• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Tinjauan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Tinjauan Umum"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN



I.1 Latar Belakang I.1.1 Tinjauan Umum

Dalam era globalisasai, pariwisata merupakan salah satu industri paling besar dalam menyumbang pemasukan devisa diberbagai negara. Hal ini dapat terlihat dari penyerapan ketenagakerjaan sampai tahun 2020, yaitu lebih dari 10%

total ketenagakerjaan, 11% GDP global, dan total perjalanan wisatawan diproyeksikan terus meningkat sampai 1.6 milyar (Speirs, 2010). Lebih lanjut, kegiatan pariwisata merupakan salah satu aktivitas yang berpengaruh besar terhadap pengembangan dan peningkatan ekonomi, sosial, dan budaya serta peningkatan kualitas lingkungan (Wiranatha, A.S, 2004); (Pitana, I Gde & Putu G, 2005); (Kibicho, 2008).

Sesuai Visi pengembangan kepariwisataan Indonesia (2010-2025), yaitu terwujudnya Indonesia sebagai destinasi pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan serta mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat (Kemenbudpar, 2010); (Nuryanti, W, 2010), salah satu langkah mewujudkannya adalah melalui pengembangan destinasi pariwisata secara terpadu, yang memiliki keunggulan untuk berdaya saing dan berkelanjutan. Hal tersebut di atas dapat meningkatkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui pengembangan kampung wisata yang memiliki kearifan lokal sebagai destinasi wisata yang berkelanjutan (Nuryanti, W, 2009).

Pengembangan kampung wisata ini, sejalan dengan misi kota Surakarta Solo’s past is Solo’s future, sebagai Kota Budaya dan Pariwisata, dengan Keraton

Kasunanan Surakarta sebagai Javanese Civilitation Learning Center. Dalam implementasinya, pengembangan kampung wisata ini masuk di dalam RPJPD kota Surakarta tahun 2005-2025, yang berisi: kebijakan pengembangan masyarakat yang produktif dan berjiwa wirausaha; peningkatan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat melalui optimalisasi potensi wisata;

(2)

serta kebijakan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengapresiasikan nilai- nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota.

Dengan demikian, kebijakan pengembangan Kota Surakarta akan difokuskan pada beberapa sektor andalan, salah satunya pariwisata. Pariwisata yang berbasis pada peningkatan potensi kearifan lokal merupakan program prioritas Pembangunan Daerah dengan UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan sebagai payung hukum.

Langkah awal implementasi UU tersebut adalah dengan melakukan pengembangan, pembenahan dan perubahan yang meliputi perbaikan dan pemeliharaan atas lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai pusat destinasi pariwisata sebagai kampung wisata. Pembenahan lokasi tersebut meliputi pembenahan, penataan dan perubahan tata ruang pada beberapa kampung-kampung kota yang memiliki potensi keunikan menjadi kampung wisata. Pengembangan, pembenahan, penataan dan perubahan tersebut harus melibatkan serta mendapat dukungan partisipasi aktif dari masyarakat lokal.

Pengembangan kampung wisata tersebut sejalan dengan Rencana Strategi Dinas Pariwisataa Surakarta bahwa kampung kota yang fokus pada pembangunan pariwisata yang menggali potensi kearifan lokal dan budaya serta mengakomodasi prinsip partisipasi serta tumbuhnya sentra-sentra wisata minat khusus, akan dikembangkan sebagai kampung wisata.

Suatu kawasan bersejarah dalam arsitektur perkotaan merupakan salah satu aset daya tarik wisata yang akan memberikan kesinambungan yang erat, antara masa lalu, masa kini dan masa mendatang (Antariksa, 2005). Dengan demikian, hal tersebut di atas mengaspirasi timbulnya konsep tranformasi arsitektural dalam tumbuh-berkembangnya kampung-kampung kota di Surakarta untuk menjadi kampung wisata.

I.1.2 Tumbuh Berkembangnya Potensi Kampung Kota menjadi Kampung Wisata

Kampung terintegrasi dengan sistem kota, secara fisik, sosial, dan ekonomi merupakan satu sistem yang dinamis dan penting dalam mendukung kehidupan kota. Hal ini dibuktikan dengan perumahan di kampung menjadi pusat

(3)

berbagai kegitan produktif penghuninya (home based enterprises). Sekitar 80%

rumah di kampung dimanfaatkan untuk kegiatan produktif penghuninya (Setiawan, 2010); (Prayitno, 2013). Keberadaan kampung sesungguhnya dapat dilihat sebagai satu organisme yang hidup, tumbuh dan berkembang. Hal ini bisa dilihat di kawasan Malioboro dan kampung Sosrowijayan Yogyakarta. Kampung- kampung di kawasan ini menjadi wadah bagi masyarakat dalam menggerakkan kegiatan ekonomi kawasan menjadi suatu kampung wisata yang mendukung kota wisata Yogyakarta (Setiawan, 2010).

Kampung wisata dipahami sebagai suatu kawasan atau kampung yang memiliki keunggulan potensi dan keunikan lokal tinggi sebagai daya tarik wisata yang khas (karakter fisik lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat), yang berdaya saing tinggi, dikelola dan dikemas, serta disajikan secara menarik, melalui pengembangan fasilitas pendukung wisata dalam suatu tata lingkungan yang harmonis dan pengelolaan yang baik, terpadu serta terencana agar siap menerima kunjungan wisatawan (Lane, 1994); (Agraval, 2001).

Lebih lanjut, suatu kawasan atau kampung dapat dikembangkan menjadi kampung wisata jika memiliki kriteria dan faktor pendukung, diantaranya sebagai berikut: memiliki potensi produk sebagai daya tarik; memiliki dukungan sumber daya manusia; ada motivasi kuat dari masyarakat; memiliki dukungan sarana dan prasarana; memiliki fasilitas pendukung kegiatan wisata; memiliki kelembagaan kegiatan masyarakat, dan; ketersediaan lahan atau area pengembangan (Gannon, 1994); (Greffe, 1994).

Gagasan kampung wisata awalnya datang dari wisatawan untuk meninjau tumbuh kembangnya kampung-kampung kota yang memiliki karakteristik potensi kearifan lokal sebagai keunikan tersendiri (Bramwell, 1994). Perkembangan kampung wisata di kota juga dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal di perkotaan. Kehidupan kampung dan lingkungan sekitar yang menyajikan pengalaman unik merupakan produk yang potensial untuk dijual kepada wisatawan.

Dengan demikian kampung wisata telah menjadi sebuah alternatif untuk mendiversifikasikan karakteristik potensi kearifan lokal kawasan sebagai produk

(4)

wisata (Hall, 1996). Melalui peran aktif partisipasi masyarakat lokal, kampung wisata tersebut sekaligus sebagai tempat rekreasi atau wisata bagi pengunjung sebagai wisatawan. Dalam berwisata di kawasan tersebut, wisatawan dengan aspirasi interprestasi kunjungannya, harus mengikuti aturan etika dan budaya lingkungan yang telah ditetapkannya. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan ruang kawasan wisata yang menyajikan kekhasan kawasan tersebut, baik berupa fisik maupun non fisik kepada pengunjung sebagai wisatawan agar dapat mengapresiasi dan mengenal kawasan secara lebih dekat, sekaligus mengenal kehidupan karakteristik masyarakat setempat secara lebih dalam.

Sebagai sebuah destinasi pariwisata alternatif, kampung wisata dapat menjadi sarana yang potensial untuk menunjang pembangunan lingkungan yang berkesinambungan (Opperman, 1996); (Crotts and Mazanec, 1993). Kampung wisata telah berkembang dari sebuah produk amatir menjadi produk yang dapat memperkuat ekonomi kota. Peningkatan perekonomian kota melalui pariwisata tersebut antara lain dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal setempat dalam kegiatan pariwisata serta dalam pengambilan keputusan (Lane, 1994).

Berdasarkan uraian tentang kampung wisata tersebut di atas yang didukung dengan kebijakan Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Surakarta, beberapa kampung kota yang memiliki potensi keunikan karakteristik tinggi dapat diidentitaskan sebagai kampung wisata. Dengan demikian, terjadi pengalihan status yang mengakibatkan adanya perubahan identitas dan fungsi dari permukiman kampung kota menjadi bercampur dengan kegiatan komersial kepariwisataan.

Seiring dengan berkembangnya waktu, dan munculnya berbagai fenomena isu politik, ekonomi dan budaya, serta pergantian sistem pemerintahan, beberapa kampung kota mengalami perubahan dalam hal proses transformasi arsitektural pada pola tata ruang, bangunan dan lingkungan. Dalam proses transformasi arsitektural, terdapat perubahan fisik dan fungsi bangunan yang tidak diatur dengan zonasi yang jelas, sehingga terjadi percampuran antara zona hunian dan komersial kegiatan wisata. Hal ini menimbulkan penumpukan sirkulasi antara

(5)

ruang privat dan publik pada pola tata ruang, bangunan dan lingkungan kampung kota tersebut.

Proses transformasi arsitektural yang terjadi di beberapa kampung kota tersebut dapat menghilangkan identitas awal sebagai kampung kota. Fenomena tersebut juga cenderung mengakibatkan degradasi kualitas bangunan dan lingkungan. Namun demikian, transformasi kampung kota menjadi kampung wisata yang secara visual menjadi beragam namun masih berpijak pada potensi kelokalan, berdampak positif pada berbagai pembaharuan dan menciptakan beberapa peluang. Transformasi tersebut secara fisik meningkatkan estetika kawasan kampung menjadi lebih dinamis dengan berbagai keragaman visual, yang menjadikan kawasan tersebut ramai dikunjungi wisatawan. Banyaknya wisatawan yang datang secara otomatis membawa dampak ekonomi dari kegiatan pariwisata, dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal khususnya.

Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti tertarik untuk menggali dan mengidentifikasi seberapa jauh proses transformasi arsitektural terjadi dan perubahan pada elemen-elemen fisik kawasan perkotaan terhadap karakter kawasan tersebut, untuk dirumuskan sebagai konsep transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata.

1.1.3 Proses Terjadinya Transformasi Arsitektural dari Kampung Kota menjadi Kampung Wisata

Kampung-kampung kota di Indonesia merupakan salah satu bentuk permukiman yang menjadi bagian dari kawasan perkotaan. Dalam sejarah berdirinya dan perkembangannya hingga sekarang, kampung kota dipengaruhi oleh berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Aspek-aspek inilah yang menjadikan terjadinya proses transformasi arsitektural pada tumbuh kembangnya kampung kota menjadi kampung wisata baik secara struktural, fungsional dan visual.

Beberapa kampung kota yang terletak di Surakarta cenderung memiliki kaitan erat dengan nilai sejarah dan budaya yang menjadi aspek dalam pembangunan dan perkembangan kampung dikemudian hari. Kampung- kampung kota tersebut telah dideklarasikan oleh Pemerintah Kota Surakarta menjadi

(6)

kampung wisata sekitar tahun 2000an. Hal ini menciptakan identitas baru yakni dari kampung kota sebagai area permukiman menjadi kampung wisata yang memiliki potensi nilai-nilai keunikan sebagai aset komersial. Terdapat beberapa kampung kota yang masing-masing memiliki karakter fisik dan keunikan yang berbeda. Namun, beberapa kampung kota tersebut masih memiliki keseragaman latar belakang historis dan kultural. Kampung-kampung kota di Surakarta yang diidentitaskan sebagai kampung wisata antara lain adalah kampung Baluwarti, Kauman dan Laweyan. Dengan demikian kasus yang terpilih untuk diteliti adalah tiga kampung kota (Baluwarti, Kauman dan Laweyan) dengan karakterfisik, lokasi dan keunikan yang berbeda. Namun secara umum, ketiga kampung kota tersebut memiliki latar belakang historis kultural yang sama.

Perubahan identitas dari kampung kota menjadi kampung wisata tersebut telah banyak memberikan perubahan pada bentuk elemen arsitektural kawasan (fungsi bangunan, tampilan fasad, material elemen bangunan, ruang terbuka dan akses sirkulasi) pada pola penataan bangunan dan lingkungan. Perubahan identitas tersebut juga menimbulkan kecenderungan semakin banyaknya bangunan komersial yang bermunculan sebagai pendukung kegiatan wisata, yang tidak memiliki batasan dan zonasi yang jelas. Perubahan tersebut cenderung mendominasi bentuk fisik kawasan kampung yang menyebabkan ketidak harmonisan dalam tampilan fasad dan fungsi, adanya pencampuran zonasi hunian dan komersial, bahkan percampuran di antara keduanya. Fenomena tersebut terjadi karena proses pembangunannya tidak diiringi dengan perencanaan yang matang, melainkan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan perubahan aktivitas masyarakat dan tumbuh berkembangnya keberadaan kampung wisata tersebut.

Perubahan-perubahan yang terjadi secara spontan dan tidak beraturan pada kampung kota menjadi kampung wisata ini menimbulkan fenomena perubahan atau transformasi arsitektural pada pola tata ruang, bangunan dan lingkungan. Hal ini dapat menciptakan keragaman fisik menjadi lebih dinamis dengan kegiatan kepariwisataan. Dampak fisik tersebut sekaligus diiringi dengan dampak non fisik, khususnya dampak ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan kepariwisataan tersebut. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan perekonomian dan

(7)

kesejahteraan masyarakat setempat dalam mendukung keberadaan kampung wisata.

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dilakukan suatu penelitian yang mengkaji proses timbulnya konsep transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Untuk itu, peneliti perlu mengetahui penyebab terjadinya transformasi arsitektural, serta faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya proses transformasi arsitektural tersebut. Kajian ini akan memberikan akses dalam membangun konsep yang menjelaskan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Dengan demikian, akan dapat diketahui teori, konsep, fakta empirik serta bangunan teori atau konsep ini.

I.I.4 Pentingnya Kajian Pariwisata barbasia Masyarakat (Community-Based Tourism/CBT) pada Kampung Wiasata

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau community-based touris (CBT), merupakan salah satu konsep dasar dalam pengembangan sistem

kepariwisataan yang berkelanjutan dengan melibatkan peran masyarakat lokal secara aktif sebagai pengambil keputusan serta sebagai penerima manfaat (Murphy, 1985); (Timothy, 1999); (Tosun, 2000). Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat adalah suatu alternatif terbaik dan dasar utama dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan melibatkan peran aktif masyarakat lokal, yang dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai stakeholder kepariwisataan termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat (Tosun, 2000); (Kibicho, 2008); (Nuryanti, W, 2009); (Wiranatha, A.S, 2015).

Pengembangan ini menyebabkan pembangunan di segala bidang yang melibatkan masyarakat lokal secara aktif untuk turut merencanakan, membangun, mengontrol dan mengelola kegiatan pembangunan tersebut dan diharapkan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar (Denman, 2001); (Pitana, I Gde & Putu G, Gayatri. 2005); (Nuryanti, W. 2009); (Wiranatha, A.S. 2015).

Pada prinsipnya, dasar pengembangan pariwisata berbasis masyarakat adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat (Timothy, 1999);

(Tosun, 2000).

(8)

Selanjutnya, pengembangan sistem kepariwisataan yang didukung dengan adanya fenomena empiri transformasi arsitektural pada beberapa kampung kota yang telah menjadi kampung wisata menjadikannya sebagai potensi daya tarik wisata. Transformasi arsitektural sebagai potensi daya tarik wisata yang berdampak positif pada kegiatan pariwisata inilah yang menjadi pemicu perkembangan ekonomi masyarakat lokal dan kegiatan kepariwisataan pada beberapa kawasan kampung kota yang ada.

Dengan demikian, perubahan elemen-elemen kawasan sebagai bagian dari transformasi arsitektural ini menjadi inspirasi dalam tumbuh kembangnya keberadaan beberapa kampung kota menjadi kampung wisata. Hal ini sebagai wujud riil transformasi beberapa kampung kota di Surakarta menjadi kampung wisata, yang akan memiliki peran penting dalam melestarikan potensi karakter keunikan sebagai identitas lokal bangsa serta meningkatkan ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan sesuai dengan program prioritas pembangunan daerah.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fenomena perubahan identitas dari beberapa kampung kota menjadi kampung wisata telah memberikan banyak perubahan pada bentuk fisik dan fungsi bangunan. Hal ini terlihat pada semakin banyaknya bangunan komersial dalam kampung yang tidak memiliki tata ruang atau zonasi yang jelas, karena tidak dilaksanakan dengan konsep perencanaan yang matang.

Di satu sisi, keterkaitan perubahan aktivitas masyarakat dan fungsi terus berkembang, yang berpengaruh terhadap perubahan bentuk fisik kampung wisata tersebut. Hal ini ditunjang dengan perubahan elemen-elemen arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata yang beragam. Di sisi lain, hal tersebut menimbulkan kedinamisan fisik kampung wisata dengan kegiatan pariwisata, yang sekaligus berdampak pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kesenjangan antara teori dan konsep kampung kota yang berlaku dengan fenomena empiri keberadaan kampung wisata, menimbulkan permasalahan yang memengaruhi transformasi arsitektural. Dari berbagai teori dan konsep yang

(9)

diajukan peneliti terdahulu, sampai saat ini belum ada penelitian yang memberikan kontribusi akademik yang menjelaskan konsep transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata.

I.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, teori dan konsep kampung kota, serta kedudukan penelitian ini dalam ranah keilmuan, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yang dituangkan dalam pertanyaan penelitian berikut ini:

Konsep apa (bagaimana dan mengapa) yang dapat menjelaskan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui beberapa pertanyaan rinci, yaitu:

1. Apa penyebab (why) terjadinya proses transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata?

2. Faktor-faktor apa (what) yang memengaruhi proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata?

3. Bagaimana (how) proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata?

I.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini didukung teori dan konsep mengenai kampung kota, namun belum terkait dengan transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Masukan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan konsep kampung kota yang berbeda merupakan salah satu upaya membangun teori dan konsep proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Tujuan utama penelitian ini adalah:

membangun konsep yang menjelaskan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata.

Tujuan utama tersebut dapat ditempuh melalui beberapa tujuan yang lebih rinci yaitu:

1. Menemukan hal-hal yang menyebabkan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata;

(10)

2. Menemukan faktor-faktor yang memengaruhi proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata;

3. Menemukan konsep proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata.

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang membangun konsep atau teori proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata adalah memberikan kontribusi teoretis dan praktis dalam perencanaan dan pengembangan kampung wisata.

Secara teoretis, hasil penelitian ini memberikan kontribusi akademis, sebagai salah satu acuan pengembangan ilmu pengetahuan dalam memperkaya dan memodifikasi teori tentang teori perancangan arsitektur, dan sebagai referensi sumbangan teori tentang perencanaan dan pengembangan kawasan perkotaan, khususnya kampung wisata yang berkelanjutan dengan menggali potensi lokal.

Secara praktis, hasil penelitian dapat menjadi masukan dan acuan bagi para praktisi dunia rancang bangun dan perencana, serta pemangku kebijakan, dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan perkotaan khususnya kampung kota maupun kampung wisata yang berkelanjutan dengan menggali potensi lokal, serta sebagai acuan dalam penyusunan program penyempurnaan kebijakan pengembangan kawasan perkotaan khususnya pengembangan kawasan pariwisata yang berkelanjutan.

I.6 Keaslian Penelitian

Secara terpisah, penelitian mengenai kampung kota maupun kampung wisata telah banyak dilakukan. Namun penelitian yang memadukan kedua bidang tersebut secara terpadu, khususnya tentang proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata dengan studi kasus tiga kampung wisata (kampung Baluwarti, Kauman dan Laweyan) belum pernah dilakukan. Berikut uraian penelitian yang terkait, yang telah dilakukan:

(11)

Tabel 1. Pemetaan Keaslian Penelitian

No Peneliti (th) Judul Tujuan Metode Hasil

1. Laretna, Adhisakti, (1997).

Disertasi Arsitektur

Study on the conservation planning of Yogyakarta historic- tourist city based on urban space heritage conception

Mengintegrasikan konsep spasial kawasan heritage di perkotaan dengan kebutuhan masyarakat modern melalui sistem pengelolaan dengan pelibatan peran aktif masyarakat lokal

Didasarkan pada analisis morfologi perkotaan, dengan eksplorasi konsep morfogenesis perkotaan sebagai serangkaian proses dalam masa transformasi yang diungkapkan dalam bentuk kota

Beberapa kampung di perkotaan memiliki kekayaan heritage tinggi yang perlu dikonservasi dan dikembangkan.

2. Wiendu Nuryanti (1998) Disertasi Arsitektur

Scale and locational effects on tourism multipliers tourism and regional development in Indonesia

Mengkonfirmasi konsep input- output pada perkembangan dan pertumbuhan pola tata ruang dalam sistem

kepariwisataan pada masing- masing destinasi pariwisata di Indonesia

Didasarkan pada pendekatan secara kuantitatif, dengan penilaian kualitatif.

Dilengkapi dengan wawancara mendalam, observasi dan kebijakan dengan key-person dari sektor publik dan swasta

Karakteristik lokasi memiliki peran penting dalam skala tumbuh kembang pariwisata. Hal ini berpengaruh pada aspek pertumbuhan kawasan, sekaligus munculnya kegiatan ekonomi, dan karakteristik aktivitas wisatawan

3. Kayat, K.

(2000) Disertasi Arsitektur

Power through tourism: A blessing on Mahsuri’s eight generation in Malaysia?

Mengaitkan antara penilaian

kekuasaan dan pemerintahan pada penilaian persepsi masyarakat dalam pengembangan pariwisata

Menggunakan dua hipotesa (adanya perbedaan penilaian kekuasaan dan persepsi masyarakat)

Sikap masyarakat tergantung pada penilaian persepsi mereka terhadap pemberian peluang dari pemerintah terhadap keuntungan kepariwisataan.

4. Widayati, N., (2002), Disertasi Antropologi,

Permukiman pengusaha batik di Laweyan

Mengetahui pola permukiman masyarakat di Laweyan yang bukan-bangsawan dalam menata kawasannya dan pandangan masyarakat luar.

Kajian arkeologi permukiman data lapangan dengan membandingkan unsur-unsur persamaan dan perbedaan pada rumah bangunan bukan-bangsawan Jawa di Laweyan

Kecenderungan bahwa beberapa juragan batik di Laweyan, bukan dari kelompok

bangsawan, dan beberapa dari masyarakat biasa menata permukiman mereka seperti permukiman Jawa.

5. Danang Priatmodjo (2004).

Disertasi Antropologi,

Keraton Kasunanan Surakarta Masa Kini.

Suatu Kajian Antropologi tentang Reposisi Kerajaan Tradisional

Memperoleh pemahaman tentang makna tradisi, tata nilai dan tata ruang di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta masa kini.

Menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode etnografi dan wawancara mendalam

Terungkap bahwa keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta dapat dipertahankan karena adanya peran sentral Paku Buwono XII dalam

melestarikan tradisi dan ritual Keraton Kasunanan

(12)

6. Pham hong long (2006), Disertasi Arsitektur

Residents’

perception of tourism impacts and their support for tourism development:

The case of Cucphuong National Park, Ninh Binh, Vietnam

Melihat adanya perbedaan persepsi masyarakat lokal mengenai kegiatan dalam

pengembangan pariwisata

Menggunakan dua analisa hipotesa (adanya perbedaan socio-demographic dan persamaan socio-

demographic)

Perbedaan persepsi dipengaruhi oleh karakteristik socio- demographic yang berbeda, namun secara positif tetap berperan aktif mendukung pengembangan pariwisata di Cucphuong Taman Nasional.

7. Mohamad Muquffa.

(2010) Disertasi Arsitektur

Rumah Jawa di Kampung Wisata Batik Laweyan dalam dinamika peruangan dan hubungan gender

Melihat perbedaan tipologi Rumah Jawa di Laweyan

Menggunakan metode kualitatif

Rumah Jawa di Laweyan dapat dibedakan menjadi tiga tipologi (rumah Jawa yang memiliki dominasi ranah feminin; maskulin, serta keseimbangan maskulin& feminin 8. Prayitno,

Budi.(2013) Journalof habitat engineering and design

An analysis of

consolidatio n patterns of kampung

alley living space in Yogyakarta, Indonesia

Mengetahui sensitivitas model dalam menanggapi suatu konsulidasi perubahan kawasan terkait dengan rekayasa hunian di kampung perkotaan

Melalui sintaks ruang, studi simulasi pemodelan inovatif kampung cityblock berdasarkan pada pola perilaku hunian di gang kampung dan kantong ruang

Menciptakan perilaku rekayasa hunian dari kampung kota yang memerlukan penataan kembali pada penggunaan ruang, dengan pola baru & diversifikasi ruang bersama kolektif melalui konsolidasi adaptasi 9. Kusumaning

dyah N.H.

(2013) Disertasi Arsitektur

A study on home based entreprises (HBEs) in city kampung settlement

Mengidentifikasi karakteristik fisik pengelompokan home based entreprises (HBEs) melalui penilaian sosial- ekonomi dan proses produksi

Memverifikasi fisik karakteristik unsur rumah usaha HBEs melalui pengelompokan ke dalam sosial ekonomi menengah dalam

penyelesaian lingkungan

Di perkotaan, kampung muncul secara spontan sebagai klaster industri usaha kecil dan menengah, dan aktif mengeksplorasi

& mempromosikan potensi lokal.

Kajian penelitian-penelitian di atas menegaskan keterkaitan antara penataan suatu kawasan dengan potensi lokal yang dimiliki. Selain itu, peningkatan peran aktif masyarakat lokal akan berpengaruh besar terhadap tumbuh kembangnya suatu kawasan sebagai destinasi wisata. Dari beberapa penelitian tersebut di atas, secara keseluruhan belum terungkap adanya konsep yang menjelaskan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota

(13)

menjadi kampung wisata, khususnya dengan studi kasus tiga kampung wisata di Surakarta. Penelitian ini akan mengkaji teori atau konsep transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya serta menggali faktor-fator yang memengaruhinya.

I.7 Lingkup Penelitian

Untuk lebih mempertajam fokus pembahasan, dalam lingkup penelitian ini dilakukan beberapa pembatasan definisi substansi yang didasarkan pada teori atau konsep, yang selanjutnya menjadi acuan dalam analisis sebagai berikut:

Lingkup unit analisis berskala messo pada kawasan urban berfokus pada zona yang dominan mengalami perubahan. Hal ini meliputi perubahan pada bangunan (fungsi, fasad dan elemen material bangunan), serta perubahan lingkungan (area terbuka parkir dan akses sikulasi). Masing-masing kampung wisata dikaji berdasarkan periode tertentu pada proses terjadinya transformasi arsitektural, yakni dimulai tahun 2000an sampai dengan tahun 2015, melalui pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Lingkup dan batasan transformasi arsitektural dalam penelitian ini, merujuk pada kata perubahan (process of change) (Romanos, 2000). Transformasi arsitektural, merupakan suatu proses perubahan arsitektural, yang dicapai melalui suatu adaptasi dan kesepakatan, yang dibandingkan dengan waktu yang berbeda dalam beberapa periode tertentu, dan berpengaruh pada aspek-aspek terkait dalam lingkup penciptaan ruang dan bentuk. Identifikasi proses perubahan sebatas pada lingkup bangunan dan lingkungan yang diwujudkan dengan adanya penambahan, pengurangan dan perubahan tempat (Rapoport, 1969); (Habraken, 1976); (Yunus, 2001). Proses perubahan bangunan meliputi perubahan pada: fungsi, fasad dan elemen material bangunan. Sementara itu, proses perubahan lingkungan meliputi perubahan pada ruang terbuka parkir, serta akses jalur sirkulasi (Habraken, 1976);

(Shirvani, 1985). Hal tersebut berdasarkan pada pembaharuan konsep ruang dan bentuk untuk mengubah dan menyesuaikan lingkungan fisik yang terkait dengan unsur sosial dan budaya setempat (Rapoport, 1987); (Van, 1991); (Barnhart, 1972); (Soekamto, 1996).

(14)

Kampung kota merupakan permukiman yang sudah berubah menjadi kota (urbanized), dengan beberapa jenis pelayanan perkotaan yang masing-masing memiliki komponen kekhususan (Setiawan, 2010); (Prayitno, 2013). Kampung wisata yaitu kawasan atau kampung yang memiliki potensi nilai keunikan yang tinggi sebagai daya tarik wisata yang khas, meliputi fisik dan non fisik, yang dikelola, dikemas dan disajikan secara menarik untuk menerima kunjungan wisatawan, serta memerlukan adanya peningkatan peran aktif masyarakat sebagai modal utama keberlanjutannya (Gannon, 1994); (Bramwell, 1994); (Lane, 1994);

(Nuryanti, W. 2009); (Wiranatha, A.S. 2015).

Batasan periode waktu yang digunakan sebagai dasar terjadinya proses transformasi kampung kota menjadi kampung wisata ditandai dengan peristiwa- peristiwa penting terkait dengan proses pertumbuhan dan perkembangan keberadaan Kota Surakarta, yaitu:Periode I, tahun 2000 – 2005, dikeluarkannya Kebijakan Kota Surakarta Kota Budaya dan Pariwisata; Periode II, tahun 2006 – 2010, Batik diakui oleh UNESCO; Periode III, tahun 2011-2015, diluncurkannya kebijakan Kota Surakarta sebagai Kota Kreatif Desain.

I.8 Batasan Penelitian

Lokasi kasus penelitian meliputi tiga kampung kota di Surakarta yang telah diidentitaskan dan telah mengalami proses transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan).

Kasus penelitian tersebut adalah tiga kampung kota yang masing-masing memiliki lokasi, lingkungan fisik dan keunikan yang beragam, namun demikian masing- masing memiliki latar belakang yang sama, yaitu historis kultural.

Kajian kampung wisata meliputi pemetaan fisik dan non fisik. Pertama, dilakukan identifikasi mengenai hal-hal yang menyebabkan proses terjadinya transformasi arsitektural, serta faktor-faktor yang memengaruhi proses terjadinya transformasi arsitektural. Di tahap akhir, ditemukan proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata. Hal ini dilakukan melalui identifikasi perubahan pada elemen fisik kawasan yang terkait dengan pertanyaan penelitian (kecenderungan yang paling banyak mengalami proses perubahan; kecenderungan yang paling sedikit mengalami proses perubahan;

(15)

kecenderungan yang mengalami sebagian proses perubahan serta kecenderungan yang tidak mengalami proses perubahan atau tetap).

I.9 Hasil Grandtour

Grandtour ini dilakukan untuk mengumpulkan data dengan cara observasi atau

pengamatan langsung dilapangan. Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang terjadinya fenomena-fenomena di lapangan. Hal ini dilakukan dengan maksud menyamakan informasi yang didapatkan dari data sekunder dengan data dilapangan. Observasi dilakukan dengan alat bantu rekam visual gambar, pengukuran, penghitungan, dll. yang bersifat sistematis. Berikut hasil grandtour kasus penelitian di tiga kampung wisata.

Tabel 2. Hasil Grandtour Kasus Penelitian tiga Kampung Wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan).

Kampung Gugusan kelompok rumah

Kesatuan permukiman yg terdiri dari beberapa puluh rumah, lengkap dengan pekarangan, jalan besar, jalan setapak dan aspek fisik penunjang yang lain a tau infrastruktur.

Sub kampung Gugusan kelompok beberapa rumah yang memiliki pola karakter tertentu Cluster Kelompok blok bangunan

Proses Pembentukan

1. Kampung wisata Baluwarti Perambatan konsentris 26.82 Ha; 1471 KK 6 Toponim

L: 3397, P: 3682,T: 7079 jiwa

2. Kampung wisata Kauman Perambatan menyebar 20.10 Ha; 763 KK 20 Toponim

L: 1739, P: 1678; T: 3407 jiwa

3. Kampung wisata Laweyan Perambatan memanjang/ linier 24.83 Ha; 404 KK

3 RW, 10 RT, 8 Toponim L: 1243, P: 1410; T: 2653 jiwa Karakteristik Komposisi Fisik (Akses dari pusat kota)

Karak teristik Kompo sisi

Lokasi di tengah kota, sebagai satu kesatuan mengelilingi Keraton Surakarta.

Adanya kemudahan akses karena dikelilingi jalan2 utama (Utara: Jl. Alun- alun utara, selatan: Jl.

Veteran, timur: Jl.Pasar Kliwon,barat: Jl. Gajahan

Lokasi di tengah jantung kota, satu kesatuan dengan Masjid Agung Surakarta.

Adanya kemudahan akses karena dikelilingi jalan utama (Utara: Jl. Slamet Riyadi, selatan: Jl.Dr.

Rajiman, timur: Yos Sudarso dan barat: Jl. Alun-alun utara)

Lokasi di pinggir kota. Kemudahan akses dilalui oleh satu jalan utama (Utara: Jl.Dr.

Rajiman). Selatan Sungai Jenes, seb.

Timur dan barat berhubungan dengan permukiman.

Integri tas Rg/Posisi nilai strate gis

Sebagai gugusan keluarga kerabat raja, berupa dalem Pangeran dan Bangsawan, dan beberapa rumah abdi dalem &kawulo dalem

Sebagai gugusan tempat tinggal pejabat Pengulu dan Ulama. Mendapat julukan sebagai tanah Pekauman, kampung santri tradisional di tengah kota.

Sebagai gugusan permukiman konsentrasi

saudagar/pedagang batik, meliputi industri batik Gaduhan, menyatu dengan

Keraton

Gaduhan, menyatu dengan Masjid Agung

Kawasan merdikan dari Keraton Pajang

(16)

Konektivita Pola

Penataan Ruang

Pola Cluster

P m P

Visibili tas ruang Kejela san-citra karakte ristik

P de S ba P se ka ka tu w

Kampun Lawe

Gambar 1

as posisi hub

ola sentral mengelompok

erambatan ko

enataanya me engan Kerato urakarta, adan angunan dale Pangeran dan ebagai potens arakteristik, m awasan Baluw umbuh sebaga wisata budaya

Arti warna K ng wisata

eyan

1. Lokasi Pene

ungan antar

onsentris

enyatu on

nya em

toponim si maka warti ai kawasan

.

pada pola tata ru Kampung wisat Kauman

elitian tiga (3) k Sumber: Do

r generator r

Pola Grid: po catur

Perambatan m

Penataanya m dengan Masji Surakarta, ad bangunan dal Ulama Kerat toponim-topo potensi karak maka kawasa dikenal seba wisata religi.

uang menunjukk ta

kampung wisat okumentasi Pe

uang terhad

ola papan menyebar

menyatu id Agung danya

lem Ketib/

ton serta onim sebagai kteristik, an Kauman agai kawasan

kan kelompok na ta (Baluwarti, eneliti, 2014

ap kota Sura

Pola Linier jalan/depan blkng Perambatan /linier

Potensi alam penataanya dengan sung selatan/ bela toponim-top ada sebagai karakteristik kawasan La berkembang kawasan wi

ama sub kampun Kampung w

Baluwa

Kauman dan L

akarta

: Pola garis , sungai n Memanjang

m dan menyatu gai (sebelah akang), serta ponim yang

potensi k, maka aweyan

g sebagai isata batik.

ng wisata

rti

Laweyan)

(17)

Potensi artefak

Bangunan kuno dalem- ndalem pangeran (rumah raja-raja) dengan

kekhasannya memiliki toponim, dalem Sasono Mulyo, dalem

Probosutejan, Gedong Kreto (garasi kereta kencana Keraton), dll.

Bangunan Masjid Agung, Sekolah Mambaul Ulum, Pondok NDM, Langgar Sememen dan beberapa dalem rumah

Ketib/Ulama sesuai toponim, dengan kekhasannya yang dilengkapi dengan pesantren atau langgar.

Langgar Merdeka, Masjid Laweyan, makam keluarga raja (PB II dan Kyai Ageng Henis), Kali Henes (perbatasan kawasan), bekas Bandar

Kabanaran & Tugu Pasar, dongker, rumah tokoh Laweyan, rumah Saudagar/Juragan Generalizing approach/ Cultural universals (Kegiatan masyarakat)

Sejarah Kata Baluwarti atau Baluwerti berasal dari bahasa Portugis (dari kata Baluarte, artinya benteng/

tembok istana yang mengelilingi keraton Kasunanan Surakarta).

Secara fisik kawasan Baluwarti merupakan batas istana (kota raja) yang di dalamnya terdapat beberapa tempat tinggal/ ndalem raja beserta keluarga, sentono dalem, pejabat keraton, prajurit keraton, abdi dalem terdekat dengan raja, dan kawulo dalem (Behrend, T.E, 1982).

Terbentuk Paguyuban Kampung Wisata Baluwarti.

Kata Kauman berasal dari bahasa Arab: Qaum ( pejabat keagamaan, Qoum Muddin= penegak agama Islam). Kauman sbg.

kelengkapan Masjid Agung dan syiar agama Islam, bersamaan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta oleh PB II (17 Pebruari 1745 H). Bermula dari Kawedanan

Yogiswara /Kapengulon (ulama yang bertugas dalam hal keagamaan dan pengaturan kemakmuran Masjid Agung). Sbg.

gugusan tempat tinggal pejabat Pengulu dan ulama kemesjidan, sebagai tanah Pekauman (tempat tinggal para Kaum/Ulama).

Sbg kampung santri tradisional di tengah kota.

Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman

Kata Laweyan dari kata ’lawe’/kapas yang dipintal kemudian diantih menjadi mori gedog (mori yang seperti lawe/belum diberi pemutih).

Kawasan tersebut merupakan kantong (enclave) penting sebagai pusat perdagangan.

Merupakan kawasan merdikan dari Keraton Pajang Kartosuro. Di desa tersebut, dibentuk Forum Kampung Wisata Batik Laweyan (FKWBL), serta paguyuban untuk mendukung kegiatan kampung wisata (Paguyuban tukang becak, tukang parkir, guide dll).

Kemasya rakatan

Sistem religi Islam kejawen

Sistem religi Islam fanatik Sistem religi Islam moderat

Budaya hubung an kekera batan

Konsentris, hubungan kekerabatan sampai suatu jumlah angkatan yang terbatas (Bendara Raden Mas). Kekerabatan dengan perkawinan antar bangsawan.

Garis-garis keturunan laki- lakinya saja, yaitu garis patrilineal.

Kekerabatan dengan perkawinan antar keluarga.

Garis-garis keturunan melalui garis

keturunan wanitanya saja, yaitumatrilineal.

Kekerabatan dengan perkawinan antar derajat kesamaan. Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014.

(18)

Grand Tour Proses Terjadinya Transformasi Arsitektural dari Kampung Kota menjadi Kampung Wisata

Kampung Wisata Laweyan Kampung Wisata Baluwarti

Gambar 2.Grandtour kawasan kampung wisata (Baluwarti, Kauman dan Laweyan) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Kampung Wisata Kauman

(19)

Gr

Gambar 3

randtour Ka

3.Grandtour K Sumber: Dok

ampung Wisa

Kawasan Kampu kumentasi pen

ata Baluwart

ung Wisata Ba neliti, 2014

ti

aluwarti

(20)

Gra

Gambar 4.G S

andtour Ka

Grandtour Kaw Sumber: Dokum

mpung Wis

wasan Kampun mentasi penelit

sata Kauma

ng Wisata Kaum ti, 2014

an

man

(21)

Gra

Gambar 5.G

andtour Kam

Grandtour Kaw Sumber: Doku

mpung Wis

wasan Kampun umentasi peneli

sata Laweya

ng Wisata Law iti, 2014

an

weyan

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana strategi baauran promosi objek wisata di Pulau Burung untuk menarik pengunjung lokal yang di lakukan oleh Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata

Introduksi berbagai benih varietas unggul nasional yang dianggap memiliki potensi produktivitas tinggi untuk menggantikan varietas lokal ternyata bukan hanya berdampak pada

– Untuk mengetahui klasifikasi potensi internal, potensi eksternal dan potensi fisik masing-masing obyek wisata dikawasan wisata Kecamatan Ngargoyoso dan Jenawi

Jembatan yang dibangun di atas Sungai Opak ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan pariwisata di Pantai Parangtritis yang merupakan salah satu obyek

domestik dan mancanegara mempunyai hubungan positif terhadap pendapatan asli daerah di sektor pariwisata karena semakin tinggi jumlah objek wisata, pendapatan

Desa wisata menurut Nuryanti (dalam Buku Panduan Pengembangan Desa Wisata Hijau, 2016:2) merupakan suatu daerah tujuan wisata atau disebut pula destinasi

UU no.9 tahun 1990 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah suatu yang menjadi sasaran wisata yang terdiri atas, obyek dan daya tarik

Sebab, masyarakat lokal-lah yang harus menanggung dampak kumulatif dari perkembangan wisata dan mereka butuh untuk memiliki input yang lebih besar, bagaimana masyarakat