• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGADAAN PSIKOTROPIKA DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN PERIODE 2010 MENGGUNAKAN ANALISIS PARETO ABC DAN MOVING AVERAGE TOTAL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PENGADAAN PSIKOTROPIKA DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN PERIODE 2010 MENGGUNAKAN ANALISIS PARETO ABC DAN MOVING AVERAGE TOTAL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

i

EVALUASI PENGADAAN PSIKOTROPIKA DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN PERIODE 2010 MENGGUNAKAN ANALISIS

PARETO ABC DANMOVING AVERAGE TOTAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

EVALUASI PENGADAAN PSIKOTROPIKA DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN PERIODE 2010 MENGGUNAKAN ANALISIS

PARETO ABC DANMOVING AVERAGE TOTAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

EVALUASI PENGADAAN PSIKOTROPIKA DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN PERIODE 2010 MENGGUNAKAN ANALISIS

PARETO ABC DANMOVING AVERAGE TOTAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala rahmat, dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Evaluasi Pengadaan Psikotropika di Puskesmas Kabupaten

Sleman Periode 2010 menggunakan Analisis Pareto ABC dan Moving Average

Total”.

Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis tidak lepas dari bimbingan,

dukungan, serta bantuan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan

hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang telah memberikan ijin penelitian

kepada penulis.

3. Kepala Gudang dan para staff yang bekerja di Gudang Farmasi Kabupaten

Sleman yang telah memberikan ijin dalam pengambilan data logistik dan

membantu memberikan informasi yang penting mengenai sediaan

Psikotropika.

4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing utama yang

telah memberikan bimbingan, masukan, dan saran dari awal hingga akhir

penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Djaman G. Manik, Apt dan Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si.,

Apt selaku dosen penguji yang telah memberi bimbingan dan saran sampai

(7)

vii

6. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

yang telah membantu penulis selama ini sehingga penulisan skripsi ini dapat

berjalan dengan lancar.

7. Papa dan Mama serta kakak dan adik-adik yang tersayang dan juga segenap

keluarga yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan yang luar

biasa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Teman seperjuangan Suriadi, Vivi Christiani, Stefani Putri Harsanto, Tri

Harjono, dan Ika Puji Rahayu atas kerja sama dan kebersamaan selama

menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat, kekasih, maupun teman sekontrakan yang selalu memberikan

dukungan semangat kepada penulis.

10. Teman-teman sekelas, sekelompok tugas, sekelompok praktikum, maupun

seangkatan 2008 atas kenangan, kebersamaan, serta suka dan duka selama

kuliah di Fakultas Farmasi.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi

ini dapat memberikan manfaat bagi semua yang membutuhkannya.

(8)

viii

INTISARI

Bagaikan dua bilah mata pisau, sediaan psikotropika dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Apabila sediaan ini dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan manfaat yang besar bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman periode 2010 dengan metode Pareto ABC dan metodeMoving Average Total.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan studi kasus yang bersifat retrospektif. Data diperoleh dari data primer yang berasal dari Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat (LPLPO) tiap Puskesmas Kabupaten Sleman yang dilaporkan ke Gudang Farmasi Sleman.

Hasil analisis Pareto ABC didapatkan rata-rata persentase kelompok A 20,00%, B 20,00%, dan C 60,00% untuk nilai pakai, nilai investasi dan nilai indeks kritis. Sediaan yang menjadi prioritas pengadaan sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman periode 2010 adalah halloperidol 1,5 mg. Terdapat 10 Puskesmas di Kabupaten Sleman yaitu Puskesmas Depok II, Gamping I, Godean II, Minggir, Mlati II, Moyodan, Ngaglik I, Prambanan, Sayegan, dan Sleman yang mempunyai hasil analisis Moving Average Total berbeda tidak bermakna dengan data pemakaian sebenarnya sehingga metode ini bisa diterapkan di 10 Puskesmas tersebut.

(9)

ix

ABSTRACT

Like a double-edge knife, psychotropic drugs have positive and negative impact. If managed well, it wil bring a great benefit for the community. This study aims to analyse the pcychotropic management at primary health care in Sleman District period 2010 using Pareto ABC and Moving Average Total analysis.

This study is a non-experimental study with retrospective case study design. The data obtained from a secunder data, that is from drugs demand paper and use report (LPLPO) at every primary health care in Sleman District that reported to the Pharmaceutical Warehouse.

The result of Pareto ABC analysis is that the average persentage in A group is 20,00%, B group 20,00%, and C group is 60.00% fot use value, investments value, and critical index value. The drug that become a priority for psyvhotopic procurement at primary health care in Sleman District period 2010 is halloperidol 1,5 mg. There is tenprimary health care in Sleman District that can use the Moving Average Total analysis, that is Depok II, Gamping I, Godean II, Minggir, Mlati II, Moyodan, Ngaglik I, Prambanan, Sayegan, and Sleman primary health care because the result show that they have insignificant different with the real usage data.

(10)

x

DAFTAR ISI

halaman

SKRIPSI... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 5

2. Keaslian penelitian... 5

3. Manfaat penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan umum ... 7

2. Tujuan khusus ... 7

PENELAAHAN PUSTAKA ...8

A. Puskesmas ... 8

B. Apoteker... 9

C. Pengelolaan Obat di Puskesmas... 9

D. Sediaan Farmasi ... 11

E. Psikotropika ... 12

F. Manajemen Persediaan ... 13

G. Pareto ABC (Always Better Control)... 15

(11)

xi

J. Hipotesis ... 23

METODE PENELITIAN...24

1. Analisis Pareto ABC ... 29

a. Analisis ABC nilai pakai... 29

b. Analisis ABC nilai investasi ... 30

2. Analisis ABC indeks kritis... 30

3. AnalisisMoving Average Total... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN...35

A. Pareto ABC Nilai Pakai dan Nilai Investasi ... 35

1. Pareto ABC Nilai Pakai ... 35

2. Analisis ABC Nilai Investasi ... 39

B. Analisis ABC Indeks Kritis... 43

C. Moving Average Total... 47

KESIMPULAN DAN SARAN...53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ...56

(12)

xii

DAFTAR TABEL

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

xv

(16)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Psikotropika merupakan sediaan yang bagaikan dua bilah mata pisau, di

satu sisi sangat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu

pengetahuan, tetapi pada sisi yang lain sangat berisiko membahayakan masa

depan generasi muda bangsa. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN)

tahun 2009, tercatat ada 19.791 kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika,

bahkan belum termasuk yang tidak terdeteksi. Khusus untuk psikotropika, pada

tahun 2008 terjadi kenaikan jumlah kasus penyalahgunaan sebesar 6% atau 491

kasus. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati peringkat kedua

setelah DKI Jakarta dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dengan

pengguna sebanyak 8.980 orang dari jumlah populasi usia 10-64 tahun sebanyak

2.537.100 jiwa. Daerah Kabupaten DIY yang menjadi tiga besar rawan

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika pada 2009 adalah Kabupaten Sleman,

Bantul, dan Kota Yogyakarta (BNN, 2009).

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri pada tahun 2010

lalu digemparkan dengan meletusnya Gunung Merapi. Bencana Erupsi merapi ini

memberikan dampak yang luar biasa terhadap keadaan sosial masyarakat

penduduk lereng Gunung Merapi secara khusus dan kehidupan masyarakat

Yogyakarta secara umum. Hal ini sangat memungkinkan mereka, korban letusan

merapi, mengalami gangguan psikologis akibat trauma terhadap bencana

(17)

psikikologis adalah sekitar 10 % dari populasi dan pascaletusan Merapi

diperkirakan naik menjadi 20 % dari populasi (Dinas Kesehatan Daerah Istimewa

Yogyakarta, 2010). Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman mencatat sebanyak 756

korban bencana erupsi Gunung Merapi mengalami gangguan jiwa dan 52 orang

diantaranya mengalami gangguan jiwa berat (Dinas Kesehatan Sleman, 2010).

Meningkatnya jumlah penderita gangguan psikologis ini berdampak

secara tidak langsung terhadap meningkatnya jumlah penggunaan obat-obat untuk

menangani gangguan ini seperti obat-obat golongan psikotropika.Obat-obatan

golongan psikotropika ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus terkait

ketersediaannya di pusat pelayanan kesehatan masyarakat maupun posko-posko

darurat. Kabupaten Sleman sendiri merupakan salah satu pusat penanganan dan

pengungsian bagi para korban letusan Gunung Merapi yang terpusat di Stadion

Maguwoharjo Sleman. Dari sekitar 94.615 total pengungsi, tercatat sekitar 80.155

orang korban letusan Gunung merapi mengungsi di kabupaten Sleman (Badan

Nasional Penanggulangan Bencana, 2010).

Salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai

adalah Puskesmas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.128/ Menkes/ SK/ II/ 2004 , Puskesmas adalah Unit Pelaksanaan

Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas

sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan di masyarakat harus mampu

memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat dengan baik, termasuk masalah

(18)

Puskesmas merupakan salah satu aspek penting yang menunjang pelayanan

kesehatan di Puskesmas karena adanya ketidakefisienan pengelolaan obat akan

memberikan dampak negatif terhadap biaya operasional Puskesmas, sedangkan

ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan pelayanan kesehatan maka

pengelolaan yang efisien sangat menentukan keberhasilan manajemen Puskesmas

secara keseluruhan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004a).

Proses pengelolaan obat merupakan peran penting dari seorang Apoteker,

dan salah satu kegiatannya adalah pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi obat, dan pengelolaan obat.

Karena tidak semua Puskesmas terdapat Apoteker, maka proses pengelolaan obat

ini tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh tiap Puskesmas. Pengelolaan obat di

Puskesmas dilakukan oleh Apoteker yang ada di Gudang Farmasi; Artinya,

Apoteker di Gudang Farmasi mempunyai tanggung jawab untuk melakukan

pengelolaan obat di Puskesmas.

Pengelolaan obat di Puskesmas ini juga mencakup sediaan psikotropika.

Sediaan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, namun di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang

ketat dan seksama. Konsekuensinya, Puskesmas dituntut untuk melakukan

pengelolaan sediaan psikotropika guna memperkirakan jenis dan jumlah sediaan

psikotropika yang dibutuhkan, serta meningkatkan pengawasan dan efisiensi

(19)

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997,

psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Akibat

adanya efek ketergantungan dan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku,

diperlukan pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan sediaan

psikotropika di Unit Pelayanan Kesehatan, salah satunya yaitu di Puskesmas

(Presiden Republik Indonesia, 1997).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengelolaan sediaan

psikotropika di Puskesmas khususnya di Kabupaten Sleman. Metode yang

digunakan adalah metode Pareto ABC dengan mengklasifikasikan item sediaan

berdasarkan nilai pakai dan nilai investasi. Hasil analisis ini akan digunakan untuk

mengetahui item sediaan psikotropika yang menjadi prioritas pengadaan di

Puskesmas Kabupaten Sleman. Selain itu juga dilakukan perkiraan jumlah

pemakaian psikotropika dengan perhitungan matematis menggunakan metode

Moving Average Total, sehingga didapatkan perkiraan jumlah pemakaian sediaan

selama satu tahun yang digunakan untuk proses pengadaan sediaan pada tahun

mendatang. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai pengelolaan sediaan psikotropika di Puskesmas yang lebih

efektif dan efisien. Efisien berarti dengan dana yang dibelanjakan dapat

memperoleh sediaan psikotropika yang lengkap dengan jumlah dan jenis yang

memadai sesuai kebutuhan. Efektif berarti penggunaan seoptimal mungkin dari

(20)

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

a. Berapa nilai Pareto ABC dilihat dari rata-rata nilai pakai dan nilai investasi

sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman periode 2010?

b. Berapa nilai indeks kritis sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten

Sleman periode 2010?

c. Sediaan psikotropika apa yang masuk kategori A-NIK dan menjadi prioritas

dalam pengadaan sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman

periode 2010?

d. Berapa perkiraan jumlah pemakaian sediaan psikotropika yang masuk kriteria

A-NIK di Puskesmas Kabupaten Sleman untuk periode 2011?

e. Bagaimana perbandingan hasil Moving Average Total sediaan psikotropika

kelompok A-NIK dengan data pemakaian sebenarnya di Puskesmas

Kabupaten Sleman periode Juli-Desember 2010?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran penulis, penelitian mengenai analisis Pareto ABC

danMoving Average Total sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman

periode 2010 belum pernah dilakukan. Akan tetapi penelitian yang terkait dengan

pengelolaan sediaan farmasi di Puskesmas pernah dilakukan oleh Sari (2010)

(21)

Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Hipertensi Primer Tahun

2009. Persamaan dari penelitian - penelitian ini adalah penggunaan metode Pareto

ABC dalam pengolahan data, sedangkan perbedaannya terletak pada sediaan

farmasi yang dipilih, tempat penelitian, tahun penelitian, dan adanya tambahan

analisis Moving Average Total. Peneliti terdahulu menggunakan semua jenis

sediaan obat di Puskesmas Kabupaten Bantul tahun 2009.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan tentang pengelolaan sediaan psikotropika di Puskesmas dengan

metode Pareto ABC agar proses pengelolaan sediaan psikotropika di Puskesmas

Kabupaten Sleman dapat lebih efektif dan efisien serta mengetahui item sediaan

psikotropika yang menjadi prioritas dalam pengadaannya. Selain itu juga dapat

memberikan gambaran tentang pengaplikasian metode Moving Average Total di

Puskesmas Kabupaten Sleman.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran kepada Apoteker, karyawan pengurus Gudang Farmasi di Kabupaten

Sleman mengenai nilai investasi, nilai pakai, nilai indeks kritis. Pengetahuan

mengenai item sediaan psikotropika yang menjadi prioritas dalam pengadaan

sediaan dengan menggunakan metode Pareto ABC dan Moving Average Total,

dapat memberikan gambaran profil pengelolaan sediaan psikotropika di

(22)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengendalian

persediaan psikotropika di Puskesmas demi tercapainya pengadaan sediaan

psikotropika yang lebih efektif dan efisien.

2. Tujuan khusus

a. Menghitung nilai Pareto ABC sediaan psikotropika dilihat dari nilai pakai dan

nilai investasi di Puskesmas Kabupaten Sleman periode 2010.

b. Menghitung nilai indeks kritis sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten

Sleman periode 2010.

c. Mengidentifikasiitem psikotropika yang masuk kategori A-NIK dan menjadi

prioritas dalam pengelolaan sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten

Sleman periode 2010.

d. Menghitung perkiraan jumlah pemakaian sediaan psikotropika yang masuk

kriteria A-NIK di Puskesmas Kabupaten Sleman untuk periode 2011

e. Membandingkan hasil Moving Average Total sediaan psikotropika kelompok

A-NIK dengan data pemakaian sebenarnya di Puskesmas Kabupaten Sleman

(23)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Puskesmas

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.128/

Menkes/ SK/ II/ 2004, definisi Puskesmas adalah Unit Pelaksanaan Teknis Dinas

Kesehatan Kabupaten/ Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Wilayah kerja dari suatu

Puskesmas biasanya adalah satu Kecamatan, namun ada beberapa kasus dimana

terdapat lebih dari satu Puskesmas dalam satu Kecamatan, maka tanggung jawab

wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep

wilayah yakni Desa/Kelurahan atau RW (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,

2004a).

Tujuan didirikannya Puskesmas adalah untuk mendukung tercapainya

tujuan pembangunan kesehatan nasional, dalam rangka mewujudkan Indonesia

Sehat 2010. Pembangunan kesehatan nasional ini meliputi peningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang

bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya. Fungsi dari Puskesmas adalah sebagai pusat penggerak

pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat

pelayanan kesehatan strata I, meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan

(24)

B. Apoteker

Definisi Apoteker menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.

1027/Menkes/SK/IX/2004, adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan

profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang

berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai

apoteker (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004b).

Pekerjaan kefarmasian menurut pasal 108 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan

farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan

obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Presiden Republik Indonesia, 2009a).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian, yang diperkenankan untuk melakukan penyediaan obat adalah

tenaga kefarmasian atau Apoteker. Untuk itu Puskesmas tidak diperkenankan

melakukan pengelolaan obat secara sendiri-sendiri, namun dilakukan oleh

Apoteker di Gudang Farmasi dimana wilayah kerja Puskesmas itu berada

(Presiden Republik Indonesia, 2009b).

C. Pengelolaan Obat di Puskesmas

Pengelolaan obat adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan

perbekalan kesehatan untuk menentukan jumlah obat dalam rangka pemenuhan

(25)

jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan, meningkatkan

penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat

(Winarno, dkk.,2010).

Perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan

menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan akan mempengaruhi

pengadaan, pendistribusian, dan pemakaian obat. Tujuan perencanaan kebutuhan

obat yang sesuai pola penyakit dan kebutuhan dasar termasuk program kesehatan

yang ditetapkan (Quick, Hume, Rankin, O’Connor, Rankin, O’Connor, 1997).

Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan

kesehatan untuk menentukan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan

puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan perkiraan jenis,

jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan, meningkatkan

penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Sumber penyediaan obat di Puskesmas adalah berasal dari Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di

Puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan itemnya ditentukan setiap tahun

oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional.

Tujuan permintaan obat adalah memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit

pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya

(Departemen Kesehatan RI, 2010).

Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing

(26)

Kabupaten/ Kota dengan menggunakan format LPLPO (Laporan Pemakaian

Lembar Permintaan Obat). Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan

waktu penyerahan obat kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/

Kota dapat menyusun petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan

penyerahan obat secara langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota ke

Puskesmas (Departemen Kesehatan RI, 2010).

Data pemakaian obat yang dihasilkan oleh Puskesmas merupakan salah

satu faktor utama dalam mempertimbangkan pengelolaan obat di Puskesmas.

Ketepatan dan kebenaran data di Puskesmas akan berpengaruh terhadap

ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan secara keseluruhan di Kabupaten/

Kota. Dalam proses pengelolaan obat pertahun Puskesmas diminta menyediakan

data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar

Permintaan Obat (LPLPO) yang berisi data pemakaian obat tahun sebelumnya,

jumlah kunjungan resep, data penyakit, dan frekuensi distribusi obat oleh Instalasi

Farmasi Kabupaten/ Kota. Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota yang

akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di

wilayah kerjanya (Winarno, dkk., 2010).

D. Sediaan Farmasi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang

kesehatan, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetika. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

(27)

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Presiden

Republik Indonesia, 2009a).

Sumber penyediaan obat di Puskesmas berasal dari Dinas Kesehatan

Kabupaten/ Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas

adalah obat Esensial yang jenis dan itemnya ditentukan setiap tahun oleh Menteri

Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (Winarno, dkk.,

2010).

Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat esensial,

yaitu obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup

upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia

pada unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya. DOEN merupakan

standar minimal untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2008).

E. Psikotropika

Psikotropika menurut Undang - Undang Republik Indonesia No.5 tahun

1997 pasal 1 yang mengatur tentang psikotropika adalah zat atau obat, baik

alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas

pada aktivitas mental dan perilaku. Sedangkan dalam pasal 2, psikotropika yang

mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan

menjadi:

a. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk

(28)

potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh

psikotropika golongan ini adalah ekstasi

b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantugan. Contoh

psikotropika golongan ini adalah amfetamin

c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh

psikotropika golongan ini adalah fenobarbital

d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh psikotropika golongan ini adalah diazepam, nitrazepam,

chlordiazepoksida (Presiden Republik Indonesia, 1997).

F. Manajemen Persediaan

Manajemen persediaan (inventory control / inventory management) atau

pengendalian tingkat persediaan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material dengan

tujuan memenuhi kebutuhan operasional dengan cara menekan investasi

persediaan seoptimal mungkin agar ketersediaan kebutuhan operasional menjadi

(29)

Prinsip manajemen persediaan adalah adanya penentuan jumlah dan jenis

barang yang disimpan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan, namun tetap

memperhatikan biaya investasi yang timbul dari penyediaan barang tersebut harus

diusahakan seminimal mungkin. Intinya, pengelolaan sediaan harus efektif dan

efisien. Efektif berarti dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sediaan, sedangkan

efisien berarti dapat menekan persediaan sampai ke tingkat minimum (Indrajit dan

Djokopranoto, 2003).

Usaha yang perlu dilakukan dalam manajemen persediaan secara garis

besar dapat diperinci sebagai berikut:

1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan operasi

2. Membatasi nilai seluruh investasi

3. Membatasi jenis dan jumlah material

4. Memanfaatkan seoptimal mungkin material yang ada (Indrajit dan

Djokopranoto, 2003).

Persediaan merupakan bagian yang penting dalam operation

management karena membutuhkan modal yang cukup besar dan mempengaruhi

penyerahan barang-barang kepada konsumen. Pengaturan inventory berpengaruh

terhadap semua fungsi bisnis seperti operation, marketing dan financial. Yang

dimaksud inventory adalah bahan baku, barang dalam proses, bahan pembantu,

barang jadi supplies. Tujuan inventory control adalah menyediakan persediaan

dengan mutu dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan permintaan. Jumlah

(30)

tidak terlalu sedikit agar jika ada kekurangan, harga inventory tidak terlalu mahal

(Haningsih, 2010).

Persediaan merupakan salah satu bagian dari tugas manajemen dalam

keputusan operasi, sebelum membuat keputusan tentang persediaan. Persediaan

merupakan salah satu aset terpenting dalam banyak perusahaan karena nilai

persediaan mencapai 40% dari seluruh investasi modal (Zulfikarijah, 2005).

Persediaan sangat berkaitan dengan pembelian, dimana pembelian yang optimal

tidak dapat dilakukan tanpa adanya pemahaman terhadap ketersediaan persediaan

(Chisholm-Burns, Vaillancourt, and Shepherd, 2011). Logistik merupakan suatu

ilmu pengetahuan dan seni, serta proses mengenai perencanaan dan penentuan

kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan serta

penghapusan material (Subagya, 1990).

Banyak model pengendalian persediaan di dalam manajemen logistik, namun yang dipilih peneliti disini adalah model ABC, yaitu pengendalian perusahaan yang berhubungan dengan aktivitas pengaturan persediaan bahan-bahan agar dapat menjamin persediaan dan pelayanan kepada pasien. Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai penggunaan yang relatif tinggi atau mahal (Meidi, 2005).

G. Pareto ABC (Always Better Control)

Analisis Pareto ABC adalah salah satu metode menejemen persediaan

yang sangat berguna untuk melakukan pemilihan, penyediaan, distribusi, dan

promosi penggunaan obat yang rasional. Selain itu analisis Pareto ABC juga

(31)

yang tidak terdapat dalam daftar golongan esensial atau jarang digunakan (Quick

et al , 1997). Prinsip Pareto atau ”Critical Few and Trial Many” berarti kebijakan penjualan lebih memperhatikan item-item produk yang memiliki total penjualan yang tinggi meskipun jumlah produk sedikit dibandingkan dengan item produk dengan total penjualan rendah, meskipun terdiri dari jumlah produk yang banyak (Siagian, 2005).

Manajemen persediaan dalam perusahaan biasanya melibatkan ribuan

item dalam persediaan. Untuk melakukan pengendalian secara efektif, manajer

persediaan harus menghindari item-item yang tidak penting dan berkonsentrasi

kepada item-item yang paling penting. Prosedur pengendalian persediaan harus

memisahkan item-item yang membutuhkan pengendalian secara ketat dari

item-itemlain yang dikendalikan secara tidak ketat. Pemilihan pengendalian persediaan

dapat memberikan petunjuk item-item mana saja yang paling penting dalam

persediaan dan yang membutuhkan lebih besar konsentrasi (Tersine dan Richard,

1994).

Biasanya menjadi tidak ekonomis bila melakukan pengendalian

persediaan secara terperinci pada seluruh item di dalam persediaan. Ini

menguntungkan bila membagi persediaan ke dalam tiga kelas menurut jumlah

pemakaian per periode dan harga beli per unit. Pendekatan ini disebut analisis

ABC. Dalam analisis ABC, item-item persediaan dikelompokkan ke dalam tiga

kelas berdasarkan nilai persediaan tahunan, dengan kriteria pengelompokkan

(32)

Analisis Pareto ABC sering kali disebut dengan hukum 80-20, yang

terdiri dari tiga klasifikasi yaitu A, B, dan C yang didasarkan pada volume dollar

tahunan. Pengukurannya adalah dengan cara mengalikan setiap item persediaan

dengan biaya per unit. Persediaan tipe A berisi 20% dari total persediaan dengan

biaya total persediaan 70%-80%, persediaan tipe B berisi 30% dari total

persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, persediaan tipe C berisi 50%

dari total item dengan biaya total persediaan 5%. Tingkat kesalahan yang dapat

diterima menurut rekomendasi APICS (The American Production and Inventory

Control) adalah ± 0,2% untuk item A, ±1% untuk item B, dan ± 5% untuk item C

(Zulfikarijah, 2008).

Berdasarkan analisis ABC yang dilakukan diketahui bahwa setiap kelas

membutuhkan tingkat pengendalian yang berbeda-beda. Diantaranya dalam hal

pengaturan pengisian kembali persediaan. Item kelas A membutuhkan

pengendalian yang lebih ketat dibandingkan item B atau C. Tersine dan Richard

(1994) menyebutkan bahwa pengurangan item-item kelas A akan berpengaruh

secara signifikan terhadap investasi persediaan dan dapat memberikan

penghematan terbesar. Begitu pula apabila pengurangan dilakukan padaitemkelas

B. Hasil analisis ABC ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur dan

mengendalikan persediaan, dimanaitemkelas A membutuhkan pengendalian yang

lebih ketat dibandingkan dengan item kelas B dan untuk item kelas C dapat

dilakukan secara lebih longgar. Melalui pengaturan tingkat pengendalian yang

(33)

optimal, sehingga sistem persediaan dapat berfungsi secara optimal dengan biaya

yang rendah.

Terkait dengan pendapatan dari penyediaan obat, analisis ABC dapat

digunakan untuk:

1. Menentukan frekuensi permintaan item obat, karena dengan memesan item

obat kelompok A lebih sering dan dalam jumlah yang sedikit akan mengurangi

biaya inventoris.

2. Mencari sumber item kelompok A dengan harga yang lebih murah.

3. Memonitor status permintaan item. Hal ini dilakukan untuk mencegah

terjadinya kekurangan item yang mendadak yang berakibat pada keharusan

pembayaran darurat yang biasanya lebih mahal.

4. Memonitor prioritas penyediaan agar sesuai dengan prioritas sistem kesehatan

yang menunjukkan jenis obat yang sering digunakan.

5. Membandingkan biaya aktual dan terencana (Quicket al, 1997).

Terkait dengan segi manfaat, analisis ABC digunakan untuk

mengevaluasi item dengan tingkat penggunaan terbanyak bersama-sama pejabat

kesehatan, dokter dan tenaga medis lain untuk memberikan gambaran mengenai

obat yang jarang dan sering digunakan (Quicket al, 1997).

Terkait dengan distribusi dan manajemen inventori sediaan farmasi,

analisis ABC dapat digunakan untuk:

1. Menentukan waktu paruh sediaan. Sebaiknya dilakukan pengawasan khusus

pada sediaan yang masuk dalam kelompok A untuk meminimalkan sediaan

(34)

2. Menentukan jadwal pengiriman sediaan.

3. Menentukan jumlah stok dengan melakukan pemesanan yang lebih sering

dalam jumlah yang lebih sedikit untuk sediaan yang masuk dalam kelompok A.

4. Dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap pemasukan dan pengeluaran

sediaan yang masuk dalam kelompok A dapat meminimalkan terbuangnya

sediaan dan sediaan yang hilang akibat pencurian (Quicket al, 1997)

Klasifikasi barang persediaan menurut konsep ABC adalah klasifikasi

menurut nilai barang. Nilai tidak hanya berarti harga per satuan barang, tetapi

dapat juga nilai pemakaian barang tersebut dalam tahun tertentu, misalnya satu

tahun (Indrajit dan Djokopranoto, 2003).

H. Moving Average Total

Forecasting adalah seni dan ilmu untuk memprediksi peristiwa masa

depan dimana hal ini melibatkan data-data masa lalu yang kemudian

memproyeksikannya ke masa depan yang diproses melalui model matematis

(Seto, Nita, dan Triana, 2004). Forecasting merupakan suatu seni membuat

keputusan tanpa mengetahui apa yang terjadi di masa depan, oleh karena itu

diperlukan data pada periode sebelumnya. Kegiatanforecastingmerupakan bagian

dari manajemen logistik yang digunakan untuk memungkinkan bagian logistik

melakukan antisipasi terhadap permintaan pemakai sediaan pada waktu

mendatang. Antisipasi ini dibutuhkan untuk : (a) memungkinkan bagian logistik

melakukan pengadaan sesuai dengan perkembangan permintaan, (b)

(35)

merencanakan cadangan yang ekonomis (Lembaga Pengembangan dan

Manajemen Kesehatan PERDHAKI, 1997).

Forecasting menurut jangka waktu ke depannya dibagi menjadi tiga

kategori :

a. Prediksi jangka pendek, yaitu prediksi untuk waktu 1-6 bulan yang biasanya

digunakan untuk perencanaan pembelian, penjadwalan pekerjaan dan tingkat

produksi,

b. Prediksi jangka menengah, yaitu prediksi untuk jangka waktu 1 tahun yang

dipakai untuk perencanaan penjualan, penganggaran kas, perencanaan

anggaran dan produksi,

c. Prediksi jangka panjang, yaitu prediksi untuk waktu lebih dari 1 tahun yang

biasanya dipakai untuk perencanaan produk baru (Seto dkk., 2004).

Ada dua pendekatan dalam memprediksi keadaan/kejadian yang akan

datang, yaitu prediksi kualitatif dan kuantitatif. Prediksi kualitatif ini bersifat

subjektif, yaitu dengan menggabungkan faktor-faktor yang penting sebagai dasar

bagi pembuat keputusan dengan intuisi, emosi, perkiraan dan pengalaman pribadi

serta sistem nilai yang dianutnya dengan dibantu berbagai teknik untuk

forecasting. Sedangkan prediksi kuantitif menggunakan beberapa metode (Seto

dkk., 2004).

Forecasting ini dibuat dengan menggunakan data sebelumnya sebagai

acuan dasar. Salah satu metodeforecasting yang bersifat kuantitif adalah Moving

Average Total yang digunakan untuk memperkirakan item sediaan yang

(36)

termasuk model time series yang bersifat smoothing yang digunakan untuk

mengurangi ketidakteraturan dari data yang lalu. Periodeforecastingyang optimal

adalah dalam jangka waktu yang pendek dan dipusatkan pada itemsediaan utama

sesuai dengan klasifikasi tertentu. Langkah-langkah perhitungan dengan metode

Moving Average Total, yaitu :

1. melakukan penjumlahan kumulatif tiga bulan secara bergerak setiap item

sediaan,

2. menghitung persentase kenaikan atau penurunan jumlah kumulatif tersebut

dengan cara menghitung selisih jumlah kumulatif ke-1 dan ke-2 dibagi

dengan jumlah kumulatif ke-1 lalu dikalikan 100%,

3. melakukan perhitungan pertumbuhan rata-rata (average growth) dari

penjumlahan kumulatif tiga bulan bergerak, dan

4. menghitung angka tiga bulan bergerak yang akan datang dengan cara

menjumlahkan average growth dan 100%, kemudian dikalikan dengan data

pemakaian bulan terakhir (Lembaga Pengembangan dan Manajemen

Kesehatan PERDHAKI, 1997).

I. Landasan Teori

Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan

masyarakat, sehingga ikut berperan penting dalam pengendalian sediaan obat,

khususnya obat golongan psikotropika yang selain berguna secara medis, obat ini

juga mempunyai dampak negatif karena bisa menimbulkan ketergantungan. Oleh

karena itu, Apoteker yang bekerja di Gudang Farmasi sebagai tenaga kefarmasian

(37)

Salah satu bentuk pengelolaan obat dapat dilakukan dengan metode Pareto

ABC atau sering disebut dengan hukum 80-20, dimana obat akan diklasifikasikan

kedalam tiga kelompok yaitu kelompok A, B, dan C. Persediaan yang masuk

kedalam kelompok A adalah 20% dari total persediaan dengan biaya total

persediaan 70%-80% dan memerlukan pengendalian yang lebih ketat

dibandingkan dengan kelompok B dan C, kelompok B adalah 30% dari total

persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20% dengan pengendalian cukup

ketat dibandingkan sediaan kelompok C tetapi tidak seketat sediaan kelompok A,

dan kelompok C adalah 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5%

serta tidak terlalu diperketat. Dengan metode ini, maka akan didapatkan nilai

pakai (NP), nilai investasi (NI) dan nilai indeks kritis (NIK) sediaan obat dalam

suatu periode tertentu.

Sediaan kelompok A-NIK akan menjadi prioritas dalam pengadaannya,

sehingga akan membantu apabila dilakukan prediksi (forecasting) jumlah

pemakaian itemsediaan dalam waktu mendatang dengan tujuan untuk membantu

bagian logistik dalam melakukan pengadaan sesuai dengan permintaan pemakai.

Salah satu metode forecasting yang bersifat kuantitatif adalah metode Moving

Average Totalyang mengacu pada data pemakaian periode sebelumnya.

Kedua metode ini, yakni metode Pareto ABC dan Moving Average Total,

dapat digunakan untuk memaksimalkan pengelolaan psikotropika di Puskesmas,

(38)

J. Hipotesis

Hasil Moving Average Total sediaan psikotropika kelompok A-NIK

berbeda tidak bermakna dengan pemakaian sebenarnya di Puskesmas Kabupaten

(39)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan

studi kasus yang bersifat retrospektif. Unit analisisnya adalah sediaan psikotropika

yang diadakan di seluruh Puskesmas Kabupaten Sleman. Disebut penelitian non

eksperimental karena pada penelitian ini dilakukan observasi terhadap variabel

subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti

(Pratiknya, 1993). Data yang diperlukan diperoleh dari satu sumber, yaitu data

primer yang berasal dari Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat (LPLPO)

tiap Puskesmas Kabupaten Sleman yang dilaporkan ke Gudang Farmasi Sleman.

Berdasarkan bidang ilmu, penelitian ini merupakan penelitian farmasi klinis

komunitas, mata kuliah yang terkait meliputi Manajemen Farmasi dan Manajemen

Logistik Sediaan Farmasi.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jumlah pemakaian

psikotropika dan biaya investasi sediaan psikotropika (harga obat). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah nilai indeks kritis (NIK) dan hasil perbandingan

pemakaian sediaan psikotropika setelah menggunakan metode Moving Average

Totaldengan data pemakaian sebenarnya.

Definisi operasional variabel yang bisa diukur adalah :

1. Analisis adalah proses penilaian kinerja sistem pengendalian psikotropika di

(40)

2. Puskesmas yang dianalisis dalam penelitian ini adalah seluruh Puskesmas di

Kabupaten Sleman

3. Nilai pakai (NP) adalah nilai yang diberikan kepada suatu sediaan berdasarkan

jumlah pemakaian sediaan tersebut pada periode 2010. Nilai A diberikan

kepada sediaan dengan pemakaian terbanyak yang mendominasi 80% dari

total seluruh pemakaian. Nilai B diberikan kepada sediaan dengan pemakaian

sedang yang memiliki kekuatan gabungan 15% dari total seluruh pemakaian.

Nilai C diberikan kepada sediaan dengan pemakaian rendah yang memiliki

nilai kekuatan gabungan sebesar 5% dari total seluruh pemakaian. Atau,

penilaian didasarkan pada besarnya persediaan dimana Nilai A diberikan

kepada 20% dari total persediaan, nilai B 30% dari total persediaan dan nilai C

50% dari total persediaan.

4. Nilai pakai diperoleh dari data jumlah pemakaian obat di Puskesmas

Kabupaten Sleman yang tercantum dalam LPLPO tahun 2010.

5. Nilai investasi (NI) adalah nilai yang diberikan pada suatu sediaan yang

diperoleh dari jumlah pengeluaran suatu sediaan dikali harga sediaan tersebut

pada periode 2010. Nilai A diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi

tertinggi yang mendominasi 80% dari total seluruh nilai investasi. Nilai B

diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi sedang yang memiliki

kekuatan gabungan sebesar 15% dari total seluruh nilai investasi. Nilai C

diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi rendah yang hanya memiliki

kekuatan gabungan sebesar 5% dari total nilai investasi. Atau, penilaian

(41)

dari total persediaan, nilai B 30% dari total persediaan dan nilai C 50% dari

total persediaan.

6. Harga peritemdiperoleh dari Daftar Perincian Persediaan Obat Posisi Tanggal

31 Desember 2010 Gudang Farmasi Kabupaten Sleman dengan harga yang

paling tinggi yang tertera pada harga obat generik SK Menkes 2010.

7. Nilai indeks kritis (NIK) diperoleh dari penggabungan skor Pareto nilai pakai

dan Pareto nilai investasi sediaan psikotropika di setiap Puskesmas periode

2010.

8. Moving Average Total adalah suatu metodeforecastingyang bersifat kuantitif

yang digunakan untuk memperkirakan itemsediaan yang mengalami fluktuasi

secara siklis. Hasil perhitungan Moving Average Total yang merupakan

bilangan desimal akan dibulatkan dan yang menunjukkan hasil negatif (-)

dianggap 0.

9. Sediaan adalah item psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman yang

dianalisis.

10. Periode 2010 dimulai pada tanggal 1 Januari 2010 dan berakhir pada tanggal

31 Desember 2010.

11. LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat) adalah formulir yang

lazim digunakan di unit pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah sediaan psikotropika di Puskesmas

Kabupaten Sleman yang tercantum dalam LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar

(42)

yang disediakan oleh Gudang Farmasi Kabupaten Sleman pada tahun 2010.

Kriteria eksklusi subjek adalah sediaan psikotropika yang merupakan sediaan

psikotropika bantuan, sediaan psikotropika yang dibeli langsung oleh Puskesmas

yang bersangkutan, dan sediaan psikotropika yang tidak diketahui harganya.

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Puskesmas

Kabupaten Sleman.

2. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: HK. 03/ 01/ Menkes/

146/I.2010tentangharga obat generik..

3. Kalkulator sebagai alat hitung.

4. Program komputer.

E. Lokasi Penelitian

Lokasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Gudang Farmasi

Kabupaten Sleman serta Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang terletak di

Jalan Candi Jonggrang No.6 Beran Tridadi.

F. Jalannya Penelitian

Kabupaten Sleman memiliki total 25 Puskesmas yang tersebar di seluruh

wilayah Sleman. Obat-obat yang terdapat di tiap-tiap Puskesmas disediakan oleh

(43)

kembali oleh masing-masing Puskesmas kepada Gudang Farmasi dengan

menyerahkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).

Data sediaan psikotropika diperoleh dari data pemakaian obat psikotropika

di Puskesmas Kabupaten Sleman dalam format LPLPO tahun 2010. Dari data

pemakaian obat psikotropika tersebut kemudian dilakukan pengkategorian obat

berdasarkan konsep Pareto. Nilai A diberikan kepada sediaan dengan pemakaian

dan investasi terbanyak yang mendominasi 80% dari total seluruh pemakaian.

Nilai B diberikan kepada sediaan dengan pemakaian sedang yang memiliki

kekuatan gabungan 15% dari total seluruh pemakaian. Nilai C diberikan kepada

sediaan dengan pemakaian rendah yang memiliki nilai kekuatan gabungan sebesar

5% dari total seluruh pemakaian. Apabila range persentase pemakaian dan

investasi yang didapatkan tidak sesuai, maka penilaian didasarkan pada besarnya

persediaan dimana Nilai A diberikan kepada 20% dari total persediaan, nilai B

30% dari total persediaan dan nilai C 50% dari total persediaan. Selanjutnya

dilakukan analisis indeks kritis dan analisis Moving Average Total. Nilai indeks

kritis diperoleh dengan menggabungkan Pareto nilai pakai dan Pareto nilai

investasi. Berdasarkan analisis indeks kritis yang telah diperoleh, kemudian

dilakukan analisis Moving Average Total. Analisis ini dilakukan pada sediaan

psikotropika yang masuk kategori A-NIK dan menjadi prioritas di Puskesmas

Kabupaten Sleman periode 2010. Dengan analisis ini nantinya akan didapatkan

perkiraan jumlah pemakaian sediaan selama satu tahun yang digunakan untuk

(44)

Selain itu dilakukan lagi analisis Moving Average Total dengan tujuan

untuk membandingkan hasil perkiraan yang didapatkan dengan data pemakaian

yang memang sudah terealisasikan. Data pemakaian yang sudah ada dibagi

menjadi dua, yakni semester pertama (Januari-Juni) dan semester kedua

(Juli-Desember). Kemudian dilakukan analisis Moving Average Total pada semester

pertama sehingga didapatkan perkiraan pemakaian pada semester kedua, yang

selanjutnya dibandingkan dengan data pemakaian sediaan psikotropika yang

sudah terealisasi secara statistik. Sebelumnya, dilakukan uji normalitas untuk

melihat apakah distribusi pemakaiannya. Apabila setelah diuji normalitas ternyata

didapatkan distribusi normal, maka untuk membandingkan digunakan metode uji

T. Sebaliknya apabila didapatkan distribusi yang tidak normal, maka untuk

membandingkan digunakan uji Mann-Whitney.

G. Analisis Data

1. Analisis Pareto ABC

a. Analisis ABC nilai pakai

Seluruh sediaan dihitung jumlah pemakaiannya dalam satu tahun.

Kemudian sediaan diurutkan dari jumlah pemakaian paling banyak hingga jumlah

pemakaian paling sedikit. Dari urutan data tersebut kemudian dibuat klasifikasi

sediaan sesuai jumlah pemakaiannya menjadi kelompok A-NP, B-NP, dan C-NP

berdasarkan persentase kumulatif 80%, 15%, dan 5% (Quick et al , 1997).

Sediaan yang sudah diklasifikasikan kemudian diberi skor 3 untuk sediaan yang

masuk dalam kelompok A-NP, 2 untuk kelompok B-NP, dan 1 untuk kelompok

(45)

% =

Σ Χ100%

Keterangan:

%NP : % pemakaian sediaan psikotropika

p : jumlah pemakaian sediaan psikotropika dalam 1 tahun ∑p : jumlah seluruh pemakaian sediaan psikotropika

b. Analisis ABC nilai investasi

Seluruh sediaan didata jumlah pemakaian dan harga satuannya.

Kemudian dihitung nilai investasi dengan cara mengalikan jumlah pemakaian

setiap sediaan dengan harga satuan masing-masing sediaan. Sediaan kemudian

diurutkan dari yang nilai investasinya paling tinggi ke yang paling rendah dan

diklasifikasikan menjadi kelompok A-NI, B-NI, dan C-NI berdasarkan persentase

kumulatif 80%, 15%, dan 5%. Sediaan yang sudah diklasifikasikan kemudian

diberi skor 3 untuk sediaan yang masuk dalam kelompok ANI, 2 untuk kelompok

BNI, dan 1 untuk kelompok C-NI. Berikut rumus perhitungannya:

= × ℎ

Keterangan:

NI : nilai investasi psikotropika p : jumlah pemakaian psikotropika h : harga satuan psikotropika

% =

∑ × 100%

Keterangan:

%NI : persen nilai investasi psikotropika NI : nilai investasi psikotropika

∑NI : jumlah nilai investasi

2. Analisis ABC indeks kritis

Analisis ABC indeks kritis dilakukan dengan menjumlah skor nilai pakai

dan nilai investasi masing-masing sediaan dengan rumus berikut:

= +

Keterangan:

(46)

Dari hasil perhitungan tersebut kemudian sediaan diurutkan dari nilai

indeks kritis paling besar ke yang paling kecil dan diklasifikasikan menjadi

kelompok A-NIK, B-NIK, dan C-NIK berdasarkan hasil penjumlahan antara skor

nilai pakai dan nilai investasi. Untuk nilai pakai dan nilai investasi dengan skor A

dikonversikan menjadi 3, skor B menjadi 2, dan skor C menjadi 1, jadi range skor

yang didapat adalah 2-6. Sediaan akan dikategorikan menjadi 3 kelompok,

sehingga perlu dilakukan penghitungan range untuk masing-masing kelompok

dengan cara sebagai berikut:

= − ℎ

Jadi range skor yang diperoleh adalah:

= 6 − 2

3 =

4 3= 1,33

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka sediaan dengan skor 2 - 3,33 masuk

dalam kelompok C-NIK, sediaan dengan skor 3,34 – 4,66 masuk dalam kelompok

B-NIK, dan sediaan dengan skor 4,67 – 6 masuk dalam kelompok A-NIK.

3. AnalisisMoving Average Total

Analisis ini dilakukan dengan mendata pemakaian masing-masing

sediaan yang masuk dalam kriteria A-NIK di masing-masing apotek. Sediaan itu

kemudian dijumlahkan kumulatif tiga bulan secara bergerak dan dibagi tiga

sehingga akan didapatkan hasil penjumlahan kumulatif. Setelah itu dilakukan

perhitungan pertumbuhan rata-rata (average growth) dengan menghitung

(47)

dibandingkan dengan jumlah pemakaian tiga bulan sebelumnya. Setelah

didapatkan angka average growth, maka dilakukan perhitungan angka tiga bulan

bergerak selanjutnya dengan menjumlahkan angkaaverage growthdengan 100%

kemudian dikalikan dengan jumlah pemakaian sediaan pada bulan terakhir.

Perhitungan forecast bulan yang akan datang dihitung dari angka tiga bulan

bergerak selanjutnya dikurangi dengan jumlah pemakaian 2 bulan terakhir.

Setelah didapatkan perkiraan untuk bulan ketujuh, maka selanjutnya dihitung lagi

kumulatif tiga bulan selanjutnya dan akan didapatkan average growth yang baru

yang digunakan untuk perhitungan forecast bulan kedelapan, dan begitu

seterusnya sampai didapatkan perkiraan untuk bulan yang keduabelas. Cara

(48)

33

Tabel I. Cara PerhitunganMoving Average Total 1. Periode 1 Tahun (Januari-Desember)

(49)

34

(50)

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian evaluasi pengadaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten

Sleman periode 2010 ini merupakan penelitian yang menerapkan hukum Pareto

dan perhitunganMoving Average Total dalam menganalisis pengelolaan sediaan

psikotropika di Puskesmas. Dengan aplikasi metode Pareto ABC akan didapatkan

nilai indeks kritis sediaan psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman yang

seluruhnya berjumlah 25 Puskesmas. Untuk mendapatkan nilai indeks kritis ini,

sebelumnya perlu dilakukan analisis Pareto terlebih dahulu terhadap nilai pakai

dan nilai investasi dari sediaan psikotropika yang tersedia di Puskesmas. Dari nilai

indeks kritis yang didapatkan, item sediaan psikotropika yang masuk dalam

kategori A-NIK akan lebih diprioritaskan perihal dalam pengelolaannya, karena

item yang masuk dalam kategori ini merupakan item yang paling berpengaruh,

baik dilihat dari nilai pakai maupun nilai investasinya sehingga memerlukan

perhatian khusus. Item yang masuk dalam kelompok A-NIK ini kemudian akan

dianalisis dengan metode Moving Average Total yang bertujuan untuk

memprediksikan jumlah pemakaian sediaan psikotropika dalam satu periode

dengan melihat pada angka pertumbuhannya.

A. Pareto ABC Nilai Pakai dan Nilai Investasi

1. Pareto ABC Nilai Pakai

Nilai pakai ditentukan dengan melihat pada jumlah pemakaian tiap item

(51)

jumlah pemakaian tiap itemini selanjutnya dibuat persentase pemakaian tiapitem

sediaan psikotropika yang kemudian diurutkan dari persentase yang paling tinggi

sampai pada persentase yang paling rendah. Urutan item sediaan psikotropika ini

kemudian diklasifikasikan ke dalam kelompok A, B, dan C sesuai dengan

persentase kumulatif pemakaiannya. Kelompok A merupakan item dengan

pemakaian terbanyak yang mendominasi 80% dari total seluruh pemakaian dan

diberi nilai 3. Kelompok B adalah item dengan pemakaian sedang sebesar 15%

dari total seluruh pemakaian dan diberi nilai 2. Sedangkan kelompok C adalah

sediaan dengan pemakaian rendah sebesar 5% dari total seluruh pemakaian dan

diberi nilai 1. Pengelompokan psikotropika berdasarkan nilai pakai gabungan

seluruh Puskesmas dapat dilihat pada tabel di berikut ini.

Tabel II. Pengelompokan Sediaan Psikotropika Puskesmas Kabupaten Sleman Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2010

Kelompok Sediaan psikotropika

(1 item) halloperidol 1,5 mg 20 107859 62,96 BNP

(1 item) diazepam tablet 2 mg 20 53736 31,36

CNP diazepam injeksi 5 mg/ml 12

stesolid 5mg 2

Total 5 100 171323 100

Total item psikotopika di Puskesmas Kabupaten Sleman selama periode

2010 adalah sebanyak 5 item. Dari 5 item tersebut, terdapat 1 item yang masuk

kedalam kelompok A-NP atau 20,00% dari total item psikotropika yang ada,

(52)

pemakaian psikotropika. Untuk kelompok B-NP terdapat 1 itematau 20,00% dari

total item psikotropika yang ada, dengan jumlah pemakaian sebesar 53736 atau

sekitar 31,36% dari total jumlah pemakaian psikotropika. Sedangkan kelompok

C-NP terdiri dari 3 item atau 60,00% dari total item psikotropika yang ada,

dengan jumlah pemakaian sebesar 9728 atau sekitar 5,68% dari total jumlah

pemakaian psikotropika.

Gambar I. Diagram Batang Jumlah dan Persentase tiap Kelompok Nilai Pakai Pukesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan teori Pareto ABC nilai pakai, kelompok sediaan A-NP berisi

20% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 70%-80%, sediaan B-NP

berisi 30% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, sediaan

C-NP berisi 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5% (Zulfikarijah,

2008). Apabila dibandingkan dengan teori, terdapat ketidaksesuaian nilai pakai

hasil Pareto ABC nilai pakai untuk kelompok A-NP dan B-NP. Kelompok A-NP

persentase nilai pakainya terlalu kecil sehingga tidak masukrangedan sebaliknya

0

Jumlah dan Persentae tiap Kelompok Nilai Pakai

pemakaian psikotropika. Untuk kelompok B-NP terdapat 1 itematau 20,00% dari

total item psikotropika yang ada, dengan jumlah pemakaian sebesar 53736 atau

sekitar 31,36% dari total jumlah pemakaian psikotropika. Sedangkan kelompok

C-NP terdiri dari 3 item atau 60,00% dari total item psikotropika yang ada,

dengan jumlah pemakaian sebesar 9728 atau sekitar 5,68% dari total jumlah

pemakaian psikotropika.

Gambar I. Diagram Batang Jumlah dan Persentase tiap Kelompok Nilai Pakai Pukesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan teori Pareto ABC nilai pakai, kelompok sediaan A-NP berisi

20% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 70%-80%, sediaan B-NP

berisi 30% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, sediaan

C-NP berisi 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5% (Zulfikarijah,

2008). Apabila dibandingkan dengan teori, terdapat ketidaksesuaian nilai pakai

hasil Pareto ABC nilai pakai untuk kelompok A-NP dan B-NP. Kelompok A-NP

persentase nilai pakainya terlalu kecil sehingga tidak masukrangedan sebaliknya

ANP BNP CNP

Jumlah dan Persentae tiap Kelompok Nilai Pakai

Jumlah item

Persentae nilai pakai (%)

pemakaian psikotropika. Untuk kelompok B-NP terdapat 1 itematau 20,00% dari

total item psikotropika yang ada, dengan jumlah pemakaian sebesar 53736 atau

sekitar 31,36% dari total jumlah pemakaian psikotropika. Sedangkan kelompok

C-NP terdiri dari 3 item atau 60,00% dari total item psikotropika yang ada,

dengan jumlah pemakaian sebesar 9728 atau sekitar 5,68% dari total jumlah

pemakaian psikotropika.

Gambar I. Diagram Batang Jumlah dan Persentase tiap Kelompok Nilai Pakai Pukesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan teori Pareto ABC nilai pakai, kelompok sediaan A-NP berisi

20% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 70%-80%, sediaan B-NP

berisi 30% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, sediaan

C-NP berisi 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5% (Zulfikarijah,

2008). Apabila dibandingkan dengan teori, terdapat ketidaksesuaian nilai pakai

hasil Pareto ABC nilai pakai untuk kelompok A-NP dan B-NP. Kelompok A-NP

persentase nilai pakainya terlalu kecil sehingga tidak masukrangedan sebaliknya

Jumlah dan Persentae tiap Kelompok Nilai Pakai

Jumlah item

(53)

kelompok B-NP persentase nilai pakainya terlalu tinggi sehingga melebihi range.

Oleh karena itu pengkategorian untuk ketiga kelompok dilakukan berdasarkan

pada besarnya persediaan dimana nilai A diberikan kepada 20% dari total

persediaan, nilai B 30% dari total persediaan dan nilai C 50% dari total

persediaan. Selain itu juga dapat dilakukan modifikasi range hukum Pareto

sehingga didapatkan pengkategorian yang lebih sesuai dengan profil persediaan

psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman yang terdiri dari sedikititem.

Gambar II. Grafik Distribusi Persediaan ABC Berdasarkan Analisis Nilai Pakai Puskesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan gambar grafik di atas, terlihat bahwa kelompok A-NP

menyerap pemakaian sebesar 62,96% dari total pemakaian seluruhnya meskipun

jumlahnya hanya 20,00% dari total sediaan yang ada, sehingga sediaan yang

masuk kedalam kelompok A-NP ini menjadi prioritas dimana persediaannya

harus selalu dijaga dan memerlukan pemantauan yang ketat agar tidak terjadi

kekosongan sehingga pemenuhan kebutuhan resep dapat tercapai.

kelompok B-NP persentase nilai pakainya terlalu tinggi sehingga melebihi range.

Oleh karena itu pengkategorian untuk ketiga kelompok dilakukan berdasarkan

pada besarnya persediaan dimana nilai A diberikan kepada 20% dari total

persediaan, nilai B 30% dari total persediaan dan nilai C 50% dari total

persediaan. Selain itu juga dapat dilakukan modifikasi range hukum Pareto

sehingga didapatkan pengkategorian yang lebih sesuai dengan profil persediaan

psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman yang terdiri dari sedikititem.

Gambar II. Grafik Distribusi Persediaan ABC Berdasarkan Analisis Nilai Pakai Puskesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan gambar grafik di atas, terlihat bahwa kelompok A-NP

menyerap pemakaian sebesar 62,96% dari total pemakaian seluruhnya meskipun

jumlahnya hanya 20,00% dari total sediaan yang ada, sehingga sediaan yang

masuk kedalam kelompok A-NP ini menjadi prioritas dimana persediaannya

harus selalu dijaga dan memerlukan pemantauan yang ketat agar tidak terjadi

kekosongan sehingga pemenuhan kebutuhan resep dapat tercapai.

kelompok B-NP persentase nilai pakainya terlalu tinggi sehingga melebihi range.

Oleh karena itu pengkategorian untuk ketiga kelompok dilakukan berdasarkan

pada besarnya persediaan dimana nilai A diberikan kepada 20% dari total

persediaan, nilai B 30% dari total persediaan dan nilai C 50% dari total

persediaan. Selain itu juga dapat dilakukan modifikasi range hukum Pareto

sehingga didapatkan pengkategorian yang lebih sesuai dengan profil persediaan

psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman yang terdiri dari sedikititem.

Gambar II. Grafik Distribusi Persediaan ABC Berdasarkan Analisis Nilai Pakai Puskesmas Kabupaten Sleman Periode 2010

Berdasarkan gambar grafik di atas, terlihat bahwa kelompok A-NP

menyerap pemakaian sebesar 62,96% dari total pemakaian seluruhnya meskipun

jumlahnya hanya 20,00% dari total sediaan yang ada, sehingga sediaan yang

masuk kedalam kelompok A-NP ini menjadi prioritas dimana persediaannya

harus selalu dijaga dan memerlukan pemantauan yang ketat agar tidak terjadi

(54)

Sebaliknya, kelompok C-NP hanya menyerap pemakaian sebesar 5,68%

dari total pemakaian seluruhnya meskipun jumlahnya 60,00% dari total sediaan

yang ada, sehingga diperlukan pengendalian untuk sediaan yang masuk kedalam

kelompok C-NP ini dimana persediaannya harus selalu diawasi jangan sampai

berlebihan, bahkan kalau bisa ditiadakan pengadaannya, sehingga akan dapat

menghemat biaya pengadaan obat seperti biaya pemesanan dan penyimpanan

obat, serta dapat mengurangi jumlah persediaan. Contoh sediaan kelompok C-NP

yang dapat ditiadakan pengadaannya adalah stesolid 5 mg, dimana selama periode

2010 sediaan ini jumlah pemakaianya hanya 2 atau sebesar 0,001% dari total

jumlah pemakaian sediaan Psikotropika di Puskesmas Kabupaten Sleman.

Sedangkan Kelompok B-NP mempunyai persentase jumlah pemakaian

sebesar 31,37% dari total pemakaian seluruhnya dari 20,00% total sediaan yang

ada, merupakan kelompok dengan pemakaian sedang. Hal ini tidak berarti bahwa

sediaan yang masuk dalam kelompok ini tidak perlu dikendalikan. Sediaan

kelompok B-NP juga harus tetap diawasi agar persediaannya tidak berlebihan

yang dapat berakibat pada meningkatnya resiko kerusakan sediaan karena

penyimpanan yang lama atau bahkan resiko kadaluwarsa.

2. Analisis ABC Nilai Investasi

Untuk analisis ABC nilai investasi, selain jumlah pemakaian sediaan,

diperlukan juga harga dari sediaan tersebut. Untuk harga sediaan psikotropika,

dilihat dari Keputusan Menteri Kesehatan No: HK. 03/ 01/ Menkes/

146/I.2010tentangharga obat generik. Nilai investasi dihitung dengan cara

(55)

Kemudian nilai investasi yang diperoleh diurutkan dari nilai tertinggi sampai

terendah dan dibuat persentase nilai investasi tiap item.

Sama dengan analisis ABC nilai pakai, sediaan dikelompokkan menjadi 3

kelompok. Kelompok A adalah sediaan farmasi dengan nilai investasi tertinggi

yang mendominasi 80% dari total seluruh investasi dan diberi nilai 3. Kelompok

B diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi sedang sebesar 15% dari total

seluruh nilai investasi dan diberi nilai 2. Sedangkan kelompok C adalah sediaan

dengan pemakaian rendah sebesar 5% dari total seluruh nilai investasi dan diberi

nilai 1. Berikut akan disajikan tabel pengelompokan item sediaan hasil analisis

Pareto ABC berdasarkan nilai investasi seluruh Puskesmas Kabupaten Sleman

Periode 2010.

Tabel III. Pengelompokan Sediaan Psikotropika Puskesmas Kabupaten Sleman Berdasarkan Nilai Investasi Periode 2010

Kelompok Sediaan psikotropika

ANP (1 item) halloperidol 1,5 mg 20 11.134.285 86,15

BNP (1 item) diazepam tablet 2 mg 20 1.329.966 10,29

CNP(3 item)

fenobarbital 30 mg

60 459.459 3,56

stesolid 5mg

diazepam injeksi 5 mg/ml

Total 5 100 12.923.710 100

Dari total 5 item psikotopika di Puskesmas Kabupaten Sleman, terdapat 1

item yang masuk kedalam kelompok A-NI atau 20,00% dari total item

psikotropika yang ada, dengan nilai investasi sebesar Rp 11.134.285,00 atau

Gambar

Tabel VI. Hasil Perbandingan Analisis Moving Average Total Sediaanhalloperidol 1,5 mg di Seluruh Puskesmas Kabupaten Sleman Periode 2010.......50
Gambar V. Diagram Persentase Pemakaian halloperidol 1,5 mg untuk masing-masing Puskesmas di Kabupaten Sleman ..............................................................45
Tabel I. Cara Perhitungan Moving Average Total
Tabel II. Pengelompokan Sediaan Psikotropika Puskesmas Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dibutuhkan karena persaingan pasar saat ini sangatlah ketat, sehingga suatu perusahaan hams mampu mengembangkan suatu strategi yang dapat membuat pemsahaannya tetap

Ruang lingkup dalam pengelolaan arsip dinamis aktif dan inaktif Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Pesisir Selatan mencakup ketentuan umum,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN INTERNET DAN MEDIA SOSIAL UNTUK PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK INDIVIDU (NON JEJARING) DI

Pada penelitian ini, metode pembuatan yang akan dilakukan yaitu dengan mengurangi jumlah semen yang dipakai dalam komposisi beton, ditentukan dengan menambahkan persentase fly ash dan

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume

Sedangkan definisi dari kata efektif adalah suatu pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan

penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah bahan ajar Kajian Puisi berbasis prezi presentation. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: lembar

(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat/Kepala SKPD atau Pejabat yang ditunjuk atas Surat Keterangan Retribusi Pemakaian Kekayaan