• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Bahan Ajar - PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERMAIN DRAMA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, DAN INTELEKTUAL) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN PEMBELAJARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Bahan Ajar - PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERMAIN DRAMA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, DAN INTELEKTUAL) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN PEMBELAJARAN "

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Teori

1. Bahan Ajar

a. Pengertian Bahan Ajar

Menurut Sanjaya (141:2008) bahan ajar adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu. Menurut Winkel (330:2004) Bahan ajar adalah bahan yang digunakan untuk belajar dan yang membantu untuk mencapai tujuan instruksional. Demikian pula Menurut Hamalik (139:2002) Bahan Ajar merupakan bagian yang penting dalam proses belajar mengajar yang menempati kedudukan yang menentukan keberhasilan belajar mengajar yang berkaitan dengan ketercapaian tujuan pembelajaran serta menentukan kegiatan-kegiatan belajar mengajar. Karena itu bahan pengajaran perlu mendapat pertimbangan secara cermat.

(2)

bersifat khusus maupun yang bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran.

Dick, Carey, dan Carey (2009:230) menambahkan bahwa:

“instructional material contain the conten either written, mediated, or facilitated by an instructor that a student as use to achieve the objective also include information thet the learners will use to guide the progress”.

Berdasarkan ungkapan Dick, Carey, dan Carey dapat diketahui bahwa bahan ajar berisi konten yang perlu dipelajari oleh siswa baik berbentuk cetak atau yang difasilitasi oleh pengajar untuk mencapai tujuan tertentu.

Berdasarkan kajian di atas, istilah bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu bahan/ materi pelajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Karakteristik Bahan Ajar

Ada beberapa karakteristik bahan ajar, antara lain yaitu :

1) Harus mampu membelajarkan sendiri para siswa (self instructional) artinya bahan ajar mempunyai kemampuan menjelaskan yang sejelas-jelasnya untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran, baik dalam bimbingan guru maupun secara mandiri;

(3)

tugas, soal-soal evaluasi beserta kunci jawaban dan tindak lanjut yang harus dikerjakan oleh siswa;

3) Mampu membelajarkan peserta didik (self instruction material) artinya dalam bahan pelajaran cetak harus mampu memicu siswa untuk aktif dalam proses belajarnya bahkan membelajarkan siswa untuk dapat menilai kemampuan belajarnya sendiri;

4) Mampu menunjang motivasi siswa antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari;

5) Mampu membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan.

c. Jenis-Jenis Bahan Ajar

(4)

berupa buku teks. Hal ini dikarenakan, buku teks sangat erat kaitannya dengan kurikulum, silabus, standard kompetensi, dan kompetensi dasar.

Susilana (2007:14) mengungkapkan bahwa buku teks adalah buku tentang suatu bidang studi atau ilmu tertentu yang disusun untuk memudahkan para guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Buku teks mempunyai peran penting dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Hutchinson & Torres dalam Litz, (2012:5) mengungkapkan bahwa :

“The textbook is an almost universal element of [English language] teaching. Millions of copies are sold every year, and numerous aid projects have been set up to produce them in [various] countries…No teaching-learning situation, it seems, is complete until it has its relevant textbook”.

Buku teks merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan dalam pengajaran. Buku teks dapat juga menjadi wadah untuk menuliskan ide-ide terkait kebudayaan nasional suatu bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan Pingel (2009:7) bahwa: “Textbooks are one of the most important educational inputs: texts reflect basic ideas about a national culture, and are often a flashpoint of cultural struggle and controversy”.

d. Fungsi Bahan Ajar

Secara garis besar, bahan ajar memiliki fungsi yang berbeda baik untuk guru maupun siswa. Adapun fungsi bahan ajar untuk guru yaitu;

1) untuk mengarahkan semua aktivitas guru dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa; dan 2) sebagai alat evaluasi pencapaian hasil pembelajaran. Dalam bahan ajar akan

(5)

Sedangkan fungsi bahan ajar bagi siswa yakni, sebagai pedoman dalam proses pembelajaran dan merupakan subtansi kompetensi yang harus dipelajari. Adanya bahan ajar siswa akan lebih tahu kompetensi apa saja yang harus dikuasai selama program pembelajaran berlangsung. Siswa jadi memiliki gambaran skenario pembelajaran lewat bahan ajar.

2. Pengertian Modul

Modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka, agar mereka dapat belajar sendiri (mandiri) dengan bantuan atau bimbingan yang minimal (Prastowo, 2014:106).

Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar (DEPDIKNAS, 2004) modul diartikan sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru.

Ismawati (2012:141) mengartikan modul adalah materi pelajaran yang disusun dan disajikan secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya (siswa) diharapkan dapat menyerap sendiri materi di dalaamnya, tanpa atau sesedikit mungkin membutuhkan bantuan orang lain.

(6)

a. Karakteristik Modul

Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis yang di dalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Karakteristik yang diperlukan oleh sebuah modul (DIKMENJUR, 2004) antara lain :

1) Self Instruction

Karakter modul yang self instruction memungkinkan seseorang belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain.

a) Memuat tujuan pembelajaran yang jelas dan dapat menggambarkan pencapaian standar kompetensi serta kompetensi dasar.

b) Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit kegiatan yang kecil (spesifik) sehingga memudahkan dipelajari secara tuntas.

c) Tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran.

d) Terdapat soal-soal latihan, tugas, dan sejenisnya yang memungkinkan untuk mengukur penguasaan peserta didik.

e) Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana, tugas atau konteks kegiatan dan lingkungan peserta didik.

f) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif. g) Terdapat rangkuman materi pembelajaran.

(7)

i) Terdapat umpan balik atas penilaian peserta didik, sehingga peserta didik mengetahui tingkat penguasaan materi.

2) Self Contained

Modul dikatakan self contained bila seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan peserta didik mempelajari materi pembelajaran secara tuntas karena materi belajar dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh.

3) Stand Alone

Stand alone atau berdiri sendiri merupakan karakteristik modul yang tidak tergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar/media lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain selain modul yang digunakan, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan sebagai modul yang berdiri sendiri.

4) Adaptive

Modul dikatakan adaptive jika modul tersebut dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel/luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware).

5) User Friendly

(8)

pemakai dalam merespon dan mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan, merupakan beberapa bentuk user friendly.

b. Komponen-komponen modul untuk menghasilkan modul pembelajaran yang mampu memerankan fungsi dan perannya dalam pembelajaran yang efektif, maka modul harus berkualitas. Kualitas modul dinilai dari empat aspek, yaitu: aspek-aspek yang didasarkan pada standar penilaian bahan ajar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) yang antara lain adalah aspek kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian dan kelayakan kegrafikaan.

1) Aspek kelayakan isi aspek kelayakan isi mencakup : a) kesesuaian uraian materi dengan SK dan KD; b) keakuratan materi;

c) kemutakhiran materi; d) mendorong keingintahuan.

2) Aspek kelayakan bahasa aspek kelayakan bahasa mencakup : a) lugas;

b) komunikatif;

c) dialogis dan interaktif;

d) kesesuaian dengan perkembangan peserta didik;

(9)

c) penyajian pembelajaran;

d) koherensi dan keruntutan alur pikir;

4) Aspek kelayakan kegrafikaan aspek kelayakan kegrafikaan mencakup : a) ukuran modul;

b) desain kulit modul;

c) desain isi modul empat aspek kelayakan tersebut, kemudian dijadikan dasar para ahli untuk menilai modul; aspek kelayakan isi dan penyajian dinilai oleh ahli materi; aspek kelayakan bahasa dinilai oleh ahli bahasa; sedangkan aspek kelayakan kegrafikaan akan dinilai oleh ahli desain modul.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan modul adalah penyusunan struktur atau kerangka modul. DEPDIKNAS (2008) menyebutkan bahwa modul berisi paling tidak :

a) petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru), b) kompetensi yang akan dicapai;

c) content atau isi materi; d) informasi pendukung; e) latihan-latihan;

f) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja (LK); g) evaluasi;

h) balikan terhadap evaluasi.

(10)

3. Drama

a. Pengertian Drama

Drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan, beraksi, atau action (Waluyo, 2001:2). Menurut Ferdinant Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Belthazar Vertagen, drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak (Harymawan, 1993:1). Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas (Waluyo, 2001:1). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa drama adalah sebuah rangkaian cerita yang berisi konflik manusia, berbentuk dialog, yang diekspresikan melalui pentas dpertunjukan dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan para penonton.

Dewasa ini pengertian drama sering disamkaan dengan teater. Menurut santoso dalam Suwarni (2003:10) teater adalah istilah lain dari drama, tetapi mempunyai arti yang lebih luas dari pada drama yaitu merupakan proses dari pementasan yang meliputi proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman dan penikmatan publik. Drama belum mencapai kesempurnaan apabila belum ke tahap teater dalam bentuk pementasan sebagai perwujudanya.

(11)

ilmuan mengenai pengertian drama yang meninjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemikiran dan temuan itu menghasilkan beragam simpulan tentang pengertian drama, yang pada hakikatnya adalah saling melengkapi pendapat satu sama lain. Dalam Dictiobary of World Literature, drama berarti segala pertunjukan yang memakai mimik (any kind of mimetic performance). Dalam pemakaian sehari-hari arti drama sangatlah luas sekali, pengertian yang timbul dari kata ”drama” terutama ialah: pertunjukan, dan adanya lakon yang dibawakan dalam pertunjukan itu (Purwanto 1968:51).

Menurut Waluyo (2002:1) drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri. Drama adalah potret kehidupan manusia potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Menurut Suharianto (2005:58) drama semula berasal dari Yunani yang berarti perbuatan atau pertunjukan. Berbeda sekali dari Suharianto, Wiyanto (2005:126) yang memandang drama dari seni sastra, berpendapat bahwa drama jika dipandang dari seni sastra merupakan naskah drama karya sastrawan yang kebanyakan berupa percakapan, yaitu percakapan antar pelaku. Hal ini berbeda sekali dengan pendadapat-pendapat yang sudah terdahulu.

(12)

menghasilkan idiom-idiom yang menunjukkan bahwa drama bukanlah dianggap ”serius dan berwibawa” (Hasanuddin 1996:3). Adapun jenis drama dapat di golongkan dari berbagai macam tinjauan para ahli maupun sastrawan. Sama halnya dengan pengertian drama diatas, beberapa tinjauan mengenai jenis drama bersifat saling melengkapi satu sama lain. Jenis drama dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu drama senagai sastra (naskah drama) dan drama sebagai tontonan (drama pentas).

Bentuk karya sastra drama dapat dipandang sebagai seni sastra, namun juga dapat dipandang sebagai seni tersendiri, yaitu seni drama. Yang dimaksud drama dalam seni sastra tidak lain adalah naskah drama karya sastrawan, yang umumnya berupa percakapan, yakni percakapan antar pelaku (Wiyanto 2005:126-127). Selain percakapan para pelaku, naskah drama juga berisi penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan yang dilaksanakan oleh pelaku. Naskah drama juga dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur (Waluyo 2003:6).

(13)

Dalam kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memeperkenalkan kehidupan manusia dari kebahagiaan, keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta, kesakitan, keputusasaan, acuh tak acuh, benci dan kematian. Drama juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks, misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara, 2005:192).

b. Klasifikasi Drama

Klasifikasi drama dapat digolongkan dari berbagai tinjauan. Sama halnya dengan pengertian drama, beberapa tinjauan tentang klasifikasi drama bersifat saling melengkapi. Pembahasan tentang bermain drama dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP merancukan antara drama naskah dan drama pentas. Menurut Waluyo (2003:2) drama naskah disebut juga sastra lakon. Drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur. Drama pentas adalah kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung, seni kostum, seni rias, dan sebagainya). Klasifikasi drama didasarkan atas jenis streotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Menurut Waluyo (2003:38) berbagai jenis drama dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.

1) Tragedi (Drama Duka atau Duka Cerita)

(14)

kisah tentang bencana ini, penulis naskah mengharapkan agar penontonnya memandang kehidupan secara optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia. Cerita yang dilukiskan romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna.

2) Melodrama

Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Alur dan penokohan seringkali dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton.

3) Komedi (Drama Ria)

Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang.

4) Dagelan (Farce)

(15)

c. Drama sebagai Sastra (Naskah Drama)

Seni sastra (naskah drama) akan menjadi seni drama (tontonan drama) jika naskah tersebut dimainkan. Tontonan drama amat unik, karena bukan hanya melibatkan aktor saja, melainkan melibatkan berbagai seniman. Sedangkan gedung pementasan drama sebenarnya tempat berkumpulnya para seniman: sastrawan, aktor, komponis, pelukis, dan lain-lain (Wiyanto 2005:129). Para seniman itu bekerjasama sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahanya oleh penonton. Selain melibatkan banyak seniman, tontonan drama juga mengandung banyak unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari keutuhan pementasan drama.

Beragam pendapat menurut sastrawan menyebutkan seni pentas dalam kesastraan di Indonesia bermacam-macam. Diantaranya adalah seni drama (tontonan drama), teater, bermain drama, bahkan bermain drama. Kesemua ini memiliki maksud dan tujuan yang sama. Pertunjukkan atau tontonan tersebut dalam realitanya memiliki unsur yang mendukung secara bersama-sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur yang terdapat didalamnya seperti adanya; teks atau naskah yang dipentaskan, laku pentas dengan sarana pendukungnya, dan adanya penonton. Kesemuannya itu menjawab kesamaan istilah atau nama dalam menyebutkan suatu seni pertunjukkan (seni pentas) adalah sama maksud dan sama arti.

d. Unsur-Unsur Pembangun Drama Pentas

(16)

pementasan drama menurut para dramawan sangat luas sekali. Dalam hal ini Suharianto (2005:59) menggolongkan ada empat unsur pembangun drama sebagai berikut.

1) Tata Pentas dan Dekorasi

Tata pentas atau dekorasi dalarn pertunjukkan drama biasanya disesuaikan dengan kebutuhan penonton dan lakonya untuk memberikan kenyamanan penonton dan juga dapat membantu memudahkan pengimajinasian seorang aktor sekalipun.

2) Lakon atau Cerita

Lakon atau cerita merupakan unsur yang esensial dalam sebuah drama. Berangkat dari lakon/cerita inilah para pelaku menampilkan diri di depan penonton, baik dengan geraknya (acting) maupun lawan katanya (dialog). Selanjutnya dari perpaduan antara lakon, gerak dan lawan katanya itulah kita sebagai penikmatnya dapat menyaksikan sebuah drama.

Dalam sebuah drama, secara struktural lakon atau cerita terdiri atas lima bagian, yaitu: 1) pemaparan atau eksposisi → penjelasan situasi awal suatu cerita; 2) pengawatan atau kompilasi → bagian yang menunjukkan konflik yang sebenarnya; 3) puncak atau klimaks → puncak ketegangan cerita, titik perselisihan tertinggi protagonis dan antagonis; 4) peleraian atau anti klimaks → bagian pengarang mengetengahkan pemecahan konflik; dan 5) penyelesaian

(17)

3) Pemain

Pemain atau pemeran adalah orang-orang yang harus menerjemahkan dan sekaligus menghidupkan setiap kata dari sebuah naskah drama. Pemain berfungsi sebagai alat pernyataan watak dan penunjang tumbuhnya alur cerita. Dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pemain adalah setiap orang yang terlibat dalam sebuah pagelaran, misalnya sutradara, aktor/ aktris, dan staf artistik (Suharianto, 2005:61).

Pemain (aktor) bertugas menghafalkan percakapan yang tertulis dalam naskah drama. Seorang aktor juga harus menafsirkan watak tokoh yang diperankan, seraya mencoba memeragakan gerak-geriknya. Pemain atau aktor harus berlatih berulang-ulang supaya peragaan yang dibawakanya benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki naskah drama.

4) Tempat

Tempat dalam drama adalah gedung, lapangan, atau arena lain yang dipergunakan sebagai tempat pertunjukan. Dalam hal ini, tempat tidak hanya dibutuhkan oleh para pemain, namun juga oleh para menonton. Oleh karena itu, tempat yang memenuhi syarat akan sangat mendukung terjadinya sebuah pagelaran yang baik (Suharianto, 2005:62).

5) Penonton atau Publik

(18)

Jika penonton merasa puas, maka pertunjukan drama tersebut bisa diartikan sukses besar. Sebaliknya, bila penontonya sedikit dan umumnya penonton kecewa dengan pertunjukan yang di pentaskan, maka pertunujukan itu dapat dikategorikan gagal total.

Menurut Suharianto (1982:62) pagelaran drama pada hakikatnya adalah sebuah proses berkomunikasi antara peneliti naskah (sebagai komunikator), penonton/ publik/audience (sebagai komunikan), dan pemain (sebagai mediator). Dengan demikian, unsur penonton merupakan unsur yang sangat penting keberadaannya, agar proses berkomunikasi dapat berlangsung sempurna. Proses berkomunikasi yang interaktif membutuhkan komunikan (penonton) yang aktif. Dengan demikian, penonton drama yang baik adalah penonton yang aktif dan bisa bersikap apresiasi yang positif.

6) Tata Rias dan Busana

(19)

7) Tata Lampu

Tata lampu bertujuan untuk memberikan pengaruh psikoiogis seorang aktor dan sekaligus berfungsi sebagai ilustrasi (hiasan) serta sebagai penunjuk waktu suasana pentas yang berlansung.

8) Ilustrasi Musik dan Tata Suara

Ilustrasi musik dalam sebuah pertunjukkan dapat juga menjadi bagian dari lakon, akan tetapi yang paling banyak adalah sebagai ilustrasi atau sebagai pembuka. Sedangkan tata suara berfungsi untuk memberikan efek suara yang akan membantu seorang aktor untuk menguatkan penghayatan peran. Suara yang jelas dalam pengucapan dialog akan membuat penonton dapat menangkap jalan cerita drama yang dipertunjukkan. Adapun ucapan yang jelas adalah ucapan yang bisa terdengar setiap suku katan-nya.

e. Keterampilan Bermain Drama

Drama naskah belum lengkap jika belum diperankan atau dipentaskan. Berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama (Waluyo, 2007:114). Sejauh mana keterampilan seorang aktor dalam berperan, baru dapat dilihat setelah ia memerankan dan mengekspresikan tokoh yang dibawakannya. Keterampilan bermain drama adalah keterampilan seseorang dalam memerankan suatu peran atau karakter tokoh yang ada di dalam drama. Kemampuan memerankan karakter tokoh dalam bermain drama tidak terlepas dari dialog dan gerakan, karena inti dari sebuah drama adalah pada kedua aspek tersebut.

(20)

Imitasi ini bisa meniru kebiasaan orang lain, penampilan orang lain, cara berbicara orang lain dan sebagainya. Dalam hal ini berarti seseorang sudah mulai melakukan kegiatan meniru. Sebagai contoh dapat dilihat ketika seorang anak bermain pasar-pasaran dengan teman-temannya.

Disadari atau tidak, anak tersebut sudah melakukan permainan drama. Ketika anak-anak bermain pasar-pasaran, seorang anak memerankan karakter tokoh penjual yang mempunyai keterampilan untuk merayu pembeli, ada seorang anak yang memerankan pembeli, memerankan tukang masak dan sebagainya (Harymawan, 1993:44). Seorang aktor dapat menggambarkan karakter seorang tokoh secara maksimal. Harymawan (1993:45) menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh seorang aktor ketika memerankan sebuah karakter tokoh. Ketiga hal tersebut adalah mimik, gestur, dan diksi.

1) Mimik. Mimik adalah pernyataan atau perubahan muka: mata, mulut, bibir, hidung, kening. Mimik juga dapat diartikan sebagai ekspresi wajah. Tanpa mimik atau ekspresi, permainan drama akan terasa kurang lengkap. Meskipun bermacam-macam gerakan sudah bagus, suara telah jadi jaminan, dan diksi juga mengena, tetapi ekspresi mata kosong saja, maka dialog yang diucapkan kurang meyakinkan penonton, karena itu, permainannya menjadi hambar atau datar saja.

(21)

akan terpengaruh oleh mimik dan pada umumnya bergantung juga pada tanda yang sama, tak setegas dan seprinsipil mimik.

3) Diksi. Yang dimaksud diksi di sini merupakan cara penggunaan suara atau ucapan. Diksi memberikan kebebasan pada aktor untuk menghidupkan individualitasnya dalam peranan, karena diksi tidak ditentukan oleh pengarang naskah drama. Diksi ditentukan oleh aktor itu sendiri. Oleh karena itu, diksi dapat mempengaruhi arti dari suatu kalimat (Harymawan, 1993:46).

f. Teknik Bermain Drama

Teknik bermain drama adalah cara atau metode yang digunakan agar pemeran dapat menyatukan dan mendayagunakan secara professional segala peralatan ekspresi yang dimiliki oleh pemeran (Achmad, 1990:61). Menurut Rendra (1976:8) bahwa dalam bermain drama ada dua hal yang mendasarinya, yaitu teknik dan bakat. Bermain drama tanpa teknik hanya akan menjadi gairah yang asyik tapi tidak komunikatif, sedangkan bermain drama tanpa bakat tidak akan menjadi suatu permainan yang memiliki keindahan. Oleh karena itu, teknik dan bakat haruslah dimiliki oleh seorang aktor agar permainan menjadi komunikatif.

(22)

: 1) teknik muncul; 2) teknik moving; 3) teknik crossing; 4) blocking; 5) keseimbangan; 6) respon; dan 7) permainan tempo.

Dalam sebuah pementasan, untuk seorang pemeran (actor) yang masih baru pasti akan mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan segala teknik bermain drama. Namun secara perlahan, jika teknik itu dipelajari secara terus menerus maka akan memudahkan seorang aktor dalam bermain drama. Oleh karena itu, perlu adanya kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang aktor ketika bermain drama. Boleslavky mengemukakan bahwa kemampuan yang harus dipelajari seorang aktor ketika bermain drama adalah sebagai berikut.

1) Konsentrasi, adalah pemusatan perhatian pada berbagai aspek dalam mendukung kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu dilakukan, karena jika tidak, pemain akan tetap hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai tokoh yang diperankannya.

2) Kemampuan mendayagunakan kemampuan emosional, yaitu kemampuan seorang pemain untuk menumbuhkan bermacam-macam bentuk emosional dengan kemampuan dan kualitas yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi. 3) Kemampuan laku dramatik, yaitu kesanggupan pemain di dalam melakukan

sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari tuntutan emosi. 4) Kemampuan membangun karakter, yaitu kesanggupan pemain drama untuk

(23)

5) Kemampuan melakukan observasi, yaitu kesanggupan pemain drama untuk melakukan pengamatan terhadap sikap aktivitas manusia di dalam kehidupan sehari-hari.

6) Kemampuan menguasai irama, yaitu kesanggupan pemain untuk menguasai tempo permainan, sehingga pementasan memberikan suspence kepada penonton (dalam Hasanuddin, 1996:175).

g. Langkah-Langkah Bermain Drama

Untuk menampilkan sebuah pagelaran drama, ada beberapa hal penting yang harus di perhatikan berkaitan dengan sukses dan tidaknya sebuah pagelaran drama yang baik. Untuk mewujudkan sebuah pementasan drama yang baik hendaknya melakukan persiapan-persiapan dari pra pementasan, saat pementasan, dan sesudah pementasan. Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran.

(24)

keberhasilan. Bermain drama akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.

2) Memilih partisipan/peran. Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.

3) Menyusun tahap-tahap peran. Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.

(25)

keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan?

5) Pemeranan. Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain drama tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain drama sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain drama dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.

(26)

ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

7) Pemeranan ulang. Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.

8) Diskusi dan evaluasi tahap dua. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.

(27)

pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

Pada usia beranjak remaja, anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menurut kemampuan intelektual atau kemampuan atau kemampuan kognitif. Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris(mau memperhatikan kepentingan orang lain). Usia peserta didik SMP merupakan usia yang efektif dalam pembentukan watak dan emosi. Dengan model pembelajaran bermain drama dapat membantu peserta didik untuk membentuk watak dan pola pikir yang maju. Selain itu, pembelajaran drama dapat membantu peserta didik untuk dapat bekerjasama dengan peserta didik lain.

Shaffel dan Shaffel (dalam Waluyo, 2003:189) mengemukakan sembilan tahapan dalam bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pengajaran : 1) memotivasi kelompok; 2) memilih pemeran (casting); 3) menyiapkan pengamat; 4) menyiapkan tahap-tahap peran; 5) pemeranan (pentas di depan kelas); 6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas); 7) pemeranan ulang, 8) diskusi dan evaluasi II; 9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Jadi, berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan tahapan dalam bermain drama sama dengan tahapan bermain drama.

(28)

menghidupkan jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton yakin bahwa yang ada di pentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan. Untuk menjadi pemain yang baik memerlukan proses latihan yang cukup matang. Oscar Brocket dalam Waluyo (2003:116) mengemukakan beberapa latihan yang harus dilakukan sebelum bermain drama, yaitu: 1) latihan tubuh; 2) latihan suara; 3) observasi dan imajinasi; 4) latihan konsentrasi; 5) latihan teknik; 6) latihan sistem akting; dan 7) latihan untuk memperlentur keterampilan. Latihan-latihan dasar tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seoarng pemain dalam memerankan sebuah drama.

Untuk menjadi seorang pemain yang baik, tidak hanya latihan dasar yang harus dikuasai oleh seorang pemain tetapi ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memaksimalkan seorang pemain ketika bermain drama. Djaja Kusuma dalam Tarigan (1985:98) mengemukakan langkah-langkah bermain drama terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) tahap persiapan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu memilih cerita, mempelajari naskah, memilh pemain, dan sebagainya; 2) tahap latihan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu latihan membaca, latihan blocking, latihan karya, latihan umum; 3) malam perdana, yaitu pada saat pementasan.

(29)

1) Mengumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus dilakukan oleh sang peran dalam drama itu.

2) Mengumpulkan sifat-sifat watak sang peran, kemudian dicoba dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang harus dikerjaknnya, kemudian ditinjau, manakah yang harus ditonjolkan sebagai alasan untuk tindakan tersebut.

3) Mencari dalam naskah, pada bagian mana sifat-sifat pemeran itu harus ditonjolkan.

4) Mencari dalam naskah, ucapan-ucapan yang hanya memiliki makna tersirat untuk diberi tekanan lebih jelas, hingga maknanya lebih tersembul keluar. 5) Menciptakan gerakan-gerakan air muka, sikap, dan langkah yang dapat

mengekspresikan watak tersebut di atas.

6) Menciptakan timing atau aturan ketepatan waktu dengan sempurna, agar gerakan-gerakan dan air muka sesuai dengan ucapan yang dinyatakan.

7) Memperhitungkan teknik, yaitu penonjolan ucapan, serta penekanannya, pada watak-watak sang peran itu.

8) Merancang garis permainan yang sedemikian rupa, sehingga gambaran tiap perincian watak-watak itu, disajikan dalam tangga menuju puncak, dan tindakan yang terkuat dihubungkan dengan watak yang terkuat pula.

9) Mengusahakan supaya perencanaan tersebut tidak berbenturan dengan rencana atau konsep penyutradaraan.

(30)

11)Menghayati dan menghidupkan perannya dengan imajinasi melalui jalan pemusatan perhatian pada pikiran dan perasaan peran yang dibawakan. Proses ini, boleh dikatakan proses meleburkan diri, encounter, di mana terjadi penjiwaan mantap (Rendra, 1976:69).

Dari beberapa langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemain harus menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan sehingga penonton yakin bahwa yang dipentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan.

Agar drama bersifat komunikatif dibutuhkan aktor yang mempunyai kepekaan-kepekaan tersebut. Pembawaan peran harus tepat agar penonton ikut terlibat dalam suasana pentas. Penonton tidak akan merasa bahwa lakonnya itu dibuat-buat. Keseluruhan lakon harus ditampilkan. Pemain diharapkan mampu menentukan mana yang harus dilakukan didalam pentas dengan baik. Djajakusumah (dalam Tarigan, 1985:98) menyebutkan tiga tahapan utama dalam bermain drama, yaitu tahap persiapan, tahap latihan, dan malam perdana. Dalam bermain drama setiap orang harus memperhatikan langkah-langkah dalam bermain drama.

(31)

1) Tahap Persiapan

Persiapan sebelum pertunjukkan adalah hal yang paling wajib dilakukan terlebih dahulu, agar tidak ada kekurangan dan mampu memberikan suatu pertunjukkan yang memuaskan dan berjalan dengan baik. Dalam tahap ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut.

a. Memilih Cerita

Pada langkah ini merupakan kegiatan memilih cerita yang nantinya dipentaskan sesuai dengan maksud pementasan. Pemilihan naskah cerita juga harus memenuhi baik tidaknya tema, plot, struktur, dan lain-lain. Kesemuanya ini harus sudah ditentukan dengan sebaik-baiknya. Masalah yang akan dibahas harus ditentukan. Dalam setiap pementasan pasti akan ada yang diselesaikan dan diambil solusi. Masalah tersebut nantinya yang akan menjadi topik pembahasan dalam lakon drama yang akan dipentaskan nantinya.

b. Mendapatkan Izin Tertulis dari Pengarang

Mendapatkan izin dari pengarang suatu cerita itu sangatlah penting. Pengarang memiliki hak atas karyanya secara penuh dan kita tidak akan melanggar hak pengarang dan menyalahi aturan hukum. Jika pementasan tersebut menggunakan naskah pengarang naskah, maka hendaknya sudah mendapatkan izin dan menyelesaikan masalah imbalan (honorarium) pengarang.

c. Memilih Sutradara

(32)

untuk menghasilkan karya yang menaik dan kreatif. Seorang sutradara harus mengatur dan mengarahkan setiap pemain. Para pemain menempatkan diri mereka dan berjalan, melintasi panggung, keluar dan duduk menurut permintaan sutradara (Taylor, 1984:29). Selain itu memberikan penjelasan dan pemanasan tentang bermain drama yang perlu dilakukan.

Dalam menentukan sutradara haruslah berhati-hati dan teliti. Seorang sutradara haruslah yang bertanggung jawab, dapat dipercaya, berani, jujur, mempunyai kemauan yang besar, dan bisa memimpin. Fungsi sutradara sangat menentukarr keberhasilan suatu pementasan drama. Sutradara merupakan seorang pengarah tentang bagaimana pementasan harus dilakukan. Ia bertanggung jawab penuh penginterpretasikan naskah yang akan dipentaskan, dan menentukan corak serta warna pementasan yang akan mendukung suatu pementasan drama. Seorang sutradara juga berfungsi untuk mengkoordinasi dan mengarahkan segala unsur pementasan drama (pemain dan properti), memberikan penafsiran pokok atas naskah, dan dengan kecakapan sutradara dapat mewujudkan suatau pementasan drama yang total (maksimal).

d. Sutradara Memilih Pendamping

(33)

diantaranya antara lain perencana set (dekorasi, penata cahaya), pemimpin panggung (motornya pementasan), dan asisten sutradara yang dapat mewakili atau menggantikan sutradara sewaktu-waktu jika diperlukan.

e. Mempelajari Naskah

Setiap pemain wajib untuk mempelajari naskah tersebut. Naskah ada yang mudah untuk dipahami namun ada pula yang membutuhkan kajian lebih dalam. Jadi, sutradara dan semua pemain perlu kiranya menambah wawasan tentang latar belakang pengarang untuk memahami lebih dalam lagi naskah yang digunakan (Leksono, 2007:42). Langkah ini bertujuan agar dapat mengenal tema, konflik, suspense dan klimaks yang terdapat dalam naskah yang akun dipentaskan. Langkah tersebut antara lain; menentukan cara yang sebaik-baiknya dalam mementaskan cerita, rnenganalisis setiap tokoh beserta wataknya serta hubungannya satu sama lain, menganisis pendidikan serta latar belakang setiap tokoh, merencanakan floorplan atau rencana pentas yang berhungan dengan dekorasi lampu, jendela, dan sebagainya.

f. Menyusun Buku Kerja

(34)

g. Sutradara Memilih Pelaku

Pemain haruslah dipilih dari orang yang dapat memegang roll atau peranan yang dapat mengekspresikan tokoh yang nantinya akan dimainkan olehnya. Pemilihan pemain dapat juga dengan melalui casting. Seperti yang ditulis pada langkah memilih sutradara bahwa tugas sutradara juga sangat berat. Selain mengatur jalannya pertunjukkan, seorang sutradara harus bisa menempatkan pemain pada posisi yang tepat. Dengan kata lain, tokoh yang diberikan pada pemain itu memang tepat dan cocok dengan pemain tersebut, atau pemain tersebut mampu untuk menghidupkan karakter tokoh yang dimainkan.

2) Tahap Latihan

Pada tahap latihan, semuanya harus bekerja dengan maksimal. Pelaku maupun yang berada di balik layar harus bekerja sama untuk menghasilkan karya yang baik. Oleh karena itu, diperlukan latihan yang intensif agar ketika harus tampil bisa menyajikan suatu pertunjukkan yang memuaskan penonton. Adapun latihan-latihan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Latihan Membaca

(35)

pemain dapat mengetahui hubungan satu sama lain serta konflik, suspense, dan klimaks yang terdapat di dalam naskah drama.

b. Latihan Blocking

Latihan ini bertujuan untuk menentukan bloking setiap pemain, yakni gerak dan pengelompokan pemain. Sedangkan setiap gerak, mimik, haruslah mempunyai arti dalam pengekspresian lakon yang dibawakan pemain dengan wajar dan mempunyai alasan yang tepat. Pada tahap ini pelaku harus bisa menguasai panggung agar tidak hanya berdiri di satu tempat selama adegan berlangsung. Di sini sutradara yang bijaksana harus mampu mengatur pergerakan pelaku dengan baik tanpa membingungkan pelaku.

c. Latihan Karya

Pelaku harus sudah mampu menghafal dialog di luar kepala. Pada tahap ini pelaku harus bisa mengembangkan interpretasi dan gerak laku disinkronisasikan, gerak-gerak kecil harus mampu menggambarkan watak tokoh. Para pelaku juga harus dibiasakan menggunakan properti yang akan digunakan dalam pertunjukkan itu nantinya. Dalam latihan karya pemain dipastikan sudah hafal teks beserta gerak laku yang singkron yang nantinya akan menggambarkan watak serta karakter yang dibawanya dengan wajar. d. Latihan Pelicin

(36)

lakon tersebut (Taylor, 1984:22). Pada latihan ni setiap pelaku benar-benar menjalani atau memerankan hidup mental-fisik tokoh yang diperankan. Latihan pelicin bertujuaan agar pemain benar-benar menjalani dan memerankan dengan baik dalam menghayati suka-duka, perjuangan, kejayaan, serta kegagalannya yang akan nampak pada diri tokoh yang akan diperankan olehnya.

e. Latihan Umum

Latihan ini sangat diperlukan sebelum melakukan pementasan. Di sini tugas sutradara telah selesai. Sekarang giliran para pendamping sutradara yang akan bertugas. Dan pada latihan ini pelaku dan pendamping sutradara dibiasakan untuk menghadapai layaknya pertunjukkan yang sebenarnya. Latihan umum merupakan merupakan latihan akhir guna mempersiapkan semua kebutuhan pentas dari kesiapan para pernain, para karyawan pentas, dan lain-lain. Latihan ini diadakan untuk membiasakan para pemain dengan respon dan seaksi dari para penonton agar padasaat pementasan yang sebenarnya mereka tidak gugup dan benar-benar sudah siap.

3) Pementasan

Pementasan adalah waktu yang dinantiakan. Setelah bekerja keras belajar dan berlatih dengan model SAVI, hasilnya akan ditentukan pada pertemuan keempat. Klimaks dari jerih payah selama berhari-hari berlatih.

(37)

tahap memainkan yang terdiri dari pementasan dan mengevaluasi. Ada yang membedakan antara langkah-langkah bermain drama dengan langkah-langkah drama, yaitu pada langkah pertama. Dalam bermain drama langkah pertama yang akan dilakukan adalah menentukan masalah, namun dalam langkah-langkah drama yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan naskah.

Pementasan atau malam perdana merupakan klimaks dari hasil latihan yaing telah ditempuh selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan mungkin sampai mencapai berbulan-bulan lamanya untuk mementaskan hasil karya berupa gerak akting/berpura-pura yang berupa pementasan drama. Dalam pementasa drama akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak. Kehendak (niat) itu harus dilengkapi dengan imajinasi (membayangkan sesuatu). Untuk menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan sering mengapresiasi puisi dan mengapresiasi lukisan (Wiyanto, 2000:60).

(38)

4) Pasca-Pementasan

Dalam pasca-pementasan, pementasan yang sudah berlangsung diadakan penilaian-penilaian terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam drama seperti; kinesik (gerak tubuh), penggunaan lafal pemain, penggunaan tekanan, bahasa, intonasi dan mimik. Terdapat juga saran dan kritikan terhadap pementasan yang sudah berlangsung dengan tujuan mengerti kekurangan-kekurangan pementasan guna refleksi terhadap pementasan selanjutnya. Pada tahap tindak lanjut yang harus dilakukan adalah dengan menindak lanjuti kekurangan-kekurangan yang telah disimpulkan pada saat evaluasi pascapementasan, dengan cara memperbaiki, melakukan latihan-latihan, agar saat pementasan selanjutnya lebih maksimal dan terarah.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa langkah-langkah bermain drama meliputi tahap persiapan, tahap pelatihan, tahap penampilan, dan yang terakhir adalah tahap penilaian/evaluasi. Adapun langkah bermain drama dalam tulisan ini, yaitu: (1) tahap persiapan. dalam tahap ini persiapan yang dilakukan adalah persiapan naskah; (2) tahap pelatihan; (3) tahap penampilan. pada tahap penampilan, peserta didik memerankan naskah secara utuh di depan kelas; (4) pasca pementasan.

h. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Bermain Drama

(39)

komponen-komponen tersebut saling mendukung satu sama lain untuk membantu memperlancar seorang pemain ketika bermain drama. Seorang pemain tidak bisa disebut sempurna penghayatannya jika tidak ditunjang dengan mimik dan gesture yang tepat. Begitu pula dengan intonasi, seorang pemain tidak dapat dikatakan tepat intonasi dan lafalnya jika volume suara yang dihasilkan tidak dapat terdengar sampai jauh.

1) Penghayatan

Menghayati berarti memahami secara penuh isi drama (Doyin, 2008:73). Sedangkan menurut Wirajaya (2008:72) penghayatan adalah kedalaman pemaknaan terhadap isi dialog, karakter tokoh, dan karakter keadaan/situasi (susah, senang, dan lain-lain). Misalnya seseorang berperan sebagai preman maka saat itu seorang pemain tidak lagi menjadi dirinya sendiri melainkan menjadi preman. Dengan pemahaman itulah maka seoarang pemain dapat menyatukan jiwa tokoh dengan jiwanya sendiri.

2) Mimik

(40)

3) Gesture

Gesture adalah gerak-gerak besar yang dilakukan, yaitu gerakan tangan, kaki, kepala, dan tubuh pada umumnya yang dilakukan pemain (Wiyanto, 2002:14). Gerak ini adalah gerak yang dilakukan secara sadar. Gerak yang terjadi setelah mendapat perintah dari diri/otak kita untuk melakukan sesuatu, misalnya saja menulis, mengambil gelas, jongkok, dan sebagainya.

4) Lafal/artikulasi

Lafal adalah kejelasan ucapan (Doyin, 2008:81). Dalam hal ini jangan sampai ada bagian dialog/kata yang kurang jelas pengucapannya sehingga menimbulkan kerancuan pemaknaan atau menjadi kurang enak didengar. Artikulasi yang dimaksud adalah pengucapan kata melalui mulut agar terdengar dengan baik dan benar serta jelas, sehingga telinga pendengar/penonton dapat mengerti pada kata kata yang diucapkan.

5) Intonasi

(41)

berubah-rendahnya suatu kata; 3) tekanan tempo. Tekanan tempo adalah memperlambat atau mempercepat pengucapan. Tekanan ini sering dipergunakan untuk lebih mempertegas apa yang kita maksudkan. (Doyin, 2008:77).

6) Volume Suara

Volume suara yang baik adalah yang dapat terdengar sampai jauh. Volume suara yang baik dapat diperoleh jika kita melakukan latihan vokal. Ada beberapa langkah dalam melakukan latihan vokal seperti : 1) latihan peregangan. Latihan peregangan pada otot leher, mulut, dada maupun perut, tidak jauh berbeda seperti senam ringan, pelenturan, atau pemanasan olah raga; 2) latihan pernafasan, (a) pernafasan dada. Teknisnya latihan pernafasan ini, ketika kita bernafas dengan hitungan sampai 4, udara disimpan di dalam rongga dada, kemudian dihembuskan melalui mulut. Hal tersebut diulang beberapa kali; (b) pernafasan perut. Teknis dan hitungannya sama dengan pernafasan dada, hanya ketika menarik nafas, udara disimpan di dalam rongga perut. Ketika melakukan pernafasan perut, disaat menarik nafas, perut membusung atau mengembung; (c) pernafasan diafragma. Teknisnya, ketika menarik nafas, udara disimpan di rongga diafragma, yaitu sekat antara rongga dada dan rongga perut mengembang ketika menarik nafas (Leksono, 2007:14).

(42)

1) Kesadaran Indra

Kesadaran indra meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Kesadaran ini diperlukan untuk menciptakan alasan bagi laku yang dilakukan pemeran di atas pentas. Proses itu terjadi karena indra menangkap objek rangsangan dan melahirkan tanggapan. Tanggapan yang muncul dari dalam diri itu menjadi alasan suatu perbuatan. Sebelum tanggapan dalam perbuatan nyata terwujud, reaksi batin terhadap rangsangan itu menjadi pengalaman batinnya.

2) Ekspresi

Ekspresi berkaitan dengan keterampilan pemeran mengekspresikan perasaan dan emosi manusia, baik emosinya sendiri maupun emosi orang lain. Seorang pemeran diharapkan mempunyai koleksi emosi agar dengan mudah berimprovisasi ketika memerankan seorang tokoh. Ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk laku (gerak) dan vokal (suara). Gerak (gesture) adalah gerak-gerak besar yang pemeran lakukan. Gerak ini adalah gerak-gerak yang pemeran lakukan secara sadar. Gerak yang terjadi setelah mendapat perintah dari otak untuk melakukan sesuatu, misalnya saja menulis, mengambil gelas, jongkok, dsb. Hal yang perlu dicatat untuk olah vokal adalah bukan berbicara keras, tetapi berbicara jelas.

(43)

latihan mimik (ekspresi wajah). Dewasa ini teori tersebut sudah tidak digunakan lagi. Pada umumnya sekarang kita menggunakan apa yang disebut bermain dari dalam, yang berprinsip apabila seorang pemeran dapat menghayati dan merasakan gejolak batin yang sedang dialami oleh tokoh yang dimainkan, dengan sendirinya akan lahir ekspresi wajah sesuai dengan peranannya pada saat itu. Oleh karenanya, seorang pemeran dituntut untuk benar-benar menghayati, mendalami, dan merasakan apa yang diinginkan oleh tokoh yang akan dimainkan.

3) Improvisasi

(44)

pemeran sehingga pemeran dapat memerankan tokoh yang dibawakan lebih hidup dan realistis.

4) Pernapasan

Pernapasan berkaitan erat dengan sikap rileks. Ketegangan urat leher dan bahu harus dihindari. Penguasaan pernapasan akan menghasilkan dua hal : 1) menjaga stabilnya suara, sekaligus memberikan kemungkinan kepada pemeran untuk membuat vokal menjadi lentur sesuai dengan tuntutan peran; 2) menciptakan akting yang wajar dan memikat.

5) Vokal

Untuk menjadi seorang pemeran yang baik, maka pemeran mernpunyai dasar vokal yang baik pula. Baik di sini diartikan sebagai : 1) dapat terdengar (dalam jangkauan penonton, sampai penonton, yang paling belakang); 2) jelas (artikulasi/pengucapan yang tepat); dan 3) tidak monoton.

(45)

Disebutkan pula beberapa sebab yang mengakibatkan terjadinya artikulasi yang kurang/tidak benar, yaitu : 1) cacat artikulasi alam. Cacat artikulasi ini dialami oleh orang yang berbicara gagap atau orang yang sulit mengucapkan salah satu konsonon, misalnya pengucaan huruf r, dan sebagainya; 2) artikulasi jelek. Artikulasi jelek bukan disebabkan karena cacat artikulasi, melainkan terjadi sewaktu waktu disebabkan karena belum terbiasa pada dialog, pengucapan terlalu cepat, gugup, dan sebagainya. Hal ini sering terjadi pada pengucapan naskah/dialog. Misalnya : kehormatan menjadi kormatan, menyambung menjadi mengambung, dan sebagainya; 3) artikulasi menjadi tidak tentu. Hal ini terjadi karena pengucapan kata/dialog terlalu cepat, seolah olah kata demi kata berdempetan tanpa adanya jarak sama sekali.

(46)

6) Karakterisasi

Karakterisasi berkaitan dengan bagaimana seorang pemeran memposisikan dirinya pada seorang tokoh. Untuk itu, seorang pemeran harus mengetahui keseluruhan diri tokoh yang akan diperankan, meliputi ciri fisik, ciri sosial, ciri psikologis, dan ciri moral.

Karakterisasi adalah suatu usaha untuk menampilkan karakter atau watak dari tokoh yang diperankan. Tokoh-tokoh dalam naskah adalah orang-orang yang berkarakter. Jadi seorang pemeran yang baik harus bisa menampilkan karakter dari tokoh yang diperankannya dengan tepat. Dengan demikian penampilannya akan menjadi sempurna karena ia tidak hanya menjadi figur dari seorang tokoh saja, melainkan juga memiliki watak dari tokoh tersebut.

Agar pemeran dapat memainkan tokoh yang berkarakter seperti yang dituntut naskah, maka pemeran harus terlebih dahulu mengenal watak dari tokoh tersebut. Suatu misal, pemeran mendapat peran menjadi seorang pengemis. Pemeran harus mengenal secara lengkap bagaimana sifat-sifatnya, tingkah lakunya, dsb. Apakah tokoh seorang yang licik, pemberani, atau pengecut, alim, ataukah hanya sekadar kelakuan yang dibuat-buat.

4. Pembelajaran Drama

(47)

itu melalui pengajaran drama, manfaat pengajaran drama bagi peserta didik di antaranya adalah dapat mengantarkan peserta didik menuju kekedewasaan yang dilakukan dengan mengajak peserta didik berlatih mengalami berbagai macam pengalaman hidup dalam naskah yang dibawakan. Jadi pembelajaran drama di sekolah sangat penting diberikan kepada peserta didik, karena disamping itu peserta didik akan dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, menikmati dan memanfaatkan karya sastra (drama) untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (BNSP 2006).

Pembelajaran drama di sekolah dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1) pembelajaran teks drama yang termasuk sastra; dan 2) pementasan drama yang termasuk bidang teater (Waluyo, 2007:162). Dalam pembelajaran teks drama yang termasuk sastra, pementasan drama dilakukan di kelas oleh guru bahasa Indonesia. Disarankan agar dilakukan pementasan, meskipun hanya sekali dalam satu semester dan berupa pementasan sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk melatih keterampilan peserta didik mulai dari pementasan kecil, sebelum akhirnya menyajikan pementasan yang lebih besar (teater sekolah).

(48)

termasuk pengajaran drama, tujuan harus dapat diketahui secara jelas. Hal ini agar proses pembelajaran lebih terfokus, sehingga apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai.

a. Tujuan Pembelajaran Bermain Drama

Pembelajaran bermain drama terdapat di dalam kurikilum tingkat satuan pendidikan (BNSP 2006) dengan standar kompetensi mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain drama (bermain drama), serta kompetensi dasar bermain drama dengan naskah yang ditulis peserta didik, dan bermain drama dengan cara improvisasi sesuai dengan kerangka naskah yang ditulis peserta didik. Sedangkan tujuan pembelajaran bermain drama di sekolah dimaksudkan agar peserta didik lebih meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra (drama) yang dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, rnenikmati clan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, menghargai sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (BSNP 2006).

(49)

1) Kawasan afektif yang meliputi : 1) pengetahuan, pengetahuan akan hal umum (mendefinisi, mengingat, membedakan, mendapat), pengetahuan akan hal khusus (mengenal kembali informasi, mengenali contoh dan gejala), mengetahui tentang cara dan alat (gaya, format, mengingat bentuk), pengetahuan akan arah dan urutan (perbuatan, proses, dan gerakan, urutan, arah), penggolongan dan kategori (mengingat daerah, ciri, kelas, tipe, set), pengetahuan akan kriteria (kriteria dasar, teori, dan antar hubungan), pengetahuan akan metodologi (mengingat kembali: teori, dasar dan antar hubungan); 2) pemahaman, terjemahan (arti, contoh, abstraksi, kata, kalimat), penafsiran (menafsirkan memesan lagi, membedakan, membuat, menerangkan, mempertunjukkan), perhitungan/ramalan (menghitung, berpendapat, mengisi, menggambarkan kemungkinan, menyimpulkan); 3) penerapan, penerapan prinsip-prinsip, menganalisakan (simpulan, metode, teori, gejala), menghubungkan, memilih, mengalihkan, menggolongkan, mengorganisasikan, dan menyusun kembali; 4) analisis, analisis unsur, analisis hubungan, analisis prinsip-prinsip organisasional; 5) sintesis, hasil komunikasi meliputi untuk (menuliskan, menceritakan, menghasilkan mengubah, membuktikan kebenaran), hasil dari rencana rangkaian atau rangkaian kegiatan yang diusulkan, asal mula dari hubungan abstrak; 6) evaluasi, yang meliputi : pertimabangan mengenali kejadian internal, pertimbangan mengenai kriteria abstrak.

(50)

tandai dengan minat atau perhatian positif terhadap drama. Mendapatkan perhatian, mempertahankan, dan memerintah atau mengatur perhatian peserta didik; 2) responding (menjawab mereaksi), artinya ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan drama; 3) menaruh penghargaan (valuing), pada tingkat ini peserta didik mampu memberikan penilaian terhadap drama yang akan atau sudah dipentaskan (di baca); 4) mengorganisasikan sistem nilai. Nilai-nilai dalam diri seseorang bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengkait, sehingga menjadi sistem nilai; 5) mengadakan karakteristik nilai. Kemampuan tertinggi dalam kawasan afektif adalah dalam mengkarakteristikkan nilai-nilai. Unsur-unsur kawasan afektif antara lain : a) Minat, artinya kecenderungan yang agak menetap, dimana subjek merasa tertarik dan senang berkecimpung dalam kegiatan suatu bidang. Unsur minat meliputi, penerimaan, respon, dan nilai; b) apresiasi, adalah pernyataan seseorang yang secara sadar tertarik dan senang kepada suatu hal, mampu menyatakan penghargaan didalamnya, dan memandang hal yang dipilihnya itu mengandung nilai dalam kehidupannya; c) sikap, adalah kecendrungan dimana subjek menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai objek yang berharga (baik) atau tidak berharga (jelek); d) Nilai, adalah hakikat daru suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia; e) Penyesuaian diri, merupakan interelasi (antar hubungan) antar seseorang dengan yang lainya dalam hubungan sedemikian rupa.

(51)

memegang, dan mendiskriminasi tanda-tanda); 2) kesiapan (mental, fisik, dan kesiapan dalam merespon); 3) respon terpimpin (imitasi, trial and error, mengikuti, mengadakan eksperimen); 4) mekanisme (memilih, melatih, merencanakan, merangkaikan); 5) respon yang komplek (adaptasi, penggunaan skill, melaporkan atau menjelaskan) (dalam Waluyo, 2007:167).

Dalam pembelajaran drama, pementasan drama memasuki kawasan psikomotorik, akan tetapi dijiwai oleh aspek kognitif dan afektif. Ketiga hal tersebut menyatu dalam diri aktor yang bermain drama. Keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik akan melahirkan suatu acting yang baik.

b. Aspek Penilaian dalam Bermain Drama

Bermain drama merupakan suatu kegiatan memerankan tokoh yang ada dalam naskah melalui alat utama yakni percakapan (dialog), gerakan, dan tingkah laku yang dipentaskan. Dalam bermain drama, terdapat beberapa aspek yang dapat dinilai untuk menunjukkan kemampuan seseorang dalam melakukan pementasan drama. Saptaria (2006:49) menjabarkan aspek-aspek yang menjadi penilaian dalam sebuah pementasan dalam bermain drama sebagai berikut.

1) Pelafalan

(52)

akan berkaitan dengan pelafalan yang berhubungan dengan olah vokal. Seorang pemain atau tokoh hendaknya memiliki vokal yang baik, jelas, dan mudah untuk dipahami.

2) Intonasi

Intonasi adalah naik-turunnya lagu kalimat. Seorang tokoh atau pemain drama dalam melakukan dialog harus menggunakan intonasi agar permainan drama yang dipentaskan tidak terasa monoton, datar, dan membosankan. Ada tiga macam tatanan intonasi, yaitu: (1) tekanan dinamik (keras-lemah); (2) tekanan nada (tekanan tentang tinggi rendahnya suatu kata); dan (3) tekanan tempo (memperlambat atau mempercepat pengucapan).

3) Ekspresi

(53)

Ekspresi merupakan pelajaran pertama bagi seorang aktor, dimana ia berusaha untuk mengenal dirinya sendiri. Kemampuan ekspresi menuntut teknik-teknik pengendalian tubuh, mulai dari relaksasi, kepekaan, konsentrasi, daya aktivitas, dan kepenuhan diri (pikiran, perasaan, tubuh yang seimbang) dari seorang aktor harus terpusat pada pikirannya. Dasar dari kemampuan ekspresi adalah ketika seorang aktor berhubungan dengan lingkungan sosialnya dengan orang lain bermacam ragam.

4) Improvisasi

Improvisasi adalah (1) menciptakan, merangkai, memainkan, menyajikan, sesuatu tanpa persiapan; (2) menampilkan sesuatu dengan mendadak; (3) melakukan begitu saja. Improvisasi juga dapat diartikan menciptakan plot yang sangat singkat dan mewujudkan dengan dialog yang tidak direncanakan dan dilatih sebelumnya. Improvisasi melibatkan dua atau lebih aktor terlibat didalamnya. Teknik ini digunakan sebagai eksperimen dengan suara, karakter, adaptasi dengan lingkungan yang berbeda, emosi serta variasi gerakan tubuh. Dengan latihan improvisasi yang benar, pemain drama akan mampu menciptakan akting wajar tetapi kuat mengesankan (Saptaria, 2006:51).

(54)

5. Model Pembelajaran SAVI (Somatic, Auditori, Visual, dan Intelektual)

a. Pengertian Model Pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual)

Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Pendekatan yang dapat digunakan disini adalah pendekatan SAVI. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra yang dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Adapun Unsur-unsur SAVI Dave Meier antara lain :

1) Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat, 2) Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar, 3) Visual : Belajar dengan mengamati,

4) Intelektual : Belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir.

(55)

dan alat peraga; dan Intelectually yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan menggunakan kemampuan berpikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengindentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan. Pendekatan SAVI dalam belajar memunculkan sebuah konsep belajar yang disebut Belajar Berdasar Aktivitas (BBA).

Belajar Berdasar Aktivitas (BBA) berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam proses belajar. Pelatihan konvensional cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam jangka waktu yang lama. Terjadilah kelumpuhan otak dan belajar pun melambat layaknya merayap atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar.

b. Prinsip Dasar Model Pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual)

(56)

1) Pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh, 2) Pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi, 3) Kerjasama membantu proses pembelajaran,

4) Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan,

5) Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik, 6) Emosi positif sangat membantu pembelajaran,

7) Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

c. Karakteristik Metode Pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual)

Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu :

1) Somatic

Somatic” berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh-soma. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatic adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh.

2) Auditori

(57)

sedang mereka pelajari, menerjemahkan pengalaman siswa dengan suara. Mengajak mereka berbicara saat memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, atau menciptakan makna-makna pribadi bagi diri mereka sendiri.

3) Visual

Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual dari pada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program komputer. Secara khususnya pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon dansebagainya ketika belajar.

4) Intektual

(58)

pelajari (A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut dalam pekerjaan mereka (I) Dengan kata lain akal menerima fakta dari indra untuk kemudian diintreprestasikan dengan informasi terkait. Sehingga fakta dapat dimaknai dari penggabungan informasi tersebut.

d. Tahap-Tahap Model Pembelajaran SAVI

Pembelajaran SAVI dapat direncanakan dan kelompok dalam empat tahap : 1) Tahap persiapan (kegiatan pendahuluan)

Pada tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Secara spesifik meliputi hal : a. memberikan sugesi positif,

b. memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa, c. memberikan tujuan yang jelas dan bermakna,

d. membangkitkan rasa ingin tahu,

e. menciptakan lingkungan fisik yang positif, f. menciptakan lingkungan emosional yang positif, g. menciptakan lingkungan sosial yang positif, h. menenangkan rasa takut,

i. menyingkirkan hambatan-hambatan belajar,

j. banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah, k. merangsang rasa ingin tahu siswa,

(59)

2) Tahap penyampaian (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang baru dengan cara menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan panca indera, dan cocok untuk semua gaya belajar. Hal-hal yang dapat dilakukan guru :

a. uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan, b. pengamatan fenomena dunia nyata,

c. pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh, d. presentasi interaktif,

e. grafik dan sarana yang presentasi berwarna-warni,

f. aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar, g. proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim,

h. latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok), i. pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual, j. pelatihan memecahkan masalah.

3) Tahap pelatihan (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara. Secara spesifik, yang dilakukan guru yaitu :

a. aktivitas pemrosesan siswa,

b. usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali, c. simulasi dunia-nyata,

(60)

e. pelatihan aksi pembelajaran, f. aktivitas pemecahan masalah, g. refleksi dan artikulasi individu,

h. dialog berpasangan atau berkelompok, i. pengajaran dan tinjauan kolaboratif,

j. aktivitas praktis membangun keterampilan, k. mengajar balik.

4) Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah :

a. penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera, b. penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi,

c. aktivitas penguatan penerapan, d. materi penguatan persesi, e. pelatihan terus menerus,

f. umpan balik dan evaluasi kinerja, g. aktivitas dukungan kawan,

Gambar

Gambar 2.1 : Diagram Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

This is the outgoing mail port used by email programs such as Outlook Express, Outlook, FoxMail, and hundreds more, and it is also the SMTP Outgoing port used by mail

Kesimpulan yang diperoleh atas penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada bulan januari, februari dan maret adalah diketahui persediaan akhir dengan menggunakan metode

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dapat mengakibatkan berkurangnya kawasan- kawasan penyangga sehingga dapat meningkat- kan potensi kerusakan lahan (bencana alam

Pada sample gambar ke-3 terlihat dari hasil pemotongan gambar teks terdapat garis hitam dengan tingkat warna yang sama dengan teks sehingga garis tersebut menjadi

subyek merasa dirinya tidak sama dengan orang lain karena statusnya

a. Melaksanakan Bimbingan Belajar IPS untuk siswa SD/ MI Dukuh Watu Kecamatan Pundong.. Subbidang, Program, dan Kegiatan. Frek &

Nilai FT 134 Cs dari tanah ke buah cabe rawit ditentukan dengan membandingkan konsentrasi 134 Cs dalam buah per berat kering terhadap konsentrasi 134 Cs dalam media tanam per

Papan kunci sebagai penghubung antara pengguna dengan sistem mempunyai fungsi sebagai pengendali sistem dalam proses peng-aktif-an maupun pe-non aktif-an serta sebagai