• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT YANG DITINGGALKAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT YANG DITINGGALKAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA

TRADISIONAL

RAMBU SOLO’

PADA KELUARGA DAN

KERABAT YANG DITINGGALKAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Ratnawati Helen Karoma

NIM : 019114170

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(2)
(3)
(4)

Dalam sgala perkara

Tuhan punya rencana

Yang lebih besar dari semua yang terpikirkan

Apapun yang Kau perbuat

Tak ada maksud jahat

Sbab itu kulakukan semua denganMu Tuhan

Ku tak akan menyerah

Pada apapun juga

Sebelum kucoba semua yang ku bisa

Tetapi kuberserah kepada kehendakMu

Hatiku percaya Tuhan punya rencana

(Jeffry S. Tjandra)

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya

(Pengkhotbah 3 : 11a)

(5)

Your gentle guidance has immeasurably influence all that I’ve done, all that I

do, and all that I will ever do

Your sweet spirit is indelibly imprinted on all that I have been,

all that I am, and all that I will ever be

Thus, you are part of all that I accomplish and all that I become

And so it is that when I help my neighbor,

your helping hand is there also

When I ease the pain of a friend, she owes a debt to you

When I show a child a better way, either by word or by example,

you are the teacher once removed

Because everything I do reflects values learned from you,

any wrong that I right, any heart I may brighten,

any gift that I share, or burden I may lighten,

is in its own small way a tribute to you

Because you gave me life, and more importantly, lessons in how to live, you

are the wellspring from which flows all good I may achieve in my time on earth

For all that you are and all that I am,

thank you,

Mom and Dad

(David L. Weatherford)

Dedicated to…..

Titus Sampe dan Christina Natal Karoma

(6)

KATA PENGANTAR

Segala pujian , horm at, serta syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas begitu besarn ya kasih, hikm at, pen yertaan dan m ujizat yan g telah dinyatakan Nya dalam kehidupan pen ulis. Tan paNya, pen ulis bukan lah apa-apa.

Terselesaikan n ya tulisan in i tak lepas dari peran serta dan ban tuan dari berbagai pihak yan g telah ban yak m em ban tu pen ulis, un tuk itu dalam kesem patan in i pen ulis in gin m en gucapkan terim a kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Paulus Eddy Suhartan to, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Un iversitas San ata Dharm a Yogyakarta serta selaku dosen pem bim bin g akadem ik.

2. Ibu Sylvia Carolin a MYM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pem bim bin g skripsi. Terim a kasih atas kesediaan waktu, perhatian , kesabaran dan ban tuan yan g am at berharga bagi pen ulis dari awal hin gga akhir pen ulisan sehin gga karya in i akhirn ya bisa terselesaikan .

3. Ibu Tan ti dan Ibu Ari selaku dosen pen guji. Terim a kasih atas segala pertan yaan dan m asukan yan g diberikan , terutam a un tuk kesem patan kedua yan g telah diberikan bagi pen ulis un tuk m em ben ahi karya in i sehingga m enjadi lebih baik.

4. Dosen -dosen Fakultas Psikologi yan g telah m en didik pen ulis selam a m en em puh ban gku perkuliahan .

5. Segen ap staf Fakultas Psikologi, m as Gan dun g, m bak Nan ik, m as Muji, m as Don i, dan pak Gi’, terim akasih atas ban tuan yan g telah diberikan , dan juga un tuk sen yum an dan sapaan yan g sem akin m em buat suasana kam pus m akin cerah dan bersem an gat.

6. Keduabelas subjek pen elitian di Tan a Toraja, terim a kasih atas waktu dan kesediaan ya m em ban tu pen ulis dalam pen elitian in i.

7. Yan g tercin ta : Papa-Mam a… Terim a kasih ban yak ya…akhirn ya Wati bisa m en yelesaikan sem ua in i. Terim a kasih buat papa yan g terus-m en erus m en gan tarkan pen ulis selam a pen carian data, juga buat m am a atas segala doa-doa dan n asehat yan g diberikan . Segala pen gorban an yan g begitu besar yan g telah diberikan sun gguh san gat Wati syukuri. Tuhan Yesus m em berkati selalu…

(7)

8 . Adik-adikku, Gabriel, Lider, dan Freddy, jan gan n akal, just be a n ice guy

Lov e y ou so m uch guy s…

9. Om a, om Karan gan , dan tan te Oktovin a. Terim a kasih atas segala dukun gan dan doa-doan ya, Tuhan m em berkati..

10 . Sahabat-sahabatku tercinta, Yola, Elfa, Ira, Nin a, Nism a. I’m so proud to hav e y ou as frien ds. Bertahun -tahun baren g kalian sungguh m en jadi berkat tersen diri buatku. M iz u all galz!!!!!!!

11. Tem an -tem an KIBAID J ogja, Eben , Nun in k “Laut”, Uthy, Abert “Bon a”, Yusli, An to, Ron i, Lisa, Von n y, Arlis, Aldon , Ady, Desy, Ope, Siska, Gerson , Don al, Dilles, J effry, Riyan ti, Ika, Nan i, Uren t, Novi, kak Payuk, Uthe, Osy, Maxi, m am a Tian , dan bpk. Yerahm el Bulun g (kapan kawin ??) Duuh…jalan m a kalian em an g ga ada m atin ya deh!!!! Thx abiezt atas cin ta, kebersam aan dan perhatian yan g selalu kalian berikan padaku. H idup di J ogja ga akan ada artin ya tan pa kalian (ciiee…)… Bless u all!!

12. Oran g-oran g yan g selam a in i ban yak m em berikan dukun gan , ada Sita, Yupha yan g (katan ya) can tik (awet selalu m a Ady ya kecil..), Icha, Elvin , Yosi, Oho, m bak Nia, kak Fon a, Grace, Fan ya, tem en -tem en di P3 UKDW.

GBU alw ay s..

13. Tem an -tem an Ikapm ajaya, Im an, Ansi, Gita, daddy Aten k, Atta, all Pogun g kru, Babarsari, asram a, ev ery w here, banyak ban get kalo m au disebutin satu persatu. Ma kasih ban get buat kebersam aan kita selam a in i. H idup San g Toray aan!

14. Tem an m ain , Cin ghe, Non i, Lin on g, Dody, Qn oy, H appy, Ady, Bram , Felix, Yoki, Riko (Mc D lagikah ???). GBU all.

15. Segala baran g, tem pat, yan g m en jadi saksi hidup perjuan gan ku n yelesein TA n iy, kam arkuw, lappykuw, lappy Un i m a Ben ga, kom pi Yupha, si Uu’, si pitung m a pem ilikn ya, H olland, dll.

16. Kam u………fin ally be w ith u………

17. Tak lupa pen ulis juga m en gucapkan terim a kasih pada pihak-pihak yan g tidak dapat disebutkan satu per satu. Terim a kasih ban yak…

….TUH AN MEMBERKATI KALIAN SEMUA….

(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL

RAMBU SOLO’

PADA KELUARGA DAN KERABAT

YANG DITINGGALKAN

Ratnawati Helen Karoma

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2008

Di daerah Tana Toraja, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah upacara

kematian yang berbeda dengan upacara-upacara kematian di daerah lain yang

disebut

Rambu Solo’

. Kematian yang biasanya kental dengan suasana dukacita

tidak terlihat pada upacara ini, melainkan berbagai ekspresi sukacita yang terlihat

lewat gelak tawa pada upacara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah melihat

berada pada fase mana dukacita masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional

Rambu Solo’.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang

menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara terhadap subjek

penelitian selama upacara kematian berlangsung. Subjek dalam penelitian ini

berjumlah dua belas orang dewasa berusia 24-72 tahun yang berasal dari berbagai

kasta masyarakat di Tana Toraja. Keduabelas subjek tersebut berasal dari empat

sanak keluarga yang mengalami kematian anggota keluarganya.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pihak keluarga dan kerabat

almarhum/almarhumah, telah sampai pada fase terakhir dari dukacita.

Penyimpanan jenazah di rumahnya serta persiapan upacara yang menyita banyak

waktu dan tenaga membuat pihak keluarga masih memiliki waktu untuk melayani

almarhum untuk terakhir kalinya, sehingga selama itu, dukacita yang dialami

pihak keluarga dan kerabat semakin berkurang. Faktor lainnya adalah kedekatan

subjek dengan almarhum/almarhumah, dimana subjek yang adalah keturunan

langsung dari almarhum tidak menampakkan reaksi seperti subjek-subjek yang

adalah kerabat saja. Kedekatan hubungan tersebut membuat pengaruh kematian

berbeda di tiap subjek, sehingga menimbulkan fase dukacita yang berbeda pula.

Pelaksanaan upacara kematian itu sendiri akhirnya menjadi suatu pesta rakyat

yang membuat setiap orang untuk bersukacita dan menikmatinya. Pelaksanaan

upacara kematian yang penuh dengan kemeriahan pesta menuntut keluarga untuk

sibuk dengan segala hal yang berhubungan dengan upacara ini sehingga mereka

tidak memiliki waktu untuk larut dalam kesedihan.

(11)

ABSTRACT

DESCRIPTION STAGES OF GRIEVING IN TRADITIONAL

CEREMONY

RAMBU SOLO’

ON THE FAMILY AND RELATIVES

THAT ARE LEFT

Ratnawati Helen Karoma

Faculty of Psychology

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2008

In Tana Toraja, South Sulawesi, there is a funeral ceremony that is

different from funeral ceremonies in other areas, called

Rambu Solo’

. Death is

closed to the sense of grief. However, it is not seen in this ceremony, except the

real happiness that is seen in peolple’s laugh in this funeral ceremony. This

research was meant to see the description of stages of grieving of the family in

this traditional ceremony

Rambu Solo’.

This research used qualitative descriptive approach, that used data

collecting method by interviewing the research subjects and observing subjects

and the setting during the funeral ceremony. Subjects of this research were twelve

adults who are 24-72 years old coming from various social-classes of Toraja

society. Those twelve subjects were from four families and relatives that were left

by one of their family.

The research finding showed that that the family and relative of the death

person had come to the final stages of grieving. The process of laying death-body

away at his/her house for long time and preparation of the ceremony that took a

lot of time of the family made them still have time to serve his/her for the last

time. While that, the grief that the family felt was decreased. Other factor is

subject closeness with the deceased. This closeness made a different influence of

death among the subjects, so it made a different stages of grieving too. The held

of this ceremony finally become a society party that made everyone feel happy

and enjoy it. This big and full of merriments ceremony made the family busy with

all things that related to this ceremony, so they did’t have time to get into their

sadness.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….

i

Halaman Persetujuan Pembimbing ……….

ii

Halaman Pengesahan ………...………

iii

Halaman Persembahan …...……….………

iv

Kata Pengantar……..………. vi

Pernyataan Keaslian Karya………. viii

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi....………...………. ix

Abstrak .….……… …………

x

Abstract ………..

xi

Daftar Isi .………

xii

Daftar Tabel ………

xv

Daftar Lampiran ……… ……….

xvi

BAB I PENDAHULUAN

……….. 1

A.

Latar Belakang Masalah ………. 1

B.

Rumusan Masalah ………..………

7

C.

Tujuan Penelitian ……...………...….

7

D.

Manfaat Penelitian………..

7

BAB II LANDASAN TEORI

…..……… 9

A.

Dukacita………... .

9

1.

Konsep Dukacita………...

9

(13)

2.

Jenis Dukacita………..

10

3.

Fase Dukacita………

11

B.

Masyarakat Toraja………..………

16

1. Asal-usul Toraja………... 16

2. Masyarakat Toraja……… 17

C.

Upacara Kematian

Rambu Solo’

……… 18

1. Upacara Kematian……… 18

2.

Rambu Solo’

………. 20

D. Gambaran Fase Dukacita saat Upacara Tradisional

Rambu Solo’

pada Keluarga dan Kerabat yang Ditinggalkan.………….... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

……… 27

A.

Jenis Penelitian ….……… .

27

B.

Batasan Istilah……… 28

C.

Subjek Penelitian ……….

29

D.

Metode Pengumpulan Data ………

30

E.

Analisis Data ……….……….

32

E. Pemeriksaan Keabsahan Data ………...

32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

………. …

35

A.

Pelaksanaan ……….….

35

1.

Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian………..

35

2.

Waktu dan Tempat Penelitian………..

35

3.

Subjek Penelitian………. 36

B.

Hasil Penelitian………..

36

(14)

1. Analisa Kasus I………...………. 36

2. Analisa Kasus II………... 44

3. Analisa Kasus III………. 52

4. Analisa Kasus IV………... 57

C. Pembahasan……… 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

………..

71

A.

Kesimpulan……… 71

B.

Saran ……… 72

DAFTAR PUSTAKA

………. 73

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Faktor-faktor yang diungkap dalam wawancara……… 31

Tabel 2 : Waktu dan tempat penelitian………. ………

35

Tabel 3 : Data subjek………. 37

Tabel 4 : Data subjek ………..………. ………

45

Tabel 5 : Data subjek ………..………. ………

53

Tabel 6 : Data subjek ………..………. ………

58

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A :

Hasil Wawancara Subjek 1 – 3 ………..

75

Lampiran B :

Hasil Wawancara Subjek 4 - 6..……….

87

Lampiran C :

Hasil Wawancara Subjek 7 - 9. ………..

95

Lampiran D :

Hasil Wawancara Subjek 10 - 12………

103

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap etnis memiliki tradisi, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan

yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa tiap suku bangsa

di Indonesia memiliki kekhususan sendiri yang menjadi identitasnya. Propinsi

Sulawesi Selatan memiliki empat suku yang mendiami wilayahnya, yakni suku

Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja (T. Sampe, 1991). Salah satu suku yakni

suku Toraja mempunyai kebudayaan yang khas dan unik serta mempunyai

dasar-dasar budaya yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Salah satu keunikan

tersebut dapat kita lihat melalui upacara kematian

Rambu Solo’

.

Pada kebanyakan masyarakat, kematian tidak dipandang sebagai akhir dari

eksistensi-walaupun tubuh biologis telah mati, namun spiritualitas tubuh

dipercaya masih tetap hidup (Santrock, 1995). Hal tersebut seperti yang diyakini

oleh masyarakat Toraja bahwa kematian bukanlah akhir dari segala kehidupan.

Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta

terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam

puya

atau alam baka (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan,

1984).

Bagi masyarakat Toraja sendiri, konsep hidup dan mati menurut ajaran

Aluk Todolo

(agama dari nenek moyang) merupakan suatu kesinambungan proses

(18)

kehidupan, dimana tidak ada batas yang tajam antar keduanya. Dikatakan bahwa

mati itu hanyalah merupakan peralihan bentuk, peralihan tempat operasi hidup,

dan peralihan wujud. Hidup ini merupakan jembatan untuk sampai kepada alam

gaib tanpa memutuskan hubungan dengan kehidupan di alam nyata. Alam nyata

ini merupakan kesempatan yang harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk

mengumpulkan kebaikan, harta, kebenaran dan keadilan, serta membina hubungan

dengan keluarga. Semuanya itu akan menjadi bekal dalam perjalanan ke

kehidupan alam gaib. Bekal yang telah dipersiapkan pada masa hidup akan

dikorbankan pada waktu matinya agar

deata-deata

(dewa-dewa) menyambutnya

dengan senang hati (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Upacara kematian itu sendiri diadakan oleh anggota keluarga dilandasi

oleh suatu anggapan bahwa kematian itu merupakan suatu perjalanan hidup yang

beralih ke alam lain (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan,

1984). Peralihan dari satu kehidupan ke kehidupan lain merupakan peristiwa yang

harus diupacarakan. Melalui upacara ini, maka peristiwa-peristiwa kehidupan

dapat dialihkan ke tahap berikutnya yang senantiasa diusahakan meningkat pada

taraf yang lebih tinggi. Peningkatan kehidupan tersebut banyak ditentukan oleh

kualitas upacara, yaitu mengenai jumlah hewan yang dikorbankan, ramainya

orang yang berkunjung, sistem penyelenggaraan upacara yang mantap, serta

peletakkan fungsi-fungsi simbol sesuai dengan makna yang mewakilinya,

menurut sistem kepercayaan yang dihormati bersama (Naskah Upacara

Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

(19)

Biasanya upacara Rambu Solo’ membutuhkan dua sampai tiga hari bahkan

bisa sampai dua minggu bagi bangsawan, barulah mayat bisa dimakamkan atau

dikuburkan (www.kompas.com). Tidak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan

pihak keluarga untuk membiayai jalannya prosesi

Rambu Solo’

. Selama itu,

jenazah disemayamkan dalam peti di rumah duka. Melalui hal tersebut, dapat kita

lihat bahwa upacara

Rambu Solo’

merupakan ritual yang sangat panjang dan

melelahkan.

Prosesi

Rambu Solo’

tidak seperti upacara-upacara kematian yang banyak

dilakukan di berbagai tempat di Tanah Air yang biasanya kental dalam suasana

dukacita, pada upacara kematian di Tana Toraja kesan kesedihan itu sama sekali

tak muncul ke permukaan. Tak ada ratap tangis, tak ada wajah-wajah duka

(www.kompas.com, 2005). Dalam upacara tersebut, kesedihan tampaknya cuma

terucap lewat busana hitam dan lagu ratapan yang berisi puji-pujian bagi tokoh

yang tengah diupacarai. Itu pun kalau orang yang mengikuti upacara tersebut

mengerti makna

kada-kada

atau syair dari lagu-lagu yang dikidungkan.

Kenyataannya, tak banyak orang yang paham makna dari untaian kata yang

dilantunkan, baik dalam

ma’badong

maupun

ma’katia

( tarian dan lagu daerah

khusus untuk pemakaman) itu, bahkan di kalangan orang-orang Tana Toraja

sekalipun. Hal itu bisa dimengerti karena

kada-kada

yang ada dalam nyanyian

ma’badong

dan

ma’katia

menggunakan bahasa tinggi, yang biasanya hanya

dipakai oleh kalangan

tominaa

atau para penghulu adat (www.kompas.com,

2005).

(20)

Suasana yang menonjol pada upacara kematian di Tana Toraja

diekspresikan melalui suasana kemeriahan pesta. Kain-kain yang berwarna merah

menyala dengan ragam hias di sana-sini terentang di mana-mana mendominasi

arena seputar lokasi upacara, mulai dari rumah tongkonan (rumah adat),

pondok-pondok keluarga (

lantang

), pondok tamu VIP (biasanya dari kalangan pejabat),

tempat penerimaan tamu,

lakkian,

hingga bangunan lumbung yang dibuat seperti

miniatur rumah tongkonan (www.kompas.com, 2005). Oleh karena itu, bukan

suatu kebetulan apabila upacara yang berkaitan dengan kematian itu

diembel-embeli kata pesta. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Mardiatmadja

(2005) bahwa pesta kematian orang Toraja bukan sekadar ratapan pilu, melainkan

juga pesta kegembiraan seluruh desa dan kerabat. Di sana terungkap kesatuan

suku. Berkat pesta kematian, orang-orang Toraja tidak kehilangan persatuan abadi

dengan saudara yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dalam

persatuan abadi itu cinta benar-benar tidak bisa lagi dibatasi oleh tempat, waktu,

suku maupun status hidup.

Menurut Subagya (2005), kematian biasanya membawa suatu kedukaan

yang amat besar bagi keluarga dan orang-orang terdekat yang ditinggalkannya.

Kesedihan dan rasa kehilangan merupakan perasaan yang terbentuk oleh

terputusnya hubungan sosial dan emosional akibat peristiwa kematian. Orang bisa

sangat terpukul apabila yang meninggal adalah orang-orang yang sangat dicintai,

seperti suami kehilangan istri, anak yang kehilangan orangtua ataupun sebaliknya.

Kematian memutuskan hubungan setiap orang tanpa kompromi setiap saat

(21)

sehingga situasi ini menciptakan guncangan mendadak yang tidak pernah

diharapkan.

Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas

suatu kematian yakni dukacita (

grief

). Dukacita adalah keadaan psikologis yang

bercirikan kondisi jiwa yang mengalami kesedihan yang mendalam. Dukacita

merupakan respon kesedihan emosional terhadap kehilangan (Backer, Hannon,

Russell, 1982). Turner & Helms (1995) mengemukakan pendapat serupa tentang

dukacita. Menurut mereka, dukacita merujuk pada kesedihan yang mendalam

akibat rasa kehilangan yang besar. Hal ini menggambarkan reaksi emosional

seseorang terhadap kematian orang lain.

Realita kehilangan biasanya sangat sulit diterima oleh kebanyakan orang,

dan ekspresi duka kadangkala menjadi sangat mengganggu dan menyakitkan.

Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk memulihkan diri

sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk mengekspresikan

perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih mudah dipahami

(Kinderknecht & Hodges ; Wortman & Silver dalam Turner & Helms, 1995).

Seseorang yang sedang berduka merasakan rasa sakit. Rasa sakit ini

merupakan mekanisme adaptasi yang efektif untuk kehidupan individu

selanjutnya (Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997). Sebelum bisa beradaptasi,

individu akan melewati beberapa beberapa fase dukacita sebelum akhirnya bisa

melanjutkan lagi kehidupannya dengan baik. Menurut Averill (dalam Santrock,

1995), ada tiga fase dukacita yang akan dialami setelah kehilangan, yakni terkejut,

putus asa, dan pulih kembali. Seseorang tidak harus melewati fase ini secara

(22)

berurutan, namun disarankan agar individu mampu beradaptasi secara lebih

efektif agar bisa melaluinya dengan baik (Campbell, Swank & Vincent dalam

Santrock, 1995).

Suasana kemeriahan yang terlihat pada upacara kematian di Toraja

seakan-akan menjadi sebuah tameng bagi pihak keluarga untuk menyembunyikan

perasaan sedih mereka. Orang yang baru pertama kali menghadiri upacara

kematian ini mungkin akan bertanya-tanya, apakah mereka tidak merasa sedih

atau merasa kehilangan atas kematian orang yang dicintainya ? Perasaan

seseorang cenderung dapat dibentuk dan dilakukan secara sadar. Pihak keluarga

terlihat mampu membentuk atau membangun karakter emosi mereka sendiri

sehingga kematian yang biasanya sarat dengan ekspresi kesedihan tidak terlihat

disini. Gelak tawa yang terdengar di berbagai sudut

lantang

(pondok-pondok

keluarga)

dan wilayah sekitar upacara seolah-olah menjadi suatu petunjuk bahwa

pihak keluarga mampu mengendalikan dan mengatur ekspresi emosi dukacita

mereka sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi (T. Sampe, 2006).

Karakteristik ekspresi dukacita yang muncul dalam upacara kematian di

Tana Toraja cukup beragam, hampir setiap orang terlihat mampu menunjukkan

ekspresi sedih pada suatu waktu, lalu terlihat gembira beberapa saat kemudian.

Sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti mereka berada pada fase dukacita yang

mana.

(23)

B. RUMUSAN MASALAH

Suasana kesedihan tidak banyak terlihat pada upacara kematian di Tana

Toraja. Kesan yang lebih mudah ditangkap oleh orang malah suasana kemeriahan

yang jauh berbeda dengan upacara-upacara kematian pada umumnya. Penjelasan

tersebut membuat peneliti ingin mengetahui dengan lebih jelas lagi berada pada

fase manakah dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat

upacara tradisional

Rambu Solo’

?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan berada pada fase mana

dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara

tradisional

Rambu Solo’.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

Psikologi, khususnya Psikologi Budaya, dalam melihat fase dukacita

yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional

Rambu

Solo’.

(24)

2. Manfaat

praktis.

Memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang fase

dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional

Rambu Solo’.

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DUKACITA

1. Konsep Dukacita

Konsep dukacita menjelaskan tentang emosi dan sensasi yang

menyertai hilangnya seseorang yang disayangi. Kata

grief

itu sendiri

berasal dari bahasa Perancis kuno

grève

yang berarti beban berat.

Sedangkan dalam bahasa Inggris,

grief

berarti sebuah pengalaman

penderitaan yang mendalam (www.hospicenet.org, 2007).

Chaplin (2003) mengatakan bahwa dukacita (

grief

) adalah satu

keadaan emosional yang sangat tidak menyenangkan, disertai rasa

menderita atau rasa hilang hanyut, dan seringkali dibarengi sedu-sedan

serta tangisan.

Ada dua teori yang berbeda tentang alasan orang berduka. Freud

(dalam Backer,

et al.

, 1982) mengatakan bahwa proses berduka

memampukan kita dalam mematahkan pertalian dengan orang yang

meninggal. Energi jiwa kita harus ditarik kembali dari almarhum,

meskipun sangat menyakitkan. Seseorang harus memusatkan perhatian

kepada almarhum sambil mengingat kembali kenangan-kenangan. Dalam

membawa ingatan-ingatan tersebut kepada kesadaran, seseorang akan

(26)

oleh Bowly (dalam Backer,

et al.

, 1982) yang mengatakan bahwa berduka

merupakan suatu usaha untuk menghidupkan kembali ikatan dan bukannya

berusaha memutuskannya. Dalam berduka, kita terus berusaha

menemukan sesuatu yang telah hilang, walaupun sangat membuat

frustrasi. Pada akhirnya, pencarian ini akan semakin berkurang sehingga

rasa rindu dapat terlewati dan seseorang menjadi pulih kembali.

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa dukacita

merupakan respon emosional seseorang dalam menghadapi kematian

orang-orang yang dicintai. Di dalamnya terkandung kelumpuhan

emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan

kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.

2. Jenis

Dukacita

King dan Tellioglu dalam www.hospicenet.org (2007)

mengemukakan bahwa ada empat jenis dukacita, yakni :

a. Dukacita yang normal

Dukacita ini disebut juga dukacita yang tidak menyulitkan. Respon

terhadap kehilangan adalah normal dan sehat.

b. Dukacita yang bersifat lebih dulu

Dukacita ini muncul sebelum adanya peristiwa kematian itu sendiri.

Hal ini dimulai saat orang yang disayangi didiagnosa atas suatu

(27)

c. Reaksi yang berulang

Respon dukacita yang muncul mengikuti kejadian-kejadian yang

berhubungan dengan orang yang telah meninggal, misalnya tanggal

lahir, hari libur, ataupun hari-hari tertentu dalam satu tahun.

d. Dukacita yang rumit

Dukacita ini juga disebut dukacita yang traumatis. Hal ini muncul saat

dukacita menjadi kronis tidak mampu diatasi, dan menjadi sangat

berpengaruh. Hal ini sering dilihat sebagai peningkatan dari dukacita

menjadi depresi, dengan ciri-ciri yang menunjukkan adanya stres

setelah trauma seperti mimpi buruk dan ingatan akan masa lalu yang

terus-menerus.

3. Fase Dukacita

Terdapat berbagai macam fase dalam dukacita. Fase-fase di bawah

ini merupakan fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka.

Meskipun demikian, tidak selamanya orang akan melalui fase pertama

hingga terakhir secara berurutan. Beberapa orang biasanya akan kembali

ke fase sebelumnya dan kemudian melalui lagi fase yang sama. Lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari fase yang satu ke fase yang

lain juga bervariasi pada tiap individu.

Parkes (dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa ada empat fase

yang akan dialami, yakni :

(28)

Fase awal yang dialami orang yang ditinggalkan biasanya terjadi sesaat

setelah kematian dan berlangsung selama satu sampai tiga hari. Pada

fase ini orang akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis,

dan mudah marah.

b. Kerinduan

Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas

kematian, memori-memori, kesedihan, susah tidur, dan gelisah. Fase

ini memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan

biasanya mereda setelah beberapa bulan.

c. Depresi

Fase ketiga biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Pada fase ini

seseorang akan merasakan kekurangan tenaga untuk melakukan segala

sesuatu. Sesorang akan menjadi pendiam, menolak bertemu orang lain,

serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis.

d. Pulih kembali

Fase resolusi dukacita ini ditandai dengan mengingat aktivitas

sehari-hari serta membangun hubungan baru dengan orang lain.

Dr. Roberta Temes (www.cancersurvivor.org, 2008)

mengemukakan tentang tiga fase dalam dukacita, yakni :

a.

Kematian rasa

Pada fase ini, orang yang baru saja mendengar kabar kematian akan

merasa kebingungan, tidak mampu berpikir dengan jernih, dan tidak

(29)

penyangkalan, perasaan bersalah, dan merasa menderita. Fase ini

biasanya berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan.

Namun Kubler-Ross (www.cancersurvivor.org, 2008) mengatakan

bahwa reaksi ini akan muncul dalam jangka waktu tujuh sampai

sepuluh hari setelah mendengar kabar dukacita tersebut.

b.

Kekacauan

Beberapa gejala fisik yang dialami pada fase ini antara lain rasa sesak

di tenggorokan dan pada pernafasan, sering menarik nafas panjang,

dan merasakan kelelahan yang amat sangat. Gejala emosi yang muncul

bahkan lebih menimbulkan stress, antara lain kemarahan atas kematian

orang yang dikasihi dan rasa bersalah yang sangat besar. Hal yang

paling menakutkan adalah perasaan kehilangan kendali atas emosi.

Fase ini merupakan merupakan masa yang paling berat dari pergolakan

emosi seseorang yang berduka, namun merupakan fase yang utama

dan normal dalam proses berduka. Kebanyakan orang akan pulih

dalam hitungan minggu, bulan, atau bahkan tahunan.

c.

Reorganisasi

Akan tiba masanya dimana seseorang tidak lagi tinggal dalam

kedukaannya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Setelah melalui

beberapa fase dalam dukacita, seseorang akan memperoleh

pengetahuan baru akan berharganya hidup dan betapa bernilainya

(30)

hidup yang telah dialaminya. Kondisi ini akan dialami setelah

beberapa bulan hingga satu tahun setelah peristiwa kematian.

Sedangkan menurut Morycs ; Powers & Wampold dalam Santrock,

1995, ada beberapa ukuran dalam dukacita, antara lain :

a.

Kerinduan atau harapan terhadap orang yang meninggal yang

direfleksikan secara bergantian, serta kebutuhan terhadap kehadiran

kembali seseorang yang telah meninggal.

b.

Rasa cemas akan perpisahan yang tidak hanya berkaitan dengan

kematian, tetapi juga dengan tempat dan hal-hal lainnya yang berkaitan

dengan orang yang mati, yakni dengan cara menangis atau menarik

nafas panjang untuk menahan tangis.

c.

Reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan, yakni

ketidakpercayaan, kelumpuhan, dan ledakan kepanikan atau penuh

dengan air mata yang berlebihan.

d. Keputusasaan dan kesedihan yang mengandung perasaan putus

harapan dan penolakan, gejala depresif, apatis, kehilangan arti akan

kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi, dan memunculkan

kesunyian.

Batasan-batasan ini tidak menunjukkan adanya fase yang jelas, namun

terjadi secara berulang-ulang dalam suatu situasi setelah kehilangan.

Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, kerinduan dan

protes terhadap kehilangan cenderung berkurang (Morycs ; Powers &

(31)

Penulis kemudian membuat kesimpulan yang terdiri dari gabungan

beberapa teori di atas, namun lebih didasarkan pada pendapat Temes.

Kesimpulan ini nantinya akan digunakan untuk membuat analisis data.

Hasilnya, fase dukacita terdiri dari :

a.

Terkejut

Fase ini dimulai ketika seseorang baru mendengar kabar kematian

kerabat atau orang yang disayanginya. Pada masa ini seseorang akan

mengalami mati rasa, tidak percaya, tangisan yang terus-menerus, serta

tidak mampu berpikiran jernih. Hal ini berlangsung selama beberapa

jam setelah mendengar kabar tersebut hingga sepuluh hari ke depan.

b.

Kekacauan

Fase ini biasanya cukup menguras emosi, pikiran dan tenaga orang

yang berduka. Pada tahap ini terdapat penyangkalan atas kematian,

kerinduan, susah tidur, merasa tidak memiliki tenaga, dan seringkali

merasa kesepian. Tahapan ini sangat penting bagi orang yang sedang

berduka. Jika ia mampu melewati berbagai proses dengan baik, ia akan

mampu menerima kenyataan kematian dengan baik. Pada umumnya,

seseorang akan berada pada tahapan ini selama satu minggu hingga

dua belas bulan setelah kematian.

c.

Pulih kembali

Tahapan ini merupakan tahap akhir dari dukacita. Seseorang telah

mampu keluar dari masa berdukanya. Hal-hal yang dialami dan

(32)

pengalaman dan pembelajaran hidup yang membuatnya lebih mampu

bertahan dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan orang

lain. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga 1 tahun

setelah peristiwa kematian.

Tidak ada interval waktu yang pasti untuk setiap tahapan dalam

dukacita. Seseorang juga mungkin saja melompati tahapan, misalnya tidak

melalui tahapan ke dua melainkan langsung pulih kembali.

B. MASYARAKAT TORAJA

1.

Asal-usul Toraja

Secara geografis, daerah Tana Toraja terletak di daerah

pegunungan sekitar Gunung Lompobattang, berada pada ketinggian 150 m

sampai 1500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tana Toraja berbatasan

sebelah utara dengan Kabupaten Mamuju, sebelah timur dengan

Kabupaten Luwu, sebelah selatan dengan Kabupaten Enrekang, dan

sebelah barat dengan Kabupaten Polmas. Luas seluruh daerah yakni

4223,60 Km2, yang dibagi menjadi 9 kecamatan dengan 65 desa.

Ibukotanya adalah Makale yang terletak 62 Km dari Palopo dan 310 Km

dari Kotamadya Makassar.

L. T. Tangdilintin dalam T. Sampe (1991) mengatakan bahwa

sebelum kata Toraja digunakan sebagai namanya, daerah ini bernama

(33)

bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang

bulat/bundar seperti bentuk bulan dan matahari. Nama atau kata Toraja

mulai terdengar pada abad ke-17, yakni setelah Tondok Lepongan Bulan

Tana Matari’ Allo mulai mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di

sekitarnya, seperti kerajaan Bugis, Sidendreng, Bone, dan Luwu.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1906, Tana

Toraja dimasukkan ke dalam

Afdeling

(kecamatan) Luwu, kemudian

sesudah kemerdekaan menjadi Daerah Tingkat II Tana Toraja (Bambang

Suwondo dkk. dalam T. Sampe, 1991).

2. Masyarakat Toraja

Pada pemerintahan Raja Sangalla’ sekitar abad 13, Puang Palodang

bersama

Tomanurun

lainnya di Tana Toraja bersepakat menetapkan

pelapisan masyarakat Toraja sebagai berikut :

a.

Tana’ Bulaan

, ialah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang

dapat menerima

sukaran aluk

, yakni dipercayakan mengatur aturan

hidup dan memimpin agama.

b.

Tana’ Bassi

, ialah lapisan bangsawan sebagai pewaris yang dapat

menerima

maluangan ba’tang

yang ditugaskan mengatur

kepemimpinan dan melakukan kecerdasan.

c.

Tana’ Karurung

, ialah lapisan rakyat kebanyakan yang merdeka, tidak

pernah diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima

(34)

d.

Tana’ Kua-kua

yang berasal dari lapisan hamba sahaya sebagai

pewaris yang dapat menerima tanggung jawab sebagai pengabdi atau

biasa disebut

matutu inaa

(Marrang/Dahlan dalam Paranoan, 1990).

Tana’

yang merupakan perwujudan lapisan masyarakat, dijadikan

sebagai sendi kehidupan dalam perkembangan dan penyusunan

kebudayaan Toraja serta banyak menentukan kehidupan manusia terutama

dalam pergaulan masyarakat, antara lain :

a. Dalam menghadapi perkawinan

b. Dalam menghadapi upacara pemakaman.

c. Dalam menghadapi pengangkatan penguasa atau pemerintah adat.

Sistem mata pencaharian masyarakat pada umumnya bertani,

namun banyak juga yang memiliki usaha sampingan yang dilakukan pada

waktu-waktu antara saat tidak ada kegiatan bertani.

C. UPACARA KEMATIAN

RAMBU SOLO’

1.

Upacara Kematian

Peranan upacara menurut Geertz dalam Naskah Upacara

Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1984) adalah untuk mempersatukan

sistem paralel dan yang berbeda tingkat hirarkinya dengan menempatkan

pada hubungan normatif dan reflektif antara yang satu dengan yang

lainnya dalam suatu cara yang dihubungkan dengan asal mula simboliknya

(35)

Upacara kematian yang dibahas dalam tulisan ini merupakan satu

rangkaian upacara dalam lingkaran hidup. Upacara diadakan oleh para

anggota keluarga dengan dilandasi oleh suatu anggapan bahwa kematian

itu merupakan suatu perjalanan hidup yang beralih ke alam lain. Peralihan

ini harus senantiasa dilalui secara damai dan berhasil supaya kehidupan di

alam lain itu tetap berlanjut sebagaimana adanya yang merupakan

kelanjutan dari kehidupan di dunia (Naskah Upacara Tradisional Daerah

Sulawesi Selatan, 1984).

Setiap orang yang meninggal dunia harus dimakamkan dengan

suatu upacara yang sesuai dengan kedudukannya dan lapisan sosialnya di

dunia semasa hidup. Hal ini mutlak untuk dapat mencapai suatu kehidupan

yang baik di

puya

. Jika seseorang yang meninggal tidak diupacarakan

sesuai dengan tingkatannya maka ia tidak akan dapat mencapai

puya

.

Apabila seseorang telah berhasil mencapai

puya

, keadaannya di sana

ditentukan pula oleh kualitas upacara pemakamannya. Makin sempurna

upacara pemakaman, makin sempurnalah hidup di

puya

(Naskah Upacara

Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Nenek moyang orang-orang Toraja mengajarkan bahwa seseorang

yang telah meninggal dapat menjadi setan yang gentayangan, bersemayam

di sebelah selatan, serta selalu mengganggu turunannya, dapat menjadi

setengah dewa yang bersemayam di barat, dan dapat menjadi dewa yang

bersemayam di utara atau timur. Status yang dicapai oleh roh-roh tersebut

(36)

meninggal. Membuat pesta dengan cara besar-besaran adalah satu-satunya

jalan untuk meningkatkan arwah orangtua ke tempat yang lebih mulia.

Sebagai imbalan, mereka akan mendapatkan berkat dan lindungan dari

arwah tersebut (Mukhlis & Lucas, 1987).

2.

Rambu Solo’

Upacara

Rambu Solo’

adalah upacara yang ditujukan pada arwah,

dilakukan pada sore hari di sebelah barat dan selatan rumah Tongkonan.

Upacara ini dimulai pada saat matahari condong ke barat. Upacara

kedukaan ini diatur oleh adat yang disebut

Aluk Rampe Matampu

yang

mempunyai sistem dan tahap-tahapnya sendiri. Adat ini lebih banyak

dinyatakan dalam upacara pemakaman (Naskah Upacara Tradisional

Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Deskripsi tentang upacara ini akan dijelaskan melalui faktor-faktor

pendorong sehingga upacara ini dilaksanakan serta tingkatan-tingkatan

upacara.

a. Faktor-faktor pendorong upacara

Dalam

Naskah

Upacara

Tradisional

Daerah Sulawesi Selatan (1984),

pelaksanaan upacara pemakaman di Tana Toraja yang memakan

waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit dilatarbelakangi oleh

(37)

1) Faktor kepercayaan

Kepercayaan Aluk Todolo yang dianut oleh masyarakat Toraja

mengajarkan bahwa seluruh isi alam ini masing-masing memiliki

roh. Roh dari hewan dan harta benda yang dikorbankan pada saat

upacara pemakaman akan menjadi harta benda dan kekayaan bagi

roh manusia di alam gaib.

2) Faktor martabat

Hewan-hewan yang dikorbankan saat upacara dibagi-bagikan

sebagai tindakan sosial bagi masyarakat, juga sebagai tanda

penghargaan terhadap seseorang yang dinyatakan pada pesta

kematian. Penghulu-penghulu adat, relasi-relasi dari Tongkonan,

dan orang-orang terhormat lainnya menempati tempat duduk

tersendiri di atas lumbung padi bagian depan. Kesemuanya itu

mendapat pembagian daging korban yang telah ditentukan

potongan demi potongan dan besar kecilnya telah disesuaikan dan

diatur dengan penggolongan jabatan yang dipangkunya dalam adat

dan dalam masyarakat. Masyarakat sekitar juga mendapatkan

bagian dalam pemotongan daging tersebut. Sistem pembagian

daging merupakan salah satu media komunikasi sosial di kalangan

masyarakat Toraja. Penyelenggaraan upacara bagi orang yang

meninggal berarti menjamin gengsi sosial serta menjunjung tinggi

(38)

3) Faktor ekonomi (warisan)

Seseorang

akan

mendapatkan

warisan setelah ia menunjukkan

pengabdian dan sumbangannya kepada upacara pemakaman.

Jumlah warisan akan diperoleh menurut jumlah pengabdian dan

jumlah sumbangannya.

b. Tingkatan-tingkatan Upacara

Dalam

kepercayaan

aluk todolo

, seseorang yang baru saja

meninggal tidak pernah dianggap mati, tetapi hanya dikatakan sakit

dan tidak boleh langsung dikuburkan, namun terlebih dahulu harus

melalui tingkat-tingkat upacara dalam tata cara yang telah digariskan

oleh kepercayaan ini.

Setiap orang diupacarakan sesuai dengan strata sosialnya.

Seseorang yang berasal dari lapisan yang lebih rendah tidak boleh

dimakamkan menurut upacara pemakaman bagi kalangan bangsawan,

begitu pula sebaliknya. Apabila hal ini dilanggar, mereka akan

menerima sanksi sosial yakni dicela dan menjadi buah bibir

masyarakat serta ditentang oleh seluruh pemuka adat di Tana Toraja.

Semakin tinggi tingkatan upacara, waktu pelaksanaannya akan

semakin lama dan semakin membutuhkan biaya yang sangat besar,

khususnya dalam pengadaan hewan kerbau dan babi serta pembuatan

pondok-pondok (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi

(39)

Upacara pemakaman di Tana Toraja dapat diklasifikasikan atas

empat tingkatan, yakni :

1)

Upacara

di Silli’

Upacara ini khusus dilaksanakan pada malam hari atau sore hari

dengan tidak melakukan pesta apapun. Upacara ini harus

dikerjakan oleh orang yang mengadakan pekuburan jenazah ini.

Mayatnya tidak boleh dibiarkan menginap. Upacara ini

diperuntukkan bagi golongan hamba atau golongan yang tidak

mampu.

2) Upacara

di Pasangbongi

Upacara ini merupakan upacara yang hanya berlangsung satu

malam. Jenazah hanya disimpan satu malam kemudian dikuburkan.

Upacara ini adalah upacara pemakaman bagi tingkatan pelapisan

dari orang-orang di

Tana’ Karurung

atau dilaksanakan oleh pihak

dari

Tana’ Bassi

dan

Tana’

Bulaan

yang tidak mampu.

3) Upacara

di Doya

Dalam upacara ini, orang-orang duduk dan menunggu dalam

beberapa malam. Upacara ini diperuntukkan bagi strata menengah

atau dari

Tana’

Bassi

dan

Tana’ Bulaan

. Sebelum dilangsungkan,

terlebih dahulu dibuat tiang-tiang sebagai tempat mengikat kerbau

(40)

4) Upacara

di Rapai’

Di Rapai’

maksudnya ditunggu hingga jenazahnya telah kering.

Selama upacara ini berlangsung, mayat disimpan dalam peti atau

tempat penyimpanan lainnya. Upacara ini pertama kali diadakan di

Tongkonan kediaman orang yang meninggal, kemudian diadakan

di

padang

(tempat pelaksanaan pesta kematian). Upacara ini hanya

diperuntukkan bagi kalangan

Tana’ Bulaan

atau bangsawan tinggi.

Dalam upacara ini terdapat simbol-simbol sebagai tanda kebesaran

yang membedakannya dengan strata sosial lainnya, antara lain :

a)

dibalun bulaan

: kain kapannya dihiasi dengan emas yang telah

ditempa dan direkatkan membentuk motif tertentu sesuai

golongannya.

b)

dibuatkan

lakkian

: rumah bertingkat tiga sebagai tempat

jenazah,

tau-tau

, dan keluarga terdekat orang yang meninggal.

Jenazahnya disemayamkan pada lantai ketiga.

D. GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL

RAMBU SOLO’

PADA KELUARGA DAN KERABAT YANG

DITINGGALKAN

Bagi masyarakat Tana Toraja, kematian itu baru benar-benar tiba apabila

upacara pemakamannya sudah berlangsung. Sebelum upacara itu dilangsungkan,

(41)

1996). Arti harfiah

to

makula

itu adalah orang yang tubuhnya masih panas. Status

orang yang sudah meninggal tadi masih sakit, oleh karena itu ia harus dirawat dan

diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.

Sebelum diupacarakan, jenazah biasanya disimpan selama berhari-hari,

berminggu-minggu, bahkan hingga bertahun-tahun agar pihak keluarga dapat

mempersiapkan upacara pemakaman dengan sebaik-baiknya. Selama masa

penyimpanan tersebut ada kemungkinan suasana kesedihan itu sedikit demi

sedikit mulai terkikis.

Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas

suatu kematian yakni dukacita (

grief

). Dukacita merupakan respon emosional

seseorang dalam menghadapi kematian orang-orang yang dicintai (Backer,

Hannon, Russell, 1982). Di dalamnya terkandung kelumpuhan emosional, tidak

percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai

di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.

Realita

kehilangan

itu

sendiri biasanya sangat sulit diterima oleh

kebanyakan orang. Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk

memulihkan diri sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk

mengekspresikan perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih

mudah dipahami (Kinderknecht & Hodges ; Wortman & Silver dalam Turner &

Helms, 1995).

Setiap keluarga yang menyelenggarakan upacara kematian mengalami fase

dukacita yang berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada keluarga di Tana Toraja.

(42)

individu ada kemungkinan disebabkan oleh faktor kedekatan mereka dengan

individu yang meninggal serta rentang waktu dari meninggal hingga

dikuburkannya almarhum/almarhumah. Menurut Santrock (1995), dukacita yang

dirasakan muncul tidak lama setelah kematian dan memuncak di minggu kedua

hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan,

namun ada pula yang bertahan 1-2 tahun. Saat persiapan upacara sedang berjalan,

ada kemungkinan pihak keluarga mulai bisa beradaptasi dengan ketidakhadiran

almarhum dalam kehidupan mereka.

Meskipun suasana yang nampak bukan suasana dukacita melainkan

kemeriahan sebuah pesta, tidak semua keluarga telah mencapai tahapan akhir

dalam dukacita mereka saat upacara berlangsung. Oleh karena itu penulis ingin

melihat fase dukacita yang mereka alami mulai dari saat pertama mendengar atau

mengetahui kematian almarhum/almarhumah hingga pelaksanaan upacara

Rambu

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah studi fenomenologi yang menggunakan

pendekatan deskreptif kualitatif. Studi fenomenologi memberikan penjelasan

tentang pengalaman hidup pada beberapa individu tentang sebuah fenomenologi

(Creswell, 1998). Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk

melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang

tertentu secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif tidak mencari atau

menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi, tapi hanya

memaparkan situasi atau peristiwa (Isac & Michael dalam Paramyta, 2004).

Penelitian deskriptif ditujukan untuk :

1.

Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang

ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek

yang berlaku.

3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah

yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana

(44)

Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,

seperti transkripsi wawancara dan catatan lapangan.

B. BATASAN ISTILAH

Istilah yang digunakan pada penelitian ini yakni fase dukacita. Fase

dukacita adalah fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka. Fase

dukacita yang dimaksud pada penelitian ini yakni :

a.

Terkejut

Fase ini dimulai ketika seseorang baru mendengar kabar kematian Fase ini

ditandai dengan mati rasa, tidak percaya, tangisan yang terus-menerus, serta

tidak mampu berpikiran jernih. Hal ini berlangsung selama beberapa jam

setelah mendengar kabar tersebut hingga sepuluh hari ke depan.

b.

Kekacauan

Fase ini ditandai dengan adanya penyangkalan atas kematian, kerinduan, susah

tidur, merasa tidak memiliki tenaga, dan seringkali merasa kesepian. Pada

umumnya, seseorang akan berada pada tahapan ini selama satu minggu hingga

dua belas bulan setelah kematian.

c.

Pulih kembali

Fase ini merupakan fase akhir dari dukacita. Seseorang telah mampu keluar

dari masa berdukanya. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga

1 tahun setelah peristiwa kematian.

(45)

C. SUBJEK PENELITIAN

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya

menampilkan karakteristik :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada

kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam

hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman

konseptual yang berkembang dalam penelitian (Sarantakos dalam

Poerwandari, 2001).

Subjek penelitian ini dipilih berdasarkan lapisan masyarakat yang ada di

Toraja yakni :

a.

Tana’ Bulaan

(bangsawan tinggi)

: 3 orang

b.

Tana’ Bassi

(bangsawan menengah)

: 3 orang

c.

Tana’ Karurung

(rakyat biasa)

: 3 orang

d.

Tana’ Kua-kua

(hamba)

: 3 orang

Subjek-subjek tersebut masing-masing terdiri dari dua orang keluarga

dekat (istri/suami dan anak) serta satu orang kerabat/bukan keluarga (teman,

tetangga). Keluarga merupakan pihak yang paling dekat hubungan emosinya

dengan almarhum. Perasaan yang timbul akibat terputusnya hubungan dengan

almarhum diharap akan memberikan gambaran tentang pengalaman emosi

mereka. Kerabat adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan almarhum

(46)

diharap akan menambah perolehan data sehingga akan semakin memperkaya

gambaran tentang fase dukacita pada masyarakat Toraja.

Seluruh subjek merupakan subjek yang telah dewasa, dengan

pertimbangan bahwa mereka telah lebih banyak melihat dan mengalami upacara

kematian itu sendiri. Pemilihan subjek sebagai sampel penelitian berdasarkan

variasi maksimum dan diharapkan dapat bersifat representatif terhadap fenomena

yang diteliti. Proses pengambilan sampel dilakukan secara

snowball / chain

sampling

(pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta

informasi pada orang yang telah diwawancarai / dihubungi sebelumnya) yang

dilakukan sampai mendapatkan tiga subjek penelitian dalam setiap upacara.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data penelitian menggunakan metode wawancara.

Danandjaja (1988) mengemukakan bahwa wawancara adalah metode

pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seorang responden.

Caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Wawancara kualitatif

dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang

makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang

diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk.

dalam Poerwandari, 2001). Keunggulan metode wawancara adalah :

1.

Peneliti bisa secara langsung mengamati pesan-pesan yang tampak dari

(47)

2.

Responden dapat langsung melakukan

probing

(pemeriksaan), klarifikasi

jawabannya, dan memberikan umpan balik.

3. Responden juga dapat berbicara lebih banyak dan lebih termotivasi karena

hadirnya orang lain (Paramyta, 2004).

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur

dengan menggunakan pedoman umum. Peneliti tidak membuat pertanyaan secara

eksplisit melainkan mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan

urutan pertanyaan. Metode pencatatan data yakni dengan

narrative recording

untuk memperoleh data yang luas dan komprehensif dari perilaku natural subjek.

Metode pencatatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasikan perilaku yang

akan diamati, mengidentifikasikan hal-hal yang akan mempengaruhi, mencatat

ekspresi verbal dan non verbal, mencatat perilaku yang muncul, mencatat

rangkaian kejadian, dan mendeskripsikan perilaku.

Faktor-faktor yang akan diungkap dalam wawancara adalah sebagai

berikut :

Tabel 1

Faktor-faktor yang Diungkap dalam Wawancara

No. Faktor-faktor yang diungkap Deskripsi Pertanyaan

1 Identitas Identitas yang meninggal 1. Nama

2. Usia 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Agama 6. Tempat tinggal 7. Tingkatan sosial

2 Identitas Identitas diri subjek 1. Nama

(48)

dialami bagaimana reaksinya saat pertama kali mendengar kematian almarhum ? Apakah kematian itu dapat langsung diterima ?

2. Berapa lama tenggelam dalam kesedihan ? 3. Bagaimana pengaruh kematian ini terhadap kegiatan sehari-hari ? Apakah hingga saat ini masih merasa terpengaruh ?

4. Apakah kematian almarhum masih terus terbayang dalam

mempersiapakan upacara ? 5. Bagaimana perasaan bapak/ibu saat ini?

E. ANALISIS DATA

Pada penelitian ini, langkah-langkah analisis data yang digunakan adalah :

1.

Membaca hasil wawancara secara keseluruhan.

2.

Mengutip pernyataan-pernyataan yang signifikan dari tiap wawancara.

3.

Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dirumuskan menjadi

makna-makna tertentu yang dikelompokkan ke dalam tema-tema.

4.

Mengintegrasikan tema-tema tersebut ke dalam bentuk deskripsi narasi.

(Creswell,1998).

F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Kredibilitas (

credibility

) adalah istilah yang dipilih untuk mengganti

konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas

(49)

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan

setting

, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi

mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang

terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas

penelitian kualitatif. Oleh karenanya, peneliti perlu menguraikan secara jelas

parameter (langkah-langkah, pedoman-pedoman, batasan, dan ukuran) penelitian :

bagaimana desain dikembangkan, subjek penelitian dipilih, ataupun analisis

dilakukan. Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan bahwa

kredibilitas ini dapat dicapai melalui :

1.

Deskripsi setting, proses, kelompok sosial, dan interaksi yang kompleks

pada subjek terhadap ekspresi emosinya (validitas kumulatif).

2.

Penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek yang diteliti,

dimana kondisi apa adanya menjadi konteks penting penelitian (validitas

ekologis).

Dependability

menggantikan istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif.

Melalui konstruk

dependability

peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan

yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam

desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang

setting

yang

diteliti (Poerwandari,1998). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

guna mencapai

dependability

penelitian, antara lain :

a.

Melakukan pencatatan fenomena secara rinci dan teliti.

b.

Membuat interrelasi aspek-aspek yang terkait dalam penelitian.

(50)

penelitiannya sehingga memungkinkan orang lain melakukan

(51)

BAB IV

PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN

1.

Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Peneliti memulai penelitian ini dengan mengunjungi daerah Tana Toraja

dan selanjutnya mencari informasi tentang waktu dan tempat pelaksanaan

upacara-upacara kematian

Rambu Solo’

. Pemilihan upacara sebagai tempat

penelitian ini didasarkan pada tingkatan masyarakat atau kasta dari

keluarga yang melaksanakannya karena tiap kasta memiliki aturan dan tata

cara pelaksanaan upacara yang berbeda. Pemilihan empat kasta yang

berbeda akan memperkaya gambaran pelaksanaan upacara

Rambu Solo’

di

Tana Toraja. Peneliti kemudian memilih empat upacara kematian sebagai

lokasi penelitian.

2.

Waktu dan Tempat Penelitian

Tabel 2

Kasus I

II

III

IV

Tanggal

5 Juli 2006

12 Juli 2006

20 Juli 2006

23 Juli 2006

Tempat

Desa Patua,

Kec. Sangalla

Desa

Lamunan,

Kec. Makale

Desa Saluallo,

Kec. Sangalla

(52)

3.

Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang

telah ditentukan sebelumnya dan dipilih melalui rekomendasi subjek

penelitian yang telah diwawancarai terlebih dahulu. Peneliti tidak

menemukan upacara yang dilaksanakan oleh kasta

tana’ kua-kua

karena

tidak adanya pelaksanaan upacara kematian oleh kasta ini.

B. HASIL PENELITIAN

Penjelasan tentang hasil penelitian ini akan dimulai dari penjelasan tentang

data diri dan riwayat kematian almarhum/almarhumah, data responden yang

terdiri dari keluarga dan kerabat almarhum/almarhumah, kemudian dilanjutkan

dengan analisis data.

1. Kasus I

Data Almarhum

1. Nama

:

SLP

2. Jenis kelamin

:

Laki-laki

3. Usia

:

88 tahun

4. Pendidikan

:

-

5. Pekerjaan

:

Tokoh adat

6. Agama

:

Alukta

(kepercayaan nenek moyang)

(53)

8. Tingkatan sosial

:

Tana’ Bulaan

(bangsawan tinggi)

Riwayat Kematian Almarhum

Almarhum meninggal tahun 1999, jadi selama 7 tahun disimpan di

rumahnya. Istri almarhum telah lebih dahulu meninggal beberapa tahun

sebelum almarhum. Subjek tidak mengalami sakit yang berat sebelum

meninggal, hal ini yang menimbulkan keterkejutan pihak keluarga saat

beliau meninggal. Selama disimpan, almarhum diletakkan di kamarnya

dan diperlakukan selayaknya orang sakit yang belum meninggal. Setiap

hari disediakan makanan dan minuman bagi almarhum. Agar tidak

membusuk, mayatnya diberi suntikan formalin dan ramuan-ramuan

tradisional. Pihak keluarga yang tinggal bersamanya sama sekali tidak

merasa takut akan kehadiran mayat di tengah-tengah mereka. Malahan,

mereka senang masih diberi kesempatan untuk melayani almarhum untuk

terakhir kalinya.

Di bawah ini adalah data subjek yang merupakan keluarga dan kerabat

dari SLP.

Tabel 3

Data Subjek

Subjek 1 2 3

Nama SSB JLP R

Hubungan

kekerabatan Cucu Anak Tetangga

Usia 24 tahun 56 tahun 42 tahun

Pendidikan SMU SMU SMU

(54)

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan

Tingkatan sosial Tana’ Bulaan

(bangsawan tinggi)

Tana’ Bulaan

(bangsawan tinggi)

Tana’ Bulaan

(bangsawan tinggi)

Hasil Analisa

a.

Reaksi saat pertama mendengar tentang kematian

Reaksi yang ditunjukkan ketiga subjek pada kasus pertama ini

cukup beragam. Jika dilihat dari hubungan kekerabatan, SSB dan

almarhum tergolong dekat karena ia adalah cucu almarhum. Namun, ia

tidak kaget dengan kematian kakeknya. Hubungan mereka yang tidak

dekat membuatnya tidak terlalu mengetahui kondisi kakeknya yang

sebenarnya. Lain halnya dengan R yang adalah tetangga almarhum.

Meskipun tidak punya hubungan keluarga, intensitas hubungan mereka

cukup tinggi, sehingga R mengetahui bagaimana kondisi almarhum

yang sebenarnya. Hal yang sama ditunjukkan oleh anaknya, JLP.

Reaksinya sangat kaget, karena kematian almarhum ayahnya tidak

disangka-sangka.

Saat SSB mendengar kabar kematian kakeknya, ia tidak

merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya, almarhum sudah

tua dan hal tersebut memang sudah rencana Tuhan.

“Ya terima, karna maksudnya ee..ini yang almarhum ini kan juga sudah tua toh, alangkah baik kalo rencananya Tuhan kan, ya sudah waktunya begitu.” (W1.15.74)

Sedangkan bagi R, tetangga almarhum, saat pertama kali

(55)

menangis. Hal ini dikarenakan semasa hidupnya fisik almarhum masih

kuat dan masih suka pergi kemana-mana. Kematian almarhum sangat

tidak disangka-sangka.

“Biarpun hanya tetangga tapi boleh dikata kami itu, keluarga itu, dekatlah begitu. Tiap hari kan ketemu pasti toh, kalo ada apa-apa juga pasti kami saling kasih tau, jadi ya bisa dibilang kalo saya juga lumayan kenallah sama ini nenek.” (W3.1.81)

“Sedih pasti, langsung saya menangis waktu itu karena kagetnya toh, karna seingat saya, ini nenek memang sudah tua tapi dak kayak orang tua lain yang sudah sakit-sakit toh, masih sehatji dia.” (W3.22.83)

Reaksi yang lebih mendalam ditunjukkan oleh JLP. Ia

menunjukkan reaksi kaget, kemudian menangis dan pingsan saat

pertama kali mendengar kabar kematian ayahnya. Ia merasa terkejut

dan tidak percaya atas kematian almarhum.

“Boleh dikata kita itu, orang bilang kita kaget, malah saya menangis………….. langsung saya pingsan disitu.” (W2.13.79)

“Ya seperti yang saya bilang tadi, ya sedihlah, ya kagetlah, karna kan tidak disangka-sangka toh? Karna saya juga belum lama itu ketemu sama bapak dan dia itu tidak sakit-sakitji, makanya tidak disangka-sangka skali kalo meninggal.” (W2.23.80)

b.

Lama bersedih

Lamanya ketiga subjek tenggelam dalam kesedihan juga

berbeda. Alasan yang terlihat disini yakni faktor kedekatan tiap subjek

dengan almarhum.

SSB mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu lama

tenggelam dalam kesedihan.

(56)

Sedangkan R tenggelam dalam kesedihan selama 3 bulan.

Menurutnya, jangka waktu tersebut tidak lama.

“…… ya

Gambar

Tabel 1 :  Faktor-faktor yang diungkap dalam wawancara…………………      31
Tabel 1 Faktor-faktor yang Diungkap dalam Wawancara
Kasus Tabel 2 I II
Tabel 3 Data Subjek
+4

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat