• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE ASETILASI DALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM SKRIPSI OLEH EGHA PURNAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE ASETILASI DALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM SKRIPSI OLEH EGHA PURNAMA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

i

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE ASETILASI DALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM

SKRIPSI

OLEH

EGHA PURNAMA 14 22 060 407

PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI DIPLOMA 4 JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL

PERKEBUNAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP 2018

(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE ASETILASIDALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM

SKRIPSI

Oleh:

EGHA PURNAMA 14 22 060 407

Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Telah diperiksa dan disetujui oleh

(3)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI

Judul : Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon sp) dengan Metode Asetilasi dalam Pembuatan Edible Film

Nama Mahasiswa : Egha Purnama

NIM : 14 22 060 407

Program Studi : Agroindustri Diploma IV

Jurusan : Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan

Menyetujui, Tim Penguji:

1. Dr. Andi Ridwan Makkulau,SP,M.Sc

2. Dr. Ir. Sitti Nurmiah, M.Si

3. Zulfitriany D M, SP., MP

4. Rahmawati Saleh. S.Si,. M.si

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, Nama Mahasiswa : Egha Purnama

Nim : 14 22 060 407

Program Studi : Agroindustri

Perguruan Tinggi : Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul : “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon sp) dengan Metode Asetilasi dalam Pembuatan Edible Film” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Pangkep, 23 Juli 2018 Yang menyatakan

Egha Purnama

(5)

v SUMMARY

EGHA PURNAMA (14 22 060 407). Modified Starch Sago (Metroxylon sp.) By Acetylation Method in making Edible Film Guided by A.RIDWAN MAKKULAU and SITTI NURMIAH.

Starch is a food material that has a wide function in the food processing industry, one of which is sagu starch saguutarika sago as a functional ingredient in the food industry such as, thickener. However, the utilization of sago is not optimal when sago starch is cooked, the pasta is hard, not clear and very sticky. Thus modified to manage the karasteristik starch. This study aims to make modifications by acetylation method, determining the most appropriate answer with the method of measuring and the influence of the term patience to the edible film. This research consists of three stages. The first stage is the making of modifications by the method of Acetylation. Efficient starch making process is used as follows: Sago starch as much as 100 g of aquades as much as 230 ml in stirrer, then performed stage of Acetate Anhydrate with 7.5 ml; 15 ml; 30 ml; 45 ml. Then, 6% NaOH (b / v) to PH 8-9 was then added 5% HCl (v / v) to PH 5, after obtaining the starch washing using 350 ml aquades and dried at room temperature for 5 days after dried starch is filtered at 250 mesh. The second study was characterized modified sago starch from the amount of 7.5 ml variation;

15 ml; 30 ml; 45 ml. The results showed that the characterization was obtained from sago starch with 45ml Acetate Anhydrate. From these results obtained air levels 13.86%; ash content 0,51%; 2.20% fat content; protein content of 0.1%; amylose content 29,79%; swelling rate 3.18%; degree substitution 0.12; and gelatinization temperature of 61 °C Retro stage is the making of edible film of starch modified Acetate Anhydrous 45 ml. An edible film layer which is a starch concentration of 3.0% w / w, and a glycerol content of 0.5-1.25% v / v.

The film layer can be used for hydrophobic, fourier transform infrared (FTIR), and water content film (MC) directly by measuring the air expelled from the initial mass.

Keywords: starch sago, acetylation, acetic anhydrous, edible film, hydrophobic

(6)

vi

RINGKASAN

EGHA PURNAMA, NIM. 1422060407. Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon sp.) dengan Metode Asetilasi dalam pembuatan Edible Film dibimbing oleh A.RIDWAN MAKKULAU dan SITI NURMIAH.

Pati adalah bahan pangan yang memiliki fungsi yang luas dalam industri pengolahan pangan, salah satunya adalah pati saguPati sagu umumnya digunakan sebagai bahan fungsional dalam industri makanan seperti, pengental. Namun pemanfaatan pati sagu belum optimal disebabkan bila pati sagu dimasak, pasta yang terbentuk keras, tidak bening dan sangat lengket. Dengan demikian dilakukan modifikasi pati secara asetilasi untuk memperbaiki karasteristik pati. Penelitian ini bertujuan untuk membuat pati modifikasi dengan metode asetilasi, menentukan karakteristik terbaik pati yang telah dimodifikasi dengan metode asetilasi dan pengaruh pati termodifikasi terhadap edible film.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pembuatan pati modifikasi dengan metode Asetilasi. Proses pembuatan pati modifikasi yang efisien berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut : Pati sagu sebanyak 100 g ditambahkan aquades sebanyak 230 ml pada stirrer, lalu dilakukan penambahan Asetat Anhidrat dengan variasi 7,5 ml; 15 ml; 30 ml; 45 ml lalu dilakukan penambahan larutan NaOH 6%

(b/v) hingga PH 8-9 kemudian ditambahkan HCl 5% (v/v) hingga PH 5, setelah mendapatkan bubur pati dilakukan pencucian menggunakan aquades 350 ml dan dikeringkan dalam suhu ruang selama 5 hari, setelah pati kering disaring pada 250 mesh. Penelitian kedua adalah mengkarakterisasi pati sagu termodifikasi dari beberapa variasi 7,5 ml;

15 ml; 30 ml; 45 ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisasi terbaik diperoleh dari pati sagu dengan variasi 45 ml Asetat Anhidrat.

Dari analisis tersebut didapatkan kadar air 13,86%; kadar abu 0,51%;

kadar lemak 2,20%; kadar protein 0,1%; kadar amilosa 29,79%;

swelling power 3,18%; derajat subtitusi 0,12; dan temperature gelatinisasi 61°C. Tahap ketiga adalah pembuatan edibel film dari pati modifikasi Asetat Anhidrat 45 ml. Lapisan film yang dapat dimakan yang digunakan adalah konsentrasi pati 3,0 % b / b, dan kadar gliserol 0,5-1,25% v / v. Lapisan film yang dapat dimakan yang terbuat dari pati sagu modifikasi telah dipelajari untuk hidrofobik, fourier transform infrared (FTIR), dan kadar air film (MC) ditentukan secara gravimetri dengan mengukur air yang dikeluarkan dari massa awal.

Kata kunci : pati sagu, asetilasi, asetat anhidrat, edible film, hidrofobik

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya, kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon sp) dengan Metode Asetilasi dalam Pembuatan Edible Film”yang sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Diploma IV (D4) Program studi Agroindustri jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Sultan dan Ibunda Irawati yang dengan penuh ketulusan dan kasih sayang selama ini telah membimbing serta senantiasa memberikan dukungan moral maupun dukungan moril kepada penulis yang tak ternilai harganya. Melalui kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Ir.Darmawan MP. Selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep beserta staf dan jajarannya.

2. Ibu Ir. Nurlaeli Fattah, M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

3. Ibu Zulfitriany Dwiyanti Mustaka, SP., MP. Selaku ketua program studi Agroindustri.

4. Seluruh staf jurusan Teknologi Hasil Pengolahan Hasil Perikanan dan Program Studi Agroindustri.

5. Bapak Dr.A.Ridwan Makkulau ST,M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr.Ir.Sitti Nurmiah,M.Si selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan laporan ini.

6. Ibu Dr. Dewi Sondari M.Si selaku pembimbing lapangan yang telah membimbing penulis selama proses penelitian di LIPI Pusat Penelitian Kimia, Serpong.

7. Rekan – rekan Mahasiswa di Program Studi Agroindustri sebagai teman seperjuangan.

(8)

viii

8. Nur Azmi M, Nur Zaharani Hamsir, Siti Maryam Fadilah Karimah, Widyastuti S.E sebagai sahabat terbaik terima kasih atas bantuan dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik.

9. Sahabat terbaik angkatan 27 kelas A Agroindustri.

10. Adik-adik jurusan agroindustri angkatan 28, 29, dan 30.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Karenanya, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tugas akhir ini. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahi taufik walhidayah Assalamu’ alaikum Wr. Wb

Pangkep, 23 Juli 2018

Egha Purnama

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

SUMMARY ... v

RINGKASAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pati Sagu ... 4

2.2.1 Ekologi ... 4

2.2.2 Klasifikasi ... 5

2.2.3 Kandungan Nutrisi ... 5

2.2.4 Khasiat dan Manfaat Sagu ... 6

2.3 Edibel Film ... 7

2.4 Asetilasi ... 9

2.5 Bahan Tambahan ... 9

2.5.1 Asetat Anhidrat ... 9

2.5.2 Hidrogen Klorida (HCl) ... 10

2.5.3 Natrium Hidroksida (NaOH) ... 11

2.5.4 Gliserol ... 12

(10)

x

2.6 Parameter Pengujian ... 13

2.6.1 Kadar Air ... 13

2.6.2 Kadar Protein ... 14

2.6.3 Kadar Abu ... 16

2.6.4 Kadar Lemak ... 17

2.6.5 Kadar Amilosa ... 19

2.6.6 Swelling Power ... 19

2.6.7 Gelatinisasi ... 21

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 22

3.2 Bahan dan Alat ... 22

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.3.1 Penelitian Pendahuluan ... 22

3.3.2 Penelitian Kedua ... 24

3.3.3 Penelitian Ketiga ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Proksimat dan Kimia Pati Sagu Modifikasi ... 30

4.2 Pengujian Edibel Film ... 33

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 39

RIWAYAT HIDUP ... 42

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat Mutu Pati Sagu ... 6 Tabel 2. Hasil Pengujian fisik dan kimia pati sagu ... 30 Tabel 3. Kandungan Air Edible Film ... 34

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tanaman Sagu ... 5 Gambar 2. Rumus Struktur Asetat Anhidrida ... 10 Gambar 3. Rumus Struktur Gliserol ... 12 Gambar 4. Alur Proses Pembuatan Pati Modifikasi Asetat Anhidrida 23 Gambar 5. Alur Proses Pembuatan Edible Film ... 28 Gambar 6. Hasil Sudut Kontak Edible Film ... 33

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Dokumentasi Pembuatan Modifikasi Asetilasi dan Edible Film 37 Lampiran 2. Riwayat Hidup ... 38

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Plastik di Indonesia semakin banyak digunakan untuk bahan kemasan pangan dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data di tahun 2016, Kementrian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat, produksi sampah plastik di Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil sampah domestik sebesar 5,4 juta ton per tahun dikarenakan memiliki sifat yang kuat, tidak mudah pecah, fleksibel serta baik untuk menahan terhadap oksigen, uap air dan karbondioksida. Di Indonesia, kebutuhan plastik semakin meningkat hingga mengalami kenaikan rata-rata 200 ton per tahun (Surono, 2013). Menurut Robetson (1993), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, logam dan kaca. Disamping itu plastik memiliki kelemahan juga, yaitu plastik yang terbuat dari minyak bumi jumlahnya semakin terbatas dan sifatnya yang tidak mudah terurai, akibatnya plastik akan menumpuk yang menjadi penyebab pencemaran lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat di diuraikan (biodegradble) (Henrique et. al., 2007). Dalam industri pangan biodegradable film adalah salah satu plastik yang terbuat dari pati yang menggantikan polimer plastik, karena ekonomis, dapat diperbarui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007).

Fungsi dari pengemas pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Disamping itu, pengemasan berfungsi sebagai wadah agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusiannya. Segi promosi, pengemas berfungsi sebagai daya tarik pembeli. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan edible film adalah sesuatu yang sangat menjanjikan, baik yang terbuat dari karbohidrat, lipid, protein maupun kombinasi dari ketiganya. Keuntungan edible film adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan, dan dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan (Harris, 2001).

(15)

2

Pati adalah salah satu zat gizi penting dalam diet sehari-hari. Menurut Greenwood dan Munro (1979) sekitar 80% kebutuhan energi manusia di dunia dipenuhi oleh karbohidrat. Karbohidrat ini dapat terbuat dari sumber biji-bijian (jagung, padi, gandum), umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang) dan batang (sagu) sebagai cadangan makanan bagi manusia (Sutrisno Koswara, 2009). Pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Salah satu jenis pati adalah Pati Sagu. Pati Sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan teras rumbia atau pohon sagu (Metroxylon sp). Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Pati sagu umumnya digunakan sebagai bahan fungsional dalam industri makanan seperti, pengental (thickener), penstabil (stabilizer), dan pembentuk gel (gelling agent).

Modifikasi pati dapat dilakukan dengan penambahan asam, oksidasi, cross-link, starch eter, dan kationik (Sriroth, 2002) serta pati yang termodifikasi akan dibuat menjadi edible film. Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan (Maulana Karna Wahyu, 2009), (Harris, 2001), (Gonzales et al, 2007), (Rahmi Yulianti (2012), Carolina (2016), Chattopadhyay (1998), Malia (2002), Gunathilake et.al (2008).

Edible Film adalah suatu lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan atau diletakan diantara komponen makanan yang berfungsi sebagai menahan terjadinya perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlaut) dan sebagai pembawa aditif untuk meningkatkan daya tahan suatu makanan (Krochta, 1992). Edible Film pada makanan selain dapat memberikan kualitas produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan pengemas yang ramah lingkunan. Edible Film memberikan dampak positif terhadap dampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbarui dan harganya murah (Bourtoom, 2007). Penerapan edible film dapat memperpanjang daya simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai makanan ( Leedan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon Sp) dengan Metode Asetilasi dalam Pembuatan Edible Film”

(16)

3 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon sp) dengan metode asetilasi dalam pembuatan edible film ?

2. Bagaimana karasteristik fisik dan kimia pada modifikasi pati sagu dengan metode asetilasi dalam pembuatan edible film?

3. Bagaimana Hidrofobitas Edible film pati Sagu setelah termodifikasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon sp.) dengan metode asetilasi dalam pembuatan edible film.

2. Mengetahui karasteristik fisik dan kimia pada modifikasi pati sagu dengan metode asetilasi dalam pembuatan edible film.

3. Mengetahui perbandingan hidrofobitas edible film pati sagu murni dan pati sagu termodifikasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi untuk pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon sp.) dengan metode asetilasi.

2. Memberikan informasi mengenai karasteristik fisik dan kimia pada modifikasi pati sagu dengan metode asetilasi dalam pembuatan edible film.

3. Memberikan informasi mengenai perbandingan hidrofobitas edible film pati sagu murni dan pati sagu termodifikasi.

(17)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pati Sagu

Sagu (Metroxylon sp) adalah tanaman yang tumbuh di Asia Tenggara sebagai tanaman tropis, dengan luas hutan sagu sekitar 20 juta ha tersebar di Asia- Pasifik (Karimet al. 2008). Sebagian besar atau sekitar 50% tanaman sagu dunia berada di Indonesia (Flach, 1997). Produksi pati sagu berkisar 25 ton/hektar/

tahun, sekitar 3 - 4 kali lebih tinggi dari beras, jagung, gandum, dan 17 kali lebih tinggi dari singkong (Karim et al. 2008). Pati sagu umumnya digunakan sebagai bahan fungsional dalam industri makanan seperti, pengental (thickener), penstabil (stabilizer), dan pembentuk gel (gelling agent). Namun pemanfaatan pati sagu belum optimal disebabkan bila pati sagu dimasak, pasta yang terbentuk keras, tidak bening dan sangat lengket. Hal ini yang menjadi kendala dalam aplikasi sebagai bahan baku industri pangan maupun non pangan.

Sementara itu, pati (polisakarida) telah banyak digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan pelapis layak makan (edible coating) karena bersifat biodegradable,bahan baku mudah diperoleh, harga murah dan ramah lingkungan serta meningkatnya permintaan konsumen untuk makanan yang aman pangan (food grade). Selain itu, pati dapat membentuk film (film forming) yang kuat dan transparan dan dapat dengan mudah dimodifikasi sifat dan karakteristiknya (Teressa dan Silva, 2011; Chopin et al. 2014).

2.2.1 Ekologi

Tanaman sagu (genus Metroxylon) merupakan jenis tanaman palma yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis. Tanaman sagu tumbuh pada lahan berlumpur dengan kuantitas air yang sangat bervariasi mulai dari lahan kering sampai lahan tergenang tetap. Makin lama penggenangan lahan pertumbuhan tanaman muda (tunas/semai) sangat pesat tetapi pertumbuhan tanaman pohon sangat lambat serta produksi pati sangat kurang.

Lingkungan yang baik untuk tanaman sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Sagu hidup dalam bentuk

(18)

5

rumpun, dimana dalam satu rumpun terdapat berbagai tingkat/fase pertumbuhan mulai dari tumbuhan muda sampai berbuah.

Gambar 1. Tanaman sagu 2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Tumbuhan Sagu Adalah Sebagai Berikut :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Viridiplantae

Infra Kingdom : Streptophyta

Super Divisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Magnoliopsida

Super Ordo : Lilianae

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Metroxylon Rottb

Spesies : Metroxylon Sagu Rottb

2.2.3 Kandungan Nutrisi Sagu

Pati sagu merupakan sumber karbohidrat yang penting dan diharapkan penggunaannya sebagai diversifikasi pola makanan, maka perlu dikeluarkan standar mutu pati sagu. Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu pati sagu seperti terlihat pada Tabel 1.

(19)

6

Tabel 1. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01 – 3729 – 1995

No Komponen Kandungan

1 Kadar air, % (b/b) Maks. 14

2 Kadar abu, % (b/b) Maks. 0,5

3 Kadar serat kasar, % (b/b) Maks. 0,1 4 Dearjat asam (ml NaOH 1 N/100 g) Maks. 4

5 Kadar SO2 (mg/kg) Maks. 30

6 Jenis pati lain selain pati sagu Tidak boleh ada 7 Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b) Min. 95

8 Total Plate Count (koloni/g) Maks. 106 Sumber.SNI 01-3729-1995

2.2.4 Khasiat dan Manfaat Sagu

Sagu mempunyai prospek yang baik sebagai salah satu sumber utama pangan murah. Pengembangan produk baru dengan komponen utama sagu yang sesuai dengan selera masyarakat diharapkan dapat menjadi pangan sumber karbohidrat siap konsumsi, seperti tepung kering dan mi, sehingga dapat membantu upaya percepatan penganekaragaman pangan yang sedang kita galakkan.

Manfaat dan keunggulan bila kita mengonsumsi aneka makanan yang berasal dari sagu, baik dalam bentuk snack maupun olahan yang berasal dari sagu, antara lain:

a) Dapat memberikan efek mengenyangkan tetapi tidak menyebabkan gemuk.

b) Mencegah sembelit dan dapat mencegah risiko kanker usus.

c) Tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah (indeks glikemik rendah) sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.

Produk ini dapat disebarluaskan kepada masyarakat baik dalam bentuk tepung ataupun yang sudah menjadi hasil industri. Marilah kita angkat pangan lokal kita dari Indonesia ini sebagai cadangan bahan makanan dalam meningkatkan ketahanan pangan kita.

(20)

7 2.3 Edible Film

Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya dan zat terlarut), dan atau sebagai carrier bahan makanan dan bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan. Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan.

Komponen utama penyusun edible film ada tiga kelompok yaitu hidrokoloid, lemak, dan komposit. Kelompok hidrokoloid meliputi protein, derivate sellulosa, alginate, pektin, dan polisakarida lain. Kelompok lemak meliputi wax, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan kelompok komposit mengandung campuran kelompok hidrokoloid dan lemak.

Edible film terbuat dari komponen polisakarida, lipid dan protein. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik terhadap transfer oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari hidrokoloid sangat baik sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaiannya.

Penggunaan lipid sebagian bahan pembuat film secara sendiri sangat terbatas karena sifat yang tidak larut dari film yang dihasilkan.

Kelompok hidrokoloid meliputi protein dan polisakarida. Selulosa dan turunannya merupakan sumber daya organik yang memiliki sifat mekanik yang baik untuk pembuatan film yang sangat efisien sebagai barrier terhadap oksigen dan hidrokarbon dan bersifat barrier terhadap uap air, sehingga dapat digunakan dengan penambahan lipid.

Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak. Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap

(21)

8

oksigen, karbondioksida; serta lipid memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

Edible film umumnya dibuat dari salah satu bahan yang memiliki sifat barrier atau mekanik yang baik, tetapi tidak untuk keduanya. Oleh karena itu, dalam pembuatan edible film mungkin ditambahkan bahan yang bersifat hidrofob untuk memperbaiki sifat penghambatan (barrier) pada edible film.

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.

a) Ketebalan Film (mm)

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile .

b) Tensile strength (Mpa) dan Elongasi (%)

Pemanjangan didefinisikan sebagai persentase perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus. Kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang.

c) Kelarutan Film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam .

d) Laju Transmisi Uap Air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible

(22)

9

film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin .

2.4 Asetilasi

Asetilasi merupakan proses penempelan gugus asetil pada pati sebagai hasil substitusi gugus fungsional hidroksil pada pati. Beberapa penelitian melaporkan bahwa modifikasi pati secara asetilasi dapat memperbaiki karakteristik pati alami. Reaksi asetilasi adalah salah satu contoh reaksi yang banyak digunakandalam sintesis senyawa organik, reaksi ini banyak digunakan baik dalam industri maupun laboratorium. Reaksi yang melibatkan penggantian atom hidrogendengan radikal atau kation asetil.

Agen asetilasi yang umum digunakan untuk industri adalah asetat anhidrida karena lebih murah, tidak mudah mengalami korosi, tidak mudah dihidrolisis, dan reaksinya tidak berbahaya. Untuk sintesis reaksi kimia asetilasi digunakan untuk pembuatan siklik poliamida, enol asetat, dan anhidrida dengan rantai yang lebih panjang (Kinantiningsih, 2012).

Asetilasi adalah molekul organik nitrogen, oksigen, atom karbon menjadi reaksi kelompok CH3CO+asetil dan asetil klorida digunakan sebagai agen asetilasi seperti anhidrida asetat. Asetilasi reagen umum digunakan asetil klorida, anhidrida asetat dan asam asetat, yang klorida paling murah dan mudah untuk mendapatkan asam asetat glasial, asetil respon tercepat.

2.5 Bahan Tambahan 2.5.1 Asetat Anhidrida

Asetat anhidrida merupakan anhidrida dari asam asetat yang struktur antar molekulnya simetris. Asetat anhidrida memiliki berbagai macam kegunaan antara lain sebagai fungisida dan bakterisida, pelarut senyawa organik, berperan dalam proses asetilasi, pembuatan aspirin, dan dapat digunakan untuk membuat acetylmorphine. Asetat anhidrida paling banyak digunakan dalam industri selulosa asetat untuk menghasilkan serat asetat, plastik serat kain dan lapisan (Celanase, 2010).

Asetat anhidrida (C4H6O3) merupakan larutan aktif, tidak berwarna, serta memiliki bau yang tajam. Asetat anhidrida merupakan suatu senyawa yang memiliki kegunaan yang sangat bervariasi. Asetat anhidrida digunakan dalam

(23)

10

pembuatan cellulose asetate, serat asetat, obat-obatan, aspirin, dan berperan sebagai pelarut dalam penyiapan senyawa organik (Kurniawan, 2004).

Asetat anhidrida memiliki rumus struktur seperti gambar di bawah ini:

Gambar 2 Rumus struktur asetat anhidrida 2.5.2 Hidrogen Klorida (HCl)

Hidrogen klorida (HCl) adalah asam monoprotik, yang berarti bahwa dapat berdisosiasi melepaskan satu H+ hanya sekali. Larutan asam klorida, H+ ini bergabung dengan molekul air membentuk ion hidronium, asam klorida dapat digunakan untuk membuat garam klorida, seperti natrium klorida.

Asam klorida adalah asam kuat karena ia berdisosiasi penuh dalam air. Asam klorida dalam konsentrasi menengah cukup stabil untuk disimpan dan terus mempertahankan konsentrasinya. Oleh karena alasan inilah, asam klorida merupakan reagen pengasam yang sangat baik (Chafetz, 1971).

a) Sifat Fisika

Massa atom 36,45 Massa jenis 3,21 gr/cm3.

Titik leleh -1010C

Energi ionisasi 1250 kj/mol Kalor jenis 0,115 kal/gr0C

Pada suhu kamar, HCl berbentuk gas yang tak berwarna Berbau tajam.

b) Sifat Kimia

HCl akan berasap tebal di udara lembab.

Gasnya berwarna kuning kehijauan dan berbau merangsang.

Dapat larut dalam alkali hidroksida, kloroform, dan eter.

Merupakan oksidator kuat.

Berafinitas besar sekali terhadap unsur-unsur lainnya, sehingga dapat Racun bagi pernapasan.

(24)

11 2.5.3 Natrium Hidroksida (NaOH)

Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri.

Suatu katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk.

Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi.

Katalis menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah.

Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi. Katalis dapat dibedakan ke dalam dua golongan utama.

Katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis heterogen adalah katalis yang ada dalam fase berbeda dengan pereaksi dalam reaksi yang dikatalisinya, sedangkan katalis homogen berada dalam fase yang sama. Satu contoh sederhana untuk katalisis heterogen yaitu bahwa katalis menyediakan suatu permukaan di mana pereaksi- pereaksi (atau substrat) untuk sementara terserap. Ikatan dalam substrat-substrat menjadi lemah sedemikian sehingga memadai terbentuknya produk baru. Ikatan antara produk dan katalis lebih lemah, sehingga akhirnya terlepas

Natrium Hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium Hidroksida membentuk larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan dalam air. Natrium Hidroksida digunakan diberbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses pembuatan bubur kayu dan kertas,tekstil, air minum, sabun dan detergen. Natrium Hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia.

a) Sifat Fisik NaOH

Berbentuk pipih padat dan tersedia dalam bentuk pellet, serpihan dan butiran ataupun larutan jenuh 50%.

Bersifat lembab cair secara spontan Titik leleh 3180C

Titik didih 13900C Padatan berwarna putih b) Sifat Kimia NaOH

Menyerap karbon dioksida dari udara bebas

(25)

12

Sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan.

Larut dalam etanol dan methanol

Tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya

Larutan Natrium Hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas

Sangat mudah terionisasi membentuk ion natrium dan hidroksida 2.5.4 Gliserol

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, gliserol adalah cairan kental tidak berwarna dan tidak berbau, rasanya manis dapat bercampur dengan air dan alkohol yang diperoleh dari lemak hewani atau nabati atau dari fermentasi glukosa, digunakan sebagai bahan kosmetik, pengawet obat-obatan, pelembap buah-buahan atau tembakau. Gliserol dalam jumlah besar digunakan dalam pembuatan obat, kosmetik, pasta gigi,busa uretan, resin sintetis dan lain-lain.

Sejumlah besar pemrosesan tembakau danmakanan juga menggunakan gliserol, baik dalam bentuk gliserin ataupun gliseridanya (Appleby, 2005). Gliserol yang diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau minyak adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan mempunyai rasa yang agak manis, larut dalam air dan tidak larut dalam eter (Poedjiadi, 2006).

Gliserol dapat menyerap air dari udara, serta menyerap gas H2S, HCN dan gas NO2. Gliserol bersifat netral terhadap lakmus dan akan memadat pada pendinginan suhu 0oC, membentuk kristal ortorombik, kemudian kristal akan melebur kembali pada suhu 17,8oC (Supriyanto, 1987).

Gliserol mempunyai satu gugus hidroksil (-OH) sekunder dan dua gugus hidroksil primer. Dengan adanya ketiga gugus hidroksil ini memungkinkan gliserol mengalami reaksi asilasi dengan gugus asil (acyl group) (Supriyanto, 1987).

Gambar 3. Rumus struktur gliserol

(26)

13

Gliserol memiliki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan zat aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses agar plastik lebih halus dan luwes. Fungsinya untuk memisahkan bagian-bagian dari rantai molekul yang panjang. Penambahan gliserol pada edible film adalah untuk meningkatkan elastisitas edible film.

2.6 ParameterPengujian 2.6.1 Kadar Air

Kadar air adalah persentase kandungan air pada suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen (Anonim, 2010).

Air yang terdapat dalam suatu sampel bahan sesuai dengan yang ada pada Anonim (2010) terdapat dalam tiga bentuk:

a) Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antarsel dan intergranular dan pori- pori yang terdapat pada bahan.

b) Air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan koloid makromolekulaer seperti protein, pektin pati, sellulosa.

Selain itu air juga terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada di dalam sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan.

c) Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya berifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak membeku meskipun pada suhu 00 C.

Kadar air merupakan pemegang peranan penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses

(27)

14

mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya.

Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana air bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut (Anonim, 2010).

Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis). Dalam penentuan kadar air bahan pangan biasanya dilakukan berdasarkan obot basah. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut:

KA = (Wa / Wb) x 100% (Taib, 1988).

Teknologi pengawetan bahan pangan pada dasarnya adalah berada dalam dua alternatif yaitu yang pertama menghambat enzim-enzim dan aktivitas/pertumbuhan mikroba dengan menurunkan suhunya hingga dibawah titik beku 0oC dan yang kedua adalah menurunkan kandungan air bahan pangan sehingga kurang/tidak memberi kesempatan untuk tumbuhnya mikroba dengan pengeringan kandungan air yang ada di dalam maupun di permukaan bahan pangan, hingga mencapai kondisi tertentu (Suharto, 1991).

Berdasarkan kadar air (bobot basah dan bobot kering) dan bahan basah maupun bahan setelah dikeringkan, dapat ditentukan rasio pengeringan (drying ratio) dari bahan yang dikeringkan tersebut. Besarnya drying ratio dapat dihitung sebagai bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan setelah pengeringan.

Dapat dihitung dengan rumus: drying ratio = bobot bahan sebelum pengeringan/bobot bahan setelah pengeringan (Winarno, 1984).

Terdapat beberapa macam metode untuk menentukan kadar air dalam bahan makanan, tergantung pada sifat bahan yang akan di analisis. Penentuan kadar air bahan pangan. Penetapan kadar air bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan sejumlah sample dalam oven pada suhu 105-110oC selama 3 jam atau hingga didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.

2.5.2 Kadar Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga

(28)

15

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam- asam amino yang mengandung unsur-unsur C,H,O dan N yang tidak di miliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsure logam seperti besi dan tembaga. Sebagai zat pembangun protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan proses pembentukan jaringan terjadi secara besar-besaran, pada masa kehamilan proteinlah yang membenuk jaringan janin dan pertumbuhan embrio. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang di rombak.

Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada.

Protein dapat juga di gunakan untuk bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh baik langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotic koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah. Sifat atmosfer protein yang yapat bereaksi dengan asam dan basa, dapat mengatur keseimbangan asam-basa dalam tubuh.

Protein dalam tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan, bertindak sebagai bahan membran sel, dapat membentuk jaringan pengikat misalnya kolagen dan elastin, serta membentuk protwin yang inert seperti rambut dan kuku. Di samping itu protein yang bekerja sebagai enzim, bertindak sebagai plasma (albumin), membentuk antibody, membentuk komplek dengan molekul lain, serta dapat bertindak sebagai bagian sel yang bergerak. Kekurangan protein dalam waktu lama dapat menggaggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunnkan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Fungsi protein adalah:

a) Sebagai bahan bakar atau energi karena mengandung karbon, maka dapat digunakan oleh tubuh sebagai bahan bakar. Protein akan dibakar manakala keperluan tubuh akan energi tidak diterpenuhi oleh lemak dan karbohidrat;

(29)

16

b) Sebagai zat pengatur yaitu mengatur berbagai proses tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai bahan pembentuk zat-zat yang mengatur berbagai proses tubuh;

c) Sebagai zat pembangun yaitu untuk membantu membangun sel-sel yang rusak maupun yang tidak rusak. Kebutuhan protein meningkat sesuai dengan pertambahan umur.

2.5.3 Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Aprilianto, 1988).

a) Garam organik: garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat b) Garam anorganik: garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat c) Senyawa komplek: klorofil-Mg, pektin-Ca, mioglobin-Fe, dll

d) Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara pengabuannya.

Penentuan kandungan mineral dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penentuan abu total dan penentuan individu komponen mineral (makro & trace mineral) menggunakan titrimetrik, spektrofotometer, AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer). Pengabuan merupakan tahapan persiapan contoh yang harus dilakukan dalam anailisis elemen-elemen mineral (individu). Metode pengabuan terdiri dari dua cara yaitu pengabuan basah dan pengabuan kering.

Pada penelitian kali ini, akan dilakukan penentuan kadar abu dengan metode pengabuan kering. Sedangkan sampel yang akan digunakan adalah pati sagu modifikasi. Metode pengabuan kering adalah metode pengabuan dengan menggunakan tanur ( 5000C – 6000C) selama ± 3 jam.

Pengabuan ini menggunakan panas tinggi dan adanya oksigen. Biasanya digunakan dalam analisis kadar abu . Metode pengabuan cara kering banyak dilakuakan untuk analisis kadar abu. Caranya adalah dengan mendestruksi komponen organik contoh dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur (furnace)

(30)

17

pengabuan, tanpa terjadi nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat tetap (konstan) tercapai. Oksigen yang terdapat di dalam udara bertindak sebagai oksidator. Oksidasi komponen organik dilakukan pada suhu tinggi 500-6000C. Residu yang tertinggal ditimbang dan merupakan total abu dari suatu contoh (Fauzi, 2006).

Sampel yang digunakan pada metode pengabuan kering ditempatkan dalam suatu cawan pengabuan yang dipilih berdasarkan sifat bahan yang akan dianalisis serta jenis analisis lanjutan yang akan dilakukan terhadap abu. Jenis- jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan cawan antara lain adalah kuarsa, vycor, porselen, besi, nikel, platina, dan campuran emas-platina. Cawan porselen paling umum digunakan untuk pengabuan karena beratnya relatif konstan setelah pemanasan berulang-ulang dan harganya yang murah. Meskipun demikian cawan porselen mudah retakk, bahkan pecah jika dipanaskan pada suhu tinggi dengan tiba-tiba.

Sebelum diabukan, sampel-sampel basah dan cairan biasanya dikeringkan lebih dahulu di dalam oven pengering. Pengeringan ini dapat pula dilakukan menentukan kadar air sampel. Pra-pengabuan dilakukan di atas api terbuka, terutama untuk sampel-sampel yang seluruh sampel mengering dan tidak mengasap lagi. Setelah perlakuan ini, baru sampel dimasukkan ke dalam tanur (furnace). Apabila pengabuan yang berkepanjangan tidak dapat menghasilkan abu bebas karbon (carbon free ash), residu harus dibasahi lagi dengan air, dikeringkan dan kemudian diabukan sampai didapat abu berwarna putih ini, residu dapat pula diperlakukan dengan hidrogen peroksida, asam nitrat dan atau asam sulfat, tetapi perlu diingat bahwa perlakukan ini akan mengubah bentuk mineral yang ada di dalam abu (Fauzi, 2006). Jika diperlukan, dapat pula residu yang belum bebas karbon dilarutkan dalam sejumlah kecil air dan kemudian disaring dengan kertas saring berkadar abu rendah. Kedua bagian ini kemudian diabukan kembali secara terpisah.

2.5.4 Kadar Lemak

Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak (contohnya A, D, E, dan K),

(31)

18

monogliserida, digliserida, fosfolipid, glikolipid, terpenoid (termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Lemak secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa(Anonim 2010).

Mengekstraksi lemak secara murni sangat sulit dilakukan, sebab pada waktu mengekstraksi lemak, akan terekstraksi pula zat-zat yang larut dalam lemak seperti sterol, phospholipid, asam lemak bebas, pigmen karotenoid, khlorofil, dan lain-lain. Pelarut yang digunakan harus bebas dari air agar bahan-bahan yang larut dalam air tidak terekstrak dan terhitung sebagai lemak dan keaktifan pelarut tersebut menjadi berkurang. Pelarut ini seperti dietil eter, hexana, benzena, dan lain-lain.

Ada dua kelompok umum untuk mengekstraksi lemak yaitu metode ekstraksi kering dan metode ekstraksi basah. Metode kering pada ekstraksi lemak mempunyai prinsip bahwa mengeluarkan lemak dan zat yang terlarut dalam lemak tersebut dari sampel yang telah kering benar dengan menggunakan pelarut anyhidrous. Keuntungan dari dari metode kering ini, praktikum menjadi amat sederhana, bersifat universal, dan mempunyai ketepatan yang baik. Kelemahannya metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama, pelarut yang digunakan mudah terbakar dan adanya zat lain yang ikut terekstrak sebagai lemak.

Prinsip soxhlet ialah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya sehingga terjadi ekstraksi kontiyu dengan jumlah pelarut konstan dengan adanya pendingin balik. Metode soxhlet ini dipilih karena pelarut yang digunakan lebih sedikit (efesiensi bahan) dan larutan sari yang dialirkan melalui sifon tetap tinggal dalam labu, sehingga pelarut yang digunakan untuk mengekstrak sampel selalu baru dan meningkatkan laju ekstraksi. Waktu yang digunakan lebih cepat. Kerugian metode ini ialah pelarut yang digunakan harus mudah menguap dan hanya digunakan untuk ekstraksi senyawa yang tahan panas.

Alat yang paling sering digunakan dalam metode ini adalah soxhlet, dimana efisiensi ekstraksi lebih baik dari pada metode Batch Solvent Extraction.

Sampel dikeringkan, dihaluskan dan diletakkan dalam thimble berpori. Thimble diletakkan dalam alat soxhlet yang dihubungkan dengan kondensor. Labu soxhlet

(32)

19

dipanaskan, solven menguap, terkondensasi dan masuk ke bejana ekstraksi yang berisi sampel, dan mengesktraksi sampel. Lemak tertinggal di labu karena perbedaan titik didih. Pada akhir ekstraksi, solven diupakan dan massa lemak yang tersisa ditimbang.

2.5.5 Kadar Amilosa

Amilosa (polisakarida yang linier) dan amilopektin (polisakarida yang bercabang) adalah komponen dari pati. Pati adalah karbohidrat terbesar dalam tanaman berklorofil. Tiap jenis pati tertentu disusun oleh kedua fraksi tersebut dalam perbandingan yang berbeda-beda.

Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air, pada umumnya amilosa menyusun pati 17–21 %. Polimer amilosa tersusun dari glukosa sebagai monomernya, setiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati (Anonim, 2010). Umumnya pati mengandung 15-30 % amilosa, 70-85 % amilopektin sedangkan 5- 10 % adalah bahan antara.

Dalam aplikasinya, amilosa banyak digunakan sebagai bahan makanan karena mempunyai sifat dapat memberi efek keras atau pera dalam bahan makanan. Selain itu, amilosa banyak digunakan sebagai sediaan farmasi terutama pada formula sediaan tablet, baik sebagai pengisi, penghancur, maupun sebagai bahan pengikat.Kadar amilosa dalam suatu bahan makanan dapat diketahui secara spektrofotometrik berdasarkan prinsip bahwa amilosa akan berwarna biru jika bereaksi dengan senyawa iodin. Intensitas warna biru akan berbeda tergantung dari kadar amilosa dalam bahan. Semakin pekat konsentrasi warna biru maka semakin tinggi kadar amilosa dalam suatu bahan tersebut.

2.5.6 Swelling Power

Daya pembengkakan (swelling power) adalah kekuatan tepung untuk mengembang, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain, seperti amilosa, amilopektin dan suhu. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengembangan adalah daya pembengkakan (swelling power). Definisi Daya kembang pati (swelling power) didefinisikan sebagai pertambahan pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopan et al., 1988).

(33)

20

Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Swelling menghasilkan massa kental terdiri dari fasa kontinyu dari amilosa terlarut dan amilopektin (Anna, 2005). Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002).

Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Swinkles (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi bagian amorfus pada granula pati dapat menyerap air sampai 30% tanpa merusak struktur misel. Jika suspensi dipanaskan maka akan terjadi pembengkakan granula. Awalnya pembengkakan granula bersifat reversible tetapi jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula menjadi irreversible dan terjadi perubahan struktur granula. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55- 65oC merupakan pembengkakan sesungguhnya. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali ke kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Gugus hidroksil bebas yang terdapat pada proses gelatinisasi akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati. Karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Faktor- faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah kandungan amilosa dan ukuran granula pati. Perbandingan pati dan air dalam swelling semakin kecil perbandingan pati dengan air maka nilai swelling power dan nilai kelarutan semakin besar (Adity, 2009). Peningkatan swelling power akibat pemanasan suspensi pati pada suhu yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa yang semakin rendah atau amilopektin dalam pati lebih tinggi. 𝑆𝑤𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟 = 𝑊𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑒𝑡 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑡 ( ) 𝑊𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑑𝑟𝑦 𝑓𝑙𝑜𝑢𝑟 ( ) 𝑥 100% Swelling power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air (Suriani, 2008)

(34)

21 2.5.7 Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan mulai bengkak namun terbatas, sekitar 30% dari berat tepung. Proses pemanasan adonan tepung akan menyebabkan granula semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Suhu dimana pembengkakan maksimal disebut dengan suhu gelatinisasi. Selanjutnya pengembangan granula pati juga disebabkan masuknya air ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul penyusun pati. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul–molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Bila suhu suspensi naik, maka ikatan hidrogen makin lemah, sedangkan energi kinetik molekul-molekul air meningkat, memperlemah ikatan hidrogen antar molekul air. Tian et al., (1991) menyatakan bahwa bila pati dipanaskan dalam suhu kritikal dengan adanya air yang berlebih granula akan mengimbibisi air, membengkak dan beberapa pati akan terlarut dalam larutan yang ditandai dengan perubahan suspensi pati yang semula keruh menjadi bening dan tentunya akan berpengaruh terhadap kenaikan viskositas.

(35)

22 BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2018 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Kimia, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK) Tangerang Selatan, Serpong.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan yaitu pati sagu murni yang berasal dari Ambon. Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan pati modifikasi yaitu asetat anhidrida, NaOH, kertas pH dan HCl . Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan edible film adalah aquades dan gliserol.

Peralatan yang digunakan dalam modifikasi pati sagu asetilasi adalah beker gelas, stirrer, pipet tetes dan bulb. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah cawan petri, beker gelas, hotplate, waterbath, alat pengujian lemak, alat pengujian spektrofotometer, dan alat-alat lain untuk analis.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk pembuatan pati sagu asetilasi yang bertujuan untuk menentukan penggunaan asetat anhidrida yang terbaik dari beberapa variasi perlakuan pemberian asetat anhidrida 7,5 ml, 15 ml, 30 ml, 45 ml. Penilaian didasarkan pada hasil pengujian Proksimat dan Derajat Subtitusi terbaik. Diagram alir proses pembuatan pati sagu modifikasi asetilasi dapat dilihat pada gambar 4. Pati sagu murni ditimbang sebanyak 100 gram dan ditambahkan H20 sebanyak 230 ml. Dilakukan pengadukan menggunakan stirrer selama 30 menit. Setelah menjadi suspensi pati dimasukkan asetat anhidrida sebanyak 7,5 ml , 15 ml, 30 ml, dan 45 ml kemudian ukur PH. Tambahkan NaOH 6% hingga PH menjadi 8-9, Stirrer 15 menit setelah menjadi bubur pati ditambahkan HCl 5% hingga PH berubah menjadi 5. Hentikan stirrer dan biarkan larutan mengendap. Cuci menggunakan H20 350 ml sambil disaring. Lakukan

(36)

23

pengeringan pada suhu ruang hingga 5 hari. Setelah Pati kering, dilakukan penyaringan menggunakan saringan 250 mesh.

Gambar 4. Alur proses pembuatan pati modifikasi dengan metode asetilasi Stirerr

Suspensi I

Suspensi II

pH 8-9 Stirerr, t= 15 menit

pH5-6

Endapan Pati Asetilasi

Pencucucian

Pengeringan (T= 250C, t= 120 jam)

Penyaringan Pati Sagu

Asetat Anhidrida

NaOH 6%

Bubur Pati HCl 10%

Pati Sagu Modifikasi

(37)

24

Pati sagu modifikasi yang dihasilkan, kemudian dianalisis. Beberapa parameternya antara lain kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar amilosa, temperatur gelatinisasi, swelling power dan Derajat Subtitusi

3.3.2 Penelitian Kedua

Penelitian kedua bertujuan untuk mengkarakterisasi pati sagu yang telah dimodifikasi berdasarkan variasi penambahan asetat anhidrida. Adapun parameter pengujiannya yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar amilosa, temperature gelatinisasi, swelling power dan Derajat Subtitusi.

3.3.2.1 Kadar Air (AOAC. 2000)

Cawan porselen kosong kering dengan kondisi tertutup dioven dengan suhu 1050C selama 3 jam. Kemudian dipindahkan kedalam desikator hingga dingin, lalu cawan porselen ditimbang. Sebanyak 1,5 g sampel ditimbang kedalam cawan kemudian ditutup lalu di oven dengan suhu 1050C selama 3 jam. Setelah kering, cawan berisi sampel dipindahkan kedalam desikator. Setelah dingin kemudian cawan berisi sampel ditimbang kembali dan dihitung jumlah kadar airnya menggunakan rumus sebagai berikut:

% Kadar air = 𝑊1−𝑊2𝑊 𝑥 100 Keterangan :

W = Berat Sampel

W1 = Berat cawan+sampel sebelum dikeringkan W2 = Berat cawan+sampel setelah dikeringkan 3.3.2.2 Swelling Power (Onyango et al. 2013)

Sampel sebanyak 0,5 g dilarutkan dalam 50 ml aquades dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 100 ml yang telah diketahui bobotnya. Suspensi tersebut ditempatkan pada pengangas air dengan suhu 70°C selama 2 jam dengan pengadukan kontinyu . Sebanyak 30 ml larutan yang jernih dimasukkan ke cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Keringkan cawan berisi larutan dalam oven suhu 100°C sampai bobot cawan tetap. Hitung kenaikan bobot cawan.

Kelarutan = Penambahan bobot (g)× 50 ml

Bobot sampel (g)× Larutan jernih yang diambil (ml) x 100 Swelling power (%) = Bobot pasta yang mengendap

Bobot sampel×(100− % kelarutan) x 100

(38)

25

3.3.2.3 Kadar Lemak (Sudarmadji dan Slamet. et al. 1996)

Sebanyak 2 g pati modifikasi A, B, C dan D dimasukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Solongsong kertas berisi sampel dimasukkan kedalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan diketehui bobotnya. Lalu di extrak dengan N-heksan selama 6 jam. Ekstrak lemak kemudian dipindahkan kedalam oven dengan suhu 1050C lalu dipindahkan ke desikator untuk didinginkan dan kemudian ditimbang. Pengeringan diulang hingga bobot konstan.

% Lemak =𝑊2−𝑊1𝑊 × 100%

Keterangan : W = Bobot sampel

W1 = Bobot erlenmeyer sebelum dikeringkan W2 = Bobot erlenmeyer setelah dikeringkan 3.3.2.4 Kadar Abu (Anonim. 2011)

Cawan kosong dengan kondisi tertutup di masukkan ke dalam furnace dengan suhu 5500C selama 24 jam. Kemudian pindahkan kedalam desikator dan disimpan selama 30 menit. Kemudian cawan kosong ditimbang dengan penutupnya dengan 3 angka desimal. Lalu tambahkan 5 g sampel pati sagu didalam cawan kemudian ditimbang. Kemudian cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam furnace dengan suhu 2000C dan 5500C selama 6 jam. Setelah itu dinginkan kedalam desikator selama 30 menit dan pastikan sampel sudah jadi abu. Kemudian timbang cawan dengan kodisi tertutup dan lakukan perhitungan sebagai berikut :

% Kadar Abu =𝑓2−𝑓1𝑤 × 100%

Keterangan : w = berat sampel sebelum furnace (g) F1 = berat sampel sebelum furnace (g) F2 = berat cawan kosong setelah furnace (g) 3.3.2.5 Temperatur Gelatinisasi (Tessa, 2005)

Pati sagu ditimbang sebanyak 1,5 g dan tambahkan H2O sebanyak 10 ml kemudian diukur pHnya. Larutan distirrer didalam waterbath. Gunakan termometer untuk mengetahui suhu saat terbentuk gel atau warna larutan milky.

Hitunglah waktu yang dibutuhkan hingga larutan menjadi gel. Temperatur pada saat terbentuknya gel itulah dinamakan temperatur gelatinisasi.

(39)

26 3.3.2.6 Kadar Amilosa (Anonim. 2010)

a) Penetapan Standar Amilosa

Amilosa murni ditimbang 0,01 dimasukkan ke dalam beker gelas, lalu ditambahkan 0,25 ml etanol 95%. Kemudian ditambahkan 2,25 NaOH dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan suhu 500C. Setelah itu ditambahkan H2O dan ditera dalam 25 ml. Siapkan labu ukur 50 ml 5 buah dan masing-masing diberi label 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 20 ppm. Lalu pada masing-masing labu dipipet amilosa murni 1 ml (4 ppm), 2 ml (8 ppm), 3 ml (12 ppm), 4 ml (16 ppm), 5 ml (20 ppm). Kemudian tambahkan CH3COOH 0,2 ml ( 4 ppm), 0,4 ml (8 ppm), 0,6 ml (12 ppm), 0,8 ml (16 ppm), 1 ml ( 20 ppm). Kemudian ditambahkan Iod 2 ml pada masing-masing larutan lalu tera kedalam labu 100 ml. Diamkan 20 menit dan ukur absorbansi λ= 620 nm.

b) Pengujian Kadar Amilosa pada Sampel

Sampel ditimbang 100 mg + 1 ml etanol 95% ditambahkan 9 ml NaOH 1 N dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan suhu 500C.

Tambahkan H2O hingga tera dalam labu 100 ml, dikocok. Diambil 1 ml sampel ke dalam labu 50 ml dan tambahkan 1 ml CH3COOH 1N dan 2 ml Ki 2% ditera dengan H2O. Diamkan selama 20 menit hingga berubah warna. Kemudian ukur absorbansi λ= 620 dan hitung kadar amilosa dalam rumus :

Kadar amilosa % = Absorbansi ×Fk ×volume titer ×100

Berat Sampel × 100

Dimana, Fk = 𝐴𝑏𝑠 1

𝑝𝑝𝑚𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

3.3.2.7 Kadar Protein (Sudarmadji et al,. 1996)

Pati sagu ditimbang 5 g lalu dilarutkan dengan aquades didalam labu ukur 100 ml hingga tera. Kemudian 10 ml suspensi pati sagu diambil dan dipindahkan kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan 20 ml aquades , 0.4 ml K2SO4 0.5 M dan 3- 4 tetes indikator PP. Kemudian dititrasi kembali dengan NaOH 0.1 N. Lalu larutkan blanko dititrasi dan dihitung sesuai dengan rumus sebagai berikut :

Kadar N % = (V titer sampel−V titer blanko)×N NaOH ×100 ×14,008 Berat sampel ×1000

Kadar Protein = %N × Fk (6,25)

(40)

27 3.3.3Penelitian Ketiga

Pembuatan edible film dari penelitian tahap kedua yang menghasilkan pati sagu modifikasi yang terbaik (45 ml asetat anhidrida) yang diliat dari pengujian parameter, digunakan sebagai acuan pembuatan edible film. Adapun alaur proses pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 5.

Sampel pati modifikasi asetilasi 45 ml asetat anhidrida sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam beker gelas 100 ml dan ditambahkan H2O sesuai variasi (125, 100, 75, dan 50 ml) lalu dipanaskan ke dalam hot plate sampai membentuk gel. Sampel yang sudah terbentuk gel ditambahkan gliserol sesuai variasi (1,25;

1; 0,75; 0,5 ml) aduk sampai rata. Setelah itu dituang ke dalam cawan yang sudah disediakan kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 500C selama 24 jam.

pengeringan di suhu 280C kurang lebih 3 hari.

(41)

28

Gambar 5. Pembuatan edible film 3.4 Krakterisasi Edible Film

3.4.1 Kandungan Air (Genevois et al., 2016)

Kelembaban sampel film ditentukan dengan menerapkan metode gravimetric dua langkah. Pertama, sampel dikeringkan dalam oven (110 ° C – 24 jam) dan, kedua, disimpan dalam desikator sampai berat konstan tercapai. Hasil akhir dinyatakan sebagai g air per 100 g film kering.

Kadar Air %= Mo−MMo × 100%

Keterangan: Mo = berat sampel sebelum pengeringan (g) M = berat erlenmeyer setelah pengeringan (g)

Pati Sagu Modifikasi

Pemanasan (T=50 : t=15 menit)

Penuangan

Pengovenan (T=50°C : t=24 jam)

Pengeringan (T=280C ; t= 120 jam)

Edible Film H2O

Gliserol

(42)

29

3.5.1 Hidrofobik Permukaan (Bangyekan et al., 2005)

Sudut kontak dari film yang disiapkan dinilai dengan prosedur yang direkomendasikan oleh Bangyekan et al (2005). Sebuah model pengukur sudut kontak CAM-PLUS MICRO (Tantec Inc., USA) digunakan untuk mengevaluasi keterbasahan sampel film.

3.6 Rancangan Penelitian

Data hasil penelitian akan dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

Gambar

Gambar 4. Alur proses pembuatan pati modifikasi dengan metode asetilasi Stirerr Suspensi I Suspensi II pH 8-9  Stirerr, t= 15 menit pH5-6
Gambar 5. Pembuatan edible film  3.4  Krakterisasi Edible Film

Referensi

Dokumen terkait

Di Kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung menunjukkan tingginya gonorrhoeae mencapai 7,4% - 50% (Lina, 2011). Data yang diperoleh dari RSU Dr. Model

Faktor pendukung aktivitas PMII Rayon Dakwah adalah PMII menjadi organisasi mayoritas di UIN Walisongo Semarang, PMII mempunyai kader yang terbanyak dibandingkan

kelas X, salah satunya adalah mata pelajaran dasar proses pengolahan pangana. yang didalamnya ada kompetensi dasar regulasi penggunaan Bahan

E-Mail (Electronic Mail) dengan fasilitas ini dapat mengirim dan menerima surat elektronik ( e-mail ) pada atau dari pemakai komputer lain yang terhubung di

yang berjudul : “ Kandungan Gizi dan Daya Terima Mi Basah Dengan Penambahan Tepung Ikan Gabus (Channa Striata Sp) dan Sari Daun Pandan Wangi (Pandamus Amarylifolius

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian lapangan (field research), sifat penelitian deskriptif, yaitu : menceritakan keadaan yang ada di

PENGUKURAN FUNGSI MEMORI MENCIT JANTAN GALUR BALB/C DENGAN PENGARUH MUSIK KERONCONG untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa: remediasi dengan model pembelajaran Problem Based Learning dapat