• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Self-Regulated Learning. berarti pengelolaan, dan learning berarti belajar. Self-regulated learning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Self-Regulated Learning. berarti pengelolaan, dan learning berarti belajar. Self-regulated learning"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

16 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self-Regulated Learning 1. Definisi self-regulated learning

Berdasarkan arti dari setiap kata, Self berarti diri sendiri, regulated berarti pengelolaan, dan learning berarti belajar. Self-regulated learning merupakan sikap pengelolaan diri dalam belajar. Zimmerman (2000) menyatakan bahwa self regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan tersebut dalam aspek pendidikan, maka fokus perhatian adalah belajar dan mendapat nilai memuaskan.

Menurut Ormrod (2009) self-regulated learning merupakan sebuah pengaturan terhadap proses-proses kognitif agar kegiatan belajar dapat mencapai keberhasilan. Bandura (1997) mendefinisikan self-regulated learning sebagai suatu keadaan dimana individu yang belajar sebagai pengendali aktivitas belajarnya sendiri, memonitor motivasi dan tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda, serta menjadi perilaku dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksana dalam proses belajar.

(2)

Menurut Gagne dan Marzano (dalam Nogroho, 2003) self-regulated learning dilandasi oleh paham konstruktivisme, dimana pembelajaran dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi suatu pengetahuan baru yang bermakna. Pada proses pembelajaran, siswa tidak hanya menerima begitu saja apa yang disajikan guru melainkan juga membangun hubungan-hubungan baru dari konsep dan prinsip yang telah dipelajari berdasarkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Menurut Wolters, dkk. (1998) self-regulated learning adalah suatu model pembelajaran yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk mengelola secara efektif pembelajarannya sendiri dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.

Pintrich, dkk. (2008) menjelaskan self-regulated learning sebagai proses aktif dalam pembelajaran, mengarahkan tujuan pembelajaran, mengontrol proses pembelajaran, menumbuhkan motivasi sendiri (self- motivation) dan kepercayaan diri (self-efficacy), serta memilih atau mengatur aspek lingkungan untuk mendukung pembelajaran. Menurut Lee, dkk. (2007) terdapat empat prinsip dalam self-regulated learning, meliputi: mempersiapkan lingkungan belajar; mengorganisasi materi;

memonitor kemajuan diri; dan melakukan evaluasi terhadap kinerja.

Sejalan dengan pandangan Lee, dkk., menurut Sunawan (2005) dalam pembelajaran self-regulated learning, untuk mengoptimalkan hasil belajar yang diperlukan, yaitu self-motivation, self-efficacy, dan self-evaluation

(3)

selain potensi kecerdasan yang meliputi kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosi, serta bakat. Philip (dalam Sunawan, dkk., 2005) mengemukakan bahwa refleksi diri ataupun penilaian diri merupakan bagian yang terpenting dan merupakan salah satu keunggulan self- regulated learning. Refleksi diri harus dipegang oleh siswa dalam proses belajar sehingga mampu mencapai hasil yang lebih optimal.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, self-regulated learning dapat diartikan sebagai suatu proses di dalam kegiatan belajar yang membantu siswa untuk mengelola kemampuan yang ada di dalam diri, dalam mengatur waktu belajar, mencapai tujuan belajar dengan mengembangkan pikiran serta perilaku untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning

Menurut Schunk, dkk. (2008) self-regulated learning dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu keyakinan diri, motivasi dan tujuan. Keyakinan diri, motivasi dan tujuan merupakan pondasi utama dalam meningkatkan kualitas self-regulated learning. Individu yang dapat meyakinkan diri sendiri dengan cara mengontrol emosi ketika menghadapi suatu permasalahan, kemudian dapat menumbuhkan motivasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi akan lebih berlipat ganda dengan adanya dukungan dari orang sekitar seperti orangtua, teman dan lingkungan sekitar dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

Berdasarkan perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (1997) bahwa self-regulated learning ditentukan oleh tiga faktor, yakni:

(4)

1) Faktor personal

Self-regulated learning terjadi dimana siswa dapat menggunakan proses personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan efikasi diri dan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi juga dapat mempengaruhi proses belajar individu yakni dapat memunculkan sikap self-regulated learning dalam proses belajar. Pada dasarnya, kemampuan siswa dalam self-regulated learning akan berkembang seiring meningkatnya kemampuannya dalam memotivasi dirinya sehingga dapat mencapai tujuan.

2) Faktor perilaku

Faktor perilaku mengacu kepada kemampuan siswa di dalam menggunakan strategi self-evaluation sehingga siswa mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek kelanjutan dari hasil umpan balik (feedback). Perilaku siswa dalam berperilaku yang berhubungan dengan self-regulated learning yaitu, observasi diri (self-observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self- reaction). Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self-regulated learning.

(5)

3) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif siswa untuk menggunakan strategi pengubahan lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar, mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang relevan. Matsumoto (2008) menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi penerapan self-regulated learning. Nilai- nilai budaya yang dianut siswa akan berperan dalam menerapkan self- regulated learning agar tercapainya tujuan belajar. Nilai budaya yang pertama kali dianut oleh anak berasal lingkungan keluarga, oleh karenanya keluarga terutama orangtua sangat berperan penting dalam menumbuhkan sikap self-regulated learning siswa.

Berdasarkan hasil pemaparan di atas, menunjukkan bahwa selama proses self-regulated learning berlangsung, ada tiga faktor yang dapat berpengaruh. Faktor-faktor tersebut adalah faktor personal, perilaku, dan lingkungan.

3. Aspek-aspek self-regulated learning

Zimmerman (2000) menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen yang dapat diaplikasikan ke dalam kegiatan belajar yaitu metakognisi, motivasi dan perilaku. Paparan selengkapnya sebagai berikut:

(6)

1) Metakognisi

Menurut Zimmerman (2000) metakognisi merupakan sebuah proses pengambilan keputusan yang meregulasi pilihan dan menggunakan berbagai macam pengetahuan. Selanjutnya, Flavell dan William (1996) mengatakan bahwa metakognisi mengacu kepada pengetahuan seseorang terhadap kognisi yang dimilikinya dan pengetahuan dalam kognisi tersebut. Schunk dkk. (2008) menambahkan bahwa pengetahuan tentang kognisi meliputi perencanaan, pengorganisasian, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap aktivitas belajar.

Poin metakognitif bagi individu yang melakukan self-regulated learning adalah individu yang merencankan, mengorganisasi, mengukur diri dan menginstruksikan diri sebagai kebutuhan selama proses belajar (Zimmerman & Pons, 1998). Selanjutnya, Flavell (1976) menambahkan bahwa metakognisi merupakan pelaksana dari proses belajar atau dengan kata lain, metakognisi adalah pengetahuan seseorang mengenai kemampuan dan keterbatasannya dalam belajar.

2) Motivasi

Schunk, dkk. (2008) menyatakan bahwa motivasi dalam self-regulated learning merupakan pendorong yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi dan otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Deci dan Ryan (dalam Martinez & Young, 1997) mengemukakan bahwa motivasi adalah fungsi dari kebutuhan dasar

(7)

untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompeten yang ada pada setiap individu.

McCombs (dalam Martinez & Young, 1997) memandang motivasi dalam belajar mempunyai dua fungsi yaitu sebagai penilaian seseorang terhadap arti suatu pengamalan atau aktivitas belajar dan proses individu dalam berinisiatif, memilih, atau menemukan sesuatu, serta mengontrol tujuan, proses dan hasil belajar.

3) Perilaku

Perilaku menurut Schunk dkk. (2008) merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan sosial dan fisik yang seimbang untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dan aktivitas yang dilakukan. Ketiga komponen ini yakni, metakognitif, motivasi dan perilaku bila digunakan secara tepat sesuai kebutuhan dan kondisi akan menunjang kemampuan self-regulated learning.

Sejalan dengan pendapat Zimmerman, Selanjutnya Wolters (2003) menjelaskan secara rinci aspek dalam setiap dimensi self-regulated learning sebagai berikut:

Pertama, strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam-macam aktivitas kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan merubah kognisinya. Strategi ini terdiri dari strategi reherseal (pengulangan) dan elaboration (menggunakan kalimatnya sendiri untuk merangkum materi).

(8)

Kedua, strategi untuk meregulasi motivasi yang melibatkan aktivitas yang penuh dengan tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa berusaha untuk mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya.

Regulasi dalam hal motivasi meliputi:

a) Mastery self-talk (memuaskan keingintahuan menjadi lebih berkompeten)

b) Extrinsic self-talk (berpikir untuk memperoleh prestasi lebih tinggi)

c) Relative ability self-talk (melakukan usaha yang lebih baik dari orang lain)

d) Relevance enhancement (meningkatkan keterhubungan tugas dengan kehidupan atau minat personal yang dimiliki)

e) Situational interest enhancement (mengggambarkan aktivitas ketika berusaha, meningkatkan motivasi.

Ketiga, strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan yang dikemukakan Bandura (1997) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi, walaupun bukan diri internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi. Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor dan berusaha mengontrol dan meregulasinya.

(9)

Seperti pada umumnya, aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai self- regulatory bagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time or study environtment), dan pencarian bantuan (help seeking).

Peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek self-regulated learning yang akan dipakai dalam skala penelitian adalah aspek yang berupa tipe strategi self-regulated learning yang telah dipaparkan oleh Wolters (2003) yang meliputi dimensi kognitif, motivasi dan perilaku. Ketiga dimensi tersebut akan digunakan peneliti untuk mengungkap perilaku pada self-regulated learning.

B. Kecerdasan Emosi 1. Definisi kecerdasan emosi

Gardner (1993) mengungkapkan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Kecerdasan identik dengan kemampuan seseorang yang diukur dengan IQ (Intelligence Quotient). Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk menciptakan atau memecahkan sesuatu.

Wescler (2006) memberikan pengertian kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif . Kecerdasan dapat diartikan pula sebagai kemampuan dasar seseorang yang diperoleh sejak lahir.

(10)

Individu yang cerdas merupakan individu yang mampu mengelola, mengatur, dan menghadapi permasalahan bahkan menemukan solusinya.

Menurut Dalyono (2009) faktor yang mempengaruhi kecerdasan diantaranya faktor pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, serta kebebasan.

Emosi menurut Goleman (2011) pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, emosi dapat diartikan sebagai luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Semua orang mempunyai emosi yang berbeda, emosi memainkan peran dalam kehidupan anak melalui pengaruh yang mereka miliki pada kepribadian anak dan penyesuaian sosial. Salovey, Mayer dan Caruso (2000) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Perasaan-perasaan yang muncul nantinya akan menimbulkan motivasi untuk melakukan suatu tindakan.

Tindakan yang sesuai dengan norma dan aturan merupakan wujud dari pengendalian emosi yang baik.

Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai bagian lintas kompetensi antara emosi dengan kemampuan sosial, keterampilan dan fasilitator yang menentukan seberapa selektif sesorang memahami dan mengekspresikan diri, memahami orang lain dan

(11)

berhubungan dengan mereka, serta menghadapi tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan dan mengarahkan emosinya untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya.

Davies (dalam Satiadarma & Waruwu, 2003) berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, yang membedakan satu emosi dengan lainnya dalam menggunakan informasi untuk menuntun proses berpikir serta perilaku seseorang. Mayer dan Salovey (2003) menjelaskan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali, meraih, dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran dan memahami perasaan, makna, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat dari Baron dan Byrne (2005) yang menambahkan pengertian kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Berdasarkan penjelasan beberapa definisi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengenali serta mengendalikan reaksinya yang berupa perasaan dan pikiran yang dapat mempengaruhi perilakunya dalam

(12)

mencapai suatu tujuan tertentu dan berhubungan dengan orang lain pada saat ia berhadapan pada situasi tertentu.

2. Aspek-aspek kecerdasan emosi

Menurut Goleman (2011) aspek-aspek kecerdasan emosional terdiri atas:

1) Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu untuk mengenali perasaan sesuai dengan apa yang terjadi, mampu memantau perasaan dari waktu ke waktu dan merasa selaras terhadap apa yang dirasakan.

2) Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat ditangkap dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan dan amarah yang menjadi-jadi.

3) Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada dalam tahap flow 4) Empati atau mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan untuk

merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dan mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe orang.

5) Membina hubungan, yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan ini untuk

(13)

mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan kelompok.

Sedikit berbeda dengan pendapat Goleman, menurut Tridhonanto (2009) aspek kecerdasan emosi adalah:

a) Kecakapan pribadi, yakni kemampuan mengelola diri sendiri.

b) Kecakapan sosial, yakni kemampuan menangani suatu hubungan.

c) Keterampilan sosial, yakni kemampuan menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain.

Aspek aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan Goleman setelah dikaji lebih jauh merupakan jabaran dari pendapat Tridhonanto. Dalam kecakapan pribadi menurut Tridhonanto terdapat aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu, mengenali emosi diri, mengelola emosi diri dan memotivasi diri sendiri. Kemudian dalam kecakapan sosial menurut Tridhonanto juga terdapat aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu mengenali emosi orang lain. Sedangkan ketrampilan sosial menurut Tridhonanto terdapat aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu membina hubungan.

Peneliti menggunakan aspek-aspek dari Goleman (2011) sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosi dalam melaksanakan proses self-regulation learning adalah mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.

(14)

C. Dukungan Sosial Orangtua 1. Definisi dukungan sosial orangtua

Manusia merupakan mahluk sosial dimana mereka hidup secara berkelompok dan saling bekerja sama. Dukungan sosial sangat diperlukan terlebih jika manusia sedang mengalami kesulitan. Adanya dukungan ini dapat sedikit meringankan beban dan secara tidak langsung memberikan semangat di dalam menghadapi situasi yang sulit.

Shumaker dan Browne (dalam Duffy & Wong, 2003) berpendapat bahwa dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara dua individu yang berperan sebagai pemberi dan penerima. Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Sarafino (2014) menurutnya dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok.

Pada dasarnya, dukungan sosial merupakan suatu simbisosis mutualisme antara dua individu yang saling menguntungkan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Matteo (1991) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain.

Bantuan yang paling dibutuhkan seorang remaja yang sedang menempuh pendidikan adalah peran serta lingkungan keluarga, terutama orang tua.

Dukungan sosial dapat berupa perkataan dan tindakan yang mempunyai sifat membantu meringankan beban.

(15)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas terdapat dua unsur utama yang melandasi dorongan sosial, yaitu pemberi dan penerima. Seseorang yang mengalami kesulitan pasti membutuhkan pemberi bantuan, meskipun terkadang penerima bantuan tersebut tidak mengingikannya. Interaksi dan kerjasama yang terbentuk merupakan suatu dorongan sosial antar individu.

Menurut Kahn dan Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu:

1) Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Orangtua termasuk sumber dukungan yang berasal dari orang yang selalu ada.

2) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman seperjuangan, teman di lingkungan kerja.

3) Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan ini meliputi dokter, motivator, atau pemuka agama.

Keluarga merupakan orang terdekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat tanpa mengharapkan imbalan. Keluarga utama terdiri ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga sekunder lebih luas dengan kakek, nenek dan saudara. Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga adalah sikap,

(16)

tindakan dan penerimaan keluarga terhadap salah seorang anggota keluarga yang sedang berada dalam situasi yang sulit. Anggota keluarga memandang bahwa sesama anggota keluarga lain akan bersikap saling mendukung dan selalu siap untuk memberikan pertolongan serta bantuan apabila diperlukan. Lebih lanjut Friedman (1998) menambahkan dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal. Orangtua merupakan dukungan keluarga internal yang memiliki pengaruh sangat signifikan.

Dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994) sebagai suatu bentuk transaksi antar pribadi yang melibatkan perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi dan adanya penilaian.

Sedangkan dukugan sosial orangtua adalah perhatian secara emosional, pemberian informasi, instrumen serta penilaian berupa transaksi antara anak dan orangtua.

Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, baik dilakukan ayah maupun ibu. Dalam kehidupan remaja, keluarga yang paling utama dan memegang peranan terbesar adalah orangtua. Orangtua menjadi sumber untuk menyetujui atau menolak keinginan seorang remaja. Remaja sangat membutuhkan bimbingan dari orangtua, hal ini dikarenakan karakter remaja masih labil dan mudah terpengaruh.

Dukungan informasi seperti nasehat dan pendapat sangat dibutuhkan remaja dalam menentukan keputusan jangka panjang, terutama

(17)

permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. Seperti memilih tempat pendidikan, memilih rencana setelah selesai melaksanakan pendidikan dan sebagainya.

Fischer (1998) mengemukakan bahwa salah satu hal yang berperan penting dalam pembentukan kemandirian belajar pada diri siswa adalah dukungan yang diterima oleh siswa yang berasal dari komunitas tempat dimana siswa tersebut berada, seperti dari sekolah, teman, orangtua, guru dan lain sebagainya. Self-regulated learning merupakan salah satu cakupan di dalam kemandirian belajar.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial orangtua adalah tindakan yang bersifat menolong atau membantu dari orangtua baik berupa bantuan secara verbal maupun non-verbal yang dapat membantu individu mengatasi masalahnya baik dari segi emosi, instrumen, informasi maupun penghargaan yang berasal dari orangtua.

2. Aspek-aspek dukungan sosial orangtua

Sheridan dan Radmacher (1992) menjabarkan aspek-aspek Dukungan emosional (emotional support) sebagai berikut:

1) Dukungan penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan adalah suatu bentuk dukungan yang terjadi melalui ekspresi seseorang dengan menunjukkan suatu penghargaan positif terhadap individu, dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari individu

(18)

dengan orang lain yang keadaannya lebih baik atau lebih buruk. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompeten dan bermakna.

2) Dukungan instrumental (instrumental support)

Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan langsung yang diwujudkan dalam bentuk bantuan material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Contoh dukungan ini seperti pinjaman atau sumbangan uang dari orang lain, penyediaan layanan tambahan belajar atau pengawasan oleh guru pada saat ujian sedang berlangsung di kelas dan lain sebagainya yang merupakan bantuan nyata berupa materi atau jasa.

3) Dukungan Informasi (information support)

Dukungan informasi adalah suatu dukungan yang diungkapkan dalam bentuk pemberian nasehat atau saran, penghargaan, bimbingan atau pemberian umpan balik mengenai apa saja yang dilakukan individu guna memecahkan masalah yang dihadapi.

4) Dukungan jaringan soial (network support)

Dukungan yang berasal dari jaringan ini merupakan bentuk dukungan dengan memberikan rasa kebebasan untuk bergabung dalam kelompok serta berbagi dalam hal minat dan aktivitas sosial.

Menurut Taylor (2012) terdapat empat bentuk dukungan sosial, yaitu:

(1) tangible assistance (bantuan nyata) mencakup menyediakan bantuan materiil, seperti pelayanan, bantuan keuangan, atau barang; (2)

(19)

informational support (dukungan informatif) yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan; (3) emotional support (dukungan emosional) dengan menentramkan hati individu bahwa dia adalah individu berharga dan dipedulikan; (4) invisible support (dukungan terselubung) yaitu ketika individu menerima bantuan dari orang lain yang tidak menyadari telah membantu, tetapi bantuan tersebut tetap bermanfaat bagi penerima.

House (dalam Smet, 1994) membedakan dukungan sosial ke dalam empat bentuk, yaitu:

a) Dukungan emosional

Dukungan yang mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian kepada orang yang bersangkutan.

b) Dukungan penghargaan

Terjadi melalui ungkapan penghargaan positif terhadap orang yang bersangkutan, yang terdiri dari menghargai pendapat serta penilaian positif.

c) Dukungan instrumental

Mencakup bantuan langsung sesuai dengan yang dibutuhkannya, seperti bantuan berupa barang ataupun tindakan.

d) Dukungan informatif

Mencakup memberikan nasihat serta emmbantu dalam memecahkan masalah.

Peneliti menggunakan aspek-aspek dari House (dalam Smet, 1994) sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dukungan sosial orangtua

(20)

adalah dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.

D. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial Orangtua dengan Self-Regulated Learning

1. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial Orangtua dengan Self-Regulated Learning

Di dalam dunia pendidikan, proses belajar yang terjadi pada individu merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Irwanto (1997) menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu,dengan belajar siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki motivasi berprestasi yang tinggi pula. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sundari (2015) apabila seorang siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, maka siswa tersebut akan terarah untuk mencapai target akademis, sebaliknya apabila siswa memiliki motivasi berprestasi rendah maka ia akan melalaikan tugas-tugas yang ia miliki. Self-regulated learning yang dimiliki siswa dapat berpengaruh dalam penyusunan strategi belajar seorang siswa. Tuntutan- tuntutan yang diberikan oleh guru justru seharusnya dapat membuat siswa menjadi giat belajar. Apabila self-regulated learning yang dimiliki oleh

(21)

siswa siswa buruk, siswa tidak dapat fokus dalam proses belajar dan tidak fokus dengan tujuan yang telah dibuatnya, sedangkan apabila self- regulated learning siswa baik siswa menjadi percaya diri dengan tujuannya yang telah dibuatnya (Aulia, 2014).

Dalam menjalankan tugas belajarnya, siswa tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual saja, melainkan membutuhkan kecerdasan emosi.

Selain itu, dalam melakukan refleksi diri dalam belajar perlu kemampuan yang disebut kecerdasan emosi pula, Wescler (2006) membeikan pengertian kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Goleman (2011) yang menyebutkan kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20 persen bagi kesuksesan, sedangkan 80 persen adalah sumbangan faktor kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosi. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses belajar kedua kecerdasan itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi baik tanpa partisipasi pengahayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kecerdasan emosi mempengaruhi kemandirian belajar siswa.

Kemandirian belajar siswa akan terbentuk dengan baik apabila siswa mempunyai kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan juga kemampuan secara sosial.

Armiyanti (Dalam Devina, 2012) menjelaskan kecerdasan emosi adalah kemampuan individu untuk menguasai situasi penuh tantangan dan

(22)

situasi yang biasanya menimbulkan kecemasan. Dalam proses belajar, siswa biasanya akan menemukan berbagai hambatan dan kegagalan yang dapat berpotensi menyebabkan munculnya emosi negatif sehingga siswa dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan dapat lebih mampu mengendalikan reaksinya tehadap situasi tersebut. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Amalia (2011) yaitu, kecerdasan emosi mempengaruhi self-regulated learning siswa dalam proses kegiatan akademik dengan membantu siswa mengatasi hambatan-hambatan yang ia temui didalam proses kegiatan belajar di sekolah serta dalam proses pengerjaan tugas.

Menurut Adicondro dan Purnamasari (2011) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi self-regulated learning siswa dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Faktor yang berpengaruh cukup besar di antaranya adalah dukungan sosial dari keluarga. Oleh karenanya, selain kecerdasan emosi, siswa juga memerlukan dukungan sosial dari keluarga, terutama orangtuanya untuk mengurangi beban pikiran dan kesulitan yang dialami ketika sedang melakukan proses belajar dan juga memberikan motivasi agar siswa lebih semangat dalam kegiatan pembelajaran. Semiawan (dalam Ali & Asrori, 2006) menyatakan bahwa usia siswa SMA masih tergolong remaja, dimana emosi yang mereka miliki belum stabil dan mudah berubah seiring dengan keadaan lingkungan sekitarnya.

(23)

Hurlock (2006) menyatakan bahwa pada masa remaja seorang individu sudah mencapai tingkat kematangan baik secara kognitif maupun emosi sehingga muncul keinginan dalam diri remaja untuk mandiri dan lepas dari orangtua. Jadi seharusnya remaja sudah mandiri dalam mencari penyelesaian masalah dan mengambil keputusan tanpa bantuan dari orang lain. Namun pada kenyataannya di Indonesia menurut Monks, dkk. (2002) remaja masih hidup bersama dengan orangtuanya, masih belum mampu mencari nafkah sendiri dan masih berada di bawah otoritas orangtuanya.

Secara ekonomis dan emosional remaja masih terdapat ikatan yang kuat dengan orangtua karena remaja masih berada di bangku sekolah. Remaja masih membiarkan dirinya dibimbing orangtuanya, membutuhkan petunjuk dari orangtuanya dalam menghadapi masalah dan menyelesaikan tugas-tugas akademiknya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan dukungan sosial orangtua dengan self-regulated learning.

2. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Self-Regulated Learning Proses berlangsungnya kegiatan akademik di sekolah merupakan suatu rangkaian proses yang panjang dan melalui banyak tahap. Beban akademik yang diberikan sekolah kepada siswa, khususnya siswa kelas XII SMA, kemungkinan dalam serangkaian proses berlangsungnya siswa tidak dapat mengatur proses belajarnya dengan baik apabila mereka tidak dapat mengendalikan emosi negatif yang mucul. Para peserta didik di Sekolah

(24)

Menengah Atas yang menduduki kelas XII digolongkan memasuki tahap remaja pertengahan dengan rentang usia 15 sampai 18 tahun (Desmita, 2005). Selanjutnya, Semiawan (dalam Ali & Asrori, 2006) menyatakan bahwa pada saat berada di dalam fase remaja, mereka biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir. Pada fase remaja perkembangan emosi yang dimiliki masih tergolong labil.

Ibrahim (dalam Rumapuk dkk., 2015) menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan kemampuan untuk mengenal emosi yang ada pada diri sendiri dan mengelola emosi yang dimiliki. Kemampuan menangani dengan baik emosi diri akan menimbulkan dampak positif pada proses pembelajaran, diantaranya adalah terciptanya self-regulated learning yang baik dimana self-regulated learning merupakan salah satu dari cakupan kemandirian belajar. Hal ini disebabkan karena siswa dengan kecerdasan emosional yang baik akan mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh dirinya sendiri tanpa harus mengharapkan bantuan dari orang lain, serta dapat memanfaatkan berbagai kesempatan untuk meningkatkan pemahamannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’adah (2014) menunjukkan bahwa seorang siswa dapat bersikap mandiri dengan menerapkan self-regulated learning dalam kegiatan belajarnya secara individual untuk bebas dan aktif dalam belajar baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Dengan demikian siswa

(25)

mempunyai kontrol yang menyeluruh terhadap seluruh keputusan dalam hal dimana dia belajar, kapan dia belajar, berapa lama dia belajar, perlu tidaknya bantuan orang lain dan dalam membuat suatu keputusan yang akan ia ambil.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan self-regulated learning.

3. Hubungan antara Dukungan Sosial Orangtua dengan Self- Regulated Learning

Seorang anak mulai mengenal bagaimana cara melaksanakan kegiatan self-regulated learning di rumah. Orangtua mengajarkan dan mendukung berjalannya proses self-regulated learning melalui pemberian contoh, dorongan, pemberian kemudahan, dan pemberian hadiah ketika anak membeuat tujuan, menggunakan strategi yang jitu (Woolfolk, 2004).

Selanjutnya, Hariseno (2012) menyatakan bahwa Keluarga memiliki peranan dalam pembentukan self-regulated learning pada anak. Seorang anak yang mendapatkan contoh langsung mengenai bagaimana perilaku self-regulated learning yang dilakukan oleh orang tuanya, dapat meniru perilaku tersebut juga secara langsung. Jika perilaku self-regulated learning yang muncul selalu diberi dorongan dan anak diberikan reward, maka perilaku tersebut bisa bertahan lama hingga anak menginjak usia dewasa nantinya. Jadi, keluarga terutama orangtua merupakan salah satu factor yang sangat berperan dalam pembentukan self-regulated learning siswa.

(26)

Menurut penelitian Widanarti (2012) tuntutan yang tidak realistik dari orangtua yang menginginkan anak mereka memiliki prestasi akademik yang tinggi namun ternyata kemampuan anak tidak sesuai dengan tuntutan tersebut, dengan kata lain kemempuan yang dimiliki anak berada di bawah rata-rata justru akan menghilangkan minat remaja pada pendidikan sehingga remaja kemudian bekerja di bawah kemampuannya. Sejalan dengan pernyataan Hurlock (2006), bahwa remaja yang demikian mempunyai prestasi yang lebih rendah dibawah kemampuan yang sebenarnya. Remaja membutuhkan dukungan dari orang lain saat dia memasuki masa krisis yaitu pada usia 15 sampai 17 tahun.

Menurut Remplein (dalam Monks, dkk., 2002) masa krisis adalah suatu masa dengan gejala-gejala krisis yang menunjukkan adanya pembelokan dalam perkembangan. Krisis yang dialami oleh remaja terutama berkaitan dengan prestasi akademik atau prestasi di sekolah. Untuk dapat mengatasi masa krisis ini remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang- orang disekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dukungan yang paling diharapkan oleh remaja dalam menghadapi krisis di bidang akademik ini adalah dukungan dari keluarganya, terutama dari orangtua dan saudara (Hurlock, 2006). Sejalan dengan pernyataan Purnamaningsih, dkk. (1993) bahwa adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orangtua dengan anak akan membantu anak dalam memecahkan masalahnya.

(27)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan self-regulated learning.

E. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Keterangan:

H1 : Hipotesis 1 H2 : Hipotesis 2 H3 : Hipotesis

F. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan dukungan sosial orangtua dengan self-regulated learning.

(28)

2. Terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan self-regulated learning.

3. Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan self-regulated learning.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang dekat dengan bawahan membuat kepemimpinan transformasional tergolong efektif, karena dapat meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen bawahannya.

*Alat Peraga Pendidikan *Elektrikal Mekanikal *Komputer *Laboratorium *Percetakanb. DAFTAR HARGA ALAT PERAGA

Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau

Analisis Aktivitas Antioksidan dengan metode DPPH .... Penilaian

Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang berjudul :“Persepsi Remaja Putra Tentang Dampak Negatif Merokok Terhadap Kesehatan Di SMPN 1 Sukorejo Kecamatan

Dari nilai pada Tabel 3 dan Gambar 8 dike- tahui bahwa penggunaan katalis dalam proses deko- lorisasi fotokatalitik, baik mikropartikel TiO 2 mau- pun ZnO secara individual pada

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut: (1) Tindakan yang dilakukan

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa guru kurang maksimal dalam menjelaskan kembali semua materi yang diberikan, siswa kurang memperhatikan dan menanggapi