• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. Arus globalisasi yang terjadi pada saat ini membawa banyak sekali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. Arus globalisasi yang terjadi pada saat ini membawa banyak sekali"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Arus globalisasi yang terjadi pada saat ini membawa banyak sekali perubahan-perubahan yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi banyak yang sangat bermanfaat dan sangat membantu dalam kehidupan manusia. Namun, arus globalisasi juga tidak jarang membawa dampak-dampak negatif yang signifikan.

Aspek kehidupan seperti aspek social, budaya, agama, politik, ekonomi, pendidikan, dan ilmu teknologi tak ayal terserang dampak negatif yang sedemikian besar. Dampak-dampak negatif tersebut memerlukan adanya payung hukum yang menanggulanginya.

Hukum Pidana merupakan salah satu bagian dari payung hukum tersebut.

Pada umumnya Hukum Pidana itu sendiri tidak berbeda dengan hukum-hukum lainnya yang mana memiliki ketentuan-ketentuan yang menjamin agar norma- norma hukum ditaati oleh masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan suatu keserasian, ketertiban, kepastian hukum, dan lainnya dalam pergaulan masyarakat1, namun Hukum Pidana memiliki sifat khusus yang membedakannya dari hukum yang lain pada umumnya. Sifat khusus hukum pidana yang membedakan dengan hukum lainnya itu adalah dilihat dari segi sanksinya.

1 “Hukum” diakses dari http://zakkiadlhiyati.blogspot.com/2010/06/hukum.html, pada tanggal 26/1/2014 (13.00)

(2)

Mendengar kata “Hukum” maka yang terlintas dalam benak setiap orang adalah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di mana di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh di lakukan, serta akibatnya. Pengertian yang pertama di atas disebut sebagai norma sedangkan akibatnya disebut sebagai sanksi. Sanksi bentuknya dapat bermacam-macam dari dipaksa diambil hartanya karena harus membayar denda, dirampas kebebasannya karena dipidana kurungan atau penjara, bahkan dapat pula dirampas nyawanya, jika diputuskan dijatuhi pidana mati2.

Pidana mati memberi kesan tersendiri kepada setiap orang yang mendengar. Banyak opini yang terlintas dalam pikiran masyarakat luas bahwa hukuman mati adalah sepantasnya dijatuhkan bagi terpidana yang melakukan kejahatan-kejahatan yang berat. Hukuman mati merupakan sanksi pidana tertua yang pernah ada sejak adanya peradaban manusia, oleh karenanya bukanlah hal yang perlu dipertentangkan, namum penjatuhan pidana mati mulai banyak menimbulkan kontroversi seiring berkembangnya pola pikir masyarakat.

Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan di masa modern ini. Banyak perdebatan para ahli yang mulai meragukan hak suatu Negara untuk menjatuhan pidana mati kepada seseorang. Keraguan tersebut terkait dengan pandangan Hukum Kodrat yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurangi (non-

2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hlm. 2

(3)

derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat3.

Hermien Hadiati Koeswadji4 mengemukakan beberapa pendapat dari golongan yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra) terhadap pidana mati yang didasarkan pada alasannya masing-masing, yaitu

Alasan golongan yang setuju (pro) terhadap pidana mati:

a. Pidana mati dijatuhkan hanya dalam hal apabila betul-betul kepentingan umum terancam (seperti kejahatan terhadap keamanan negara, pemberontakan, dan sebagainya.).

b. Pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila hakim benar-benar yakin dan kesalahan terdakwa dapat dibuktikan selengkap-lengkapnya.

c. Pidana mati harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lain, artinya tidak dijatuhkan semata-mata, sehingga dengan demikian hakim dapat memilih mana yang menurut keyakinannya lebih sesuai dengan kesalahan terdakwa yang dapat dibuktikan.

Sedangkan alasan golongan yang tidak setuju (kontra) dengan pidana mati adalah:

a. Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana mati, berhubung dengan sifatnya yang mutlak yang tidak mungkin untuk ditarik

3 Makaarim “Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relevansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia”, diakses dari http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death- penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia, pada tanggal 26/1/2014 (14.03)

4Hermien Haidati Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 21

(4)

kembali (onherroepelijk), sehingga apabila hukuman mati telah dilaksanakan, tidak mungkin lagi untuk diubah atau diperbaiki.

b. Alasan kedua yang lazim dikenal sebagai rechterlijke dwalling (kesesatan hakim). Golongan ini berpendapat bahwa hakim juga hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bila pidana mati ini sudah dilaksanakan, apalah artinya jika kemudian terbukti terpidana tidak berdosa, padahal orangnya telah mati.

c. Alasan yang ketiga adalah bahwa dengan dilaksanakannya pidana mati itu sangat bertentangan dengan prikemanusiaan. Golongan sarjana ini berpendapat bahwa negara adalah pelindung yang utama terhadap semua kepentingan hukum dari manusia yang berupa: hidup, kemerdekaan, harta benda, keamanan, dan kehormatan.

d. Bahwa pidana mati juga bertentangan dengan moral dan etika.

e. Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana itu:

1) Bagi orang yang sudah dijatuhkan pidana tidak dapat lagi kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakuannya. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri penjahat tidak dapat tercapai.

2) Pelaksanaan pidana mati biasanya tidak dilakukan dihadapan umum, sehingga demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang banyak. Dengan demikian bahwa pengaruh dari pada generale preventive yaitu agar semua orang merasa takut, tidak akan tercapai.

(5)

f. Pada umumnya terhadap orang yang dijatuhi pidana mati menimbulkan perasaan belas kasihan dari orang lain dan masyarakat.

Gerakan menghapus praktek pidana mati di beberapa negara sudah mulai di lakukan. Terbukti permasalahan hukuman mati sering diangkat sebagai salah satu isu yang paling controversial, yaitu dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) yang mana telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Meski hak hidup diakui sebagai non- derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi) , pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih ditolerir.

Bertentangan dengan pasal tersebut kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati. PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984, yang menjelaskan bahwa bagi negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya terbatas bagi „kejahatan paling serius, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji5.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan praktek pidana mati. Secara yuridis hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 10 yang menyebutkan bahwa hukuman mati merupakan salah satu dari sanksi pidana pokok yang berlaku di Indonesia. Dalam naskah rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (baru)

5 Makaarim, Loc. Cit.

(6)

pasal 63 menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus atau istimewa.

Pidana mati di Indonesia ini juga pada praktiknya tidak terlepas dengan tujuan pemidanaan yang ada. Pidana ini pada hakekatnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaannya tidak bertujuan pembalasan dengan menderitakan dan merendahkan martabat manusia tetapi sebagai senjata pamungkas (jalan terakhir) atau di dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Baru) disebut sebagai pidana yana Bersifat Khusus (Pasal 63)6. Dalam RKUHP Baru, pidana mati dapat ditunda pelaksanaannya dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun. Apabila dalam masa percobaan itu terpidana menunjukan sikap/tindakan yang terpuji, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun (pasal 80 Konsep KUHP Baru edisi 1993). Manakala pidana mati sudah dijatuhkan dan permohonan grasi ditolak, tetapi eksekusi pidana mati itu belum juga dilaksanakan dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup (pasal 81)7. Jaminan perlindungan terhadap terpidana mati menurut konsep RKUHP Baru dituangkan dalam kebijakan sebagai berikut8:

a. Pidana mati tidak dimasukan sebagai pidana pokok, tetapi sebagai pidana yang bersifat khusus (eksepsional) dan hanya demi pengayoman masyarakat;

6 Robin Reagan Sihombing: “Tinjauan Tentang Pidana Mati Dalam KUHP Dan Hubungannya Dengan Tujuan Pemidanaan”, Medan: USU e-Repository, 2005.

7 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2001 hal 54

8 Ibid., hal 55

(7)

b. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak di bawah 18 (delapan belas) tahun;

c. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil ditunda sampai wanita itu melahirkan;

d. Pidana mati baru dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden atau penolakan grasi dari presiden;

e. Ada ketentuan pidana mati bersyarat.

Berangkat dari wacana di atas , salah satu delik yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati yang menjadi pokok bahasan nantinya adalah penyalahgunaan narkotika. Narkotika mengingatkan kita pada banyak kejadian mengerikan yang diakibatkan oleh penyalahgunaannya, sehingga menyebabkan masyarakat sering kali mengidentikan narkotika sebagai sesuatu yang sangat terlarang.

Pada awalnya, Narkotika digunakan untuk keperluan medis. Sejak zaman dahulu, narkotika dipakai sebagai penghilang rasa sakit dalam tindakan-tindakan medis tertentu, terutama bagi pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan.

Seiring berkembangnya teknologi, narkotika mulai disalahgunakan pemakaiannya sebagai pemberi rasa kenikmatan sesaat dengan dosis yang berlebihan dan dapat membuat ketergantungan/kecanduan bagi sang pemakai9.

Sifat narkotika yang dapat membuat ketergantungan bagi pemakainya inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan. Sang korban Bukan hanya menderita kerugian materiil

9 Jimmy “Sejarah Munculnya Narkoba” diakses dari http://entertainmentgeek- jimmy.blogspot.com/2011/10/sejarah-munculnya-narkoba.html pada tanggal 26/1/2014 (17.24)

(8)

karena rela mengorbankan hartanya demi memuaskan ketergantungannya, namun juga tak jarang hingga kehilangan nyawanya akibat pemakian obat yang melebihi dosis yang aman (overdosis).

Letak Indonesia yang strategis membuat Indonesia menjadi salah satu jalur perdagangan gelap narkotika. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, Indonesia tidak hanya menjadi daerah transit ataupun pemasaran Narkotika semata, namun juga menjadi daerah produsen Narkotika itu sendiri. Banyak ditemukan pabrik-pabrik pembuatan Narkotika baik dalam skala kecil maupun besar, oleh aparat, seperti yang ditemukan di daerah Tangerang, Bogor, Serang, Batu Malang, dan Batam. Letak Indonesia yang juga diapit oleh segitiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afghanistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia menjadikan Indonesia sebagai lalulintas gelap narkotika.10

Penyalahgunaan Narkotika di kalangan masyarakat luas ini menjadi isyarat kepada pemerintah untuk memberi perhatian secara khusus dalam menanggulangi bahaya dari penyalahgunaan narkotika, sebab bahaya yang di timbulkan dapat mengancam masyarakat khususnya generasi muda yang diharapkan sebagai para penerus bangsa di masa yang akan datang.

Sebagai wujud sikap proaktif Indonesia mendukung gerakan Internasional dalam memerangi segala bentuk tindak pidana Narkotika, diterbitkanlah Undang- Undang nomor 7 tahun 1997 tentang pengesahan (ratifikasi) United Nations

1010 Ibid

(9)

Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988). Selain itu terdapat juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang mengubahnya, sebagai simbol proaksi Indonesia mendukung gerakan Internasional dalam memerangi segala bentuk tindak pidana Narkotika tersebut11 dan di berlakukan pula Undang-Undang No. 22 tahun 1997 yang mengatur tentang segala macam bentuk penyalahgunaan Narkotika serta sanksi yang di berlakukan terhadap subjek hukum yang terkait, menggantikan Undang-undang nomor 9 tahun 1976 yang di anggap sudah tidak sesuai lagi. Namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 ini dianggap tidak lagi efektif dalam menanggulangi tindak- tindak penyalahgunaan narkotika yang telah bersifat transnasional, yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga disahkanlah Undang- Undang no.35 tahun 2009 menggantikan Undang-Undang no 22 tahun 199712.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika ini, diatur beberapa ketentuan yang membahas tentang etimologi dan terminologi

11 .Aziz Syamsuddin, “Tindak Pidana Khusus” Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hlm 89

12 “Sejarah Hukum Undang-Undang Narkotika di Indonesia yang Dimulai dari Tahun

1976 Sampai Dengan Tahun 2011” diakses dari

http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html pada tanggal 28/1/2014 (07:30)

(10)

sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut. Ketentuan tentang Dasar, asas, dan Tujuan pengaturan narkotika, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini, diselenggarakan berasaskan keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai ilmiah dan kepastian hukum. Sedangkan tujuan undang-undang narkotika ini sendiri adalah13:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika, dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.

Ketentuan-ketentuan dan sanksi-sanksi yang tercantum di dalam Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 menyuratkan bahwa undang-undang mengenai narkotika ini merupakan suatu Hukum yang tergolong ke dalam Hukum Pidana.

Untuk itu, asas dan tujuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ini tentu saja tidak boleh melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Artinya, sanksi-sanksi yang tercantum di dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan yang berlaku di Indonesia.

13 H. Siswanto S., “ Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika”, Jakarta: Rineka Cipta, 2012, Hlm. 21

(11)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai ruang lingkup pembahasan penulis di dalam penelitian ini:

1. Bagaimana kebijakan kriminal mengenai tindak pidana dalam undang- undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika?

2. Bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.

b. Untuk mengetahui relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan.

2. Manfaat Penulisan

Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Teoritis

(12)

1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana dan khususnya masalah Pidana mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.

2) Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai Pidana mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.

3) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut terhadap hukum Pidana Mati, terkhusus dalam tindak pidana Narkotika.

b. Praktis

1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas akademika dan pihak pemerintah Indonesia sendiri dalam upaya mengantisipasi terjadinya kejahatan penyalahgunaan Narkotika khususnya yang dapat dijatuhi pidana mati.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) Dengan Tujuan Pemidanaan”. Sejauh pengamatan penulis pada Repository Universitas Sumatera

(13)

Utara dan pencarian pada world wide web serta sepengetahuan tentang permasalahan yang menjadi penelitian skripsi ini belum pernah mendapati dan melihat kesamaan masalah pada penulisan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada terdahulu sehingga penulis ingin dan berani membuat judul di atas dan permasalahannya sebagai judul dan bahan dalam skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan.

6. Pengertian Hukum Pidana

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut14:

a. Pompey, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

b. Apeldoorn, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan diberikan arti:

1) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya.

2) Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum.

14 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Op.cit., hal. 4

(14)

Hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.

c. D. Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti:

1) Objektif (ius poenale), yang meliputi:

a) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak

b) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Pentiensier.

2) Subjektif (ius puniendi), yaitu:

Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

d. VOS, menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai15:

1) Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi:

a) Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat- syarat bilamana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat dipidana.

b) Hukum Pidana formal yaitu hukum acara pidana.

2) Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman

15 Ibid., hal. 5

(15)

pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

3) Hukum pidana umum (algemene strafrecht), yaitu dalam bentuknya sebagai ius special seperti hukum pidana militer, dan sebagai ius singular seperti hukum pidana fiscal.

e. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.

Beberapa pendapat pakar Hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut16:

a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

16 Ibid. hal. 6

(16)

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Poernomo, 1985: 19-22)

b. Satochid Kartanegara, bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu:

1) Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan- keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.

2) Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

c. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dapat dikatakan mempunyai fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.

(17)

d. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk17:

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.

e. Roeslan Saleh, mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokok dari definisi Hukum Pidana itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Hukum Pidana sebagai hukum positif.

17 Ibid., hal. 8

(18)

2) Substansi Hukum Pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.

f. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma- norma diluar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat.

Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas, Teguh Prasetyo dalam bukunya18 membuat kesimpulan, dan menyatakan Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum public yang berisi ketentuan tentang:

a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan- perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi

18 Ibid. hal. 9

(19)

pidana bagi yang melanggar larangan itu. Aturan umum hukum pidana dapat dilihat dalam KUHP maupun yang lainnya.

b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang:

1) Kesalahan/schuld

2) Pertanggungjawaban pidana pada diri si pembuat/toerekeningsvadbaarheid. Dalam Hukum pidana dikenal asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan), artinya seseorang dapat dipidana apabila perbuatannya nyata melanggar larangan hukum pidana. Hal ini diatur pada Pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya, dan Pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena dalam keadaan daya paksa (overmacht), kedua keadaan ini termasuk dalam “alasan penghapus pidana”, merupakan sebagian dari bab II buku II KUHP.

c. Tindakan dan upaya yang harus dilakukan negara melalui aparat hukum terhadap tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka menentukan menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka/terdakwa dalam usaha mempertahankan hak-haknya. Dikatakan sebagai hukum pidana dalam arti bergerak (formal) memuat aturan tentang bagaimana

(20)

negara harus berbuat dalam rangka menegakkan hukum pidana dalam arti diam (materiil) sebagaimana dilihat pada angka 1 dan 2 di atas.

7. Pengertian Pidana Mati

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang dikenakan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana19. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana20.

Pengertian Pidana menurut doktrin dapat diketahui dari pendapat para ahli yang dapat dikemukakan, antara lain:21

a. van Hamel:

Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan negara. 22

b. Simons:

19 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan: USU press, 2011. hal.2

20 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 2005, hal.1

21 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit., hlm. 4

22 P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal.34

(21)

“Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” yang dapat diartikan sebagai berikut:

Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 23

c. Sudarto:

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 24

d. Roeslan Saleh:

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.25 e. Ted Honderich:

“Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.”, yang dapat diartikan sebagai berikut:

Pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman (Sesuatu yang meliputi pencabutan dan

23 Ibid., hal.35

24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2

25 Ibid

(22)

penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran.26

Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut27:

3) Pada Hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

4) Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

5) Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang (Hukum Pidana).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati merupakan pidana (reaksi atas delik atau nestapa) berupa kematian yang dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana atau pembuat delik. Kata “kematian” yang dimaksud berasal dari kata dasar “mati” yang berarti tidak bernyawa atau hilangnya nyawa (tidak hidup lagi)

8. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Dalam bahasa Indonesia di samping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan “Strafbaar” atau “delict” itu (sebagaimana yang dipakai

26 Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 18

27 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992, hal. 23

(23)

oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan yang lain, seperti28:

a. Tindak pidana (antara lain dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);

b. Peristiwa pidana (Prof. Mulyatmo, dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta);

c. Pelanggaran Pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta, 1955);

d. Perbuatan yang boleh dihukum (Mr.Karni, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959);

e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No.12/Drt Tahun 1951, pasal 3, tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere Strafberpalingen).

Sebuah pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana, tindakan pidana atau delik pidana. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Meljatno29, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istlah beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana

28 C. S. T. Kansil , Engelien R. Palendeng,, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009. Hal. 1

29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Hal. 54

(24)

akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut; Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Suatu tindak pidana baru dapat disebut suatu perbuatan pidana jika telah memenuhi beberapa unsur, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan- keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan30.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasaan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 36.

(25)

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechterlijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398n KUHP.

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yakni Simons merumuskan tindak pidana sebagai berikut31:

1. Diancam dengan pidana oleh Hukum 2. Bertentangan dengan Hukum

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

9. Tujuan Pemidanaan

Andi Hamzah dan A. Simangelipu menyatakan, bahwa pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab adalah apakah sebenarnya tujuan penjatuhan pidana (pemidanaan) itu? Dari sekian banyak jawaban, belum ada yang memuaskan semua pihak. Ada yang

31 Andi Hamzah, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004. Hal.88

(26)

memberikan jawaban untuk memperbaiki si penjahat. Apabila memang hanya bertujuan untuk itu, maka tidaklah sesuai bagi penjatuhan pidana mati dan pidana seumur hidup. Oleh karena itu tindakan memasukan seorang anak yang melakukan kejahatan ke dalam pendidikan anak nakal merupakan contoh yang sesuai untuk disebut sebagai bertujuan untuk memperbaiki penjahat. Tujuan untuk memperbaiki penjahat menjadi warga negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama pelaku delik- deik tanpa korban (victimless crime). Namun untuk kejahatan yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan (deterent) ataupun sifat pembalasan (revenge) pidana yang akan dijatuhkan.32

Menurut P.A.F. Lamintang pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu sebagai berikut

1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;

2. untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan- kejahatan;

3. untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-

32 Andi Hamzah dan A. Simangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Hal. 14-15.

(27)

penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.33

Dari beberapa Literatur dapat kita lihat bahwa ada beberapa tujuan pemidanaan sebagai berikut:

1. Pembalasan (Retribution) maksudnya bahwa tujuan pemidanaan adalah hanya pembalasan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana. Terpidana yang melakukan suatu tindak pidana wajib menerima penderitaan atau nestapa yang setimpal dengan perbuatannya. Apabila seseorang melakukan pembunuhan maka pidana yang setimpal dengan perbuatannya adalah dibunuh, nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Tujuan pemidanaan pembalasan ini merupakan yang tertua yang diperkirakan sudah ada sejak adanya manusia. 34

2. Prevensi (Pencegahan) atau Utility (Manfaat) maksudnya bahwa tujuan pemidanaan diusahakan bermanfaat atau member perlindungan bagi terpidana (prevensi special) maupun masyarakat (prevensi general). Jadi dalam tujuan prevensi ini, untuk mencegah kejahatan dikenal istilah prevensi umum/general dan prevensi khusus/special.

a) Prevensi umum/general yaitu untuk menakut- nakuti/mencegah anggota masyarakat atau mereka yang

33 P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal.11.

34 Robin Reagan Sihombing, Op.Cit., Hal. 21

(28)

secara potensial melakukan tindak pidana supaya tidak melakukan tindak pidana.35

b) Prevensi khusus/special yaitu untuk mencegah terpidana agar jangan mengulangi lagi tindak pidana atau mencegah kejahatan dalam arti perbaikan atau merehabilitasi terpidana.

Menurut Marry & Negley 36 bahwa tujuan penghukuman (pemidanaan) adalah mencegah seseorang melakukan kejahatan (tindak pidana) dan bukan merupakan pembalasan dendam dari masyarakat. Bukan kekerasan, akan tetapi kepastian dan ketepatan dalam penjatuhan hukumanlah yang dapat menjamin hasil yang baik.

Lembaga pemenjaraan, pertama kali diadakan atau didirkan agar pelaku jera. penutupan terpidana dalam kamar sel yang suram, terpidana dipaksa bekerja dengan fasilitas hidup yang relatif kurang memadai diharapkan terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana dan suatu upaya untuk member perlindungan terhadap masyarakat.

Asas Legalitas pertama kali dikemukakan oleh Von Feurbach juga bertujuan untuk menakut-nakuti psikologis seseorang. Jika seseorang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan suatu pidana apabila ia melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur oleh Undang-Undang, maka ia akan berpikir dua kali untuk melakukan suatu tindak pidana.

35 Ibid.

36 Marry Elmer Barnes & Negley K. Teeters., New Horizon in Criminology, atau dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana. Terjemahan Romli Atmasasmita, Bandung: Alumni, 1971. hal. 5.

(29)

Tujuan pemidanaan prevensi khusus ini termasuk memperbaiki atau merehabilitasi terpidana agar menjadi seseorang yang baik dan berguna bagi masyarakat. Pemidanaan harus diusahakan dapat merubah sikap dan pandangan terpidana sehingga tidak lagi melakukan tindak pidana pada masa yang akan datang, sehingga masyarakat pun akan mendapatkan manfaatnya apabila sang terpidana menjadi pribadi yang baik.37 Dewasa ini lembaga pemenjaraan telah berubah fungsi menjadi tempat merehabilitasi, memperbaiki, meresosialisasi, mengintegrasi dan membina terpidana. Terpidana diharapkan tidak lagi melakukan tindak pidana setelah dipidana bahkan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan Negara.

10. Narkotika

Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-Obatan berbahaya) sedangkan oleh Departemen Kesehatan RI menyebutnya sebagai NAPZA (Narkotika Psikotropika dan obat-obatan lainnya. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru.

a. Definisi Narkotika

37 Robin Reagan Sihombing, Op.Cit. Hal. 23

(30)

Secara Etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan narcocis yang berarti membius.

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan.

Di Malaysia benda berbahaya ini disebut dengan dadah. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat.

Menurut Sudarto Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani

“Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai

“a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat disease/Morebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya38.

Dalam buku narkotika Masalah dan Bahayanya, M. Ridha Ma‟roef (1976: 14-15) mengutip beberapa pendapat Smith Kline dan French Clinical Staff dan Biro dan Bea Cukai Amerika Serikat menyangkut pengertian narkotika.

38 Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Hlm. 480

(31)

Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff (1968) 39 membuat definisi sebagai berikut:

“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivaties (morphine, codein, heroin) and synthetic opiates (meperidine, methadone)”.

Artinya lebih kurang sebagai berikut:

“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu (morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (meperidine dan methadone).”

Sedangkan definisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual” (1973) antara lain mengatakan:

“Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda- benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine.

Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.

Dari kedua definisi tersebut, M. Ridha Ma‟Roef menyimpulkan40:

1. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codeine, dan cocaine. Narkotika alam alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Sedang narkotika sintetis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat, yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant;

2. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan.

39 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Jember: Mandar Maju, 2003. Hlm 33

40 Ibid. Hal. 34

(32)

3. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat- obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.

b. Jenis-Jenis Narkotika

Dalam UU No.35 Tahun 2009 sendiri telah disebutkan macam- macam narkotika yang telah diberikan penggolongan. Zat/obat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut41:

1) Narkotika Golongan I (Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU No.35 tahun 2009 terdiri dari:

a) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya;

b) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar moprhinnya;

c) Opium masak terdiri dari:

41 AR. Sujon. dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hal

(33)

i. candu, hasil yang diperoleh dari opim mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan;

ii. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;

iii. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

d) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;

e) Daun Koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythoxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia;

f) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina;

g) kokaina, metal ester-1-bensoil ekgonina;

h) Tanaman ganja, semua tanaman genus-genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis;

(34)

i) Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.

2) Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengkibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari :

a) Alfasetilmetadol b) Alfameprodina c) Alfametadol d) Alfaprodina e) Alfentanil f) Allilprodina g) Anileridina h) Asetilmetdol i) Benzetidin j) Benzilmorfina k) Betameprodina l) Betametadol

m) Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas 3) Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

(35)

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran Undang- Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari :

a) Asetildihidrokodeina;

b) Dekstropropoksifena;

c) Dihidrokodeina;

d) Etilmorfina;

e) Kodeina;

f) Nikodikodina;

g) Nikokodina;

h) Norkodeina;

i) Polkodina;

j) Propiram;

k) Buprenorfina;

l) Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas;

m) Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika;

n) Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(36)

Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahann pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

2. Data dan Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan keperpustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan Hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2) Undang-Undang Dasar 1945

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Peraturan- Peraturan mengenai Narkotika.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

(37)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode Pengumpulan data

Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.

Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri

(38)

dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Kebijakan Kriminal Mengenai Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Bab ini menguraikan mengenai ruang lingkup tindak pidana Narkotika, mencakup pula unsur-unsur perbuatan pidana dalam tindak pidana Narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009, serta tindak pidana Narkotika yang dapat diancam pidana mati.

BAB III Relevansi Sanksi Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Bab ini menguraikan Relevansi Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 ditinjau dari tujuan pemidanaan dan dari beberapa aspek lainnya.

BAB IV Kesimpulan dan Saran

(39)

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini.

Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran dari penulis permasalahan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi senyawa bioaktif inhibitor tirosinase dari kulit batang Artocarpus heterophyllus Lamk menggunakan pelarut air dan campuran air :

Berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang diperiksa atau akan diperiksa oleh OJK karena diduga melakukan pelanggaran peraturan perundang- undangan di

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data-data berbasis satelit bisa digunakan untuk mengkalibrasi model hidrologi dan memprediksi potensi kejadian banjir dan

Penelitian dilakukan dengan meneliti aktivitas anak serta setting fisik lingkungan kampung kreatif Dago P ojok RW 03 dengan 4 titik pengamatan berdasarkan ruang y ang paling

1) Di pandang dari alasan politik Negara Republik Indonesia yang merdeka wajar mempunyai KUHP sendiri dengan mempunyai KUHP ciptaan sendiri menjadi suatu simbol kebanggaan dari

Pemilihan rumah sakit terutama didasarkan pada ; ketersediaan kasus sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai; ketersediaan pembimbing klinik yang sesuai dengan standar

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

Pemberian nilai setiap subklas variabel didasarkan pada pendekatan teoritis dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukan kesesuaian variabel pada lahan