TESIS
DiajukanuntukMemenuhiSebagiandariSyaratMemperolehGelarMagisterI lmuPendidikandalamBidangBimbingan dan Konseling
Oleh:
Amriana NIM 1201629
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
(QS. Al- Kahfi: 109)
Without Rain,
There Would Be No Rainbows...
Kupersembahkan karya ini
Ke hadapan orang tua tercinta (ibu serta alm bapak) yang selalu mendoakan setiap langkah dan aktivitas Penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, keberkahan
Disetujui dan disahkan oleh:
Pembimbing I
Prof. Dr. Cece Rakhmat, M.Pd NIP. 195204221976031004
Pembimbing II
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd NIP. 196005011986031004
Mengetahui,
Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling
KEKERASAN SEKSUAL
(Penelitian Single Subject terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur)
Disetujui dan disahkan oleh:
Pembimbing I
Prof. Dr. Cece Rakhmat, M.Pd NIP. 195204221976031004
Pembimbing II
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd NIP. 196005011986031004
Penguji I
Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd NIP. 195206201980021001
Penguji II
Dr. Tina Hayati Dahlan, S.Psi., M. Pd., Psikolog NIP. 197204192009122002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitasuntuk Menurunkan Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual (Penelitian Single Subject terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur)”ini beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan
atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tesebut, saya siap
menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian di
kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam
karya saya ini atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, September 2014
Yang membuat pernyataan,
Amriana
AMRIANA 1201629, “Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Menurunkan Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual (Penelitian Single Subject terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur)”
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari melonjaknya angka kasus kekerasan terhadap anak, terlebih pada tindak kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terhadap anak memicu adanya peningkatan ekses-ekses negatif pada diri anak, sekaligus perilaku destruktif yang dilakukan oleh pelaku. Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan tersebut dapat berupa resiko kecemasan, kesulitan penyesuaian diri, bersosialisasi, merasa terisolir, tidak diterima, kehilangan keinginan untuk bermain bersama teman sebaya, serta ketidaknyamanan dalam kelompok sebaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan program konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya menurunkan Kecemasan anak korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur.Penelitian ini menggunakan desain single subject A-B-A, penelitian dilakukan di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur tahun 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah 3 orang anak dengan rentang usia (13-18 tahun) yang mengalami tindak kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket Taylor’s Manifest Anxiety Scale (TMAS), observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang kecemasan yang dialami konseli dalam jangka waktu tertentu, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah inspeksi visual, yaitu analisis dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap data yang telah ditampilkan dalam bentuk grafik. Hasil penelitian, diperoleh temuan di lapangan bahwa subyek FO diindikasi menunjukkan kecemasan bukan disebabkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya. Adapun hasil pengukuran, diperoleh hasil Subyek HS mengalami level perubahan sebesar 12%, sedangkan subyek LB sebesar 12%. Berdasarkan kondisi baseline 1 (A-1), Treatment (B), Baseline 2 (A-2), maka diperoleh data estimasi kecenderungan arah dan jejak data yang cenderung (+)/ membaik. Penelitian ini merekomendasikan bagi guru Bimbingan dan konseling, konselor, orang tua, peneliti selanjutnya hendaknya dapat menerapkan konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya menurunkan kecemasan anak korban kekerasan seksual.
AMRIANA 1201629, "Counseling Crisis With Reality Counseling Approach To Reduce Anxiety In Children Victims of Sexual Violence (Study of Single Subject With Victims of Sexual Violence Against Children In Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) East Java)"
ABSTRACT
This study come up the soaring number of cases of child abuse, especially on sexual violence. Cases of child sexual abuse triggers increase negative excess in children, destructive behavior whose doing with doer at the same time. The negative of excesses can be risk of anxiety, adjustment difficulties, socializing, feeling isolated, not accepted, lose the desire to play with peers, as well as discomforting peer group. The purpose of this study is to improve of counseling program with crisis counseling approach reality attempt to reduce anxiety of children victims sexual violence in Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) of East Java Province. This study used a single subject ABA design, its conducted at Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) of East Java2014 takes sample in this study were 3 children with an age range (13-18 years) whose experienced sexual violence. Data was collected by questionnaire Taylor's Manifest Anxiety Scale (TMAS), observation, interview and documentation. To obtain describing of the anxiety experienced by the counselee in a certain period, then the method of analysis used in this research is a visual inspect, the analysis was done by direct observation of the data that has been displayed in graphical form. The results of the study, the findings obtained in the field indicated that the FO subjects showed anxiety is not caused by sexual violence that happened. The results of the measurements, the results obtained HS subjects experienced a change in the level of 12%, while the subject of LB by 12%.Under baseline conditions 1 (A-1), Treatment (B), Baseline2 (A-2), then the estimate of the data obtained and the tendency toward a trail of data that tend to (+)/ improved. The study recommends the provision of guidance and counseling teachers, counselors, parents, researchers should be able to implement further with crisis counseling approach reality to attempt of reduce anxiety in children victims of sexual violence.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan keharibaan Nabi besar
Muhammad SAW. teladan terbaik sepanjang masa.
Tesis ini berjudul “Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Menurunkan Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual (Penelitian Single Subject terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur)” Tesis ini diajukan sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar magister Pendidikan pada jurusan
Bimbingan dan KonselingFakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
Indonesia.
Tesis ini terdiri atas lima bab, yang meliputi pendahuluan, kajian teori,
metode penelitian, analisis data dan kesimpulan. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini, merupakan hasil dari perkembangan khazanah keilmuan
bimbingan dan konseling itu sendiri. Oleh karena itu Penulis menyadari tesis ini
masih belum sempurna, penulis mengharapkan berbagai kritikan dan saran yang
membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita
semua.
Bandung, September 2014
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, arahan, petunjuk dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Cece Rakhmat, M. Pd. dan Bapak Dr. Nandang Rusmana, M.Pd.
sebagai pembimbing I dan pembimbing 2 yang telah meluangkan tenaga,
pikiran, dan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam penyelesaian tesis.
2. Bapak Dr. Nandang Rusmana, M.Pdsebagai ketua program studi
Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan bimbingan, arahan dan
petunjuk selama perkuliahan.
3. SegenapdosenjurusanBimbingandanKonseling,
sertaseluruhstafakademiksekolahpascasarjanaUniversitasPendidikan
Indonesia yang telah banyak membantu kelancaran penulis selama
perkuliahan.
4. Kedua orang tua tercinta(Bpk. Mahrus Widodo dan Ibu Nafi’aroh), mbak
ku terkasih (Hanie) dan keponakan tersayang (Renanda) yang selalu memberikan kasih sayang dan do’anya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Pihak PPT Jawa Timur (Bu Lucky A, SH, Mbak Nina Nuriyah, M. Si, dan
Mbak Mia, M. Psi), yang telah bersedia membantu dan membimbing
pelaksanaan penelitian di lapangan, serta ketiga konseli yang bersedia
menjadi subyek dalam penelitian ini.
6. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa kelas C Pascasarjana Pendidikan
Bimbingan dan Konseling angkatan 2012 yang saling memberikan
motivasi dan semangatnya.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih
penulis.
Semoga Allah SWTmelimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua
Bandung, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR GRAFIK ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II KONSELING KRISIS DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL A. KonsepDasarKecemasan ... 12
1. Prespektif Teoretis Kecemasan ... 12
2. Gejala Kecemasan ... 15
3. Reaksi Terhadap Kecemasan... 16
5. Tingkat Kecemasan... 21
6. Dampak Kecemasan dan Tindak Kekerasan terhadap Tumbuh Kembang Anak ... 24
B. Teknik Penanganan Kecemasan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual ... 29
1. Pengukuran kecemasan ... 29
2. Penatalaksanaan Kecemasan ... 30
C. KonsepKonselingKrisisdenganPendekatanKonselin gRealitas ... 32
1. Sejarah Teori Konseling Krisis ... 32
2. Definisi Konseling Krisis dan Konseling Realitas ... 33
3. Karakteristik Konseling Krisis ... 34
4. Tujuan dan Fokus Konseling Krisis ... 35
5. Proses dan Teknik Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas ... 35
6. Penerapan Konseling Krisis terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual ... 39
D. Hasil-HasilPenelitianTerdahulu ... 40
E. AsumsiPenelitian... 41
F. HipotesisPenelitian ... 43
G. PosisiPeneliti ... 43
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ... 45
B. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 46
1. Lokasi Penelitian ... 46
2. Subyek Penelitian ... 48
C. Definisi Operasional Variabel... 49
D. Instrumen Penelitian ... 50
1. Jenis Instrumen ... 50
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 54
F. Teknik Analisis Data ... 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 70
1. Kondisi AwalKecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual ... 70
2. Deskripsi Pelaksanaaan Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas ... 78
3. Pengaruh Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Mengurangi Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual... 85
B. Pembahasan ... 97
1. Kondisi Awal Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual ... 97
2. Deskripsi Pelaksanaaan Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas ... 101
3. Pengaruh Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Mengurangi Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 108
B. Rekomendasi ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : RespondariKecemasanRingan ... 23
Tabel 2.2 : RespondariKecemasanSedang ... 23
Tabel 2.3 : RespondariKecemasanBerat ... 24
Tabel 2.4 : Respon dari Panik ... 25
Tabel 3.1 : Tabel Nilai Koefisien Reliabilitas ... 54
Tabel 3.2 : Matriks Rancangan Program Konseling Krisis dengan Pendekatan Konseling Realitas Untuk Menurunkan Kecemasan Anak Koban Kekerasan Seksual ... 61
Tabel 4.1 : GambaranIndikatorKecemasan yang DitunjukkanKonseli 1 (HS) ... 73
Tabel 4.2 : GambaranIndikatorKecemasan yang DitunjukkanKonseli2 (FO) ... 75
Tabel 4.3 : GambaranIndikatorKecemasan yang DitunjukkanKonseli3 (LB) ... 77
Tabel 4.4 : Data Panjang Konseli ... 86
Tabel 4.5 : Data Estimasi Secara Umum Kecenderungan Arah Ketiga Subjek ... 88
Tabel 4.6 : Data Estimasi Kecenderungan Jejak (HS) ... 89
Tabel 4.7 : Data Estimasi Kecenderungan Jejak (FO) ... 89
Tabel 4.8 : Data Estimasi Kecenderungan Jejak (LB) ... 89
Tabel 4.9 : Level dan Stabilitas (HS) ... 90
Tabel 4.10 : Level dan Stabilitas (FO) ... 90
Tabel 4.11 : Level dan Stabilitas (LB) ... 90
Tabel 4.12 : Data Level Perubahan (HS) ... 90
Tabel 4.13 : Data Level Perubahan (FO) ... 90
Tabel 4.14 : Data Level Perubahan (LB) ... 91
Tabel 4.15 : Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi (HS) ... 91
Tabel 4.17 : Hasil Analisis Visual Dalam Kondisi (LB) ... 92
Tabel 4.18: Data Jumlah Variabel yang Diubah ... 92
Tabel 4.19: Data Kecenderungan Arah dan Efeknya (HS) ... 93
Tabel 4.20: Data Kecenderungan Arah dan Efeknya (FO) ... 93
Tabel 4.21: Data Kecenderungan Arah dan Efeknya (LB) ... 93
Tabel 4.22: Data Perubahan Kecenderungan Stabilitas (HS) ... 93
Tabel 4.23: Data Perubahan Kecenderungan Stabilitas (FO) ... 94
Tabel 4.24: Data Perubahan Kecenderungan Stabilitas (LB) ... 94
Tabel 4.25: Data Perubahan Level (HS) ... 94
Tabel 4.26: Data Perubahan Level (FO) ... 94
Tabel 4.27: Data Perubahan Level (LB) ... 95
Tabel 4.28: Data Persentase Overlap (HS) ... 95
Tabel 4.29: Data Persentase Overlap (FO) ... 95
Tabel 4.30: Data Persentase Overlap (LB) ... 95
Tabel 4.28: Hasil Analisis Visual AntarKondisi (HS) ... 16
Tabel 4.28: Hasil Analisis Visual AntarKondisi (FO) ... 96
DAFTAR GAMBAR
Bagan 3.1 : AlurPenangananKorban di PusatPelayananTerpadu (PPT)
DAFTAR GRAFIK
Bagan 3.1 : GrafikDesain A-B-A ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Penelitian dan SK Pembimbing
2. Buku Manual Panduan Konseling Krisis
3. Program Konseling Krisis
4. SKLBK
5. Analisis Data Bab IV
6. Catatan Lapangan (Field Note)
7. Lembar Validitas SKALOGRAM
8. Uji Reliabilitas KR 20
Amriana, 2014
AMRIANA 1201629, “Strategi Konseling Krisis Dengan Pendekatan Konseling Realitas Untuk Mengurangi Kecemasan Pada Anak Korban Kekerasan Seksual (Studi Eksperimen Dengan Single Subject Research Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur Tahun 2014)”
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat darimelonjaknya angka kasus kekerasan pada anak, terlebih pada tindak kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak memicu adanya peningkatan ekses-ekses negatif pada diri anak, sekaligus perilaku destruktif yang dilakukan oleh pelaku.Ekses-eksesnegatif yang ditimbulkantersebutdapatberuparesikokecemasan, kesulitanpenyesuaiandiri,
bersosialisasi, merasaterisolir, tidakditerima,
kehilangankeinginanuntukbermainbersamatemansebaya, serta ketidaknyamanandalamkelompoksebaya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengembangkan bentuk strategi konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya mengurangi Kecemasan pada anak korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini adalah penelitian eksperiment dengan desain single subject desain A-B-A, penelitian dilakukan di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur tahun 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah 3 orang anak dengan rentang usia (13-18 tahun) yang mengalami tindak kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket Taylor’s Manifest Anxiety Scale (TMAS), observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang kecemasan yang dialami konseli dalam jangka waktu tertentu, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah inspeksi visual, yaitu analisis dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap data yang telah ditampilkan dalam bentuk grafik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga orang konseli mengalami penurunan kecemasan setelah pemberian intervensi program konseling krisis. Subyek 1, mengalami level perubahan sebesar 12%. Subyek 2, 10%, dan subyek 3 sebesar 12%. Berdasarkan kondisi baseline 1 (A1), Treatment (B), Baseline 2 (A2), maka diperoleh data estimasi kecenderungan arah dan jejak data yang cenderung (+)/ membaik. Penelitian ini merekomendasikan bagi guru Bimbingan dan konseling, konselor, orang tua, peneliti selanjutnya hendaknya dapat menerapkan strategi konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya mengurangi Kecemasan pada anak korban kekerasan seksual.
AMRIANA1201629, "Strategies CounselingCrisisWithRealityCounselingApproachToReduceAnxietyIn
ChildrenVictimsof Sexual Violence(Experimental Study ofSingleSubjectResearchWithVictims ofSexual ViolenceAgainst ChildrenInPusat Pelayanan Terpadu (PPT) East Java2014)"
ABSTRACT
This studydepartsfrom thesoaringnumberof casesof child abuse, especiallyonsexualviolence. Cases ofchild sexual abusetriggersan increase innegative excessin children, as well as destructivebehaviorperformed by theactors. Excesses ofthe negativecan be arisk ofanxiety, adjustmentdifficulties, socializing, feelingisolated, not accepted, losethe desiretoplaywithpeers,as well asdiscomfortin thepeer group. The purposeofthis studyistodevelopforms ofcounselingstrategieswithcrisiscounselingapproachrealityin an attemptto
reduceanxietyin childrenvictims ofsexual violencein
PusatPelayananTerpadu(PPT) of East Java Province.
This research istodesignexperimentsABAsinglesubjectdesign, researchconductedat PusatPelayananTerpadu (PPT) of East Java2014samplesin this study were3 childrenwith an age range(13-18 years) who experiencedsexualviolence. Data was collectedbyquestionnaireTaylor's ManifestAnxietyScale(TMAS), observation, interviewanddocumentation. To obtaina clear pictureof theanxiety experienced bythe counseleein a certain period, then themethodof analysis used inthisresearchisa visualinspection,theanalysiswas done bydirect observation of thedata that has beendisplayedin graphical form
The results ofthis study indicatethat the
threepeoplecounseleeanxietydecreasedafter administration ofcrisisinterventioncounselingprograms. Subjects1,experienced achange inthe levelof 12%. Subject 2, 10%, and3subjectsby 12%.Underbaselineconditions1(A1), Treatment(B), Baseline2(A2), then theestimate ofthe dataobtainedand thetendencytowarda trailof datathat tend to(+) /improved. The study recommendstheprovision of guidance andcounselingteachers, counselors, parents,
researchersshouldbe able
toimplementfurtherstrategieswithcrisiscounselingcounselingapproachrealityin an attemptto reduceanxietyin childrenvictims ofsexual violence.
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti akan menguraikan latar belakang penelitian;
Identifikasi dan rumusan masalah; Tujuan penelitian; Manfaat penelitian; dan
Sistematika penulisan.
A. LatarBelakang
Setiap anak adalah individu yang unik, karena faktor bawaan dan
lingkungan yang berbeda maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan
perkembangannya juga berbeda. Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus
dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik sampai psikologis yang
pada umumnya dipenuhi oleh care giver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau
orang dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak).
Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang murni dan
disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan aman dan puas
sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka. (Feist 2002).
Berdasarkan pada realitas yang ada, tidak sedikit dari orang tua, masyarakat
maupun lingkungan yang seharusnya bertanggung jawab atas pengasuhan dan
kesejahteraan anak terkadang justru berperan sebagai faktor pemicu masalah pada
diri anak. Salah satu fenomenayang kini sering menjadi sorotan publik dan
semakinseringterjadi adalah tindakankekerasanterhadapAnakatau yang
lebihdikenalsebagaiChild abuse. Kekerasan dan penelantaran anak meliputi
perbuatan ataupun penelantaran anak yang mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas. kekerasan dapat bersifat fisik, emosi atau seksual.
Definisi kekerasan atau dalam hal ini perlakuan salah (child
abuse)bervariasi. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan yang cukup kompleks, karena mempunyai dampak negatif yang serius, baik bagi
korban maupun lingkungan sosialnya. Secara umum kekerasan didefinisikan
mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental.Undang–Undang No. 23 Tahun
2003 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 mnyebutkan bahwa “Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
Berdasarkan data dari (ANTARA), Kasuskekerasananakpada 2009
tercatatsebanyak 1.552, kemudianmeningkatmenjadi 2.335 kasuspada 2010 dan
2.508 kasuspada 2011. Kasuskekerasan yang terjadiyaknikekerasanseksual,
fisikdanpsikis.Dari ketigajenisitu,
proporsikekerasanseksualsemakinmeningkatdaritahunketahun.Sementara, data
2011 menunjukkan, kekerasanterhadapanak paling banyakdilakukanoleh orang
tuakandung (44,32persen), teman (25,9 persen), tetangga (10,9 persen), orang
tuatiri (9,8 persen), guru (6,7 persen) dansaudara (2 persen). (Kompas, 2012)
Data dari KomisiNasionalPerlindunganAnak (Komnas PA) mencatatdalam
semester I di tahun 2013 ataumulaiJanuarisampaiakhirJuni 2013 ada 1032
kasuskekerasananak yang terjadi di Indonesia. Dari
jumlahitukekerasanfisiktercatatada 294 kasusatau 28 persen, kekerasanpsikis 203
kasusatau 20 persendankekerasanseksual 535 kasusatau 52 persen.Berdasarkan
data yang diperoleh dari pusat pelayanan terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur
(2013) diperoleh informasi bahwa jumlah kasus kekerasan pada anak yang
terlapor di lembaga tersebut sejumlah 76 kasus pada tahun 2010, sedangkan pada
tahun 2011 sejumlah 83. Adapun perinciannya adalah: kekerasan psikis 12 kasus,
penganiayaan 78 kasus, perkosaan 56 kasus, pencabulan 108 kasus, aborsi/
sodomi 5 kasus, dan penculikan 1 kasus.
Melonjaknyaangkakasuskekerasanterhadap anak, terlebih pada kekerasan
seksualmakahalinimenunjukkanbahwaimplementasiUndang-UndangDasar 1945
pasal 28 B ayat 2 danPasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentangPerlindunganAnak
di Indonesia sangatlemah.WHO (2003) mendefinisikanChild
penyalahgunaanseksual, pelalaian, eksploitasikomersialataueksploitasi lain yang
mengakibatkancederaataukerugiannyatamaupunpotensialterhadapkesehatananak,
kelangsunganhidupanak, ataumertabatanak yang
dilakukandalamkontekshubungantanggungjawab, kepercayaanataukekuasaan.
Sedangkankonvensi hak anak disetujui oleh majelis umum perserikatan
bangsa-bangsa pada tanggal 20 november 1989 dan telah diratifikasi dengan keputusan
presiden No 36 tahun 1990. Dalam konvensi hak anak, anak didefinisikan sebagai
setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun (WHO, 2002).
IstilahChild abusesering kali diterjemahkansebagaiperlakuansalahpadaanak,
kekerasanterhadapanak (KTA), ataupenganiayaanpadaanak.
Adapunbatasananakmenurut WHO adalahsemua orang denganusiakurangdari 18
tahuntermasukanak yang masihdalamkandungan, yang
diperjelasdalamUndang-UndangPerlindunganAnak (UUPA) No 23 tahun 2002.
Perlu ditekankan bahwa anak-anak selalu membutuhkan bantuan untuk
menyesuaikan diri dan mengembangkan area-area kesehatan mentalnya secara
utuh. Tetapi yang terjadi, mereka tidak lagi dengan mudah mendapatkan bantuan
tersebut. Namun sebaliknya, mereka menghadapi beberapa hambatan fungsi
perkembangan akibat pelampiasan emosi dan agresi yang tidak semestinya
dilakukan oleh orang dewasa (Brengdgen, Mara. dkk, 2006, Bosch, Kathy. 2007,
Tremblay, R Richard R. 2005).
Baru-baru ini publik di Indonesia telah digegerkan dengan peristiwa Kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan, terhadap siswa Taman
Kanak-kanak Jakarta International School (JIS) yang mulai terungkap pada akhir
Maret 2014, setelah salah satu orang tua siswa melaporkan kasus itu ke Polda
Metro Jaya. Sebanyak enam orang petugas kebersihan ditetapkan sebagai
tersangka, yakni Awan, 20 tahun, Agun, 25 tahun, Afriska, 24 tahun, Zaenal, 28
tahun, Syahrial, 20 tahun, dan Azwar, 27 tahun. Namun, Azwar tewas bunuh diri
setelah ditetapkan tersangka pada 26 April 2014.. Setelah kasus JIS terungkap,
korban baru berani melapor, seperti kasus Andri Sobari alias Emon yang mengaku
telah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap seratus lebih bocah laki-laki
(sumber: www.tempo.com, 22 Mei 2014).
Kasuskekerasanpadaanakmemicuadanyapeningkatanekses-eksesnegatifpadadirianak, sekaligusperilakudestruktif yang
dilakukanolehpelakutindakkekerasanbaik yang dilakukanoleh orang tua, guru,
maupunlingkungan.Ekses-eksesnegatif yang
ditimbulkantersebutdapatberuparesikokesulitanpenyesuaiandiri, bersosialisasi,
depresidanmerasaterisolir, tidakditerima,
kehilangankeinginanuntukbermainbersamatemansebaya,
ketidaknyamanandalamkelompoksebaya (Brendgen, Mara. dkk. 2007),
berkurangnyanafsumakan, beratbadan, gangguantidur, danlesu, kecemasan,
seringmenangis, lambatberpikir, keinginanuntukbunuhdiri, merasabersalah,
tidakberharga, dantidakpunyaharapan (Aldridge &Renitta Goldman, 2002),
tidakbisakonsentrasi, lemah, danmotivasirendah (Frank Vitarodkk. 2006),
berperilakuantisosial, kecemasan, performasekolah yang menurun (David
Schwartz & Andrea Hopmeyer Gorman, 2003).
Secaraumum, akibat yang
ditimbulkandarikekerasanpadadirianakdibagiduamacam, yaitu: 1)
akibatjangkapendek: yaitudampak yang
munculpadasaatanakmengalamikekerasan, seperti: ketakutan yang berlebihan,
menarikdiridaripergaulan, tekananbatin, cemas, stres, danfrustrasi. 2)
akibatjangkapanjang: kondisi yang munculdalamjangkawaktu yang lama
ataubahkanakanselamahidupnya, seperti: trauma, paranoid (terlalucuriga), anti
sosial, hilangnyakepercayaandiri, depresi, cacatfisik, bunuhdiri.
Akibatjangkapendek yang
dialamiseoranganakdapatberpotensipadamunculnyaakibatjangkapanjang.Kondisis
terendahsekalipuntidaksegerateratasi,
termasukberpotensimemberikandampaktraumatistersendiribagianak.
Menurt Terr (dalam Hoeksema, 2001) anak-anak dan remaja dapat
mengalami PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) saat mereka mengalami
kejadian yang sangat stressful, beberapa peristiwa tersebut antara lain kekerasan
fisik dan kekerasan seksual, menjadi korban karena menyaksikan kekerasan, atau
hidup dalam kekacauan, seperti pemboman atau angin topan. Anak - anak yang
pernah mengalami PTSD akan mengalami kejadian demi kejadian melalui ingatan
yang sangat kuat seputar kejadian tersebut, mengingat kembali kejadian, atau
pikiran yang terganggu lainnya. Traumatic stress dihasilkan dari pengalaman
akibat kejadian yang sangat ekstrim, berat atau mengancam yang menuntut usaha
untuk coping. Mereka mengancam perasaan nyaman dan aman seseorang.
Beberapatahun belakangan ini, kita juga sudah menjadi jauh lebih sadar
akan insidensi pelecehan dan penganiayaan seksual ketika korban akhirnya berani
maju mencari konseling dan membicarakan efek-efek yang membahayakan dari
pengalaman mereka tersebut. Wanita biasanya korban paling utama kekerasan
rumah tangga dan pelecehan seksual, khususnya anak perempuan. Sedangkan
anak laki-laki lebih banyak mendapat pengalaman kekerasan dan pelecehan di
luar keluarga khususnya kalau lingkungan sosial sekitarnya memang rentan
dengan keburukan. Kita tahu sedikitnya kasus pelecehan seksual yang dilaporkan
disebabkan oleh rasa malu, bersalah, stigma sosial dan rasa takut. Dilaporkan atau
tidak, pelecehan tetap menyebabkan trauma.
Efek-efek emosi yang muncul pada pelaku saat dewasa biasanya rasa
bersalah dan malu, namun pada korban jauh lebih merusak seperti rasa percaya
diri rendah, depresi, takut, dan tidak percaya siapa pun, kemarahan dan kebencian
bahkan dendam, rasa tak berdaya dan sikap negatif terhadap hubungan
antar-pribadi dengan lawan jenis. Hanya sekedar tindakan preventif tidak akan
berfungsi apapun, karena di lingkup seperti ini justru penanganan cepat terhadap
bantuan khusus korban perkosan dan rehabilitasinya (Gibson& Mitchell, 2011:
263-264).
Konselor sebagai bagian dari masyarakat dituntut memiliki tanggung jawab
dan kepedulian terhadap fenomena tindak kekerasan terhadap anak. Partisipasi
aktif konselor dalam bentuk memberikan layanan konseling kepada mereka (anak
korban kekerasan) merupakan sumbangan profesional agar masyarakat
memanfaatkan kemampuan konselor dalam membantu pemberian treatment bagi
anak korban kekerasan. James dalam bukunya crisis intervention strategies
mengemukakan bahwa Terdapat 6 model langkah dalam interveni konseling
krisis, hal ini meliputi: mendefinisikan Masalah; Memastikan Keselamatan
Konseli; Meyediakan Dukungan; Memeriksa Alternatif Lain; Membuat Rencana;
dan Mendapat Komitmen. Sedangkan Texas Association Against Sexual Assault
(TAASA) dalam Wilmoth (2008),
menguraikansembilanlangkahuntukintervensikrisis yang efektif yakni meliputi:
MembangunHubungan; Mendengarkanaktif; TentukanMasalah; MenilaiSituasi;
JelajahiPilihan; DiskusikanAlternatifDiterima; Penyerahan; Penutupan;
Tindakanlanjutan.
Berdasarkanrealitas di atas, maka dibutuhkan sebuah strategi konseling yang
sesuai dalam menangani kasus kekerasan tersebut.
PenelitimeresponpenelitianinidalamtermaKonselingKrisisdengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Menurunkan Kecemasan AnakKorbanKekerasan Seksual.Alasan peneliti menggunakan pendekatan konseling krisis adalah teknik yang digunakan didalamnya sangat beragam sesuai dengan tipe krisis dan akibat
yang ditimbulkannya. Pendekatan ini memberikan keuntungan karena singkat dan
langsung. Sedangkan pendekatan konseling realitas disini digunakan sebagai salah
satu intervensi untuk membantu pola pikir anak korban kekerasan dengan
menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketidak sadaran.
Konseling realitas disini sangat cocok bagi intervensi-intervensi singkat dalam
situasi-situasi konseling krisis dan bagi penanganan para remaja dan orang-orang
demikianpenulisberharapbahwa penelitian ini
dapatmemberikankontribusipositifdalampemberian jenis layanan bantuan terhadap
anak korban kekerasan pada umumnya, serta anak korban kekerasan seksual pada
khususnya.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut.
Pertama, fenomena kekerasan terhadap anak semakin tahun semakin meningkat terlebih kasus kekerasaan seksual pada anak menempati urutan
tertinggi. Hoeksema (2002) mengatakan bahwa akibat dari tindakan
kekerasan seksual pada anak memicu munculnya Kecemasan bahkan
anak dapat menderita sindrom posttraumatic stress disorder sebagai dari
pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya.Gejala yang akan
timbul dari posttraumatic stress disorder menurut H e r m a n d a l a m
( W i l l i a m s & Poijula, 2002) seperti seseorang akan menjadi lebih impulsive,
mengalami halusinasi, mengalami gangguan kecemasan, mengalami
kesedihan yang berlarut–larut, merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan
total, halusinasi, sampai merasa tidak berguna dan lain – lain.
Kedua, untuk menghilangkan sama sekali tindak kekerasan seksual terhadap anak memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya bisa kita minimalisir.
Komunikasi, sosialisasi serta pemberian informasi tentang tanda-tanda, dampak,
serta ancaman bagi pelaku tindak kekerasan bisa kita lakukan. Baik sosialisai
dengan pihak sekolah, orang tua, murid maupun dengan masyarakat.
Ketiga,terkait dengan intervensi terhadap anak korban kekerasan seksual, hingga saat ini belum ditemukannya pemberian treatment yang sistematis dan
sesuai dengan masalah yang dialami oleh korban. Beberapa penelitian terdahulu
menggunakan metode direktif (seperti menggambar, bercerita, curhat dan tanya
jawab) (Huwaidah, 2011). Sedangkan metode yang digunakan oleh Masumah
pelecehan seksual adalah dengan konseling individual dan kelompok. Dari semua
intervensi yang sudah dipaparkan, belum ditemukannya intervensi yang cocok dalam penanganan terhadap anak korban kekerasan seksual.
Dalam penelitian ini, peneliti merespon dalam terma pemberian intervesi
konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas.Hal ini didasarkan
beberapa pertimbangan, yakni: (1) Kasus kekerasan seksual pada anak
membutuhkan penanganan yang cepat. Sisca & Moningka (2009) mengatakan
bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu
peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di
masa dewasanya. (2) Beberapa penelitian ilmiah terdahulu membuktikan bahwa
pendekatan konseling krisis lebih efektif dalam menangani masalah pada anak
korban kekerasan diantaranya (Everly &Flannery 1999; Roberts &Ottens 2005;
Adams &Paxton 2008; Wilmoth 2008). (3) Sebagian besar, anak korban
kekerasan seksual mengalami dampak traumatis dan cenderung tidak realistis
tentang keadaan dirinya saat ini, tidak dapat melakukan sesuatu atas dasar
kebenaran, tanggung jawab dan realitas saat ini (Fowler 2008:30)
Konseling bagi anak korban kekerasan menekankan pada intervensi krisis,
dengan pendekatan konseling realitas. Mengingat waktu kejadian yang tiba-tiba
dan butuh segera ditangani. Pendekatan krisis merupakan pendekatan yang
dilakukan konselor kepada konseli ketika berada dalam situasi traumatik, yang
dapat diindikasikan dari gejala-gejala stres yang muncul. Pendekatan krisis
bertujuan untuk membantu menciptakan rasa aman, mengembalikan kepercayaan
diri, harga diri, suasana dan iklim yang menghargai serta membantu menetapkan
strategi untuk keluar dari masalah yang dihadapinya. Sedangkan tujuan dari
intervensi konseling realitas disini adalah membantu konseli untuk mampu
bertanggung jawab dan mengembangkan rencana hidup yang realistis guna
mencapai tujuan-tujuan mereka.
Sejalan dengan fenomena-fenomena di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah konseling krisis dengan
anak korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur”
Oleh karena itu, secara spesifik rumusan masalah
inidiuraikanmenjadibeberapapertanyaanpenelitianyaitu:
1. Seperti apa kondisi awalkecemasan anak korban kekerasan seksual di
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur?
2. Bagaimana bentuk rumusan konseling krisis dengan pendekatan konseling
realitas dalam upaya menurunkankecemasan anak korban kekerasan
seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur?
C. Tujuanpenelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untukmengembangkan program konseling krisis
dengan pendekatan konseling realitas dalam upaya menurunkankecemasan
anak korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi
Jawa Timur.
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum diatas, selanjutnya dipaparkan beberapa tujuan
khusus yang ingin dicapai, yaitu:
a. Mengetahuikondisi awal kecemasan anak korban kekerasan seksual di
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur.
b. Menghasilkan rumusan konseling krisis dengan pendekatan konseling
realitas dalam upaya menurunkankecemasan anak korban kekerasan
seksual.
c. Mengetahui pengaruh konseling krisis dengan pendekatan konseling
realitas dalam menurunkani kecemasan anak korban kekerasan seksual di
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Timur.
D. Manfaat penelitian
Adapunmanfaatdaripenelitianinidiharapkansebagaiberikut:
a. Memberikanpengetahuan dan
wawasanbagipenelitilaindalambidangbimbingankonselingtentangpeng
embangankonselingkrisis dengan pendekatan konseling realitas
untukmenurunkankecemasananakkorbankekerasan seksual.
b. Sebagaisumberinformasidanreferensitentangpenangananterhadapanak
korbankekerasan seksual.
2. Secara Praktis
a. Penelitianinidiharapkandapatmembantupara orang
tuauntukmemahamikonsepdanpengertiandarianak korban kekerasan
seksualsendiri, sertapolapenanganannya.
b. BagiKonselor,
hasilpenelitianinidiharapkandapatdijadikansebagaisalahsatuteknikpend
ekatan yang efektifdalammenghadapikasus yang serupa.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibuat dalam bentuk tesis dengan sistematika sesuai pedoman
penulisan karya ilmiah yang berlaku di kampus Universitas Pendidikan Indonesia.
Adapun sistematikannya sebagai berikut:
Bab I PENDAHULUAN. Pada bagian ini terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II KAJIAN PUSTAKA. Dalam bab ini menjelaskan tentang Konsep
dasar kecemasan; Strategi dan teknik penanganan kecemasan
terhadap anak korban kekerasan seksual; Konsep konseling krisis
dengan pendekatan konseling realitas; Hasil penelitian terdahulu
yang relevan; Asumsi penelitian; Hipotesis penelitian; Posisi
Peneliti.
Bab III METODE PENELITIAN. Bagian ini mencakup desain penelitian,
pendekatan penelitian, definisi operasional penelitian, populasi dan
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan
interpretasi data penelitian.
Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini di
paparkan tentang hasil dari penelitian yang kemudian dianalisis
dalam bentuk pembahasan.
Bab V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bagian ini meliputi
kesimpulan dari penelitian, serta rekomendasi dari peneliti terhadap
beberapa pihak terkait dan peneliti selanjutnya yang berminat
BAB II
KONSELING KRISIS DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL
Intensitas Tindak kekerasan terhadap anak, semakin tahun semakin
meningkat. Sedangkan pendekatan intervensi yang diberikan masih sangat sedikit,
dan belum banyak dikembangkan oleh para konselor ataupun tenaga sosial yang
berkecimpung dalam ranah tersebut. Kekerasan dan penelantaran pada anak dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kekerasan yang terjadi dapat berupa
fisik, emosional ataupun seksual. Berdasarkan data yang dihimpun oleh komnas
perlindungan anak (2013), diperoleh data bahwa tindak kekerasan terbanyak pada
anak adalah tindak kekerasan seksual dengan prosentasi sebanyak 52 persen.
Kita tahu sedikitnya kasus pelecehan seksual yang dilaporkan disebabkan
oleh rasa malu, bersalah, stigma sosial dan rasa takut. Dilaporkan atau tidak,
pelecehan tetap menyebabkan trauma. Efek-efek emosi yang muncul pada pelaku
saat dewasa biasanya rasa bersalah dan malu, namun pada korban jauh lebih
merusak seperti rasa percaya diri rendah, depresi, takut, dan tidak percaya siapa
pun, kemarahan dan kebencian bahkan dendam, rasa tak berdaya dan sikap negatif
terhadap hubungan antar-pribadi dengan lawan jenis. Hanya sekedar tindakan
preventif tidak akan berfungsi apapun, karena di lingkup seperti ini justru penanganan cepat terhadap korban jauh lebih utama, seperti hotline krisis dan
pusat-pusat krisis serta program bantuan khusus korban perkosan dan
rehabilitasinya (Gibson& Mitchell, 2011, hlm. 263-264)
Mengingat penting untuk segera dirumuskannya sebuah intervensi dalam
penanganan terhadap anak korban kekerasan seksual, maka dalam bab ini penulis
akan menjelaskan dan merumuskan beberapa konsep yang menjadi acuan dan
dasar dalam penelitian ini. Adapun isi dari bab 3 ini terdiri dari: 1) Konsep dasar
kecemasan; 2) Teknik penanganan kecemasan terhadap anak korban kekerasan
4) Hasil-hasil penelitian terdahulu; 5) Asumsi penelitian; 6) Hipotesis penelitian;
7) Posisi peneliti.
A. Konsep Dasar Kecemasan
Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh
setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan
sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang
merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya.
Stuart (2001) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan emosi yang tidak
memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas
berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap
sesuatu yang berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian
tersebut. Videbeck (2008) membagi kecemasan menjadi dua aspek yakni aspek
yang sehat dan aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan,
lama kecemasan dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap
kecemasan. Kecemasan dapat dilihat dalam rentang ringan, sedang, berat sampai
panik. Setiap tingkat menyebabkan perubahan fisiologis dan emosional pada
individu.
1. Prespektif Teoretis Kecemasan
Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan
faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Menurut Stuart &
Laraia (2007) teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Teori Psikoanalitik
Freud sebagai penemu teori psikoanalis, mendeskripsikan
kecemasan sebagai suatu kesatuan tanpa objek karena kita tidak
dapat menunjuk ke sumber ketakutan atau ke suatu objek khusus
yang menyebabkan ketakutan tersebut. Freud memandang
kecemasan sebagai bagian yang penting dari teori kepribadian
yang dibuatnya, ia juga menilai bahwa kecemasan itu
psikotis. Freud mengungkapkan bahwa prototype dari semua
kecemasan adalah trauma kelahiran. Janin dalam rahim ibunya
adalah dunia yang paling stabil dimana setiap kebutuhan
dipuaskan tanpa adanya penundaan. Tetapi, saat kelahiran,
organisme didorong ke lingkungan yang bermusuhan. Tiba-tiba
bayi perlu mulai beradaptasi terhadap realita karena permintaan
instingtualnya tidak selalu segera dapat dipenuhi.
Freud dalam Schultz (1986) membedakan 3 macam
kecemasan, yaitu:
1)Kecemasan Objektif atau Realitas(Reality or Objective
Anxiety)
Adalah sebuah ketakutan terhadap adanya bahaya yang
nyata dalam dunia sebenarnya.Contoh kecemasan objektif
yaitu gempa bumi, angin topan, dan bencana yang sejenis.
Kecemasan realitas memberikan tujuan positif untuk
memandu perilaku kita untuk melindungi dan menyelamatkan
diri kita dari bahaya yang aktual.
2)Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Adalah sebuah ketakutan yang berasal dari masa
kanak-kanak dalam sebuah konflik antara kepuasan instingtual dan
realita melibatkan konflik antara id dan ego. Anak-anak sering
dihukum bila mengekspresikan impuls seksual dan agresif
secara berlebihan. Pada tahap ini, kecemasan ini berada pada
alam kesadaran, tetapi selanjutnya, ini akan ditransformasikan
ke alam ketidaksadaran.
3)Kecemasan Moral(Moral Anxiety)
Adalah sebuah ketakutan sebagai hasil dari konflik antara
id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan
suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk
mengekspresikan impuls instingtual yang berlawanan dengan
ia akan merasa malu atau bersalah. Pada kehidupan sehari-hari
ia akan menemukan dirinya sebagai “conscience stricken”.
Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya
superego. Biasanya individu dengan kata hati yang kuat akan
mengalami konfllik yang lebih hebat daripada individu yang
mempunyai kondisi toleransi moral yang lebih longgar.
Kecemasan moral didasarkan juga pada realitas. Anak-anak
dihukum karena melanggar kode moral orangtuanya dan
orang dewasa dihukum karena melanggar kode moral
masyarakat. Kecemasan memberi sinyal kepada individu
bahwa ego sedang terancam dan jika tidak ada tindakan yang
diambil, maka ego akan jatuh. Bagaimana ego dapat
melindungi atau mempertahankan dirinya,Ada sejumlah
pilihan yaitu :
a) Melarikan diri dari situasi yang mengancam.
b)Menghalangi munculnya kebutuhan impulsif yang
menjadi sumber cahaya.
c) Mematuhi suara hati nurani dari kesadaran.
b. Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari
perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan
interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan
kelemahan spesifik. Individu dengan harga diri rendah mudah
mengalami perkembangan kecemasan yang berat.
c. Teo ri Behaviour
Menurutpandanganteoribehaviour
(perilaku),kecemasanmerupakanhasildarifrustasiyaitusegalasesuatu
yang mengganggukemampuanseseoranguntukmencapaitujuan yang
diinginkan.Faktortersebutbekerjamenghambatusahaseseoranguntukme
d.Teo ri Pre spe ktif K elua rg a
Teorikeluargamenunjukkanbahwakecemasanmerupakanhal yang
biasaditemuidalamsuatukeluarga.Kecemasaniniterkaitdengantugas
perkembanganindividudalamkeluarga.Anak yang akandirawat di
rumahsakitmerasatugasperkembangannyadalamkeluargaakantergang
gusehinggadapatmenimbulkankecemasan.Kajian keluarga
menunjukkan pola interaksi yang terjadi didalam keluarga
kecemasan menunjukkan adanya interaksi yang tidak adaptif dalam
sistem keluarga.
e. Teo riBiologi s
Teoribiologismenunjukkanbahwaotakmengandungreseptorkhususu
ntukbenzodiazepin.Reseptorinimungkinmembantumengaturkecem
asan.Penghambatasam (GABA)
jugamungkinmemainkanperanutamadalammekanismebiologisbe
rhubungandengankecemasan.Selainitu,
telahdibuktikanbahwakesehatanumumseseorangmempunyaiakibat
nyatasebagaipredisposisiterhadapkecemasan.Kecemasanmungki
ndisertaigangguanfisikdanselanjutnyamenurunkankapasitasseseor
anguntukmengatasistresor.
2. Gejala Kecemasan
Hampir setiap individu pernah mengalami kecemasan sebagai suatu
peasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini ditandai oleh kegelisahan,
kebingungan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Perasaan yang
dialami individu tersebut hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh yang
bersangkutan saja. Huberty (2012) membedakan kecemasan menjadi dua,
yaitu:
a. State Anxiety
Adalah gejala kecemasan yang timbul bila individu berhadapan
kecemasan, dan gejalanya akan selalu kelihatan selama situasi tersebut
terjadi.
b. Trait Anxiety
Adalah kecemasan sebagai suatu keadaan yang menetap pada
individu. Kecemasan ini berhubungan erat dengan kepribadian individu
yang sedang mengalami kecemasan. Dengan kata lain kecemasan
mengandung pengertian disposisi untuk menjadi cemas dalam
menghadapi bermacam-macam situasi. Sehubungan dengan hal ini,
kecemasan dipandang sebagi suatu simtom, yaitu keadaan yang
menunjukkan kesukaran dalam menyesuaikan diri.
Sedangkan Nevid (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan
dalam tiga jenis gejala, diantaranya yaitu :
a. Gejala Fisik dari Kecemasan
Yaitu kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat,
sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin,
mudah marah atau tersinggung.
b. Gejala Behavioral dari Kecemasan
Yaitu berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan dependen.
c. Gejala Kognitif dari Kecemasan
Yaitu khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan
terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu
yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan
untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau
kebingungan, sulit berkonsentrasi.
3. Reaksi Terhadap Kecemasan
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kecemasan adalah suatu bentuk
emosi yang lain selain emosi dasar, maka reaksi terhadap kecemasan,
seimbang dengan reaksi manusia pada umumnya terhadap emosi yang
meningkat, dapat dibedakan atas reaksi fisiologik dan reaksi psikologik
Reaksi fisiologik adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang
diproses oleh syaraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah,
kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan makanan, dan sistem pembuangan
(atkinson 1997). Dengan meningkatnya emosi atau perasaan cemas satu atau
lebih dari organ-organ tersebut akan meningkat dalam fungsinya sehingga
dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam lambung selama kecemasan,
atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah, sering buang air
atau sekresi keringat yang berlebihan.
Dalam situasi ini kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang
berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar.
Seirama dengan Hilgard, menurut Kartono (1981), tekanan pikiran yang
berat, menyebabkan keluarnya energi yang luar biasa, yang akhirnya
menjadikan naiknya tekanan darah dan berubahnya susunan kimiawi darah
yang membahayakan kesehatan. Bila hal ini terjadi terus menerus, akan
menimbulkan penyakit lambung, tekanan darah tinggi, dan asma.
Kecemasan dapat terwujud pada reaksi emosional dari keadaan jiwa
individu, baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga bisa
mengganggu efisiensi individu dalam menghadapi masalah. Reaksi yang
timbul secara psikologis dapat berupa perasaan yang menyertai reaksi
fisiologis seperti perasaan tegang, rendah diri, kurang percaya diri, tidak
dapat memusatkan perhatian serta adanya gerakkan-gerakkan yang tak
terarah atau tidak pasti Hadfield(1985).
Daradjat (1975) mengungkapkan bahwa gejala kecemasan dapat
bersifat fisik maupun bersifat mental. Gejala fisik meliputi ujung-ujung jari
terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung lebih cepat dan
sebagainya. Gejala mental berupa ketakutan, tidak dapat memusatkan
perhatian, tidak tentram dan lain lain. Individu biasanya tidak mengetahui
penyebab ketakutannya. Pada kecemasan yang tinggi, individu biasanya
sering bermimpi yang menakutkan pada malam hari hingga terkejut dan
Menurut Bucklew (1960), apabila seseorang mengalami kecemasan,
maka reaksi yang tampak ada dua tingkatan, yaitu:
a. Tingkat Psikologis
Pada tingkat ini tampak adanya gejala psikologis seperti
gerakan-gerakan tak terarah, perasaan tegang, ragu-ragu, khawatir, bingung,
sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan tidak jelas, serta
gejala lainnya yang saling bercampur aduk.
b. Tingkat Fisiologis
Pada tingkat ini kecemasan menyebabkan adanya disorganisasi
proses fisiologis, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf seperti keluarnya
keringat dingin yang berlebihan, jantung berdebar -debar, tidak dapat
tidur, sirkulasi darah tidak teratur, rasa mual, gemetar dan lain-lain.
Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan cenderung diubah dalam bentuk
gangguan simtomatik yang dapat membahayakan kesehatan, dan lebih jauh
lagi akan dapat mengakibatkan adanya gangguan pada seseorang dalam
merespon stimulus-stimulus yang datang padanya, baik yang datang dari
dalam dirinya maupun yang datang dari luar.
Uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa manifestasi kecemasan
adalah suatu bentuk reaksi emosi selain emosi dasar yang gejalanya dapat
bersifat fisik maupun bersifat mental. Pada gejala yang bersifat fisik terlihat
adanya disorganisasi fungsi sistem syaraf sedangkan pada gejala yang
bersifat mental berupa ketakutan, perasaan tidak menentu dan tidak jelas.
4. Faktor Penyebab Kecemasan
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian
besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang.
Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan
kecemasan. Menurut Ramaiah (2003) ada beberapa faktor yang
a. Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir
individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan
karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu
dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga
individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.
b. Emosi yang Ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan
jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini,
terutamajika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka
waktu yang sangat lama.
c. Sebab-Sebab Fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi
seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari
suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini,
perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan.
Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen dalam suparyanto
(2011)beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan antara lain:
a. Potensi Stresor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang
itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya.
b. Maturasi (kematangan)
Individu yang matang yaitu yang memiliki kematangan kepribadian
sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan akibat stres, sebab
individu yang matang mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap
matang akan bergantung dan peka terhadap rangsangan sehingga sangat
mudah mengalami gangguan akibat adanya stres.
c. Status Pendidikan dan Status Ekonomi
Status pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang
menyebabkan orang tersebut mengalami stres dibanding dengan mereka
yang status pendidikan dan status ekonomi yang tinggi.
d. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang rendah pada seseorang akan
menyebabkan orang tersebut mudah stres.
e. Keadaan Fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, penyakit
badan, operasi, cacat badan lebih mudah mengalami stres. Disamping
itu orang yang mengalami kelelahan fisik juga akan lebih mudah
mengalami stres.
f. Tipe Kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian tipe A lebih mudah mengalami
gangguan akibat adanya stres dari individu dengan kepribadian B.
Adapun ciri–ciri individu dengan kepribadian A adalah tidak sabar,
kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa buru – buru waktu,
sangat setia (berlebihan) terhadap pekerjaan, agresif, mudah gelisah,
tidak dapat tenang dan diam, mudah bermusuhan, mudah tersinggung,
otot-otot mudah tegang. Sedangkan individu dengan kepribadian tipe B
mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan individu kepribadian tipe
A.
g. Sosial Budaya
Cara hidup individu di masyarakat yang sangat mempengaruhi
pada timbulnya stres. Individu yang mempunyai cara hidup sangat
teratur dan mempunyai falsafat hidup yang jelas maka pada umumnya
lebih sukar mengalami stres. Demikian juga keyakinan agama akan
h. Lingkungan atau Situasi
Individu yang tinggal pada lingkungan yang dianggap asing akan
lebih mudah mangalami stres.
i. Usia
Ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah
mengalami stres dari pada usia tua, tetapi ada yang berpendapat
sebaliknya.
j. Jenis kelamin
Umumnya wanita lebih mudah mengalami stres, tetapi usia harapan
hidup wanita lebih tinggi dari pada pria.
5. Tingkat Kecemasan
Videbeck (2008), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan
dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan. Setiap tindakan memiliki
karakteristik lahan persepsi yang berbeda tergantung pada kemampuan
individu dalam menerima informasi/ pengetahuan mengenai kondisi yang
ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya.
Menurut Peplau dalam Videbeck (2008) ada empat tingkat kecemasan
yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
a. Kecemasan Ringan
Adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan
perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu individu
memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah,
berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi diri sendiri. Menurut
Tabel 2. 1
Respon dari Kecemasan Ringan
Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional
- Ketegangan otot ringan
- Terlihat tenang, percaya diri
- Perasaan gagal sedikit
(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 182)
b. Kecemasan Sedang
Merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang
benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Menurut
Videbeck (2008), respon dari kecemasan sedang adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 2
Respon dari Kecemasan Sedang
Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional
-Ketegangan otot sedang
-Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi
- Tidak perhatian secara selektif
- Fokus terhadap stimulus
(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 182)
c. Kecemasan Berat
Yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman, memperlihatkan
respon takut dan distress. Menurut Videbeck (2008), respon dari
Tabel 2. 3
Respon dari Kecemasan Berat
Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional
-Ketegangan otot berat -Hiperventilasi
-Kontak mata buruk
-Pengeluaran keringat meningkat
-Bicara cepat, nada suara tinggi
- Preokupasi dengan pikiran sendiri
- Egosentris
(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 183)
d. Panik
Adalah kondisi dimana individu kehilangan kendali dan detail
perhatian hilang, karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu
melakukan apapun meskipun dengan perintah. Panik berhubungan
dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari
proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu dikarenakan individu
tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas
motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Menurut Videbeck (2008), respons dari panik adalah sebagai
Tabel 2. 4 Respon dari Panik
Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional
- Flight, fight, atau
- Pikiran tidak logis, terganggu
- Kepribadian kacau
- Tidak dapat menyelesaikan
masalah
- Fokus pada pikiran sendiri
- Tidak rasional
(Sumber: Videbeck, 2008, hlm. 183)
6. Dampak Kecemasan dan Tindak Kekerasan terhadap Tumbuh Kembang Anak
Pada dasarnya setiap anak-anak haruslah tumbuh dan berkembang
dengan baik apabila mereka menerima segala kebutuhannya dengan
optimal. Jika salah satu kebutuhan baik asuh, asih maupun asah tidak
terpenuhi maka akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang mereka.
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang mengalami kekerasan
seksual, pada umumnya mengalami kelambatan dari anak normal lainnya.
Sedangkan dampak yang diterima oleh anak bisa secara langsung maupun
tidak langsung.
Ikatan dokter Indonesia dalam Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan
Dan Rujukan Kasus Kekerasan Dan Penelantaran Anak (2003) merumuskan
bahwa dampak langsung dari anak korban kekerasan seksual dapat diamati
secara langsung berupa: 1) Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti
nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan pendarahan anus; 2) Tanda
gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis,
menyakiti diri sendiri dan sering mencoba bunuh diri; 3) Tingkah laku atau
pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Sedangkan beberapa problem perilaku dan emosi yang mungkin terjadi
sebagai dampak kekerasan pada anak berdasarkan klasifikasi umurnya
adalah:
a. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun)
Setelah megalami suatu kejadian yang menimbulkan stres,
anak-anak balita menjadi sangat takut terhadap hal-hal nyata di lingkungannya
dan atau terhadap hal-hal yang dibayangkannya. Anak-anak biasanya
akan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara
langsung dan atau tidak langsung mengingatkan mereka pada
pengalaman yang menimbulkan stres tersebut. Anak-anak yang
mengalami kekerasan seksual mungkin menunjukkan ketakutan yang
berlebihan terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengan orang
yang melakukan kegiatan seksual tersebut. Anak-anak balita dapat pula
menjadi takut terhadap hal-hal yang tidak nyata, seperti „nenek sihir‟ yang mendatangi mereka di malam hari atau „orang jahat‟ yang akan mencelakakan mereka.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
1) Cemas perpisahan, anak-anak balita bereaksi terhadap stres
dengan menempel terus pada orang tuanya karena takut berpisah
dan mengamuk bila ditinggalkan.
2) Perilaku regresif, kembali ketahap perkembangan yang lebih awal, seperti kembali ke „benda pengganti ibu‟ (transactional object), misalnya mengisap jempol, bantal kesayangan dan
lain-lain.
3) Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya jadi
mengompol lagi atau tak dapat menahan buang air besar. Semua
4) Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita ini biasanya
sering mengalami mimpi buruk dan mengigau karena mereka
tidak mampu memahami peristiwa yang sangat mneekan.
b. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun
Anak-anak berusia 6-12 tahun lebih mampu menggunakan
kemampuan berpikir, perasaan dan tingkah lakunya ketika bereaksi
terhadap kejadian yang menimbulkan stres. Mereka mampu mengingat
kejadian dengan benar dan dapat memahami makna peristiwa yang telah
menimpa mereka. Sehubungan dengan alam pikir, anak-anak sering
berkhayal untuk menghadapi kejadian yang menimbulkan stres. Mereka
akan berkhayal bahwa mereka mampu menghadapi kejadian buruk,
misalnya mereka mampu menghadapi si pelaku kekerasan dengan
kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya. Mereka merasa mampu
menipu si pelaku kekerasan seksual dengan mudah, dan lain-lain. Adanya
kemampuan ini membuat anak dapat melawan rasa tidak berdayanya.
Namun cara berpikir seperti ini membuat anak-anak lebih mudah timbul
perasaan berdosa dan menyalahkan diri sendiri. Hal ini terjadi karena
pada saat anak membayangkan dirinya dapat mencegah terjadinya
peristiwa yang mengerikan, mereka juga menyalahkan diri mereka
karena tidak melakukan hal tersebut.
Setelah melewati pengalaman yang sangat mencekam, anak-anak
menjadi ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap orang
lain. Sebagai contoh, setelah mengalami perkosaan, anak merasa bahwa
harga dirinya telah diinjak-injak dan keamanannya terancam, mereka
menjadi sangat lemah dan terus menerus berpikir bahwa hal-hal buruk
akan terjadi kembali pada mereka.
Perilaku dan reaksi emosional yang harus diamati:
1) Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan kegelisahan. Anak-anak