• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1 Teori yang Mendasari

2.1.1 Hakikat Matematika

Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat diantara para matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Sasaran penelaahan matematika tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Dengan mengetahui sasaran penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakekat matematika yang sekaligus dapat kita ketahui juga cara berpikir matematika itu (Hudjojo, 1998: 1).

Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani “mathein” atau

“manthanein”, yang artinya mempelajari. Mungkin juga kata tersebut erat hubungannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya kapandaian, pengetahuan atau intelegensi (Mansyur & Fathani, 2008: 42).

Istilah mathematics (Inggris), mathematik (Jerman), mathematique (Perancis). Matematico (Italia), matematiceski (Rusia) atau mathematick/

wiskunde (Belanda) berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti

“relating to learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathein yang mengandung arti belajar berpikir (Suherman dkk, 2003: 15-16).

Jadi, berdasarkan etimologis menurut Tinggih perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia penalaran, sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau eksperimen di samping penalaran. Menurut Ruseffendi, matematika

(2)

terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dan diproses dalam dunia rasio, sehingga membentuk suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep matematika yang telah terbentuk itu dapat dipahami oleh orang lain dan dapat dengan mudah dimanipulasi secara tepat, digunakan notasi dan istilah yang cermat yang disepakati bersama secara global yang dikenal dengan bahasa matematika (Suherman dkk, 2003: 16).

Sebagai bahasa, matematika memiliki kelebihan, jika dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa matematika memiliki makna tunggal, sedangkan suatu kalimat matematika tidak dapat ditafsirkan bermacam-macam. Ketunggalan makna dalam bahasa matematika ini penulis sebut sebagai bahasa “internasional”, karena komunitas pengguna bahasa matematika adalah bercorak global dan universal di semua negara yang tidak dibatasi oleh suku, agama, bangsa, negara, budaya ataupun bahasa yang mereka gunakan sehari-hari (Mansyur & Fathani, 2008: 47).

Selain sebagai bahasa, matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Menurut Wittgenstein, matematika merupakan metode berpikir yang logis. Berdasarkan perkembangannya, masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah, logika berkembang menjadi matematika, sebagaimana yang disimpulkan oleh Bertrand Russel,

“Matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika” (Mansyur & Fathani, 2008: 50).

2.1.2 Pemahaman Konsep Bilangan Pecahan 1. Pemahaman

Ada beberapa definisi tentang pemahaman menurut para ahli dan di sini akan dibahas sebagian saja definisi pemahaman.

a. Pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan testee mampu memahami arti atau konsep situasi serta fakta yang diketahuinya (Purwanto, 2004: 44).

(3)

b. Suharsimi menyatakan bahwa pemahaman (comprehension) adalah bagaimana seorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali dan memperkirakan (Arikunto, 2009: 118).

Kegiatan yang diperlukan untuk bisa sampai tujuan ini adalah kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui. Dalam taksonomi Bloom, tipe hasil belajar kognitif pada pemahaman dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:

a) Translasi, yaitu kemampuan untuk mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain tanpa mengubah makna. Simbol tersebut berupa kata-kata verbal yang diubah menjadi gambar, bagan atau grafik. Jika simbol berupa kata atau kalimat maka dapat diubah menjadi kata atau kalimat lain.

b) Interpretasi, yaitu kemampuan untuk menjelaskan makna yang terdapat di dalam simbol verbal maupun non verbal.

Kemampuan untuk menjelaskan konsep atau prinsip atau teori tertentu termasuk pada kategori ini.

c) Ekstrapolasi, yaitu kemampuan untuk melihat kecenderungan arah atau kelajuan dari suatu temuan.

2. Konsep Bilangan Pecahan

a. Pengertian bilangan pecahan

Bilangan pecahan adalah bilangan yang disajikan/

ditampilkan dalam bentuk dengan a, b bilangan bulat dan b ≠ 0. Angka a disebut pembilang sementara angka b disebut penyebut. Pada prinsipnya, pecahan digunakan untuk menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama.

Jumlah seluruh bagian yang sama ini bersama-sama membentuk satuan (Subarinah, 2006: 79-80).

(4)

b. Konsep pecahan

Mengenal konsep pecahan akan lebih berarti bila didahului dengan soal-soal cerita yang menggunakan obyek nyata dengan ukuran yang sama jika dipotong-potong, misalnya:

pizza, kue dan lain-lain. Disamping itu, menurut Desi, Suharto dan Dinawati (2012: 180), mengungkapkan bahwa suatu konsep yang dibangun dengan sendirinya akan lebih melekat dalam memori anak dari pada konsep yang disajikan begitu saja dalam suatu pembelajaran. Pada tahap selanjutnya digunakan gambar- gambar yang konkrit, misalnya gambar persegi, lingkaran.

Pecahan 1/2 dapat diperagakan dengan melipat kertas yang berbentuk lingkaran atau persegi menjadi dua bagian yang sama.

Kemudian, kertas yang dilipat dibuka dan diarsir sesuai bagian yang dikehendaki, sehingga akan didapatkan gambar daerah yang diarsir.

Yang diarsir adalah

Pecahan dibaca setengah atau satu per dua atau seperdua.

“1” disebut pembilang, yaitu bagian pengambilan atau 1 bagian yang diperhatikan dari keseluruhan bagian yang sama. “2”

disebut penyebut yaitu merupakan bagian yang sama dari keseluruhan (Sukayati, 2003: 3).

c. Operasi pada pecahan 1). Penjumlahan

(a). Penjumlahan bilangan bulat dengan pecahan.

(b). Penjumlahan pecahan biasa yang penyebutnya sama.

(c). Penjumlahan pecahan biasa yang penyebutnya tidak sama.

(d). Penjumlahan pecahan biasa dengan pecahan campuran.

(5)

(e). Penjumlahan pecahan campuran dengan pecahan campuran.

2). Pengurangan

(a). Pengurangan bilangan bulat dengan pecahan.

(b). Pengurangan pecahan biasa yang penyebutnya sama.

(c). Pengurangan pecahan biasa yang penyebutnya tidak sama.

(d). Pengurangan pecahan biasa dengan pecahan campuran.

(e). Pengurangan pecahan campuran dengan pecahan campuran.

3). Perkalian bilangan pecahan

(a). Perkalian pecahan biasa dengan bilangan bulat.

(b). Perkalian pecahan biasa dengan pecahan biasa.

(c). Perkalian pecahan biasa dengan pecahan campuran.

(d). Perkalian pecahan campuran dengan pecahan campuran 4). Pembagian bilangan pecahan

(a). Pembagian pecahan biasa dengan bilangan bulat.

(b). Pembagian bilangan bulat dengan pecahan biasa.

(c). Pembagian pecahan biasa dengan pecahan biasa.

(d). Pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran.

(e). Pembagian pecahan campuran dengan pecahan campuran.

2.1.3 Aturan Pembagian Harta Warisan dalam Ilmu Faraid

Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah syariat atau hukum syara‟ yang sekarang ini disebut dengan hukum Islam (Muhibbin & Wahid, 2009: 1).

Dalam literatur hukum waris Islam mengatur adanya kelompok atau golongan ahli waris menurut garis keturunannya, masing-masing yang dihubungkan kepada pewaris, seperti ahli waris menurut garis

(6)

keturunannya masing-masing yang berhubungan dengan pewaris, seperti ahli waris ashabul furudh dan golongan dzawil arham, serta golongan terakhir yaitu 'ashabah (Sari, 2009: 3).

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan kepemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya (Muhibbin & Wahid, 2009: 2).

1. Definisi

Lafal fara'idh )ضئارف( merupakan jama' (bentuk plural) dari lafal faridhah )وضيرف( yang mengandung arti mafrudhah )وضًرفم( yang sama artinya dengan muqaddarah )ةردقم(, yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat di dalam Alquran, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan dengan bagian yang tidak ditenrukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid (Syarifuddin, 2004: 5).

Adapun penggunaan kata mawarits )ثراٌم) lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup, karena kata mawarits )ثراٌم( bentuk plural dari kata miirats )ثاريم( yang berarti mauruts )ثًرٌم( yakni harta yang diwarisi. Dengan demikian, arti waris yang dipergunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata waris artinya adalah orang pewaris (Syarifuddin, 2004: 5).

Di sekolah-sekolah formal Ilmu Faraid lebih dikenal dengan Ilmu Fiqih Mawaris. Menurut Hawari (2011: 7) dalam skripsinya mengatakan Fiqih Mawaris adalah Hukum Syar‟i yang membahas masalah pembagian harta warisan, baik yang berkaitan dengan

(7)

masalah pembagian, perhitungan, sampai pada bagian yang diterima oleh ahli waris.

Adanya perbedaan dalam penamaan tersebut tidak lain terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan (Ulya, 2016: 401). Menurut Muhibbin dan Wahid (2009: 57), penyebutan “faraid” didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris, pemakaian kata waris lebih merujuk kepada orang yang menerima harta warisan, sedangkan penggunaan kata “mawarits”

lebih melihat kepada obyek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup atau yang lebih dikenal dengan

“maurus” yang berarti harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya- biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.

Dalam literatur hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini, sedangkan yang menggunakan kata “warisan” memandang kepada warisan yang menjadi objek dari hukum ini (Hamzah, 2010: 16).

2. Aturan

Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam Alquran, terutama Surat An-Nisa‟

ayat 7, 8, 11, 12 dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.

Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah SAW (Muhibbin

& Wahid, 2009: 2).

(8)

Ilmu Mawaris disebut juga Ilmu Faraid. Dari segi bahasa, Faraid bentuk jamak dari lafal faridhoh yang berarti ketentuan, bagian atau ukuran, sedangkan menurut istilah faraid adalah ilmu tentang bagaimana membagi harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal (Jamil dkk, 2007: 2).

Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses peralihan harta warisan dari pewaris kepada pewarisnya untuk meneruskan barang-barang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup (Herlina, 2016: 33).

Pada dasarnya, mempelajari Ilmu Faraid itu hanya membicarakan tiga hal perkara. Pertama, membicarakan harta yang mau dibagi waris. Kedua, membicarakan siapa yang memberi dan menerimanya harta warisan. Ketiga, berapakah nilai masing-masing harta yang diterima oleh para ahli waris? (Sarwat, 2011: 22).

Dasar dan sumber hukum utama dari Hukum Islam sebagai Hukum Agama adalah nash atau teks yang terdapat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi. Ayat-ayat Alquran dan sunnah Nabi yang secara lansung mengatur kewarisan tersebut antara lain:

a). Sumber hukum waris dalam Alquran

Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 7 yang berbunyi:









































Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”.

(9)

Firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 11 yang berbunyi:

















































































































































Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan1; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua2, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

1bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An-Nisaa ayat 34).

2lebih dari dua maksudnya: dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.

(10)

Dalam surat An-Nisaa ayat 12 Allah SWT berfirman:



















































































































































































Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki- laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)3. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.

(11)

3memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b.

berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Masih dalam surat An-Nisaa ayat 176 Allah SWT berfirman:







































































































Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)4. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

4kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

b). Hadis

Dari Ibnu Abbas ra. Berkata Rasulullah SAW bersabda:

َمَّلَس ًَ ِويَلَع ُالله ىَلَص ِالله ُل ٌُْس َر َل اَق : َلاَق ِس اَبَع ُنْب ا ْنَع اَتِك ىَلَع ِضِئاَرَفْلا ِلْىَأ َنْيَب َل اَمْلا اٌُْمِسْقَا ملسم هاًر( ِالله ِب

)دًاد ٌباً

(12)

Artinya: “Bagilah harta pusaka (warisan) antara ahli waris menurut (ketentuan( kitab Allah” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

ىَلَص ِالله ُل ٌُسَر َلاَق : َلاَق اَمُيْنَع ُالله َيِضَر ُس اَبَع ُنْب ا ْنَع َمَّلَسًَ ِوْيَلَع ُالله ٍلُجَر ىَل ًَْ ِلِ ٌَُيَف َيِقَب اَمَف اَيِلْى َأِب َضِئاَرَفْلا اٌُّْقِحْلَا

)ويلع وقفتم( ٍرَكَذ

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah harta benda itu kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (lebih dekat)” (HR. Bukhori Muslim) (Jamil dkk, 2007: 6).

3. Bagian Tertentu dalam Kewarisan

Secara etimologi kata “faraid” yang merupakan jama‟ dari

“faridhah” dengan makna maf‟ul (objek) “mafrud” berarti sesuatu yang ditentukan jumlahnya. Secara istilah disebutkan “hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Alquran dan sunnah Nabi” (Syarifudin, 2004: 39).

a. Dari jenis kelamin ahli waris dibagi menjadi dua yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan.

1). Ahli Waris dari Golongan Laki-laki jumlahnya ada 15 orang.

2). Ahli Waris dari Golongan Wanita jumlahnya ada 10 orang (Jamil dkk, 2007: 22-23).

b. Pembagian untuk masing-masing ahli waris yang tidak akan pernah terhijab.

Ahli waris laki-laki:

1). Anak laki-laki „Ashabah:

„Ashabah Binafsihi

„Ashabah Bighairihi 2). Bapak.

 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

„Ashabah, bila tidak ada anak laki-laki atau ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.

(13)

1/6 + „Ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

3). Suami.

 1/2, bila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.

 1/4, bila ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Ahli waris perempuan:

i. Anak perempuan.

 1/2, bila satu orang, tidak ada anak laki-laki, saudara perempuan seibu sebapak dan saudara perempuan sebapak.

 2/3, bila dua orang atau lebih, tidak ada anak laki-laki, saudara perempuan seibu sebapak dan saudara perempuan sebapak.

„Ashabah Bighairihi, bila satu orang atau lebih, ada anak laki-laki.

„Ashabah Ma‟al Ghair, bila satu orang atau lebih, ada saudara perempuan seibu sebapak atau saudara perempuan sebapak.

ii. Ibu.

 1/3, bila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.

 1/6, bila ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

1/3 dari sisa (dalam masalah Gharawain).

iii. Istri.

 1/4, bila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.

 1/8, bila ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

(14)

4. Dzawil Furudh dan „Ashobah

Dzawil Furudh artinya yang mempunyai bagian tertentu.

Maksudnya ahli waris yang bagiannya sudah tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam fasal furudhul muqoddaroh, sedangkan ‟ashobah adalah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu, ia menerima bagian setelah ahli waris dzawil furudh menerima bagiannya.

Pembagian dzawil furudh dan „ashobah ini dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok.

a. Ahli waris yang menerima sebagai dzawil furudh saja dan tidak akan menerima „ashobah, yaitu: suami, istri, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, ibu, nenek dari pihak bapak dan nenek dari pihak ibu.

b. Ahli waris yang menerima bagian sebagai „ashobah saja.

Dengan demikian, kemungkinan bisa menerima seluruh harta warisan, menerima sisa harta atau mungkin sama sekali tidak menerimanya, yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki- laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman sekandung dan anak laki-laki paman sebapak.

c. Ahli waris ada kalanya sebagai dzawil furudh dan adakalanya ashobah, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak.

d. Ahli waris yang ada kalanya menerima bagian sebagai dzawil furudh, adakalanya sebagai „ashobah dan adakalanya sebagai dzawil furudh dan ashobah, yaitu: bapak dan kakek.

Adapun „ashobah terbagi kepada tiga bagian yaitu:

a. 'Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. Yang

(15)

termasuk „ashobah bin-nafsi adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu.

b. „Ashabah bil-ghair, mereka adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain yakni laki-laki untuk menjadikan mereka 'ashabah dan untuk bersama-sama menerima 'ashabah.

„Ashabah bil-ghair terdiri dari ahli waris perempuan yang bersamanya ahli waris laki-laki.

c. „Ashabah ma'al-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikannya 'ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima 'ashabah (sisa). Mu'ashshib (orang yang menjadikan 'ashabah) tetap menerima bagian menurut fardh-nya sendiri. 'Ashabah ma'al- ghair hanya terdiri dari dua orang perempuan dari ahli waris ashhabul-furudh, yaitu saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Kedua orang ini menjadi 'ashabah ma'al- ghair jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dan tidak ada saudara laki-lakinya, sebab kalau ada saudara laki-lakinya, mereka menjadi 'ashabah bil-ghair (Jamil dkk, 2007: 27-28).

5. Hijab

Hijab adalah penutup atau penghalang. Menurut Sarwat, yang dimaksud di sini adalah posisi seseorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, jika posisinya terhalang oleh keberadaan ahli waris yang lain maka dia menjadi tidak berhak lagi untuk menerima harta warisan (Sarwat, 2011: 127).

6. Al-‟aul dan Ar-radd

a. Al-‟aul adalah bertambahnya pembagi yang dapat menyebabkan berkurangnya bagian bagi para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh, sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1. Dengan demikian, di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Dalam keadaan seperti ini, kita harus menaikkan atau

(16)

menambah pembaginya, sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang (Sarwat, 2011: 106).

b. Ar-radd adalah berkurangnya pembagi yang dapat menyebabkan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh, sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1. Dengan demikian, akan ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun „ashabah yang berhak menerima sisa harta waris. Dalam keadaan seperti ini, kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya, sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-‟aul (Abta & Syakur, 2005: 213).

2.1.4 Kaidah Perhitungan Harta Warisan

Kaidah menghitung dan menetapkan penerimaan ahli waris dalam pembagian harta pusaka dapat ditempuh melalui dua sistem perhitungan yaitu sistem asal masalah dan sistem perbandingan.

1. Sistem asal masalah

Sistem asal masalah ini ialah suatu cara penyelesaian pembagian harta pusaka dengan mencari dan menetapkan asal masalah, yaitu Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) yang dapat dibagi oleh setiap penyebut fard pada ahli waris yang ada. Misalnya, jika fard-fard para ahli waris terdiri dari maka asal masalahnya adalah angka 6, karena angka 6 ini adalah angka kelipatan terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing penyebut 2, 3, 3. Jika fard-fard ahli waris maka asal masalahnya adalah 24, karena angka 24 bisa dibagi habis oleh penyebut-penyebut tadi yakni 8, 6 dan 4 (Abta & Syakur, 2005: 108).

(17)

2. Sistem perbandingan

Sistem perbandingan adalah suatu cara dalam memperhitungkan harta waris dengan perbandingan (Abta & Syakur, 2005: 110).

2.2 Kerangka Berpikir

Dewasa ini proses pembelajaran Mata Pelajaran Matematika tidak sedikit hanya tertumpu pada mengajarkan materi, sehingga tidak sedikit siswa yang kurang memahami cara mengerjakan soal-soal cerita, entah hal demikian terjadi. Mungkin bisa jadi karena cara mengajarkan kosepnya kurang efektif atau faktor daya tangkap peserta didiknya kurang. Menurut hemat peneliti, jika siswa sudah bisa menguasai suatu konsep tertentu maka dalam proses pembelajarannya akan mudah diserap dan dalam menyelesaikan soal-soal cerita akan mudah dipahami.

Dalam hal pembagian harta warisan yang menggunakan perhitungan pecahan, untuk mempermudah penyelesaiannya peniliti mempunyai konsep pembelajaran dengan mengilustrasikan bahwa jika pecahan-pecahan pada bagian masing-masing ahli waris dijumlahkan maka harus bernilai 1.

Misalkan, jika ada sepotong kue piza akan dibagikan kepada 3 orang anak dengan rincian anak pertama mendapatkan bagian 1/3, anak kedua ½ dan anak ketiga 1/6 maka ketika bagian masing-masing dijumlahkan hasilnya 1.

Kenapa peneliti menggunakan konsep seperti yang telah disebutkan di atas? Menurut hemat peneliti, konsep seperti itu akan lebih memudahkan siswa dalam menghadapi persoalan yang bersangkutan dan sesuai dengan kadar kemampuan daya tangkap siswa. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Ajarilah anak-anak kamu sesuai kadar kemampuannya”.

Dari beberapa operasi yang berlaku dalam perhitungan pecahan biasa peneliti menggunakan semua operasi tersebut, yakni operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian baik dalam dua pecahan maupun lebih.

(18)

2.3 Penelitian yang Relevan

Sebagai acauan, dalam penelitian ini telah mengadakan kajian pustaka mengenai judul yang relevan dengan judul peneliti, yakni sebagai perbandingan hasil penelitian ini nantinya. Adapun yang menjadi kajian pustaka pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Nursinah (2011), skripsi dengan judul, Upaya Meningkatkan Kemampuan Berhitung Bilangan Pecahan Melalui Metode Resitasi Kelas V SD Negeri 8 Pegasing Aceh Tengah Tahun Ajaran 2010/2011.

Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Gajah Putih Takengon.

Latar belakang penelitian ini dilakukan karena kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi berhitung bilangan pecahan masih tergolong rendah. Salah satu faktor penyebabnya adalah dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang digunakan oleh pengajar, sehingga perlu adanya pemilihan metode yang tepat agar kemampuan peserta didik dalam pelajaran materi berhitung bilangan pecahan dapat meningkat. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik yaitu metode resitasi.

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan murid kelas V SD Negeri 8 Pegasing Aceh Tengah dalam menguasai konsep berhitung bilangan pecahan dengan menggunakan metode resitasi.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 8 Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Dengan sampel penelitian adalah murid kelas V SD yang berjumlah 20 orang. Instrumen pengumpulan data yang dipakai adalah tes berbentuk uraian yang terdiri dari 5 soal. Pengujian hipotesis dengan menggunakan rumus uji-t.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada murid kelas V SD Negeri 8 Pegasing, setelah diterapkan metode resitasi pada materi

(19)

berhitung bilangan pecahan, diperoleh hasil thitung 23,299 > ttabel 1,687, sehingga Ha diterima.

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar murid setelah diterapkan model pembelajaran metode resitasi pada materi berhitung bilangan pecahan di kelas V SD Negeri 8 Pegasing atau dengan kata lain kemampuan murid terhadap pemahaman materi berhitung bilangan pecahan meningkat setelah diterapkan model pembelajaran metode resitasi.

2. Sabardi (2012), skripsi dengan judul, Pengaruh Sistem Pembelajaran dengan Modul Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan Untuk Siswa Kelas VII SMP Negeri 5 Takengon.

Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Gajah Putih Takengon.

Jika guru berperan sebagai pembimbing atau fasilitator dalam belajar siswa maka konsekuensi logisnya adalah siswa harus memiliki bahan/ buku berupa modul pelajaran untuk dibaca sendiri dan dipahami sendiri. Salah satu ciri utama dalam sistem modul adalah tersedianya bahan yang dapat dipelajari sendiri dalam bentuk media tertulis yang membimbing siswa dalam menguasai keterampilan baru.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada pengaruh sistem pembelajaran dengan modul terhadap prestasi belajar matematika pada pokok bahasa pecahan untuk siswa kelas VII SMP Negeri 5 Takengon.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 5 Takengon Kabupaten Aceh Tengah. Sampel penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 5 Takengon yang berjumlah 55 orang. Instrumen pengumpulan data yang dipakai adalah tes. Teknik analisis data menggunakan uji t.

(20)

Berdasakan hasil penelitian analisis statistik yang dilakukan pada siswa kelas VII SMP Negeri 5 Takengon, diperoleh hasil thitung 7,504 >

ttabel 1,673 yang berati H0 ditolak dan Ha diterima atau ada pengaruh sistem pembelajaran dengan modul terhadap prestasi belajar matematika pada pokok bahasan pecahan untuk siswa kelas VII SMP Negeri 5 Takengon. Dengan demikian, diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh sistem pembelajaran dengan modul terhadap prestasi belajar matematika pada pokok bahasan pecahan untuk siswa kelas VII SMP Negeri 5 Takengon.

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah praduga atau pernyataan sementara yang menjadi acuan dalam penelitian yang masih perlu dibuktikan kebenarannya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Arikunto, hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71).

Berawal dari rumusan masalah yang peneliti sebutkan sebelumnya, praduga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

H1 = Terdapat hubungan antara pemahaman konsep pecahan (X1) dengan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah pembagian harta warisan (Y).

H2 = Terdapat hubungan antara pemahaman aturan radd dalam Ilmu Faraid (X2) dengan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah pembagian harta warisan (Y).

H3 = Terdapat hubungan antara pemahaman konsep pecahan (X1) dan pemahaman aturan radd dalam Ilmu Faraid (X2) dengan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah pembagian harta warisan (Y).

Referensi

Dokumen terkait

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi

4 Ibid., Hlm.5.. janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara laki-laki dan perempuan dalam kalalah. Dzul Qarabat, adalah ahli waris

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka

Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi