11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Agenda Politik
Menurut Baumgartner (2015), agenda politik adalah serangkaian isu yang menjadi subjek pengambilan keputusan dan perdebatan dalam sistem politik tertentu pada satu waktu. Disisi lain, Haskins (2009) menjelaskan bahwa agenda politik merupakan serangkaian isu yang diungkapkan, diberitakan, digambarkan dengan tujuan sebagai pembentuk agenda politik maupun menentukan agenda politik melalui kampanye dengan jangkauan tertentu untuk keuntungan, kepentingan golongan, dan/atau kelompok.
Walgrave dan Aelst (2006) berpendapat bahwa semua aktor politik memiliki masing-masing maupun beberapa agenda yang kurang lebih independent diantara satu sama lain. Sehingga, sebagian besar studi hanya terbatas pada satu atau dua agenda politik. Berdasarkan hasil penelitian Salman et al. (2016), agenda politik adalah serangkaian isu dan kebijakan yang ditetapkan oleh kelompok ideologis atau politik; serta topik yang sedang dibahas oleh eksekutif pemerintah, maupun kabinet di pemerintahan yang mencoba memengaruhi berita dan debat politik saat ini dan yang akan datang.
Menurut United Nations Women (UN Women, 2020), terdapat sembilan agenda politik untuk kesetaraan gender. Namun, dari kesembilan agenda tersebut yang sejalan dengan kajian penelitian ini adalah menjamin partisipasi penuh dan efektif serta kesempatan yang sama bagi perempuan untuk kepemimpinan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan masyarakat.
Penjaminan partisipasi penuh pada perempuan untuk kesetaraan gender di bidang politik berdasarkan UN Women sejalan dengan deklarasi
12
gerakan perempuan yang terdiri dari 60 kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia yang mengusulkan agenda politik perempuan yaitu (Martiany, 2019:10): (1) pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas (HIV/AIDS, AKI, sunat perempuan, perkawinan anak); (2) pemenuhan hak atas pendidikan; (3) penghentian kekerasan terhadap perempuan (kekerasan seksual, kekerasan berbasis struktural, berbasis agama); (4) penghentian pemiskinan perempuan dan kelompok marginal (perempuan perbatasan, terpencil dan disabilitas) melalui perlindungan sosial; (5) perlindungan perempuan dalam lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA); (6) pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi perempuan (perlindungan buruh migran, PRT, PRT migran, sektor informal, buruh perempuan); (7) perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama; (8) hak politik perempuan (hak beroganisasi, partisipasi pengambilan keputusan, kewarganegaraan); (9) penghapusan produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas; dan (10) penghentian korupsi.
Agenda politik merupakan isu yang ditetapkan oleh aktor politik dan disesuikan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh kelompok partai politik maupun yang sedang dibahas dalam kabinet di pemerintahan.
Prinsipnya agenda politik yang dijadikan sebagai landasan kajian dalam penelitian ini adalah usulan agenda politik perempuan dari lembaga Swadaya Masyarakat yang dituangkan dalam (Martiany, 2019:10).
Sehingga, konsep agenda politik ini berkaitan langsung dengan penelitian di mana pelaksanaan agenda politik perempuan yang digunakan untuk kesetaraan gender.
2. Legislator Perempuan
Lembaga legislatif merupakan keterwakilan anggota yang merupakan simbol dari rakyat berdaulat (Guntur et al., 2019). Salah satu aktor politik yang ada dalam lembaga legislatif adalah legislator perempuan. Menurut Heath, Schwindt-Bayer, dan Taylor-Robinson
13
dalam (2006:16), legislator perempuan cenderung mempelajari, mengubah, dan melaporkan masalah perempuan, anak-anak, dan undang- undang keluarga yang memberi mereka kekuatan dalam proses kebijakan.
Swers (2002) menunjukkan bahwa legislator perempuan jauh lebih mungkin untuk memberikan suara secara bebas pada isu-isu perempuan pada umumnya, dan isu-isu reproduksi daripada legislator laki-laki.
Meskipun Schwindt-Bayer dalam (Kerevel & Atkeson, 2013) menunjukkan bahwa legislator perempuan dapat terpinggirkan melalui penempatan komisi yang kurang bergengsi maupun dengan pencegahan dalam menjalankan peran kepemimpinannya. Sehingga, legislator perempuan mengalami ketidakmampuan untuk meloloskan undang- undang terkait masalah yang berkaitan dengan isu-isu perempuan.
Disisi lain, perempuan sebagai legislator merupakan salah satu aktor politik yang berada dalam pemerintahan untuk memperjuangkan kemajuan kaum perempuan. Salah satunya dalam bentuk perdamaian (Jeumpa, 2016). Menurut Volden et al. (2010), legislator perempuan sebagai aktor politik lebih mungkin daripada rekan laki-laki mereka untuk mensponsori rancangan undang-undang terkait “masalah perempuan”
seperti undang-undang terkait pendidikan, perawatan anak, dan kesehatan keluarga. Hal tersebut didukung melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2020-2024. RPJM tersebut juga dilandasi oleh Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030. Pada Goals ke-5 dari SDGs, agenda yang ingin dituju yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dan anak (Zacona et al., 2020).
Dalam menjalankan aktivitas menjadi legislator perempuan, terdapat tantangan bersama yaitu (Institute, 2008) :
a. Akses terbatas pada sumber daya
Legislator memiliki sumberdaya waktu, keuangan, dan staf yang terbatas untuk melakukan hubungan dengan konstituen.
b. Kurangnya insentif untuk melakukan hubungan dengan konstituen
14
Legislator merasakan sedikitnya urgensi untuk berinteraksi dengan warga. Namun partai mendapatkan manfaat bila legislator berinteraksi dengan warga dan bersikap tanggap terhadap masalah-masalah mereka.
c. Harapan warga yang berlebihan
Konstituen sering meminta bantuan untuk hal-hal di luar tanggung jawab seorang legislator. Sehingga konstituen memiliki harapan yang tidak realistis maupun persepsi yang keliru tentang apa yang dikerjakan oleh legislator.
Legislator perempuan sebagai aktor politik biasanya didefinisikan sebagai pembuat kebijakan yang mampu mewakili kepentingan kaum perempuan. Pada prinsipnya, legislator perempuan yang dijadikan sebagai landasan kajian dalam penelitian ini adalah Heath, Schwindt-Bayer, dan Taylor-Robinson dalam (Schwindt-Bayer, 2006:16) serta Volden et al.
(2010). Sehingga, konsep legislator perempuan dalam penelitian ini dijadikan sebagai simbol yang berdaulat dengan memiliki peranan penting dalam mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan serta anak sesuai dengan RPJM dan SDGs yang berlaku (Zacona et al., 2020). Disamping itu, dalam melakukan analisis kendala legislator perempuan menggunakan tantangan bersama legislator dari National Democratic Institute.
3. Kajian Teori
a. Teori keterwakilan legislator perempuan
Berdasarkan hasil penelitian Spark, Cox dan Corbett (2019), penekanan kebijakan pada representasi politik dilegitimasi oleh elemen deskriptif dan substantif. Representasi deskriptif berhubungan dengan jumlah perempuan yang dipilih mencerminkan pemberdayaan perempuan dalam masyarakat. Representasi yang substansial menunjukkan bahwa perempuan akan membuat keputusan yang lebih baik untuk perempuan dan masyarakat pada umumnya. Hal ini mencerminkan aspirasi untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih adil.
15
Disisi lain, Carbone dan Farina (2020) menunjukkan partisipasi politik perempuan cenderung menekankan divergensi konstan antara semakin banyaknya kehadiran perempuan dalam legislatif tidak mendapati adanya perubahan substansial yang berhubungan dengan kesetaraan gender. Oleh sebab itu, dampak substantif dari keterwakilan perempuan adalah perempuan memiliki hak untuk partisipasi aktif dalam mengambil keputusan (Kenny, 2013). Sehingga, mereka berusaha melakukan peningkatan kehadiran dan suara politik untuk memberikan suara terkait isu-isu perempuan maupun kesetaraan gender. Oleh karena itu, dalam pengaturan agenda dan kapasitas kepemimpinan kebijakan inilah para legislator perempuan diyakini sebagai sosok yang paling mungkin untuk mencapai representasi substantif (membela dan bertindak atas nama perempuan lain) (Struckmann, 2018).
Keterwakilan perempuan dalam legislatif memiliki latar belakang yang beragam. Bashori (2018) menjelaskan latar belakang perempuan ikut berpartisipasi pada politik dan memiliki kepentingan politiknya sendiri tidak dapat serta merta diwujudkan jika perempuan tersebut tidak mempunyai tradisi berpolitik di dalam keluarganya. Menurut Satriawan dan Firmansyah (2019) perempuan yang aktif dalam dunia politik mempunyai akar atau tradisi berpolitik di keluarganya karena orang tuanya seorang politisi (mantan presiden, menteri, kepala daerah, ataupun anggota legislatif). Namun, penelitian Oh (2016) juga membenarkan bahwa partisipasi politik perempuan dalam legislator adalah kegiatan sukarela perempuan yang tergabung pada sebuah komunitas. Sehingga, keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif dilatar belakangi oleh tradisi politik dan kegiatan sukarela.
Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis struktur organisasi legislator perempuan dalam konteks agenda politik untuk kesetaraan gender dilakukan menggunakan ciri-ciri perwakilan dari Castiglione dan Warren dalam (Ekawati, 2014) yaitu: (1) perwakilan berbentuk hubungan principal-agent yang berbasis teritorial dan bersifat formal. Hal ini
16
menjadi sebuah dasar pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyat; (2) perwakilan berada di wilayah kekuasaan politik yang bertanggung jawab dan akuntabel dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk dapat memengaruhi serta melakukan kontrol; dan (3) hak untuk memilih para wakil sebagai bentuk persamaan politik.
Disamping itu, keterwakilan legislator perempuan membutuhkan komunikasi politik dengan mekanisme sense-giving dan sense-making.
Hal ini berhubungan erat dengan implementasi agenda politik perempuan.
Sehingga, dalam melakukan identifikasi proses keterwakilan perempuan di kursi legislatif komunikasi menjadi sesuatu hal yang penting.
Mekanisme sense-giving merupakan suatu proses komunikasi ketika anggota legislator dari partai politik mencoba mengkomunikasikan ide dan gagasan partai, program kerja, dan platform, serta ideologi partai ke masyarakat dan konstituen mereka (Pulungan, 2012). Sedangkan mekanisme sense-making adalah masyarakat dan konstitue akan memberikan tanda-tanda reaksi mereka atas apa yang telah dikomunikasikan oleh partai politik (Pulungan, 2012; Marshall, 2016).
Secara teoritis, penelitian ini menggunakan konsep keterwakilan menurut Pitkin dalam (Soeseno, 2014) untuk menganalisis pola hubungan legislator perempuan, partai politik, dan masyarakat (konstituen) yaitu:
Pertama, keterwakilan formal merupakan keterwakilan yang terbentuk sebagai hasil pengaturan-pengaturan institusional yang dilakukan sebelum adanya keterwakilan. Dua dimensi penting dalam keterwakilan formal adalah otoritasi dan akuntabilitas. Dimana keterwakilan ini didasari oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, setiap partai politik yang mengikuti pemilihan umum harus menyesuaikan peraturan tersebut terkait dengan keterwakilan.
Kedua, representasi simbolik merupakan pandangan tentang cara- cara seorang wakil yang mengatasnamakan konstituennya. Seorang wakil menjadi simbol yang merepresentasikan ataupun menghadirkan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada (tidak hadir), misalnya bendera atau raja
17
yang merepresentasikan bangsa. Namun, dalam penelitian ini representasi yang dimaksud adalah kehadiran perempuan sebagai perwakilan di kursi legislatif.
Ketiga, representasi deskriptif adalah sebuah bentuk keterwakilan yang berdasarkan pada persamaan atau kemiripan antar wakil dan yang diwakili (konstituen/pemilih). Dalam representasi ini maka wakil atau legislator perempuan menghadirkan sesuatu yang absen dengan mengangkat kemiripan atau mencerminkan kesamaan. Hal ini memberikan penjelasan dan dalam bertindak ia mengatasnamakan yang diwakilinnya (konstituen).
Keempat, representasi substantif adalah konsep keterwakilan yang menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang wakil merupakan kepentingan yang diwakilinnya. Contohnya seorang wakil bertindak mereprensetasikan satwa yang nyaris punah maupun janin yang belum lahir.
Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini keterwakilan perempuan dalam legislator dilatar belakangi oleh tradisi politik keluarga, dan kegiatan sukarela. Selain itu, teori keterwakilan yang dijadikan sebagai landasan dalam kajian ini adalah teori keterwakilan Pitkin dalam (Soeseno, 2014). Selain itu, teori keterwakilan ini berkaitan langsung dengan proses seorang legislator perempuan dalam menjelaskan agenda politiknya kepada masyarakat (konstituen) untuk kesetaraan gender melalui mekanisme sense-giving dan sense-making.
b. Kepentingan politik legislator perempuan
Menurut Phillips (1995) dalam (Adcock, 2010), perempuan memiliki setidaknya beberapa kepentingan yang berbeda dan kadang- kadang bertentangan dengan laki-laki. Mengingat, adanya ketidaksetaraan struktural dari hubungan sosial kontemporer. Karena kebutuhan dan kepentingan seringkali kurang transparan, atau sedang dalam proses perumusan, maupun dikeluarkan dari agenda politik, perempuan diperlukan untuk berpartisipasi agar kepentingannya dapat
18
diinterpretasikan dan diwakili secara memadai. Sehingga, agenda politik perempuan tidak hanya berfokus pada isu perempuan tetapi kepentingan yang menyangkut perempuan dan juga laki-laki yang diperoleh karena posisi sosial maupun konstruksi sosial melalui atribut gender yang disandangnya (Apriani, 2019:118).
Menurut Santoso (2016:46) terdapat tiga konsep kepentingan perempuan di dalam politik, yaitu:
(1) Kepentingan perempuan menjadi konsep yang sangat problematik. Hal ini menunjukkan bahwa identitas perempuan merupakan sesuatu yang homogen. Sehingga, identitas perempuan hadir bersinggungan dengan identitas lain misalnya: kelas, etnis, suku dan sebagainnya. Oleh sebab itu, hampir tidak mungkin menggeneralisasikan adanya satu kepentingan perempuan yang sama di berbagai tempat. Untuk itu diperlukan spesifikasi terkait kategori perempuan itu sendiri karena perbedaan posisi sosial mereka.
(2) Kepentingan gender strategis merupakan analisa yang berasal dari subordinasi perempuan dan formulasi dari tujuan/keinginan/mimpi untuk membuat pengaturan baru dari pengaturan dan struktur saat ini.
Kepentingan gender strategis, diformulasikan secara deduktif melalui kriteria etis dan teorities yang bertujuan untuk mengakhiri subordinasi perempuan, antara lain untuk menghapuskan pembagian kerja seksual, meringankan beban ganda kerja domestik dan publik, menghapuskan institusi yang melanggengkan diskriminasi serta menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Kepentingan gender strategis membutuhkan kesadaran sebagai seorang feminis untuk bisa memperjuangkannya.
(3) Kepentingan gender praktis tidak selalu memerlukan kesadaran feminis, tetapi dapat langsung diformulasikan sendiri oleh perempuan berdasarkan posisi mereka dalam struktur sosial. Hal ini dikarenakan hasil intervensi dari luar. Kepentingan gender praktis biasanya
19
mengarah pada kebutuhan jangka pendek yaitu kebutuhan langsung dan tidak selalu bertujuan untuk mengubah relasi kuasa. Contohnya dari kepentingan gender praktis antara lain kebutuhan dasar ekonomi akan bahan makan, bahan pokok, pendidikan anak, kesehatan, tempat tinggal, dan sebagainnya.
Prinsip kepentingan politik yang dijadikan sebagai landasan kajian dalam penelitian ini adalah konsep kepentingan perempuan menurut Santoso (2016:46). Sehingga, konsep kepentingan ini berkaitan dengan keterwakilan perempuan dalam melaksanakan agenda politik untuk kesetaraan gender.
4. Kesetaraan Gender
Menurut Saguni (2020), makna gender mengacu pada atribut dan peluang ekonomi, sosial dan budaya yang terkait dengan menjadi laki-laki atau perempuan. Disebagian besar masyarakat, menjadi laki-laki maupun perempuan bukan hanya masalah karakteristik biologis dan fisik yang berbeda. Mereka menghadapi harapan yang berbeda tentang bagaimana harus berpakaian, berperilaku atau bekerja. Hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam keluarga, tempat kerja atau ruang publik, juga mencerminkan pemahaman tentang bakat, karakteristik dan perilaku yang sesuai untuk perempuan dan laki-laki (Suhra, 2013). Oleh karena itu, gender berbeda dari seks karena lebih bersifat sosial dan budaya daripada biologis. Atribut dan karakteristik gender, meliputi peran yang dimainkan laki-laki dan perempuan serta harapan yang diberikan kepada mereka sangat bervariasi di antara masyarakat lalu berubah dari waktu ke waktu.
Tetapi fakta bahwa atribut gender dikonstruksi secara sosial berarti bahwa atribut tersebut juga dapat diubah dengan cara yang dapat membuat masyarakat lebih adil dan setara.
Disisi lain, konsep gender merupakan sifat yang melekat kepada kaum perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya.
Oleh sebab itu, faktor sosial tersebut membentuk perempuan menjadi
20
dikenal sebagai mahluk lemah lembut, cantik emosional, maupun keibuan.
Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa (Guntur et al., 2019). Namun, sifat tersebut dapat selalu berubah dari waktu ke waktu.
Sehingga, gender adalah konsep hukum yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan (Wiasti, 2017). Sehingga, perbedaan fungsi serta peran antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan atas perbedaan biologis atau kodrat tetapi dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan serta pembangunan.
Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2017), konsep kesetaraan gender merupakan perempuan dan laki-laki yang memiliki kondisi, perlakuan dan kesempatan sama untuk mewujudkan potensi, hak asasi, martabat, serta berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, kesetaraan gender adalah penilaian yang sama dari masyarakat atas persamaan serta perbedaan laki-laki dan perempuan atas peran yang mereka mainkan (Sulastri et al., 2020). Hal ini didasarkan pada perempuan dan laki-laki sebagai mitra penuh di rumah, komunitas dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Courtemanceh dan Connor Green (2020), stereotype gender ini mencakup pandangan yang berbeda tentang laki-laki dan perempuan berdasarkan asumsi pandangan politik (misalnya, perempuan lebih liberal daripada laki-laki dan lebih mampu menangani masalah yang berkaitan dengan pendidikan, perawatan kesehatan, dan keluarga).
Menurut Pujiastuti dalam (J, 2017) terdapat prinsip kesetaraan gender sebagai berikut:
Pertama, hak asasi perempuan yaitu hak asasi manusia yang dilahirkan bebas, memiliki harkat, martabat dan hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu negara wajib menjamin persamaan pemenuhan hak di bidang ekonomi, sosial budaya, sipil, politik, dan bidang-bidang lainnya; kedua, kesetaraan gender merupakan upaya memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender yang terkandung dalam
21
konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women).
Menurut CEDAW terdapat prinsip kesetaraan gender sebagai berikut: (1) prinsip kesetaraan substantif merupakan langkah yang dilakukan untuk menganalisis hak-hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi perbedaan serta kesenjangan yang merugikan pihak perempuan.
Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan dan akses yang sama terhadap laki-laki maupun perempuan baik dalam bingkai hukum serta kondisi hidup; (2) prinsip non-diskriminasi adalah diskriminasi tidak terbatas dalam kehidupan publik namun mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku seperti keluarga, korporasi bisnis dan masyarakat. Sehingga diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi sosial budaya mengenai perempuan dan norma-norma yang diperuntukkan bagi perempuan dalam kehidupan sehar-hari; (3) prinsip kewajiban negara adalah negara menjamin kesetaraan serta kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu negara menjamin hak perempuan melalui hukum maupun peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta ikut menjamin hasilnya. Sehingga, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kesempatan dan akses bagi perempuan.
Fakih (2013) menuturkan bahwa masalah gender bukan hanya masalah perjuangan kesamaan hak dan kewajiban di antara perempuan dan laki-laki, tetapi merupakan suatu masalah keadilan maupun masalah kemanusiaan.
Kesetaraan gender bertujuan untuk memfasilitasi partisipasi yang bersifat substantif di arena pengambilan keputusan maupun kebijakan.
Disisi lain, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA, 2020) mengarahkan bahwa agenda pembangunan secara umum yang menjadi tujuan pemerintah Indonesia adalah kesetaraan gender.
Berdasarkan deskripsi diatas, kesetaraan gender menyiratkan bahwa kepentingan, kebutuhan dan prioritas perempuan dan laki-laki
22
dipertimbangkan, mengakui keragaman kelompok yang berbeda dan semua manusia bebas untuk mengembangkan kemampuan pribadi mereka.
Selain itu, kesetaraan gender mengarah pada membuat pilihan tanpa batasan yang ditetapkan oleh stereotype dan prasangka tentang peran kesetaraan gender merupakan perempuan dan laki-laki dengan memiliki kondisi, perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensinya, hak asasi dan martabat mereka. Prinsip dari kesetaraan gender yang dijadikan sebagai landasan kajian dalam penelitian ini adalah CEDAW. Sehingga, konsep kesetaraan gender berkaitan dengan model kewarganegaraan dari Schuck (2009:153) dan unsur konsep kewarganegaraan gender Lister (2004). Konsep tersebut juga berkait dengan pola hubungan segitiga antara anggota legislatif perempuan, partai politik dan masyarakat (konstituen) dalam konteks pelaksanaan agenda politik legislator perempuan untuk kesetaraan gender.
a. Keadilan gender bagi legislator perempuan
Agenda politik untuk kesetaraan gender ini selain fokus terhadap isu-isu yang berhubungan dengan perempuan tetapi juga tidak menafikan pentingnya pengalaman, kerjasama, dan perspektif laki-laki dalam membawa kebijakan yang adil-gender (Sallatu et al., 2019). Beberapa penelitian telah menemukan efek berlawanan dari stereotype bagi politisi perempuan. Misalnya, karena perempuan biasanya tidak dikaitkan dengan sikap kuat dalam keamanan, sehingga mereka tidak mendapatkan dukungan untuk pencalonan pada jabatan yang sesuai dengan keamanan nasional (Holman et al., 2011). Sehingga, muncul subordinasi yang membuat perempuan menjadi tidak begitu penting dan memunculkan sikap tidak adil gender.
Squires (2007) dalam (Krizsan, Skjeie and Squires, 2014:65) menjelaskan bahwa pada umumnya terdapat tiga strategi untuk mencapai keadilan gender pada agenda politik perempuan yaitu melalui kuota, pengarusutamaan gender, dan pembentukan fokus utama gender. Dalam memperjuangkan keadilan gender bentuk relasi studi perempuan sangat
23
penting. Sehingga, perempuan harus memiliki pengetahuan terkait isu-isu perempuan dan keadilan gender. Tan (2014) menjelaskan bahwa kekuatan pertumbuhan pemilih perempuan dapat mempengaruhi beberapa partai politik dan dapat menghasilkan dinamika tertentu pada kesenjangan gender untuk mendukung partai. Oleh sebab itu, diperlukan pembentukan fokus utama gender dalam partai politik.
Keadilan gender mensyaratkan bahwa tidak ada laki-laki maupun perempuan yang diharapkan memikul beban keseluruhan yang lebih tinggi, atau menikmati manfaat yang secara keseluruhan lebih rendah daripada yang lain, tanpa kompensasi yang layak, hanya karena jenis kelamin mereka (Gheaus, 2017:9). Oleh sebab itu, keadilan gender penting untuk ditegakkan. Salah satu cara untuk mengidentifikasi ketidakadilan gender melalui analisis gender dari Tridewiyanti (2012). Proses identifikasi harus dilakukan untuk menganalisis data dan informasi secara sistematis tentang kondisi laki-laki maupun perempuan serta mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab dalam proses pembangunan. Sehingga, untuk menganalisis kendala legislator perempuan dalam menjalankan agenda politik untuk kesetaraan gender menggunaka n analisis gender Tridewiyanti (2012:76) sebagai berikut:
(1) Akses merupakan faktor yang dibutuhkan untuk mengukur seberapa besar peluang atau kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk memanfaatkan sumber daya (baik sumber daya alam, sosial, politik maupun waktu).
(2) Partisipasi adalah keterwakilan yang sama antara perempuan dan laki- laki dalam program, kegiatan, maupun pengambilan keputusan dalam pembangunan. Faktor ini berguna untuk melihat proporsi dari laki-laki atau perempuan yang termarginalisasi baik secara kelas, suku, ras maupun budaya.
(3) Kontrol adalah kekuasaan untuk memutuskan bagaimana menggunakan sumber daya dan siapa yang memiliki akses terhadap
24
penggunaan sumber daya tersebut. Faktor ini diperlukan untuk melihat proporsi perempuan atau laki-laki dalam pengambilan keputusan.
(4) Manfaat adalah hasil dari suatu proses pembangunan. Faktor ini digunakan untuk melihat proporsi manfaat pembangunan yang diterima oleh perempuan atau laki-laki. Apakah manfaat tersebut cenderung menguntungkan salah satu jenis kelamin.
Prinsipnya keadilan gender yang dijadikan sebagai landasan kajian dalam penelitian ini adalah Squires (2007) dalam (Krizsan, Skjeie and Squires, 2014:65) yang menjelaskan terkait tiga strategi untuk mencapai keadilan gender. Selain itu konsep analisis gender yang berkaitan langsung dengan penelitian dimana peran legislator perempuan dalam konteks pelaksanaan agenda politik legislator perempuan untuk kesetaraan.
5. Citizenship Studies dalam Kewarganegaraan Gender
Citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis yaitu mendidik warga negara yang demokratis yang mencakup dalam pendidikan formal dan non-formal. Winarno (2013) menuliskan bahwa materi PKn sebagai bagian dari ilmu politik. Sehingga, PKn pada dasarnya merupakan pendidikan politik. Disamping itu, Isin (2015:1-2) menjelaskan bahwa citizenship adalah salah satu konsep teori politik yang paling penting. Hal ini sebagian karena baik sebagai status hukum dan kewarganegaraan praktik sosial telah menjadi aspek penting dari modernitas politik. Sehingga, pendidikan politik menjadi proses transmisi budaya politik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi langkah untuk mendidik warga negara dalam meningkatkan pengetahuan politik agar dapat berpartisipasi dalam politik secara maksimal (Anjani, 2021).
Selain itu, model kewarganegaraan penting untuk praktik sosial bagi warga negara. Menurut Schuck (2009:153), praktik sosial memiliki tujuan model hak asasi manusia secara sederhana untuk mengamankan hak individu dan kelompok yang akan menjamin kondisi kemanusiaan. Selain
25
itu, model tersebut dijadikan sebagai perlindungan bagi mereka yang mengalami kekerasan serta diskriminasi. Sehingga, konsep kewarganegaraan gender menjadi penting dalam praktik sosial pendidikan politik. Citizenship studies dapat dijadikan sebagai dasar teorities bagi bentuk keadilan gender. Oleh karena itu, untuk menganalisis pola hubungan legislator perempuan, partai politik dan masyarakat (konstituen) menggunakan analisis konsep kewarganegaraan gender.
Lister (2004) membagi tiga unsur the nature of citizenship dalam konsep kewarganegaraan gender yaitu hak, partisipasi politik dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, dalam memperoleh hak, Lister menjelaskan bahwa perempuan harus memiliki kesungguhan untuk berusaha mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki dalam politik, dan sosial yang sangat penting bagi pencapaian kewarganegaraan penuh mereka. Dalam partisipasi politik, pemikiran Lister menjelaskan bahwa perempuan dalam bernegara harus menjadi penggerak bagi partisipasi perempuan. Sehingga, bukan hanya sebagai pergerakan feminis yang meminta hak-hak perempuan pada negara, tetapi perempuan juga harus ikut andil berpartisipasi aktif langsung dalam negara (ikut serta dalam menjalankan negara).
Selain itu, Lister dalam Febrianti (2017) menjelaskan pada unsur tanggung jawab negara harus menjamin kesamaan dan kesetaraan beban kerja serta upah kerja. Karena, perempuan memiliki peran ganda ketika mereka sudah berkeluarga (menjadi tenaga kerja dan ibu rumah tangga).
6. DPRD DKI Jakarta
Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta No.1 Tahun 2020 menjelaskan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah khususnya di provinsi. Oleh sebab itu, sebagai representasi rakyat, DPRD memiliki fungsi dalam pembentukan peraturan daerah, anggaran, dan pengawasan. Fungsi
26
Peraturan Daerah (Perda) dilaksanakan dengan cara Menyusun program pembentukan Perda bersama Gubernur, membahas bersama Gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda dan mengajukan usul rancangan Perda. Di dalam struktur organisasi DPRD terdapat badan anggaran, badan kehormatan, badan musyawarah, dan badan pembentukan peraturan daerah. Selain itu, terdapat lima komisi pada DPRD yaitu bidang pemerintahan, bidang perekonomian, bidang keuangan, bidang pembangunan, dan bidang kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD jumlah anggota DPRD menjadi 106 orang. Undang- Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD Pasal 318 ayat (1) menjelaskan bahwa anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
Hal ini menjadi jumlah yang sama untuk periode 2019-2024. Disamping itu, masa jabatan anggota DPRD peovinsi adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah maupun janji. Anggota DPRD memiliki hak untuk mengajukan rancangan peraturan daerah, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, mengikuti orientasi dan pendalaman tugas. Pada pelaksanaan tugas anggota dewan ini dilakukan salah satunya dengan mengunjungi warga dan menerima keluhan untuk menampung keluhan tersebut dan juga melaksanakan fungsi pengawasan yang dikenal dengan kunjungan kerja. Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 3 Pasal 5 Tahun 2019 tentang Susunan Pimpinan dan Anggota Komisi- Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta masa jabatan 2019-2024 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang komisi- komisi sebagaimana dimaksud dalam diktum ketiga yaitu:
a. memastikan terlaksananya kewajiban daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
27
kewenangan daerah dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-undangan;
b. melakukan pembahasan rancangan Perda;
c. melakukan pembahasan rancangan keputusan DPRD sesuai dengan ruang lingkup tugas komisi;
d. melakukan pembahasan rancangan keputusan DPRD sesuai dengan ruang lingkup tugas komisi;
e. membantu Pimpinan DPRD dalam penyelesaian masalah yang disampaikan oleh Kepala Daerah dan/atau masyarakat kepada DPRD;
f. menerima, menampung, dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mengupayakan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
h. melakukan kunjungan kerja komisi atas persetujuan Pimpinan DPRD;
i. mengadakan rapat kerja dan rapat dengar pendapat;
j. mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas komisi; dan
k. memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas komisi.
Berkenaan dengan poin f pada tugas dan wewenang DPRD, hal ini berkaitan langsung pada hubungan legislator dengan konstituen. Menurut laporan National Democratic Institute (2008) terdapat kepentingan dalam hubungan legislator dengan konstituen sebagai berikut:
a. Pertama, legislator secara aktif melibatkan konstituen mereka untuk membantu menciptakan hubungan antara warga negara dengan pemerintah mereka.
b. Kedua, keterlibatan yang aktif di konstituensi seseorang memberi sebuah wajah yang lebih jelas kepada legislator, lembaga legislatif, dan partai politiknya.
28
c. Ketiga, kerja hubungan dengan konstituen yang efektif dapat membantu memobilisasi partisipasi warga dalam urusan- urusan publik.
d. Keempat, kegiatan-kegiatan hubungan dengan konstituen dari legislator memberikan manfaat public yang sangat dibutuhkan.
Dalam penelitian ini, DPRD yang dimaksud merupakan DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan tugas dan wewenangnya sebagai anggota komisi dalam pelaksanaan agenda politik untuk kesetaraan gender.
B. Kerangka Berpikir
Affirmative action memberikan kesempatan perempuan untuk turut aktif dalam bidang politik. Namun, perjuangan perempuan pasca affirmative action tidaklah mudah. Karena kuota yang disediakan oleh pemerintah sesuai dengan Undang Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD sebesar 30% tidak pernah tercapai di kursi legislatif. Meskipun begitu, harapan perempuan sebagai anggota legislatif sangatlah tinggi dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Bentuk dari harapan tersebut tertuang dalam agenda politik.
Agenda politik merupakan isu yang ditetapkan oleh aktor politik dan disesuikan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh kelompok partai politik maupun yang sedang dibahas dalam kabinet di pemerintahan. Usulan agenda politik perempuan yang menjadi dasar dalam penelitian ini berdasarkan 60 Lembaga Swadaya Masyarakat yang dituangkan dalam (Martiany, 2019:10).
Keterlibatan perempuan sebagai anggota legislatif memberikan gambaran latar belakang mereka untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Menurut Bashori (2018), Satriawan dan Firmansyah (2019), serta Oh (2016), keterwakilan perempuan dalam legislator dilatar belakangi oleh tradisi politik keluarga, dan kegiatan sukarela. Selain itu, konsep keterwakilan Pitkin dalam (Soeseno, 2014) menjadi dasar untuk
29
menganalisis keterwakilan legislator perempuan. Disamping itu, konsep keterwakilan ini berkaitan langsung dengan peran legislator perempuan dalam melaksanakan agenda politik untuk kesetaraan gender melalui mekanisme sense-giving dan sense-making.
Disisi lain, keterwakilan perempuan di legislatif tidak lepas dari kepentingan politik baik secara individu aktor politik maupun kelompok partai politik. Sehingga, konsep kepentingan perempuan menurut Santoso (2016:46) berkaitan dengan keterwakilan perempuan dalam melaksanakan agenda politik untuk kesetaraan gender. Oleh karena itu, prinsip dari kesetaraan gender yang digunakan adalah CEDAW.
Legislator perempuan sebagai warga negara memiliki hak yang sama dengan ikut dalam berpartisipasi politik. Sehingga, unsur konsep kewarganegaraan gender Lister (2004) menjadi dasar untuk menganalisis pelaksanaan agenda politik legislator perempuan untuk kesetaraan gender.
analisis gender yang berkaitan langsung dengan penelitian ini menggunakan kajian Squires (2007) dalam (Krizsan, Skjeie and Squires, 2014:65) yang menjelaskan terkait tiga strategi untuk mencapai keadilan gender. Legislator perempuan yang dituju merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah khususnya di provinsi. Kerangka berpikir ini kemudian digambarkan pada bagan sebagai berikut:
30
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Legislator Perempuan DPRD DKI
Jakarta Periode 2019-2024
Agenda Politik
Keterwakilan Perempuan di DPRD DKI Jakarta
Kepentingan Legislator Perempuan di DPRD DKI Jakarta
Pola hubungan segitiga antara anggota legislatif perempuan, partai politik dan masyarakat.
Tercapainya kuota anggota legislatif perempuan di DKI
Jakarta
Keadilan Gender bagi Legislator Perempuan di DPRD DKI Jakarta Pelaksanaan Kesetaraan Gender oleh Legislator Perempuan di DPRD DKI
Jakarta
Pelaksanaan agenda politik legislator perempuan untuk kesetaraan gender di DPRD DKI Jakarta