• Tidak ada hasil yang ditemukan

T BP 1201629 Chapter (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T BP 1201629 Chapter (2)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSELING KRISIS DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN ANAK KORBAN

KEKERASAN SEKSUAL

Intensitas Tindak kekerasan terhadap anak, semakin tahun semakin

meningkat. Sedangkan pendekatan intervensi yang diberikan masih sangat sedikit,

dan belum banyak dikembangkan oleh para konselor ataupun tenaga sosial yang

berkecimpung dalam ranah tersebut. Kekerasan dan penelantaran pada anak dapat

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kekerasan yang terjadi dapat berupa

fisik, emosional ataupun seksual. Berdasarkan data yang dihimpun oleh komnas

perlindungan anak (2013), diperoleh data bahwa tindak kekerasan terbanyak pada

anak adalah tindak kekerasan seksual dengan prosentasi sebanyak 52 persen.

Kita tahu sedikitnya kasus pelecehan seksual yang dilaporkan disebabkan

oleh rasa malu, bersalah, stigma sosial dan rasa takut. Dilaporkan atau tidak,

pelecehan tetap menyebabkan trauma. Efek-efek emosi yang muncul pada pelaku

saat dewasa biasanya rasa bersalah dan malu, namun pada korban jauh lebih

merusak seperti rasa percaya diri rendah, depresi, takut, dan tidak percaya siapa

pun, kemarahan dan kebencian bahkan dendam, rasa tak berdaya dan sikap negatif

terhadap hubungan antar-pribadi dengan lawan jenis. Hanya sekedar tindakan

preventif tidak akan berfungsi apapun, karena di lingkup seperti ini justru

penanganan cepat terhadap korban jauh lebih utama, seperti hotline krisis dan

pusat-pusat krisis serta program bantuan khusus korban perkosan dan

rehabilitasinya (Gibson& Mitchell, 2011, hlm. 263-264)

Mengingat penting untuk segera dirumuskannya sebuah intervensi dalam

penanganan terhadap anak korban kekerasan seksual, maka dalam bab ini penulis

akan menjelaskan dan merumuskan beberapa konsep yang menjadi acuan dan

dasar dalam penelitian ini. Adapun isi dari bab 3 ini terdiri dari: 1) Konsep dasar

kecemasan; 2) Teknik penanganan kecemasan terhadap anak korban kekerasan

(2)

4) Hasil-hasil penelitian terdahulu; 5) Asumsi penelitian; 6) Hipotesis penelitian;

7) Posisi peneliti.

A. Konsep Dasar Kecemasan

Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh

setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan

sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang

merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun

wujudnya.

Stuart (2001) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan emosi yang tidak

memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas

berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap

sesuatu yang berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian

tersebut. Videbeck (2008) membagi kecemasan menjadi dua aspek yakni aspek

yang sehat dan aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan,

lama kecemasan dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap

kecemasan. Kecemasan dapat dilihat dalam rentang ringan, sedang, berat sampai

panik. Setiap tingkat menyebabkan perubahan fisiologis dan emosional pada

individu.

1. Prespektif Teoretis Kecemasan

Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan

faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Menurut Stuart &

Laraia (2007) teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

a. Teori Psikoanalitik

Freud sebagai penemu teori psikoanalis, mendeskripsikan

kecemasan sebagai suatu kesatuan tanpa objek karena kita tidak

dapat menunjuk ke sumber ketakutan atau ke suatu objek khusus

yang menyebabkan ketakutan tersebut. Freud memandang

kecemasan sebagai bagian yang penting dari teori kepribadian

(3)

psikotis. Freud mengungkapkan bahwa prototype dari semua

kecemasan adalah trauma kelahiran. Janin dalam rahim ibunya

adalah dunia yang paling stabil dimana setiap kebutuhan

dipuaskan tanpa adanya penundaan. Tetapi, saat kelahiran,

organisme didorong ke lingkungan yang bermusuhan. Tiba-tiba

bayi perlu mulai beradaptasi terhadap realita karena permintaan

instingtualnya tidak selalu segera dapat dipenuhi.

Freud dalam Schultz (1986) membedakan 3 macam

kecemasan, yaitu:

1)Kecemasan Objektif atau Realitas(Reality or Objective

Anxiety)

Adalah sebuah ketakutan terhadap adanya bahaya yang

nyata dalam dunia sebenarnya.Contoh kecemasan objektif

yaitu gempa bumi, angin topan, dan bencana yang sejenis.

Kecemasan realitas memberikan tujuan positif untuk

memandu perilaku kita untuk melindungi dan menyelamatkan

diri kita dari bahaya yang aktual.

2)Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)

Adalah sebuah ketakutan yang berasal dari masa

kanak-kanak dalam sebuah konflik antara kepuasan instingtual dan

realita melibatkan konflik antara id dan ego. Anak-anak sering

dihukum bila mengekspresikan impuls seksual dan agresif

secara berlebihan. Pada tahap ini, kecemasan ini berada pada

alam kesadaran, tetapi selanjutnya, ini akan ditransformasikan

ke alam ketidaksadaran.

3)Kecemasan Moral(Moral Anxiety)

Adalah sebuah ketakutan sebagai hasil dari konflik antara

id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan

suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk

mengekspresikan impuls instingtual yang berlawanan dengan

(4)

ia akan merasa malu atau bersalah. Pada kehidupan sehari-hari

ia akan menemukan dirinya sebagai “conscience stricken”.

Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya

superego. Biasanya individu dengan kata hati yang kuat akan

mengalami konfllik yang lebih hebat daripada individu yang

mempunyai kondisi toleransi moral yang lebih longgar.

Kecemasan moral didasarkan juga pada realitas. Anak-anak

dihukum karena melanggar kode moral orangtuanya dan

orang dewasa dihukum karena melanggar kode moral

masyarakat. Kecemasan memberi sinyal kepada individu

bahwa ego sedang terancam dan jika tidak ada tindakan yang

diambil, maka ego akan jatuh. Bagaimana ego dapat

melindungi atau mempertahankan dirinya,Ada sejumlah

pilihan yaitu :

a) Melarikan diri dari situasi yang mengancam.

b)Menghalangi munculnya kebutuhan impulsif yang

menjadi sumber cahaya.

c) Mematuhi suara hati nurani dari kesadaran.

b. Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari

perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan

interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan

trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan

kelemahan spesifik. Individu dengan harga diri rendah mudah

mengalami perkembangan kecemasan yang berat.

c. Teo ri Behaviour

Menurutpandanganteoribehaviour

(perilaku),kecemasanmerupakanhasildarifrustasiyaitusegalasesuatu

yang mengganggukemampuanseseoranguntukmencapaitujuan yang

(5)

d.Teo ri Pre spe ktif K elua rg a

Teorikeluargamenunjukkanbahwakecemasanmerupakanhal yang

biasaditemuidalamsuatukeluarga.Kecemasaniniterkaitdengantugas

perkembanganindividudalamkeluarga.Anak yang akandirawat di

rumahsakitmerasatugasperkembangannyadalamkeluargaakantergang

gusehinggadapatmenimbulkankecemasan.Kajian keluarga

menunjukkan pola interaksi yang terjadi didalam keluarga

kecemasan menunjukkan adanya interaksi yang tidak adaptif dalam

sistem keluarga.

e. Teo riBiologi s

Teoribiologismenunjukkanbahwaotakmengandungreseptorkhususu

ntukbenzodiazepin.Reseptorinimungkinmembantumengaturkecem

asan.Penghambatasam (GABA)

jugamungkinmemainkanperanutamadalammekanismebiologisbe

rhubungandengankecemasan.Selainitu,

telahdibuktikanbahwakesehatanumumseseorangmempunyaiakibat

nyatasebagaipredisposisiterhadapkecemasan.Kecemasanmungki

ndisertaigangguanfisikdanselanjutnyamenurunkankapasitasseseor

anguntukmengatasistresor.

2. Gejala Kecemasan

Hampir setiap individu pernah mengalami kecemasan sebagai suatu

peasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini ditandai oleh kegelisahan,

kebingungan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Perasaan yang

dialami individu tersebut hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh yang

bersangkutan saja. Huberty (2012) membedakan kecemasan menjadi dua,

yaitu:

a. State Anxiety

Adalah gejala kecemasan yang timbul bila individu berhadapan

(6)

kecemasan, dan gejalanya akan selalu kelihatan selama situasi tersebut

terjadi.

b. Trait Anxiety

Adalah kecemasan sebagai suatu keadaan yang menetap pada

individu. Kecemasan ini berhubungan erat dengan kepribadian individu

yang sedang mengalami kecemasan. Dengan kata lain kecemasan

mengandung pengertian disposisi untuk menjadi cemas dalam

menghadapi bermacam-macam situasi. Sehubungan dengan hal ini,

kecemasan dipandang sebagi suatu simtom, yaitu keadaan yang

menunjukkan kesukaran dalam menyesuaikan diri.

Sedangkan Nevid (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan

dalam tiga jenis gejala, diantaranya yaitu :

a. Gejala Fisik dari Kecemasan

Yaitu kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat,

sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin,

mudah marah atau tersinggung.

b. Gejala Behavioral dari Kecemasan

Yaitu berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan dependen.

c. Gejala Kognitif dari Kecemasan

Yaitu khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan

terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu

yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan

untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau

kebingungan, sulit berkonsentrasi.

3. Reaksi Terhadap Kecemasan

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kecemasan adalah suatu bentuk

emosi yang lain selain emosi dasar, maka reaksi terhadap kecemasan,

seimbang dengan reaksi manusia pada umumnya terhadap emosi yang

(7)

Reaksi fisiologik adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang

diproses oleh syaraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah,

kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan makanan, dan sistem pembuangan

(atkinson 1997). Dengan meningkatnya emosi atau perasaan cemas satu atau

lebih dari organ-organ tersebut akan meningkat dalam fungsinya sehingga

dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam lambung selama kecemasan,

atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah, sering buang air

atau sekresi keringat yang berlebihan.

Dalam situasi ini kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang

berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar.

Seirama dengan Hilgard, menurut Kartono (1981), tekanan pikiran yang

berat, menyebabkan keluarnya energi yang luar biasa, yang akhirnya

menjadikan naiknya tekanan darah dan berubahnya susunan kimiawi darah

yang membahayakan kesehatan. Bila hal ini terjadi terus menerus, akan

menimbulkan penyakit lambung, tekanan darah tinggi, dan asma.

Kecemasan dapat terwujud pada reaksi emosional dari keadaan jiwa

individu, baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga bisa

mengganggu efisiensi individu dalam menghadapi masalah. Reaksi yang

timbul secara psikologis dapat berupa perasaan yang menyertai reaksi

fisiologis seperti perasaan tegang, rendah diri, kurang percaya diri, tidak

dapat memusatkan perhatian serta adanya gerakkan-gerakkan yang tak

terarah atau tidak pasti Hadfield(1985).

Daradjat (1975) mengungkapkan bahwa gejala kecemasan dapat

bersifat fisik maupun bersifat mental. Gejala fisik meliputi ujung-ujung jari

terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung lebih cepat dan

sebagainya. Gejala mental berupa ketakutan, tidak dapat memusatkan

perhatian, tidak tentram dan lain lain. Individu biasanya tidak mengetahui

penyebab ketakutannya. Pada kecemasan yang tinggi, individu biasanya

sering bermimpi yang menakutkan pada malam hari hingga terkejut dan

(8)

Menurut Bucklew (1960), apabila seseorang mengalami kecemasan,

maka reaksi yang tampak ada dua tingkatan, yaitu:

a. Tingkat Psikologis

Pada tingkat ini tampak adanya gejala psikologis seperti

gerakan-gerakan tak terarah, perasaan tegang, ragu-ragu, khawatir, bingung,

sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan tidak jelas, serta

gejala lainnya yang saling bercampur aduk.

b. Tingkat Fisiologis

Pada tingkat ini kecemasan menyebabkan adanya disorganisasi

proses fisiologis, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf seperti keluarnya

keringat dingin yang berlebihan, jantung berdebar -debar, tidak dapat

tidur, sirkulasi darah tidak teratur, rasa mual, gemetar dan lain-lain.

Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan cenderung diubah dalam bentuk

gangguan simtomatik yang dapat membahayakan kesehatan, dan lebih jauh

lagi akan dapat mengakibatkan adanya gangguan pada seseorang dalam

merespon stimulus-stimulus yang datang padanya, baik yang datang dari

dalam dirinya maupun yang datang dari luar.

Uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa manifestasi kecemasan

adalah suatu bentuk reaksi emosi selain emosi dasar yang gejalanya dapat

bersifat fisik maupun bersifat mental. Pada gejala yang bersifat fisik terlihat

adanya disorganisasi fungsi sistem syaraf sedangkan pada gejala yang

bersifat mental berupa ketakutan, perasaan tidak menentu dan tidak jelas.

4. Faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian

besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang.

Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan

kecemasan. Menurut Ramaiah (2003) ada beberapa faktor yang

(9)

a. Lingkungan

Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir

individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan

karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu

dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga

individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.

b. Emosi yang Ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan

jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini,

terutamajika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka

waktu yang sangat lama.

c. Sebab-Sebab Fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi

seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari

suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini,

perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan.

Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen dalam suparyanto

(2011)beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan antara lain:

a. Potensi Stresor

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang

itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk

menanggulanginya.

b. Maturasi (kematangan)

Individu yang matang yaitu yang memiliki kematangan kepribadian

sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan akibat stres, sebab

individu yang matang mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap

(10)

matang akan bergantung dan peka terhadap rangsangan sehingga sangat

mudah mengalami gangguan akibat adanya stres.

c. Status Pendidikan dan Status Ekonomi

Status pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang

menyebabkan orang tersebut mengalami stres dibanding dengan mereka

yang status pendidikan dan status ekonomi yang tinggi.

d. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan yang rendah pada seseorang akan

menyebabkan orang tersebut mudah stres.

e. Keadaan Fisik

Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, penyakit

badan, operasi, cacat badan lebih mudah mengalami stres. Disamping

itu orang yang mengalami kelelahan fisik juga akan lebih mudah

mengalami stres.

f. Tipe Kepribadian

Individu dengan tipe kepribadian tipe A lebih mudah mengalami

gangguan akibat adanya stres dari individu dengan kepribadian B.

Adapun ciri–ciri individu dengan kepribadian A adalah tidak sabar,

kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa buru – buru waktu,

sangat setia (berlebihan) terhadap pekerjaan, agresif, mudah gelisah,

tidak dapat tenang dan diam, mudah bermusuhan, mudah tersinggung,

otot-otot mudah tegang. Sedangkan individu dengan kepribadian tipe B

mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan individu kepribadian tipe

A.

g. Sosial Budaya

Cara hidup individu di masyarakat yang sangat mempengaruhi

pada timbulnya stres. Individu yang mempunyai cara hidup sangat

teratur dan mempunyai falsafat hidup yang jelas maka pada umumnya

lebih sukar mengalami stres. Demikian juga keyakinan agama akan

(11)

h. Lingkungan atau Situasi

Individu yang tinggal pada lingkungan yang dianggap asing akan

lebih mudah mangalami stres.

i. Usia

Ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah

mengalami stres dari pada usia tua, tetapi ada yang berpendapat

sebaliknya.

j. Jenis kelamin

Umumnya wanita lebih mudah mengalami stres, tetapi usia harapan

hidup wanita lebih tinggi dari pada pria.

5. Tingkat Kecemasan

Videbeck (2008), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan

dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan. Setiap tindakan memiliki

karakteristik lahan persepsi yang berbeda tergantung pada kemampuan

individu dalam menerima informasi/ pengetahuan mengenai kondisi yang

ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya.

Menurut Peplau dalam Videbeck (2008) ada empat tingkat kecemasan

yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.

a. Kecemasan Ringan

Adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan

perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu individu

memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah,

berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi diri sendiri. Menurut

(12)

Tabel 2. 1

Respon dari Kecemasan Ringan

Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional

- Ketegangan otot ringan - Terlihat tenang, percaya diri - Perasaan gagal sedikit

(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 182)

b. Kecemasan Sedang

Merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang

benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Menurut

Videbeck (2008), respon dari kecemasan sedang adalah sebagai berikut:

Tabel 2. 2

Respon dari Kecemasan Sedang

Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional

-Ketegangan otot sedang

-Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi - Tidak perhatian secara selektif - Fokus terhadap stimulus

(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 182)

c. Kecemasan Berat

Yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman, memperlihatkan

respon takut dan distress. Menurut Videbeck (2008), respon dari

(13)

Tabel 2. 3

Respon dari Kecemasan Berat

Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional

-Ketegangan otot berat -Hiperventilasi -Kontak mata buruk -Pengeluaran keringat

meningkat

-Bicara cepat, nada suara tinggi - Preokupasi dengan pikiran sendiri - Egosentris

(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 183)

d. Panik

Adalah kondisi dimana individu kehilangan kendali dan detail

perhatian hilang, karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu

melakukan apapun meskipun dengan perintah. Panik berhubungan

dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari

proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan

sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu dikarenakan individu

tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas

motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang

lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang

rasional. Menurut Videbeck (2008), respons dari panik adalah sebagai

(14)

Tabel 2. 4 Respon dari Panik

Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional

- Flight, fight, atau - Pikiran tidak logis, terganggu - Kepribadian kacau

- Tidak dapat menyelesaikan masalah

- Fokus pada pikiran sendiri - Tidak rasional

(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 183)

6. Dampak Kecemasan dan Tindak Kekerasan terhadap Tumbuh Kembang Anak

Pada dasarnya setiap anak-anak haruslah tumbuh dan berkembang

dengan baik apabila mereka menerima segala kebutuhannya dengan

optimal. Jika salah satu kebutuhan baik asuh, asih maupun asah tidak

terpenuhi maka akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang mereka.

Pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang mengalami kekerasan

seksual, pada umumnya mengalami kelambatan dari anak normal lainnya.

Sedangkan dampak yang diterima oleh anak bisa secara langsung maupun

tidak langsung.

Ikatan dokter Indonesia dalam Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan

Dan Rujukan Kasus Kekerasan Dan Penelantaran Anak (2003) merumuskan

bahwa dampak langsung dari anak korban kekerasan seksual dapat diamati

secara langsung berupa: 1) Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti

nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan pendarahan anus; 2) Tanda

gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis,

(15)

menyakiti diri sendiri dan sering mencoba bunuh diri; 3) Tingkah laku atau

pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.

Sedangkan beberapa problem perilaku dan emosi yang mungkin terjadi

sebagai dampak kekerasan pada anak berdasarkan klasifikasi umurnya

adalah:

a. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun)

Setelah megalami suatu kejadian yang menimbulkan stres,

anak-anak balita menjadi sangat takut terhadap hal-hal nyata di lingkungannya

dan atau terhadap hal-hal yang dibayangkannya. Anak-anak biasanya

akan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara

langsung dan atau tidak langsung mengingatkan mereka pada

pengalaman yang menimbulkan stres tersebut. Anak-anak yang

mengalami kekerasan seksual mungkin menunjukkan ketakutan yang

berlebihan terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengan orang

yang melakukan kegiatan seksual tersebut. Anak-anak balita dapat pula

menjadi takut terhadap hal-hal yang tidak nyata, seperti „nenek sihir‟

yang mendatangi mereka di malam hari atau „orang jahat‟ yang akan

mencelakakan mereka.

Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:

1) Cemas perpisahan, anak-anak balita bereaksi terhadap stres

dengan menempel terus pada orang tuanya karena takut berpisah

dan mengamuk bila ditinggalkan.

2) Perilaku regresif, kembali ketahap perkembangan yang lebih

awal, seperti kembali ke „benda pengganti ibu‟ (transactional

object), misalnya mengisap jempol, bantal kesayangan dan

lain-lain.

3) Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya jadi

mengompol lagi atau tak dapat menahan buang air besar. Semua

(16)

4) Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita ini biasanya

sering mengalami mimpi buruk dan mengigau karena mereka

tidak mampu memahami peristiwa yang sangat mneekan.

b. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun

Anak-anak berusia 6-12 tahun lebih mampu menggunakan

kemampuan berpikir, perasaan dan tingkah lakunya ketika bereaksi

terhadap kejadian yang menimbulkan stres. Mereka mampu mengingat

kejadian dengan benar dan dapat memahami makna peristiwa yang telah

menimpa mereka. Sehubungan dengan alam pikir, anak-anak sering

berkhayal untuk menghadapi kejadian yang menimbulkan stres. Mereka

akan berkhayal bahwa mereka mampu menghadapi kejadian buruk,

misalnya mereka mampu menghadapi si pelaku kekerasan dengan

kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya. Mereka merasa mampu

menipu si pelaku kekerasan seksual dengan mudah, dan lain-lain. Adanya

kemampuan ini membuat anak dapat melawan rasa tidak berdayanya.

Namun cara berpikir seperti ini membuat anak-anak lebih mudah timbul

perasaan berdosa dan menyalahkan diri sendiri. Hal ini terjadi karena

pada saat anak membayangkan dirinya dapat mencegah terjadinya

peristiwa yang mengerikan, mereka juga menyalahkan diri mereka

karena tidak melakukan hal tersebut.

Setelah melewati pengalaman yang sangat mencekam, anak-anak

menjadi ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap orang

lain. Sebagai contoh, setelah mengalami perkosaan, anak merasa bahwa

harga dirinya telah diinjak-injak dan keamanannya terancam, mereka

menjadi sangat lemah dan terus menerus berpikir bahwa hal-hal buruk

akan terjadi kembali pada mereka.

Perilaku dan reaksi emosional yang harus diamati:

1) Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan kegelisahan. Anak-anak

(17)

akan menimbulkan kesulitan belajar yang berakibat penurunan

dalam prestasi belajarnya.

2) Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat

melalui tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan

badan, gagap, atau menggigit kuku. Sebagai tambahan pada usia

ini anak juga bisa menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya, seperti pusing, sakit perut atau

masalah makan.

3) Agresif, anak-anak sering menampakkan perubahan tingkah laku

yang sangat jauh berbeda dari tingkah lakunya yang dulu. Mereka

bisa berubah menjadi agresif dan rewel, misalnya menjadi sangat

kasar dan rebut saat bermain atau bertingkah semaunya sendiri

dan nakal, berteriak dan menjerit-jerit.

4) Depresi, anak tampak menarik diri, iritabel, dan pasif, misalnya

mereka menjadi sangat pendiam dan penurut. Tidak pernah

mengungkapkan perasaan tidak mau bermain dengan

teman-temannya serta mudah menjadi marah. Pergaulan anak dengan

teman sebayanya menjadi terganggu dan menyebabkan anak

terasing dari lingkungannya.

5) Sulit tidur.

6) Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil, misalnya sering

mengompol di malam hari atau legket dengan orang tuanya.

7) Keinginan bunuh diri.

c. Reaksi pada anak usia 13-18 tahun

Masa remaja adalah masa kehidupan dimana terjadi banyak

perubahan dalam hal penapilan dan perasaan. Mereka juga sedang dalam

memisahkan diri dari keluarga sebagai sumber rasa aman dan mulai

membangun hubungan yang mandiri dengan dunia luar. Dibandingkan

dengan anak-anak yang lebih muda, remaja sebenarnya lebih mudah

(18)

memiliki kemampuan berpikir yang dewasa dan mampu berlogika serta

dapat memahami akibat jangka panjang dari konflik dan kekerasan yang

dialami.

Tidak seperti anak-anak, remaja pada umumnya tidak mengatasi

stres dengan berimajinasi atau bermain. Mereka sudah lebih mampu

menceritakan kejadian yang telah menimpa mereka, tetapi masih

memerlukan bimbingan untuk dapat mengeluarkan perasaannya secara

terbuka. Mereka sudah mampu memikirkan apa yang dapat dan tidak

dapat dilakukan untuk merubah peristiwa yang sudah terjadi, namun

tetap ada rasa bersalah karena tidak berbuat sesuatu untuk mencegah

sesuatu yang buruk tidak terjadi.

Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:

1) Merusak diri sendiri, remaja akan melakukan tindakan yang

merusak diri sendiri sebagai cara mengatasi marah dan depresi.

Setelah kejadian yang menimbulkan stres, banyak remaja

melakukan perbuatan yang beresiko tinggi seperti berontak

terhadap orang-orang yang mempunyai wibawa, menyalah

gunakan NAPZA, bergabung dengan para pencuri dan menjarah.

Remaja bisa memahami sejauh apa akibat kekerasan yang akan

mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka merasa diri mereka

tidak kebal terhadap hal tersebut. Setelah kejadian yang

menimbulkan stres, mereka bisa menjadi tertutup, menarik diri,

curiga terhadap orang lain dan berpikir nahwa hal buruk akan

menimpa mereka lagi.

2) Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kegugupan dan

keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup umum

terjadi pada kelompok usia ini (IDI dalam buku pedoman dini,

(19)

B. Teknik Penanganan Kecemasan terhadap Anak Korban Kekerasan

Seksual

1. Pengukuran Kecemasan

Manifestasi dari kecemasan dapat berupa aspek psikologis maupun

fisiologis. Untuk mengungkap atau mengukur gejala kecemasan ada

beberapa metode, yaitu: 1) Self report atau questionaireMerupakan

sejumlah pertanyaan pertanyaan yang harus dijawab oleh individu berupa

test skala kecemasan; 2) Overt behavioraldengan melakukan observasi

terhadap individu, dapat terlihat dari ekspresi seperti gemetar, pucat,

menggigit-gigit kuku dan sebagainya; 3) PhysiologicalMenggunakan

alat-alat pengukur tertentu, seperti pengukuran denyut jantung, pernafasan,

keluarnya keringat, aktivitas kelenjar adrenalin dan lain-lain (Davison,

dalam Adi, 1985).

Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur kecemasan itu

sendiri ada beberapa macam, yaitu:

a. MMPI

Dikembangkaan di tahun 1937 oleh Starke Hathaway, seorang ahli

psikologi dan J. Charnley Mckinley, seorang dokter psikiatri.Minnesota

Multiphasic Personality Inventory adalah inventarisasi yang dilaporkan

oleh pasien sendiri (Self-report) terdiri atas 500 lebih pernyataan dan 17

skala, seperti: A = kecemasan (anxiety), R = Represi (repression), ES =

Kekuatan ego (ego strength), dan lain-lain. Kelemahannya: cenderung

menekankan psikopatologi berat (Kaplan, dkk., 1997).

b. TMAS

Alat ini merupakan alat pengukur kecemasan yang pertama kali,

diciptakan tahun 1950 oleh Janet Taylor, tes ini disebut TMAS {Taylor

Manifest Anxiety Scale).Taylor mula-mula menggunakan TMAS untuk

mengungkap: 1) Variasi tingkat dorongan (drive) yang dimiliki

seseorang, yang berhubungan dengan internal anxiety atau emosionality;

(20)

keluar atau yang dimanifestasikan melalui gejala-gejala reaksi kecemasan

(Subandi, 1995).

Komponen yang mendasari terdiri dari:

1) self of confidence, lack of confidence, constant

worrying(kesadaran diri, kurang percaya diri, dan kecemasan

menetap).

2) Fear of blushing, cold hand, sweating (tersipu-sipu, tangan dingin

dan berkeringat).

3) Lostofsleep, worry (gangguan tidur dan cemas).

4) Restlessness, motor tension, heart pounding, out of breath

(gelisah,tekanan terhadap alat gerak, jantung berdebar dan

kehabisan nafas). (Adi, 1985).

c. HRS-A

Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), merupakan pengukuran

kecemasan yang didasarkan pada munculnya sympton pada individu yang

mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 symptons yang

nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang

diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan

4 (severe). Menurut Hawari (2004) gejala-gejala yang lebih spesfik

adalah sebagai berikut:

Perasaan cemas; Ketegangan ; Ketakutan; Gangguan tidur; Gangguan

kecerdasan; Perasaan depresi (murung); Gejala somatik/fisik (otot);

Gejala somatik/fisik (sensorik); Gejala kardiovaskuler (jantung dan

pembuluh darah); Gejala respiratori (pernafasan); Gejala gastrointestinal

(pencernaan); Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin); Gejala

autonom; Tingkah laku/sikap.

2. Penatalaksanaan Kecemasan

Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan ansietas pada tahap

(21)

holistik, yaitu mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik,

psikososial dan psikoreligius. Adapun uraiannya sebagai berikut:

a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :Makan

makan yang bergizi dan seimbang; Tidur yang cukup; Cukup

olahraga; Tidak merokok; Tidak meminum minuman keras.

b. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain:

1) Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan

dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa

dan diberi keyakinan serta percaya diri.

2) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi

bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.

3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki

kembali (re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami

goncangan akibat stressor.

4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien,

yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan

daya ingat.

5) Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan

proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa

seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga

mengalami kecemasan.

6) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan,

agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor

keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.

c. Farmakoterapi

Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan

memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan

neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak

(22)

anti cemas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam,

lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam.

d. Terapi Psikoreligius

Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya

dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem

kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

C. Konsep Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas 1. Sejarah Teori Konseling Krisis

Sebagaimana dikemukakan oleh Sandoval (2002) pelopor awal mula

munculnya intervensi krisis adalah sebuah studi tentang pasca bencana

kebakaran yang terjadi disebuah klub malam “Coconut Grove” di boston

pada akhir tahun 1930-an. Pasca kejadian tersebut Lindeman membuka

sebuah lembaga kesehatan mental di Wellesley- Massachusetts, dan mulai

membentuk dasar dari ide-idenya tentang krisis dan intervensi krisis yang

menghubungkan pengamatan transisi sosial dan reaksi terhadap peristiwa

traumatis. Sedangkan pelopor awal kedua adala Erikson (1962) yang

memberikan kontribusi terhadap teori intervensi krisis dengan

dipublikasikannya buku Childhood and Society pada tahun 1950. Gagasan

Erikson berkisar tentang spesifik karakteristik krisis untuk masing-masing

tahap perkembangan hidup individual.

Pelopor awal ketiga adalah Gerald Caplan yang memformulasi tentang

pencegahan primer gangguan emosi dan konsultasi kesehatan mental.

Gagasan ini merupakan bidang yang baru bagi psikiatri pencegahan

(Caplan, 1961, 1964). Data Caplan berasal dari kerjasama dengan Peace

Corps, seorang sukarelawan yang menangani reaksi orang tua terhadap

kelahiran prematur anaknya, serta dengan keluarga penderita tuberkulosis

(serta orang lain yang terkait dengan Harvard School of Public Health).

Adopsi ide dari kesehatan masyarakat dan penerapan mereka untuk

(23)

menyebabkan berkembangnya pusat-pusat intervensi krisis di seluruh

negeri.

Karya Caplan datang pada saat ada dorongan besar dari pemerintah

federal untuk lembaga kesehatan mental masyarakat, dikarenakan terjadi

kerusuhan sosial yang besar di negara tersebut. Tahun 1960-an banyak dari

remaja dan dewasa muda membawa dan menggunakan obat-obatan

psikoaktif secara illegal. Disamping itu banyak terjadi penyalahgunaan

narkoba sehingga dibentuklah lembaga konseling krisis di kampus-kampus,

untuk menangani masalah pemuda, terutama overdosis obat (Beers &

Foreman, 1976). Selama itu, penggunaan program telepon sebagai bagian

dari intervensi krisis juga menjadi lebih luas, hal itu dimaksudkan sebagai

layanan pencegahan bunuh diri yang semakin meresahkan (Golan, 1978).

Selama tahun 1980-an dan 1990-an fokus kajian bergeser ke bentuk yang

lebih ekstrim dari intervensi krisis. Dalam revisi berikutnya American

Psychiatric Association's Diagnostic dan Statistik Manual, konsep

gangguan stres pasca trauma (PTSD) datang untuk disempurnakan dan

diidentifikasi pada anak-anak dan remaja (Saigh & Bremner, 1999).

Meskipun teori krisis telah memiliki sejarah yang relatif singkat, namun

berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan klinis di lapangan. Ide-ide dari

konseling krisis ini telah banyak diterapkan oleh pekerja kesehatan mental,

psikolog sekolah serta konselor sekolah (Brock, Sandoval, & Lewis, 2001).

2. Definisi Konseling Krisis dan Konseling Realitas

Pengertian istilah krisis adalah “persepsi atau pengalaman akan suatu

peristiwa atau situasi sebagai kesulitan yang tidak dapat ditoleransi, yang

melebihi sumber daya dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya pada

saat itu” (James, 2008, p.3). Menurut Gladding (2012) konseling krisis

adalah penggunaan beragam pendekatan langsung dan berorientasi pada

tindakan, untuk membantu individu menemukan sumber daya di dalam

(24)

Konseling realita (reality counseling atau reality therapy) dikembangkan

oleh William Glasser pada tahun 1960-an sebagai reaksi penolakan terhadap

konsep-konsep dalam konseling psikoanalisa. Glasser memandang

Psikoanalisa sebagai suatu model perlakuan yang kurang memuaskan,

kurang efektif,dan oleh karena itu ia termotivasi untuk memodifikasi

konsep-konsep psikoanalisa dan mengembangkan pemikirannya sendiri

berdasarkan pengalaman hidup dan pengalaman klinisnya (Palmer 2010,

hlm. 525).Glasser (1998, 2001, 2005) dan Wubbolding (2008)

mengidentifikasi lima kebutuhan manusia yang penting meliputi

kelangsungan hidup, cinta dan memiliki, kekuatan, kebebasan, dan perasaan

nyaman.

Corey (2007) memandang bahwa Reality

therapypadadasarnyatidakmengatakanbahwaperilakuindividuitusebagaiperil

aku yang abnormal.

Konsepperilakumenurutkonselingrealitaslebihdihubungkandenganberperilak

u yang tepatatauberperilaku yang tidaktepat.MenurutGlasser,

bentukdariperilaku yang

tidaktepattersebutdisebabkankarenaketidakmampuannyadalammemuaskank

ebutuhannya, akibatnyakehilangan ”sentuhan” denganrealitasobjektif,

diatidakdapatmelihatsesuatusesuaidenganrealitasnya,tidakdapatmelakukanat

asdasarkebenaran, tanggungjawabdanrealitas.

Wubbolding (1988, 2000, 2010) menjelaskan Praktek terapi realitas

terdiri dari dua komponen utama: (1) lingkungan konseling (2) prosedur

spesifik yang menyebabkan perubahan dalam perilaku.Dua elemen sebagai

“siklus konseling”. Siklus menggambarkan bahwa ada urutan keseluruhan

untuk menerjemahkan teori terapi realitas kedalam praktek.

3. Karakteristik Konseling Krisis

Konseling krisis berkisar pada memberikan bantuan segera dan dalam

(25)

akan berubah menjadi suatu kondisi yang kronis dan bersifat jangka panjang

atau tidak” (James, 2008, p.5).

Melihat dari karakteristik konseling krisis diatas, serta pemberian

treatment atau intervensi terhadap konseli korban kekerasan seksual yang

bersifat segera. Maka konseling krisis ini sangat cocok diterapkan untuk

korban/ konseli yang mengalamai peristiwa traumatik dan butuh untuk

segera ditangani. Dalam penanganannya, konselor tentunya harus tergabung

dalam sebuah tim, yang terdiri dari tenaga profesional.

4. Tujuan dan Fokus Konseling Krisis

Tujuan konseling krisis berkisar pada memberikan bantuan segera dan

dalam berbagai bentuk kepada orang yang membutuhkan “apa yang terjadi

selama krisis menentukan apakah krisis akan menjadi suatu wadah penyakit

yang akan berubah menjadi suatu kondisi yang kronis dan bersifat jangka

panjang atau tidak” (James, 2008, p.5).

Konselor yang bekerja pada kondisi krisis harus merupakan individu

yang matang kepribadiannya, serta mempunyai banyak pengalaman

kehidupan yang telah dia hadapi dengan sukses. Dia juga mempunyai

keahlian dasar untuk memberi bantuan, berenergi tinggi, mempunyai refleks

mental yang cepat, tetapi juga seimbang, kalem, kreatif dan fleksibel dalam

menghadpi situasi yang sulit. Konselor sering kali terarah dan aktif dalam

situasi krisis. Perannya cukup berbeda dari konseling biasa (Gladding, 2012,

hlm. 284).

5. Proses dan Teknik Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas

Gladding (2012) menjelaskan bahwa Teknik yang digunakan dalam

konseling krisis sangat beragam sesuai tipe krisis dan akibat yang

ditimbulkannya. Bagaimanapun juga menurut James (2008), apa yang

dilakukan seorang pekerja krisis dan kapan dia melakukannya bergantung

(26)

secara kontinu dan mengalir. Setelah menilai, ada tiga aktivitas

mendengarkan yang esensial yang harus diterapkan:

a. Mendefinisikan Masalah. Mengeksplorasi dan mendefinisikan

masalah dari sudut pandang kliean. Menggunakan teknik

mendengarkan dengan aktif, termasuk pertanyaan terbuka.

Memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan konseli secara verbal

maupun non verbal.

b. Memastikan Keselamatan Konseli. Menilai tingkat bahaya, kritis,

imobiIlitas, dan keseriusan ancaman terhadap keselamatan fisik dan

psikologis konseli. Menilai peristiwa internal dan situasi disekeliling

konseli dan jika perlu memastikan bahwa konseli menyadari

alternatif lain selain tindakan impulsif yang dapat menghancurkan

diri sendiri.

c. Menyediakan Dukungan. Berkomunikasi dengan konseli bahwa

pekerja krisis adalah sosok pendukung yang tepat. Peragakan kepada

konseli (dengan kata-kata, suara, dan bahasa tubuh) keterlibatan

personal yang penuh kasih sayang, positif, non-posesif, tidak

menghakimi dan menerima.

Selanjutnya Gladding (2012, hlm. 290) juga menjelaskan bahwa Setelah,

dan kadang-kadang selama pertengahan mendengarkan digunakan strategi

bertindak yang melibatkan:

a. Memeriksa Alternatif Lain. Membantu konseli dalam

mengeksplorasi pilihan-pilihan yang dia punyai saat ini.

Memfasilitasi pencarian dukungan situasional yang mendesak,

mekanisme bertahan, dan pikiran yang positif.

b. Membuat Rencana. Membantu konseli dalam mengembangkan

rencana jangka panjang yang realistis yang mengidentifikasi sumber

daya tambahan dan menyediakan mekanisme bertahan, mngambil

(27)

c. Mendapat Komitmen. Membantu konseli berkomitmen terhadap

dirinya sendiri untuk menentukan tindakan yang positif yang dapat

dimiliki dan dicapai atau diteruma oleh konseli secara realistis.

Dalam terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal.

Prosedur-prosedur difokuskan kepada kekuatan-kekuatan dan

potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah laku sekarang dan usahanya

untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk

menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa

teknik sebagai berikut:Terlibat dalam permainan peran dengan klien;

Menggunakan humor; Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun;

Membantu klien dalam merumuskan rencan-rencana yang sepesifik bagi

tindakannya; Bertindak sebagai model dan guru; Memasang batas-batas dan

menyusun sistem terapi; Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau

sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah

lakunya yang tidak realitas; Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya

mencari kehidupan yang efektif.

Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah teknik yang secara umum

diterima oleh pendekatan-pendekatan terapi lainnya. para psikiater yang

mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan obat-obatan dan

medikasi-medikasi konservatif, sebab medikasi cenderung menyingkirkan

tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pemraktek terapi realitas tidak

menghabiskan waktunya untuk bertindak sebagai “detektif” mencari alasan

-alasan, terapi berusaha membangun kerjasama dengan para klien untuk

membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya (Corey 2007, hlm.

277-278).

Wubbolding (2000, 2008, 2009, 2010, 2011) menggunakan

akronim-WDEPuntuk menggambarkan prosedur utama yang dapat diterapkan dalam

praktek kelompok terapi realitas. Didasarkan pada teori pilihan, sistem

WDEP membantu orang dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Masing-masing huruf mengacu pada sekelompok strategi yang dirancang

(28)

E = Evaluation; dan P = Planning. Kerangka WDEP melibatkan

pendekatan kolaboratif di mana terapis dan klien bergabung bersama dalam

menentukan tujuan dan rencana aksi (Wubbolding & Brickell, 2005).

Want (W)konselor realitas membantu klien dalam menemukan

keinginan, kebutuhan, persepsi, harapan, dan impian. Mereka bertanya,

"Apa yang kau inginkan?" Melalui interogasi terampil terapis/ konselor,

klien didorong untuk mengenali, mendefinisikan, dan kembali mencari

bagaimana mereka ingin memenuhi kebutuhan mereka.

Doing and Direction (D) Setelah konseli/ klien mengetahui apa yang

mereka (ingin) dan butuhkan, mereka diminta untuk melihat perilaku

mereka saat ini untuk menentukan apakah apa yang akan mereka lakukan

untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.Wubbolding (1991)

mengemukakan bahwa, tahapan ini membutuhkan kesadaran yang tinggi

dan self-insight adalah langkah kunci menuju membuat perubahan.

Evaluation (E)dalam tahapan ini konselormembantu konseli dalam

mengeksplorasi perilaku total.Konseli/ klien tidak akan mengubah perilaku

mereka atau membuat pilihan yang lebih baik sampai mereka mengevaluasi

perilaku mereka sendiri dan membuat penentuan bahwa program / tindakan

mereka saat ini tidak membantu (Wubboling, 2011). Evaluasi-diri

merupakan hal terpenting dalam prosedur terapi realitas. Setelah anggota

kelompok membuat evaluasi tentang kualitas perilaku mereka, mereka dapat

menentukan hal apa yang mungkin berkontribusi terhadap kegagalan

mereka dan perubahan apa yang dapat meningkatkan keberhasilan mereka.

Planning (P) Setelah seseorang telah membuat evaluasi tentang

perilakunya dan memutuskan untuk mengubahnya, konselor kelompok

berada dalam posisi untuk membantu anggota dalam mengembangkan

rencana untuk perubahan perilaku. Rencana terbaik pertama adalah rencana

yang diinisiatifkan oleh individu/ konseli. Rencana terbaik kedua adalah

salah satu yang diprakarsai oleh konselor dan konseli. Dan rencana terbaik

(29)

2009). Setelah konseli menyebutkan perencanaan mereka dengan jelas,

konseor dan konseli membuat sebuah komitmen dengan jelas.

Kedudukan dari konseling realitas disini adalah sebagai sebuah

intervensi yang diberikan oleh konselor terhadap anak korban kekerasan

seksual, dengan pendekatan strategi konseling krisis. Sebagai sebuah

strategi, dalam aplikasinya konseling krisis memiliki kekuatan dan

keterbatasan. Kekuatan dan kontribusinya adalah:

a. Pendekatan ini memberikan keuntungan karena singkat dan

langsung.

b. Pendekatan ini menggunakan tujuan dan maksud yang sederhana

karena sifat krisis yang tiba-tiba dan atau traumatis.

c. Pendekatan ini bergantung pada intensitas, yang lebih besar daripada

bentuk konseling biasa.

d. Pendekatan ini sifatnya transisional

Adapun keterbatasan dalam konseling krisis adalah:

a. Pendekatan ini berhadapan dengan situasi yang harus ditangani

dengan cepat.

b. Pendekatan ini tidak memberi resolusi sedalam seperti yang

dilakukan pendekatan konseling lainnya.

c. Pendekatan ini lebih terbatas waktu dan berorientasi pada trauma

dibanding kebanyakan bentuk intervensi terapi lainnya (Gladding,

2012, hlm. 290-292).

6. Penerapan Konseling Krisis terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual

Penatalaksanaan kasus anak korban kekerasan merupakan pengelolaan

multidisiplin, melibatkan kerjasama dari lembaga pelayanan kesehatan,

lembaga perlindungan anak, lembaga bantuan hukum, aparat penegak

hukum dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang bergerak dalam

perlindungan anak. dengan demikian penatalaksanaan anak korban

(30)

medis merupakan salah satu bagian dari alur penatalaksanan paripurna

terhadap anak korbak kekerasan seksual (IDI 2013, hlm. 56). Karena

melibatkan banyak unsur pihak, maka intervensi konseling krisis ini dirasa

lebih sesuai dalam penanganan terhadap anak korban kekerasan seksual.

Secara ideal, dalam membantu konseli yang mengalami krisis, konselor

diharapkan bekerja sama dengan pekerja sosial, dokter, psikolog, advokat

atau administrator untuk membangun sebuah tim manajemen krisis yang

efektif. Program ini diawali dengan mengidentifikasi krisis yang terjadi dan

kebutuhan untuk mengevaluasi dampak krisis traumatis pada konseli.

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari konseling realitas

tampaknya adalah jangka waktu terapinya yang relatif pendek dan berurusan

dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Konseli dihadapkan pada

keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat

pertimbangan nilai (Corey 2007, hlm. 281).

Penerapan konseling realitas sangat cocok bagi intervensi-intervensi

singkat dalam situasi-situasi konseling krisis dan bagi penanganan remaja

dan orang-orang dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku

kriminal. Secara realistis, penggunaan psikoterapi jangka panjang yang

mengeksplorasi dinamika-dinamika tak sadar dan masa lampau seseorang

pada situasi-situasi dan tipe orang-orang tersebut diatas sangat terbatas.

Glasser mengembangkan pendekatannya karena keyakinannya bahwa

prosedur-prosedur psikoanalitik tidak berhasil bagi populasi itu.

D. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Berkenaan dengan penelitian terhadap anak korban kekerasan seksual serta

penanganannya, (Gibson& Mitchell, 2011, hlm. 264) menyatakan bahwa

penanganan terhadap korban/ anak korban kekerasan jauh lebih utama seperti

hotline krisis dan pusat-pusat krisis serta program bantuan khusus untuk korban

perkosaan dan rehabilitasinya.

(31)

Wilmoth, menguraikansembilanlangkahuntukintervensikrisis yang efektif

menurutTexas Association Against Sexual Assa ult (TAASA) yakni meliputi:

MembangunHubungan; Mendengarkanaktif; TentukanMasalah; MenilaiSituasi;

JelajahiPilihan; DiskusikanAlternatifDiterima; Penyerahan; Penutupan; dan

Tindakanlanjutan.

Ellsworth (2007) mengembangkan tentang penggunaan konseling realitas

terhadap anak korban kekerasan seksual. Dalam penelitiannya, Ellasworth

memilih menyembuhkan kliennya dengan terapi realitas, hal ini didasarkan pada

prinsip-prinsip universal. Selain itu konseling realitas telah dipraktekkan di

banyak budaya dan negara. Dalam konseling realitas menyatakan, bahwa semua

manusia memiliki lima kebutuhan dasar: kebutuhan untuk bertahan hidup,

kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan untuk kekuasaan,

kebebasan, dan menyenangkan.

Terkait penanganan terhadap anak korban kekerasan (Huwaidah, 2011)

menggunakan metode direktif (seperti menggambar, bercerita, curhat dan tanya

jawab) sebagai salah satu teknik pemberian konseling . Sedangkan Masumah

(2009) yang memberikan layanan konseling pada anak jalanan perempuan korban

pelecehan seksual dengan pelaksanaan konseling individual dan kelompok. Dari

kedua penelitian terdahulu, diperoleh gambaran bahwa masih belum

ditemukannya sebuah program/ pendekatan konseling yang secara efektif dan

efesian dalam menangani anak korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Sementara itu Harris, Putnam, Fairbank (2000) meneliti tentang dampak

dari anak korban kekerasan yang mengalami trauma pada masa kecilnya.

Berdasarkan dari penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa efek dari trauma

pada masa kecil bisa meluas dalam berbagai bidang seperti kesiapan dalam

menerima pelajaran di sekolah, meningkatkan pada penyalahgunaan zat adiktif,

dan yang lebih bahaya lagi menyebabkan gangguan mental. Dari penelitian

tersebut diperoleh kesimpulan bahwa, identifikasi cepat dan intervensi dini pada

anak-anak akan mengurangi dampak besar dari trauma bagi anak-anak korban

(32)

E. Asumsi Penelitian

Beberapa asumsi yang melandasi program konseling krisis dengan

intervensi konseling realitas untuk mengurangi kecemasan pada anak korban

kekerasan seksual antara lain:

a. Pengalaman tentang tindak kekerasan seksual pada anak memunculkan

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan, dapat berupa resiko kesulitan

penyesuaian diri, bersosialisasi, depresi dan merasa terisolir, tidak

diterima, kehilangan keinginan untuk bermain bersama teman sebaya,

ketidaknyamanan dalam kelompok sebaya (Brendgen, Mara. dkk. 2007).

Secara umum, akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual pada diri

anak dibagi dua macam, yaitu: 1) akibat jangka pendek: yaitu dampak

yang muncul pada saat anak mengalami kekerasan, seperti: ketakutan

yang berlebihan, cemas, menarik diri dari pergaulan, tekanan batin, stres,

dan frustrasi. 2) akibat jangka panjang: Kondisi yang muncul dalam

jangka waktu yang lama atau bahkan akan selama hidupnya, seperti:

trauma, paranoid (terlalu curiga), anti sosial, hilangnya kepercayaan diri,

depresi, cacat fisik, bunuh diri (Aldridge & Renitta Goldman, 2002).

b. Konseling krisis adalah penggunaan beragam pendekatan langsung dan

berorientasi pada tindakan, untuk membantu individu menemukan

sumber daya di dalam dirinya dan atau menghadapi krisis secara

eksternal. Terdapat 6 model langkah dalam interveni konseling krisis, hal

ini meliputi: mendefinisikan masalah; memastikan keselamatan konseli;

meyediaka dukungan; memeriksa alternatif lain; membuat rencana; dan

mendapat komitmen. Adapun pelaksanaan teknik ini yang cukup singkat

berkisar 15 menit sampai 2 jam dan hanya 1 hingga 3 sesi(Gladding,

2012: 291).

c. Glesser dalam Corey (2007) menjelaskan bahwa fokus konseling realitas

adalah pada apa yang disadari oleh konseli dan kemudian menolong

konseli menaikkan tingkat kesadarannya itu. Setelah konseli menjadi

(33)

alternatif lain dari cara berperilaku. Konseling realita memandang bahwa

kesulitan atau problema perilaku manusia berakar pada pengalaman pada

masa kanak-kanak. Untuk dapat berkembang dengan sehat anak perlu

berada ditengah-tengah orang dewasa yang dapat memberinya kasih

sayang secara penuh. Kasih sayang yang memungkinkan anak untuk

memeperoleh kebebasan kemampuan, dan kesenangan dalam cara-cara

yang bertanggung jawab. Konseling realitas memandang manusia pada

dasarnya dapat mengarahkan dirinya sendiri (self-determining).

F. Hipotesis Penelitian

Dalam upaya menjawab pertanyaan penelitian, maka rumusan hipotesis

penelitian ini adalah “Konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas berpengaruh dalam menurunkankecemasan anak korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur”.

G. Posisi Peneliti

Berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu terhadap anak korban

kekerasan, maka diperoleh beberapa kesimpulan: (1) Masih sedikitnya penelitian

tentang strategi/ pola penanganan terhadap anak korban kekerasan seksual; (2) Di

Indonesia sendiri penelitian tentang strategi penanganan/ intervensi pada anak

korban kekerasan masih sangat sedikit, sehingga diperlukannya penelitian lanjut

untuk efektivitas pemberian konseling yang sesuai dengan nilai-nilai budaya

Indonesia; (3) Angka tindak kekerasan seksual pada anak lambat laun semakin

mengalami peningkatan, maka diperlukannya upaya penanganan yang cepat dan

tepat. Untuk itu, posisi peneliti disini dianggap penting. Sebab dalam penelitian

ini peneliti berusaha mendapatkan formulasi teknik konseling yang sesuai dengan

kondisi anak korban kekerasan seksual dalam konteks Indonesia.

Urgensi penelitian ini, selain untuk melengkapi hasil penelitian yang telah

dilakukan para peneliti sebelumnya.

Penelitianinidiharapkandapatdijadikansebagaisalahsatuteknikpendekatan yang

Gambar

Tabel 2. 4  Respon dari Panik

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan program konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya menurunkan Kecemasan anak korban kekerasan

2 Tahun 2011 Di Kabupaten Bantul Dalam Proses Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak ……… ...32. Kekerasan Seksual Terhadap

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Adapun tujuan dari sesi 8 adalah: Bersama-sama mengakhiri sesi intervensi yang telah disepakati; Mengetahui kondisi konseli setelah menerima intervensi konseling realitas untuk

Model konseling kelompok berdasarkan pendekatan kognitif-perilaku untuk membantu remaja dalam menangani krisis identitas dan dampaknya pada penurunan tingkat problem

Dari uraian penanganan perempuan korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu Kota Semarang, penulis dapat menyimpulkan bahwa Pusat Pelayanan Terpadu

Dalam menggunakan konseling singkat berfokus solusi, konselor dan praktisi perlu terlebih dahulu berlatih menggunakan pertanyaan-pertanyaan khas dari setiap teknik

1 STRATEGI PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PENDAMPINGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Montisa Mariana, dan Irma Maulida* Universitas