• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODIFIKASI HANG-IN RATIO JARING INSANG DASAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU JAWA BARAT LIYA TRI KHIKMAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODIFIKASI HANG-IN RATIO JARING INSANG DASAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU JAWA BARAT LIYA TRI KHIKMAWATI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU JAWA BARAT

LIYA TRI KHIKMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Modifikasi Hang-in Ratio Jaring Insang Dasar dan Pengaruhnya terhadap Karakteristik Hasil Tangkapan di Palabuhanratu Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2017

Liya Tri Khikmawati NIM C451150171

(4)

RINGKASAN

LIYA TRI KHIKMAWATI. Modifikasi Hang-in Ratio Jaring Insang Dasar dan Pengaruhnya terhadap Karakteristik Hasil Tangkapan di Palabuhanratu Jawa Barat. Dibimbing oleh SULAEMAN MARTASUGANDA dan M FEDI A SONDITA.

Jaring insang merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan kecil Indonesia. Jaring insang dasar digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan demersal. Selain digunakan untuk menangkap ikan demersal, jaring ini juga digunakan untuk menangkap lobster sebagai spesies target penangkapan oleh nelayan di Palabuhanratu. Lobster merupakan salah satu komoditas perikanan ekspor Indonesia yang bernilai jual tinggi. Nilai jual lobster dipengaruhi oleh jenis, ukuran, dan kondisi atau kelengkapan tubuhnya. Secara morfologi hampir seluruh tubuh lobster ditutupi oleh duri keras dan tajam.

Salah satu faktor yang memengaruhi efisiensi dan tertangkapnya ikan pada jaring insang dasar adalah besar hang-in ratio yang digunakan. Semakin tinggi HR yang digunakan maka jumlah bahan (mata jaring) persatuan panjang semakin banyak sehingga jaring semakin kendur. Hang-in ratio (HR) yang biasa digunakan nelayan jaring insang dasar Palabuhanratu sebesar 0,5234. Sudah efisien kah penggunaan HR tersebut untuk menangkap lobster sebagai spesies target? Sedangkan tubuh lobster sendiri dipenuhi oleh duri. Keberadaan duri tersebut memberikan peluang besar untuk lobster terpuntal pada jaring dan semakin sulit dilepaskan ketika memiliki HR tinggi. Kesulitan melepaskan lobster yang terpuntal pada jaring memungkinkan patahnya bagian tubuh lobster. Selain itu, hasil tangkapan lain yang berukuran kecil pun berpeluang untuk terpuntal pada jaring serta kesulitan untuk melepaskan ikan dari puntalan jaring. Selama ini jika nelayan mendapatkan tangkapan yang sangat terpuntal pada jaring, mereka melepaskan hasil tangkapan dengan cara memotong jaring terlebih untuk mempertahankan kualitas lobster (tidak ada bagian tubuh yang patah).

Pemotongan jaring secara terus menerus dapat merugikan nelayan. Upaya perbaikan terhadap desain jaring insang dasar yang ada di Palabuhanratu adalah dengan merubah ukuran HR jaring yang digunakan menjadi lebih kecil.

Perubahan HR jaring diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan jaring dan kelayakan hasil tangkapan, jumlah jenis hasil tangkapan serta memudahkan nelayan melepaskan hasil tangkapan dari jaring.

Persiapan penelitian meliputi identifikasi (desain dan konstruksi) jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap lobster, menghitung HR yang biasa digunakan yaitu 0,5234 kemudian menentukan HR pembanding dengan studi literatur yaitu 0,4082 dan 0,2930. Setelah itu, dilakukan pembuatan jaring insang dasar dengan HR 0,5234; 0,4082 dan 0,2930. Masing-masing HR dibuat sebanyak 2 pis. Desain jaring insang dasar ini hanya membedakan HR selebihnya adalah sama dengan yang biasa digunakan nelayan Palabuhanratu.

Uji coba alat tangkap di teluk Palabuhanratu sebanyak 23 kali pengulangan (trip penangkapan) untuk mengetahui desain HR terbaik. Data yang diambil adalah bahan jaring yang digunakan, komposisi hasil tangkapan, kemudahan melepaskan lobster dari jaring, karakteristik hasil tangkapan lobster yang tertangkap meliputi rata-rata hasil tangkapan per trip, presentase kelayakan

(5)

adalah berukuran panjang karapas lebih dari 8 cm atau ukuran berat lebih dari 300 gram dan tidak sedang membawa telur. Pengoperasian jaring insang dasar sendiri sesuai dengan yang biasa dilakukan nelayan. Pengangkatan jaring dilakukan setiap pagi kemudian jaring direndam kembali dan diangkat keesokan harinya lagi, begitu seterusnya.

Data jumlah hasil tangkapan lobster per trip dan proporsi lobster layak tangkap (legal size) dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Data kemudian diuji nonparametrik Kruskal Wallis untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan perbedaan HR terhadap hasil tangkapan. Pemilihan desain HR terbaik dengan skoring setiap indikator (6 data penelitian). Semakin bagus pengaruh HR terhadap indikator maka nilai yang diberikan adalah nilai maksimum yaitu 3.

Semakin jelek pengaruh indikator yang diberikan, maka nilai akan semakin kecil dengan nilai minimum adalah 1.

Rata-rata hasil tangkapan lobster per trip pada HR berbeda adalah sama, begitu pula pada komposisi kelayakan hasil tangkapan lobster, perbedaan HR tidak berpengaruh terhadap presentase kelayakan hasil tangkapan lobster. Hasil tangkapan lobster pada masing-masing HR memiliki bagian tubuh yang lengkap.

Walaupun tidak memberikan beda pada ketiga indikator tersebut, jumlah bahan yang digunakan pada masing-masing jenis hang-in ratio adalah berbeda, dimana HR 0,2930 membutuhkan bahan jaring yang paling sedikit (efisiensi penggunaan bahan). Kemudahan melepaskan hasil tangkapan dari jaring semakin mudah dirasakan oleh nelayan ketika menggunakan jaring dengan HR kecil. Berdasarkan komposisi total hasil tangkapan, bahwa semakin rendah HR yang digunakan semakin sedikit pula jumlah jenis hasil tangkapan (selektif terhadap jenis hasil tangkapan).

Pemilihan jaring terbaik dengan skoring pada 6 indikator memberikan nilai terbanyak pada desain dengan HR 0,2930 kemudian HR 0,4082 dan 0,5234.

Sehingga dapat dikatakan bahwa desain jaring insang dasar terbaik yang dapat digunakan nelayan di Palabuhanratu adalah desain jaring dengan HR 0,2930.

Kata Kunci: hang-in ratio, jaring insang dasar, lobster, Palabuhanratu

(6)

SUMMARY

LIYA TRI KHIKMAWATI. Modification of Hang-in Ratio on Bottom Gillnet and the effects on caracteristics of the catches in the Palabuhanratu West Java.

Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA and M Fedi A Sondita.

Gillnets is a fishing gear that is widely used by small fisherman in Indonesia. Bottom gillnet used by fisherman in Palabuhanratu to catch demersal fish, in addition being used to catch lobsters as target species. Lobster is one of Indonesian high fish commoditi export. The value of selling lobster is affected by type, size, and condition or completeness of her body. In the morphology, almost the entire body of the lobster is covered by a hard and sharp spines.

One of the factors that affect the efficiency and the capture of fish on the gillnet is a big base of hang-in ratio used. The higher HR used the higher amount of net material used, so the net will be more slack. Common hang-in ratio that used by local fisherman is 0,5234, have the HR were efficient to catch lobster?

while the lobster’s body covered by spine. Spines give big opportunities for the lobster to be entangled on the net and more difficult to be released when the net had higher hanging ratio. The difficulty of releasing the lobster entangled on the net might break the body part of the lobster. In addition, other catches any small size opportunity to entangled on the net as well as difficulty to release fish from the nets. During this time if the fishermen get a very terpuntal the catch on the net, they release the catches by means of cutting the nets advance to maintain the quality of the lobster (no broken parts of the body). During the time, the local fisherman release catched by cutting net especially to keep lobster’s body perfect.

It may harmfull by cutting the net continously. The redisign of bottom gillnet is changing the HR size became smaller. HR net changes are expected to improve the efficiency of the use of nets and the simplify of the catch, number of types catches as well as facilitate the fisherman releasing lobsters from the net.

Preparation of research include identification (design and construction) bottom gillnet that used by local fisherman, counting HR that used i.e. 0,5234 then determine the HR comparison with study of literature, there are 0,4082 and 0,2930. After that, the bottom gillnet was made of HR that had been determined, 0,5234; 0,4082 and 0,2930. Each HR was made of 2 pieces. This basic design gill nets was same as the commonly used by Palabuhanratu fisherman, the differentiate just HR used.

Experimental fishing gear with 23 repetitions (trip) at Palabuhanratu Bay to find out the best HR’s design. Data involved were the net material are used, the catch composition, easy of releasing lobsters from the nets, characteristics of the catches of lobster caught (lobster was the main catches of bottom gillnet in Palabuhanraty) include the average catches per trip, the percentage of the feasibility and integrity capture parts of the body. The eligibility of catch lobster determine on Ministry Marine and Fisheries Regulation No. 1/PERMEN-KP/2015 and the Query letter No. 18 MEN-KP/I/2015 stated that the legal size capture is more than 8 cm carapace length and 300 gr weight and not in spwan condition.

The bottom gillnet operation according to the common fisherman operate, the hauling time in the morning and the immersing time at night.

(7)

was the influence of the treatment difference HR against the catch. The selection of the best HR design with scoring any indicators (6 data research). The better HR influence to the indicators would result in the maximum value, 3. The worse influence would result in minimum value, 1.

The average catches of lobster per trip on different HR is same, so did the feasibility on the composition of catches of lobster, the difference in HR has no effect against a percentage of the feasibility of lobster catches. Lobster catches in each of the HR has a complete body part. Although does not give effect on the third indicator, the number of materials used in each type of hang-in ratio was different, where HR 0.2930 requires the least net material (efficiency of net material used). The easy of releasing catches from the net easier perceived by fishermen when using nets with HR low. Based on the total composition of the catches, that used the lower HR catch less number of catches types (selectively on the types of catches).

The selection of the best mesh with scoring from 6 indicators, gives the most value on design with HR 0,2930 then HR 0,4082 and 0,5234. So it can be said that the design of the bottom gillnet that can be used by local fisherman Palabuhanratu is design with hang-in ratio 0,2930.

Key words: hang-in ratio, bottom gillnet, lobster, Palabuhanratu

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutian hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

MODIFIKASI HANG-IN RATIO JARING INSANG DASAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU JAWA BARAT

LIYA TRI KHIKMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk penelitian Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Perikanan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2017

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Wazir Mawardi, MSi

(11)

Nama NIM

: Liya Tri Khikmawati : C451150171

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Sulaeman Martasuganda, BfishSc MSc Ketua

Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Laut

Diketahui oleh

---

Prof Dr Ir yo no S. Baskoro, MSc

Anggota

-

Tanggal Ujian: 31 Maret 2017 Tanggal Lulus:

1 7 APR 2017

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Modifikasi Hang-in Ratio Jaring Insang Dasar dan Pengaruhnya terhadap Karakteristik Hasil Tangkapan di Palabuhanratu Jawa Barat”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan Beasiswa Unggulan yang telah diberikan berdasarkan SK Nomor: 37379/A1.4/LN/2016.

2. Direktur Pendanaan Kegiatan Pendidikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atas bantuan Beasiswa Tesis yang telah diberikan berdasarkan PRJ-4350/LPDP.3/2016.

3. Dr Sulaeman Martasuganda, BFishSc MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir M Fedi A Sondita, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan.

4. Dr Ir Wazir Mawardi, MSi selaku penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc selaku ketua program studi yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan tesis saya.

5. Keluarga tercinta (Bapak, Ibu, Kakak, Ponakan dan Fahrur Rahman) atas doa, dukungan, pengertian, kesabaran dan kasih sayang yang telah diberikan.

6. Keluarga TPL 52 atas dukungan, kebersamaan dan kenangannya.

7. SalsabilaErs yang telah membuat suasana kost layaknya rumah sendiri.

Kalian luar biasa gaish.

8. Teman-teman kontrakan: Aluh, Kukuh, Andi, Ersan, Mas Ganang, Mas Tarjum, Mas Mulkan, Mas Agus, Mas Budhi, Mba Cici, Mba Ica dan keluarga IKA UNDIP Chapter IPB atas segala bentuk bantuan dan penghiburan yang telah diberikan.

9. Keluarga Palabuhanratu: Bapak Syarif sekeluarga, Bapak Arik sekeluarga, UD Mutiara Dua, Coecoek Laoek Community atas bantuan yang sangat luar biasa.

10. Keluarga Stasiun Lapang Kelautan (SLK) IPB yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

11. Nelayan palabuhanratu: Pak Tandim beserta ABK, Pak Acuy beserta ABK, Pak Mandra beserta ABK, Pak Sanusi dan Pak Apri beserta teman-temannya sudah bersedia direpotkan oleh saya. Terima kasih atas bantuannya.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi nelayan Palabuhanratu dan menjadi masukan bagi pemerintah daerah mengenai perikanan lobster di Palabuhanratu.

Bogor, April 2017

Liya Tri Khikmawati

(13)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR ISTILAH xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 6

Hipotesis 7

2 METODE PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 8

Pengambilan Data 8

Analisis Data 12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Hasil 14

Kondisi perikanan lobster Palabuhanratu 14

Karakteristik jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan untuk

menangkap lobster 17

Desain dan konstruksi jaring insang dasar dengan hang-in

ratio berbeda 17

Komposisi hasil tangkapan 18

Karakteristik hasil tangkapan pada masing-masing jaring insang

dasar 19

Karakteristik hasil tangkapan lobster 21

Tingkat kemudahan melepaskan lobster dari jaring 23 Desain jaring insang terbaik dari tiga jenis hang-in ratio

berbeda 23

Pembahasan 24

4 SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

RIWAYAT HIDUP 46

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data penelitian tahap I 11

2 Jenis dan sumber data penelitian tahap III 11

3 Perhitungan untuk menentukan jaring lobster terbaik di Palabuhanratu 13 4 Penggunaan bahan jaring pada setiap desain hang-in ratio jaring insang

dasar 18

5 Jumlah dan berat hasil tangkapan dari 3 desain jaring dengan hang-in ratio berbeda (masing-masing 2 pis) selama 23 trip operasi penangkapan

pada bulan November 2016 di Palabuhanratu 18

6 Komposisi hasil tangkapan jaring hang-in ratio 0,5234 sebanyak 2 pis

pada bulan November 2016 di Palabuhanratu selama 23 trip penangkapan 19 7 Komposisi hasil tangkapan jaring hang-in ratio 0,4082 sebanyak 2 pis

pada bulan November 2016 di Palabuhanratu selama 23 trip penangkapan 20 8 Komposisi hasil tangkapan jaring hang-in ratio 0,2930 sebanyak 2 pis

pada bulan November 2016 di Palabuhanratu selama 23 trip penangkapan 21 9 Jumlah hasil tangkapan lobster dengan perbedaan hang-in ratio selama

23 trip penangkapan dengan 2 pis jaring pada bulan November 2016

di Palabuhanratu 21

10 Ukuran hasil tangkapan dan kelayakan lobster dari 3 desain jaring dengan hang-in ratio berbeda (masing-masing 2 pis) selama

23 trip penangkapan pada bulan November 2016 di Palabuhanratu 22 11 Kelengkapan tubuh hasil tangkapan lobster berbeda hang-in ratio selama

23 trip penangkapan dengan 2 pis jaring pada bulan November 2016

di Palabuhanratu 23

12 Nilai skor untuk 3 jenis jaring insang dasar berbeda hang-in ratio berdasarkan indikator penentu pemilihan desain jaring terbaik

di Palabuhanratu 23

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk morfologi lobster 2

2 Kerangka pemikiran modifikasi jaring insang dasar terbaik 6 3 Lokasi dan titik pengambilan data penelitian 7 4 Model posisi pemasangan jaring dalam uji coba di lapang 9 5 Persebaran berat dan panjang lobster hijau pasir (Panulirus homarus)

bulan November 2016 berdasarkan data pengepul dan penelitian 14 6 Persebaran berat dan panjang lobster bambu (Panulirus versicolor)

bulan November 2016 berdasarkan data pengepul dan penelitian 14 7 Persebaran berat dan panjang lobster hitam (Panulirus penicillatus)

bulan November 2016 berdasarkan data pengepul dan penelitian 15 8 Persebaran berat dan panjang lobster mutiara (Panulirus ornatus)

bulan November 2016 berdasarkan data pengepul dan penelitian 15 9 Persebaran jantan dan betina lobster di Palabuhanratu bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian 16

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spesifikasi jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan Palabuhanratu 35 (dalam 1 piece)

2 Desain jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan Palabuhanratu 36 3 Perhitungan hang-in ratio jaring insang dasar dengan mesh size 5 inci 37

4 Perhitungan hang-in ratio modifikasi 39

5 Lokasi (titik) pemasangan jaring insang selama penelitian di

Teluk Palabuhanratu 40

6 Hasil tangkapan penelitian selama 23 trip penangkapan pada bulan

November 2016 di Palabuhanratu 41

7 Kegiatan pengambilan data penelitian selama 23 trip penangkapan

pada bulan November 2016 di Palabuhanratu 42

8 Data hasil tangkapan lobster penelitian selama 23 trip penangkapan

bulan November 2016 di Palabuhanratu 43

9 Hasil uji statistik data hasil tangkapan lobster penelitian selama

23 trip penangkapan bulan November 2016 di Palabuhanratu 45

(16)

DAFTAR ISTILAH

Jaring insang dasar/bottom gillnet

: Salah satu jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring monofilamen atau multifilamen yang berbentuk empat persegi panjang dimana pada bagian atas dilengkapi pelampung dan bagian bawah dilengkapi pemberat sehingga memungkinkan tegak ketika berada di dalam air.

Tangle nets : Penangkapan dengan alat tangkap jaring, dimaksudkan agar ikan terbelit.

Hang-in ratio : Presentase panjang bahan jaring terenggang sempurna dikurangi panjang jaring setelah terpasang pada tali ris kemudian dibagi dengan panjang bahan jaring terenggang sempurna dikalikan seratus persen.

Antena : Bagian dari tubuh lobster yang digunakan untuk mendeteksi adanya musuh dan untuk melindungi diri karena terdapat duri-duri keras.

Antennulus : Bagian dari tubuh lobster yang digunakan untuk mendeteksi adanya makanan.

Entangled : Cara ikan tertangkap pada jaring dengan terpuntal.

Gilled : Cara ikan tertangkap pada jaring dengan terjerat pada tutup insangnya.

Mesh size : Ukuran mata jaring yang ditentukan dengan penambahan keempat panjang kaki jaring. Pengukuran kaki jaring dari tengah-tengah ujung simpul yang satu ke tengah-tengah ujung simpul yang lain.

Cephalotorax : Bagian tubuh lobster yang keras (bagian kepala lobster) biasanya terdapat kaki jalan.

Abdomen : Bagian perut lobster, biasanya terdapat kaki renang.

Polyamide (PA) : Bahan pembuat jaring berwarna putih dan akan mengapung jika dimasukkan ke dalam air.

Pieces : Satuan panjang satu unit jaring insang nelayan. Dalam satu rangkaian pemasangan biasanya terdiri dari 17-20 pis.

Inchi : Satuan panjang mata jaring dimana 1 inchi = 2,54 cm Bentos : Hewan yang mengabiskan hidupnya atau hidup di dasar

laut.

Over fishing : Suatu kondisi perairan dimana sumberdaya ikannya sudah terancam habis. Tingkat eksploitasinya melebihi MSY (Maximum Sustainable Yield) atau sudah melebihi kemampuannya untuk beregenerasi secara lestari.

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jaring insang merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan kecil Indonesia. Jaring insang dasar digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan demersal. Selain digunakan untuk menangkap ikan demersal, jaring ini juga digunakan untuk menangkap lobster sebagai spesies target penangkapan oleh nelayan di Palabuhanratu. Oleh nelayan Palabuhanratu, jaring ini lebih dikenal dengan nama jaring blo’on. Menurut Von Brandt (1984), jaring blo’on termasuk dalam klasifikasi tangle nets karena menangkap hasil tangkapan dengan memuntal/terbelit. Sedangkan menurut Ayodhyoa (1974), jaring blo’on termasuk dalam gillnet atau jaring insang karena jaring ini berbentuk empat persegi panjang, dimana sisi panjang (horizontal) lebih panjang daripada sisi lebarnya (vertical) dan memiliki ukuran mata jaring yang sama.

Lobster dijadikan sebagai spesies target penangkapan jaring blo’on karena merupakan salah satu komoditas perikanan ekspor Indonesia yang bernilai jual tinggi. Lobster (Panulirus spp.) merupakan jenis biota laut yang menghabiskan banyak waktu untuk tinggal dan hidup di kawasan berbatuan litofil (yang sering juga disebut batu karang) dan di kawasan berterumbu karang. Oleh karena itu, lobster sering juga disebut juga sebagai udang karang. Habitat lobster menurut Subani (1978a) adalah tempat-tempat yang berbatu karang, di balik batu karang yang hidup maupun batu karang yang mati, pada pasir berbatu karang, di sepanjang pantai dan teluk. Ekspor lobster pada tahun 2014 mencapai 3.427 ton senilai US$ 42,8 juta dengan negara tujuan Cina sebesar 69,42% dan Taiwan sebesar 22,59% (Ditjen P2HP 2015).

Lobster memiliki nilai jual tinggi sesuai dengan jenis, kondisi dan beratnya namun harganya dipengaruhi oleh keutuhan tubuhnya. Pengamatan di lapang pada bulan April hingga November 2016 menemukan bahwa lobster dengan anggota tubuh yang utuh akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada lobster yang sudah kehilangan lebih dari 2 bagian tubuhnya pada sisi yang sama seperti bagian tubuh kaki jalan, antenna, atau antennulus. Berdasarkan wawancara pada salah satu pengepul lobster di Palabuhanratu, harga lobster yang tubuhnya utuh mencapai Rp 700.000,-/kg sedangkan jika sudah tidak lengkap lagi harganya menjadi Rp. 50.000,-/kg. Harga lobster juga ditentukan oleh berat lobster dan kesesuaian dengan peraturan yang berlaku. Lobster yang memiliki berat lebih dari 300 gram atau memiliki panjang karapas lebih dari 8 cm adalah lobster yang legal berdasarkan surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 18 tahun 2015. Pengamatan yang dilakukan di salah satu pengepul lobster di Palabuhanratu, jika seekor lobster beratnya kurang dari 300 gram maka harganya akan rendah karena tidak bisa diekspor. Sebagai contoh, lobster mutiara (Panulirus ornatus) dengan berat 190 gram akan dihargai Rp. 19.000,- sedangkan jika beratnya 330 gram akan dihargai Rp. 108.000,-; jika berat lobster mutiara tersebut 1.140 gram maka akan dihargai Rp. 763.800,-.

Lobster ikan hasil tangkapan lain tertangkap jaring insang dasar dengan terpuntal (entangled). Duri-duri dalam tubuh lobster menyebabkan lobster mudah terjerat jaring dan sulit untuk melepaskan diri setelah terkena jaring. Duri-duri

(18)

2

besar dan kecil yang kuat serta tajam terdapat mulai dari ujung sungut kedua (second antenna), kepala, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya (Subani 1978b) (Gambar 1). Semakin lobster berusaha bergerak-gerak melepaskan diri dari jaring, maka lobster akan semakin terpuntal oleh sejumlah mata jaring.

Ikan-ikan yang tertangkap pada jaring blo’on ini memiliki ukuran dan jenis yang bermacam-macam. Karena tingkat kekenduran ysng dimiliki jaring menyebabkan ikan-ikan yang berukuran kecil ikut tertangkap jaring. Ikan-ikan kecil tidak dapat melewati mata jaring.

Gambar 1 Bentuk morfologi lobster (Holthuis 1991)

Penggunaan desain jaring insang dasar seperti saat ini yang biasa digunakan nelayan dapat menangkap lobster dengan ukuran yang bervariasi serta ikan dengan berbagai jenis dan ukuran. Pengamatan di lapangan menemukan bahwa jaring blo’on menangkap lobster yang berukuran mulai dari berat 70 gram sampai 1000 gram per ekor dimana harga lobster sangat ditentukan oleh ukurannya. Ikan sebagai hasil tangkapan sampingan pun lebih dari 20 macam dengan berbagai ukuran dan sulit untuk melepaskan ikan dari puntalan jaring.

Lobster yang berukuran kecil tersebut tidak dapat melewati bukaan mata jaring. Duri-duri dalam tubuhnya akan tersangkut dan terpuntal di dalam jaring.

Terhadap lobster yang terpuntal, nelayan harus melepaskan lobster dengan sangat hati-hati karena duri-duri tersebut dapat melukai nelayan sementara nelayan harus menjaga keutuhan tubuh lobster agar harganya maksimum. Ikan-ikan lain yang tertangkap di jaring pun harus diambil dari jaring supaya tidak mengganggu pada saat pengoperasian alat tangkap berikutnya. Ikan-ikan yang berukuran besar akan dimanfaatkan oleh nelayan baik dijual atau dikonsumsi sendiri. Sedangkan ikan yang berukuran kecil akan dibuang kembali kelaut.

Namun jika hasil tangkapan sulit untuk dilepaskan dari puntalan, nelayan terpaksa memotong jaring-jaring yang memuntal karena mereka lebih mengutamakan keutuhan lobster atau ikan bernilai jual tinggi (kerapu) daripada jaringnya. Lobster dengan keadaan ihidup dan utuh akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada yang hilang/patah bagian tubuhnya atau bahkan mati.

(19)

Kerapu dalam keadaan hidup akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada kerapu mati. Kasus terpuntalnya hasil tangkapan oleh jaring yang memaksa nelayan memotong jaring adalah salah satu kekurangan dari penggunaan desain jaring insang dasar saat ini.

Beberapa faktor yang memengaruhi efisiensi gillnet menurut Nomura dan Yamazaki (1997) adalah bahan jaring, warna jaring, ukuran mata jaring (mesh size), hang-in ratio dan kekuatan arus. Jika upaya penggantian bahan jaring, warna jaring dan ukuran mata jaring dianggap terlalu sulit untuk dilakukan nelayan, maka cara lain untuk mengatasi masalah terpuntalnya lobster dan rusaknya tubuh lobster harus dicari. Faktor kekuatan arus juga akan sulit untuk diatasi karena menyangkut faktor alam yang tidak mungkin dikendalikan.

Terhadap faktor alam ini, nelayan harus menyesuaikan diri atau adaptasi.

Mempertimbangkan beberapa hal tersebut maka pilihan untuk mengatasi masalah tersebut jatuh pada pengaturan hang-in ratio. Pemilihan pergantian ukuran hang- in ratio, nelayan tidak perlu mengganti bahan jaring dan/atau merubah ukuran mata jaring. Hal ini berarti tidak banyak biaya harus dikeluarkan nelayan kecuali untuk membongkar dan memasang ulang jaring pada tali ris atas sehingga hang-in ratio yang diinginkan akan diperoleh. Selain itu, perubahan HR jaring diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan jaring dan kelayakan hasil tangkapan, jumlah jenis hasil tangkapan serta memudahkan nelayan melepaskan hasil tangkapan dari jaring.

Berdasarkan hasil perhitungan bahwa penggunaan HR jaring insang dasar nelayan saat ini yaitu 0,5234 (Lampiran 3). Menurut Fridman (1986), hang-in ratio untuk bottom gillnet adalah 30%-70%. Semakin besar hang-in ratio maka semakin besar daya puntal jaring karena semakin banyak ikan kecil yang tertangkap (Acosta dan Appeldoorn (1995); Pet et al. (1995)) sehingga memungkinkan menurunkan kualitas hasil tangkapan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pengetahuan mengenai hang-in ratio pada jaring insang dasar perlu untuk menjaga kualitas hasil tangkapan. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian jaring insang dasar dengan mengefisienkan penggunaan hang-in ratio.

Perumusan Masalah

Lobster sebagai spesies target tangkapan jaring blo’on secara morfologi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang biasa disebut dengan cephalotorax (kepala menyatu dengan dada) dan bagian belakang yang disebut dengan abdomen (badan) (Boesono 2012). Terdapat banyak duri pada bagian cephalotorax lobster, antenna maupun kaki jalan. Hal tersebut sangat memungkinkan lobster terpuntal jaring. Selain kaki jalan yang terdapat pada cephalotorax, lobster juga memiliki kaki renang pada bagian abdomen.

Walaupun lobster memiliki kaki jalan dan kaki renang, namun lobster lebih dominan menggunakan kaki jalannya, merangkak di dasar laut berkarang, di antara karang-karang, di gua-gua karang, dan di sela-sela terumbu karang (Subani 1978b). Lobster dapat dikatakan sebagai hewan air yang tidak pandai berenang, namun akan meloncat saat merasa terganggu menggunakan otot perutnya.

Tingkah laku demikian inilah diperkirakan menjadi salah satu penyebab mengapa lobster mudah terpuntal pada jaring bagian bawah (dekat dengan tali ris bawah).

(20)

4

Walaupun terkadang lobster melompat karena adanya gangguan dari lingkungan, berdasarkan pengamatan di lapang tinggi lompatan lobster ini tidak melebihi 50 cm. Semakin besar ukuran lobster maka akan semakin hati-hati terhadap lingkungan, tidak seagresif lobster yang berukuran lebih kecil.

Mendapatkan lobster yang tertangkap secara terpuntal dalam keadaan utuh bagian tubuhnya merupakan tantangan bagi nelayan pengguna jaring insang dasar.

Lobster yang terpuntal akan lebih sulit dilepaskan dari jaring karena antena dan kaki lobster akan patah jika tidak hati-hati saat melepaskan dari jaring. Harga lobster menjadi tidak maksimum jika tubuhnya tidak lengkap. Eksportir lobster berani membayar Rp 700.000,-/kg untuk lobster hidup yang utuh. Jika ukuran lobster kurang dari ukuran yang boleh diperdagangkan atau kondisi tubuh lobser tidak utuh maka harganya adalah setengah dari harga normal.

Panjang karapas dan berat lobster yang layak tangkap (legal size) menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 dan Surat Edaran Nomor 18/MEN-KP/I/2015 tentang penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.);

lobster yang boleh ditangkap adalah berukuran panjang karapas lebih dari 8 cm atau ukuran berat lebih dari 300 gram dan tidak sedang membawa telur.

Lobster yang tidak memenuhi kriteria untuk diekspor, misalnya cacat atau tidak utuh badannya, akan dijual di pasar domestik, yaitu di restoran-restoran seafood. Hal lain yang dilakukan nelayan saat mendapatkan lobster hasil tangkapan sulit untuk dilepaskan maka nelayan akan memotong jaring untuk mempertahankan keutuhan lobster. Pemotongan jaring jika terjadi secara terus menerus maka dapat mengurangi umur penggunaan jaring itu sendiri serta mengurangi daya tangkap jaring ketika dioperasikan di perairan.

Salah satu faktor yang memungkinan ikan tertangkap pada jaring insang dasar adalah hang-in ratio (HR) yang digunakan (Martasuganda et al. 1999).

Hang-in ratio adalah presentase panjang bahan jaring yang direntang sempurna, dikurangi panjang jaring yang telah dipasang pada tali ris atas dan dibagi panjang bahan jaring yang direntang sempurna (Martasuganda 2008). Semakin tinggi HR yang digunakan maka jumlah bahan (mata jaring) persatuan panjang semakin banyak.

Hang-in ratio yang biasa digunakan nelayan jaring insang dasar Palabuhanratu sebesar 0,5234. Sudah efisien kah penggunaan HR tersebut untuk menangkap lobster sebagai spesies target? Bagaimana dengan hasil tangkapan lain? Sedangkan tubuh lobster sendiri dipenuhi oleh duri yang memberikan peluang besar untuk lobster terpuntal pada jaring. Hasil tangkapan lain yang berukuran kecil pun berpeluang untuk terpuntal pada jaring. Selain itu, penggunaan HR yang tinggi membutuhkan jumlah bahan jaring lebih banyak dan membuat hasil tangkapan semakin memuntal pada jaring, akibatnya hasil tangkapan tersebut semakin sulit dilepaskan (Pet et al. 1995; Martasuganda et al.

2000).

Kesulitan melepaskan lobster dan hasil tangkapan lain yang terpuntal pada jaring memungkinkan menurunkan kualitas hasil tangkapan jika nelayan tidak berhati-hati. Selama ini jika nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang sangat terpuntal pada jaring maka nelayan akan memotong jaring. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan terutama lobster dan ikan karang

(21)

dimana tidak ada bagian tubuh yang rusak dan dalam keadaan hidup. Namun demikian, pemotongan jaring secara terus menerus akan merugikan nelayan.

Upaya perbaikan terhadap desain lobster bottom gillnet yang ada di Palabuhanratu adalah dengan merubah ukuran HR jaring menjadi lebih kecil.

Perubahan HR jaring diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan jaring, memberikan peluang hasil tangkapan yang berukuran kecil dapat melewati jaring (meloloskan diri) dan memudahkan nelayan melepaskan hasil tangkapan dari jaring sehingga kualitas hasil tangkapan dapat terjaga.

Upaya perbaikan efisiensi konstruksi jaring insang dasar telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Perbedaan penggunaan HR jaring terhadap selektifitas alat tangkap jaring sudah dilakukan oleh Emmanuel et al. (2008); Hutubessy (2011) serta Orsay dan Murside (2011) sedangkan perbedaan penggunaan HR terhadap efisiensi jaring telah dilakukan oleh Samaranayaka et al. (1997); Parsa et al.

(2014) serta Mohammed (2015).

Penelitian diperlukan untuk menemukan HR terbaik untuk jaring insang dasar. Penelitian dilakukan dengan membuat desain jaring baru yang memiliki HR berbeda dari yang digunakan nelayan. Secara khusus, penelitian ini akan membuktikan dugaan bahwa perbedaan hang-in ratio pada jaring blo’on akan memengaruhi karakteristik hasil tangkapan dan menentukan desain HR jaring insang dasar terbaik di Palabuhanratu.

Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk:

1. Menganalisis kondisi perikanan lobster di Palabuhanratu;

2. Menganalisis komposisi dan karakteristik hasil tangkapan jaring insang dasar yang memiliki perbedaan hang-in ratio; dan

3. Menentukan desain jaring insang insang dasar terbaik untuk menangkap lobster berdasarkan karakteristik hasil tangkapan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian berupa alternatif desain jaring insang yang lebih efisien untuk menangkap ikan dan lobster sebagai spesies target. Desain yang diusulkan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan jaring insang dasar standar untuk menangkap lobster.

Ruang Lingkup Penelitian

Objek penelitian adalah jaring insang dasar yang biasa digunakan oleh nelayan di Palabuhanratu. Kegiatan penelitian mencakup modifikasi jaring insang dasar yang ada dengan merubah hang-in ratio mempertimbangkan tingkah laku lobster, peraturan tentang kelayakan tangkap lobster di Indonesia, dan hasil tangkapan lain selain lobster. Penilaian terhadap keberhasilan modifikasi alat ini dilihat dari segi penggunaan bahan jaring, jenis hasil tangkapan, proporsi panjang dan berat lobster yang layak tangkap, kualitas lobster yang tertangkap, komposisi hasil tangkapan total dan kemudahan melepaskan hasil tangkapan dari jaring.

(22)

6

Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran disusun berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat. Adapun kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran modifikasi jaring insang dasar terbaik

Penelitian Pendahuluan

- Identifi kasi jaring nelayan - Studi

literatur

Uji coba penangkapan:

- Hang-in ratio 0,5234 - Hang-in ratio 0,2930 - Hang-in ratio 0,4082 Modifikasi Jaring:

- Hang-in ratio 0,4082 - Hang-in ratio 0,2930 - Studi

literatur - Aspek

biologi - Aspek

teknis

Pengumpulan data:

- Penggunaan bahan jaring - Jumlah hasil tangkapan

- Panjang/berat, kelayakan dan kelengkapan tubuh hasil tangkapan lobster

- Kemudahan melepaskan hasil tangkapan

Analisis data

Annova (Kruskal Wallis) Deskriptif

Bahan jaring, jumlah jenis hasil tangkapan pada masing-masing

alat tangkap, dan

kemudahan

melepaskan hasil

tangkapan dari jaring

- Jumlah hasil tangkapan lobster - Proporsi

panjang dan berat lobster layak tangkap

Penentuan

modifikasi jaring

insang dasar terbaik

Desain dan

konstruksi jaring baru:

- Hang-in ratio

0,4082

- Hang-in ratio

0,2930

Desain dan

konstruksi jaring nelayan (Hang-in ratio 0,5234) (kontrol)

Diperlukan upaya perbaikan Perikanan jaring insang dasar:

- Populer di Indonesia

- Di Palabuhanratu menangkap ikan demersal - Lobster sebagai spesies target

Pemanfaatan belum efisien:

- Tertangkapnya ukuran panjang/berat yang tidak layak tangkap - Kualitas hasil tangkapan rendah/terdapat kerusakan

- kesulitan melepas dari jaring, efisiensi penggunaan bahan jaring - By catch

(23)

Hipotesis

Penelitian menguji sebuah hipotesis bahwa hang-in ratio jaring insang dasar akan memengaruhi karakteristik hasil tangkapan.

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) mengetahui desain konstruksi jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan (yaitu jaring blo’on), (2) merencanakan dan membuat desain baru jaring insang dasar, serta (3) melakukan uji coba di lapangan terhadap desain jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan dan hasil modifikasi. Penelitian tahap pertama dilakukan bulan Maret 2016 yang bertempat di Palabuhanratu, Jawa Barat dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tahap kedua dilaksanakan bulan April hingga Agustus 2016 bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Stasiun Lapang Kelautan, Palabuhanratu Institut Pertanian Bogor. Tahap ketiga yaitu percobaan lapang dilakukan di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Agustus - November 2016. Pemilihan waktu uci coba alat disesuaikan dengan musim penangkapan lobster. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengepul lobster, nelayan lobster yang ada di Palabuhanratu dan studi literatur dari beberapa penelitian mengenai lobster bahwa puncak produksi lobster secara umum saat musim penghujan. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa musim puncak penangkapan lobster mutiara adalah pada musim kemarau (Agustus).

Gambar 3 Lokasi dan titik pengambilan data penelitian

(24)

8

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah jaring satu lapis yang terbuat dari polyamide berukuran mesh size 5 inci. Kemudian terdapat pelampung, pemberat, serta tali temali sehingga dapat dibentuk menjadi sebuah jaring insang dasar. Bahan-bahan apa saja yang digunkan selama penelitian untuk lebih jelasnya terlampir pada Lampiran 1. Penggunaan mesh size 5 inci karena spesies target dari jaring blo’on adalah lobster mutiara yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi (Rp 700.000,-/kg) daripada jenis lobster lainnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah 3 (tiga) jenis jaring dengan hang-in ratio yang berbeda-beda (Gambar 11) yang masing-masing berjumlah 2 (dua) pis sehingga total jaring yang digunakan dalam penelitian adalah 6 (enam) pis. Dua buah jaring menggunakan desain jaring yang biasa digunakan nelayan dan 4 (empat) lagi sesuai dengan hang-in ratio yang dibutuhkan. Timbangan duduk dengan ketelitian 1 gram yang digunakan untuk mengukur berat hasil tangkapan. Neraca ohaus yang digunakan untuk mengukur berat pelampung, pemberat, jaring, serta tali temali dengan ketelitian 0,01 gram. Penggaris digunakan untuk mengukur panjang lobster dengan ketelitian 0,1 cm. Meteran jahit yang digunakan untuk mengukur jaring jaring insang dasar dengan ketelitian 0,1 cm. Jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm yang digunakan untuk mengukur mesh size jaring, diameter pelampung dan pemberat serta lebar lobster.

Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian serta alat tulis yang digunakan untuk mencatat selama penelitian. GPS digunakan untuk mengetahui posisi pengoperasian alat tangkap. Kertas label yang digunakan untuk menandai hasil tangkapan.

Pengambilan Data

Tahap I

Penelitian dilakukan dengan metode survei. Pengambilan data dilakukan dengan mewawancarai nelayan yang biasa menangkap lobster dengan jaring insang di Palabuhanratu dan wawancara terhadap salah satu pengepul lobster yang ada di Palabuhanratu. Data-data yang dikumpulkan berdasarkan wawancara dengan nelayan adalah mengenai desain dan konstruksi alat tangkap jaring insang dasar, cara tertangkap lobster, musim penangkapan, keadaan atau permasalahan perikanan lobster saat ini dan hasil tangkapan selain lobster. Peneliti juga membawa satu pis jaring insang dasar yang digunakan nelayan untuk diukur kembali di kampus FPIK IPB, memvalidasi hasil wawancara dari nelayan. Setelah data mengenai alat tangkap lengkap maka dibuat sebuah desain jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan. Sedangkan wawancara yang dilakukan kepada salah satu pengepul lobster di Palabuhanratu adalah untuk melihat kondisi pasar ekspor lobster, jenis lobster yang ada di Palabuhanratu, serta kondisi perikanan lobster saat ini.

Tahap II

Tahap II (dua) ini dilakukan kajian untuk membuat atau mendesain jaring yang berbeda hang-in ratio dengan yang biasa digunakan oleh nelayan. Pemilihan hang-in ratio dilakukan berdasarkan studi literatur dari perhitungan HR dalam

(25)

buku Jaring insang (Gillnet) (Martasuganda 2008). Bukaan mata jaring akan berbentuk belah ketupat (bentuk optimum) saat nilai hang-in ratio nya adalah 29,3% dan akan menghasilkan tinggi jaring yang optimum (Martasuganda 2008).

Penggunaan mata berbentuk belah ketupat akan mengurangi tingkat terpuntalnya lobster dan memberikan kemungkinkan meloloskan hasil tangkapan berukuran kecil. Penggunaan hang-in ratio 0,4082 merupakan nilai tengah antara hang-in ratio 0,5234 dan 0,2930. Penggunaan jumlah mata jaring yang digunakan pada alat tangkap untuk bagian tali ris atas dan tali ris bawah, dihitung berdasarkan persamaan yang dibuat oleh Martasuganda (2008):

Sa = (L-La) / L Sb = (L-Lb) / L dengan:

Sa = hang-in ratio bagian tali ris atas;

Sb = hang-in ratio bagian tali ris bawah;

L = panjang bahan jaring terenggang sempurna;

La = panjang jaring ketika dipasang pada tali ris atas; dan Lb = panjang jaring ketika dipasang pada tali ris bawah Tahap III

Penelitian tahap III dilakukan dengan eksperimental fishing. Menurut Natsir (2003), eksperimental adalah observasi di bawah kondisi buatan, dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti. Penelitian eksperimental ini membandingkan hang-in ratio yang biasa digunakan nelayan (0,5234) dengan hang-in ratio modifikasi oleh peneliti yaitu 0,2930 dan 0,4082.

Jaring yang digunakan berbeda untuk setiap ukuran hang-in ratio berbeda, diletakkan secara bersebelahan untuk menghindari adanya faktor lain yang memengaruhi hasil tangkapan seperti daerah penangkapan, komponen alat tangkap, metode pengoperasian, waktu pengoperasian tidak dibedakan dalam penelitian (Gambar 4).

~

~

Keterangan:

P1 : Jaring dengan hang-in ratio 0,2930 P2 : Jaring dengan hang-in ratio 0,4082 N : Jaring nelayan (hang-in ratio 0,5234)

Gambar 4 Model posisi pemasangan jaring dalam uji coba di lapang

Ulangan dalam suatu penelitian perlu dilakukan untuk mengurangi bias selain dari yang disebutkan di atas. Menurut Hanafiah (2005), ulangan (replication) adalah frekuensi suatu perlakuan yang diselidiki dalam suatu percobaan. Jumlah ulangan suatu perlakuan tergantung pada derajat ketelitian yang diinginkan oleh peneliti terhadap kesimpulan percobaannya. Sebagai suatu patokan, jumlah ulangan dianggap telah cukup baik bila memenuhi persamaan berikut:

(r-1) (n-1) ≥ 15 dengan:

n : banyak ulangan r : banyak perlakuan

P 1 N P 2 P1 N P2

(26)

10

maka banyaknya ulangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

(r-1) (n-1) ≥ 15 (3-1) (n-1) ≥ 15 2 (n-1) ≥ 15 n-1 ≥ 7,5 n ≥ 8,5

jadi, ulangan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 9 kali. Untuk memperkecil kesalahan dalam pengambilan data maka ulangan yang akan dilakukan sebanyak 23 kali dengan lokasi atau titik pengoperasian alat yang berbeda-beda (Gambar 3 dan Lampiran 5).

Penentuan titik sampling dilakukan berdasarkan pertimbangan atau kebiasaan nelayan mengoperasikan alat tangkap, dimana lokasi tersebut dianggap memiliki potensi lobster yang lebih banyak daripada lokasi yang lain. Daerah penangkapan lobster mutiara berbeda dengan lobster hijau pasir dimana harus menggunakan kapal/perahu untuk menuju lokasi. Menurut Moosa dan Aswandy (1984) dalam Holthuis (1991) bahwa lobster mutiara mendiami perairan pada kedalaman 1-8 m dan juga ditemukan pada kedalaman 50 m dengan substrat berpasir dan berlumpur. Purposive sampling menurut Sugiyono (2007) adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

Metode pengoperasian

Metode pengoperasian alat tangkap sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh nelayan yang mencari lobster mutiara, yaitu pemasangan alat tangkap dilakukan pada sore hari (Pukul 17.00 WIB) dengan posisi pemasangan alat seperti pada Gambar 4. Alat akan direndam selama semalam. Proses pengangkatan alat dilakukan pada pagi harinya pukul (05.00 WIB). Setelah proses pengangkatan selesai, hasil tangkapan sudah diambil semua maka alat tangkap akan direndam kembali di laut tidak dibawa ke darat. Keesokan harinya pukul 05.00 WIB nelayan akan kembali ke tempat pemasangan alat untuk mengambil hasil tangkapan, begitu seterusnya. Pelampung penanda pada jaring digunakan untuk mengetahui posisi pemasangan alat tangkap oleh nelayan.

Masing-masing hasil tangkapan akan dimasukkan kedalam wadah sesuai dengan jenis jaringnya (setiap wadah diberi penanda). Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pengukuran dan mengurangi kesalahan pada saat pengambilan data. Pengukuran untuk pengambilan data akan dilakukan ketika sudah sampai di darat.

Jenis dan sumberdata

Data yang akan diambil selama penelitian meliputi komposisi hasil tangkapan, karakteristik hasil tangkapan lobster, efisiensi penggunaan bahan jaring dan kemudahan melepaskan hasil tangkapan dari jaring. Karakteristik yang dimaksud meliputi: jumlah, ukuran (panjang dan berat), dan kelengkapan tubuh lobster yang tertangkap. Mempertimbangkan pendapat Park et al. (2014), penelitian mencatat hasil tangkapan sampingan, yaitu hasil tangkapan selain lobster. Hal tersebut dilakukan karena hasil tangkapan lain tersebut juga dimanfaatkan oleh nelayan, baik dijual atau dikonsumsi sendiri.

(27)

Variabel jumlah hasil tangkapan (ekor) diamati untuk melihat kemampuan alat menangkap lobster. Kondisi lobster dilihat dari kelengkapan anggota tubuhnya. Berdasarkan studi lapangan di salah satu pengusaha lobster bahwa lobster yang dapat diekspor dan memiliki nilai jual tinggi adalah lobster dalam kedaan hidup, memiliki berat yang sesuai peraturan serta memiliki anggota tubuh yang lengkap. Patah pada bagian tubuh diperbolehkan jika patah maksimal dua buah dalam satu sisi yang sama.

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Menurut Natsir (2003), cara pengumpulan data dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau organisasi langsung melalui obyeknya.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi. Data sudah dikumpulkan oleh pihak instansi lain.

Data sekunder yang diambil yaitu kondisi perairan Palabuhanratu, peta perairan Palabuhanratu, dan data statistik lobster di Palabuhanratu. Data primer penelitian yang dikumpulkan adalah data primer pada tahap I dan tahap III, sedangkan tahap II diperoleh melalui data sekunder atau studi literatur. Jenis dan sumber data yang diperoleh pada tahap I dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian tahap I

No. Jenis data Sumber data

1 Desain dan spesifikasi jaring insang dasar nelayan

Nelayan dan pengukuran

2 Metode penangkapan Nelayan

3 Daerah penangkapan Nelayan

4 Dokumentasi Peneliti

Data primer pada tahap III diambil melalui eksperimen. Data-data yang diambil terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian tahap III

No. Jenis data Nilai Sumber data

1 Jumlah bahan jaring yang digunakan

Jumlah mata persatuan panjang (buah) yang dibutuhkan untuk membuat desain jaring yang berbeda

Pengukuran langsung

2 Jumlah hasil

tangkapan

Berapa total hasil tangkapan pada masing-masing jaring (ekor) yang tertangkap (2 pis jaring untuk setiap jenis hang-in ratio)

Experimental fishing

3 Proporsi panjang dan berat lobster sudah layak tangkap

Panjang (mm) dan berat (gram) setiap lobster yang tertangkap pada masing- masing jaring (2 pis jaring untuk setiap jenis hang-in ratio).

Experimental fishing

4 Kelengkapan lobster hasil tangkapan

Kelengkapan bagian tubuh lobster yang tertangkap jaring (2 pis jaring untuk setiap jenis hang-in ratio):

1. patah lebih dari 2 (dua) bagian pada sisi yang sama masuk dalam kategori second.

Experimental fishing

(28)

12

Tabel 2 Lanjutan

No. Jenis data Nilai Sumber data

2. patah kurang dari 3 (tiga) bagian pada sisi yang sama atau lengkap masuk dalam kategori normal.

5 Komposisi hasil tangkapan

Jumlah (ekor), berat (gram) dan jenis hasil tangkapan pada masing-masing jenis jaring (2 pis jaring untuk setiap jenis hang-in ratio).

Experimental fishing

6 Kemudahan

melepaskan lobster dari jaring

Mudah, sulit, dan sangat sulit untuk melepaskan lobster dari ketiga jenis (2 pis jaring untuk setiap jenis hang-in ratio) jaring menurut pendapat nelayan.

Experimental fishing

7 Penentuan desain jaring terbaik

Skoring dengan nilai 3 adalah untuk yang terbaik dan nilai 1 untuk yang terburuk, sedangkan nilai 2 untuk baik.

Experimental fishing

Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dari percobaan di lapangan diolah secara deskriptif (menggunakan tabel atau diagram) dan menggunakan uji statistik non parametrik. Deskriptif digunakan untuk membahas kondisi perikanan lobster Palabuhanratu, desain dan konstruksi jaring insang dasar, komposisi hasil tangkapan, kemudahan melepaskan lobster dari jaring serta kelengkapan tubuh lobster. Seluruh hasil tangkapan lobster masuk dalam kategori lengkap sehingga tidak diperlukan uji statistik.

Ada tidaknya perbedaan jumlah (ekor) dan proporsi lobster layak tangkap berdasarkan panjang karapas atau berat dari ketiga jaring akan diujicobakan dengan uji nonparametrik dengan Kruskal Wallis Test. Penggunaan test nonparametrik dilakukan ketika data yang diperoleh memiliki varian sama namun tidak menyebar normal. Prosedur uji Kruskal Wallis adalah:

1. Hipotesis

H0 : tidak ada perbedaan nilai median populasi dari percobaan ketiga jenis HR H1 : ada perbedaan nilai median populasi dari percobaan ketiga jenis HR 2. Taraf nyata atau taraf signifikansi (α): 0,05

3. Statistik uji:

4. Kriteria keputusan

(Walpole 1995)

Penentuan desain jaring insang terbaik dari tiga desain jaring dengan HR berbeda (d) dilakukan dengan menerapkan metode pemberian skor (scoring) yang mempertimbangkan 6 indikator (i), yaitu jumlah hasil tangkapan per trip, proporsi

(29)

lobster berukuran legal/layak tangkap (CL > 8 cm atau berat > 300 gram), proporsi lobster dengan tubuh yang utuh/lengkap, kemudahan melepaskan lobster dari jaring, jumlah bahan jaring yang diperlukan untuk membuat satu pis jaring (meter) dan komposisi jenis hasil tangkapan. Dalam penelitian ini, setiap indikator memiliki kontribusi yang sama dalam menentukan desain jaring terbaik. Skoring dilakukan dengan membandingkan peringkat (ranking) dari nilai indikator antar jaring dengan desain yang berbeda. Setiap instrumen atau indikator dalam suatu penelitian digunakan untuk melakukan pengukuran untuk menghasilkan data kuantitatif yang akurat, efisien dan komunikatif sehingga harus memiliki skala (Sugiyono 2011).

Penilaian setiap indikator dilakukan dengan cara mengurutkan 3 nilai dari tertinggi ke terendah. Penilaian untuk 3 indikator pertama, jaring dengan nilai tertinggi diberi skor 3, jaring dengan nilai terendah diberi nilai 1 dan jaring dengan nilai di antara tertinggi dan terendah diberi skor 2. Indikator keempat, semakin mudah nelayan melepaskan lobster dari jaring maka diberi skor 3 dan semakin sulit melepaskan lobster diberi skor 1. Sedangkan skor 2 untuk biasa saja ketika melepaskan lobster dari jaring. Untuk indikator kelima (jumlah bahan jaring), jaring dengan jumlah bahan terkecil diberi skor 3 sedangkan jaring dengan jumlah bahan terbanyak diberi skor 1. Indikator keenam, semakin sedikit komposisi jenis hasil tangkapan maka akan diberi nilai maksimal yaitu 3. Semakin banyak komposisi jenis hasil tangkapan maka akan diberi nilai minimal yaitu 1.

Nilai 2 diberikan pada nilai antara komposisi jenis hasil tangkapan maksimal dan minimal.

Hasil penelitian tersebut adalah skor setiap indikator (Ddi). Jumlah skor dari setiap indikator kemudian dihitung untuk masing-masing jaring. Jaring dengan jumlah skor tertinggi dinyatakan sebagai jaring terbaik untuk menangkap lobster.

Tabel 3 Perhitungan untuk menentukan jaring lobster terbaik di Palabuhanratu Desain Jaring (D)

Indikator HR 0,5234 HR 0,4082 HR 0,2930

1. Rata-rata jumlah tangkapan per trip D1,1 D2,1 D3,1

2. Proporsi lobster berukuran layak tangkap D1,2 D2,2 D3,2

3. Proporsi lobster dengan tubuh lengkap D1,3 D2,3 D3,3

4. Kemudahan melepaskan lobster dari jaring D1,4 D2,4 D3,4

5. Kebutuhan bahan jaring D1,5 D2,5 D3,5

6. Komposisi jenis hasil tangkapan D1,6 D2,6 D3,6

Jumlah

Desain jaring terbaik adalah jaring dengan menangkap lobster berukuran legal terbanyak, memiliki tubuh utuh yang terbanyak, mudah dilepaskan dari jaring, memerlukan bahan jaring dalam jumlah paling sedikit dan jaring menangkap ikan lain dalam jumlah jenis yang paling sedikit.

(30)

14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi perikanan lobster Palabuhanratu

Berdasarkan pengukuran langsung di lapang selama penelitian, pengukuran panjang dan berat lobster hasil tangkapan nelayan akan disajikan sesuai dengan jenisnya. Hasil pengukuran pada lobster hijau pasir terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5 Persebaran berat dan panjang lobster hijau pasir (Panulirus homarus) bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian Lobster hijau pasir yang ditangkap nelayan palabuhanratu mayoritas memiliki berat kurang dari 300 gram, hanya 6 ekor yang memiliki berat ≥ 300 gram. Panjang karapas lobster hijau pasir berkisar antara 50 mm sampai 109 mm dan mayoritas memiliki panjang karapas 70-79 mm. Terdapat 73 ekor lobster hijau pasir yang memiliki panjang ≥ 80 mm (8 cm) dari total lobster 239 ekor.

Jenis lobster lain yang ada di Palabuhanratu dan sudah dilakukan pengukuran adalah lobster bambu. Hasil pengukuran hasil tangkapan lobster bambu terdapat pada Gambar 6.

Gambar 6 Persebaran berat dan panjang lobster bambu (Panulirus versicolor) bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian

Lobster bambu yang ditangkap nelayan palabuhanratu mayoritas memiliki berat kurang dari 300 gram, hanya 6 ekor yang memiliki berat ≥ 300 gram.

(31)

Panjang karapas lobster bambu berkisar antara 40 mm sampai 129 mm dan mayoritas memiliki panjang karapas 60-69 mm. Terdapat 18 ekor lobster bambu yang memiliki panjang ≥ 80 mm (8 cm) dari total lobster 64 ekor.

Jenis lobster lain yang ada di Palabuhanratu dan sudah dilakukan pengukuran adalah lobster hitam. Hasil pengukuran lobster hitam terdapat pada Gambar 7.

Gambar 7 Persebaran berat dan panjang lobster hitam (Panulirus penicillatus) bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian

Lobster hitam yang ditangkap nelayan palabuhanratu mayoritas memiliki berat kurang dari 300 gram, hanya 1 ekor yang memiliki berat ≥ 300 gram.

Panjang karapas lobster bambu berkisar antara 45 mm sampai 109 mm dan mayoritas memiliki panjang karapas 55-59 mm. Terdapat 13 ekor lobster bambu yang memiliki panjang ≥ 80 mm (8 cm) dari total lobster 46 ekor.

Jenis lobster lain yang ada di Palabuhanratu dan sudah dilakukan pengukuran adalah lobster mutiara. Hasil pengukuran hasil tangkapan lobster mutiara terdapat pada Gambar 8.

Gambar 8 Persebaran berat dan panjang lobster mutiara (Panulirus ornatus) bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian Lobster mutiara yang ditangkap nelayan palabuhanratu mayoritas memiliki berat kurang dari 300 gram yaitu 109 ekor dan 64 ekor memiliki berat ≥ 300 gram. Panjang karapas lobster bambu berkisar antara 50 mm sampai 189 mm dan mayoritas memiliki panjang karapas 80-89 mm. Terdapat 96 ekor lobster bambu yang memiliki panjang ≥ 80 mm (8 cm) dari total lobster 147 ekor.

Secara keseluruhan selama penelitian dilakukan dimana terdapat 4 jenis lobster yang tertangkap di Palabuhanratu, terdapat data jenis kelamin.

(32)

16

Perbandingan jenis kelamin lobster hasil tangkapan sesuai dengan jenisnya terdapat pada Gambar 9.

Gambar 9 Persebaran lobster jantan dan betina di Palabuhanratu bulan November 2016 berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian

Berdasarkan pengamatan di lapang, lobster hijau pasir berjenis kelamin jantan sebanyak 126 ekor dan 114 ekor berjenis kelamin betina. Lobster bambu berjenis kelamin jantan sebanyak 30 ekor dan berjenis kelamin betina 27 ekor.

Lobster hitam tidak berbeda jauh, yaitu 21 ekor berjenis kelamin jantan dan 25 ekor berjenis kelamin betina. Lobster mutiara, sebagai jenis lobster di Palabuhanratu terbanyak ke dua memiliki jenis kelamin jantan sebanyak 87 ekor dan 63 ekor betina.

Informasi mengenai jumlah, jenis dan berat lobster yang ada di Palabuhanratu bermanfaat dalam penyusunan pengelolaan sumberdaya lobster yang ada. Jumlah untuk setiap jenis lobster setelah dilakukan pengumpulan data penelitian dan data dari pengepul lobster terdapat pada Gambar 10.

Gambar 10 Persebaran lobster di Palabuhanratu berdasarkan data pengepul lobster dan penelitian

(33)

Jenis lobster yang ada di Palabuhanratu terdiri dari lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster hitam/batu (Panulirus penicillatus), lobster bambu (Panulirus versicolor) dan lobster hijau pasir (Panulirus homarus). Namun pada bulan November tertangkap lobster jenis pakistan sebanyak 1 ekor. Dari kelima jenis lobster tersebut, mayoritas lobster yang tertangkap atau terdapat di Palabuhanratu adalah lobster mutiara dan lobster hijau pasir.

Karakteristik jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap lobster

Sesuai dengan karakteristik lobster sebagai spesies target dari alat tangkap bottom gillnet, maka nelayan biasanya memiliki 2 macam jaring untuk menangkap lobster. Jaring dengan mesh size 4 inci hingga 5 inci yang digunakan untuk menangkap lobster mutiara dan jaring dengan mesh size 2,5 inci hingga 3 inci untuk menangkap lobster hijau dan lobster bambu. Ukuran lobster mutiara yang relatif lebih besar menyebabkan nelayan menggunakan jaring yang berbeda ketika akan menangkap lobster hijau dan lobster bambu dimana kedua lobster tersebut memiliki ukuran yang relatif lebih kecil daripada lobster mutiara.

Berdasarkan pengamatan di lapang bahwa kedua jenis jaring tersebut memiliki konstruksi yang sama, hanya ukuran mata jaring yang berbeda. Jaring blo’on yang biasa digunakan untuk menangkap lobster terdiri dari tali pelampung, tali ris atas, badan jaring, tali ris bawah dan tali pemberat. Badan jaring menggunakan jaring polyamide (PA) satu lapis dengan ukuran mata jaring 3-5 inci dan berbentuk empat persegi panjang. Nelayan dalam pengoperasian biasa menggunakan jaring blo’on sebanyak 15-17 pieces yang masing-masing piece disambung satu dengan yang lainnya menggunakan tali ris atas/bawah dan tali pemberat/pelampung. Jaring blo’on 1 piece yang dioperasikan memiliki panjang sekitar 64 m dan memiliki tinggi 18 mata (lampiran 1 dan lampiran 2).

Desain dan konstruksi jaring insang dasar dengan hang-in ratio berbeda Setelah dilakukan studi literatur untuk menentukan besar HR pembanding, penelitian akan memodifikasi jaring blo’on dengan hang-in ratio sebesar 0,2930 (hang-in ratio optimum). Hang-in ratio lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,4082 (lampiran 4).

Konstruksi jaring insang dasar dengan HR berbeda membutuhkan banyaknya bahan jaring yang berbeda. Perbedaan ini terjadi sebagai akibat dari perubahan jumlah mata untuk setiap satuan panjang. Jumlah mata jaring antar pemberat (30 cm) dan antar pelampung (460 cm).

(34)

18

Gambar 11 Jaring insang dasar yang biasa digunakan nelayan di Palabuhanratu Jumlah mata jaring antar pemberat yang digunakan pada jaring HR 0,2930 adalah yang paling sedikit dibandingkan HR 0,4082 dan HR 0,5234. Data penggunaan bahan jaring pada setiap desain jaring terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggunaan bahan jaring pada setiap desain hang-in ratio jaring insang dasar.

Jumlah mata jaring antar ikat pada tali ris atas (46 cm)

Jumlah mata jaring antar pemberat (30 cm)

Jumlah mata jaring pada tali ris bawah per pis (63,90 m)

Setiap 17 pis

HR 0,2930 5 3 639 10.863

HR 0,4082 6 4 852 14.484

HR 0,5234 8 5 1.065 18.105

Komposisi hasil tangkapan

Hasil tangkapan selama percobaan adalah 33 jenis organisme yang kemudian dilakukan pengelompokan menjadi 5 kelompok besar berdasarkan nilai ekonomis dari jenis organisme tersebut. Kelompok besar tersebut adalah kelompok udang karang, kepiting, kerapu, kakap, dan ikan lainnya. Jumlah dan berat hasil tangkapan tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan berat hasil tangkapan dari 3 desain jaring dengan hang-in ratio berbeda (masing-masing 2 pis) selama 23 trip operasi penangkapan pada bulan November 2016 di Palabuhanratu

No Jenis Jumlah (ekor) Berat (gram)

P1 P2 P3 P1 P2 P3

1 Lobster (Panulirus sp.) 5 1 5 1.239 320 1.192 2

Kepiting dan Rajungan

(Scylla sp. dan Portunus) 55 21 17 6.040 1.831 56

3 Kerapu (Epinephelus sp.) 3 2 1 710 720 80

Gambar

Gambar 2 Kerangka pemikiran modifikasi jaring insang dasar terbaik
Gambar 4 Model posisi pemasangan jaring dalam uji coba di lapang
Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian tahap I
Tabel 2 Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: 1) jenis-jenis produk kemasan informasi; 2) proses kemas ulang informasi; dan 3) upaya pemenuhan kebutuhan informasi usaha kecil

Perumusan Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Berdasarkan risiko ketidakamanan pangan dari semua sekolah, upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah

Penyidikan tidak harus menunggu rekomendasi politik DPR untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc Ijin bukan dari ketua pengadilan HAM bukan ketua pengadilan HAM ad hoc (pasal 22

Berdasarkan pemaparan pengaruh keempat variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini terhadap nilai perusahaan, maka dapat disimpulkan bahwa teori sinyal

Nilai wajar dari aset tetap yang diperoleh pada tanggal akuisisi sebesar Rp 231.380 adalah berdasarkan penilaian dari penilai berkualifikasi. Nilai wajar liabilitas dari

Hasil pemilihan dengan menggunakan metode AHP, dalam matriks alternative yang telah ditentukan, hal ini menyatakan bahwa responden didalam menentukan

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kerja magang dengan

Unpredictable weather, limited and erratic rainfall, nutrient poor soil and rapid intensification of agri- culture is major ecological limits of the humid and sub-humid zones of