• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI JURNALISME ADVOKASI DALAM FILM DOKUMENTER SEXY KILLERS PRODUKSI WATCHDOC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI JURNALISME ADVOKASI DALAM FILM DOKUMENTER SEXY KILLERS PRODUKSI WATCHDOC"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI WATCHDOC

Skripsi

Diajukun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Khurun In Umama NIM: 11150510000225

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/ 2021 M

(2)

i

LEMBAR PERSETUJUAN

IMPLEMENTASI JURNALISME ADVOKASI DALAM FILM DOKUMENTER SEXY KILLERS PRODUKSI

WATCHDOC Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Khurun In Umama NIM 11150510000225

Pembimbing

Drs. Helmi Hidayat, M.A NIP. 19650426 201411 1 001

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(3)

ii

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Khurun In Umama NIM : 11150510000225

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Implementasi Jurnalisme Advokasi Dalam Film Dokumenter Sexy Killers Produksi Watchdoc adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan Tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.

Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Tangerang Selatan, 25 Juli 2021

Khurun In Umama 11150510000225

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI JURNALISME ADVOKASI DALAM FILM DOKUMENTER SEXY KILLERS PRODUKSI WATCHDOC” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) Program Studi Jurnalistik.

Jakarta, 02 Agustus 2021 Sidang Munaqosah

Ketua

Kholis Ridho, M.Si NIP. 19780114 200912 1 002

Sekretaris

Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA NIP. 19710412 200003 2 001 Anggota

Penguji I

Siti Nurbaya, M.Si NIP. 197908232009122002

Penguji II

Ali Irfani, M.HI NIDN. 2008087803

Dosen Pembimbing

Drs. Helmi Hidayat, M.A NIP. 19650426 201411 1 001

(5)

iv

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT. Berkat nikmat dan kuasa-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik tanpa halangan berarti. Sholawat serta salam juga tak lupa peneliti haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Dalam menyelesaikan skripsi ini peneliti mengalami banyak pengalaman baru. Perasaan putus asa yang sempat muncul di awal pengerjaan berubah menjadi kelegaan bercampur kepuasan saat skripsi telah selesai. Penyelesaian skripsi ini tidak hanya menambah wawasan keilmuan bagi peneliti sendiri namun juga mengajarkan untuk tidak mudah putus asa dalam mengerjakan sesuatu.

Berbagai hambatan yang peneliti temui saat mengerjakan skripsi ini pada akhirnya bisa terselesaikan. Tentu banyak orang yang berjasa membantu peneliti untuk menyelesaikannya. Pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang rela meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu:

1. Orangtua tercinta, Ayahanda Damad Bakhtiar dan Ibunda Siti Maftuhah yang telah mendukung peneliti secara penuh untuk belajar dan menuntut ilmu di manapun. Doa mereka juga lah yang dapat membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

(6)

v

2. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.

3. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Suparto, M.Ed Ph.D, Wakil Dekan I Bidang Akademik, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

4. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si., Serketaris Jurusan Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah meluangkan waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal perkulihan.

5. Drs. Helmi Hidayat, M.A yang telah membimbing penelitian ini dengan sangat baik. Peneliti juga mendapatkan banyak ilmu selama masa bimbingan yang semoga akan bermanfaat untuk ke depannya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau sikap yang menyinggung selama perkulihan.

7. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tela berbaik hati dalam meberikan buku-buku yang dibutuhkan oleh peneliti.

8. Ari Trismana sebagai Produser Eksekutif Watchdoc yang telah bersedia diwawancarai oleh peneliti.

(7)

vi

9. Nurul Wahidah Auliani, S. Pd yang telah mendukung, membimbing, dan memberi motivasi peneliti untuk menyelesaikan studi.

10. Sahabat seperjuangan Aimia, Fizna, dan Ana yang sudah menjadi keluarga baru di perantauan, semoga kalian sehat dan sukses selalu.

11. Fitri Novianti, S.Sos, Rizky Aulia S.Sos, dan Dewi Rahmayuni, S.Sos yang telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini.

12. Teruntuk sahabat Angkatan RPTRA Mawar Desi Hariyati, Nurazizah, Khanifah Nuraisyiah, dan Bayed Izwah yang menjadi penghibur di kala sedih serta sumber motivasi.

13. Keluarga besar KSR Palang Merah Indonesia Unit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan tempat dan waktu bagi peneliti untuk belajar berorganisasi.

14. Keluarga besar Generasi Baru Indonesia (GENBI) yang telah mendukung penulis secara moril maupun materil.

15. Teman-teman Jurnalistik 2015 terkhusus sahabat seperjuangan: Eka Nurbaeti Ardilla, Ranty Aprilia, Siska Mailana Putri, Sinta Marsela, Nur Fauziah, dan Fana Tri Astuti yang selalu menjadi tempat berbagi dan belajar banyak hal di dalam kelas, semoga silaturahmi di antara kami tidak terputus sampai di sini.

16. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang tidak dapat disebutan stau persatu. Semoga amal dan kebaikan kalian selalu dijabah oleh Allah SWT.

(8)

vii

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan dapat bermanfaat untuk para pembaca, memberikan nilai kebaikan khususnya bagi peneliti maupun pembaca sekalian dan semoga dapat menjadi kebaikan dalam bidang dakwah dan komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 2 Agustus 2021

Khurun In Umama

(9)

viii 11150510000225

Implementasi Jurnalisme Advokasi dalam Film Dokumenter Sexy Killers Produksi Watchdoc

Film Sexy Killers menyoroti persoalan lingkungan hidup, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan oligarki politik bisnis pertambangan batubara. Film ini menceritakan bagaimana dampak besar pertambangan batubara dan PLTU terhadap masyarakat dan lingkungan. Ketika sebagian besar media arus utama melihat peristiwa hanya dari sisi luarnya saja, film ini justru mendokumentasikan hal-hal yang luput dari pemberitaan media massa. Pendek kata, jurnalisme advokasi bisa digunakan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja.

Dalam film tersebut, sejumlah politisi top di Indonesia termasuk para calon pemimpin seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno digadang-gadang memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang besar dalam bisnis batubara di Indonesia.

Berdasarkan konteks di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik jurnalisme advokasi yang dilakukan Watchdoc diterapkan dalam film dokumenter Sexy Killers berdasarkan konsep enam unsur jurnalisme advokasi.

Teori yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah teori analisis semiotika Rolland Barthes dan jurnalisme advokasi sebagai metode analisis. Dalam konsep jurnalisme advokasi yang dikemukakan oleh Eni Setiati, diterapkannya jurnalisme advokasi dapat diketahui melalui enam elemen.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan dokumentasi, studi kepustakaan, dan wawancara.

Hampir semua unsur jurnalisme advokasi diterapkan oleh Watchdoc dalam film dokumenter Sexy Killers, kecuali asas legalitas.

Kata kunci: Jurnalisme Advokasi, Analisis Semiotika, Film Dokumenter Sexy Killers, Oligarki pertambangan batubara, Watchdoc

(10)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

1. Batasan Masalah ... 9

2. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 11

1. Paradigma Penelitian ... 11

2. Metode Penelitian ... 11

3. Pendekatan Penelitian ... 12

4. Subjek dan Objek Penelitian ... 13

5. Teknik Pengumpulan Data ... 13

6. Teknik Analisis Data ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17

A. Kajian Pustaka ... 23

1. Pengertian Implementasi ... 23

2. Jurnalisme Advokasi ... 24

(11)

x

5. Analisis Semiotika Roland Barthes ... 36

B. Kerangka Berpikir ... 46

BAB III GAMBARAN UMUM ... 47

A. Fenomena Film Sexy Killers ... 47

B. Pengaruh Film terhadap Masyarakat ... 50

C. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme Advokasi di Indonesia ... 53

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 61

A. Film Dokumenter Sexy Killers Produksi Watchdoc: ... 62

B. Transkrip Wawancara ... 125

BAB V PEMBAHASAN ... 147

A. Titik Berat Berita ... 148

B. Isu Yang Diangkat ... 160

C. Narasumber Utama ... 165

D. Prioritas Kerja ... 176

E. Asas Legalitas ... 184

F. Harapan Pasca Pemuatan ... 184

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 188

A. Kesimpulan ... 188

B. Implikasi ... 189

C. Saran ... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 192

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Film dokumenter Sexy Killers tergolong istimewa dalam budaya sinema Indonesia. Selama 5-13 April 2019, film yang disutradarai Dandhy Laksono dan Suparta Arz ini diedarkan dalam bentuk nobar atau nonton bareng, dan selama masa itu sudah terjadi nobar setidaknya 476 lokasi di Indonesia. Promosi hanya dilakukan melalui sosial media Watchdoc sebagai rumah produksi Dandhy Laksono sebagai sutradara dalam film tersebut.1 Film ini diunggah ke Youtube pada 13 April 2019, dalam 36 jam ia sudah ditonton sebanyak 1,5 juta. Pada saat tulisan ini dibuat pada 25 Juli 2021, sudah mencapai 36 juta penonton.

Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa film ini merupakan kampanye golongan putih. Pasalnya, film ini membahas tentang oligarki perusahaan tambang batu bara yang dimiliki segelintir orang. Nama-nama segelintir orang tersebut berkaitan dengan dua kubu yang sedang memperebutkan kursi kepresidenan, baik dari kubu pasangan Joko Widodo- Ma‟ruf Amin maupun pasangan Prabowo- Sandiaga Uno. Karenanya, di beberapa tempat Sexy Killers sempat dilarang untuk diputar, misalnya di Indramayu pada

1 Eric Sasono, Refleksi atas Sexy Killers: Penonton sebagai Publik, http://www.remotivi.or.id/amatan/520/refleksi-atas-sexy-killers-penonton- sebagai-publik diakses pada 01 Desember 2019 pukul 14.12 WIB

(13)

Kamis, 11 April 2019. Pemutaran film dokumenter Sexy Killers dihentikan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).2

Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, ikut buka suara soal film yang digadang-digadang kampanye golput ini. Ia menegaskan kepada masyarakat bahwa sejak awal presiden Jokowi mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Menurutnya, pemilu merupakan kegiatan berbiaya tinggi yang harusnya dimanfaatkan masyarakat dengan sebaik-baiknya untuk memilih pemimpinnya.3

Dalam undang-undang 1945 nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pada pasal 1 ayat 1 tertuang bahwa fungsi pers adalah sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam undang- undang tersebut disebutkan bahwa, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Namun sebagai pilar keempat demokrasi, tugas dan fungsi pers yang bertanggung jawab tidaklah cukup sampai di situ saja melainkan lebih mulia lagi, yaitu mengamankan hak-hak warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Film ini menjadi menarik untuk dikaji secara jurnalistik karna Pers memiliki kewajiban untuk menyampaikan

2 Fajar Dwi Ariffandhi, Film Sexy Killers Mengampanyekan Golput?, https://www.ngopibareng.id/timeline/film-sexy-killers-mengampanyekan- golput-1045310, diakses pada 01 Desember 2019 pukul 14.33 WIB

3 Sapto Andika Candra, Istana Buka Suara Soal Sexy Killers dan Golput, https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/04/16/pq1vto377-istana- buka-suara-soal-sexy-killers-dan-gerakan-golput, diakses pada 01 Desember 2019 pukul 15.04

(14)

informasi yang jujur dan benar sesuai fakta kepada masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua berjalan dengan semestinya. Pers media mainstreame saat ini cenderung memihak kepada kepentingan politik dan bisnis.

Sehingga terbatasnya ruang gerak jurnalis dan standar baku melaksanakan dalam tugas peliputan, penulisan berita, dan bentuk laporan berita. Pers memberikan kesan membosankan dengan cara kerja jurnalisme lama.4 Sehingga hadirlah sebuah gaya penulisan yang beragam agar informasi yang disampaikan terkesan asyik dan tidak kaku.

Salah satu gaya jurnalisme yang bisa digunakan adalah gaya jurnalisme advokasi untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Advokasi ini dapat dilakukan melalui tulisan, video pendek, maupun film.

Banyak orang yang menganggap bahwa jurnalisme advokasi bukan termasuk kedalam kategori jurnalistik karena, dianggap cenderung subyektif. Namun, menurut FX. Lilik Dwi Mardjianto, ketua program studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Jurnalisme advokasi bukanlah propaganda. Dia adalah jurnalistik yang faktual.5 Jurnalisme advokasi akan menjadi penyeimbang di tengah-tengah hegemoni media massa yang kerap menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan bisnis pemilik media. Hal ini

4 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan (Yogyakarta:

Penerbit Andi, 2005) h. 44

5Fx Lilik Dwi Mardjianto, Membongkar Kubur Jurnalisme Advokasi, https://nasional.kompas.com/read/2016/10/27/14021991/membongkar.kubur.ju rnalisme.advokasi?page=all diakses pada 27 November 2019 pukul 15.20

(15)

menjadi oasis di tengah hingar bingar produk jurnalistik saat ini.

Pada era jurnalistik lama, cara kerja wartawan hanya terfokus pada kegiatan reportase berupa pencatatan peristiwa berdasarkan fakta dan membuat pemberitaannya di media massa. Akhirnya, para perintis jurnalisme baru mulai mendobrak aturan dan kaidah jurnalisme lama. Mereka melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian, serta teknik liputan lebih mendalam dan menyeluruh.6

Fredler, dalam bukunya yang berjudul An Introduction To The Mass Media, merumuskan jurnalistik baru ke dalam empat fase, yaitu advocacy journalism, alternative journalism, precision journalism, dan literary journalism.

Menurutnya, Jurnalisme advokasi merupakan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan dengan cara menyuntikkan opini ke dalam berita. 7

Babak baru jurnalisme dalam film dokumenter Indonesia dimulai pada akhir tahun 1990-an, di babak ini film dokumenter bergerak secara dinamis, antara lain mewujudkan dalam bentuk film advokasi sosial-politik, film seni dan eksperimental, film perjalanan dan petualangan, film komunitas, dan juga sebagai alternatif di bidang seni dan audio-visual, film dokumenter berubah menjadi satu genre seni audio visual yang memiliki sifat demokratis sekaligus personal. Film dokumenter kemudian memberikan

6 Eni Setiati, h. 44

77 Eni Setiati h. 44

(16)

kesempatan bagi semua orang untuk menampilkan diri, baik film yang mampu memunculkan karya yang unik, orisinil dan khas. Dengan karakteristik yang demikian itu, film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi idiologi, isi, maupun bentuk sehingga mampu menarik minat masyarakat umum dan terutama anak muda, hal ini telah menjadi penanda runtuhnya masa kelam film dokumenter Indonesia di babak Dokumenter Indonesia Modern.8

Salah satu rumah produksi yang memproduksi karya jurnalisme advokasi melalui film dokumenter adalah Watchdoc. Watchdoc didirikan oleh dua orang jurnalis, Andy Panca Kurniawan dan Dandhy Laksono. Watchdoc adalah salah satu rumah produksi yang konsisten melakukan praktik advokasi melalui karya jurnalistik, terutama dokumenter.

Beberapa judul film dokumenter Watchdoc di antaranya:

Belakang Hotel, Samin vs Semen, Rayuan Pualau Palsu, Jakarta Unfair, dan Sexy Killers. Film dokumenter tersebut menunjukkan keberpihakan Watchdoc kepada warga.

Film dokumenter produksi Watchdoc di antaranya, Belakang Hotel secara jelas menunjukkan pembangunan hotel sebagai sumber masalah penyebab menyusutnya air tanah di Yogyakarta. Kemudian Samin vs Semen, film yang mendokumentasikan perjuangan para petani kendeng yang

8Sejarah Film Dokumenter Indonesia Modern http://eagleinstitute.id/detail/97/sejarah-film-dokumenter-indonesia-modern/

diakses pada 15 April 2019 pukul 12.35

(17)

menolak untuk dibangunnya pabrik semen sebab mereka khawatir mengenai dampak dari adanya pabrik semen tersebut terhadap lingkungan. Film dokumenter Rayuan Pulau Palsu, merekam perjuangan para nelayan menolak reklamasi di pesisir pantai utara Jakarta. Jakarta Unfair merupakan dokumenter yang dirancang untuk merekam sisi terdalam kaum miskin kota yang terkena penggusuran.

Kali ini Watchdoc mendokumentasikan hasil jurnalismenya yang berjudul Sexy Killers, film dokumenter ke-12 dari tim Ekspedisi Indonesia Biru dan rumah produksi Watchdoc. Setelah sebelumnya sukses dengan Asimetris yang mengangkat isu perkebunan kelapa sawit, kini Watchdoc membawa tema pertambangan batu bara di Indonesia.

Sexy Killers menyoroti persoalan lingkungan hidup, Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU) dan oligarki politik bisnis pertambangan batu bara. Energi yang dihasilkan oleh batubara menuntut pengorbanan warga sekitar. Film ini menceritakan bagaimana dampak besar pertambangan batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap terhadap masyarakat dan lingkungan. Film tersebut juga mengisahkan kesulitan sejumlah warga di Kalimantan Timur untuk mendapatkan air bersih setelah ekspansi pertambangan batu bara. Seperti Nyoman, warga yang mengikuti program transmigrasi ke Kutai Kertanegara yang mengaku kehadiran perusahaan batu bara sudah memblokir aliran air ke pertanian. Belum lagi dampak dari lubang bekas pertambangan yang berada di sekitar kawasan pemukiman warga dan sepanjang 2014-2018

(18)

telah merengut 115 nyawa. Kemudian ditemukan fakta PLTU Batang yang dibangun di kawasan konservasi perairan yang kaya dengan ikan dan terumbu karang.

Dalam film tersebut, sejumlah politisi top di Indonesia termasuk para calon pemimpin seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno digadang-gadang memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang besar dalam bisnis batu bara di Indonesia. Sexy Killers menampilkan adanya keterlibatan para pejabat dan purnawirawan di sektor pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit.

Mereka terlibat secara aktif sebagai direksi, komisaris, pemilik saham dan sebagainya.

Ketika sebagian besar media arus utama melihat peristiwa hanya dari sisi luarnya saja. Film ini justru mendokumentasikan hal-hal yang luput dari pemberitaan media massa. Jurnalisme advokasi bisa digunakan siapa saja dan untuk kepentingan apa saja.

Dalam pembuatan film dokumenter, ada kerja-kerja jurnalistik yang diterapkan. Misalnya investigasi, pengumpulan data, penulisan laporan, dan termasuk di dalamnya sembilan elemen jurnalistik. Film dokumenter pada dasarnya adalah sebuah fakta yang kemudian diangkat melibatkan orang atau sumber yang juga fakta bukan fiktif.

Maka, dalam pembuatan film dokumenter, kerja-kerja jurnalis pun dilakukan seperti mewawancari orang-orang yang terlibat dan mengumpulkan data-data.

(19)

Sama halnya dengan jurnalisme advokasi melalui film dokumenter, begitu banyak fakta dan peristiwa yang terjadi di lapangan, tapi bagaimana film dokumenter ini menyatukan setiap unsur sehingga menjadi sebuah film dengan alur cerita yang dapat memberikan advokasi bagi seseorang, sesuatu atau golongan yang sedang memperjuangkan haknya sebagai warga negara. Namun demikian, layaknya berita pada umumnya tetap memberikan informasi sesuai fakta di lapangan dengan menghadirkan narasumber yang sesungguhnya bukan fiktif.

Hadirnya jurnalisme advokasi melalui film dokumenter, penulis tertarik untuk melihat bagaimana penerapan jurnalisme advokasi dalam film dokumenter Sexy Killers.

Dalam era digital ini, film dokumenter menjadi alternatif yang cukup berpeluang untuk membuka mata masyarakat mengenai keadaan sosial Indonesia. Menghadirkan suatu fenomena melalui produk film bisa memberikan pilihan lain bagi masyarakat.

Sampai saat ini film dokumenter terkait advokasi belum begitu banyak. Karena itu, dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui sejauhmana jurnalisme advokasi diterapkan dalam film dokumenter Sexy Killers dengan judul penelitian

“Implementasi Jurnalisme Advokasi dalam Film Dokumenter Sexy Killers Produksi Watchdoc”.

(20)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Berdasarkan judul tersebut, penulis membatasi penelitian ini dengan menganalisis implementasi jurnalisme advokasi dalam film dokumenter Sexy Killers yang berdurasi 148 menit 55 detik.

2. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana praktik jurnalisme advokasi dalam film dokumenter Sexy Killers diukur dengan enam unsur jurnalisme advokasi?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana jurnalisme advokasi yang dilakukan Watchdoc diterapkan dalam film dokumenter Sexy Killers berdasarkan konsep enam unsur jurnalisme advokasi 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Seiring perkembangan teknologi informasi, munculah jurnalisme baru, salah satunya adalah Jurnalisme advokasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih positif bagi perkembangan ilmu, isu, dan pengetahuan tentang jurnalisme advokasi.

(21)

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian serupa dan dapat memberi gambaran tentang jurnalisme advokasi lewat media film dokumenter yang belum banyak diterapkan.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tidak terlepas dari pengaruh karya skripsi lain yang pembahasannya mendekati tema yang ditentukan.

Meskipun skripsi lain tersebut memiliki beberapa perbedaan.

Pengaruh dan detail perbedaan-perbedaan itu didapatkan setelah melakukan penelusuran koleksi skripsi pada Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga ditemukan skripsi yang mempengaruhi penelitian ini. Skripsi-skripsi itu juga sebagai bukti tidak ada judul skripsi yang sama seperti penelitian ini.

1. Skripsi karya Arif Priyadi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Impementasi Jurnalistik Advokasi pada Delik di RCTI. Ada bebrapa perbedaan dari penelitian karya Arif Priyadi yaitu subjek dan objek penelitian. Untuk objek, Arif mengambil RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sebagai objek penelitiannya. Teori yang digunakan sama dengan yang akan digunakan peneliti.

(22)

2. Skripsi karya Sri Mulyawati, mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Jurnalisme Advokasi dalam Film Dokumenter Jakarta Unfair Produksi Watchdoc. Pada penelitian karya Sri Mulyawati ini mengambil objek film dokumenter Jakarta Unfair.

Namun, untuk teori yang digunakan oleh Sri Mulyawati sama dengan yang akan digunakan oleh peneliti.

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Penelitian merupakan suatu upaya menemukan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu, model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.9 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontruktivis.

Paradigma kontruktivis adalah paradigma yang memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil kontruksi. 10

2. Metode Penelitian

Penilitian ini menggunakan metode dengan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes.

Menurut Barthes, semiotik pada dasarnya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat

9 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi ke-8 (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2006) h.49

10 Eriyanto, Analisis Framing: Kontruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangsi Aksara, 2002) h. 43

(23)

dicampur adukkan dengan mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.11 Teori yang menjadi metode penelitian ini adalah teori semiotika “two order of signification”. Maksudnya adalah kajian tentang makna atau simbol dalam bahasa atau tanda yang dibagi menjadi dua tingkatan signifikasi, yaitu tingkatan denotasi dan tingkat konotasi serta aspek lain dari penandaan adalah mitos.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada keadaan obyek yang sifatnya alamiah dan peniliti adalah sebagai pemegang kunci dari penelitian tersebut, di mana hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.12

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti menggunakan konsep enam unsur jurnalisme advokasi untuk membedah data-data yang telah dikumpulkan.

Konsep ini juga merupakan instrumen penelitian dalam pembahasan Bab IV.

11 Alex. Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Dan Analisis Framing. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001), h.15

12 Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010) h. 1

(24)

4. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah film dokumenter Sexy Killers produksi Watchdoc dengan durasi 148 menit 55 detik, yang disutradarai oleh Dandhy D Laksono. Sedangkan objek penelitiannya adalah praktik jurnalisme advokasi pada film dokumenter Sexy Killers.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Peneliti mengumpulkan dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian, berupa catatan, foto, buku, naskah, teks, wawancara ataupun arsip-arsip lainnya yang mendukung penelitian.

b. Wawancara

Tujuan dalam penelitian kualitatif adalah untuk memahami kasus atau objek yang tengah diteliti.

Dengan demikian, untuk dapat memahami secara utuh tentunya diperlukan wawancara mendalam (in depth interview).

c. Studi Pustakawan

Teknik mengumpulkan data melalui studi literatur digunakan untuk memperoleh data sekunder dan rujukan teoritis maupun konseptual. Hasil studi literatur juga menjadi dasar untuk mengawali penelitian dan rujukan pembahasan hasil penelitian

(25)

6. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, peneliti menganalisis data dan membandingkan atau mencari kesesuaian dengan enam unsur jurnalisme advokasi.

Analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif pada dasarnya dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data, menafsirkan (interprenting), atau mentransformasikan (transforming) data ke dalam bentuk-bentuk narasi.

Kemudian, narasi-narasi itu mengarah pada temuan yang bernuansakan prosisi-prosisi ilmiah (thesis) yang akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan final.13

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ini memberikan gambaran atau kerangka dari penelitian yang akan dilakukan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori-teori yang menjadi landasan penelitian, kajian pustaka dan kerangka berpikir yang digunakan penulis

13 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2008) h.100

(26)

sesuai dengan rumusan masalah yang diambil.

Bab ini menjelaskan tentang konsep Jurnalisme Advokasi dengan enam unsur di dalamnya. Kemudian pengertian atau definisi dari film dokumenter, Pengaruh film terhadap masyarakat, serta Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme Advokasi di Indonesia

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini menjelaskan sejarah dan perkembangan jurnalisme advokasi di Indonesia, kemudian profil Rumah Produksi Watchdoc. Selain itu, penjelasan mengenai film dokumenter Sexy Killers

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Bab ini berisi uraian penyajian data dan temuan penelitian berupa hasil wawancara pada objek penelitian media Watchdoc

BAB V PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori, dan temuan data yang dihasilkan peneliti

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

Bagian ini berisi kesimpulan dari penelitian ini dan saran.

Daftar Menguraikan judul-judul sumber bacaan

(27)

Pustaka selama penelitian berlangsung. baik dari buku, jurnal ilmiah, dan sebagainya

Lampiran

(28)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penelitian kualitatif memiliki beberapa model yang disesuaikan dengan jenis data dan tujuan penelitiannya, paradigma berpikir, pendekatan masalah, batasan masalah, pernyataan penelitian, hingga kegunaan dari hasil penelitian.

Namun, esensi dari model-model penelitian kualitatif tersebut adalah untuk “memahami”. Apapun model yang digunakan,

“memahami” tetap menjadi tujuan penelitian kualitatif.

Menurut Creswell metode penelitian kualitatif terbagi atas pendekatan biografi, fenomenologi, studi kasus, grounded theory, dan etnografi.14 Salah satu pendekatan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi.

Fenomenologi berasal dari kata phaenesthai (bahasa Yunani) yang berarti menunjukkan dirinya sendiri atau menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari kata pahainomenon yang berarti “gejala” atau “apa yang telah menampakkan diri”.15 Dalam buku Filsafat Dan Komunikasi karya Alex Sobur dijelaskan bahwa penelitian fenomenologi adalah penelitian untuk memahami persepsi masyarakat, perspektif, dan pemahaman dari situasi tertentu (fenomena).

Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba untuk menjawab pertanyaan “bagaimana rasanya mengalami

14 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial, (Jakarta: Penerbit Salemba, 2010) h. 66

15 https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/1146/714 diakses pada tanggal 13 Juli 2020 pukul 12.26

(29)

hal ini dan itu?” dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif insider.16

Definisi Fenomenologi diutarakan oleh beberapa pakar dan peneliti dalam studinya. Pertama, menurut Alase fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses penelitian eksploratori.

Kedua, Creswell menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang tertarik untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengalam sebuah fenomena individu dalam dunia sehari-hari.17

Creswell mengemukakan beberapa prosedur dalam melakukan studi fenomenologi:

1. Peneliti harus memahami perspektif dan filosofi yang ada di belakang pendekatan yang digunakan, khususnya mengenai konsep studi “bagaimana individu mengalami suatu fenomena yang terjadi”. Konsep epoche merupakan inti ketika peneliti mulai menggali dan mengumpulkan ide-ide mereka mengenai fenomena dan mencoba memahami fenomena yang terjadi menurut sudut pandang subjek yang bersangkutan. Konsep ephoce adalah mengesampingkan atau menghilangkan semua prasangka (judgement) peneliti terhadap suatu fenomena. Artinya,

16 Drs. Alex Sobur, Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. X-xi.

17 Helaluddin, Mengenal Lebih Dekat dengan Pendekatan Fenomenologi, 2018, h. 6

(30)

sudut pandang yang digunakan benar-benar bukan merupakan sudut pandang peneliti, melainkan murni sudut pandang subjek subjek penelitian;

2. Peneliti membuat pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi serta menggali arti dari pengalaman subjek untuk menjelaskan pengalamannya tersebut;

3. Prosedur selanjutnya, peneliti mencari, menggali, dan mengumpulkan data dari subjek yang terlibat secara langsung dengan fenomena yang terjadi;

4. Setelah data terkumpul, peneliti mulai melakukan analisis data yang terdiri atas tahapan-tahapan analisis;

5. Prosedur terakhir, laporan penelitian fenomenologi diakhiri dengan memperoleh pemahaman yang lebih esensial dan dengan struktur yang invariant dari suatu pengalaman individu, mengenali setiap unit terkecil dari arti yang diperoleh berdasarkan pengalaman individu tersebut.

Model fenomenologi membutuhkan konsentrasi lebih dan keterampilan menggali dan mengeksplorasi central phenomenon lebih dalam dibandingkan dengan model lain dalam penelitian kualitatif. Tantangan yang biasanya dihadapi pun lebih bervariasi.18 Craswell mengemukakan beberapa tantangan yang umumnya dihadapi oleh peneliti fenomenologi sebagai berikut:

18 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial, h. 69

(31)

1. Peneliti membutuhkan pemahaman yang kuat dan mendalam dalam hal perspektif filosofis terhadap fenomena (central phenomenon) yang diangkat.

Perspektif filosofis yang dimaksud adalah pemahaman mendalam bahkan hingga ke dasar (hakikat) dan inti dari suatu fenomena. Penggalian dan pemahaman perspektif filosofis ini sebaiknya dilakukan sebelum studi fenomenologi dilakukan;

2. Peneliti harus sangat berhati-hati dalam pemilihan dan penentuan subjek penelitian. Subjek yang dipilih harus benar-benar orang yang mengalami suatu pengalaman tentang fenomena yang diangkat. Apabila subjek penelitian merupakan suatu kelompok sosial, maka kelompok sosial tersebut harus benar-benar mengalami suatu pengalaman yang hampir sama tentang fenomena yang diangkat;

3. Ketika subjek sudah ditentukan dan pengalaman tentang fenomena sudah ditemukan, permasalahan selanjutnya adalah dalam hal menentukan batasan pengalaman. Pengalaman yang diangkat dalam fenomenologi haruslah ada batasan yang jelas. Jika tidak berbatas, maka akan sulit melakukan penarikan kesimpulan nantinya;

4. Tantangan berkutnya adalah menuntut kejelian peneliti dalam hal memutuskan bagaimana dan dengan cara apa pengalaman pribadinya dapat terlibat dalam penelitian yang dilakukan

(32)

Fenomenologi ini berasal dari filsafat yang mengelilingi kesadaran manusia yang dicetuskan oleh Edmund Husserl seorang filusuf Jerman. Menurut Husserl, ada dua definisi fenomenologi yaitu:

1. Pengalaman subjektif atau fenomenologikal

2. Suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang

Secara sederhana fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi yang berupaya untuk menganalisis secara deskriptif dan introspektif tentang segala kesadaran bentuk manusia dan pengalamannya baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estetis, dan religius.

Kemunculan Fenomenologi oleh Husserl dilatarbelakangi oleh kenyataan terjadinya krisis ilmu pengetahuan. Dalam krisis ini, ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan nasihat apa-apa bagi manusia. Ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek kehidupan sehari-hari. Menurut Husserl, konsep teori sejati telah banyak dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Sehubungan dengan itu, Husserl mengajukan kritik terhadap ilmu pengetahuan sebagai berikut:

1. Ilmu pengetahuan telah jatuh pada okjektivisme.

Maksudnya adalah cara memandang dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Bagi Husserl pengetahuan seperti itu berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari yang disebut Lebenswelt.

(33)

2. Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran- tafsiran objektivistis itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan- kepentingan dunia kehidupan sehari-hari itu.

3. Teori yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran barat.19

Schutz sangat tertarik untuk memahami makna subjektif.

Alfred Schutz adalah salah satu tokoh fenomenologi yang paling terkenal. Makna subjektif yang ia maksudkan adalah melihat bahwa orang selalu melakukan tindakan dan sekaligus memeberikan reaksi atas tindakan orang lain. Ia juga melihat bahwa pengetahuan yang dimilikinya, diperoleh karena adanya peranan indera.

Menurut Schurtz, cara mengontruksikan makna di luar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi.

Termasuk membentuk penggolongan atau klarifikasi dari pengalaman.

Dalam menyusun pertanyaan penelitian model fenomenologi, pertanyaan penelitian biasanya diawali dengan kata apa (what). Namun, why dan how juga penting untuk diajukan dalam rangka mencari alasan (why) dan how digunakan untuk mengetahui proses.

Eugene Taylor mengemukakan bahwa dari fenomenologi masyarakat dapat berurusan dengan proses pembuatan atau

19 O. Hasbiansyah, Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktek Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi, 2005, h. 154

(34)

penyusunan ilmu pengetahuan di mana kita bergerak dari pengamatan self ke titik eksistensial tentang pengalaman metafisis yang dalam situasi seperti ini hampir selalu terjadi momen transformasi. Taylor menegaskan bahwa pilihan ini bukan sekadar metode, namun “strategi penelitian” yang dapat mengarahkan kita memahami keseluruhan penelitian.

Dari strategi ini, kita dapat menentukan pilihan antara lain:20 a. Penelitian teoritis

Penelitian teoritis memerlukan penyelidikan tekstual intensif secara intelektual menuntut kita untuk berhadapan resiko kegagalan yang lebih besar

b. Penelitian empiris

Penelitian empiris memerlukan pengumpulan data primer dan penggunaan data sekunder yang mengarah pada dua orientasi, yaitu orientasi fungsitivistik dan orientasi fenomenologis

A. Kajian Pustaka

1. Pengertian Implementasi

Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Menurut Nurdin Usman, implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi juga

20 Drs. Alex Sobur, Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi, h. x

(35)

kegiatan terencana untuk mencapai tujuan.21 Guntur setiawan berpendapat, implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, dan birokrasi yang efektif.22

Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi merupakan sebuah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, ataupun kelompok yang mengarah pada pencapaian sebuah tujuan dalam suatu kegiatan.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah suatu kegiatan terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma-norma tertentu untuk mencapai tujuan.

2. Jurnalisme Advokasi

Gaya penulisan yang cenderung informatif dan akhirnya membosankan membuat beberapa masyarakat merasa jenuh dengan isi pemberitaan. Padahal, efek dari media massa sangat luar biasa terhadap perubahan tatanan sosial masyarakat. Dengan adanya jurnalis yang hanya mengolah informasi tanpa mengupas lebih dalam, lahirlah genre jurnalisme sebagai gejolak untuk mengubah pola berita yang ada. Salah satunya adalah jurnalisme advokasi.

21 Usman Nurdin, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum (Jakarta:

Grasindo, 2002), h. 70

22 Setiawan Guntur, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), h.39

(36)

Pengertian Jurnalisme advokasi berdasarkan pada definisi yang diungkapkan oleh Dan Gillmor, seorang wartawan sekaligus menjadi pengajar di Arizona State University adalah sebagai pemikiran dan kegiatan jurnalistik yang memiliki sudut pandang (angle) pemberitaan yang jelas. Menurut Gillmor, jurnalisme advokasi tidak akan bermain di wilayah abu-abu, dia akan selalau lugas dan tegas dalam membela atau menolak sesuatu. Di samping itu, pengertian advokasi menurut Kamus Bahasa Inggris adalah pembelaan. Namun berubah jika dalam konteks perubahan sosial, advokasi dimaknai sebagai upaya yang sistematis untuk mengubah atau memengaruhi suatu perubahan kebijakan maupun kondisi dari situasi yang tidak adil menjadi adil.23

Dalam The Handbook of Journalism Studies, Morris Janowitz mengatakan bahwa jurnalisme advokasi adalah kebalikan dari model "gatekeeper" adalah penyeleksi informasi yang dijalankan oleh beberapa orang, yang memiliki kewenangan untuk memperluas atau membatasi informasi yang akan disebarkan. Gagasan jurnalisme advokasi merupakan gagasan jurnalisme profesional yang berpedoman pada cita-cita objektivitas dan pelayanan publik yang diharapkan dapat mempengaruhi opini dan kebijakan publik. “Advocacy journalism is the opposite of the “gatekeeper” model, the

23 Irmawati, Qodriyansyah, Melihat Perempuan dari Balik Meja Redaksi (Panduan Bagi Jurnalis), (Makassar:2016) h. 40

(37)

notion of professional journalism guided by the ideals of objectivity and public service.”24

Morris juga mengatakan jurnalisme advokasi lebih banyak berperan dalam menyuarakan dan mewakili kelompok tertentu yang tidak tergabung dalam lingkaran kekuasaan. Kelompok seperti ini biasanya luput dari pemberitaan, relatif tidak mendapat tempat di media, dan termasuk kelompok marginal.

Di Eropa, jurnalisme advokasi hadir untuk membela kepentingan politik dan bisnis pihak-pihak tertentu. Praktik advokasi melalui karya jurnalistik, bisa disajikan pada genre dokumenter. Mereka selalu terus terang dalam membela sesuatu, seseorang, atau sekelompok orang.

Berdasarkan catatan Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch dalam The Handbook of Journalism Studies, tradisi jurnalisme advokasi di Eropa dan Amerika berkembang pada tahun 1800-an dan 1920-an. Eropa tampaknya menjadi benua yang lebih ramah bagi pertumbuhan jurnalisme advokasi. Di benua ini, jurnalisme bisa menunjukkan diri sebagai kekuatan yang memiliki sikap untuk membela atau menentang sesuatu. Bukan hanya untuk kepentingan publik, jurnalisme advokasi di Eropa juga hadir untuk membela kepentingan politik dan bisnis pihak-pihak tertentu.25

24 Karin Wahl-Jorgensen & Thomas Hanitzsch, The Handbook of Journalism Studies, (New York: Routledge, 2009) h. 371

25 Karin Wahl-Jorgensen & Thomas Hanitzsch, The Handbook of Journalism Studies, (New York: Routledge, 2009) h. 372

(38)

Kondisi yang berbeda muncul di Amerika. Di benua ini, jurnalisme muncul layaknya priayi „lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat‟. Dia mengklaim diri objektif, sehingga bersih dari kepentingan apapun.

Tradisi normatif ini lama-lama mengikis perkembangan jurnalisme advokasi di Amerika pada masa itu.

Menurut Andi Fachruddin dalam bukunya yang berjudul Journalism Today jurnalisme advokasi seperti pelangi. Ia memiliki banyak warna, tergantung dengan sesuatu yang diperjuangkan. Adakalanya warna jurnalisme advokasi tidak terlalu mencolok karena sedang membela rakyat jelata. Namun tidak jarang jurnalisme advokasi sangat menyilaukan karena berada di awang-awang, terutama sedang membela kepentingan politik dan bisnis kaum elite.26

Di Indonesia, masyarakat bisa melihat dokumenter dari karya-karyanya Wathcdoc yang selalu menunjukkan keberpihakkan kepada warga. Karya jurnalistik yang subjektif akan diproduksi berdasarkan faktualitas, berlandaskan fakta, mengedepankan kebenaran, relevansi, dan unsur informasi.

Jurnalisme advokasi merupakan kegiatan jurnalistik yang berupaya menyuntikkan opini ke dalam berita. Tiap reportase diarahkan untuk membentuk oini publik tanpa mengingkari fakta. Rangkaian opini yang

26 Andi Fachruddin, Journalism Today (Jakarta: Penerbit Kencana, 2019) h. 25

(39)

terbentuk dan hendak diapungkan didapat dari kerja para jurnalis ketika memproses liputan fakta demi fakta secara intens dan sungguh-sungguh. Jadi, kesimpulan opini mereka memiliki erat dengan realitas fakta peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.27

Eni Setiati dalam bukunya Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan menuliskan jurnalisme advokasi merupakan bentuk kegiatan jurnalistik yang berusaha menyuntikan opini sesuai fakta secara intens dan benar.

Opini yang ditulis wartawan tidak bisa hanya sekadar opini, melainkan memiliki korelasi erat dengan realitas fakta yang mengandung kebenaran dan jurnalisme advokasi memercayai objektivitas fakta berita yang diolahnya.28

Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam penulisan pemberitaan advokasi. Eni Setiati, mengutip Stanley & The people Journalism Option, Transcend Peace and Development Network bahwa dalam pemberitaan Jurnalisme advokasi, wartawan menulis liputan fakta secara intens dan benra. Jadi opini yang ditulis wartawan dalam pemberitaannya memliki korelasi yang erat dengan realitas fakta yang mengandung kebenaran dan diolah berdasarkan sudut pandang wartawan yang mencatat fakta di lapangan.

27 Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008) h.170

28 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan (Yogyakarta:

Penerbit Andi, 2005) h. 99

(40)

Berikut tabel perbedeaan jurnalisme umum dengan jurnalisme advokasi menurut Eni Setiati:

Jurnalisme Umum Jurnalisme Advokasi Titik Berat

Berita

Menekankan unsur sensasional dan permasalahan orang banyak

Mengungkapkan masalah serius, ancaman terhadap kelompok minoritas dan penduduk asli.

Menekankan pada ketentuan liputan berimbang (bersikap hati-hati pada pemberitaan yang mengandung unsur SARA) dan selalu menginformasikan kebenaran informasi

Menekankan pada unsur kebenaran yang didapat berdasarkan hasil laporan investigasi.

Isu yang diangkat

Masalah nasional yang genting, peristiwa yang terjadi di masyarakat, selebritis, wabah penyakit, hiburan dan lain-lain.

Permasalahan orang kecil, pelanggaran HAM, keberanian dan perlawanan rakyat kecil.

Narasumber Utama

Tokoh yang mempunyai nama besar, pejabat atau selebritas

Korban yaitu rakyat kecil, kelompok minoritas, saksi mata

Prioritas Kerja

Membuat tulisan mampu berbicara seperti layaknya video klip

Memunculkan masalah pelanggaran negara

terhadap elemen

masyarakat yang tidak mampu bersuara

Asas Menekankan tampilan Bila perlu menyamar

(41)

Legalitas formal wartawan dengan menunjukkan identitas seperti kartu pers atau surat tugas

seperti anggota intel dan dalam penulisa berita berusaha menyamarkan

nama narasumber

(dikhawatirkan mengalami ancaman dan penghilangan paksa)

Harapan pasca pemuatan

Masyarakat atau pembaca menjadi terhibur, masyarakat mengetahui berita mutakhir dan mengikuti tren isu gosip (mode, kesehatan, teknologi, dan lain-lain)

Muncul perdebatan dan polemik pada masyarakat yang berujung pada penguatan hak-hak rakyat dan tuntutan agar pemerintah memperbaiki kebijakan.

Tabel Perbedaan Jurnalisme Umum dengan Jurnalisme Advokasi

Dalam berita jurnalisme advokasi secara praktis melaporkan suatu kasus, isu atau peristiwa dengan tujuan membentuk opini publik sehingga muncul kesadaran dan dukungan publik yang dimasukkan dengan tujuan memersuasi. Dengan demikian, advokasi bukanlah tindakan yang terlarang bagi jurnalis. Namun jurnalisme advokasi sangat berbeda dengan propaganda. Jika propaganda secara sepihak memenangkan salah satu kubu, maka laporan jurnalisme advokasi berbasis fakta memberikan dukungan dengan cara menyoroti orang-orang tanpa daya yang

(42)

memiliki komitmen untuk memperbaiki kepentingan umum.29

Jurnalisme advokasi masih tunduk dan patuh pada prinsip-prinsip jurnalisme yaitu mendasarkan diri pada fakta (factuality) dan menjunjung tinggi pada nilai-nilai kebenaran (truth) dan kejujuran (fairness). Artinya jika merujuk pada indikator-indikator yang disebutkan Westerthall, jurnalisme advokasi merupakan imparsial dan faktual maka sesungguhnya jurnalisme advokasi juga sangat mensyaratkan unsur faktualitas dalam setiap pemberitaannya. Unsur imparsial dibangun dari dua unsur yaitu keberimbangan dan netralitas. Para penganut dan penggiat jurnalisme advokasi justru bekerja atas dasar dan semangat menegakkan keadilan dan keberimbangan yang terjadi dalam masyarakat.30

3. Pengertian Film dan Jenisnya a. Pengertian Film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia film adalah lakon (cerita) gambar hidup. Menurut undang- undang nomor 3 tahun 2009 tentang perfilman pada bab 1 pasal 1 menyebutkan yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

29 Andi Fachruddin, Journalism Today, h.26

30 Irmawati, Qodriyansyah, Melihat Perempuan dari Balik Meja Redaksi (Panduan Bagi Jurnalis), h.53

(43)

berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.31

Definisi film berbeda di setiap negara. Di Perancis ada perbedaan antara film dengan sinema.

“filmis” berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, misalnya sosial politik dan kebudayaan.

Kalau di Yunani, film dikenal dengan istilah cinema, yang merupakan singkatan dari cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara). Cinemathograpie secara harfiah berarti cinema (bergerak), tho atau phytos adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar. Jadi, yang dimaksud cinemathograpie adalah melukis gerak dengan cahaya. Ada juga istilah lain yang berasal dari bahasa Inggris movies; berasal dari kata move artinya gambar bergerak atau gambar hidup.32

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena film merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana-mana, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu.

Film dan televisi memiliki kemiripan, terutama sifatnya yang audio-visual, tetapi dalam proses penyampaian

31 Undang-Undang no 33 tahun 2009 bab 1 pasal 1 tentang perfilman

32 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2015). H .91

(44)

pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda.33

b. Jenis-jenis Film

Pada dasarnya film dikategorikan menjadi dua jenis utama, yaitu film cerita fiksi dan film nonfiksi.

Film cerita atau fiksi adalah film yang dibuat berdasarkan kisah fiktif. Film fiktif dibagi menjadi dua, yaitu flom cerita pendek dan film cerita panjang.

Perbedaan yang aling spesifik dari keduanya adalah pada durasinya. Film cerita pendek berdurasi di bawah 60 menit, sedangkan film cerita panjang berdurasi 90- 100 menit, ada juga yang sampai 120 menit atau lebih.

Film nonfiksi contohnya adalah film dokumenter.

Film dokumenter adalah film yang menampilkan tentang dokumentasi sebuah kejadian, baik alam, flora, fauna, ataupun manusia. Perkembangan film berpengaruh pula pada jenis film dokumenter, muncul jenis dokumenter lain disebut dokudrama.

Marcel Danesi dalam buku Semiotika Media menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi.34

1) Film Fitur

Film fitur merupakan karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi yang dibuat dalam tiga tahap.

Tahap pra produksi merupakan periode ketika

33 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi. H. 91

34 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi.h. 95

(45)

skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi;

2) Film dokumenter

Robert Claherty mendefinisikan Film dokumenter sebagai karya ciptaan mengenai kenyataan (Creative treatment of actually);

3) Film Animasi

Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. 35

4. Film Dokumenter

Film merupakan sebuah karya seni budaya yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi, yang berbentuk gambar bergerak, bersuara atau tidak bersuara (bisu),

sehingga disebut juga sebagai gambar hidup (gambar idoep) yang dapat bersifat audio visual (pandang dengar).36 Film memiliki karakter (kepribadian) yang disisipkan

didalamnya seperangkat nilai atau gagasan vital, visi, dan misi yang disampaikan dalam bentuk pesan (message) baik secara langsung maupun tersirat37

Film dokumenter menurut pengertian modern merupakan merekam gambar realita yang ditangani secara

35 Danesi Marcel, Pengantar Memahami Semiotika Media (Yogyakarta:

Jalasutra, 2010)

36 Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011) h. 154

37 Anwar Arifin, h. 157

(46)

kreatif agar kemudian dapat menampilkan pesan apa saja yang berada dibalik rekaman realita itu.38 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia film dokumenter adalah

dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan.39

Berikut ini jenis-jenis film dokumenter antara lain:

1) Biografi

Film dokumenter jenis biografi berisi potret, biografi dan profil perjalanan hidup suatu tokoh. Bisa berupa seorang presiden, menteri, pengusaha, artis, musisi, dsb.

Contoh film jenis ini diantaranya, Mandela, Salvador Dali, This is it Michael Jackson;

2) Sejarah

Film dokumenter jenis sejarah berisi rekaman kejadian dan peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu. Bisa berupa perang, perjanjian, kehidupan masa lalu, dan lain-lain. Contoh jenis ini antara lain: Triump of the will, Olympia I, Mutiara dari Timur;

3) Travelling

Film dokumenter sejarah berisi footage laporan perjalanan lengkap ke tempat wisata atau tempat tertentubisa dalam bidang antropologi atau bidang

38 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film Di Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2009) h. 53

39 Laman aplikasi KBBI V

(47)

hiburan saja. Contoh film dokumenter jenis traveling:

Nanook of the North, Song of Ceylon;

4) Ilmu Pengetahuan

Film dokumenter jenis ini berisi tentang pendidikan dan edukasi yang memberikan informasi dari berbagai bidang seperti, sains teknologi, budaya, dan lain-lain.

Contoh film dokumenter jenis ini adalah National Geographic;

5) Investigasi

Berisi rekaman penyelidikan dan investigasi secara jurnalistik suatu kasus atau peristiwa yang sedang dibahas dengan tujuan mengetahui lebih dalam. Contoh film dokumenter jenis ini adalah The Act of Killing.40 5. Analisis Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.41 Dalam buku “Semiotika dalam Riset Komunikasi” yang ditulis oleh Nawiroh Sera, Daniel Chandler mengatakan “The shortest definition is that it is study of signs” (definisi singkat dari semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda).42

Asal kata semiotika dari bahasa Yunani seemeuin yang artinya “tanda” atau seme yang artinya “penafsir

40 http://ipsmfestival.com/2018/09/21/301/ diakses pada 3 Maret 2020 pukul 14.46 WIB

41 Taufan Wijaya, Photo Story Handbook, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 59

42 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2015), h.2

(48)

tanda”.43 Semiotika merupakan akar dari studi klasik dan skolastik seperti seni logika, retorika, dan poetika. Pada masa itu “tanda” bermakna suatu hal yang berkaitan dengan hal lain.

Menurut Barthes, semiologi mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (thinks).

Memaknai dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkontitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes melihat signifikansi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikansi tak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain di luar bahasa seperti kehidupan sosial.44

Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya, Barthes menggunakan teori signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi dan signifie menjadi isi. Namun Barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dan isi harus ada relasi tertentu, sehingga membentuk tanda (Sign). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut

43 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.16

44 Vera, Nawiroh, h.26-27

(49)

Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama.

Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).45

Teori semiotika Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut De Saussure.

Sebagaimana pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan adalah “mitos” yang menandai suatu masyarakat.46

Saussure mengatakan dalam Semiotika Visual Komunikasi, bahwa tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, karena ada tanda maka ada suatu sistem.47 Sebah tanda yang berwujud ditangkap dan dicitrakan oleh indera manusia dapat disebut signifier karena telah menjadi penanda atau bentuk. Selanjutnya penanda dikonsepkan atau dimaknai sesuai dengan kandungan yang sudah dilihat menjadi petanda atau signified.

45 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi, h. 27

46 Vera Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi, h.28

47 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Visual Komunikasi, (Yogyakarta:

Jalasutra, 2009), h.13

(50)

Semiotika Rolland Barthes terkenal dengan semiotika konotasi atau semiotika mitologi. Penggunaan semiotika ini dapat digunakan untuk membaca media foto. Foto yang biasa kita lihat pada halaman majalah, film, iklan, Koran, dan sebagainya. Hal itu mengartikan segala bentuk yang berkaitan dengan visual dapat dikaji lebih dalam menggunakan teori ini. Barthes memiliki minat dan perhatian khusus pada fotografi. Dalam menikmati media foto, Barthes mengembangkan teori semiotika sebagai

“other than language”.48

Peta tanda Roland Barthes49

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan pertanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan

48 ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik Yogyakarta, 2004), h.124

49 Vera, Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi, h. 27

1. Signifer (penanda)

2. Signified (petanda)

4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

5. Connotative Signified (petanda konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar

Tabel  Perbedaan Jurnalisme Umum dengan Jurnalisme  Advokasi
Gambar  ini  kami  rekam  di  desa  Mulawarman,  Kec.

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR Puji syukur diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pernyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya film dokumenter “Lasno” dan menyelesaikan Laporan

Merujuk kepada tujuan awal penulis dalam pembuatan film dokumenter ini yaitu untuk mengetahui apakah memang benar terjadi pergeseran budaya di Gili Trawangan jika

Hal ini membuat penulis ingin mengangkat fenomena seorang tokoh masyarakat sekaligus penyanyi terkenal di Indonesia, yaitu Lilis Suryani menjadi sebuah karya

Apakah film yang dinilai sesuai dengan criteria yang diinginkan penyelenggara atau tidak (hal ini terkait dengan pedoman/Petunjuk Teknis Fasilitasi Produksi Film Pendek dan

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah diharapkan terbentuknya Produksi Film Dokumenter Sejarah Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar2. Kata kunci :

Sumber: Hasil Produksi Film Dokumenter, 2023 TUGAS AKHIR NON SKRIPSI PERAN SUTRADARA DALAM PEMBUATAN FILM DOKUMENTER BERJUDUL “SUARA KELUARGA” Disusun oleh: Nama : Insan

Mengutip Andi Fachruddin, 2012 didalam bukunya Dasar-Dasar Produksi Televisi, karya film dokumenter merupakan sebuah genre yang menceritakan perihal peristiwa nyata yang kemudian

PRODUKSI FILM DOKUMENTER “TAMARRA” CITRA DIRI WARIA Oleh: Priska Kurnia Putri 362016117 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Guna Memenuhi