• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran kontekstual dalam rangka peningkatan siswa dalam mengikuti pendidikan agama Katolik (PAK) di SMPK Angelus Custos I Surabaya Jawa Timur - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pembelajaran kontekstual dalam rangka peningkatan siswa dalam mengikuti pendidikan agama Katolik (PAK) di SMPK Angelus Custos I Surabaya Jawa Timur - USD Repository"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA

JAWA TIMUR

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Marianus Wele NIM: 041124021

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN F

FFAAAKKKUUULLLTTTAAASSSKKKEEEGGGUUURRRUUUAAANNNDDDAAANNNIIILLLMMMUUUPPPEEENNNDDDIIIDDDIIIKKKAAANNN U

UUNNNIIIVVVEEERRRSSSIIITTTAAASSSSSSAAANNNAAATTTAAADDDHHHAAARRRMMMAAA Y

YYOOOGGGYYYAAAKKKAAARRRTTTAAA 2

(2)

iii

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA

JAWA TIMUR

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Marianus Wele NIM: 041124021

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN F

FFAAAKKKUUULLLTTTAAASSSKKKEEEGGGUUURRRUUUAAANNNDDDAAANNNIIILLLMMMUUUPPPEEENNNDDDIIIDDDIIIKKKAAANNN U

UUNNNIIIVVVEEERRRSSSIIITTTAAASSSSSSAAANNNAAATTTAAADDDHHHAAARRRMMMAAA Y

YYOOOGGGYYYAAAKKKAAARRRTTTAAA 2

(3)
(4)
(5)

iiivvv

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Almarhum Bapak dan Ibu saya sebagai teladan menjadi pendidik bijaksana,

Kongregasi Para Frater Bunda Hati Kudus

sebagai komunitas religius yang membentuk saya menjadi religius pendidik,

para guru SMPK Angelus Custos I Surabaya Jawa Timur

sebagai pendidik dan mitra kerja dalam perutusan dan panggilanku,

(6)

vvv

“Tuhan Engkau tahu segala sesuatu,

Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

(7)

vvviii

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2 September 2008

Penulis,

(8)

vvviiiiii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Marianus Wele

NIM : 041124021

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM RANGKA PENINGKATAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA JAWA TIMUR

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta.

Pada Tanggal, 27 September 2008. Yang menyatakan

(9)

vvviiiiiiiii

Judul skripsi PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM RANGKA

PENINGKATAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA JAWA TIMUR dipilih berdasarkan kondisi riil di lapanga n sekitar proses pembelajaran. Proses pembelajaran hanya sebatas menyampaikan atau memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran belum mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam seluruh proses pembelajaran. Proses pembelajaran disamakan dengan pabrik yang lebih mengutamakan hasil. Guru kurang memahami proses pembelajaran kekinian, dan kurang memahami psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan siswa. Selain itu, materi yang dikuasai cenderung stagnan. Kondisi ini berdampak pada kurangnya minat siswa dalam mengikuti pembelajaran PAK. Berdasarkan kondisi tersebut, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para guru di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur khususnya guru PAK agar mendapatkan gambaran baru dalam membangun proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah para guru mampu melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran macam apakah yang dapat membantu para guru dalam mendesain pembelajaran yang dapat diminati oleh siswa. Dalam rangka mengkaji permasalahan dalam skripsi ini penulis memerlukan studi pustaka agar memperoleh pemikiran untuk direfleksikan sehingga memperoleh gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan pendekatan pembelajaran kontekstual bagi para guru PAK di SMPK Angelus Custos I, Surabaya, Jawa Timur. Di samping itu untuk menge tahui kondisi riil apakah pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pendidikan agama Katolik di SMPK Angelus Custos I Surabaya, penulis melakukan penelitian menggunakan metode survei.

(10)

iiixxx

Thesis en titled CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING IN ORDER TO IMPROVE STUDENTS’ ENTHUSIASM IN FOLLOWING CATHOLIC EDUCATION SUBJECT IN SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA EAST JAVA is selected based on real condition in the field of learning process. The learning process is only limited to convey or transfer knowledge from the teacher to the students. The learning process does not encourage the students to be actively involved in the entire learning process. Leraning process is equel to a factory that focuses on its result. Teacher does not understand the latest learning process, does not comprehend students education and developmental psychology. Besides, subject material mastery tends to be stagnant. This condition affects to the insufficient of students’ enthusiasm in following Catholic Education subject. Based on the situation, then the thesis is intended to assist the teachers in SMPK Angelus Custos I Surabaya, East Java specifically Catholic Education teachers to have new figure in developing learning process by using contextual learning approach.

The fundamental matter questions in this thesis are how teachers are able to involve their students in the learning process and what kind of learning approach is able to assist the teachers in designing the learning preferred by the students. In order to study those matters, the writer needs books study to obtain ideas to be reflected. Therefore, he/she obtain ideas which are able to be used as contribution in contextual learning approach for the Catholic Education teachers of SMPK Angelus Custos I Surabaya, East Java. Beside knowing the real condition whether or not the contextual learning can improve the students’ enthusiasm in following Catholic Education subject in SMPK Angelus Custos I Surabaya, the writer conducts research using the survey method.

(11)

xxx

Bersama Maria Bunda Hati Kudus penulis mengucapkan syukur dan pujian

kepada Allah atas rahmat kasih-Nya yang telah menuntun penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi berjudul PEMBELAJARAN

KONTEKSTUAL DALAM RANGKA PENINGKATAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA JAWA TIMUR.

Skripsi ini diangkat berdasarkan kondisi riil pembelajaran ditanah air

khususnya di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur. Pembelajaran

kurang mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran belum memotivasi siswa untuk menemukan makna pelajaran,

mengaitkan makna pelajaran dengan kenyataan hidup, dan mendorong siswa

menerapkan makna yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Guru masih

berpegang pada konsep proses pembelajaran yang mana guru mengajar sedangkan

siswa belajar. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu

para guru dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran kontekstualadalah

Pembelajaran hanya sebatas menyampaikan atau memindahkan pengetahuan dari

guru kepada siswa. Selain itu skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelas Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini berkat bantuan dari

banyak pihak yang telah memberikan perhatian dan doronga n. Oleh karena itu

(12)

xxxiii

masukan serta memberi inspirasi bagi penulis menuju pemahaman yang

mendalam akan gagasan- gagasan dalam penulisan skripsi ini.

2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen pembimbing akademik

sekaligus penguji II yang telah berkenan membimbing, memeriksa dan menguji

penulis.

3. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, S.J,. M.Ed., selaku penguji III yang telah

memberikan inspirasi, memeriksa dan menguji penulis.

4. Bapak-Ibu dosen dan staf prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah

mendampingi dengan setia serta menjadi rekan selama penulis melaksanakan

studi di IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta.

5. Frater Provinsial Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus beserta dewannya yang

telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperkembangkan

pengetahuan, kepribadian dan kerohanian selama studi di IPPAK-FKIP-USD

Yogyakarta.

6. Para konfrater komunitas St. Gregorius yang telah memberikan situasi kondusif

bagi penulis dalam menyelesaikan tugas dan studi.

7. Para konfrater komunitas St. Paulus Surabaya yang telah memberi situasi

kondusif selama penulis melakukan penelitian.

8. Fr. M. Herman Yoseph, BHK selaku Kepala Sekolah, para guru, dan pegawai

yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam melakukan

(13)

xxxiiiiii

yang tulus sehingga penulis terbantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

10.Konfrater: Fr. Patrik, Fr. Florianus, Fr. Wiliam, Fr. Kardinus, dan Fr. Paskalis

yang senantiasa memberikan dukungan, inspirasi, dan waktu kebersamaan

selama studi di Yogyakarta.

11.Seluruh rekan-rekan angkatan 2004 yang selalu menjadi teman dalam suka

dan duka bersama penulis, khususnya Sr. Fidelia, SSpS., Sr. Gratiana, SFD.,

Sr. Theresiana, PIJ., Anastasia Atmi, Marina Yulita, Bonifasia Chyntia,

Hendy Kurniawan, dan John Ariyo.

12.Semua pihak yang penulis tidak disebut pada tulisan ini yang dengan caranya

sendiri telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu, dengan senang hati penulis menerima segala kritik dan saran demi

penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut. Penulis berharap semoga skripsi

ini menjadi sumbangan pemikiran bagi siapa saja yang merasa terbuka akan

pengembangan pendekatan pembelajaran kontekstual.

Yogyakarta, 2 September 2008

Penulis,

(14)

xxxiiiiiiiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PAK ... 10

A. Pembelajaran Kontekstual... 10

1. Pembelajaran ... 10

a. Belajar ... 11

b. Mengajar ... 18

2. Kontekstual ... 20

3. Pembelajaran Kontekstual ... 21

a. Landasan Pembelajaran Kontekstual ... 21

(15)

xxxiiivvv

2) Prinsip Diferensiasi ... 29

3) Prinsip Pengaturan Diri ... 29

d. Asas-Asas Pembelajaran Kontekstual ... 30

1)Asas Pembelajaran Kontekstual Menurut Eliane B. Johnson ... 30

a) Membuat Keterkaitan Bermakna ... 31

b) Pembelajaran Mandiri dan Kerja Sama ... 32

c) Berpikir Kritis dan Kreatif ... 34

d) Membantu Individu Untuk Tumbuh dan Berkembang ... 35

e) Mencapai Standar yang Tinggi ... 37

f) Penilaian Autentik ... 38

2)Asas Pembelajaran Kontekstual Menurut Wina Sanjaya ... 39

a) Konstruktivisme ... 39

b) Menemukan (Inquiry) ... 39

c) Bertanya (Questioning) ... 40

d) Masyarakat Belajar (Learning Community) ... 40

e) Pemodelan (Modeling) ... 41

f) Refleksi (Reflection) ... 42

g) Penilaian Autentik (Authentic Assessment) ... 42

e. Peranan Guru Dalam Pembelajaran Kontekstual ... 42

f. Peranan Siswa Dalam Pembelajaran Kontekstual ... 43

B. Minat Siswa Dalam Mengikuti PAK ... 45

1. Minat Siswa ... 45

2. Pendidikan Agama Katolik ... 46

a. Pola-Pendekatan Pembelajaran PAK ... 51

b. Metode Pembelajaran PAK ... 51

1) Metode Dialog-partisipatif ... 52

(16)

xxxvvv

3. Minat Siswa Mengikuti Pelajaran PAK ... 57

BAB III: SMPK ANGELUS CUSTOS I DAN PEMBELAJARAN PAK ... 61

A.Hal ikhwal SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 61

1. Sejarah SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 61

2. Visi-Misi SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 64

a. Visi SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 64

b. Misi SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 64

B. Penelitian tentang Pembelajaran Kontekstual dan Minat Siswa Dalam Mengikuti PAK di SMPK Angelus Custos I Surabaya ... 65

1. Metode Penelitian ... 66

2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 66

3. Populasi dan Sampel ... 67

a. Populasi ... 67

b. Sampel ... 67

4. Variabel Penelitian ... 67

5. Instrumen Penelitian ... 68

6. Prosedur Pengumpulan Data ... 69

7. Hasil Penelitian ... 70

8. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

a. Tabel 4. Pembelajaran Kontekstual ... 81

1) Bentuk Keterlibatan Guru dalam Pembelajaran Kontekstual ... 81

2) Bentuk Keterlibatan Siswa dalam Pembelajaran Kontekstual ... 84

b. Tabel 5. Minat Siswa dalam Mangikuti PAK ... 88

1) Faktor Guru ... 86

2) Faktor Siswa ... 92

9. Rangkuman ... 94

(17)

xxxvvviii

C. Metode Pelatiha n ... 97

D. Sasaran Pelatihan ... 97

E. Program Pelatihan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual ... 98

F. Jadwal Acara Pelatihan ... 100

G. Contoh Satuan Persiapan Pelatihan ... 100

1. Identitas ... 100

2. Pemikiran Dasar ... 102

3. Proses Kegiatan ... 103

a. Pengertian Silabus ... 103

b. Pengertian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 104

c. Latihan Membuat Silabus Pembelajaran ... 104

d. Latihan Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Terpadu ... 107

1) Identitas ... 107

2) Skenario Pembelajaran ... 108

4. Pleno ... 109

5. Evaluasi ... 109

6. Kata Penutup ... 110

BAB V. PENUTUP ... 111

A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 113

1. Saran Bagi Pihak Sekolah ... 113

2. Saran Bagi Guru PAK ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 118

Lampiran 1 : Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran 2 : Instrumen Penelitian ... (2)

(18)

xxxvvviiiiii

AMBAK ::: Apa Manfaat Bagi-Ku

Art. ::: Artikel

bdk : bandingkan

BHK : Bunda Hati Kudus

dkk : dan kawan-kawan

dll : dan lain- lain

Fr. : Frater

GE : Gravissimum Educationis, Dokumen Konsili Vatikan II

berupa Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, 28 Oktober

1965.

IQ ::: Intelligence Quotient, Kecerdasan intelektual

Jl ::: Jalan

Jlh ::: Jumlah

Kan ::: Kanon

Kis ::: Kisah Para Rasul

Komdik ::: Komisi Pendidikan

Komkat ::: Komisi Kateketik

KWI ::: Konferensi Waligereja Indonesia

KR ::: Kedaulatan Rakyat, Koran Yogyakarta.

MS ::: Midelbare School, Sekolah Menengah

(19)

xxxvvviiiiiiiii

lakukan tindakan

Pkl : Pukul, waktu

RI Republik Indonesia

UN : Ujian Nasional

UNESCO United Nations Educational Scientific and Cultural

Organization, Organisasi PBB yang menangani masalah

pendidikan.

UU : Undang-Undang

YMW : Yayasan Mardi Wiyata

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

bahwa pendidikan nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi diri untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

dan keterampilan. Konsep ini mengandung beberapa hal penting yaitu pertama,

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, artinya pendidikan tidak

dilaksanakan secara asal-asalan tetapi melalui proses yang direncanakan secara

matang. Kedua, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berkembang

secara utuh. Ketiga, pendidikan yang dilaksanakan itu dapat membantu siswa

untuk mengembangkan potensi dirinya. Keempat, pendidikan dapat membentuk

siswa yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia.

Kondisi riil pendidikan di tanah air, khususnya pada tahun-tahun terakhir ini

belum sesuai dengan ketentuan dan harapan undang- undang di atas. Proses

pembelajaran masih berfokus pada sistem yang lebih menekankan pada

kecerdasan intelektual atau kecerdasan kognitif sebagai hasil pembelajaran yang

terakumulasi dalam UN dan kurang melihatnya sebagai proses pembelajaran.

Dengan demikian Doni Koesoema (2007: 6) dalam Metafora Pendidikan

mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang hanya menekankan hasil,

(21)

materi kasar yang harus diolah dan dibentuk menjadi barang jadi yang berguna.

Guru dianggap teknisi yang memiliki keterampilan tinggi. Proses produksi diatur

secara saksama agar tidak menyimpang dari desain yang telah ditetapkan dan

sesuai dengan sistem yang berlaku. Oleh karena itu tidak jarang dunia pendidikan

menjadi dunia metafora pabrik dengan istilah- istilah barang jadi, hasil akhir, dan

lulusan. Kenyataan ini berlaku unuk semua mata pelajaran tanpa kecuali.

Misalnya mata pelajaran pendidikan agama tidak dapat mengembangkan sikap

yang sesuai dengan norma-norma agama, karena proses pembelajaran agama lebih

diarahkan ke penguasaan dan menghafal materi pelajaran yang ada dalam buku

ajar.

Proses pembelajaran yang hanya terfokus pada kecerdasan intelektual dan secara paksa diberikan kepada peserta didik akan menjadikan mereka hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa ada unsur lain yang dapat

dikembangkan bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan sesamanya, mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kehidupan nyata dan menerapkan apa yang telah mereka miliki ke dalam hidup harian yang nyata. Di lain pihak masih sangat terasa pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh

pandangan, bahwa pengetahuan merupakan seperangkat fakta atau konsep yang harus dihafal. Proses pembelajaran dalam kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber ilmu pengetahuan, sedangkan siswa dijadikan nasabah yang siap

menerima apa yang disampaikan oleh guru. Pendekatan pembelajaran yang demikian adalah pendekatan yang berfokus pada guru “berakting” sedangkan siswa ditempatkan sebagai penonton. Pendekatan pembelajaran yang tidak mengikutsertakan siswa dalam proses pembelajaran adalah pembelajaran sistem

(22)

Di samping itu ada perbedaan antara mata pelajaran yang diujikan secara

nasional dan mata pelajaran yang diujikan oleh pihak sekolah. Perbedaan

semacam ini akan mempengaruhi minat siswa dalam mengikuti pelajaran. Siswa

lebih berminat pada mata pelajaran yang diujikan secara nasiona l, karena mata

pelajaran itu yang menentukan kelulusan mereka daripada mata pelajaran yang

diujikan sekolah. Sementara itu Rachmadi Widdiharto (2008:14) menyatakan

bahwa masih ada para pendidik yang kurang memahami pembelajaran kekinian

atau kontekstual, mereka kurang memahami psikologi perkembangan, paradigma

pendidikan kontemporer, strategi atau pendekatan belajar terbaru, dan isu- isu

aktual tentang manajemen pendidikan. Para guru masih berpegang pada model

pembelajaran konvensional dan penguasaan isi yang cenderung stagnan. Proses

pembelajaran semacam ini menyebabkan kurangnya minat siswa dalam mengikuti

pelajaran khususnya pelajaran PAK. Fakta seperti yang sudah dikemukakan di

atas tidak menutup kemungkinan juga dialami atau terjadi di SMPK Angelus

Custos I Surabaya, Jawa Timur.

Pendidikan dan pembelajaran seharunya mampu mendampingi siswa

mencapai tiga sasaran emansipatorik yaitu manusia yang eksplorator, kreatif, dan

integral. Menusia eksplorator mengandung pengertian bahwa manusia itu suka

mencari, suka bertanya, dan suka mengambil risiko. Manusia kreatif berarti

menusia pembaharu yang tidak suka terikat pada pola-pola lama. Manusia integral

berarti manusia yang utuh jiwanya memiliki kesadaan bahwa hidup itu

kompleks-multidimesnional namun tidak mudah bingung karena bisa menangkap benang

merah ditengah-tengah pluralitas dan kebhinekaan. Dengan demikian pendidikan

(23)

berkarakter, takwa, utuh, memiliki rasa solidaritas dan memiliki keterlibatan diri

yang bertanggungjawab (Dedy Pradipto, 2007: 66).

Di samping itu Manurung (2007: 6) dalam “Sekolah Perlu Fasilitas

Persoalan dan Pengetahuan Lokal” melihat pembelajaran kontekstual dalam

konteks masyarakat lokal yang serba kekurangan. Manurung mendefinisikan

pembelajaran kontekstual adalah bagaimana menyediakan fasilitas yang

dibutuhkan untuk memenuhi persoalan komunitas dan masyarakat lokal sehingga

masyarakat mampu menemukan pilihan dalam komunitas itu. Pendidikan dan

pengajaran yang mengenali langsung persoalan hidup di komunitas inilah yang

dibutuhkan dan dikembangkan supaya bisa dirasakan langsung oleh dan bagi

kehidupan masyarakat lokal.

Sementara itu Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab I Pasal 1 ayat 6

menyatakan bahwa Standar Proses Pendidikan Nasional adalah standar nasional

yang diberkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk

mencapai kelulusan. Sedangkan Pasal 21 ayat 1 menyatakan bahwa proses

pembelajaran dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang,

menyenangkan, dan mendorong siswa untuk terlibat aktif, serta memberi ruang

bagi kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik

serta mental-psikologis.

Oleh sebab itu Johnson (2002: 14) menyatakan bahwa pembelajaran

kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa

siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam

materi akademis yang mereka terima dan mereka menangkap makna dalam

(24)

pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. Dengan demikian

pembelajaran kontekstual dapat membantu para peserta didik menemukan makna

akademis dengan cara menghubungkan materi pelajaran dengan konteks

kehidupan kesehariannya. Di samping itu mendorong peserta didik membuat

hubungan penting yang menghasilkan makna dengan melaksanakan pembelajaran

kontekstual mencakup delapan komponen, yakni membuat keterkaitan yang

bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja

sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan

berkembang, mencapai standar yang tinggi, penilaian yang autentik (Johnson,

2002: 15).

Upaya mengimplementasikan pembelajaran kontekstual khususnya dalam

pelajaran PAK tidaklah mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan mulai dari

kesiapan dan kreativitas guru, sarana prasarana, tingkat partisipasi siswa, serta

dukungan dari pihak sekolah. Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual

mengandaikan seorang guru mempunyai pemahaman yang mendalam akan hal

ikhwal pembelajaran kontekstual, mempunyai pandangan yang luas akan materi

pembelajaran dan segala hal yang menunjang proses pembelajaran. Di samping itu

seorang guru harus benar-benar memahami kompetensi yang layak baginya yakni

kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan

kompetensi sosial. Selain itu guru senantiasa menyadari bahwa siswa adalah

subyek pembelajaran dimana siswa didorong untuk ikut telibat aktif dalam seluruh

proses pembelajaran.

Pembelajaran kontekstual adalah model pendekatan yang memungkinkan

(25)

keterampilan, kreativitas, dll. Intinya adalah mendorong siswa untuk menemukan

makna atas materi yang dipelajarinya. Oleh karena itu penulis merasa perlu

mengkaji sejauh mana pendekatan pembelajaran kontekstual itu dapat

meningkatkan minat siswa dalam mengikuti PAK yang dituangkan dalam skripsi

dengan judul: PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM RANGKA

PENINGKATAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMPK ANGELUS CUSTOS I SURABAYA JAWA TIMUR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas ada beberapa permasalahan

yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa itu pembelajaran kontekstual dan minat siswa dalam mengikuti PAK?

2. Bagaimana keterlibatan siswa dan guru dalam proses pembelajaran PAK

kontekstual?

3. Apakah pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat siswa dalam

mengikuti PAK di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur?

4. Bagaimana pengembangan pembelajaran kontekstual dalam rangka

peningkatan minat siswa dalam mengikuti PAK?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Memaparkan pengertian pembelajaran kontekstual dan minat siswa dalam

mengikuti PAK.

(26)

pembelajaran PAK kontekstual.

3. Mendeskripsikan apakah pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat

siswa dalam mengikuti Pendidikan Agama Katolik (PAK) di SMPK Angelus

Custos I Surabaya.

4. Memaparkan upaya pengembangan pembelajaran kontekstual dalam rangka

peningkatan minat siswa dalam mengikuti PAK.

5. Memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan

Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Dapat memberikan sumbangan bagi sekolah agar dapat mengembangkan

pendekatan pembelajaran kontekstual dalam proses pembelajaran.

2. Dapat memberi sumbangan bagi guru PAK agar dapat menggunakan

pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik

(PAK) di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur.

3. Dapat mengembangkan diri penulis untuk mendesain proses pembelajaran

PAK dengan pendekatan kontekstual.

E. Metode Penulisan

Dalam menulis skripsi ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif.

(27)

sumber bahan, dan membahasakan kembali gagasan secara deskriptif dalam

bentuk tulisan. Hal yang sama penulis lakukan dalam menggali konteks

pembahasan permasalahan seputar pembelajaran PAK. Untuk mengetahui proses

pembelajaran PAK, penulis melakukan penelitian sederhana dengan metode

surve i terhadap siswa kelas VIII SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur.

Hasil penelitian akan dijadikan dasar dalam mengembangkan pendekatan

pembelajaran PAK konteksual di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran mengenai penulisan skripsi ini, penulis

menyampaikan pokok-pokok gagasan penulisan. Pada bab yang pertama penulis

menguraikan pendahuluan yang mencakup latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Pada bab yang kedua penulis akan menguraikan pengertian atau konsep-konsep

tentang hal ikhwal pembelajaran kontekstual, PAK, dan minat siswa dalam

mengikuti pelajaran PAK sebagai landasan teori dalam penulisan skripsi.

Pada bab ketiga penulis menguraikan hal ikhwal SMPK Angelus Custos I

Surabaya, Jawa Timur yang terdiri dari sejarah singkat, visi dan misi. Pada bab ini

juga penulis membahas tentang proses pembelajaran PAK di SMPK Angelus

Custos I Surabaya berdasarkan suatu penelitian yang mencakup metode

penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel

penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengump ulan data, hasil penelitian,

(28)

Sebagai upaya pengembangan pembelajaran kontekstual pada bab keempat

ini penulis menawarkan satu program pengembangan pendekatan pembelajaran

kontekstual yang kiranya dapat membantu para guru dalam mendesain proses

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual di

SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa Timur. Tawaran program pengembangan

itu berupa pelatihan penggunaan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam

rangka peningkatan minat siswa dalam mengikuti pendidikan agama Katolik

sekaligus dengan penerapannya bagi para guru SMPK Angelus Custos I Surabaya,

Jawa Timur.

Sedangkan pada bab penutup penulis menguraikan dua hal yaitu pertama,

tentang kesimpulan yang berisikan gagasan-gagasan pokok dari penulisan skripsi

dan kedua, mengenai saran-saran yang kiranya dapat membantu pengembangan

proses pembelajaran PAK kontekstual di SMPK Angelus Custos I Surabaya, Jawa

(29)

BAB II

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN MINAT SISWA DALAM MENGIKUTI PAK

Fokus pembahasan bab kedua ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama

penulis membahas mengenai pembelajaran kontekstual yang terdiri dari

pembelajaran, kontekstual, dan pembelajaran kontekstual. Sedangkan bagian

kedua membahas mengenai minat siswa dalam mengikuti PAK yang terdiri dari

minat siswa, PAK, dan minat siswa dalam mengikuti PAK.

A.Pembelajaran Kontekstual 1. Pembelajaran

Belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa

saja. Informasi yang diperoleh lewat radio, televisi, film, surat kabar, dan majalah

dapat mempengaruhi cara belajar seseorang. Namun informasi itu tidak

serta-merta mendorongnya memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan

belajar. Informasi itu perlu diolah secara baik dan benar. Oleh sebab itu

dibutuhkan guru yang profesional untuk membantu mengolah pengetahuan,

keterampilan, dan pengalaman tersebut dengan proses pembelajaran.

Johnson (2002: 18) menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran

mengandung tiga prinsip yaitu, pertama, belajar dapat menghasilkan perubahan

perilaku siswa yang relatif permanen. Di sini dapat dilihat bahwa perubahan

perilaku siswa dapat dipengaruhi oleh guru yang mempunyai peran penting

(30)

melalui proses pembelajaran. Dengan demikian guru mempunyai peran sebagai

fasilitator dan motivator untuk memfasilitasi dan memotivasi siswa agar terlibat

dalam proses pembelajaran. Kedua, setiap peserta didik memiliki potensi dan

kemampuan dasar yang merupakan benih koderati yang dapat

ditumbuh-kembangkan secara terus-menerus. Oleh sebab itu guru seyogyanya mendorong

siswa untuk mengembangkan potensi diri, sehingga dapat bertumbah,

berkembang, dan akhirnya menghasilkan buah yang melimpah. Proses

pembelajaran adalah upaya mengoptimalkan diri yang mencakup segi kognitif,

afektif, dan psikomotorik yang relatif permanen. Ketiga, perubahan atau

pencapaian kualitas yang ideal itu tidak tumbuh alami tetapi berjalan secara linear

sejalan proses kehidupan. Proses pembelajaran merupakan bagian dari kehidupan,

oleh karena itu perlu didesain atau dibentuk, dibangun secara khusus dan diniati

agar mencapai kondisi atau kualitas yang memuaskan. Dengan demikian dalam

suatu proses pembelajaran ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yakni

belajar dan mengajar.

a. Belajar

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2002: 17) mendefinisikan

secara etimologis belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau

ilmu”. Definisi ini mau menyatakan bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk

memperoleh kepandaian atau ilmu pengetahuan. Di sini dapat dilihat bahwa

kegiatan atau usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu itu merupakan kegiatan

manusia, sehingga dengan belajar manusia menjadi tahu, mengerti, memahami,

(31)

Menurut Hilgard dan Brower sebagaimana dikutip Baharudin & Esa Nur

Wahyuni (2007: 13) menyatakan bahwa belajar mengandung pengertian sebagai

upaya untuk memperoleh atau menguasai pengetahuan. Oleh karena itu siswa

dapat melakukan usaha itu melalui pengalaman, mengingat, menguasai

pengalaman, dan melalui informasi yang pada akhirnya dapat menemukan makna

atasnya.

Sardiman (2000: 19) menyatakan bahwa secara umum belajar dapat

diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi

sebagai hasil dari pengalaman atau tingkah laku. Pengertian ini menunjukan

bahwa dalam hidup sehari- hari seseorang dapat melakukan kegiatan yang

merupakan gejala belajar. Sementara itu penganut filsafat konstruktivisme

memahami hakekat belajar sebagai kegiatan manusia untuk membangun atau

menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada

pengetahuan itu sesuai dengan pengalamannya. Mereka beranggapan bahwa

pengetahuan itu bersifat tidak stabil, dinamis, maka pemahaman yang diperoleh

bersifat tentatif dan tidak lengkap. Menurut teori konstruktivisme belajar adalah

upaya membangun pengetahuan melalui proses sedikit demi sedikit atau langkah

demi langkah untuk mencapai hasil yang memuaskan atau maksimal. Oleh karena

itu pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil,

dihafal, dan diingat (Baharudin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 116).

Suparno (1997: 61) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses.

Dengan demikian belajar mengandung beberapa pengertian yaitu pertama, belajar

berarti upaya menemukan makna, oleh karena itu siswa didorong untuk

(32)

dirasakan, dan dialami. Kedua, belajar berarti usaha mengkonstruksi sesuatu

secara terus menerus, artinya siswa diharapkan mampu mengkostruksikan kembali

obyek pengamatannya secara baik. Ketiga, belajar bukan mengumpulkan fakta

atau konsep. Belajar mengandung pengertian mendorong siswa untuk menemukan

suatu pemikiran baru atas fakta yang sudah ada. Keempat, hasil belajar merupakan

penerapan konsep dalam tindakan konkret dalam kenyataan kehidupan harian.

Wolfolk & Nicolich sebagaimana dikutip Radno Harsanto (2007: 87)

menjelaskan bahwa orientasi pembelajaran adalah menempatkan siswa sebagai

pusat pembelajaran dan menjadikan mereka sebagai bagian penting dari proses

pembelajaran. Menempatkan siswa sebagai subyek yang belajar bukan

menjadikan siswa sebagai obyek pembelajaran yang hanya duduk dan mendengar

atau hanya sekedar menonton yang pasif. Proses pembelajaran juga merupakan

suatu proses interaksi baik antar siswa, dengan guru, maupun dengan lingkungan

sekitar.

Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan

berkesinambungan. Skinner sebagaimana dikutip Dimyati & Mudjiono (2006: 9)

menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu perilaku. Pada saat seorang belajar

maka respons akan lebih baik dan sebaliknya bila tidak belajar maka tidak ada

respons. Sedangkan Gagne seperti dikutip Dimyati & Mudjiono (2006: 10)

menjelaskan belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar

merupakan kapabilitas. Dengan belajar siswa memiliki pengetahuan,

keterampilan, sikap, dan nilai atau makna. Gagne mengelompokkan belajar dalam

tiga komponen penting dengan melihat kondisi pembelajar yaitu, kondisi internal,

(33)

Sementara itu Piaget sebagaimana dikutip Dimyati & Mudjiono (2006:

13-14) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang dibentuk oleh individu itu sendiri,

sebab individulah yang melakukan interaksi dengan lingkungan. Interaksi yang

demikian membuat fungsi intelek semakin berkembang dan mempengaruhi

pengalaman belajar seseorang. Belajar menurut Piaget meliputi tiga fase yaitu fase

eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi siswa

mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep siswa

belajar mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Sedangkan dalam

fase aplikasi konsep di mana siswa belajar menggunakan konsep untuk meneliti

gejala yang selanjutnya.

Menurut Winkel (1997: 36) belajar merupakan suatu aktivitas ment al atau

psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang

meng-hasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan

nilai- nilai sikap. Perubahan-perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

Wasty Soemanto (1984: 98-99) mendefinisikan “belajar sebagai proses dimana

tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.” Dari

definisi yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa tingkah laku belajar

seseorang dapat dimunculkan atau ditimbulkan melalui latihan atau pengalaman.

Nurhadi (2002: 3) menjelaskan bahwa proses belajar melalui mengalami

sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada

pengetahuan itu. Proses belajar merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi pada

pusat saraf individu yang belajar. Proses belajar hanya dapat diamati dengan

adanya perubahan tingkah laku seseorang dimana ada yang berbeda dengan yang

sebelumnya. Belajar tidak saja hanya sekedar menghafal tetapi bagaimana

(34)

oleh karena itu dalam proses pembelajaran siswa diajak untuk menemukan sendiri

makna dari apa yang dipelajari atau apa yang dialami (Baharudin & Esa Nur

Wahyuni, 2007: 116). Di samping itu belajar mengalami sendiri juga berarti

bukan menerima begitu saja pemberian atau pendapat orang lain di luar dirinya

termasuk guru. Dengan demikian sebagai fasilitator seorang guru perlu

memperhitungkan atau mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan yang

sudah dimiliki oleh siswa. Bagi siswa belajar mengalami berarti perlu mengetahui

untuk apa ia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan

keterampilan yang dimilikinya.

Sementara itu proses pembelajaran terus mengalami perubahan sesuai

dengan perkembangan jaman. Radno Harsanto (2007: 14) mengungkapkan bahwa

pada zaman yang perkembangannya begitu cepat dan transparan ini setiap orang

mempunyai tanggung jawab atas hidupnya sendiri, serta berkompetisi dengan

orang lain. Dengan demikian peserta didik juga mempunyai tanggungjawab atas

dirinya. Oleh sebab itu proses pembelajaran memerlukan suatu perubahan

paradigma dari guru yang “berakting”, siswa menonton ke siswa yang “berakting”

dan berperan aktif, sedangkan guru berperan sebagai motivator, konselor, sahabat,

pendamping, dan pemimpin spiritual. Nurhadi (2002: 4) menjelaskan bahwa

dalam proses pembelajaran tugas guru adalah mengatur strategi belajar,

membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru, dan memfasilitasi siswa

untuk belajar. Proses pembelajaran diarahkan pada pembelajar agar mereka

memahami “apa” dan “mengapa”, atas materi yang mereka pelajari serta

“bagaimana”, meningkatkan kemampuan mengorganisasikan pengalaman dalam

konsep yang sistematis daripada hanya menerima begitu saja pendapat orang lain

(35)

Dalam proses pembelajaran guru mempunyai peran penting sebagai

fasilitator, motivator, dan animator. Dengan demikian guru dapat merancang,

mengkontruksikan, dan mengkond isikan pembelajaran untuk siswa dengan

menempatkan siswa sebagai bagian penting proses pembelajaran, dan

menjadikannya pusat proses pembelajaran. Di samping itu perlu memperhatikan

otonomi siswa yang merupakan subyek pembelajaran dan menjadi titik acuan dari

seluruh perencanaan dan proses pembelajaran (Rando Harsanto, 2007: 16-18).

Lebih lanjut Paulo Freire tokoh pendidikan dari Amerika Latin menggambarkan

siswa sebagai pembelajar adalah dengan melibatkan siswa di dalam seluruh proses

pembelajaran (Freire, 1985: 182). Proses pembelajaran yang berpusatkan pada

siswa dapat dilihat pada bagan berikuti ini:

Bagan: Proses Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa

SISWA Menggunakan Pembelajaran Terpadu. Materi Sederhana, menarik minat, pemetaan bahan. Mengembangkan Kecakapan Hidup.

Mampu menolong diri sendiri, disiplin, mampu bersosialisasi, mempunyai keterampilan dasar

untuk jenjang selanjutnya. Proses Belajar.

Kreatif, inovatif, eksploratif, berpikir analitis, kritis.

Belajar Sambil Berkegiatan (Joyfull

Learning). Strategis, metode, materi/bahan, media.

Berorientasi Pada Kebutuhan Siswa.

Visualisasi, auditif, intelektual, bahasa, sosio-emosional.

Berorientasi Pada Prinsip Perkembangan Siswa. Siswa merasa aman dan tenteram, berulang-ulang, interaksi sosial, minat &

rasa ingin tahu, perbedaan individu.

Lingkungan Kondusif. Menarik, membuat betah atau

(36)

Sementara Driyarkara sebagaimana disarikan Sudiarja, dkk (2006:

376-378, 415-417)dalam Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang

Terlibat dalam Perjuangan Bangsanya menyatakan bahwa dalam proses

pendidikan dan pembelajaran hendaknya dibangun pola kesatuan atau

kebersamaan antara ayah- ibu-anak dimana mereka membentuk diri menjadi satu

keluarga yang tak terpisahkan. Proses pembelajaran seperti ini membawa dampak

tidak adanya “ruang” pemisah, setiap pribadi dapat menjadi guru bagi sesama.

Dalam proses ini juga terjalin suatu komunikasi yang saling menumbuhkan,

komunikasi yang saling memanusiakan, dan ada ruang untuk saling belajar.

Belajar dari pola pendekatan pembelajaran seperti yang dikemukakan

Driyarkara di atas hendaknya dalam proses pembelajaran guru mendesain,

mengkonstruksi, merancang pembelajaran yang berpusatkan pada siswa dan

menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran. Dalam proses pembelajaran

supaya guru membangun suatu suasana kekeluargaan yang akrab penuh

persaudaraan. Dibangun juga suatu komunikasi yang saling menumbuhkan, saling

melengkapi, dan saling mengembangkan yang pada akhirya sama-sama menjadi

manusia. Intinya bagaimana guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang

sungguh-sungguh kondusif. Lalu pertanyaan, apa yang menjadi landasan dari

sebuah pembelajaran yang berpusatkan pada siswa? Siswa merupakan pusat

pembelajaran maka proses pembelajaran itu harus dilihat dari sudut pandang

siswa dan menyadari bahwa manusia termasuk siswa sejak awal membutuhkan

cinta. Oleh karena itu menempatkan siswa sebagai pusat proses pembelajaran

(37)

Belajar merupakan suatu proses, oleh karena itu proses pembelajaran yang

utuh hendaknya sampai pada evaluasi dan penilaian sebagai umpan balik proses

pembelajaran. Penilaian terhadap siswa dilakukan melalui proses penilaian yang

benar. Sedangkan evaluasi dapat dilakukan selama kegiatan pembela jaran

berlangsung dan secara utuh mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

b. Mengajar

Johannes Muller (2001: 36) menjelaskan bahwa kekurangan yang kiranya

paling besar yang dilakukan dalam pendidikan di banyak negara berkembang

adalah pembelajaran yang tidak memperhatikan keadaan siswa. Mengajar adalah

menyampaikan isi materi atau proses pembelajaran dengan pendekatan pendiktean

dan menghafal. Dengan demikian proses pembelajaran menjadi tidak kreatif

(Neill, 2007: 257). Proses pembelajaran seperti ini yang menjadi tujuan adalah

ujian menjadi syarat mendapat nilai dan ijazah.

Secara konvensional mengajar mengandung pengertian menyampaikan ilmu

sebanyak-banyaknya kepada siswa. Dalam proses pembelajaran seperti ini siswa

ditempatkan sebagai obyek. Siswa diibaratkan sebagai tanah liat di tangan tukang

periuk yang siap diolah dan dibentuk untuk menjadi barang jadi. Sedangkan guru

sebagai tukang periuk, arsitek yang bertugas membentuk sesuai keinginannya atau

paling tidak sesuai dengan format yang sudah disiapkan. Dari sana dapat dilihat

bahwa yang aktif adalah guru sedangkan siswa pasif hanya duduk, mendengar dan

menonton serta menerima begitu saja informasi yang disampaikan guru (Radno

Harsanto, 2007: 86-87).

Sementara Supriyanto (2008: 6) menjelaskan bahwa dalam proses

(38)

sebuah keluarga dimana bapak- ibu sebagai pendidik dan pengajar sedangkan anak

sebagai peserta didik. Dengan demikian dalam proses pembelajaran siswa

diperlakukan denga n kasih sayang (love and affection), keikhlasan (sincerely),

kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan dalam suasana kekeluargaan. Oleh

karena itu sistem yang diterapkan adalah sistem ‘among’. Sedangkan kedudukan

guru dalam proses pembelajaran yang seperti ini adalah sebagai ‘pamong’.

Menurut para penganut konstruktivis mengajar adalah mengkonstruksi

pembelajaran yang melibatkan siswa dalam seluruh proses pembelajaran.

Mengajar lebih ke arah membimbing siswa secara optimal sesuai dengan

kebutuhan mereka. Mengajar juga berarti menyediakan lingkungan belajar bagi

siswa sehingga dapat menumbuhkan kegiatan belajar. Siswa diajak untuk

menemukan sendiri makna atas meteri pembelajaran (Radno Harsanto, 2007: 87).

Menurut Suparno (1997: 65) mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan

dari guru kepada siswa. Mengajar adalah suatu kegiatan yang memungkinkan

siswa membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian mengajar berarti

menyediakan fasilitas bagi siswa untuk membentuk pengetahuan dan menemukan

makna, berpikir kritis, dan mencari kejelasan.

Johnson (2002: 225) menjelaskan bahwa mengajar adalah usaha untuk

memberdayakan siswa agar terlibat aktif dalam seluruh proses pembelajaran dan

mendorong mereka untuk menerapkan pemikiran kritis dan kreatif dalam

kehidupan keseharian. Dalam menerapkan pembelajaran kontekstual seorang guru

mempunyai peran sebagai konsultan penelitian, pengawas proyek, penuntun

pikiran kritis dan kreatif, perantara antara masyarakat dan peserta didik, dan

(39)

2. Kontekstual

Webster’s New World Dictionary sebagaimana disarikan Johnson(2002: 83)

menjelaskan bahwa kontekstual asal katanya konteks berasal dari kata kerja Latin

contexere yang berarti menjalin bersama. Kata konteks merujuk pada situasi, latar

belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan diri, yang terjalin

bersamanya. Jika diambil dari asalnya dalam Bahasa Inggris con = with + textum

= woven berarti mengikuti konteks atau dalam konteks. Dengan demikian konteks

mengandung pengertian keadaan, situasi, dan kejadian. Secara umum, kontekstual

mengandung pengertian sebagai berikut pertama, yang berkenaan, relevan, ada

hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks, kedua, yang mengandung

maksud, makna dan kepentingan (meaningful) dan ketiga kontekstual

mengandung pengertian menyeluruh, saling tergantung, dan saling berhubungan.

Kontekstual juga mengarahkan pemikiran manusia pada pengalaman. Ketika

gagasan-gagasan yang dialami dan digunakan di dalam konteks maka manusia

memiliki makna (Johnson, 2002: 46).

Johnson (2002: 58) menjelaskan bahwa konteks biasanya disamakan dengan

lingkungan, yaitu dunia luar yang dikomunikasikan melalui panca indra, ruang

yang digunakan setiap hari. Oleh karena itu manusia secara individu dapat

melakukan komunikasi pada saat ia berada dalam konteks yang beragam misalnya

konteks lingkungan tempat tinggal, keluarga, teman-teman, sekolah, kebijakan

politik, dan ekosistem bumi.

Konteks juga merupakan asumsi-asumsi bawah sadar yang diserap selama

manusia tumbuh dan membentuk sebuah pengertian menjadi suatu kenyataan.

(40)

pendekatan dalam proses pembelajaran untuk membentuk sesuatu menjadi

bermakna.

3. Pembelajaran Kontekstual

a. Landasan Pembelajaran Kontekstual

Von Glasessfeld sebagaimana dikutip Suparno (1997: 24-25) menyatakan

bahwa pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang

dimulai oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Bila

diteliti lebih jauh ga gasan atau cikal bakal kontruktivisme sebenarnya sudah

dimulai oleh Gembatissta Vico. Gembatissta Vico adalah seorang epistemolog

kebangsaan Italia. Vico menjelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahui

bagaimana membuat sesuatu. Seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat

menjelaskan unsur- unsur yang dapat membangun sesuatu itu. Menurut Vico,

hanya Tuhan yang dapat mengetahui alam raya ini karena Dia yang

menciptakannya. Sementara itu manusia tahu hanya dari apa yang telah

dikonstrusikannya. Dengan demikian pengetahuan tidak lepas dari orang (subyek)

yang tahu karena pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang

mengamati obyek tertentu.

Dalam perkembangan selanjutnya pandangan filsafat konstruktivisme dapat

mempengaruhi proses belajar. Sebagai pembelajar belajar bukan sekadar

menghafal konsep atau rumusan tetapi bagaimana mengkonstruksikan kembali

konsep atau pengetahuan yang telah diterima itu. Dengan demikian pengetahuan

bukan hasil pemberian orang lain tetapi upaya mengkonstrusikan kembali

(41)

Selanjutnya Jean Piaget sebagaimana disarikan Suparno (1997: 33)

mengembangkan gagasan konstrutivisme dalam proses pembelajaran. Salah satu

gagasannya adalah ketika ia menjelaskan bagaimana proses pengetahuan

seseorang dalam teori perkembangan intelektual. Piaget adalah seorang ahli

biologi. Dengan demikian gagasan tentang belajar dipengaruhi oleh keahliannya

dalam bidang biologi. Piaget menyatakan bahwa skema belajar dapat berkembang

berdasarkan perkembanga n inteletual khususnya pada taraf operasional formal.

Piaget sebagaimana disarikan (Suparno, 1997: 34) membedakan perkembangan

taraf pengetahuan seseorang terdiri dalam empat taraf taraf sensor motor sekitar

usia dua tahun, taraf praoperasional sekitar us ia dua-tujuh tahun, taraf operasional

konkret sekitar usia tujuh-sebelas tahun, dan taraf operasional formal sekitar usia

sebelas- lima belas tahun.

Sementara Wina Sanjaya mengemukakan bahwa landasan lain yang

mempengaruhi proses pembelajaran kontekstual adalah landasan psikologis.

Secara psikologis proses pembelajaran dapat terjadi secara individu. Belajar

merupakan proses yang melibatkan proses mental yang tampak dalam emosi,

minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman. Proses pembelajaran yang

melibat mental karena manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang melekat

dalam dirinya untuk mengaitkan antara yang abstrak dan nyata, antara konsep dan

tindakan (Wina Sanjaya, 2008: 259, bdk. Johnson, 2002: 42-46).

b. Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual

Menurut Wina Sanjaya (2008: 255) pembelajaran kontekstual merupakan

(42)

secara penuh untuk menemukan makna dari materi pelajaran dan menghubungkan

dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya

dalam hidup sehari- hari. Menurut Saekhan Muchith (2008: 2) pembelajaran

kontekstual merupakan model pembelajaran yang lebih mengedepankan

kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan

efisien yang titik beratnya adalah memberdayakan siswa. Sedangkan Nurhadi

(2002: 1) menjelaskan bahwa konsep pembelajaran kontekstual adalah konsep

yang membantu para guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi

dunia nyata, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya, dan menerapkan dengan situasi kehidupan nyata.

Sementara Johnson (2002: 14-15) mengatakan bahwa pembelajaran

kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa

siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam

materi pelajaran yang diterima dalam kelas dan mereka menangkap makna dari

tugas-tugas sekolah dan mengaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman

yang sudah mereka miliki sebelumnya.

Oleh karena itu dalam proses penerapannya seorang guru harus memahami

bahwa konsep-konsep yang dikemukakan di atas mengandung tiga hal yaitu

pertama, pembelajaran kontekstual menekankan proses yang melibatkan siswa

untuk menemukan materi pelajaran. Proses pembelajaran mengharapkan siswa

tidak hanya menerima pelajaran, akan tetapi terlibat dalam proses mencari dan

menemukan sendiri materi dan makna pelajaran. Kedua, pembelajaran kontekstual

mendorong siswa untuk menemukan hubungan antara materi yang diterimanya di

(43)

menenukan hubungan antara pengalaman dalam kelas dengan kehidupan nyata.

Ketiga, pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk mampu menerapkan

pengetahuan yang mereka miliki dalam kehidupan nyata. Proses pembelajaran

mengharapkan siswa memberdayakan pengetahuan dalam kehidupan sehari- hari

sehingga berdaya guna bagi orang lain.

Di samping itu Nurhadi mendefinisikan pembelajaran kontekstual adalah

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sehari- hari. Hal ini menunjukan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah

satu pendekatan yang membantu guru mendesain pembelajaran yang mengaitkan

materi pelajaran dengan dunia nyata, mendorong siswa menemukan makna dari

materi pelajaran dan mengaitkan materi itu dengan konteks kehidupan keseharian,

serta mendorong siswa menerapkan pengetahuan dalam hid up harian. Proses

pembelajaran kontekstual mengharapkan siswa dapat membuat hubungan penting

yang menghasilkan makna dengan melaksanakan pembelajaran yang diatur

sendiri, kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, menghargai orang lain, mencapai

standar tinggi, berperan serta dalam tugas-tugas penilaian autentik (Nurhadi,

2002: 5, bdk. Baharudin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 137).

Sementara itu Johnson (2002: 309) mendefinisikan pembelajaran

kontekstual adalah pembelajaran yang membuat siswa mampu memperkuat,

mengembangkan dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik di

berbagai kondisi baik di dalam maupun di luar sekolah untuk memecahkan

(44)

terjadi ketika para siswa mengalami dan menerapkan hal- hal yang dipelajari

dengan merujuk pada permasalahan nyata yang berhubungan dengan peran dan

tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa dan

sebagai pekerja. Pembelajaran kontekstual menekankan tingkat pemikiran yang

lebih tinggi, menghubungkan, menganalisis, menyusun informasi dan data dari

berbagai sumber dan sudut pandang. Oleh karena itu Johnson (2002: 309-310)

mengemukakan bahwa:

Pembelajaran kontekstual adalah proses belajar- mengajar yang menolong para guru menghubungkan isi permasalahan pembelajaran dengan situasi dunia nyata. Pembelajaran kontekstual juga akan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta mendorong mereka terlibat di dalam kerja keras yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah berdasarkan pada masalah, pembelajaran dimana siswa mengatur sendiri, pembelajaran dalam konteks majemuk, pembelajaran yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan konteks-konteks kehidupan siswa yang beragam, yang menggunakan penilaian autentik, dan pembelajaran yang terdiri dari kelompok-kelompok pembelajar yang saling tergantung.

Sementara itu Dedy Pradipto (2007: 66-67) tidak menggunakan istilah

pembelajaran kontekstual melainkan dengan pendidikan kontekstual. Penggunaan

istilah pendidikan kontekstual lebih berkaitan dengan sifat dari pendidikan yaitu

menemukan makna dalam hidup siswa setiap hari. Dengan demikian pendidikan

itu seharusnya bersifat kontekstual, artinya pendidikan disesuaikan dengan

keadaan lingkungan setempat. Oleh sebab itu Dedy Pradipto (2007: 66)

mengungkapkan sebagai berikut:

(45)

benang merah di tengah-tengah pluralitas dan kebhinekaan. Pendidikan harus mampu mendampingi mitra didik agar semakin menjadi pribadi yang cerdas, trampil, jujur, berkarakter, takwa dan utuh. Pendidikan juga harus mampu mendampingi mitra didik untuk menjadi manusia dengan rasa solidaritas dan perlibatan diri yang bertanggung jawab.

Edgar Morin (2005: 14) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual

merupakan suatu keterkaitan pengetahuan. Morin mengatakan bahwa belajar yang

sering terbagi-bagi dalam disiplin ilmu sering membuat pembelajar tidak mampu

menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan. Dengan demikian belajar

semacam ini harus diganti dengan belajar sesuai dengan konteks artinya

mendorong siswa mengembangkan kemampuan untuk mengaitkan apa yang

diketahuinya dan apa yang diperolehnya di kelas dalam hidup sehari- hari, serta

mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kenyataan hidup setiap hari di

lingkungan sekitarnya. Ole h karena itu dalam pembelajaran kontekstual supaya

ada satu kesatuan antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukan dan

menolak dualisme pendidikan. Dalam pembelajaran kontekstual seorang pengajar

supaya sedapat mungkin mengembangkan pontensi alami pikiran manusia, yaitu

kemampuan untuk menempatkan informasi dalam suatu konteks dan entitas.

Proses pembelajaran adalam mendorong siswa untuk menghubungkan materi

yang diterimannya dalam kelas dengan kehidupan nyata. Dengan demikian

konsep keterkaitan ilmu pengetahuan diperoleh melalui usaha memahami,

menemukan, dan mentransformasikan pengetahuan dalam pengalaman hidup

nyata.

Pembelajaran kontekstual adalah strategi yang memungkinkan guru

mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan mendorong siswa untuk

(46)

yang diperolehnya di kelas dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu mengajar

dalam pembelajaran kontekstual dapat menggunakan pendekatan yang saling

berkaitan yaitu pengajaran berbasis problem, menggunakan konteks beragam,

mempertimbangkan kebhinekaan siswa, memberdayakan siswa untuk belajar

sendiri, belajar melalui kolaborasi-kolaborasi, menggunakan penilaian autentik,

dan mengejar standar nilai tertinggi (Johnson, 2002: 21-22).

Proses pembelajaran yang menggunakan komponen-komponen

pembelajar-an ypembelajar-ang saling berkaitpembelajar-an itu memungkinkpembelajar-an berhasilnya sebuah proses

pembela-jaran. Dengan demikian Johnson (2002: 15) menyatakan bahwa pembelajaran

kontekstual dinilai berhasil karena beberapa alasan. Pertama, pembelajaran

kontekstual sesuai dengan hati nurani manusia yang selalu haus akan makna yang

menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan. Kedua, pembelajaran

kontekstual mampu memuaskan kebutuhan otak yang mengaitkan informasi baru

denga n pengetahuan lama, yang merangsang pembentukan struktur fisik otak

dalam rangka merespons lingkungan. Ketiga, pembelajaran kontekstual sesuai

dengan cara kerja alam, proses pembelajaran dilakukan secara alami, bertahap dan

berkesinambungan.

c. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson (2002: 68-69) dalam pembelajaran kontekstual ada tiga

prinsip yang saling berterkaitan antara satu dengan yang lain yaitu prinsip saling

kerergantunagan, prinsip diferensiasi, dan prinsip pengaturan diri.

1) Prins ip Saling Ketergantungan

(47)

alam semesta ini saling bergantung dan saling berhubungan. Jika prinsip saling

ketergantungan tidak ada maka manusia tidak bisa membina hubungan yang intim

dan tidak dapat saling membagi pengalaman dengan sesamanya. Tanpa ada

prinsip saling ketergantungan, bahasa akan berhenti bersama dengan

hubungan-hubungan lain yang dibuat dalam otak (Johnson, 2002: 69-71).

Dalam pembelajaran kontekstual prinsip saling ketergantungan mengajak

para guru untuk melakukan keterkaitan atau hubungan dengan sesama guru,

siswa, masyarakat, dan lingkungan sekitar (Johnson, 2002: 72). Sedangkan bagi

siswa, prinsip saling ketergantungan membantu mereka untuk menemukan makna

bahwa di luar dirinya masih ada kehidupan yang lain yaitu sesama dan alam.

Prinsip saling ketergantungan juga mendukung para siswa untuk bekerja sama.

Sebab dengan kerja sama para siswa terbantu menemukan persoalan, merancang

rencana, dan mencari jalan penyelesaian atas masalah yang ditemukan. Bekerja

sama akan membantu para siswa untuk saling mendengarkan, mengetahui, dan

menuntun mereka pada satu keberhasilan bersama. Intinya prinsip saling

ketergantungan yang menghubungkan semua hal yang ada di alam semesta ini.

Bagi siswa menerapkan prinsip saling ketergantungan berarti siswa menemukan

hubungan, penggabungan, berpikir kritis dan kreatif, melakukan pembelajaran

sambil berkegiatan, merumuskan tujuan yang jelas, menetapkan standar tinggi,

melakukan tugas-tugas yang berarti bagi sesama, menghargai sesama,

menggunakan metode penilaian yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia

nyata. Proses pembelajaran yang menerapkan prinsip saling ketergantungan

berarti membuat hubungan menjadi mungkin sebab segala sesuatu adalah bagian

(48)

2) Prinsip Diferensiasi

Johnson (2002: 75) menjelaskan bahwa kata diferensiasi merujuk pada

dorongan yang terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman

yang tak terbatas, perbedaan, berlimpahan, dan keunikan. Dengan adanya prinsip

diferensiasi menyebabkan seorang berbeda dengan yang lain. Dalam pembelajaran

kontekstual prinsip diferensiasi menyumbangkan kreativias yang indah yang

bergema di seluruh alam semesta. Bagi para guru menerapkan prinsip diferensiasi

berarti guru mengenal setiap siswa secara baik. Dalam proses pembelajaran

kontekstual menerapkan prinsip diferensiasi memungkinkan guru membangun

proses pembelajaran sesuai kebutuhan atau keadaan siswa. Dalam proses

pembelajaran kontekstual menerapkan prinsip diferensiasi juga mengandung

pengertian mewujudkan keunikan dan keragaman yang terbatas yang ada dalam

diri siswa. Intinya segala yang beragam itu menciptakan ragam baru melalui

pembentukan hubungan- hubungan yang baru dalam diri siswa dan di dalam

lingkungan tempat tinggal siswa (Johnson, 2002: 77-78). Bagi para siswa dengan

menerapkan prinsip diferensiasi berarti mereka mampu membangun kerja sama

untuk menemukan makna, dan pandangan baru dari materi pelajaran.

3) Prinsip Pengaturan Diri

Johnson (2002: 79) menjelaskan prinsip pengaturan diri berarti setiap

pribadi atau entitas yang terpisah di alam semesta memiliki sebuah potensi

bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran yang menjadi sangat berbeda. Dalam

prinsip pengaturan diri segala sesuatunya diatur oleh diri sendiri, dipertahankan

(49)

pengaturan diri memungkinkan siswa melakukan hubungan-hubungan,

pilihan-pilihan, dan kata-kata secara mandiri, mampu mengatur atau mengolah dirinya

sendiri. Pengaturan diri juga berarti siswa menciptakan dan menemukan diri

sendiri, menjadi diri semdir. Humberto Maturano sebagaimana dikutip Johnson

(2002: 81) menjelaskan bahwa karakter seseorang dapat membantu orang

sehingga mampu mengatur dirinya sendiri.

Dalam proses pembelajaran kontekstual menerapkan prinsip pengaturan diri

memungkinkan para guru mendorong siswa untuk mengembangkan semua

pontensi yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian sasaran dari pengaturan diri

adalah meno long para siswa untuk mencapai keunggulan akademik, memperoleh

keterampilan, dan mengembangkan karakter yang menghubungkan tugas sekolah

dengan pengetahuan dan pengalaman hidup sehari-hari. Ketika siswa mampu

menghubungkan materi pelajaran dengan konteks keadaan pribadi siswa, berarti

siswa sudah terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri

sendiri (Johnson, 2002: 82-85). Inti prinsip mengatur diri sendiri adalah

bagaimana peserta didik mampu menemukan, mengatur, dan mengolah diri secara

baik.

d. Asas-asas Pembelajaran Kontekstual

1) Asas Pembelajaran Kontekstual Menurut Elaine B. Johnson

Johnson (2002: 67) mengungkapkan bahwa tujuan dari pembelajaran

kontekstual adalah untuk “menolong para siswa melihat makna di dalam materi

akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek

(50)

konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka”. Ada delapan komponen

atau asas untuk menunjang tujuan pembelajaran kontekstual yaitu membuat

keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan

pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan

kreatif, membantu individu untuk bertumbuh dan berkembang, mencapai standar

tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.

a) Membuat Keterkaitan Bermakna

Johnson (2002: 90-121) mengemukakan bahwa asas pertama dalam proses

pembelajaran kontekstual adalah membuat keterkaitan bermakna. Dalam proses

pembelajaran kontekstual menerapakan asas membuat keterkaitan bermakna

berarti guru mempunyai kemampuan menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran

kontekstual yaitu saling ketergantungan, diferensiasi, dan pengaturan diri sendiri.

Dalam pembelajaran kontekstual membuat keterkaitan bermakna mengandung

pengertian mengaitkan pelajaran yang berbeda dan mengaitkan mata pelajaran

yang saling berhubungan, atau mengkombinasikan mata pelajaran yang berbeda.

Dalam membuat keterkaitan bermakna guru hendaknya mempunyai pandangan

bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,

menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan

yang diperolehnya baik dalam kelas maupun melalui pengalaman hidup

sehari-hari.

Bagi siswa membuat keterkaitan bermakna berarti siswa mampu mengaitkan

pelajaran dalam kelas dengan dunia mereka sehari-hari. Siswa yang mampu

mengaitkan pelajaran dengan dunia mereka sehari- hari menjadi siswa yang

(51)

pertanyaan-pertanyaan yang bermutu dan menjawabnya dengan cara ya ng dapat mengubah

dunia mereka (Johnson, 2002: 148). Salah satu upaya mengaitkan pengetahuan

dengan kehidupan sehari- hari adalah melalui refleksi. Siswa melakukan refleksi

artinya siswa dapat bertanya pada diri “apa manfaat bagiku”? (AMBaK) atas

meteri pelajaran. Tujuan dari refleksi adalah untuk menemukan makna baru,

kazanah baru, dan untuk melihat manfaat atau kegunaan baik bagi diri sendiri

maupun bagi sesama.

b) Pembelajaran Mandiri dan Kerja Sama

Johnson (2002: 149) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran kontekstual

ada dua unsur yang saling berkaitan yaitu pembelajaran mandiri dan bekerja sama.

Dalam pembelajaran mandiri yang menjadi penekanan adalah proses secara

mandiri (Johnson, 2002: 150). Asas pembelajaran mandiri berarti siswa yang aktif

memberdayakan potensi diri melakukan pengamatan secara mandiri. Proses

pembela jaran mandiri juga mengandung pengertian mendorong siswa untuk

mengai

Gambar

Tabel 2. Variabel Penelitian
Tabel 3. Distribusi Subyek Penelitian
Tabel 5. Minat Siswa dalam Mengikuti Pelajaran PAK (N=145)

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksana Khusus sebagaimana dimaksud dalam angka 2 butir f, ditetapkan kembali jabatannya pada peringkat jabatan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang

Struktur ini lalu dianalisa lagi dengan meniadakan batang/ikatan angin yang memikul beban aksial tekan karena dianggap tidak berpengaruh dalam menahan beban angin

Strategi Pengembangan Model Kepercayaan Publik Untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di Provinsi Sulawesi Selatan. PTUPT Ilmu

Diagnosa keperawatan kurang pengetahuan berhubungan dengan sumber informasi terkait dengan teknik menyusui tidak ada dalam teori tetapi ditemukan pada kasus karena hasil

Dengan mengadopsi model ADDIE yang merupakan dasar dalam menyusun RPS dari hasil analisis kebutuhan mahasiswa dalam matakuliah Reading for General Communication,

Ini berarti bahwa dengan pengendalian kecerdasan emosional dan Adversity Quotient (AQ), terdapat perbedaan yang signifikan sikap profesional antara guru yang

Sedangkan Sistem anti lock adalah sistem untuk menghentikan kendaraan dilakukan dengan cara mempertahankan roda tidak lock atau dalam keadaan slip tertentu dimana

Selanjutnya variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan salah satu