• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI MEMBANGUN KIJINGNGIJING (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI MEMBANGUN KIJINGNGIJING (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang) SKRIPSI"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI

MEMBANGUN KIJING/NGIJING (Studi Deskriptif Di

Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu

Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

Diajukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)

OLEH

NUR ROFIQOH

NIM 111 11 231

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Merusak diri sendiri adalah hal yang begitu mudah, so...

Save yourself, Do the best, and Remember to Allah Swt.

(7)

PERSEMBAHAN

Hasil karya ini kupersembahkan untuk:

Orang Tuaku,

Sahabat-sahabat ku, dan

(8)

KATA PENGANTAR

Asslamu‟alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas

segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan

kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga

tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh

gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku rektor IAIN Salatiga.

2. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam

(PAI).

3. Bapak Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A sebagai dosen pembimbing

skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya

serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk

menyelesaikan tugas ini.

4. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku pembimbing akademik.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak

(9)
(10)

ABSTRAK

Rofiqoh. Nur. 2015 .Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun Batu Nisan/Ngijing (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A

Kata kunci: Nilai, Pendidikan Islam, Tradisi, Ngijing

Latar belakang penelitian adalah tradisi ngijing pada seribu hari setelah seribu hari masih dilaksanakan oleh masyarakat khususnya Desa Siwal, beradasarkan teori Bratawidjaja bahwa selamatan seribu hari setelah kematian biasanya disertai dengan membangun batu nisan atau ngijing. Tradisi ngijing masih bertahan, dan dilestarikan di era globalisasi karena dalam tradisi yang memiliki makna dan nilai tinggi yang dipercayai oleh masyarakat Siwal. Tradisi juga sebagai media dalam menyampaikan pesan pendidikan dalam budaya Jawa.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; 1) Bagaimana prosesi (tahapan) dalam ritual membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?, 2)Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual membangun batu nisan (ngijing) pada pemakaman di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?, 3) Apa sajakah manfaat prosesi dalam ritual pergantian nisan (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?. Tujuan penelitian ini adalah; 1) Untuk mengetahui prosesi atau tahapan dalam ritual tradisi membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, 2) Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual tradisi membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, 3) Untuk mengetahui manfaat prosesi dalam ritual membangun nisan (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan motede kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data menggunakan taknik observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mendapatkan data yang akurat. Data yang diperoleh dianalisis dengan mereduksi data, menyajiakan, lalu menyimpulkan data.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR BERLOGO... ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN KELULUSAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... V MOTTO... vi

PERSEMBAHAN... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Fokus Penelitian... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Penegasan Istilah ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

(12)

BAB II KAJIAN PUSTAKA 21

A. Definisi Nilai... . ... 21

B. Nilai Pendidikan Islam ... 24

C. Konsep Ritual Dari Segi Antropologi ... 29

D. Ritual Membangun Batu Nisan (Ngijing)... 33

E. Penelitian Terdahulu ... 37

BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN... 39

A. Letak Geografis ... 39

B. Letak Demografis ... 40

C. Kondisi Ekonomi dan Pendidikan ... 41

D. Kondisi Sosial Budaya ... 44

E. Kondisi Keagamaan ... 45

F. Proses Pelaksanaan Tradisi Membangun Kijing (Ngijing) .... 48

BAB IV PEMBAHASAN ... 65

A. Pendahuluan ... ... 65

B. Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun

Kijing (Ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan

Kaliwungu Kabupaten Semarang ...

66

C. Nilai Positif dan Nilai Negatif Dalam Tradisi Ngijing di

Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kbupaten

(13)

D. Ritual Dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing) ... 77

E. Kesimpulan ... 83

BAB V PENUTUP... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan salah satu negara dari sekian banyak

negara yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Bangsa Indonesia

yang kaya akan budaya ini tersebar di berbagai pulau, wilayah, bahkan

sampai ke pelosok pedesaan. Hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri

bagi bangsa Indonesai karena nenek moyang bangsa Indonesia

mewariskan budaya yang beraneka ragam tersebut untuk generasi

penerusnya. Bentuk keanekaragaman tersebut terjadi tergantung dari

masing-masing budaya yang berkembang di daerah mereka. Budaya yang

berkembang di masing-masing daerah mempengaruhi kehidupan

masyarakat seperti bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

model pakaian, arsitektur bangunan, cara bergaul dan juga pengaruhnya

terhadapa kepercayaan serta ritual ibadah yang dijalankannya.

Salah satu budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah

budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa dikenal dengan

identitas kejawaannya. Maka dari itu pemerintah menggalakkan

pelestarian budaya khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa yang merupakan

budaya nasional yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat

(Bratawidjaja, 2000:10). Hal tersebut karena suku Jawa menjadi suku

(15)

Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa

mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh

karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang

bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang

berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara

yang satu dengan yang lain berbeda. Para leluhur atau nenek moyang Jawa

yang meninggalkan warisan identitas budaya tersebut bukan hanya patut

dibanggakan tetapi juga harus dilestarikan. Kebudayaan bagi orang Jawa

merupakan pengetahuan yang dijadikan pedoman atau penginterprestasi

keseluruhan tindakan manusia (Syam, 2005:16). Melalui definisi

kebudayaan tersebut memungkinkan mereka mengkaji agama, sebab

agama bukan gagasan atau produk hasil pemikiran manusia atau perbuatan

ataupun hasil dari perbuatan manusia. Akan tetapi perbuatan atau hasilnya

termasuk produk dari kebudayaan bukan semata-mata hasil dari agama.

Oleh sebab itu agama dilihat sebagai suatu sistem kebudayaan.

Disadari atau tidak, sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat,

banyak didominasi oleh nilai moral dalam kebudayaan Jawa, sehingga

usaha pelestarian budaya Jawa dilakukan melalui berbagai jalan agar tidak

ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri. Selain itu budaya Jawa juga

memiliki simbol-simbol yang sarat akan nilai-nilai hidup dan kehidupan

secara esensial. Simbol ini merupakan sumber-sumber informasi yang

(16)

Jawa dengan masih menjalankan budaya berarti juga mewariskan nilai

yang terkandung dalam budaya tersebut.

Pewarisan nilai dalam pendidikan Islam berarti menghidupkan

warisan nilai Islam. Menurut bahasa, pewarisan berarti pemindahan

kekayaan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya

(An-Nahlawi, 1996:217). Memelihara warisan pemikiran dan kebudayaan

merupakan perkara yang sangat penting, sebab upaya tersebut meneruskan

pengalaman yang luhur dari generasi kepada generasi berikutnya. Namun

pewarisan luhur ini tidak dapat serta merta disampaikan secara utuh

kepada anak-cucu mereka, sebagian terpaksa di pertahankan dan sebagian

lagi perlu dimodifikasi. Pemodifikasian ini dilakukan karena mungkin ada

beberapa aspek yang bertentangan dengan aqidah ataupun sudah tidak

sesuai dengan zaman yang telah berubah.

Salah satu unsur budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat

atau tradisi kejawen. Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan

kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan

yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi

sebuah tradisi. Tradisi merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di

dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari

generasi ke generasi. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah

mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat

(17)

dalam tubuh masyarakat, sehingga untuk mengubahnya adalah sesuatu

yang sulit maka salah satu langkah bijak ketika tradisi itu tidak diposisikan

berhadapan dengan ajaran tetapi tradisi dijadikan pintu masuk ajaran.

Ketika dilihat dari sisi sejarahnya tradisi yang kita tahu bahwa

sebelum Islam masuk ke Indonesia mayoritas penduduknya beragama

Budha, Hindu, dan kepercayaan animisme dinamisme. Kedatangan wali

songo untuk mengajarkan Islam sangatlah sulit dan terhalang oleh

kepercayaan dan budaya yang sudah ada. Akhirnya para walipun mencoba

mengubah budaya yang sudah ada untuk dialihmaknakan kedalam ajaran

Islam. Jadi masyarakat tidak perlu meninggalkan budaya yang sudah ada

namun tetap menjalankan ajaran Islam. Ternyata cara ini mampu

diterapkan kepada masyarakat Indonesia khususnya di Jawa tersebut dan

dikenal dengan budaya Jawa.

Salah satu adat dan tradisi yang dialihmaknakan adalah tradisi

dalam ritual membangun kijing (ngijing) di pemakaman atau pasareyan

oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan implementasi kepercayaan

mereka akan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan yang

gaib. Tradisi ini telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap

dilakukan walaupun sekarang masyarakat sudah memiliki sistem

transportasi, komunikasi dan ilmu teknologi yang modern dan telah

bersentuhan dengan budaya-budaya global. Masyarakat yang masih

melaksanakan, menghayati dan mempertahankan tradisi ini adalah

(18)

Semarang. Tradisi Ngijing merupakan suatu jenis kebudayaan lokal

tradisional orang Jawa. Dengan demikian tradisi Ngijing dapat

diklasifikasikan sebagai kebudayaan Jawa.

Ngijing berasal dari kata kijing (nisan), sedangkan ngijing berarti

pemasangan kijing (Bratawijaya, 1988:135). Tradisi Ngijing pada upacara

Selametan Nyewu merupakan salah satu bentuk upacara tradisi yang

diwariskan leluhur (Mulyadi, 1982;116). Upacara itu dilaksanakan di

pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan.

Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga yang akan

melaksanakan pembangunan batu bisan tersebut di rumahnya mengadakan

slametan kenduri pada sore hari atau setelah waktu ashar. Selanjutnya

pada malam harinya pemilik rumah mengadakan tahlilan dan yasinan

dengan mengundang tetangga dan warga sekitar. Biasanya warga yang

diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Zaman

dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah maka bisa digantikan anak

laki-lakinya agar orang yang mempunyai hajat tidak perlu mengantarkan.

Pada saat pulang, orang-orang yang dating tahlilan mendapat berkat dari

yang punya hajat (Bayuadhy, 2015:14). Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan

sayur dalam satu wadah.

Pelaksanaan tradisi Ngijing ini merupakan simbol ketaatan kepada

tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada. Di samping itu,

(19)

tidak disingkirkan atau di asingkan, tetapi akan mendapat kesan negatif

dari anggota masyarakat lainnya. Kesan negatif yang paling sering terjadi

adalah diasingkan dalam pergaulan sehari-hari, karena dianggap tidak

menghormati leluhur. Dalam prosesi acara ini dilakukan bacaan mantera

dan saji-sajian serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa.

Yang oleh wali songo merubah bacaan-bacaan mantera dengan bacaan

ayat suci Al-Qur‟an dan doa kepada Allah Swt. yang terangkai dalam

tahlil. Bukan lagi untuk memuja dan memberi saji-sajian kepada roh,

namun untuk memohon kepada Allah Swt. agar arwahnya diberikan jalan

terbaik di akhirat.

Berkaitan dengan paparan di atas, maka timbul suatu keinginan

dari penulis guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-nilai pendidikan

islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing (ngijing) yang

telah mentradisi khususnya di masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal

Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Dimana masyarakat

setempat menganggap bahwa tradisi membangun kijing (ngijing) yang

mereka lakukan selama ini bertujuan untuk melaksanakan ajaran agam

Islam dan melestarikan tradisi yang menjadi keyakinan masyarakat Jawa

serta mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut kepada

generasi berikutnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengungkap

nilai-nilai Islam dalam tradisi pergantian kijing (ngijing) dengan judul

(20)

MEMBANGUN KIJING /NGIJING (Studi Deskriptif di Dusun Siwal

Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, didapat beberapa fokus masalah yang

menjadi pembahasan diantaranya adalah:

1. Bagaimana prosesi (tahapan) dalam ritual membangun kijing (ngijing)

di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten

Semarang?

2. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual

membangun kijing (ngijing) pada pemakaman di Dusun Siwal Desa

Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?

3. Apa saja nilai positif dan nilai negatif yang terkandung dalam tradisi

ngijing bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan

Kaliwungu Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian di atas maka tujuan penelitiannya

antara lain:

1. Untuk mengetahui prosesi atau tahapan dalam ritual tradisi

membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan

(21)

2. Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung

dalam ritual tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa

Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.

3. Untuk mengetahui nilai positif dan nilai negatif dalam ritual

membangun kijing (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal

Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti

sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci

kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis.

a. Menambah khasanah keilmuan dalam ranah pendidikan dan

kebudayaan lokal di Indonesia.

b. Menyumbangkan wacana dan informasi bagi semua lapisan

masyarakat agar tetap menjaga tradisi dan adat istiadat peninggalan

nenenk moyang orang Jawa.

2. Secara Praktis.

a. Dapat membantu memberikan pemahaman dalam tradisi

membangun kijing (ngijing).

b. Dapat membantu menyampaikan nilai-nilai pendidikan Islam

(22)

c. Untuk menjaga dan membentengi kemurnian keimanan umat Islam

yang masih belum bisa memaknai ritual dalam tradisi membangun

kijing (ngijing).

E. Penegasan Istilah

1. Nilai.

Kata “nilai” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti 1 harga

(dl arti taksiran harga); 2 harga sesuatu (uang misalnya) jika diukur

atau ditukarkan dengan yang lain; 3 angka kepandaian, potensi; 4

kadar, mutu, banyak sedikitnya isi; 5 sifat-sifat (hal-hal) yang penting

atau berguna bagi kemanusiaan. Menilai(kan): 1 menghargai,

mengira-ngirakan nilainya; 2 memberi angka (ponten). Nilaian: taksiran.

Penilaian juru taksir. Pe(r)nilaian: perbuatan (hal dsb) menilai.

Nilai (velere artinya kuat, baik, berharga). Dalam kamus

Purwadarminta dikatan nilai adalah 1 harga dalam arti taksiran, 2

harga taksiran, 3 angka kepandaian, 4 kadar, 5 sifat-sifat atau hal-hal

yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Daroeso, 1986:19). Nilai

adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau

hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007:374). Menurut Fraenkel

nilai adalah sebagai standar penuntun perilaku seseorang dalam

menentukan apa yang indah, efisien, dan berharga tidaknya sesuatu

(23)

2. Pendidikan Islam

Pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku

seseorang melalui serangkaian proses (Hamalik, 2003:79). Pendidikan

Islam adalah falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun

untuk melaksanakan praktek pendidikan didasarkan nilai-nilai dasar

Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis (Thoha, 1996:99).

3. Tradisi

Pengertian tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi: 1

adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih

dijalankan dl masyarakat; 2 penilain atau anggapan bahwa cara-cara

yang benar telah ada merupakan yang paling baik dan benar.

Mentradisi: menjadi tradisi. Mentradisikan: menjadikan tradisi.

Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang

telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun

temurun dari nenek moyang.

4. Kijing

Pengertian kijing dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kijing : 1

kijing: kepah (remis) yang agak besar tetapi lebih kecil dari kerang,

halal dimakan, cangkangnya agak pipih; 2 batu penutup makam yang

menyatu dengan batu nisannya (terbuat dari pualam, tegel, atau

semen). Mengijing: membuatkan (memasang) kijing pada makam.

Kijing adalah batu penutup makam yang menyatu dengan batu

(24)

2014:143). Berdasarkan uraian di atas bahwa nilai-nilai pendidikan

Islam dalam tradisi membangun kijing (ngijing) adalah suatu

kepercayaan tertentu tentang perayaan dalam masyarakat untuk

melestarikan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang supaya

menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang sesuai dengan ketentuan

Tuhan Yang Maha Esa atau sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat

pada tradisi membangun kijing (ngijing).

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif karena

dari penelitian ini menghasilkan data deskriptif. Menurut Denzin dan

Licoln menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena

yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode

yang ada (Moloeng, 2008: 5). Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan etnografi. Penekanan dari etnografi

adalah pada studi keseluruhan budaya (Moloeng, 2008:26).

Pendekatan etnografi ini secara umum yaitu melakukan pengamatan

dan ikut serta dalam penelitian lapangan, maka akan diperoleh data

(25)

2. Kehadiran Peneliti.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka

mengumpulan data sesuai informasi yang didapat berupa data ucapan

atau kata-kata dan dokumen yang disajikan lalu ditelaah guna

menemukan makna yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu

kehadiran peneliti sangat penting mengingat peneliti menjadi

instrumen utama dan sebagai pengumpul data dari penelitian tersebut.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian.

Waktu dan tempat atau lokasi penelitian akan diselenggarakan

perlu disepakat oleh interviewer. Artinya perlu membuat janji terlebih

dahulu dengan interviewer. Pembuatan janji ini bukanlah tanpa alasan.

Karena wawancara yang dilakukan secara mendadak mungkin tidak

akan baik bisa berkaitan dengan kemungkinan data atau informasi

yang akan diperoleh tidak obyektif atau tidak akurat.

Peneliti memilih lokasi untuk penelitian di Dusun Siwal Desa

Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Yang menjadi

pertimbangan pemilihan lokasi penelitian antara lain: salah satu

kawasan Jawa Tengah yang masih kental akan budaya dan tradisi Jawa

dan daerahnya dengan kondisi sosial yang baik.

4. Sumber Data.

Menurut Lofland yang dikutip Moloeng sumber utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah

(26)

Berkaitan dengan hal tersebut maka jenis datanya dapat berupa

kata-kata dan tindakan, foto, sumber data tertulis atau statistika.

Sumber data utama adalah pengumpulan informasi atau data yang

diperoleh dari para informan yang dianggap mengetahui dan terlibat

aktif di dalamnya yang disertai dengan dokumentasi sebagai bukti

bahwa penulis telah melakukan penelitian.

Pengumpulan data itu sendiri adalah proses untuk menghimpun

data yang harus diperhatikan (data apa yang dikumpulkan), relevan

serta akan memberi gambaran dari aspek yang akan diteliti baik

penelitian keputusan maupun penelitian lapangan (Soeharto,

1989:156). Penelitian lapangan merupakan proses perolehan informasi

dari keluarga, tetangga, tokoh masyarakat, tokoh budaya dan tokoh

agama setempat.

5. Prosedur Pengumpulan Data.

Menurut Soeharto (1989:156) dalam memperoleh data yang akurat

dan relevan ada beberapa cara yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Penelitian Kepustakaan.

1) Peneliti tahap awal yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk

mendapatkan buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang

relevan dengan judul.

2) Menelaah isi buku dengan cara menandai bab yang sekiranya

(27)

b. Penelitian lapangan.

Ada beberapa tahap yang harus ditempuh dalam penelitian

yaitu:

1) Menelaah bahan tertulis yang relevan dengan judul.

2) Melakukan survei pendahuluan.

3) Menentukan alat pengumpulan data.

Untuk mendapatkan data yang akurat dan sistematis maka

peneliti menggunakan beberapa teknik dalam penelitiannya yaitu:

1) Observasi

Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan

pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena yang diteliti.

Teknik ini memungkinkan melihat dan mengamati sendiri

kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi ditempat

penelitian (Moloeng, 2008:174). Maka peneliti melakukan

pengamatan langsung tahap demi tahap prosesi dalam acara

prosesi membangun kijing (ngijing) di Siwal dan memahami

dari setiap ritual yang dijalankan. Selain itu juga melakukan

catatan anekdot untuk mengetahui gejala atau peristiwa dalam

ritual tersebut.

2) Wawancara.

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(28)

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut (Moloeng, 2007:186). Dengan teknik pengumpulan

data penelitian ini bisa mendapatkan data yang mendalam dan

pengamatan yang lebih mendetail. Alat yang dapat digunakan

dalam wawancara antara lain (Sugiyono, 2006:269) :

a) Buku catatan yang berfungsi untuk mencatat semua

percakapan dengan sumber data.

b) Tape recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan

atau pembicaraan.

c) Kamera berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang

melakukan pembicaraan dengan informan.

3) Dokumentasi.

Dokumentasi berasal dari kata dokumen. Menurut Moloeng

dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng,

2008:216). Dokumen juga merupakan catatan peristiwa yang

sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau

karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2006:270).

Dokumentasi adalah metode penelitian ditujukan pada

penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui

sumber-sumber dokumen. Sumber dokumen dalam penelitian ini

berbentuk foto-foto dari setiap ritual yang dijalankan sebagai

(29)

6. Analisis Data.

Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya

yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain (Moloeng, 2008:248). Langkah-langkah

yang dapat ditempuh untuk analisis data adalah (Sugiyono, 2006:

277-283):

a) Reduksi Data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

b) Penyajian Data (Data Display)

Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan

sejenisnya. Untuk penelitian ini penyajian data dengan teks yang

bersifat naratif.

c) Verifikasi/Conclusion Drawing

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi.

Dari uraian di atas maka data yang diperoleh di lapangan ditulis

dalam bentuk uraian yang lengkap. Data tersebut dirangkum, dipilah,

(30)

masalah, sehingga memberikan gambaran yang lebih akurat dan jelas

tentang hasil wawancara, observasi maupun dokumentasi.

7. Pengecekan Keabsahan Data.

Teknik pemeriksaan data dalam penelitian dilakukan guna

menetapkan keabsahan data. untuk mendapatkan data yang absah

menurut Moloeng, maka diperlukan pengecekan keabsahan data

menggunakan:

a. Perpanjangan keikutsertaan.

Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen utama.

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan

data. Keikutsertaan tersebut bukan hanya dilakukan dengan waktu

yang singkat. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di

lapangan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Moloeng,

2008:327).

b. Ketekunan atau keajegan pengamatan.

Peneliti mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci

secara kesinambungan kemudian menelaahnya pada suatu titik

sehingga tampak salah satu faktor yang ditelaah sudah dipahami

dengan cara yang biasa (Moloeng, 2008:330).

c. Triangulasi.

Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah

(31)

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang telah

diperoleh (Moloeng, 2008:330).

d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi.

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil

sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi

dengan rekan-rekan sejawat (Moloeng, 2008:332). Teknik ini

dilakukan agar peneliti mempertahankan sikap terbuka dan

kejujuran.

e. Analisis kasus negatif.

Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan

mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola

dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan

digunakan sebagai bahan pembanding (Moloeng, 2008:334).

f. Pengecekan anggota.

Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses

pemeriksaan derajat kepercayaan dapat diikhtisakan bahwa

pengecekan anggota berarti peneliti mengumpulkan yang memiliki

pengetahuan yang mendalam untuk menjadi sumber kebenaran

data (Moloeng, 2008:335).

g. Uraian rinci.

Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil

(32)

secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian

diselenggarakan (Moloeng, 2008:338).

h. Auditing.

Auditing adalah konsep bisnis yang dimanfaatkan untuk

memeriksa kebergantungan dan kepastian data Moloeng,

2008:338).

8. Tahap-tahap Penelitian.

a. Penelitian Pendahuluan.

Mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan tradisi membangun

kijing (ngijing) dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat

didalamnya.

b. Penelitian Desain.

Setelah mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi

membangun kijing (ngijing) berdasarkan buku-buku kemudian

melakukan observasi dalam acara ritual membangun batu nisan

(ngijing) dan wawancara langsung kepada orang yang terlibat

langsung dalam acara tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta

(33)

Bab I, merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan.

Memuat: latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sampai pada

tahap-tahap penelitian.

Bab II, berisi kajian pustaka dari penelitian. Pada bagian ini

dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan

dengan obyek formal penelitian. Sesuai dengan judul skripsi maka

pembahasan pada bab II berisi tentang ritual dalam membangun kijing

(ngijing).

Bab III, penulis menyajikan hasil penelitian tentang gambaran

umum lokasi penelitian, kondisi lokasi penelitian, temuan penelitian

tentang ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing), dan pembahasan

pelaksanaan tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa

Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang dengan pemahaman

masyarakat akan ritual tersebut.

Bab IV, merupakan analisis dari tradisi membangun kijing

(ngijing), dan analisis dari segi antropologi serta mengemukakan

nilai-nilai pendidikan islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing

(ngijing).

Bab V, merupakan kajian yang paling akhir dari skripsi ini. Yang

mana pada bagian ini berisi kesimpulan dari pembahasan skripsi dan saran

(34)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Nilai

Nilai adalah harga, hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia

(Soenarji dan Cholisin, 1989:25). Nilai adalah suatu penghargaan atau

kualitas terhadap sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant),

memuaskan (satifying), menarik (interest), berguna (usefull),

menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan

(belief) (Daroesa, 1986:20). Menurut Munandar (1995:19) nilai adalah

sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala

sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau

maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang sangat

ketat.

Secara garis besarnya nilai hanya dibagi tiga macam yaitu nilai

benar-salah, nilai baik buruk, dan nilai indah-tidak indah (Tafsir, 2010:50).

Tatkala berdiskusi atau berdebat tantang kebudayaan yang pertama adalah

kebudayaan yang benar-salah, namun kecil kemungkinannya untuk tidak

berdebat. Hal tersebut karena kebudayaan sudah jelas ukurannya. Ukuran

utama kebudayaan adalah logika. Lain halnya bila budaya kedua yaitu

baik-buruk. Kebudayaan baik-buruk ini susah untuk disepakati karena

(35)

budaya baik-bururk kebanyakan bersumber dari keyakinan dan perasaan

dari masyarakat di masing-masing daerah.

Nilai yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat biasanya

berupa samar-samar. Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk

verbal secara komplet dan tepat oleh pemiliknya (Marzali, 2007:108). Hal

tersebut lebih implisit daripada eksplisit karena itu membentuk suatu ide,

atau pemikiran yang sangat abstrak dan umum. Namun dengan demikian

setelah melakukan penelitian yang mendalam, suatu nilai dari satu

masyarakat dapat diungkapkan dengan uraian kata-kata oleh peneliti.

Dari uraian di atas maka nilai adalah sesuatu hal yang tersimpan

secara implisit yang terdapat pada budaya di satu masyarakat yang dapat

diungkapkan dengan secara verbal maupun nonverbal dengan melalui

pemahaman yang lebih mendalam.

Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan,

yangmenyebabkan terdapat bermacam-macam nilai (Taufiq, 2013:18-20),

antara lain:

1. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Sjarkawi

adalah:

a. Nilai moral

b. Nilai sosial

c. Nilai undang-undang

(36)

Keempat nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan

kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni

kebutuhanakan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga

diri dan yangterakhir kebutuhan jati diri. Apabila kebutuhan dikaitkan

dengan nilainilaiagama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru.

Apakah untukmenemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin

yang baik itubaru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah

tercukupilebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang

merongrongdalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang

itu baru dapatberiman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan

ketaqwaantidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial

budaya, tidakterpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu.

2. Pendekatan proses budaya, menurut Darmadi nilai dapat

dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni:

a. Nilai ilmu pengetahuan

b. Nilai ekonomi

c. Nilai keindahan

d. Nilai politik

e. Nilai keagamaan

f. Nilai kekeluargaan

(37)

B. Nilai Pendidikan Islam

Menurut bahasa Pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah

dengan kata kerja rabba (Daradjat: 2011:25). Kata kerja rabba (mendidik)

sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti dalam ayat

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mengasuhku

(mendidikku) sejak kecil.” (Q.S Al-Isra‟:24).

Pendidikan dalam bahasa inggris berasal dari kata educare, yang

artinya adalah mengeluarkan potensi-potensi yang ada dalam diri siswa.

Dalam bahasa pendidikan di Indonesia diartikan sebagai suatu proses

mendidik siswa yang belum dewasa menuju kepada kedewasaan.

Menurut Nizar (2002:25) pendidikan dalam konteks islam pada

umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim.

Al-tarbiyah berasal dari kata rabb artinya tumbuh, berkembang, memelihara,

mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata rabb

sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Fatikhah ayat 2

mempunyai kandungan berkonotasi dari al-tarbiyah sebab kata rabb

(Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari kata yang sama. Secara

(38)

pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidik seluruh ciptaan-Nya

termasuk manusia.

Menurut Hafidz dan Kastolani pendidikan Islam meliputi:

1. Pendidikan Keimanan.

Esensi pendidikan Islam adalah ketuhanan, untuk mewujudkan

fokus utamanya adalah terbentuknya ikatan yang kuat antara

seseorang hamba yang fana dengan Allah penguasa alam yang

kekal (Hafidz dan Kastolani, 2009:70). Pendidikan tauhid erat

kaitannya dengan pendidikan aqidah. Aqidah menurut etimologi

adalah ikatan, sangkutan. Disebut dengan demikian karena aqidah

mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu,

dalam pengertian teknis artinya adalah keimanan atau keyakinan

(Ali, 2008:199). Pendidikan keimanan dimaksudkan sebagai

pendidikan spiritual yang istimewa bagi setiap individu.

Pendidikan keimanan erat kaitannya dengan pendidikan tauhid.

Tauhid berarti beriman pada ke-Esaan Allah Swt. Iman berarti

pengetahuan (knowledge), percaya (belief, faith), dan yakin tanpa

bayangan keraguan (to be convinced beyond the least shadow of

doubt). Dengan demikian iman adalah kepercayaan yang teguh

yang ditimbulkan akibat pengetahuan dan keyakinan (Assegaf,

201:38). Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:

(39)

Artinya:”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa(1). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.(4)" (QS. Al-Ikhlas 1-4).

2. Pendidikan Amaliyah.

Pendidikan amaliyah sebenarnya Islam sudah menegaskan tentang

aspek amaliyah tersebut karena pengaruhnya yang sangat penting

dalam kehidupan di dunia, serta membawa manfaat, kebaikan, dan

kebahagiaan bagi individu dan masyarakat (Hafidz dan Kastolani,

2009:82).

3. Pendidikan Ilmiah.

Pendidikan Ilmiah dalam Islam mencakup aspek ilmu pengetahuan

seperti membaca dan menulis, berkenaan dengan memperoleh ilmu

pengetahuan yang menjadi ibadah bagi pelakunya, aspek kandungan

ilmu pengetahuan tersebut yaitu taqwa dan takut kepada Allah Swt.,

dan aspek hakikat ilmu pengetahuan ilmiah dan metode ilmiah yang

dipergunakan (Hafidz dan Kastolani, 2009:100).

4. Pendidikan Akhlaq

Akhlaq adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi seorang

individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini

(40)

itu akhlak menjadi rujukan bagi seorang muslim, rumah tangga Islami,

masyarakat islami dan umat manusia seluruhnya. Pendidikan akhlak

antara lain tawakal, berbakti kepada orang tua, dan juga bergaul

dengan baik. Tawakkal atau tawakkul (bahasa Arab) berasal dari kata

kerja wakala yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dari segi

istilah berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam mengahadi

atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari sesuatu

keadaan (Asmaran, 2002:225). artinya bahwa sebagai seorang hamba

dalam berbuat dan bersikap dikehidupan sehari-harinya seharusnya

selalu berpedoman pada ajaran Allah dan juga tidak melupakan untuk

berikhtiar.

5. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan.

Manusia sebagai makhluk sosial menjadikan pendidikan sosial

kemasyarakatan menjadi pintu paling penting dalam pendidikan Islam

(Hafidz dan Kastolani, 2009:123). Oleh sebab itu Islam mengatur

hubungan individu dengan keluarga, individu dengan masyarakat, dan

memfokuskan pada pembentukan manusia yang saleh dalam

kehidupan yang luas ini.

Pendidikan Islam juga sebagai pewarisan budaya, yaitu sebagai

alat tranmisi unsur- unsur pokok budaya dari satu generasi ke genesari

berikutnya (An-Nahlawi, 1996:217). Oleh sebab itu identitasnya tetap

(41)

Ketika nilai telah diletakkan pada sebuah sistem, maka ia akan

mencerminkan paradigma, jati diri dan grand concept dari sistem tersebut.

Oleh karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan Islam bermakna

konsep-konsep pendidikan yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai

landasan etis, moral, dan operasional pendidikan (Sarjono, 2005:136).

Dalam konteks ini, nilai-nilai pendidikan Islam menjadi pembeda dari

model pendidikan lain, sekaligus menunjukkan karakteristik khusus.

Akan tetapi perlu ditegaskan, sebutan Islam pada pendidikan Islam

tidak cukup dipahami sebatas ciri khas. Islam berimplikasi sangat luas

pada seluruh aspek menyangkut pendidikan Islam, sehingga akan

melahirkan pribadi-pribadi Islami yang mampu mengemban misi yang

diberikan oleh Allah Swt. yakni sebagai khalifah dan „abid.

Dengan demikian pendidikan yang dijalankan atas dasar Islam

mempunyai dua orientasi. Pertama, ketuhanan yaitu penanaman rasa takwa

dan pasrah kepada Allah Swt. sebagai Pencipta yang tercermin dari

kesalehan ritual atau nilai sebagai hamba Allah Swt. Kedua, kemanusiaan,

yang menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan dan

makhluk hidup yang lain yang berkaitan dengan status manusia sebagai

khalifatullah fi al ard (Sarjono, 2005:137). Nilai itu sendiri selalu dihadapi

oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap mereka hendak

melakukan suatu pekerjaan, maka harus menentukan pilihan diantara

sekian banyak kemungkinan, dan harus memilih. Disinilah mereka

(42)

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa nilai pendidikan islam

adalahsuatu hal yang secara implisit dalam budaya dari generasi ke

generasi seterusnya sebagai manifestasi dari ucapan, perbuatan, dan materi

masyarakat serta kelakuan anggota masyarakat yang sesuai dengan syariat

agama Islam.

C. Konsep Ritual Dari Segi Antropologi

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan

keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai

adanya berbagai unsur komponen yaitu adanya waktu, tempat-tempat

dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang

menjalankan upacara (Koenjtaraningrat, 1985:56). Pada dasarnya ritual

adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan

benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan

memakai pakaian tertentu pula (Suprayogo, 2001:41). Hal tersebut

menunjukkan kesakralan dalam suatu ritual yang dilakukan oleh

masyarakat yang menganutnya.

Kepercayaan terhadap kesakralan sesuatu menuntut untuk

diperlakukan secara khusus. Terdapat tata cara perlakuan terhadap sesuatu

yang disakralkan. Ada upacara keagamaan yang berkaitan dengan sesuatu

yang sakral. Perlakuan khusus dan upacara ini tidak dapat dipahami secara

(43)

sampai bukit Marwah misalnya, pada umumnya tidak dapat dipahami

keuntungan dan alasan yang rasional sehingga harus melakukannya.

Upacara yang tidak dipahami secara konkret ini dinamakan rites

dalam bahasa inggris artinya tindakan atau upacara keagamaan (Agus,

2005:96). Upacara keagamaan tersebut seperti upacara penguburan mayat,

upacara pembaptisan, sakramen dan lainnya. Upacara, persembahan,

sesajen, ibadat keagamaan tersebut tidak dipahami secara ekonomi,

rasional, dan pragmatis. Hal ini dilakukan oleh masyarakat dan umat

beragama dari dahulu hingga sekarang.

Upacara ritual dalam antropologi dikenal dengan istilah ritus

(Agus, 2005:96). Ritual menurut Andrew Beatty adalah sebagai konsesus

simbolik (secara khas mencerminkan proses sosial) menuju pengakuan

yang lebih besar atas improvisasi atau penggunaan kreatif simbol-simbol

dan fragmantasi makna (Beatty, 2001:37). Individu dalam tatanan

kebudayaan yang beraneka ragam menggunakan sumber-sumber ilmu

pengetahuan yang berbeda untuk memahami dan menafsirkan arti dari

ritual tersebut.

Ritus dilakukan ada yang untuk mendapatkan berkah atau rezeki

yang banyak dari suatu pekerjaan seperti upacara sakral ketika akan turun

sawah; ada untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan

datang; ada upacara mengobati penyakit; ada upacara karena perubahan

atau siklus dalam kehidupan manusia seperti mulai kehamilan, kelahiran,

(44)

dan dikerjakan oleh dukun atau shaman sedangkan pengobatan secara

rasionaladalah dengan mendiagnosa penyakit melalui pemeriksaan konkret

dan pemberian obat yang dapat membunuh penyebab penyakit tersebut.

Dengan demikian makin tidak alamiah, rasional, ekonomis, dan

pragamtisnya ritual dan upacara keagamann itu, maka sangat menarik

sekali bagi para ahli antropologi untuk mempelajari dan memahaminya.

Dalam agama, biasanya upacara ritual atau ritus dikenal dengan

ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang (Agus. 2005:99). Setiap

agama mengajarkan bermacam-macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan

pada waktu tertentu yang dalam agama Islam disebut dengan dzikir.

Kecenderungan agama mengajarkan banyak ibadah tersebut tidak lain

bertujuan untuk manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari

mengingat Tuhannya. Bahkan dalam Islam menganjurkan kepada manusia

dalam menjalankan segala aktivitasnya diniatkan untuk ibadah kepada

Allah. Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur‟an Surat Al-Dzariyat ayat 56

Artinya:”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat:56)

Oleh karena itu ada ibadah mahdhah dan ada ibadah „ammah.

Istilah yang dikenal sebagai ritus dalam antropologi adalah ibadah

mahdhah, sedangkan yang lainnya adalah ibadah secara umum.

Agama juga mengatur tindakan dan perilaku manusia, baik dalam

(45)

banyak perilaku yang diharamkan sebagaimana banyak pula yang

dihalakan dan diwajibkan. Kedua aspek inilah yang dijarkan agama

menunjukkan bahwa agama bukan hanya upacara ritual.

Menurut Durkheim (Agus, 2005:102), baginya upacara-upacara

ritual atau ibadah adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk

menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang

melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat bahwa

Durkhein menyempitkan makna yang terkadung dalam ritual keagamaan

kepada keutuhan masyarakat dan solidaritas terhadap sesama.Begitu juga

ada adat ritual dan ritual (Beatty, 2001:37). Yang mengenai masalah mana

yang absah, apakan simbol yang bermakna sesuatu atau memiliki makna

banyak hal atau juga ritual dapat dipandang sebagai komunikasi. Namun

pada perkembangannya ritaul mengalami modifikasi dimana ritual tersebut

berkembang.

Pada solidaritas terhadap sesama dalam ritual keagamaan terdapat

pula ibadah yang dilakukan secara individu seperti berdoa, dzikir, shalat

seperti shalat dhuha dan tahajjut. Makna yang terkandung dalam ibadah

tersebut lebih kepada untuk individu tersebut seperti mendapat ketenangan

batin, ketabahan, harapan, dan juga memperbaiki kesalahan yang telah

dilakukan (sering meminta ampunan). Makna-makna tersebut adalah

makna terpenting yang terkandung dalam ibadah.

Slametan merupakan bentuk pesta dari ritual. Slametan

(46)

simbol-simbol material melainkan kata-kata yaitu kata-kata yang hanya

akan bermakna apabila diucapkan selama upacara (Beatty, 2001:38).

Namun tidak semua ucapan dan simbol-simbol dalam ritual memiliki

makna yang sama di masing-masing daerah, tugas dari antropolog untuk

mengungkap makna-makna dari simbol-simbol yang ada dalam suatu

kebudayaan. Hal ini bisa mengurangi upaya dalam memaknai seberapa

jauh slametan bagi orang Jawa yang beragama Islam, akan tetatpi slametan

berfungsi sebagai suatu kesatuan dari masyarakat setempat.

D. Ritual Membangun Kijing (Ngijing)

Kebudayaan cenderung di ikuti oleh masyarakat pendukungnya

secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun

sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan

munculnya bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran.

Kematian adalah pintu memasuki tahap pengalaman eksistensial manusia

yang lain, yang betul-betulberadadari yang sekarangsedangkitaalami

(Rachman, 2006:1440). Kematian menimbulkan dalam diri orang yang

berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi

emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang

mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia.

Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih

(47)

kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berduka-cita dari

penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu

atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur.

Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu

pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh

sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola

hidup dan sebagainya (Agus, 2005:95). Dengan pendekatan ini, penulis

mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi

kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya.

Kajian antropolagi terhadap agama tidak dapat secara langsung dan

fakta yang sedang diamati saja, namun untuk memahaminya yaitu dengan

memahami fenomena kehidupan beragama (Agus, 2005:49). Fenomena

kehidupan beragaman sangat beraneka ragam tergantung dari kondisi

keagamaan setiap daerah masing-masing. Keanekaragamana tersebut

terjadi karena perkembangan agama manusia dari zaman purba sampai

zaman modern sekarang. Pada zaman dulu masalah agama tidak dapat

teratasi dengan mudah karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum

maju. Oleh sebab itu gambaran yang didapat dalam penelititian dengan

pendekatan antropologi pada umumnya pada masyarakat zaman dulu atau

primitif adalah tentang agama yaitu sejenis kepercayaan atau keyakinan

animinsme, dinamisme, pralogis dan primitif (Agus, 2005:53). Keyakinan

manusia tentang agama lambat laun berubah seiring perkembangan ilmu

(48)

perbedaan budaya, sejarah, dan lingkungan masyarakat di masing-masing

daerah.

Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisa data yang telah

terhimpun untuk menjelaskan nilai pendidikan keimanan, pendidikan

amaliah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlaq, dan pendidikan sosial

kemasyarakatan sacara sendiri-sendiri. Selain itu penulis mencoba

memaparkan latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing.

Tradisi Ngijing menurut pandangan Islam merupakan wujud

kepercayaan masyarakat akan adanya alam gaib (Bratawidjaja, 1984:133).

Alam gaib yang dimaksud adalah alam kubur, bahwa orang yang masih

hidup masih mempunyai hubungan dengan kerabatnya yang telah

meninggal, dan diejawantahkan dalam bentuk slametan sebagai wujud

bakti mereka jika yang meninggal adalah orang tuanya. Dan sebagai

wujud kasih sayang jika yang meninggal adalah saudaranya. Kepercayaan

mayarakat dusun Siwaltentang adanya alam kubur diikuti dengan

keyakinan mereka akan adanya siksa kubur. Dengan demikian tradisi

Ngijing yang dilakukan masyarakat Dusun Siwal bermaksud mendoakan

orang tua maupun kerabatnya yang telah meninggal dunia agar selamat

dari siksa kubur. Pemasangan ini selain pada saat penguburan juga

dilakukan bersamaan dengan peringatan seribu hari (Bratawijaya,

1988:116). Ritual seputar kematian mempunyai fungsi dan pengaruh yang

(49)

Tradisi Ngijing pada upacara Selametan Nyewu merupakan salah

satu bentuk upacara tradisi yang diwariskan leluhur (Mulyadi, 1982:116).

Upacara itu dilaksanakan di pemakaman setempat atau yang lebih dikenal

dengan nama pasareyan. Upacara seribu hari ini bisa dikatakan sebagai

puncak dari rangkaian selamatan sesudah kematian. Pada waktu ini orang

Jawa meyakini bahwa roh manusia yang sudah meninggal tidak akan

kembali ketengah-tengah keluarga lagi. Roh tersebut betul-betul akan

pergi meninggalkan keluarga yang masih hidup untuk menghadap Tuhan.

Selamatan seribu hari ini biasanya diiringi dengan upacara membangun

batu nisan (ngijing). Ngijing ini dilakukan untuk mengganti pathok yang

sudah tiga tahun yang mestinya sudah rusak.

Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga

yang akan melaksanakan pergantian tersebut di rumahnya mengadakan

slametan kenduri yang dilaksanakan pada sore hari atau setelah

melaksanakan shalat ashar. Selanjtnya pada malam harinya pemilik rumah

atau yang punya hajat mengadakan tahlil dengan mengundang tetangga

sekitar. Biasanya yang diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga

(kepala keluarga). Zaman dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah

maka bisa digantikan anak laki-lakinya agar orang yangmempunyai hajat

tidak perlu mengantarkan. Pada saat pulang, orang-orang yang datang ke

acara tahlil mendapat berkat dari yang mempunyai hajat (Bayuadhy,

(50)

E. PenelitianTerdahulu

Dari pengamatan peneliti selama ini, belum mudah untuk

menemukan buku atau pun penulisan yang berkaitan dengan Nilai-nilai

Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun Kijing (Ngijing). Hal ini

tidak menyurutkan semangat penulis untuk melanjutkan penelitian yang

selanjutnya merujuk pada perbandingan pustaka. Dengan kata lain mencari

tema-tema yang relevan dengan tema yang diangkat diantaranya.

Muhammad Taufiq dalam hasil penelitiannya tentang Nilai-nilai

Pendidikan Dalam Ritual Kematian mem[unyai makna melestarikan

budaya Jawa dari nenek moyang, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan

serta pendidikan. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual tersebut

diantaranya adalah pendidikan sosial, pendidikan agama, dan pendidikan

masyarakat. Pendidikan sosial antara lain adalah gotong royong, tolong

menolong. Dan solidaritas. Sedangka pendidikan agama adalah pendidikan

tauhid dan pendidikan keimanan.

Nurul Hasanah (2015) dalam skripsinya membahas beberapa aspek

akulturasi Islam di Jawa. Di antaranya tentang rangkaian selametan yang

diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan seperti

pemakaman sampai selamatan. Adanya penggunaan simbol dalam bentuk

sesajen yang menyertai doa-doa berbahasa Arab menjadi bukti adanya

akulturasi Islam di Jawa. Relevansinya dengan tema yang diangkat terletak

(51)

sekedar mengikuti kebiasaan, selalu diikutsertakan dalam melangsungkan

tahlilan dan doa yang tentunya bernafaskan Islami.

Koentjaraningrat dalam bukunya, memaparkan secara

komprehensip tentang kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya

sampai dengan ritual dalam lingkaran kehidupan dari kelahiran, kematian

dan sampai upacara peringatan setelah kematian. Karya tersebut

merupakan sumber primer dalam penelitian ini, karena tema yang diusung

oleh penulis juga merupakan bagian dari bahasannya. Penelitian ini

memfokuskan pada Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam

(52)

BAB III

PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN

A. Letak Geografis

1. Batas Administrasi

Dusun Siwal merupakan salah satu dari 6 dusun yang berada di

wilayah desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.

Dusun Siwal memiliki batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara :

Desa Mukiran, Sebelah Selatan: Kebun Bimo, Tlatar Boyolali,

Sebelah Barat: Dusun Tempel, dan Sebelah Timur: Dusun Poten.

2. Luas Wilayah

Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten

Semarang secara keseluruhan memiliki luas sebesar 44 Ha, secara

administratif terdiri dari 6 RT (Data Desa Siwal, 2015). Dusun Siwal

diuntungkan secara geografis mengingat posisinya yang strategis

terletak diantara jalur penghubung segitiga pusat perkembangan

wilayah Jogjakarta, Solo, dan Semarang (Joglosemar). Posisi strategis

tersebut merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai modal

pembangunan dusun.

3. Topografis

Wilayah Dusun Siwal berada pada ketinggian yang berkisar antara

(53)

longsor mengingat kondisi permukaan tanah yang mudah longsor/

bergerak karena pada Dusun Siwal tersebut terdapat zona tanah

bergerak atau wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah

longsor.

4. Penggunaan Lahan dan Iklim

Wilayah Dusun Siwal yang memiliki luas sebesar 44 Ha sebagaian

besar digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, sedangkan

sisanya untuk jalan dan makam. Wilayah Dusun Siwal memiliki iklim

tropis dengan curah hujan rata-rata 200-300 mm/tahun, suhu udara

berkisar antara 28-32 derajat C, kecepatan angin 0,37-0,71 knot, dan

kelembaban udara 38,5-98% (Data Desa Siwal, 2015).

B. Letak Demografis

Penduduk Desa Siwal pada akhir tahun 2013 sebanyak 1970 jiwa

dan pada akhir tahun 2014 menurut data berjumlah 1992 jiwa.

Dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2005 terdapat penambahan netto

sebanyak 22 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tahun

2010 adalah sebesar 1,73 %. diketahui bahwa perbandingan penduduk

laki-laki dengan perempuan sebesar 1:2, artinya jumlah penduduk

perempuan lebih besar 3% dibanding laki-laki Data Kependudukan Desa

Siwal, 2014).

Data penduduk Dusun Siwal pada tahun 2014 sebanyak 681 jiwa,

(54)

mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat diketahui

ketahui dari data penelitian yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk

tahun 2009 sebanyak 680 jiwa dan pada tahun 2014 jumlah penduduknya

sebanyak 681. Dan untuk perbandingan penduduk laki-laki dan

perempuan, yaitu lebih banyak perempuan sebesar 3%.

C. Kondisi Ekonomi dan Pendidikan

Suatu masyarakat dimanapun mereka berada memiliki ciri khas

seperti adanya kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial berdasarkan

klasifikasi tertentu. Mengenai kelas sosial menurut Koentjaraningrat

dibagi dalam dua kelas yaitu kelas wong cilik dan kelas priyayi

(Koentjaraningrat, 1994:331). Istilah priyayi mengacu pada orang-orang

dari kelas sosial tertentu yang menurut hukum merupakan kaum elite

tradisonal, yang dianggap berbeda dari rakyat biasa yang oleh kaum

mayoritas disebut wong cilik seperti wong tani (Geertz, 1960:525). Dari

pengertian di atas maka penulis perlu membahas sedikit tentang

kelas-kelas sosial yang berada di Dusun Siwal Desa Siwal tersebut dengan cara

melihat mata pencaharian masyarakat di sana. Dengan cara tersebut maka

mayoritas mata pencaharian masyarakat akan menunjukkan kondisi

perekonomian masyarakatnya. Berdasarkan monografi jumlah penduduk

menurut jenis pekerjaan adalah sebagai berikut:

(55)

Tabel 1.1

Jumlah Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Siwal Kecamatan

Kaliwungu Kabupaten Semarang

No. Pekerjaan Jumlah Penduduk

1. Bidan 1 orang

2. Perawat 3 0rang

3. Polisi 1 orang

4. PNS 11 orang

5. Guru 13 orang

6. Pedagang 1 orang

7. Petani 454 orang

8. Buruh 107 orang

9. Pegawai Swasta 314 orang

10. Polisi 1 orang

(56)

Data monografi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat

bermata pencaharian sebagai petani. Namun masalah pendidikan bagi

generasi muda tidak begitu terabaikan bagi mereka. Walaupun begitu

tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Siwal masih tergolong rendah

jika dibandingkan dengan kelurahan yang lain yang ada di Kabupaten

Kaliwungu karena sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Hal

ini disebabkan tidak hanya tingkat kesadaran orang tua yang masih

memprihatinkan, namun juga lingkungan yang kurang mendukung.

Masyarakat dusun Siwal belum termasuk dalam kategori masyarakat yang

sadar akan petingnya pendidikan, ditunjukkan dengan data berdasarkan

jumlah tingkatan lulusan. Banyak masyarakat yang belum/ tidak sekolah di

dusun Siwal dan hampir sebagian besar masyarakat di dusun Siwal adalah

lulusan SD/ Sederajat. Akan tetapi dalam 10 tahun terakhir, banyak

mengalami peningkatan di bidang pendidikan.

Di Kelurahan Siwal sendiri sekarang terdapat beberapa lembaga

pendidikan, diantaranya: PAUD, TK dan Sekolah Dasar (SD). Hal ini

menunjukkan adanya fasilitas untuk anak-anak mereka mengenyam

pendidikan formal di desa mereka sendiri meskipun hanya sampai tingkat

Sekolah Dasar. Namun dengan adanya dukungan dari orang tua dan

kesadaran mereka sendiri akan arti pentingnya pendidikan bagi masa

depanlah yang mendorong untuk melanjutkan pendidikan mereka keluar

(57)

untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah

Mennegah Kejuruan (SMK) mereka harus menempuh jarak sekitar 5 KM

sedangkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi mereka harus

menempuh berkilo-kilo meter. Meskipun demikian tidak menyurutkan

semangat mereka menuntut ilmu guna masa depan mereka juga

membenahi taraf hidup masyarkat dusun tersebut.

D. Kondisi Sosial Budaya

Terlepas dari agama manapun yang ada di dunia ini yang jelas

manusia menyadari bahwa kehadirannya di muka bumi ini adalah karena

proses penciptaan dan kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa. Juga

manusia diciptakan dengan orang lain yang berbeda agama, warna kulit,

bahasa dan lain sebagainya untuk saling berdampingan dalam menjalani

kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk sosial

tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain dalam melaksanakan aktivitasnya.

Selain berada di antara orang lain, seorang manusia juga berada diantara

mahluk lain dalam makrokosmos. Di dalam sistem makrokosmos tersebut,

ia merasakan dirinya hanyalah sebagai suatu unsur kecil saja yang ikut

terbawa oleh proses peredaran alam semesta.

Hal tersebut menjadi asumsi bagi masyarakat Siwal, tradisi

hubungan sosial antar individu yang tercermin lewat gotong royong masih

terjalin sangat kuat. Sifat gotong royong merupakan ciri khas kehidupan

(58)

adalah masyarakat berhubungan langsung dengan alam. Hal ini berkaitan

dengan mata pencaharian mayoritas warga desa. Selain itu tradisi-tradisi

yang masih berjalan dimasyarakat dusun Siwal diantaranya adalah

kegiatan tahlilan dan yasinan, peringatan desa sebagai bentuk rasa syukur

kepada Allah Swt., berjanji, dan pembuatan dupa pada saat orang

meninggal. Sifat tolong-menolong antar warga sangat erat dan juga

kesadaran masyarakat d Siwal sangat tinggi dalam hal mengikuti dan

melaksanakan kewajiban negara, seperti membayar pajak tercepat

se-kabupaten Semarang.

Dilihat dari segi pergaulan, sistem pergaulan masyarakat Siwal

yaitu sistem pergaulan masyarakat pedesaan. Terdapat kedekatan/tingkat

kekeluargaan antar warga sangat dekat, seperti ketika ada salah seorang

warga yang meninggal dunia dan diumumkan di Masjid, maka masyarakat

dusun Siwal datang berduyun-duyun melakukan ta‟ziah, ketika ada salah

satu warga yang sakit, maka masyarakat dusun Siwal bersama-sama

menjenguk warga yang sakit tersebut.

Masyarakat dusun Siwal tidak menutup diri dengan masuknya era

globalisasi. Hal tersebut tampak terlihat dengan masuknya alat-alat

teknologi canggih, seperti Handphone, Televisi, dan sebagainya. Dalam

hal minat masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ibadah dimasjid

(59)

E. Kondisi Keagamaan

Agama merupakan pedoman hidup manusia. Latar belakang

keagamaan tiap individu mempengaruhi aspek kehidupannya. Demikian

juga dengan masyarakat Jawa khususnya masyarakat Siwal yang

mayoritas penduduknya beragama Islam, terdapat juga pemeluk agama

lain yaitu agama Kristen. Secara terperinci dapat dilihat sebagaimana

Tabel 1.2 berikut:

Tabel 1.2

Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Dusun Siwal Kecamatan Kaliwungu

Kabupaten Semarang Tahun 2015

NO TAHUN

AGAMA

Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghucu

1 2015 679 2 - - - -

Sumber: Data Demografis Siwal

Dari data diatas menunjukkan bahwa masyarakat dusun Siwal

didominasi oleh mayoritas masyarakat muslim. Sebanyak 679 dari 681

masyarakat adalah penganut agama Islam. Perbedaan agama ini terjadi

karena perbedaan latar belakang kehidupan masyarakat yang satu dengan

yang lain. Namun hal itu tidak menjadikan penganut agama Islam yang

sebagai agama mayoritas, mereka tetap saling menghargai dan

menghormati serta memberikan kebebasan bagi penganut agama lain

Gambar

Tabel 1.1 Jumlah Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Siwal Kecamatan
Tabel 1.2 Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Dusun Siwal Kecamatan Kaliwungu
Tabel 1.3 Jumlah Sarana Peribadatan Penduduk Dusun Siwal Desa Siwal

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan dengan mencari nilai bobot untuk setiap atribut, kemudian dilakukan dengan proses perangkingan yang akan menetukan alternative yang optimal,

saat ini?, kedua bagaimana pengembangan model pendekatan proses untuk meningkatkan keterampilan menulis?, dan ketiga, bagaimana keunggulan pendekatan proses dalam

Mereka akan ditawarkan masuk sekolah yang dekat dengan rumahnya dan menjadi guru batik di sana.“Selain belajar, mereka mendapatkan honor karena sekaligus mengajari batik

... Sebagai inti dari sistem kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman

penting yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu untuk SSM serta coklat, sawit, dan kopi untuk NTB. Adapun hasil dari kajian ini

Tuhan membrikan sesuatu bukan karena apa yang kamu inginkan, tetapi Tuhan memberikan sesuatu padamu karena Dia tahu kamu membutuhkan itu.. Cobaan bukan yang kamu inginkan tetapi

Untuk membuktikan komite audit berpengaruh positif terhadap

Variabel yang digunakan untuk perhitungan fuzzy pada sistem ini adalah variabel displin, loyalitas, komunikasi, absensi, probel solve dan hasil.. Adapun himpunan