6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diskripsi kasus
1. Definisi hemiparese
Stroke atau cerebro vascular accident (CVA), merupakan gangguan suplai darah ke otak, biasanya karena pembuluh darah pecah atau tersumbat oleh gumpalan darah sehingga memotong pasokan oksigen dan nutrisi, menyebabkan kerusakan pada jaringan otak (WHO, 2014).
Berdasarkan patofisiologinya stroke terdiri dari stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Stroke hemoragik terjadi akibat pembuluh darah yang pecah, sedangkan stroke iskemik atau non hemoragik terjadi akibat pembekuan darah, penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak yang terlepas dari jantung atau arteri yang berada di luar tengkorak yang mengakibatkan sumbatan di satu atau beberapa arteri yang berada di dalam tengkorak (Irfan, 2012).
Keduanya sama-sama bisa menyebabkan hemiparese.
Hemiparese merupakan kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan sehingga gerakannya terbatas. Sisi mana yang terjadi kelemahan itu tergantung dari bagian otak mana yang terjadi kerusakan. Hemiparese bersifat kontralateral, artinya kelemahan terjadi pada sisi tubuh berlawanan dengan sisi otak yang mengalami kerusakan (Irfan, 2012).
2. Anatomi otak
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf yang berperan dalam mengatur berbagai fungsi kehidupan. Otak terdiri dari beberapa komponen yaitu cerebrum (otak besar), cerebellum (otak kecil), brainstem (batang otak) yang dibagi lagi menjadi diencephalon, mesenchepalon, pons farolli, dan medula oblongata (Irfan, 2012).
a. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian dari otak yang terletak di fossa cranii anterior dan fossa cranii medius, serta menempati seluruh bagian cekungan tempurung tengkorak. Cerebrum dibagi menjadi dua bagian yaitu diencephalon (membentuk bagian sentral) dan telencephalon (membentuk hemisperium cerebri) (Snell, 2015).
Cerebrum terdiri dari hemisfer kanan dan kiri dan terususun dari korteks.
Cerebrum terbagi menjadi lobus frontalis, lobus temporalis, lobus parietalais, dan lobus oksipitalis.
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks cerebrum ke depan dari sulcus sentralis dan di atas sulcus lateralis. Pada lobus frontalis terdapat daerah broca yang berperan untuk mengontrol ekspresi bicara. Bagian lobus frontalis mengandung daerah motorik dan pramotor. Infomrasi motorik sisi kiri korteks cerebrum berjalan ke bawah ke sisi kanan korda spinalis dan mengontrol gerak motorik sisi kanan tubuh, demikian sebaliknya (Irfan, 2012).
2) Lobus temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis.
Lobus ini terlibat dalam interpretasi infomasi audiotorik, interpretasi bahasa, interpretasi bau, dan penyimpanan ingatan.
3) Lobus parietalis
Lobus parietalis terletak di belakang sulcus sentralis, di atas fisura lateralis dan meluas ke belakang ke fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan daerah sensorik primer otak untuk rasa, raba, dan pendengaran.
4) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis terletak di sebelah posterior dari lobus parietalis dan fisura-fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata.
b. Cerebellum
Cerebellum (otak kecil) terletak pada fossa posterior tengkorak di belakang pons dan medulla. Permukan cerebellum memiliki banyak sulcus yang memberikan gambaran berlapis-lapis seta dipertegas beberapa fissura dalam membagi cerebellum menjadi tiga lobus utama antara lain lobus anterior, lobus medius, dan lobus flocculono dularis (Snell, 2015).
c. Brainstem
Brainstem terdiri dari dari medulla oblongnata, pons, dan, mesencephalon.
Bentuk batang otak menyerupai batang dan menghubungkan medulla spinalis dengan otak. Batang otak mempunyai fungsi utama, (1) sebagai tempat lewatnya
traktus asendens dan desendens ke berbagai pusat yag lebih tinggi di otak depan, (2) mengandung pusat reflek-reflek penting yang mengatur sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler serta pengendali kesadaran, dan (3) mengandung nuklei saraf kranial III sampai XII (Snell, 2015).
d. Tractus pyramidalis dan tractus exstrapyramidalis
Istilah tractus pyramidalis ditujukan untuk tractus corticospinalis. Tractus corticospinalis merupakan jaras yang berkaitan dengan gerakan volunter yang cepat dan terlatih, terutama pada bagian-bagian distal ekstremitas. Tractus corticospinalis berasal dari korteks motorik primer (area 4), korteks motorik sekunder (area 6), dan lobus parietalis (area 3,1,2). Sebagian besar tractus corticospinalis menyilang pada decussatio pyramidum dan masuk ke columna alba lateralis medullae spinalis untuk membentuk tractus corticospinalis lateralis. Sedangkan sisa serabut yang lain tidak menyilang di decussatio pyramidum, tetapi turun di dalam columna alba anterior medullae spinalis dan disebut sebagai tractus corticospinalis anterior.
Sebagian besar serabut tractus corticospinalis bersinaps dengan neuron penghubung, kemudian bersinaps dengan neuron motorik alfa, dan beberapa dengan neuron motorik gama.
Tractus extrapyramidalis ditujukan untuk semua tractus decenden selain tractus corticospinalis, yaitu tractus reticulospinalis, tractus rubrospinalis,tractus vestibulospinalis, dan tractus olivospinalis. Tractus extrapyramidalis berfungsi untuk mengatur gerakan dasar sederhana (Snell, 2015).
Gambar 2.1
Bagian permukaan inferior otak (Snell, 2015) Keterangan gambar 2.1
1. Lobus frontalis
2. Hemispherium cerebri dextrum 3. Lobus temporalis
4. Mensephalon 5. Pons
6. Cerebellum
7. Medulla oblongata 8. Fissura longitudalis 9. Tractus olfaktorius 10. Chiasma opticum 11. Nervus occulomotoris 12. Pyramis
13. Oliva
Gambar 2.2
Permukaan superior otak (Snell, 2015)
Gambar 2.3
Otak sisi lateral kanan (Snell, 2015)
3. Plastisitas otak
Kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi organisasi struktural dan fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan dan atau stimulasi. Mekanisme ini merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi saraf (Setiawan, 2007).
Pemulihan akibat lesi pada otak dikategorikan sebagai pemulihan spontan dan reorganisasi mekanisme neural (perbaikan neurologis), berlangsung singkat (fase diaschisis). Kemampuan plastisitas terus berlangsung apabila dibutuhkan (regeneration, collateral sprouting, silent synapsis recruitment, denervation supersensitivity) (Setiawan, 2007).
4. Etiologi
Penyumbatan dari arteri disebabkan oleh thrombus atau emboli yang berjalan bersama aliran darah yang akan mengganggu suplai darah ke jaringan.
Sebagian besar stroke terjadi karena kombinasi dari beberapa faktor penyebab.
Faktor resiko ada dua yaitu dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan.
Kelompok faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki merupakan kelompok faktor risiko yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat diperbaiki. Yang termasuk kelompok ini antara lain usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga, serta riwayat serangan transient ischemic attack atau stroke sebelumnya. Kelompok faktor risiko yang dapat diperbaiki merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat diperbaiki,
yang meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit jantung, merokok, alkohol, obesitas, dan penggunaan kontrasepsi oral (Wijaya, 2013).
5. Patofisiologi
Stroke iskemik atau non hemoragik terjadi karena adanya penyumbatan aliran darah yang dapat menimbulkan timbunan lemak yang mengandung kolestrol dalam pembuluh darah besar (arteri karotis), pembuluh darah sedang (arteri serebri), dan pembuluh darah kecil. Plak atau timbunan lemak dapat menyebakan dinding dalam arteri menebal sehingga aliran darah tidak lancar. Akibatnya, otak akan mengalami kekurangan oksigen yang dapat berakibat sel-sel jaringan otak mati (Sustrani,2003).
Ditinjau dari lokasi terbentuknya gumpalan, stroke non hemoragik dibedakan menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik. Stroke embolik terjadi pada arteri luar otak yang sering terjadi dijantung yang kemudian terbawa oleh aliran darah hingga ke pembuluh otak yang dapat menyumbat pembuluh darah di otak, sedangkan stroke trombotik terjadi pada arteri otak yang merupakan gumpalan darah baru yang terbentuk dalam pembuluh darah di otak dan jika terlalu lama gumpalan tersebut akan membesar dan menyumbat aliran darah di otak (Sustrani, 2003). Masalah-masalah yang dapat ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia sangat banyak, seperti adanya gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol postural, gangguan sensasi, dan gangguan refleks gerak yang dapat menurunkan kemampuan aktivitas fungsional seseorang dalam kehidupan sehari-hari (Irfan, 2012).
6. Prognosis
Kondisi stroke akan melalui beberapa tahapan dalam perbaikan neurologis yaitu stadium akut, pada fase ini terdapat oedema serebri yang terjadi karena proses desak ruang akut yang menekan refleks spinal, ditandai dengan tonus otot flaksid, berlangsung antara 1 sampai 3 minggu dari waktu terjadinya serangan.
Selanjutnya stadium penyembuhan, pada stadium ini terjadi reabsorbsi oedema sehingga berangsur-angsur proses desak ruang akut menurun, aktivitas refleks spinal sudah berfungsi tetapi belum mendapat kontrol dari supraspinal dan umumnya ditandai dengan gejala spastis, berlangsung lebih dari 3 minggu setelah terjadinya serangan sampai 6 atau 8 bulan. Pada tahap terakhir disebut stadium residual, pada stadium ini bagian yang mengalami proses degenerasi menjadi jaringan nekrotik dan menimbulkan gejala sisa.
Masalah yang sering dialami oleh penderita stroke dan yang paling ditakuti adalah gangguan gerak. Penderita mengalami kesulitan saat berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi gerak.
Pasien stroke bukan merupakan kasus kelainan muskuloskeletal, tetapi kondisi stroke merupakan kelainan dari otak sebagai susunan saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan gerak dari sistem neuromuskuloskeletal.
Latihan gerak aktif bagi penderita stroke merupakan prasyarat bagi tercapainya kemandirian pasien, karena latihan akan membantu secara berangsur- angsur fungsi tungkai dan lengan kembali atau mendekati normal, dan memberi kekuatan pada pasien tersebut untuk mengontrol kehidupannya. Latihan ini disesuaikan dengan kondisi pasien dan sasaran utama adalah kesadaran untuk
melakukan gerakan yang dapat dikontrol dengan baik, bukan pada besarnya gerakan. Latihan gerak aktif yang diberikan harus distimulasi untuk membuat gerak dan respon gerak sebaik dan senormal mungkin.
Penatalaksanaan terapi latihan PNF pada pasien hemiparese pasca stroke non hemoragik harus dengan teknik yang tepat. Pemilihan teknik latihan PNF gerak disesuaikan dengan kondisi pasien, parameter yang digunakan untuk menentukan dan mengetahui keberhasilan dari terapi yang diberikan adalah berdasarkan pengukuran nilai kekuatan otot.
Program latihan diberikan terapis rumah sakit, rata-rata setelah 2–4 hari paska serangan stroke. Sebab menurut Garrison, pada waktu terjadinya stroke, apabila terjadi paralise secara total pada anggota gerak maka ekstremitas yang terkena akan fleksid dalam 48 jam, yang kemudian akan berkembang ke arah spastisitas dan akhirnya ke tonus otot yang normal, sedangkan kekuatan otot akan kembali melalui pola sinergis menuju gerakan itu sendiri. Dengan adanya perbaikan dari tonus postural melalui stimulasi atau rangsangan proprioceptif berupa tekanan pada persendian, akan merangsang otot-otot disekitar sendi untuk berkontraksi mempertahankan posisi, dari sini aktifitas efferent dari muscle spindle dan golgi tendon akan meningkat sehingga informasi akan sampai pada saraf pusat dan muncul proses fasilitasi dan inhibisi serta reduksi dari kemampuan otot dalam melakukan gerakan yang disadari.
Evaluasi terakhir setelah diberikan program latihan menunjukkan bahwa kondisi pasien mengalami peningkatan dalam hal kekuatan otot baik pada pasien hemiparese.
B. Problematika Fisioterapi
Menurut Kuntono (2014) problematika fisioterapi meliputi :
1. Impairment
Stroke non hemoragik secara umum mempunyai problematika impairment yang dapat menimbulkan gangguan pada tingkat jaringan berupa peningkatan tonus bahkan spastisitas, pola sinergis dan reaksi assosiasi yang menimbulkan gangguan koordinasi dan keseimbangan gerak volunter sehingga potensial terjadi kontraktur, keterbatasan ROM.
2. Funcional limitation
Stroke non hemoragik secara umum dapat menimbul funcional limitation yang berupa gangguan pada pasien dalam beraktivitas fungsional, sehingga pasien mengalami kelumpuhan pada lengan dan tungkai sehingga pasien tidak mampu melakukan aktivitas seperti jongkok, berdiri, berjalan, makan, minum, menyisir rambut dan aktivitas lain yang menggunakan lengan maupun tungkai.
3. Participation retriction
Pada stroke non hemoragik secara umum dalpat menimbulkan participation retriction yang berupa ketidakmampuan pasien dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sehingga interaksi pasien dengan kerabat maupun keluarga akan terbatas.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Pemberian intervensi fisioterapi bagi pasien stroke harus berdasarkan hasil asesmen fisioterapi. Dengan kata lain bahwa intervensi fisioterapi bagi pasien stroke bersifat perorangan atau berbeda satu sama lain.
Prinsip dari intervensi fisioterapi dengan pendekatan problem solving yaitu setiap pasien pasca stroke memiliki karakteristik yang berbeda dan akan menentukan bentuk intervensi yang diberikan. Walaupun demikian, secara prinsip dasar interverensi fisioterapi hendaknya sama. Selain dari asesmen fisioterapi intervensi juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu oleh fisioterapis.
Penulis kali ini menggunakan infrared (IR) dan terapi latihan dengan metode propioseptive neuromuscular fasilitation (PNF). Teknik PNF ini bertujuan untuk meningkatkan gerak fungsional melalui fasilitasi, inhibisi, dan relaksasi dari grup otot
1. Infra red (IR)
Infra red (IR) merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 - 4.000.000 A. IR dibagi menjadi dua jenis yaitu luminous (memancarkan cahaya dan gelombang) dan non-luminous ( hanya memancarkan gelombang tanpa cahaya). Metode pemasangan IR diatur sedemikian rupa sehingga gelombang yang dipancarkan dari IR mengarah tegak lurus terhadap jaringan yang diobati dengan jarak 35-45 cm dan waktu 10-15 menit. IR tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan sensibilitas, luka terbuka, gangguan mental, tumor ganas atau kanker, dan juga pemberian pada daerah mata. Indikasi
pemberian IR pada pasien yang mengalami kekakuan sendi atau keterbataan lingkup gerak sendi, ketegangan otot, nyeri otot, dan penyembuhan luka di kulit (Andanith, 2017).
2. Terapi Latihan
Terapi latihan merupakan salah satu metode fisioterapi dengan menggunakan gerak tubuh baik secara aktif, pasif maupun kombinasi antara keduanya untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan, maupun kemampuan fungsional. Ada banyak metode dalam terapi latihan untuk kasus hemiparese, salah satunya adalah PNF.
Proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) pertama kali dikembangkan oleh dr. Herman Kabat (neurologi/psikolog) dari Amerika Serikat pada tahun 1950-an yang kemudian dikembangkan oleh Margaret Knott (fisioterapis) dan Dorothy Voss (okupasi terapis) hingga tahun 1970-an. Pada awalnya PNF lebih ditekankan pada berbagai kasus muskuloskeletal. Tetapi kemudian dikembangkan juga untuk kasus-kasus neurologi termasuk stroke (Irfan, 2012)
Tujuan dari pemberian PNF antara lain untuk memperoleh kuantitas maksimal dari aktivitas yang dapat dicapai pada setiap usaha volunter, memperoleh pengulangan aktivitas yang maksimal untuk memudahkan timbulnya respon.
Prinsip umumnya adalah dengan pemberian stimulasi tertentu untuk membangkitkan kembali mekanisme yang latent dan cadangan-cadangannya maka akan dicapai suatu gerak fungsional yang normal dan terkoordinasi (Irfan,2012).
Prinsip dan teknik yang mendasari metode PNF menurut Adler et. all.,(2008) adalah sebagai berikut
a. Optimal resistance
Optimum resistance digunakan untuk memfasilitasi kemampuan otot untuk berkontraksi, meningkatkan kontrol motorik dan motor learning, membantu pasien memperoleh arah dan kesadaran gerak, meningkatkan kekuatan dan rileksasi otot.
b. Irradiation and reinforcement
Irradiation merupakan penyebaran ransangan ke sekitarnya sehingga menimbulkan respon yang semakin kuat. Respon ini dapat dilihat sebagai peningkatan fasilitasi (kontraksi) atau inhibisi (rileksasi) pada otot dan pola gerakan sinergis.
c. Manual contact
Manual contact dilakukan dengan pegangan “lumbrical” oleh terapis yang digunakan untuk membantu kemampuan otot untuk berkontraksi dan memberikan keamanan bagi pasien.
d. Body position and body mechanics
Body position and body mechanics digunakan untuk membantu terapis dalam mengontrol gerakan dari pasien dan membantu terapis dalam pelaksanaan terapi tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan.
e. Verbal stimulation
Verbal stimulation merupakan penggunaan aba-aba yang tepat untuk mengarahkan pasien. Verbal stimulation sebagai panduan awal gerakan atau
kontraksi otot, mempengaruhi kekuatan kontraksi otot yang dihasilkan dan memberikan koreksi pada gerakan pasien.
f. Visual feedback
Visual feedback merupakan kontak visual (penglihatan) antara fisioterapis dan pasien yang digunakan untuk membantu pasien dalam mengontrol posisi dan gerakan yang benar.
g. Traction and approximation
Traction merupakan penguluran pada trunk maupun ekstremitas yang digunakan untuk memfasilitasi gerak, membantu dalam pemanj angan jaringan otot dan membantu pasien dengan nyeri pada sendi. Approximation merupakan kompresi pada trunk maupun ekstremitas yang digunakan utnuk stabilisasi dan memfasilitasi reaksi gerak.
h. Strecth
Strecth dibagi menjadi dua yaitu strecth stimulus dan strecth reflexs yang digunakan untuk memfasilitasi kontraksi dan mengurangi kelelahan otot.
i. Timing
Timing merupakan pengalihan energi dimana bagian gerakan yang lemah diberi ekstra stimulasi melalui bagian yang kuat (Timing for emphasis).
j. Pattern
Pola gerakan dalam PNF yaitu pola gerak pada lengan dan pola gerak pada tungkai, dasar dari aktifitas motorik yang dikembangkan adalah gerakan dengan pola spesifik yang mana aktifitas otot secara sinergis berlangsung dari distal ke proksimal. Pola gerak lengan pada PNF, meliputi : 1) fleksi-abduksi-eksorotasi dan
ekstensi-adduksi-endorotasi, 2) fleksi-adduksi-eksorotasi dan ekstensi- abduksiendorotasi. Sedangkan, pola gerak pada tungkai, meliputi : 1) fleksi- abduksi- endorotasi dan ekstensi-adduksi-eksorotasi, 2) fleksi-adduksi-eksorotasi dan ekstensi-abduksi-endorotasi.
Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam PNF antara lain : rhytmical initiation, combination of isotonic, slow reversal, repeated stretch, contract relax, hold relax, dan timing for emphasis. Dalam karya tulis ini penulis menggunakan satu teknik PNF yaitu rhytmical initation.
Rhytmical initiation merupakan suatu teknik yang dimulai dengan gerakan secara pasif yang kemudian menuju ke gerakan aktif dan resisted. Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi gerak, menormalkan kecepatan gerak baik meningkatkan maupun menurunkan, membantu pasien untuk belajar tentang gerak dan rileksasi.