya dan Akharaiyi (2012) menyatakan bahwa penggunaan campuran

madu dan jahe menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan

pada penggunaan tunggal. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa campuran

antara madu dan jahe ini juga akan memiliki pengaruh terhadap jumlah sel darah

putih.

G. Hipotesis

Campuran madu kelengkeng (Nephelium longata L.) dan ekstrak etanolik

jahe emprit (Zingiber officinale Roscoe) memiliki pengaruh terhadap jumlah sel

darah putih pada hewan uji tikus putih jantan galur Wistar dan pengaruh yang

ditimbulkan lebih baik bila dibandingkan dengan madu kelengkeng tunggal dan

(44)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan

rancangan acak pola searah. Disebut eksperimental murni karena dilakukan

dengan memberi perlakuan terhadap kelompok perlakuan dan hasilnya

dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan. Rancangan acak

yaitu sampel yang digunakan ditetapkan dengan pengacakan agar setiap sampel

mendapat kesempatan yang sama untuk masuk dalam kelompok kontrol atau

kelompok perlakuan. Pola searah ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang

sama pada kelompok perlakuan. Penelitian menggunakan subyek uji tikus jantan

galur Wistar yang diperoleh dari Laboratorium Imuno Hayati Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Kriteria inklusi yaitu tikus kelamin jantan dengan berat

badan 150-250 g, berumur 2-3 bulan, dan bergalur wistar. Kriteria drop out adalah

tikus yang mati selama perlakuan. Penelitian dilakukan di laboratorium

Farmakologi Toksikologi dan Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta serta di unit III Laboratorium Penelitian dan

(45)

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel utama.

1) Variabel bebas : perbandingan dosis campuran madu

kelengkeng dan ekstrak etanol jahe

emprit

2) Variabel tergantung : jumlah sel darah putih

b . Variabel pengacau.

1) Variabel yang dikendalikan : jenis makanan, variasi genetik, jenis

kelamin, berat badan, umur tikus,

dan galur tikus

2) Variabel yang tidak dikendalikan : patofisiologis tikus dan kondisi

psikologis tikus

2. Definisi operasional

a. Campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit. Larutan yang

terdiri dari campuran madu monoflora yang berasal dari nektar bunga

kelengkeng dan ekstrak kental yang berasal dari hasil ekstraksi serbuk rimpang

jahe emprit.

b. Sel darah putih. Sel darah putih tidak berwarna (yaitu, “putih”) kecuali jika

secara spesifik diwarnai agar dapat dilihat dengan mikroskop. Sel darah putih

memiliki bentuk lebih besar daripada sel darah merah. Setiap milimeter kubik

(46)

C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama

a. Madu kelengkeng yang diperoleh dari PT. Madu Pramuka.

b. Simplisia kering jahe emprit yang diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal

Jalan Kaliurang km 21,5 Yogyakarta

2. Hewan uji

Tikus putih jantan galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 200-300 g

diperoleh dari Laboratorium Imono Hayati Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bahan untuk ekstraksi jahe emprit

Etanol 96%

4. Bahan untuk uji jumlah sel darah putih

Sampel darah tikus yang sebelumnya telah diinjeksi dengan campuran

madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit, antigen Suspensi Darah

Merah Domba (SDMD) 1% yang didapat dari Balai Kesehatan Yogyakarta.

D. Alat Penelitian

1. Pembuatan serbuk kering dan proses ekstraksi rimpang jahe emprit

Mesin grinder, sendok, batang pengaduk, corong Buchner, timbangan

analitik, ayakan no mesh 40, rotary evaporator, erlenmeyer 1000 mL , gelas

ukur 250 mL, maserator, cawan porselen, kertas saring Whatman, dan oven.

2. Pembuatan campuran larutan uji

(47)

3. Pengujian jumlah sel darah putih

Spuit injeksi oral 3 mL, spuit injeksi peritoneal 3 mL, pipa kapiler,

tabung EDTA, Sysmex XT 1800i.

E. Tata Cara Penelitian

1. Penyiapan bahan utama

Simplisia jahe emprit yang digunakan berasal dari pabrik pembuat jamu

tradisional di Yogyakarta yaitu CV. Merapi Farma Herbal di jalan Kaliurang

km 21,5. Madu kelengkeng yang digunakan berasal dari PT. Madu Pramuka.

2. Pembuatan serbuk simplisia

Simplisia kering jahe emprit dibuat menjadi sediaan serbuk

menggunakan mesin grinder kemudian diayak menggunakan pengayak

dengan nomor 40 mesh. Bobot serbuk jahe emprit setelah dilakukan

penyerbukan dan pengayakan ditimbang untuk dihitung persen rendemen

serbuknya.

Penetapan kadar air di dalam serbuk dilakukan untuk memenuhi

persyaratan obat tradisional menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

661/Menkes/SK/VII/199. Penetapan kadar air di dalam serbuk dilakukan

dengan metode gravimetri menggunakan alat Hallogen Moisture Balance.

Sebanyak ±5 g serbuk yang sudah diayak dimasukkan ke dalam alat kemudian

diratakan. Timbang bobot serbuk rimpang sebagai bobot sebelum pemanasan

(48)

Timbang serbuk rimpang setelah pemanasan (bobot B). Selisih bobot A dan B

merupakan kadar air dari zat yang diteliti.

Rumus penentuan kadar air : �−�

� � 100%

3. Pembuatan ekstrak etanolik rimpang jahe emprit

Pembuatan ekstrak etanolik rimpang jahe emprit dilakukan dengan

metode maserasi. Sebanyak 50,0 g serbuk rimpang jahe emprit dimasukkan ke

dalam tabung erlenmeyer bertutup, lalu ditambahkan 250,0 ml pelarut etanol

96%. Kemudian dilakukan ekstraksi selama 3x24 jam. Selanjutnya, dilakukan

penyaringan dengan menggunakan corong Buchner. Filtrat yang diperoleh,

dikumpulkan dan diuapkan untuk menghilangkan etanol dengan menggunakan

rotary evaporator. Pelarut yang masih tersisa diuapkan menggunakan oven

pada suhu 40◦C. Ekstrak kental yang diperoleh digunakan dalam pembuatan

sediaan uji.

4. Tahap praperlakuan senyawa uji

Sebelum penelitian dilaksanakan, semua hewan uji ditimbang berat

badannya, kemudian hewan uji dipelihara selama 1 minggu di Laboratorium

Farmakologi-Toksikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk

penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

5. Pembuatan suspensi sel darah merah domba (SDMD) 1%

Darah domba segar yang telah diberi antikoagulan disentrifugasi

dengan kecepatan 3000 rpm untuk memisahkan plasma dari sel darah merah.

(49)

bawah yang berupa endapan sel darah merah, ditambahkan larutan PBS pH 7,2

sebanyak 3 kali volume SDMD yang tersisa. Tabung kemudian dibolak-balik

dengan perlahan-lahan sampai SDMD tersuspensi secara homogen, kemudian

disentrifugasi lagi. Pencucian paling sedikit dilakukan tiga kali. Setelah

disentrifugasi, PBS dikeluarkan sehingga yang tertinggal adalah SDMD 100%.

Ambil 0,5 mL suspensi SDMD 100%, tambahkan PBS dengan volume sama

sehingga didapat suspensi SDMD 50%. Untuk mendapatkan suspensi SDMD

1%, maka dari 1 mL suspensi SDMD 50% ditambahkan PBS ad 50 mL.

6. Tahap penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit

Penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik

rimpang jahe emprit didasarkan pada Suranto (2007) dan penelitian Mellawati

(2008). Suranto menyatakan bahwa dosis madu yang dianjurkan pada manusia

adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan (15 mL). Konversi dosis pada manusia

yang berat badannya 70 kg ke tikus yang berat badannya 200 g adalah 0,018

(Ngatidjan, 1991). Dosis madu untuk tikus 200 g adalah :

Faktor konversi x dosis penggunaan 2 kali/hari = 0,018 x 30 mL

= 0,54 mL ≈ 0,6 mL

Untuk dosis ekstrak etanolik jahe emprit didasarkan pada penelitian

Mellawati (2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mellawati dosis 25

mg/kgBB volume pemberian 0,2 mL/20 g BB memberikan efek yang optimal

dan sama dengan imunostimulator sintetik (Levamisol hidroklorida) dan

(50)

Dosis ekstrak rimpang jahe emprit untuk tikus 200 g adalah :

Volume pemberian x berat badan tikus = 0,2 mL/20 g BB x 200 g

= 2 mL

Untuk dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit

dibuat menjadi 5 komposisi sebagai berikut dengan dasar perhitungan seperti

pada lampiran 10 :

Komposisi 1 : jahe 100% = 2 mL

Komposisi 2 : jahe 75% ; madu 25% = 1,5 mL ; 0,2 mL

Komposisi 3 : jahe 50% ; madu 50% = 1 mL ; 0,3 mL

Komposisi 4 : jahe 25% ; madu 75% = 0,5 mL ; 0,5 mL

Komposisi 5 : madu 100% = 0,6 mL

7. Tahap orientasi dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit

Sebanyak 18 hewan uji dibagi dalam enam kelompok, yaitu satu

kelompok kontrol negatif dan lima kelompok perlakuan dimana masing-masing

kelompok terdiri dari tiga ekor tikus. Pembagian kelompok-kelompok tersebut,

yaitu :

a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan

b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi

perlakuan ekstrak jahe dengan volume pemberian 2,0 mL.

c. Kelompok perlakuan 2 (Jahe 75% : Madu 25%) : kelompok tikus yang

diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,5

(51)

d. Kelompok perlakuan 3 (Jahe 50% : Madu 50%) : kelompok tikus yang

diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,0

mL dan madu kelengkeng sebanyak 0,3 mL.

e. Kelompok perlakuan 4 (Jahe 25% : Madu 75%) : kelompok tikus yang

diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 0,5

mL dan madu kelengkeng sebanyak 0,5 mL.

f. Kelompok perlakuan 5 (Madu 100%) : kelompok tikus yang diberi

larutan madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL.

Delapan belas hewan uji tersebut akan diambil darahnya untuk diuji jumlah total

dan hitung jenis leukosit.

Pengujian jumlah sel darah putih dilakukan dengan metode yang

dilakukan Gomathi, Prameela, Kumar, dan Rajendra (2012). Semua tikus diinjeksi

SDMD 1% dengan dosis 2,0 mL/200g BB secara intraperitonial pada hari 0

(Kumala, Dewi, Nugroho 2012). Tikus yang terdapat dalam kelompok perlakuan

diberikan campuran madu kelengkeng dan ekstrak jahe secara oral sesuai dengan

komposisi yang telah ditetapkan selama tujuh hari berturut-turut. Sampel darah

diambil dari sinus orbital pada hari ke delapan dan dikumpulkan dalam tabung

EDTA. Sampel darah diukur menggunakan Sysmex XT 1800i automated

hematology analyzer yang dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab Yogyakarta.

8. Tahap percobaan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit

Pada tahap percobaan ini, sebanyak 30 ekor hewan uji dibagi dalam

(52)

perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri atas lima ekor tikus.

Pembagian kelompok-kelompok tersebut sama seperti pada tahap orientasi yaitu :

a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan

b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi perlakuan

ekstrak jahe dengan volume pemberian 2,0 mL.

c. Kelompok perlakuan 2 (Jahe 75% : Madu 25%) : kelompok tikus yang

diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,5 mL

dan madu kelengkeng sebanyak 0,2 mL.

d. Kelompok perlakuan 3 (Jahe 50% : Madu 50%) : kelompok tikus yang diberi

perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 1,0 mL dan

madu kelengkeng sebanyak 0,3 mL.

e. Kelompok perlakuan 4 (Jahe 25% : Madu 75%) : kelompok tikus yang

diberi perlakuan campuran ekstrak jahe dengan volume pemberian 0,5 mL

dan madu kelengkeng sebanyak 0,5 mL.

f. Kelompok perlakuan 5 (Madu 100%) : kelompok tikus yang diberi larutan

madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL.

Tiga puluh ekor tikus tersebut akan diambil darahnya untuk diuji jumlah total dan

hitung jenis leukosit sama halnya pada tahap orientasi.

Pengujian jumlah sel darah putih pada tahap percobaan dilakukan

sama dengan pengujian jumlah sel darah putih pada tahap orientasi. Semua

tikus diinjeksi SDMD 1% dengan dosis 2,0 mL/200g BB secara intraperitonial

pada hari 0. Tikus yang terdapat dalam kelompok perlakuan diberikan

(53)

komposisi yang telah ditetapkan selama tujuh hari berturut-turut. Sampel darah

diambil dari sinus orbital pada hari ke delapan dan dikumpulkan dalam tabung

EDTA. Sampel darah diukur menggunakan Sysmex XT 1800i automated

hematology analyzer yang dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab

Yogyakarta.

F. Analisis Hasil

Data yang diperoleh dievaluasi secara statistik dengan melakukan uji

Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan Levene Test untuk melihat

homogenitas varian. Jika data yang didapatkan terdistribusi normal dan homogen

(P > 0,05), analisis data dilanjutkan dengan analisis statistik parametrik one way

ANOVA taraf kepercayaan 95%, selanjutnya jika terdapat perbedaan yang

bermakna pada data maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Namun, jika data tidak

terdistribusi normal (p < 0,05) maka data dianalisis dengan uji non-parametrik

(54)

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian campuran

madu kelengkeng dan ekstrak etanol jahe emprit terhadap jumlah sel darah putih

pada hewan uji tikus putih jantan galur Wistar. Pengukuran jumlah sel darah putih

dilakukan di Laboratorium Klinik Hi-Lab Yogyakarta menggunakan metode flow

cytometry. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk

mengetahui normalitas data dilanjutkan dengan uji Levene untuk mengetahui

homogenitas data dan selanjutnya uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan

95%.

A. Identifikasi Madu Kelengkeng

Salah satu bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah

madu kelengkeng yang diperoleh dari PT Madu Pramuka (lampiran 4). Dilakukan

identifikasi madu kelengkeng untuk mendapatkan kebenaran identitas dan

keaslian madu kelengkeng. Proses identifikasi madu pada penelitian ini dilakukan

dengan cara-cara sebagai berikut.

a. Menuangkan madu ke dalam segelas air. Madu yang murni langsung

mengendap dan tidak bercampur dengan air sehingga air tetap jernih

(Ihsan, 2011).

b. Menumpahkan madu ke dalam sebuah bejana atau wadah. Madu murni

pada saat dituang tetesannya menjadi seperti benang dan tidak

(55)

c. Mencium aroma khas dari madu. Madu yang murni akan beraroma

khas sesuai dengan jenis bunga yang menjadi sumber nektarnya

(Sulaiman, 2010).

Hasil identifikasi berdasarkan cara-cara di atas didapatkan hasil madu

kelengkeng yang digunakan adalah madu murni karena ketika dituang ke dalam

segelas air, madu tersebut langsung mengendap dan tidak bercampur dengan air

sehingga air tetap jernih, pada saat dituang tetesannya seperti benang dan tidak

terputus alirannya (Lampiran 5) , serta tercium bau khas buah kelengkeng, karena

madu kelengkeng berasal dari nektar bunga kelengkeng sebagai sumber utama

nektarnya.

B. Pernyataan Kebenaran Simplisia

Penelitian ini juga menggunakan ekstrak yang berasal dari rimpang

tanaman Zingiber officinale Roscoe. Kebenaran identitas simplisia yang diteliti

dijamin oleh CV. Merapi Farma Herbal, tempat peneliti mendapatkan rimpang

tanaman. Surat keterangan simplisia terlihat pada lampiran 3.

C. Pembuatan Serbuk Jahe Emprit

Simplisia kering jahe emprit sebanyak 1,5 kg yang diperoleh dari CV.

Merapi Farma Herbal dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu ±500C

selama 15 menit sebelum dilakukan penyerbukan. Simplisia yang sudah kering

(56)

(grinder). Penyerbukan ini bertujuan untuk memperbesar luas permukaan kontak

antara simplisia dengan cairan penyari sehingga proses penyarian senyawa dapat

optimal. Serbuk kemudian diayak menggunakan pengayak dengan nomor 40

mesh. Tujuan dari pengayakan bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk

jahe emprit.

Serbuk kering jahe emprit yang diperoleh setelah diserbuk dan diayak

sebanyak 1 kg. Selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen untuk menghitung

berapa persen serbuk jahe emprit yang didapat dari rimpang kering jahe emprit.

Nilai rendemen serbuk jahe emprit sebesar 66,67%.

Selanjutnya serbuk yang sudah dibuat dilakukan penetapan kadar air

untuk mengetahui kualitas dari serbuk. Penetapan kadar air dilakukan

menggunakan metode gravimetri. Analisis gravimetri, yaitu analisis kuantitatif

berdasarkan berat tetapnya (berat konstan) (Gandjar dan Rohman, 2010).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994

tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia

adalah 10%. Rata-rata kadar air yang diperoleh dari serbuk jahe emprit yang

dibuat sebesar 9,50 % (Lampiran 7), sehingga dapat disimpulkan simplisia yang

digunakan sudah memenuhi syarat simplisia yang baik.

D. Pembuatan Ekstrak Etanolik Jahe Emprit

Pembuatan ekstrak kental dilakukan ekstraksi dengan menggunakan

(57)

difusi osmosis. Digunakan metode maserasi karena metode ini sederhana

dibandingkan dengan metode ekstraksi lainnya.

Pada pembuatan ekstrak etanolik simplisia jahe emprit, serbuk jahe yang

digunakan sebanyak 50 g yang dilarutkan dalam 250 mL etanol. Komposisi ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daryono (2010) bahwa komposisi

yang optimal untuk serbuk yang ingin disari dengan cairan penyari adalah 1 : 5.

Proses ekstraksi serbuk rimpang jahe emprit dilakukan dengan

menggunakan etanol 96% sebagai cairan penyari. Pemilihan etanol 96%

didasarkan pada sifat etanol sebagai penyari universal yang mampu melarutkan

senyawa polar maupun senyawa non polar namun tetap dapat memisahkan dengan

baik beberapa senyawa dengan tingkat kepolaran tertentu. Selain itu, penggunaan

etanol akan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan air sebagai cairan

penyari. Jika air digunakan sebagai cairan penyari, penyarian yang dilakukan

rentan terhadap kontaminasi mikroba dan dalam proses penguapannya untuk

mendapatkan ekstrak yang kental membutuhkan waktu yang lebih lama

dibandingkan etanol yang mudah menguap dan tidak mudah ditumbuhi mikroba.

Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 96% yang didasarkan dari

penelitian Ramadhan dan Phaza (2010) yang menyatakan bahwa konsentrasi

etanol yang digunakan semakin tinggi maka rendemen ekstrak yang didapat akan

semakin banyak. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pelarut yang digunakan

semakin tinggi maka kepolaran pelarut akan semakin rendah sehingga akan

(58)

dimana dilihat dari aspek kepolarannya, oleoresin di dalam jahe bersifat kurang

polar.

Proses maserasi dilakukan selama tiga kali 24 jam disertai dengan

pengadukan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan

penyari. Perendaman akan membantu peresapan (penetrasi) cairan penyari dan

pelunakan sel sehingga senyawa yang diinginkan mudah tersari. Cairan penyari

akan menembus dinding sel serbuk simplisia dan masuk ke dalam rongga sel yang

mengandung zat aktif. Penarikan zat aktif keluar dari sel disebabkan adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel dimana

konsentrasi di dalam sel lebih pekat dibandingkan di luar sel sehingga cairan yang

memiliki kepolaran yang sama dengan penyari akan larut dalam penyari lalu akan

bergerak menuju ke luar sel yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Pada

proses maserasi juga dilakukan pengadukan setiap hari. Pengadukan bertujuan

untuk mengoptimalkan pembasahan pada serbuk sehingga seluruh bagian serbuk

terendam dalam cairan penyari. Pengadukan juga berfungsi untuk mencegah

terjadinya keseimbangan antara konsentrasi di dalam sel dengan di luar sel. Jika

dilakukan pengadukan, perbedaan konsentrasi akan tetap terjaga untuk

mendapatkan penyarian yang optimal sesuai teori difusi dimana senyawa aktif di

dalam sel yang memiliki konsentrasi tinggi akan terus menerus berdifusi ke luar

sel yang memiliki konsentrasi lebih rendah.

Setelah tiga hari, maserat dipisahkan dari ampasnya dengan cara disaring

menggunakan corong Buchner dan kertas saring. Proses selanjutnya adalah

Gambar

Tabel I.  Purata±SD total leukosit setelah pemberian madu kelengkeng  dan
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun .....................................................
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
Gambar 2. Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah restauran yang bertemakan sambal, kebiasaan mengkonsumsi sambal, motivasi, dan persepsi klaim mengenai produk cabai dan

Hasil: Terdapat kadar timbal dalam rambut akibat paparan kronis pada sopir kendaraan umum di Kota Mataram dengan kadar rata – rata adalah 8,4085 μg/g dengan persentase 28,3% di

Franklin dan Snow (1985) serta Brander et al ., (1991) mengatakan bahwa mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi dengan cara penginaktifan obat,

Tujuan kegiatan pemantapan materi ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siswa Darul Abidin Desa Gerisak Semanggeleng Lombok Timur

Menyebabkan kerusakan organ (hati, sistem pernafasan) melalui pemaparan yang berkepanjangan atau berulang.. Beracun ke kehidupan akuatik dengan efek yang

dikonversikan ke dalam PAP Skala V berada pada rentangan (55% - 64%) berarti bahwa keterampilan motorik halus siklus II berada pada kriteria rendah, (3) dengan menerapkan

KAJIAN TENTANG FAKTOR SEKOLAH YANG MEMPENGARUHI MASALAH PONTENG DI KALANGAN PELAJAR DI SEKOLAH – SEKOLAH.. MENENGAH DAERAH TANAH