• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION UNTUK FENOMENA CHAOS ANGIN PUTING BELIUNG BERDASARKAN AVERAGE CORRELATION ANGLE DISERTASI. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION UNTUK FENOMENA CHAOS ANGIN PUTING BELIUNG BERDASARKAN AVERAGE CORRELATION ANGLE DISERTASI. Oleh"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION UNTUK FENOMENA CHAOS ANGIN PUTING BELIUNG

BERDASARKAN AVERAGE CORRELATION ANGLE

DISERTASI

Oleh

WANAYUMINI NIM : 158123008

PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU KOMPUTER

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KOMPUTER FAKULTAS ILMU KOMPUTER TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION UNTUK FENOMENA CHAOS ANGIN PUTING BELIUNG

BERDASARKAN AVERAGE CORRELATION ANGLE

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Program Studi Doktor Ilmu Komputer

Pada Universitas Sumatera Utara

Oleh

WANAYUMINI NIM : 158123008

Program Doktor (S3) Ilmu Komputer

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KOMPUTER FAKULTAS ILMU KOMPUTER TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

ABSTRAK

Awan cumulonimbus adalah salah satu formasi awal yang mengarah ke tornado skala kecil yang dikenal secara lokal di Indonesia sebagai “angin puting beliung”

atau waterspout. Awan cumulonimbus menunjukkan beberapa fenomena tidak teratur dan tidak terdefinisi yang disebut chaos. Namun, untuk memastikan fenomena chaos itu akan menyebabkan terjadinya angin puting beliung, beberapa kriteria dan karakteristik harus dipenuhi dalam masalah klassfikasi penginderaan jarak jauh. Salah satu kriteria tersebut adalah adanya perbedaan panas yang ekstrem ditandai adanya awan cumulonimbus. Pada awan cumulonimbus terdapat batas tepi warna abu-abu yang memiliki batas aturan dalam image seperti panjang gelombang, frekuensi dan intensitas warna. Selain itu, warna gambar dapat digunakan juga sebagai dasar untuk menentukan parameter terkait dengan kondisi awal akan terjadinya angin puting beliung. Dalam penelitian ini, algoritma edge detection metode Robert digunakan untuk mendapatkan batas tepi warna abu-abu dengan mengekstraksi pola yang tidak teratur pada awan cumulonimbus.

Selanjutnya melakukan proses analisis supervised image classification menggunakan algoritma Spectral Angle Mapper untuk mendapatkan interval nilai minimum dan maksimum intensitas nilai warna berdasarkan sudut spektral untuk deteksi awal dalam memprediksi akan terjadinya angin puting beliung. Sudut spektral memungkinkan adanya pemetaan cepat dalam menentukan kesamaan spektral antara dua spektral pada lapisan-lapisan awan cumulonimbus dengan menghitung sudut antara spektral membentuk ruang vektor yang berdimensi sama pada spektrum warna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan dengan Spectral Angle Mapper menghasilkan interval nilai minimum dan maksimum Average Correlation Angle pada training dataset image angin puting beliung dan pada testing dataset image awan cumulonimbus dengan nilai akurasi klassifikasi sebesar 81.48%, nilai presisi sebesar 0.80 dan nilai recall sebesar 0.81.

Kata kunci : Awan_Cumulonimbus, Angin_Puting_Beliung, Edge_Detection, Fenomena_Chaos, Average_Correlation_Angle

(5)

SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION FOR CHAOS PHENOMENON OF TORNADOES USING AVERAGE CORRELATION ANGLE

ABSTRACT

Cumulonimbus clouds are one of the earliest formations leading to small-scale tornadoes known locally in Indonesia as "angin puting beliung" or waterspouts.

Cumulonimbus clouds show some irregular and undefined phenomena called chaos. However, to ensure that the chaotic phenomenon will cause a whirlwind, several criteria and characteristics must be met in the problem of classification of remote sensing. One such criterion is the extreme heat difference marked by the presence of cumulonimbus clouds. In the cumulonimbus cloud there is a gray border of the image with certain characteristics such as wavelength, frequency and color intensity. In addition, the color of the image can also be used as a basis for determining parameters related to the initial conditions for a whirlwind. In this study, the Robert method edge detection algorithm is used to obtain the gray border by extracting irregular patterns in cumulonimbus clouds. Furthermore, the supervised image classification analysis process uses the Spectral Angle Mapper algorithm to obtain minimum and maximum value intervals of color intensity based on spectral angles for initial detection in predicting tornadoes. Spectral angles enable fast mapping to determine the spectral similarity between the two spectral layers in the cumulonimbus cloud by calculating the angles between spectral forms of vector space having the same dimensions color spectrum. The results of this study indicate that the approach with the Spectral Angle Mapper produces an interval minimum and maximum of Average Correlation Angle values of in the training of the tornado image dataset, and the in the cumulonimbus cloud image dataset testing with an accuracy value between training and testing the dataset image of 81.48%, precision vaule of 0.80 and recall value of 0.81.

Keywords: Cumulonimbus_Clouds, Tornadoes, Edge_Detection, Chaos_

Phenomenon, Average_Correlation_Angle

(6)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan disertasi ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S. Sos, M. Si, selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Drs. Opim Salim Sitompul, M. Sc, selaku Promotor yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini, sekaligus Dekan Fasilkom-TI Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zarlis, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Doktor (S3) Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Co-Promotor.

5. Bapak Prof. Dr. Saib Suwilo, M. Sc, selaku Co-Promotor yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini.

6. Bapak Dr. Sawaluddin, M.IT, selaku penguji dan terima kasih atas saran dan kritik yang diberikan.

7. Bapak Dr. Benny Benyamin Nasution, Dipl.Ing., M.Eng. selaku penguji dan terima kasih atas saran dan kritik yang diberikan.

Penulis menyadari desertasi ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberi keberkahan kepada di semua.

Medan,25 April 2021 Penulis,

Wanayumini

(7)

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Hidup : Nama lengkap

Tanggal Lahir/ Umur Tempat Lahir Jenis Kelamin Agama

Pekerjaan

Status Perkawinan Alamat Rumah Telpon/Hp

: Wanayumini

: 04 – 02 – 1971 / 50 Tahun : Kisaran

: Perempuan : Islam

: Dosen Universitas Asahan : Kawin

: Jl. Jalak No. 33/Jln. Cemara No. 17 Deli Serdang : 0813 7585 9797

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) Pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Pascasarjana (S2)

Negri 4 No.010086-Kisaran Negri 1 Kisaran

Negri 2 Kisaran

STMIK – YPTK - PADANG UPI-YPTK-PADANG

Lulus 1983 Lulus 1986 Lulus 1989 Lulus 1995 Lulus 2008

Riwayat Pekerjaan : Tahun 1996 – 2002 Tahun 1998 – 1999 Tahun 1999 – 2002 Tahun 2003 – 2005 Tahun 2005 – Sekarang

: Dosen Tetap STMIK – BUDIDARMA – MEDAN, : Pjs. Pembantu Ketua II STMIK BUDIDARMA : Ketua Jurusan STMIK – BUDIDARMA – MEDAN : Dosen STIE Muhammadiyah dan STIH

Muhammadiyah Kisaran

: Dosen Tetap Universitas Asahan (UNA) Kisaran,

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR DEFENISI ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Kontribusi Penelitian ... 7

BAB 2 CHAOS DAN SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION ... 8

2.1. Chaos ... 8

2.1.1. Konsep Dasar Chaos ... 8

2.1.2. Pandangan Sederhana Tentang Fenomena dan Chaos ... 8

2.1.3. Penelitian Teori Chaos ... 11

2.1.4. Fraktal ... 11

2.1.5. Dimensi Fraktal ... 12

2.1.6. Aplikasi Chaos ... 14

2.2. Supervised Image Classification ... 18

2.2.1. Maximum Likelihood Classification (MLC) ... 18

2.2.2. Minimum Euclidean Distance Classification (MEDC) ... 18

2.2.3. Parallel Piped Classification (PPC) ... 19

2.2.4. Spectral Angle Mapper (SAM) Classification ... 19

2.3. Klassifikasi Digital dan Klassifikasi Citra ... 21

2.3.1. UnSupervised Classification dan Supervised Classification ... 22

2.3.2. Klassifikasi Citra (Image Classification) ... 23

2.3.3. Teknik Image Classification ... 24

BAB 3 ANGIN PUTING BELIUNG DAN IMAGE PROCESSING ... 26

3.1. Karakteristik Angin Puting Beliung ... 26

3.1.1. Proses Terjadinya Angin Puting Beliung ... 26

3.1.2. Ciri-Ciri Angin Puting Beliung ... 28

3.1.3. Awan Cumulonimbus ... 29

3.2. Pemrosesan Image (Image Processing) ... 30

3.3. Deteksi Tepi (Edge Detection) ... 32

3.4. Pemrosesan Gambar Warna ... 33

3.4.1. Dasar-Dasar Warna ... 33

3.4.2. Ruang Warna ... 34

3.4.3. Pemrosesan Gambar Berwarna ... 34

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 36

4.1. Kerangka Kerja Penelitian ... 36

4.2. Uraian Arsitektur Umum ... 36

(9)

4.2.1. Pemilihan dan Persiapan Sampel Dataset ... 36

4.2.2. Preprocessing Dataset (Training dan Testing) ... 41

4.2.3. Tahapan Pengolahan (Processing) ... 42

4.3. Pembentukan Model Fenomena Chaos Angin Puting Beliung ... 43

4.3.1. Algoritma Edge Detection Metode Roberts ... 45

4.3.2. Algoritma Fenomena Chaos Spectral Angle Mapper ... 48

4.3.3. Model/Algoritma Fenomena Chaos Spectral Angle Mapper ... 51

4.4. Tahapan Testing Awan Cumulus Stage, Awan Cirrus, Awan Nimbo Stratus, Awan Cumulonimbus, Awan Biasa ... 52

4.5. Tahapan Evaluasi ... 56

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1. Hasil Training Dataset Image Fenomena Chaos Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Edge Detection ... 58

5.2. Hasil Training Dataset Image Fenomena Chaos Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper ... 61

5.3. Hasil Testing Dataset Image Awan Menggunakan Algoritma Edge Detection ... 71

5.3.1. Dataset Image Awan Cumulus Stage ... 71

5.3.2. Dataset Image Awan Cirrus ... 72

5.3.3. Dataset Image Awan Nimbo Stratus ... 72

5.3.4. Dataset Image Awan Cumulonimbus ... 73

5.3.5. Dataset Image Awan Biasa ... 74

5.4. Hasil Testing Dataset Image Awan Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper ... 78

5.5. Confusion Matrix ... 80

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

6.1. Kesimpulan ... 90

6.2. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Karakteristik Aturan Dasar Chaos ... 8 5.1. Hasil Training Dataset Image Fenomena Chaos Angin Puting Beliung dengan Metode Unsupervised Classification... 62 5.2. Hasil Training Dataset Image Fenomena Chaos Angin Puting Beliung

Metode Supervised Classification Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper... 66 5.3. Hasil Testing Dataset Image Awan Cumulus Stage, Awan Cirrus, Awan Nimbo Stratus,Awan Cumulonimbus dan Awan Biasa

Dengan Metode Unsupervised Classification... 73 5.4. Hasil Testing Dataset Image Awan Cumulus Stage, Awan Cirrus, Awan Nimbo Stratus, Awan Cumulonimbus dan Awan Biasa Metode Supervised Classification Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper... ... 77 5.5. Ketelitian Model (Confusion Matrix) ... 79

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Halaman

2.1. Prilaku Chaos pada Pseudo_Random_Number ... 10

2.2. Kurva Dimensi 1 ... 11

2.3. Bentuk Partisi Dimesi-d menjadi bentuk serupa diperkecil oleh Faktor r. Dilihat bahwa p=rd ... 14

2.4. Maksimum Likelihood Classification (MLC) ... 18

2.5. Metode MEDC ... 18

2.6. Metode PPC ... 19

2.7. Metode SAM Classification ... 19

2.8. Arah Vektor Algoritma SAM ... 20

2.9. Diagram Supervised Image Classification ... 25

3.1. Matriks mxn... ... 31

4.1. Arsitektur Umum... ... 36

4.2.a. Sample Training Dataset Image Angin Puting Beliung... 37

4.2.b. Sample Training Dataset Image Angin Puting Beliung... 37

4.3. Sample Testing Dataset Image Awan Cumulus Stage... 39

4.4. Sample Testing Dataset Image Awan Cirrus... ... 39

4.5. Sample Testing Dataset Image Awan Nimbo Stratus... . 40

4.6. Sample Testing Dataset Image Awan Cumulunimbus... 40

4.7. Sample Testing Dataset Image Awan Biasa... ... 41

4.8. Proses Klassifikasi Fenomena Chaos Angin Puting Beliung ... 42

4.9. Ilustrasi Fenomena Choas Awan Cumulonimbus ... 44

4.10. Ilustrasi Fenomena Chaos Angin Puting Beliung ... 45

(12)

4.11. Ilustrasi Gradian Pada Edge Detection ... 46 4.12. Hasil Program Edge Detection Metode Robert (A) Citra Asli (B)

Edge Detection Tepi Koordinat X, (C) Edge Detection Koordinat Y Edge Detection Metode Robert ... 48 4.13. Grafik Penentuan Spectral Angle Mapper ... 49 4.14. Ilustrasi Spectral Angle Mapper... 52 4.15. Proses Klassifikasi Testing Dataset Image Awan pada Model

Fenomena Chaos ... 53 5.1. Ilustrasi Edge Detection ... 56 5.2.a. Hasil Training Dataset Image Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Edge Detection... 57 5.2.b. Hasil Training Dataset Image Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Edge Detection... 58 5.3.a. Hasil Training Dataset Image Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper ... 59 5.3.b. Hasil Training Dataset Image Angin Puting Beliung Menggunakan Algoritma Spectral Angle Mapper ... 60 5.4. Hasil Testing Dataset Image Awan Cumulus Stage Menggunakan Algoritma Edge Detectioan ... 69 5.5. Hasil Testing Dataset Image Awan Cirrus Menggunakan Algoritma Edge Detectioan ... 70 5.6. Hasil Testing Dataset Image Awan Nimbo Stratus Menggunakan

Algoritma Edge Detectioan ... 70 5.7. Hasil Testing Dataset Image Awan Cumulonimbus Menggunakan Algoritma Edge Detectioan ... 71 5.8. Hasil Testing Dataset Image Awan Biasa Menggunakan Algoritma Edge Detectioan ... 72

(13)

DAFTAR DEFENISI

Cb : Cumulonimbus

Jenis awan yang padat dan berkembang secara vertikal yang berhubungan dengan hujan.

TP : True Positif

Dataset Image Awan yang terklassifikasi dengan benar dan mengarah terjadi angin puting beliung.

TN : True Negatif

Dataset Image bukan Awan yang terklassifikasi dengan benar dan mengarah tidak terjadi angin puting beliung.

FP : False Positif

Dataset Image Awan yang terklassifikasi dengan mengarah tidak terjadi angin puting beliung.

FN : False Negatif

Dataset Image bukan Awan yang terklassifikasi dengan mengarah terjadinya angin puting beliung.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) siklon, siklon tropis, angin puting beliung dan water spout sama-sama merupakan pusaran atmosfer. Siklon adalah akibat yang berasal dari angin yang bisa menyebabkan angin puting beliung atau tornado serta penyebab yang berasal dari angin lainnya.

Dilihat di angkasa angin puting beliung seperti melihat pusaran besar berwarna putih keabu abuan. Tornado terjadi di atas daratan, sedangkan siklon tropis diatas lautan luas. Puting beliung merupakan sebutan lokal untuk tornado skala kecil yang terjadi di Indonesia, sedangkan water spout merupakan tornado yang terjadi di atas perairan dapat berupa danau maupun laut. Angin puting beliung merupakan angin yang disebabkan oleh dampak ikutan dari awan cumulonimbus (Cb) yang biasanya tumbuh selama periode musim hujan. (Kambhampaty, Gali,

& Prasad, 2014) dan (John P Cangialosi & Franklin, 2015).

Awan cumulonimbus merupakan salah satu pembentukan awal akan terjadinya angin puting beliung, dimana pada awan terdapat fenomena yang menunjukkan ketidak teraturan dan tidak dapat didefenisikan. Fenomena ketidakteraturan inilah yang kemudian disebut chaos (Zhang & Xie, 2014) dan (Zhi-yong, Guang, Cun-bing, & Doi, 2011). Namun demikian, untuk memastikan bahwa suatu fenomena chaos akan mengarah pada terjadinya angin puting beliung, haruslah ditentukan ciri-ciri dan karakter tertentu bagaimana yang harus dipenuhinya sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para peneliti secara ilmiah.

Menentukan ciri-ciri yang menunjukkan potensi terjadinya angin puting beliung adalah sulit disebabkan kejadian tersebut selalunya terjadi di angkasa.

Salah satu cara untuk mendapatkan ciri-ciri tersebut adalah melalui penginderaan jarak jauh (remote sensing), misalnya dari citra yang dihasilkan oleh BMKG (Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika). Salah satu faktor awal akan terjadinya angin puting beliung adalah adanya perbedaan panas yang ekstrem

(15)

ditandai dengan adanya awan cumulonimbus yang memiliki batas tepi warna abu-abu yang melebihi batas aturan dalam citra yang ditandai dengan panjang gelombang, frekeunsi dan intensitas warna. (Kambhampaty et al., 2014) dan (Banerjee, 2016). Intensitas warna atau kualitas warna pada image yaitu adanya perbedaan tingkat kecerahan dan kemuraman suatu warna. Citra warna tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan parameter-parameter yang berkenaan dengan kondisi awal terjadinya angin puting beliung (J P Cangialosi, Latto, & Berg, 2018). Seperti yang dikemukakan oleh (Wiley & Lucas, 2018) bahwa citra memiliki piksel yang dijadikan sebagai dasar dalam menentukan ketajaman objek pada citra. Optimasi piksel berguna untuk deteksi obyek, dan segmentasi nilai-nilai piksel dianggap sebagai faktor utama.

Penelitian awal pengolahan citra satelit untuk memprediksi terjadinya pusaran atmosfir dapat dimulai dari penelitian (Lee & Liu, 2001) dan (John P Cangialosi & Franklin, 2015) yang mengajukan teknik penentuan tepi (edge detection) dalam mengekstraksi intensifikasi pola yang tidak teratur pada pusaran siklon tropis. Mereka menggunakan Active Contour Model (ACM) dan metode segmentasi untuk mengekstrak kontour (contour). Selanjutnya (Yan, 2008) dan (Jingying Tang and Corene Matyas, 2018) menggunakan model Region Of Interest (ROI) untuk mengekstrak citra radar (radar gambar) dengan teknik estimasi gerak, sehingga menghasilkan sebuah nilai ambang kontras (thresholding). Model ACM juga digunakan oleh (Jun & Jinglu, 2008) dan untuk mengekstrak citra puting beliung. Ditemukan ada enam parameter untuk meramal jalur siklon tropis dan menentukan nilai optimal dari parameter-parameter model siklon tropis tersebut. Frekwensi kemunculan komponen intensitas warna siklon dapat terlihat pada siklon tropis menggunakan teknik segmentasi melalui histogram. (Kovordanyi & Roy, 2009) meramalkan arah pergerakan siklon berdasarkan citra satelit NOAA – Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) menggunakan jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Network).

Citra satelit NOAA-AVHRR digunakan sebagai dataset pelatihan untuk meramalkan arah pergerakan. Hasil pengujian terhadap citra satelit yang baru menunjukkan hasil peramalan dan generalisasi yang baik.

(16)

Di dalam bidang geografis, selain perkiraan cuaca, dinamika atmosfir dan lautan juga merupakan bagian dari fenomena chaos seperti yang dikemukakan oleh (Yiqiang, Yanbin, Zhengshan, Jun, & Luyan, 2010). Untuk melakukan proses klassifikasinya dibutuhkan waktu akuisisi data yang lama menggunakan algoritma Chaos Control. Ketidak cukupan informasi yang memadai dapat menyebabkan rendahnya akurasi klasifikasi. Kambhampaty et al. (2014) mengajukan teknik k-mean clustering, coiflets wavelets transform dan proses denoising citra untuk mengklasifikasi data piksel melalui segmentasi citra satelit dan mengidentifikasi panjang gelombang dalam memprediksi tornado melalui citra satelit dan memberi hasil yang lebih akurat dalam memprediksi terjadinya tornado.

DeMaria, (2015) dan (Collins & Collins, 2008) mengemukakan cepatnya intensifikasi siklon tropis membentuk suatu formasi yang disebut eye formation yang merupakan informasi yang penting dalam ramalan terjadinya badai. Untuk mendeteksi formasi mata pada siklon tropis secara otomatis mereka mengajukan metode analisis diskriminan melalui algoritma LDA/QDA (Linear And Quadratic Discriminant Analysis dan PCA (Principal Component Analysis) yang berguna untuk mengurangi dimensi dari dataset infra red (IR). Berkaitan dengan citra satelit, (Dutta, 2016) mengemukakan bahwa untuk melakukan analisis pola intensitas citra pada citra satelit dari modalitas yang berbeda, diperlukan proses pengolahan untuk mengekstrak pola siklon awan dengan menggunakan metode VIS (Visible) dan Enhaned Gambar Satelite Infra-Red Cyclone. Hasil akhir digunakan untuk mendapatkan kontur intensitas awan yang akan digunakan pada analisis pola. (Banerjee, 2016) mengajukan algoritma preprocessing untuk menentukan adanya pola intensifikasi yang tidak teratur pada badai Roxanne.

Wang et al. (2018) dan (Liantoni, Suciati, & Fatichah, 2015) menggunakan algoritma Ant Colony Optimization (ACO) untuk mendapatkan piksel citra yang dapat diidentifikasi secara spectral sehingga dapat memberikan solusi tambahan pada pengumpulan sampel lapangan. Metode tersebut digunakan untuk merekonstruksi dataset spektral menjadi fase-fase, di mana karakteristik chaos yang tersembunyi dalam dataset dapat disusun kembali menjadi urutan

(17)

yang dapat diprediksi. Dengan demikian, anggota akhir yang lebih baik dapat dipilih dari dataset spektral atau hyperspectral.

Selanjutnya, (Jingying Tang and Corene Matyas, 2018) mengusulkan model Nowcasting untuk siklon tropis daerah hujan berdasarkan TRECMotion Vector Retrieval dengan skema semi-Lagrangian, yaitu pengamatan radar cuaca berdasarkan algoritma pencarian vektor gerak multi-skala, teknik optimasi dan skema adveksi semi-Lagrangian. Medan gerak dan daerah curah hujan yang diperoleh dengan algoritma pencarian vektor gerak multi-skala tersebut kemudian dikoreksi dan dirapikan dengan teknik optimasi.

Penelitian yang dilakukan (Cangialosi et al. 2018), bertujuan melakukan pengamatan pada badai Irma dengan menggunakan teknik berbasis satelit antara lain Tropical Analysis and Forecast Branch (TAFB), Satellite Analysis Branch (SAB), dan Advanced Dvorak Technique (ADT) dari Cooperative Institute for Meteorological Satellite Studies/University of Wisconsin-Madison. Data dan citra dari NOAA polar-orbiting satellites yang digunakan termasuk Advanced Microwave Sounding Unit (AMSU), NASA Global Precipitation Mission (GPM), European Space Agency’s Advanced Scatterometer (ASCAT), dan Defense Meteorological Satellite Program (DMSP) satelit.

Menurut (Wang et al., 2018), melakukan penelitian pada citra satelit yang beresolusi tinggi dengan metode supervised segmentation, metode tersebut meningkatkan ekspresi ketidakpastian untuk keanggotaan piksel.

Dalam disertasi ini, berkenaan dengan adanya metode analisis diskriminan melalui algoritma LDA/QDA (Linier and Quadratic Discriminant Analysis) yang dikemukakan oleh DeMaria (2015) dan (Lee & Liu, 2001), maka peneliti akan membuat suatu model dengan menggunakan metode Supervised Image Classification yang dapat melakukan deteksi awal fenomena chaos angin puting beliung, yang dijadikan sebagai dasar untuk memprediksi akan terjadinya puting beliung. Dalam hal ini hubungan antara fenomena chaos dengan angin puting beliung adalah bahwa fenomena chaos merupakan gejala alam yang tidak teratur yang dikenal sebagai chaos, dimana fenomena chaos tersebut banyak ditemukan pada objek seperti salah satu nya adalah awan. Awan merupakan salah satu dasar pembentukan sebelum terjadinya puting beliung, dimana pada angin puting

(18)

beliung adanya pertumbuhan awan atau awan putih yang membentuk berlapis- lapis. Diantara banyaknya awan, ada salah satu awan yang memiliki batas tepi dengan warna abu-abu yang sangat jelas yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar utama dalam mendeteksi pembentukan awal akan terjadinya angin puting beliung melalui proses segmentasi citra dengan algoritma Edge Detection.

Adanya garis batas (boundary) pada lapisan-lapisan awan diantaranya awan cumulonimbus dapat diidentifikasi berdasarkan lokasi piksel dimana terdapat nilai perbedaan intensitas secara ekstrem. Lapisan-lapisan awan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk prediksi akan terjadinya puting beliung dan memfokuskan lokasi-lokasi piksel yang memiliki karakteristik tertentu, dimana pada awan tersebut terdapat fenomena yang menunjukkan ketidakteraturan dan tidak dapat didefinisikan. Peneliti mengusulkan model Supervised Image Classification melalui proses segmentasi citra menggunakan algoritma Edge Detection (Deteksi Tepi) dan selanjutnya untuk mendapatkan nilai prediksi dengan menggunakan algoritma Spectral Angle Mapper (SAM) Classification.

Dalam hal ini, model yang diusulkan dalam desertasi karena relatif sederhana yang memberikan nilai prediksi dan ketidakpastian. Nilai prediksi di dapat dari hasil proses melalui algoritma Spectral Angle Mapper Classification dalam bentuk interval nilai piksel minimum dan maksimum berdasarkan Average Correlation Angle pada spektrum warna RGB maupun warna grayscale. Average Correlation Angle adalah rata-rata sudut korelasi antara variabel x dan variabel y pada spektrum warna dataset training image angin puting beliung dan dataset testing image awan cumulonimbus. Kedua variabel tersebut dapat berkorelasi jika adanya perubahan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain secara teratur dengan arah yang sama. Awan cumulonimbus dan angin puting beliung merupakan variabel independen karena intensitas cahaya yang dihasilkan oleh Awan Cumulonimbus dan angin puting beliung tidak dapat diatur oleh manusia.

1.2. Perumusan Masalah

Persoalan yang akan diteliti dalam riset disertasi ini adalah seperti apakah model yang dapat dibangun agar garis batas lapisan-lapisan awan cumulonimbus dapat

(19)

digunakan untuk menemukan adanya chaos dalam awan dan mengarah pada puting beliung.

1.3. Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat lebih diutamakan pada permasalahan yang akan diselesaikan, maka peneliti membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut :

1) Dengan keterbatasan waktu dalam melakukan pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan sebagai dataset training, dataset validasi dan dataset testing, peneliti menggunakan data penginderaan jarak jauh atau remote sensing dari pihak ketiga yang berhubungan dengan awan cumulonimbus dan angin puting beliung.

2) Dataset training dan dataset testing analisisnya diambil dari data image awan cumulonimbus dan angin puting beliung dan dataset validasi di uji dengan dataset image angin puting beliung yang terjadi di bandung, wonogiri dan awan cumulonimbus yang terjadi di Makasar.

3) Hasil akhir mendapatkan interval nilai minimum dan maksimum Average Correlation Angle sebagai nilai prediksi yang dijadikan sebagai dasar deteksi fenomena chaos pada angin puting beliung yang dilakukan dengan menggunakan metode supervised image classification melalui algoritma Spectral Angle Mapper.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model mendeteksi awal terjadinya fenomena chaos angin puting beliung. Untuk tujuan ini, maka dibangunlah satu buah model supervised image classification menggunakan algoritma Edge Detection metode Robert dan algoritma Spectral Angle Mapper (SAM) untuk mendapatkan interval nilai minimum dan maksimum intensitas nilai piksel Average Correlation Angle.

(20)

1.5. Kontribusi Penelitian

1) Penelitian ini menghasilkan satu buah model supervised image classification melalui algoritma Edge Detection metode Robert untuk mendapatkan batas tepi pada lapisan Awan Cumulonimbus yang merupakan pembentukan awal akan terjadinya puting beliung.

2) Diperoleh satu interval nilai minimum dan maksimum Average Correlation Angle berdasarkan spektrum warna biner yang merupakan hasil ekstraksi dari citra RGB menggunakan algoritma Edge Detection melalui algoritma Spectral Angle Mapper pada Supervised Classification berbasis image.

3) Model yang dihasilkan dapat digunakan pada alat sebagai fairmware untuk mendeteksi awal akan terjadinya Angin Puting Beliung.

4) Data hasil pengolahan dalam penelitian ini, dapat dijadikan sebagai dataset yang bisa diakses secara online.

(21)

BAB 2

CHAOS DAN SUPERVISED IMAGE CLASSIFICATION

2.1. Chaos

Ciri khas chaos adalah terdiri dari kumpulan titik-titik yang rapat dengan orbit- orbit yang muncul atau terjadi pada selang waktu yang tetap (priodik), sensitif pada kondisi awal. Artinya, chaos atau kekacauan adalah fenomena yang memiliki aturan yang mendasari tentang sesuatu yang pasti terjadi (deterministik) secara berulang yang tidak teratur. (Alvarez-Ramirez et al., 2016) dan (Munakata, 2008)

2.1.1. Konsep Dasar Chaos

Dalam kehidupan sehari-hari, salah satu mungkin berkata "kekacauan" untuk menggambarkan situasi gangguan ekstrim, ketidakteraturan, atau kebingungan.

Dalam hal ini, mungkin bertanya-tanya apa chaos hubungannya dengan sesuatu yang berguna, terutama pada komputasi cerdas. Arti ilmiah dari sistem chaos atau kekacauan untuk jangka pendek, yang di gunakan antara lain memiliki satu ciri khas. Suatu gerakan sekecil apa pun akan menimbulkan akibat yang sangat besar. Kemungkinan akibat tersebut tidak dapat dirasakan pada waktu dan tempat yang diharapkan. Mulai dari ketidakpastian, ketidakteraturan dan chaos dapat menjadi sumber inspirasi dan awal dari suatu karya.

2.1.2. Pandangan Sederhana Tentang Fenomena dan Chaos

Untuk memudahkan pemahaman, ada dua parameter sederhana untuk klassifikasi fenomena diantaranya sebagai berikut :

1). Keteraturan penampilan di permukaan;

2). Karakteristik aturan yang mendasar, dapat ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Karakteristik Aturan Dasar Chaos

Jenis Fenomena Penampilan Aturan Dasar

1. Reguler Reguler/Teratur Deterministik

2. Statistik Reguler/Teratur Probabilistik

3. Chaos Tidak Teratur Deterministik

4. Acak Tidak Teratur Probabilistik

(22)

Contoh dari fenomena ini adalah:

1) Reguler: Penampilannya teratur atau tetap, aturan dasarnya adalah deterministik yaitu sesuatu yang dapat diukur dengan derajat kepastian.

2) Statistik: Jenis fenomena yang penampilannya teratur atau tetap, aturan dasarnya adalah probabilistik artinya secara statistik adanya faktor kemungkinan akan terjadinya suatu peristiwa.

3) Chaos: Jenis fenomena yang penampilannya tidak teratur, aturan dasarnya adalah deterministik yaitu sesuatu yang diukur dengan derajat kepastian.

4) Random: Jenis fenomena yang penampilannya tidak teratur, aturan dasarnya adalah probabilistik yaitu adanya kemungkinan akan terjadinya kejadian atau peristiwa.

Pada umumnya batas antara chaos deterministik dan sistem random probabilistik tidak selalu jelas, karena sistem random bisa memiliki aturan yang mendasari deterministik yang belum ditemukan (mungkin hanya Tuhan yang tahu saat ini). (Gries and Schneider, 2008}

Contoh sederhana Chaos yaitu Pseudo_Random Number Generator yaitu merupakan suatu contoh dari sistem chaos dalam Ilmu Komputer. Aturan dasar dari Pseudo_Random Number Generator biasanya rumus deterministik sederhana, dimana solusi yang dihasilkan yaitu angka Pseudo. Chaos yaitu sangat tidak teratur dan tidak dapat diprediksi (semakin tidak dapat diprediksi, semakin baik angka acaknya). Dalam hal ini adanya perubahan kecil dalam kondisi awal dapat menghasilkan urutan chaos yang berbeda secara signifikan.

Gambaran prilaku Chaos, dapat digunakan rumus : (Munakata, 2008)

= mod m……….(2.1)

Jika persamaan = adalah linier, maka dengan adanya mod m menjadi non linier. Untuk tujuan ilustrasi, dimisalkan = mod 997, dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1.

(23)

Gambar 2.1. Prilaku Chaos pada Pseudo_Random Number

Gambar 2.1. menunjukkan dua urutan angka pada Pseudo_Random Number, dimana satu urutan memiliki nilai 117 sementara yang lain menggunakan nilai 118 yang sedikit berbeda. Adanya titik sudut diskrit dari grafik menunjukkan urutan yang menghubungkan titik-titik dengan segmen garis.

Seperti halnya banyak istilah dalam science, tidak ada definisi standar tentang chaos. Ciri-ciri dari chaos yang umum adalah:

1). Deterministic. Dalam hal ini deterministik memiliki aturan yang mendasari probabilistik dari sistem untuk masa depan.

2). Nonlinear. Aturan yang mendasari adalah nonlinear; jika linear, tidak terjadi chaos.

3). Irregular. Perilaku sistem menunjukkan ketidakteraturan berkelanjutan.

Agar tersembunyi mencakup sejumlah besar atau tak terbatas dari pola gerakan periodik tidak stabil. Sehingga sistem chaos tidak teratur yang tersembunyi ini membentuk infrastruktur - "urutan gangguan" singkatnya.

4). Peka terhadap kondisi awal. Perubahan kecil dalam keadaan awal sistem yang chaos dapat menyebabkan perilaku yang sangat berbeda. "Butterfly Effect," hal ini menyajikan kemungkinan bahwa adanya gangguan sedikit dari kepakan sayap kupu-kupu secara dramatis dapat mempengaruhi apakah langit cerah atau berawan dikemudian hari.

5). Panjang wakt u( t ). Prediksi praktis tidak mungkin dalam banyak kasus karena ketidakteraturan berkelanjutan dapat diketahui presisi yang terbatas dan kepekaan terhadap kondisi awal. (Boeing, 2016)

(24)

2.1.3. Penelitian Teori Chaos

Penelitian sebelumnya membahas deskripsi yang lebih matematis dari chaos.

Umumnya, masalah nonlinier secara analisis sulit untuk dipecahkan, kecuali dalam beberapa kasus yang terbatas. Hal ini menjadi alasan banyak ilmuwan dan insinyur pada umumnya menghindar dari masalah nonlinear. Chaos merupakan salah satu masalah nonlinear yang paling sulit untuk dipecahkan. Secara empiris, studi tentang chaos dimulai dalam bidang ilmu matematika dan fisika. Hal ini kemudian diperluas ke dalam ilmu teknik, yang menjadi studi pada ilmu informasi dan ilmu-ilmu sosial. Saat ini, telah ada minat dalam kajian teoritis dan aplikasi sistem chaos. Ada beberapa alasan yang mendasari penelitian chaos.

Salah satunya adalah pentingnya studi di banyak disiplin ilmu. Elemen kunci lain adalah kekuatan, kecepatan dan kapasitas memori perangkat keras komputer mudah diakses. Meskipun sejarah penelitian sistem chaos bukan merupakan hal yang baru. (Chen et al., 2012) dan (Pramitasari & Wardoyo, 2013)

Pada dasarnya teori Chaos adalah teori yang berkenaan dengan sistem yang tidak teratur. Banyak ditemukan pada objek-objek seperti awan, pohon, garis pantai, ombak dan angin puting beliung. Sekilas, sistem-sistem tersebut terlihat acak dan tidak teratur. Jika dilakukan pembagian (fraksi) atas bagian-bagian yang kecil, maka sistem yang besar yang tidak teratur ini didapati sebagai pengulangan dari bagian-bagian yang teratur. Secara statistik bisa dinyatakan bahwa Chaos adalah kelakuan stokastik dari sistem yang deterministik. Sistem yang deterministik (sederhana, satu solusi) bila ditumpuk-tumpuk akan menjadi sistem yang stokastik (rumit atau solusi banyak). (Alvarez-Ramirez et al., 2016)

Dalam chaos adanya tingkat ketidakberaturan yang sama pada skala yang berbeda, dinamakan fraktal yaitu untuk menggambarkan pola yang terlihat di dalam ketidakberaturan, seperti yang terdapat pada objek awan dan angin puting beliung.

2.1.4. Fraktal

Fraktal adalah objek secara geometris yang memiliki bentuk diantaranya sebagai berikut :

(25)

a) Recursive Self_similarity (Kesamaan Secara Rekursif). Pada skala kecil bagian yang diperbesar dari objek memiliki bentuk yang sama atau mirip dengan bentuk aslinya.

b) Non Integer (Tidak Bilangan Bulat), yaitu dimensi fraksional. Fraktal yang memiliki dimensi fraksional seperti 2.26 atau 3.05, untuk dimensi integer atau bilangan bulat seperti 1,2 atau 3.

Apakah hubungan antara fraktal dengan chaos. Fraktal adalah objek geometris atau segala sesuatu yang ada di bumi (ukuran bumi) dari image yang statis/tetap, chaos adalah pola yang dinamis atau berubah ubah, dimana gerakan pada suatu titik menjadi objek yang utama. Hal inilah hubungan antara adanya fraktal dengan chaos (Alvarez-Ramirez et al., 2016) dan (Munakata, 2008). Topik dasar dalam geometris adalah bentuk Garis dan Angle. Seperti yang terdapat pada image dataset angin puting beliung dan awan. Dalam fraktal terdapat istilah dimensi, yaitu untuk mewakili tingkat geometris. Struktur fraktal dapat ditemukan diantaranya seperti yang terdapat pada objek angin puting beliung dan objek awan cumulus stage, awan cirrus, awan nimbo stratus dan awan cumulonimbus. Dalam hal ini teori chaos berawal dari ketidaksimetrisan, ketidakberaturan dan kechaosan pada salah satu objek angin puting beliung yang kemudian menghasilkan suatu pola yang teratur dan pola yang berulang. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada objek angin puting beliung, yaitu memiliki tingkat geometris yang sering disebut dengan istilah dimensi fraktal.

2.1.5. Dimensi Fraktal

Menggunakan istilah "dimensi" untuk mewakili tingkat geometris. Dalam ruang Euclidean (Cartesian), dimensi 1 adalah ruang bentuk garis, dimensi 2 untuk bidang, dan dimensi 3 adalah garis dan bidang. Gagasan ini sedikit diperluas, dimensi dapat dikatakan sebagai jumlah minimum koordinat atau variabel yang diperlukan untuk mewakili setiap titik dalam ruang. Misalnya, dimensi kurva halus adalah 1, karena setiap titik dalam ruang (misal., Pada kurva) dapat diwakili oleh satu angka jarak sepanjang kurva dari titik asalnya (Gambar. 2.3).

(26)

Gambar 2.2. Kurva Dimensi 1

Secara umum, dimensi dapat berupa semacam ukuran yang mencirikan sifat-sifat yang mengisi ruang untuk sekumpulan titik dalam ruang. Dengan menggunakan interpretasi dimensi yang lebih luas, dapat mendefinisikan tipe dimensi lain termasuk yang fraksional. Istilah generik yang memungkinkan nilai fraksional adalah dimensi fraktal. Berbagai jenis dimensi dapat digunakan dalam dimensi fraktal dengan menggunakan definisi yang berbeda. Dalam hal ini dimensi apa yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dimensi bukan 1 atau 2, tetapi dimensi fraktal. (Boeing, 2016) dan Munakata (2008).

Untuk mengatasi masalah ini, di perkenalkan konsep baru yang disebut dimensi kesamaan yaitu dimensi fraktal sederhana.

a) Similarity Dimension (Kemiripan Dimensi)

Dengan mempertimbangkan dalam mempartisi bentuk dimensi-d, seperti segmen garis, bujur sangkar atau kubus dalam ruang Euclidean, ke dalam bentuk yang serupa, yang diperkecil dengan faktor r. Hubungan antara d, p, dan r adalah p = rd (Gambar 2.6). Meskipun kasus untuk d = 3 tidak ditunjukkan pada Gambar 2.6, hubungan yang sama berlaku untuk d = 3;

misal, ketika r = 2, sebuah kubus dibagi menjadi p = rd = 23 = 8 merupakan kubus yang diperkecil.

Dimensi d yang memenuhi hubungan p = rd dari integer dapat diperluas untuk dimasukkan dalam dimensi fraktal, yang disebut dengan similarity dimension (dimensi kesamaan). Dengan mengambil logaritma p = rd dengan basis apa pun, dapat dimiliki pada: log p = d log r, atau dengan memilih logaritma natural, ln, dimana ln p = d ln r. Secara eksplisit dengan menulis dalam bentuk d, di definisikan dimensi kesamaan sebagai:

d = ……….……….(2.2.)

(27)

Gambar 2.3 Bentuk partisi dimensi-d menjadi bentuk yang serupa, diperkecil oleh faktor r. Dapat dilihat bahwa p = rd.

Gambar diatas faktor r = 3 dan p = 4. Oleh karena itu, dimensi kesamaan adalah (ln 4) / (ln 3) = 1.26186. Seperti disebutkan sebelumnya, dimensi fraktal lain dapat didefinisikan, dan dimensi bentuk chaos, seperti chaos attractor dan diagram bifurkasi, dapat ditentukan.

Gambar pada angin puting beliung dan awan merupakan salah satu bentuk visual gambar fraktal, yang telah dikembangkan dengan menggunakan grafik komputer.

Konsep fraktal geometrik adalah sejarah utama berkembangnya dalam ilmu sistem chaos.

2.1.6. Aplikasi Chaos

Aplikasi baru yang berpotensi secara praktis yang sedang diteliti adalah tentang chaos. Pada bagian ini, akan dibahas secara singkat ide-ide dasar dari berbagai jenis aplikasi chaos. Untuk memudahkan pemahaman, chaos dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe sebagai berikut:

1) Kontrol dan Stabilisasi 2) Sintesis

3) Analisis dan Prediksi 4) Sistem Hibrida

Selanjutnya keempat jenis aplikasi chaos yang akan dibahas dan sebagai contoh pada bagian aplikasi yang berpotensi dalam berbagai disiplin ilmu sebagai berikut.

1) Kontrol dan Stabilisasi

(28)

Sistem kontrol dan stabilisasi dapat untuk menstabilkan atau mengendalikan secara sensitivitas dari sistem ekstrem pada gangguan yang kecil. Gagasan mendasar adalah bahwa gangguan kecil dapat diartikan secara artifisial untuk mengendalikan atau menstabilkan sistem yang besar yang mengarahkan pada sistem kacau ke keadaan yang diinginkan (kontrol) atau untuk membuatnya stabil (stabilisasi). Biasanya operasi kontrol atau stabilisasi seperti itu membutuhkan jumlah energi yang jauh lebih kecil daripada sistem non chaotic. Contoh yang baik dari jenis aplikasi ini adalah sistem kontrol satelit pada NASA.(Alvarez- Ramirez et al., 2016)

2) Sintesis

Untuk membuat sistem bekerja lebih baik, keluaran chaos secara artifisial yang dihasilkan dapat diterapkan pada jenis masalah tertentu, baik chaos atau non- chaos. Gagasan mendasar adalah bahwa keteraturan tidak selalu yang terbaik, tergantung pada jenis masalah. Dimana gelombang chaos pada lapisan angin puting beliung dan awan secara sintetis dapat menghasilkan keluaran chaos.

Dalam komunikasi, sinyal chaos yang dihasilkan secara artifisial dapat mengikuti urutan yang ditentukan, sehingga memungkinkan untuk mengirimkan informasi.

Fluktuasi chaos yang dihasilkan secara artifisial dapat digunakan untuk menstimulasi solusi yang sedemikian rupa untuk mendapatkan keluaran dari minimum lokal pada masalah optimisasi atau pembelajaran seperti dalam jaringan saraf tiruan.

3) Analisis dan Prediksi

Ketika berhasil memodelkan sistem chaos, yang dapat digunakan untuk menganalisis sistem time series. Dalam hal ini kemudian dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik atau desain sistem yang lebih efisien. Atau, dapat digunakan untuk prediksi atau deteksi perilaku sistem dalam waktu dekat.

Misalnya, pada cuaca, dan iklim seperti osilasi El Niño. Analisis yang sering digunakan adalah dengan analisis statistik melalui nilai mean, standard deviasi dan average correlation angle. Analisis tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk memprediksi cuaca dan iklim yang akan muncul secara cepat dan ekstrim. Salah satu diantaranya adalah dalam memprediksi akan terjadinya angin

(29)

puting beliung yang terdapat pada salah satu awan diantaranya seperti yang terdapat pada awan cumulonimbus.

4) Sistem Hybrid

Pada bidang AI lainnya, seperti jaringan saraf (tiruan), algoritma genetika, dan logika fuzzy dapat digunakan bersama dengan chaos, seperti, misalnya, jaringan saraf + chaos, atau jaringan saraf + fuzzy + kekacauan. Konsep dasar dari sistem hybrid tersebut adalah untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, sehingga menciptakan pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah.

Jaringan saraf + Jaringan saraf dimodelkan pada jaringan saraf biologis atau otak manusia, dan otak menunjukkan perilaku kacau. Oleh karena itu, wajar untuk menggabungkan kekacauan dengan studi jaringan saraf. Sistem biologis yang kacau mampu melakukan tugas-tugas kompleks seperti produksi suara, pengenalan pola visual dan audio, dan kontrol motor, dengan fleksibilitas. Tugas- tugas ini sulit dicapai oleh sistem teknik reguler. Sistem kekacauan buatan telah dimasukkan dengan model backpropagation dan memori asosiatif. Dari sudut pandang teknik, jaringan saraf yang chaos itu dapat diterapkan untuk prediksi dan kontrol. Dari sudut pandang ilmiah, jaringan tersebut dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik dari jaringan saraf biologis di mana otak yang normal menunjukkan kekacauan. Juga, seperti dibahas sebelumnya, fluktuasi kacau yang dihasilkan secara artifisial dapat digunakan untuk melarikan diri dari minimum lokal untuk beberapa jenis jaringan saraf.

Algoritma genetika + Chaos merupakan Aplikasi yang potensial mencakup penggunaan kekacauan sebagai alat untuk meningkatkan algoritma genetika.

Misalnya, fungsi kacau tertentu, bukan angka acak, dapat digunakan dalam proses crossover. Hal ini dapat mengubah karakteristik solusi algoritma genetik, menuju situasi yang lebih diinginkan seperti menghindari konvergensi dini. Ini dapat diartikan sebagai penggunaan fungsi chaos yang dibuat secara artifisial untuk melarikan diri dari minimum lokal.

Pemodelan chaos dari algoritma genetika dapat menjadi contoh lain dari potensi penggunaan chaos sebagai alat untuk menganalisis algoritma genetika. Algoritma genetika, terutama bagi mereka yang menghasilkan solusi kacau, dapat dianalisis dengan model chaos. Sebaliknya, algoritma genetika dapat menjadi alat yang

(30)

berguna untuk menggambarkan sistem kacau yang kompleks di mana pemodelan matematika umum sulit.

Logika fuzzy + Kekacauan Sistem fuzzy cocok untuk penalaran yang tidak pasti atau perkiraan, terutama untuk sistem yang sulit diperoleh dengan model matematika. Logika fuzzy dapat digunakan untuk menggambarkan sistem dinamik yang kacau. Dari sudut pandang aplikasi, kontrol mungkin adalah domain yang paling menjanjikan dari sistem hybrid chaos-fuzzy.

Awan cumuonimbus dan angin puting beliung merupakan kejadian alam yang terjadi secara tiba-tiba yang sering disebut dengan Fenomena. Sedangkan chaos merupakan pola atau sistem yang tidak teratur dan tidak dapat diprediksi seperti yang terdapat pada awan cumulonimbus maupun angin puting beliung.

Atas dasar konsep antara fenomena dan chaos, maka penelitian ini dinamakan dengan fenomena chaos angin puting beliung. Adapun fenomena chaos angin puting beliung yang tidak teratur dan tidak dapat diprediksi, nantinya dapat digunakan sebagai dasar agar bisa diprediksi melalui lapisan yang tidak teratur pada awan cumulonimbus dengan melakukan beberapa tahapan. Lapisan yang terdapat pada awan cumulonimbus dapat diklassifikasikan sebagai fenomena chaos yang memiliki garis batas (boundary) yang dapat membawa terjadinya angin puting beliung.

Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah dengan menggunakan algoritma yang terbentuk yaitu algorithma Fenomena Chaos Spectral Angle Mapper.

Adapun tahapan-tahapannya pertama dilakukan dengan mencari batas tepi yang ekstrem pada lapisan image awan cumulonimbus dengan menggunakan algoritma Edge Detection. Setelah didapat batas tepi pada lapisan awan cumulonimbus, tahapan berikutnya melakukan proses clustering dengan menggunakan metode unsupervised image classification dengan mendapatkan nilai standard deviasi dan nilai mean. Setelah cluster terbentuk pada lapisan awan cumulonimbus, selanjutnya dilakukan proses klassifikasi dengan menggunakan metode supervised image classification yang menghasilkan nilai Average Correlation Angle melalui algoritma Spectral Angle Mapper. Average Correlation Angle merupakan suatu nilai rata-rata sudut korelasi antara variabel x dan y pada spektrum warna RBG pada lapisan awan cumulonimbus.

(31)

2.2. Supervised Image Classification

(Devi And Baboo, 2011) mengemukakan ada beberapa metode yang digunakan pada klassifikasi yang diawasi (Supervised Classification) berbasis image, diantaranya Maximum Likelihood Classification (MLC), Minimum Euclidean Distance Classification (MEDC), Parallel Piped Classification (PPC), ECHO Classification (ECHOC), Spectral Angle Mapper Classification (SAMC).

2.2.1. Maximum Likelihood Classification (MLC)

Metode ini didasarkan pada nilai piksel yang sama dan pengenalan pada citra serta dapat membandingkan dan memperhitungkan nilai rata-rata dari keragaman antar kelas dan band/saluran yang ada seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Metode MLC (Sumber : Lillesand, 2001)

Yaitu menghitung probabilitas bahwa piksel tertentu milik kelas tertentu. Setiap piksel diarahkan ke kelas yang memiliki probabilitas tertinggi (yaitu, kemungkinan maksimum).

2.2.2. Minimum Euclidean Distance Classification (MEDC)

Merupakan metode klassifikasi diawasi yang cara klassifikasinya berdasarkan dengan melihat jarak terpendek antara nilai kecerahan suatu piksel dengan rata- rata kelas yang ingin diklassifkasikan seperti pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Metode MEDC (Sumber : Lillesand, 2001)

(32)

Yaitu menggunakan vektor rata-rata untuk setiap kelas dan menghitung jarak Euclidean dari setiap piksel yang tidak diketahui ke vektor rata-rata untuk setiap kelas. Piksel diklasifikasikan ke kelas terdekat.

2.2.3. Parallel Piped Classification (PPC)

Merupakan metode klassifikasi diawasi yang berfungsi untuk mengetahui kecerahan rata-rata kelas pada semua band/saluran pada image seperti pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Metode PPC (Sumber : Lillesand, 2001)

Klasifikasi parallelepiped ditentukan berdasarkan ambang standar deviasi dari rata-rata setiap kelas yang dipilih. Jika nilai piksel berada di atas ambang rendah dan di bawah ambang tinggi untuk semua n band yang diklasifikasikan.

2.2.4. Spectral Angle Mapper (SAM) Classification

Metode ini berdasarkan sudut antara spektra dalam ruang dengan dimensi yang sama dengan jumlah band. Dengan menghitung sudut antara kedua spektrum yang membentuk vektor dalam ruang dengan dimensi yang sama dengan jumlah saluran atau band (band a dan band b) seperti pada gambar 2.7.

Gambar 2.7. Metode SAM Classification (Sumber : Lillesand, 2001)

(33)

Merupakan klasifikasi spektrum yang menggunakan sudut n-dimensi untuk mencocokkan piksel dengan data pelatihan. Metode ini menentukan kesamaan spektral antara dua spektrum dengan menghitung sudut antara kedua spektrum dan sebagai vektor dalam ruang dengan dimensi sama dengan jumlah saluran atau band. Band dalam hal ini adalah warna, misalnya menggunakan warna biner atau citra grayscale.

Metode SAM juga merupakan metode otomatis untuk mengklassifikasikan objek dalam satu piksel secara homogen untuk mendapatkan nilai reflektansi dari piksel.

Pengukuran spektra dilakukan dengan bantuan spektrometer yang dapat merekam pantulan gelombang elektromagnetik dari objek. Atau secara langsung dengan menentukan kesamaan spektra antara dua spektrum yang terdapat pada lapisan- lapisan dataset image awan cumulonimbus dan pada dataset image angin puting beliung. Metode ini tidak peka terhadap pencahayaan karena algoritma SAM hanya menggunakan arah vektor dan bukan panjang vektor. Hasil klassifikasi SAM adalah image awan cumulonimbus yang memiliki lapisan-lapisan yang menunjukkan kecocokan terbaik pada setiap piksel.

Gambar 2.8. Arah Vektor Algoritma SAM

Pada gambar 2.8. merupakan ilustrasi atau gambaran dari klassifikasi dengan metode SAM, hasil pengukuran spektral dengan bantuan spektrometer yang dapat merekam pantulan gelombang elektromagnetik dari objek. Misalnya pantulan cahaya yang terbentuk pada spektrum warna dasar yaitu RGB menghasilkan sudut spektral (α) melalui arah vektor pada variabel atau sumbu x (disimbolkan dengan N) dan variabel atau sumbu y (disimbolkan dengan P). Dim merupakan diameter lingkaran image, Denp merupakan diameter untuk penentuan sudut spektral.

(34)

Adapun arah vektor yang terdapat dan dihasilkan pada lapisan-lapisan image dataset awan cb dan angin puting beliung menghasilkan nilai average correlation angle. Average Correlation Angle merupakan rata-rata sudut korelasi, dimana sudut korelasi adalah teknik analisis dalam statistik yaitu sudut yang memiliki hubungan antara dua variabel atau derajat hubungan atau derajat asosiasi misal variabel x dan variabel y. Kedua variabel tersebut dikatakan berkorelasi apabila ada perubahan pada variabel yang satu akan diikuti oleh perubahan pada variabel yang lain secara teratur dengan arah yang sama (korelasi positif) atau berlawanan (korelasi negatif).

Dalam hal ini pada lapisan-lapisan yang terdapat pada dataset image angin puting beliung dan awan cumulonimbus, merupakan variabel yang perubahannya cenderung diluar kendali manusia, karena intensitas cahaya yang dihasilkan oleh angin puting beliung dan lapisan-lapisan awan cumulonimbus tidak dapat diatur oleh manusia. Oleh karena itu metode Spectral Angle Mapper yang digunakan pada dataset angin puting beliung dan awan cumulonimbus tidak mempertimbangkan intensitas cahaya yang dihasilkan, tetapi berdasarkan arah vektor yang terdapat pada lapisan-lapisan awan cumulonimbus yang mengarah akan terjadinya angin puting beliung tersebut. Dimana lapisan-lapisannya terdapat arah vektor dalam ruang dimensi yang sama dengan jumlah bandnya.

Spectral Angle Mapper (SAM) adalah suatu metode klassifikasi yang baik, karena melakukan evaluasi untuk analisis kesamaan spektral dengan menonjolkan pantulan target dari karakteristik image angin puting beliung dan awan cumulonimbus.

2.3. Klassifikasi Digital dan Klassifikasi Citra Klasifikasi dapat diartikan suatu proses mengelompokan piksel-piksel ke

dalam kelas-kelas atau kategori-kategori berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau digital number/DN) pada piksel. Klasifikasi gambar pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau peta tematik yang berisikan bagian- bagian yang menyatakan suatu obyek atau tema. Tiap obyek pada gambar tersebut memiliki simbol yang unik yang dapat dinyatakan dengan warna atau pola tertentu. Klasifikasi berbentuk gambar, pada awalnya dimulai dengan interpretasi

(35)

visual atau interpretasi gambar secara manual untuk mengidentifikasi kelompok piksel yang sama yang mewakili beragam bentuk atau kelas.(Ma et al., 2017)

Pembuatan (Interpretasi) gambar penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembuatan (interpretasi) secara manual dan pembuatan (interpretasi) secara digital. Klasifikasi digital pada gambar adalah suatu proses di mana piksel-piksel dengan karakteristik spektral yang sama, diasumsikan sebagai kelas yang sama, diidentifikasi dan ditetapkan dalam suatu warna. Dalam perkembangan selanjutnya teknik klasifikasi digital sudah mengarah ke berbasis objek, dimana pada metode klasifikasi berbasis objek menggunakan tiga parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu scale, shape, dan compactness.

Klasifikasi digital memiliki keunggulan pada pemisahan antar objek yang akurat dan presisi. Selain itu klasifikasi digital melakukan klasifikasi berdasarkan segmentasi objek, bukan berdasarkan piksel, klasifikasi digital juga memiliki kelebihan dalam efisiensi waktu pengerjaan.(Zhang & Xie, 2014)

2.3.1. UnSupervised Classification dan Supervised Classification

Klasifikasi secara digital yang menempatkan piksel ke dalam kelas-kelas secara umum dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu klasifikasi tidak diawasi (Unsupervised Classification) dan klasifikasi diawasi (Supervised Classification).

(Mishra, 2018). Klasifikasi tidak diawasi adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas - kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer (Wang et al., 2018).

Klasifikasi tidak diawasi sering disebut clustering yaitu suatu teknik klasifikasi atau identifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (yang dalam hal ini piksel) ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu kategori yang disusun. Klasifikasi tidak diawasi mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Kelas-kelas tersebut tidak berhubungan secara langsung dengan ciri- ciri tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada gambar.(Yiqiang et al., 2010)

Klasifikasi diawasi adalah klasifikasi yang analisisnya mempunyai sejumlah piksel yang mewakili masing - masing kelas atau kategori yang diinginkan.

Klasifikasi diawasi merupakan metode yang diperlukan untuk

(36)

mentransformasikan data gambar multispektral ke dalam kelas-kelas unsur spasial dalam bentuk informasi tematis. Kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan ciri kelas yang diperoleh melalui pembuatan training area. (Ma et al., 2017).

Penentuan training area biasanya dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan atau berdasarkan penyesuaian dengan peta rupa bumi. Training area yang telah didapatkan kemudian dijadikan sebagai masukkan dalam proses klasifikasi untuk keseluruhan gambar (Ma et al., 2017). Pada supervised classification/klasifikasi diawasi, identitas dan lokasi kelas-kelas telah diketahui sebelumnya melalui survei lapangan, analisis foto udara (atau gambar satelit sebelumnya), maupun cara-cara yang lain (Yiqiang et al., 2010).

Klasifikasi diawasi dan tidak diawasi memiliki kekurangan masing-masing.

Klasifikasi tidak diawasi memiliki kekurangan yaitu spektral selalu berubah sepanjang waktu, menyebabkan hubungan antar respon spektral dengan kelas informasi menjadi tidak konstan. Klasifikasi tidak diawasi digunakan pada gambar yang hanya memiliki sedikit informasi. Kekurangan dari klasifikasi diawasi yaitu ouput yang diperoleh akan tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, jika ada kesalahan saat membuat training area, dimana saat pemilihan training area suatu wilayah dapat berisikian beberapa area yang berbeda kelas. Hal tersebut mengakibatkan training area yang telah dibuat akan memproses data yang kurang tepat. Kelebihan dari klasifikasi supervised yaitu dapat membedakan kelas/cluster dengan baik apabila training sample yang diperoleh tepat.(Peter et al., 2018)

2.3.2. Klassifikasi Citra (Image Classification)

Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat memantau dinamika perubahan informasi dengan cepat dan akurat, dan untuk meningkatkan akurasi klasifikasi gambar adalah bagian penting dari pemantauan perubahan kategori dengan menggunakan remote data penginderaan. Metode klasifikasi citra penginderaan jauh tradisional dapat dibagi menjadi metode unsupervised classification dan metode supervised image classification. Tidak perlu metode unsupervised classification untuk memiliki pemahaman sebelumnya dari area studi, dan oleh

(37)

karena itu, ini adalah penghematan waktu dan biaya. Namun, dalam aplikasi praktis, karena kurangnya informasi, akurasi klassifikasi tidak memenuhi persyaratan.

Penelitian sebelumnya digunakan dalam metode supervised classification dan keakuratannya telah ditingkatkan. Namun, karena persyaratan menghitung pusat klaster, metode supervised classification secara tradisional membutuhkan nilai rata-rata dari wilayah sampel, dan tidak ada pertimbangan dari keseluruhan sampel. Penelitian tersebut menggabungkan proses pencarian chaos dinamis dengan algoritma genetika, dengan menggunakan kepekaan di awal kondisi dan parameter sistem dari sistem chaos dan ergodisitas chaos untuk meningkatkan efisiensi pencarian dan meningkatkan solusi optimal, dan meningkatkan akurasi klasifikasi citra penginderaan jarak jauh (Yiqiang et al., 2010).

2.3.3. Teknik Image Classification

Ada berbagai pendekatan klasifikasi yang telah dikembangkan dan banyak digunakan. Hal ini berhubungan dengan logika, mulai dari supervised hingga unsupervised, parametrik sampai ke non parametrik untuk klasifikasi non-metrik,

atau fuzzy, atau per-pixel, sub-pixel, dan prefield (Al-doski et al., 2013). Teknik ini, ada dua tipe prosedur klasifikasi yang umum dan masing-

masing menemukan aplikasi dalam pemrosesan penginderaan jauh suatu gambar:

satu disebut sebagai supervised classification dan yang lainnya adalah unsupervised classification. Dalam hal ini bisa digunakan sebagai pendekatan alternatif, tetapi sering digabungkan ke dalam metodologi hybrid yaitu menggunakan lebih dari satu metode (Boeing, 2016).

Klasifikasi citra unsupervised adalah metode di mana perangkat lunak analisis gambar memisahkan sejumlah besar piksel yang tidak diketahui dalam sebuah gambar berdasarkan nilai reflektansi ke dalam kelas atau kelompok tanpa arah (Al-doski et al., 2013). Ada dua metode pengelompokan yang paling sering digunakan untuk unsupervised classification: K-means dan Iterative Self- Organizing Data Analysis Technique (ISODATA).

Kedua metode ini bergantung sepenuhnya pada statistik berbasis piksel spektral dan tidak menyertakan pengetahuan sebelumnya tentang karakteristik

(38)

yang sedang diteliti. Di sisi lain, klasifikasi yang diawasi adalah metode di mana analis mendefinisikan area kecil yang disebut situs pelatihan pada gambar, yang berisi variabel prediktor yang diukur dalam setiap unit sampling, dan menugaskan kelas-kelas sebelumnya ke unit sampling (Al-doski et al., 2013), Penggambaran area pelatihan perwakilan dari jenis penutup paling efektif ketika seorang analis gambar memiliki pengetahuan tentang geografi suatu wilayah dan pengalaman dengan sifat spektral kelas (Zhang & Xie, 2014).

Diagram berikut menunjukkan langkah-langkah utama dalam dua jenis umum klasifikasi citra :

Gambar 2.9. Diagram Supervised Image Classification

Image Supervised

Training

Image

Pixel Labelling

Accuracy Assessment

(39)

BAB 3

ANGIN PUTING BELIUNG DAN IMAGE PROCESSING

3.1. Karakteristik Angin Puting Beliung

Menurut BMKG perkembangan angin puting beliung dapat dikenali ciri-cirinya melalui perkembangan awan yang ada disekitarnya. Kejadian puting beliung hingga saat ini tidak dapat diprediksi secara akurat, namun bisa dikenali karakteristiknya melalui perkembangan awan konvektif yang berada disekitarnya.

Karakteristik akan terjadinya angin puting beliung dapat dilihat dan dirasakan bahwa sehari sebelumnya udara terasa panas dan pengap. Kemudian sekitar pukul 10.00 akan terjadi pertumbuhan awan vertikal yang gelap dan cepat. Setelah itu, awan cumulonimbus yang besar terbentuk secara cepat, hitam dan gelap.

(Suaydhi.,et al., 2014) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Erma Yulihastin (Anggota variabilitas iklim 2018 Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA)) , Senin (10/12/2018) menyatakan, puting beliung dapat dikategorikan sebagai cuaca ekstrem karena memenuhi beberapa kriteria seperti tidak diharapkan terjadi (unexpected), tidak biasa atau sangat jarang terjadi (unusual), tidak diperkirakan sebelumnya (unpredictable) dan berbahaya (severe) karena menimbulkan dampak kerugian dan mengancam jiwa.

3.1.1. Proses Terjadinya Angin Puting Beliung

Angin puting beliung yang sering dikenal dengan nama angin lesus, termasuk kedalam salah satu fenomena alam yang sangat berbahaya. Angin puting beliung atau juga yang di daerah Sumatera sering disebut dengan nama angin bahorok ini adalah angin yang berputar putar dengan kecepatan mencapai 63 km per jam.

Angin ini sering bergerak secara lurus, dan juga biasanya lewat setelah 5 menit lamanya.(Sigit Bayhu Iryanthony., 2015)

Angin puting beliung sering terjadi saat siang hari dan juga sore hari pada musim pancaroba. Angin ini sering dianggap sebagai salah satu dari jenis angin yang mematikan karena bisa menghancurkan apa saja yang telah dilewatinya.

Hingga saat ini, sudah banyak yang diberitakan musibah angin puting beliung pada banyak tempat. Angin puting beliung yang sangat besar bahkan bisa merusak

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Aturan Dasar Chaos
Gambar 2.1. Prilaku Chaos pada Pseudo_Random Number
Gambar 2.3  Bentuk partisi dimensi-d menjadi bentuk yang serupa, diperkecil oleh  faktor r
Gambar 2.6. Metode PPC (Sumber : Lillesand, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien determinasi (adjusted R 2 ) sebesar 0,249, hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model (Profitabilitas,

Berdasarkan hasil uji determinasi, Maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel promosi penjualan berpengaruh sebesar 50 % terhadap keputusan

Interface ini digunakan untuk mengelola data pengembalian buku mulai dari id kembali, no pinjam serta daftar buku yang dipinjam, jika pengembalian lebih dari

sembelit atau susah buang air besar (konstipasi) merupakan salah satu gangguan yang sering terjadi pada bayi. Gejala umumnya selain susah buang air.. besar, adalah tinja keras,

DJOKO, SH.,MH., masing-masing sebagai Hakim-Hakim Anggota, yang ditunjuk berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Medan tanggal 10 Maret 2011 Nomor :

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, publikasi “ KECAMATAN TAGULANDANG SELATAN DALAM ANGKA 2017 ” dapat kami selesaikan yang merupakan tugas

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini yang berjudul

61. untuk melatih kelincahan baisa dilakukan dengan a. squat rush b. berlari zig zag c. berlari kencang 200m d. berlari 2,4km e. squat