BAB IV
RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR
KABUPATEN LOMBOK UTARA
4.1 RENCANA PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KABUPATEN LOMBOK
UTARA
4.1.1 Petunjuk Umum Pengembangan Permukiman
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, yang ditandai dengan
kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan
aspirasi. Pada gilirannya, kondisi tersebut mengakibatkan antara lain:
1) Tingginya beban sosial ekonomi masyarakat
2) Rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
3) Rendahnya partisipasi aktif masyarakat
4) Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat
5) Kemungkinan pada merosotnya mutu generasi yang akan datang.
Penduduk perdesaan/perkotaan menghadapi masalah kemiskinan karena
ketertinggalan desanya akan pelayanan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi lokal
yang disebabkan karena sangat terbatasnya dana pembangunan. Penduduk dan sebagian
terbesar desa-desa tertinggal (73%) harus menempuh 6-10 km dari desanya ke pusat
pemasaran (terutama pusat kecamatan) bahkan banyak juga yang harus nenempuh jarak
lebin dar 10 km dengan kondisi jalan yang memprihatinkan yang masih berupa jalan tanah
(di sekitar 67% desa tertinggal). Penduduk yang terlayani air minum perpipaan baru
mencapai 9% selebihnya masih mangambil langsung dari sumber yang tidak terlindungi.
Petani dari sekitar 88% desa tertinggal memiliki luas lahan taninya kurang dari 0,5 ha
(lahan marjinal), sehingga dibutuhkan prasarana irigasi desa yang mendukung terjamin
berkelanjutan produksi guna mencukupi kebutuhannya.
mempunyai akses, kontrol dan prioritas yang berbeda dalam pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan politik.
Untuk memperbaiki kondisi di atas, pemerintah mencanangkan revitalisasi
Prasarana dan Sarana Dasar permukiman perdesaan ataupun perkotaan, yang merupakan
salah satu pilar pembangunan nasional harus didukung dengan pemenuhan kebutuhan serta
peningkatan perekonomian lokal.
Dalam mendukung pilar pembangunan, diperlukan kebijakan yang lebih matang,
antara lain melalui penguatan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi-Bahan bakar
Minyak (PKPS-BBM IP) yang dilaksanakan pada tahun 2005. Sebagai kelanjutan program,
pada tahun 2006 dilaksanakan Program Pembangunan infrastruktur Perdesaan/Rural
Infrastructure Support Project (RISP) yang sumber pendanaannya berasal dan Asian
Development bank (ADB). Program tersebut pada pelaksanaannya mengikuti
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam PKPS BBM IP tahun 2005.
Jumlah desa tertinggal pada saat ini telah mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 2005 yaitu mencapai lebih dari 32.000 desa. Sementara, penanganan infrastruktur
yang telah dilaksanakan baru berjumlah 12.800 melalui PKPS BBMIP dan 1.840 melalui
PPIP 2006 serta 2000 desa melalui PPIP 2007. Pola penanganan desa-desa tersebut
menitikberatkan pada pemberdayaan dan keberpihakan masyarakat miskin. Penanganan
desa-desa tertinggal yang belum mendapatkan bantuan dana infrastruktur akan terus
dilanjutkan sampai pada tahun 2009 untuk mencapai target RPJM Nasional tersebut. Untuk
itu, pada tahun 2008, program pembangunan infrastruktur perdesaan dilaksanakan di 2000
desa dengan pola dan mekanisme yang sama.
Program pengembangan permukiman dilaksanakan dengan maksud meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perdesaan/perkotaan melalui peningkatan/perbaikan akses
masyarakat miskin terhadap pelayanan infrastruktur dasar.
Tujuanprogram pengembangan permukiman yaitu :
1). Meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap infrastruktur dasar di wilayah
perdesaan;
2). Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan infrastruktur
Sedangkan Sasaran Pengembangan Permukiman adalah:
1. Tersedianya infrastruktur perdesaan/perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan masyarakat, berkualitas, berkelanjutan serta berwawasan
lingkungan;
2. Meningkatnya kemampuan masyarakat perdesaan/perkotaan dalam
penyelenggaraan infrastruktur;
3. Menigkatnya jumlah penanganan desa tertinggal, permukiman kumuh perkotaan
serta permukiman kumuh pada kawasan permukiman nelayan, dan sebagainya,
sejalan dengan RPJMN 2004-2009;
4. Meningkatnya kemampuan aparatur pemerintah daerah sebagai fasilitator
pembangunan di perdesaan;
5. Terlaksananya penyelenggaraan pembangunan infrastruktur perdesaan/perkotaan
yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
4.1.2 Kondisi Umum Pengembangan Permukiman Kabupaten Lombok Utara
Kondisi Umum Pengembangan Permukiman Kabupaten Lombok Utara terlebih
dahulu diuraikan gengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kabupaten Lombok Utara, dilanjutkan dengan peresmian dan pelantikan
Penjabat Bupati Lombok Utara pada tanggal 30 Desember 2008, menjadikan Kabupaten
Lombok Utara sebagai Daerah Otonomi baru di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Kabupaten Lombok Utara sebagai Kabupaten yang Baru (Pemekaran) didalam
penetapan Rencana Strategis/Prioritas Pembangunan tidak terlepas dari RPJMD tahun
2006–2009 untuk melaksanakan Visi dan Misi Pembangunan telah dituangkan
permasalahan pembangunan yang perlu di atasi dan menjadi prioritas pembangunan
Kabupaten Lombok Barat. Sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang terbatas dan
kondisi umum yang dihadapi, termasuk adanya masalah darurat yang perlu segera di atasi,
maka tidak semua prioritas tersebut menjadi prioritas tahunan dalam penuangannya ke
dalam prioritas pembangunan.
Penanganan prioritas pembangunan tentunya tidak terlepas dari Kondisi Umum
Pengembangan Permukiman pada wlayah Kabupaten Lombok Tengah, mengingat dengan
1) Kecamatan Pemenang 2) Kecamatan Tanjung 3) Kecamatan Gangga 4) Kecamatan Kayangan 5) Kecamatan Bayan
Tabel 4.1. Jumlah Desa dan Dusun di Kabupaten Lombok Utara Dirinci menurut Kecamatan, 2011
Kecamatan Desa Dusun BPDesa
Tanjung 7 68 7
Pemenang 4 38 4
Gangga 5 61 5
Kayangan 8 95 8
Bayan 9 114 9
Total 33 376 33
Kondisi Umum Pengembangan Permukiman Kabupaten Lombok Utara diuraikan
Gambar 4.1. Peta Batas Wilayah Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara
Kabupaten Lombok Utara
Kota Mataram
Kabupaten Lombok Barat
Kec. Tanjung Kec.
Pemenang
Kec. Gangga
Kec. Kayangan
Secara umum kondisi prasarana dasar permukiman dan perumahan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas memang perlu ditingkatkan. Peningkatan kualitas dimaksud
dalam jangka pendek seyogyanya diarahkan untuk mengoptimalkan fungsinya dalam
memenuhi ataupun melayani masyarakat terutama yang berkaitan langsung dengan
aktifitas ekonomi masyarakat seperti fasilitas air bersih, saluran drainase, jalan lingkungan,
jalan setapak, penataan permukiman kota dan desa.
Sementara itu untuk mewujudkan Pengembangan Permukiman Kabupaten Lombok
Utara yang indah dan rapi maka dipandang perlu untuk pandangan jauh kedepan sehingga
dapat memprediksi dan memproyeksi kemana suatu organisasi harus diarahkan oleh karena
itu perlu dilakukan perencanaan, penataan dan perancangan Kabupaten Lombok Utara.
Berdasar kondisi tersebut pemerintah daerah menetapkan sasaran meningkatnya
Prasarana Dasar Permukiman Perkotaaan dan Perdesaan serta Kawasan Strategis yang
meliputi pelayanan air bersih, drainase perkotaan di kota kabupaten dan kota kecamatan
serta penanganan kampung kumuh yang didukung dengan kebijakan perbaikan perumahan
dan permukiman kota, pembangunan/rehab dan pemeliharaan prasarana air bersih dan
peningkatan prasarana lingkungan permukiman dan sanitasi perkotaan dan program
penataan lingkungan perumahan pemukiman, pembangunan sarana dan prasarana air
bersih. Untuk meningkatkan kegiatan Pengembangan Permukiman telah diupayakan
program-prgoram sebagai berikut yaitu perencanaan Pengembangan Permukiman dan
pengendalian tata ruang dan tata bangunan, pemanfaatan dan evaluasi tata ruang kota.
Secara umum agar pelaksanaan kegiatan Pengembangan Permukiman pada tahun
mendatang dapat lebih baik lagi, maka perlu adanya strategi dan pemecahan masalah yang
akan dilaksanakan pada tahun mendatang pada masing-masing wilayah Kecamatan.
4.2 RENCANA INVESTASI PENATAAN BANGUNAN LINGKUNGAN
4.2.1 Petunjuk Umum Rencana Investasi Penataan Bangunan Lingkungan
Kondisi Umum Penataan Bangunan Lingkungan pada wilayah perkotaan di
Kabupaten Lombok Utara diuraikan berdasarkan rencana penetapan wilayah/kawasan
pusat pemerintahan sebagaimana yang telah disepakati bersama sehingga dapat diketahui
Gambar 4.3. Peta Penetapan arah pengembangan wilayah Permukiman di Kabupaten Lombok Utara Penetapan Wilayah/Kawasan Pusat
Adapun permasalahan-permasalahan yang ada di wilayah permukiman di
Kabupaten Lombok Utara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Permasalahan Pengembangan Wilayah (Kabupaten) Baru sehingga belum
memiliki RTRW Kabupaten Lombok Utara.
b. Dibutuhkannya RTBL bagi kawasan-kawasan yang memberikan potensi
terhadap rencana pengembangan permukiman khususnya pada wilayah Ibu
Kota Kabupaten dan Ibu Kota Kecamatan.
c. Permasalahan Air Bersih
Kebutuhan akan air bersih yang sebagian besar dari air PDAM masih
belum mencukupi;
Alternative yang ada untuk mendapatkan air bersih seperti pengadaan
sumur galian masih belum bisa terlaksana sepenuhnya karena kurangnya
dana;
d. Permasalahan Persampahan
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang kebersihan, dimana sampah
masih dibuang di sembarang tempat;
Belum tersedianya sarana persampahan seperti bak sampah komunal,
gerobak sampah dan Tempat Pembuangan Sementara (TPS);
Sistem Persampahan yang masih belum berjalan sepenuhnya
e. Permasalahan Drainase
Sistem drainase masih belum optimal, diperlukan pelebaran karena
prasarana drainase yang ada sekarang ini tidak bisa lagi menampung
debit air terutam pada musim hujan.
f. Permasalahan Sarana Sanitasi/MCK
MCK komunal (jamak) yang tersedia sekarang ini belum mencukupi
sebagaimana kebutuhan fasilitas yang seharusnya tersedia pada Kota
kabupaten.
MCK yang tersedia sebagian sudah tidak layak digunakan.
g. Permasalahan Jalan
Banyak jalan setapak dan jalan lingkungan yang rusak sehingga
h. Permasalahan Kelistrikan
Minimnya prasarana penerangan lingkungan (penerangan jalan);
Penerangan jalan yang tersedia lebih banyak menggunakan Balon,
sedangkan warga mengharapkan penggunaan lampu Neon supaya
penerangan pada malam hari lebih terang.
Dari permasalahan-permasalahan di atas, adapun pemecahan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Dibutuhkan RTRW Kabupaten Lombok Utara
b. Dibutuhkannya RTBL kawasan-kawasan yang memberikan potensi
terhadap rencana pengembangan permukiman khususnya pada wilayah Ibu
Kota Kabupaten dan Ibu Kota Kecamatan.
c. Optimalisasi pengunaan air PDAM serta pengadaan sumur galian di
titik-titik lokasi yang mengalami kekurangan air bersih.
d. Pengadaan dan persebaran sarana persampahan pada masing-masing dusun
terutama terkonsentrasi pada kawasan yang penduduknya padat.
Metode pengelolaan sampah yang dapat dlakukan sebagai berikut:
Sampah pertama-tama di kumpulkan pada bak komunal yang akan
disediakan di masing-masing kelompok permukiman; pada bak komunal
ini nanti sampah organic dan anorganik akan dipisahkan;
Sampah yang terkumpul pada bak komunal akan di pidahkan dengan
grobak sampah menuju TPS;
Dari TPS, sampah akan diangkut ke pembuangan akhir dengan
menggunakan truk sampah.
c. Penambahan saluran drainase pada kawasan-kawasan limpasan air dan yang
memiliki debit air yang besar disertai pelebaran saluran drainase yang ada.
d. Penambahan prasarana MCK komunal (bersama) pada masing-masing
dusun, dengan pertimbangan titik lokasi MCK harus dekat dengan sumber
air.
e. Perbaikan prasarana lingkungan dan jalan poros desa (jalan setapak), yakni
alternatif perkerasan berupa; paving blok dan rabat untuk jalan setapak
dengan lebar rata-rata 1,5-2 meter dan alternatif perkerasan berupa aspal
f. Pengadaan lampu penerangan jalan (lingkungan) pada masing-masing
dusun, terutama di sudut-sudut jalan dan kawasan yang membutuhkan
penerangan.
4.2.2 Penataan “Revitalisasi”Lingkungan Permukiman Tradisional
1) Pengertian Penataan “Revitalisasi” Lingkungan Permukiman Tradisional
Revitalisasi kawasan adalah upaya untuk memaksimalkan kembali potensi
sumber daya kawasan baik itu potensi sumberdaya manusia, alam, ekonomi,
budaya, sosial dan lain-lain, yang pada masa silam pernah berkembang pesat,
atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali
potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki sebuah kota sehingga diharapkan
dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota dan peningkatan
ekonomi lokal kawasan yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari
para penghuninya.
Tiap kota memiliki kawasan yang bernilai historis sebagai salah satu cikal bakal
dari pusat kegiatan masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan gencarnya
pembangunan dan pengembangan wilayah perkotaan, kawasan ini justru sering terabaikan
dan kehilangan identitasnya.
Program penataan dan revitalisasi kawasan ditujukan untuk meningkatkan vitalitas
kawasan lama melalui intervensi yang mampu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi lokal, terintegrasi dengan sistem kawasan, layak huhuni, berkeadilan sosial,
berwawasan budaya dan lingkungan.
Oleh sebab itu penataan dan revitalisasi kawasan dilakukan melalui pengembangan
kawasan-kawasn tertentu yang layak untuk direvitalisasi baik dari segi setting kawasan
(bangunan dan ruang kawasan), kualitas lingkungan, sarana, prasarana danutilitas kawasan,
sosio kultural, sosio ekonomi dan sosio politik.
Jadi maksud kegiatan penataan dan revitalisasi kawasan adalah agar kawasan lebih
terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh dengan sistem kawasan, terberdayakan
pertumbuhan ruang ekonominya sehingga dapat meningkatkan aktifitas dan kenyamanan
Wilayah pembangunan dapat tercapai apabila tiap wilayah memiliki satuan wilayah
pengembangan dimana wilayah pusat diharapkan dapat menjalankan pembangunan yang
adaterhadap wilayah sekitarnya. Bila proses ini dapat berlangsung dengan baik maka
masalah perkembangan ekonomi wilayah dan pemeratan pembangunan akan lebih mudah
dicapai, baik secara konseptual maupun secara nyata.
Untuk mencapai hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan struktur tata ruang
wilayah yang ideal. Dengan menerapkan sistem perwilayahan pengembangan dan sistem
perkotaan diharapkan mampu mendorong perkembangan wilayah sekitarnya. Kota-kota
kunci inilah yang nantinya akan menjadi penentu perkembangan wilayah, tanpa harus
mengorbankan wilayah lainnya yang memiliki potensi untuk berkembang.
Guna mencapai hal tersebut maka pengembangan struktur tata ruang wilayah
ditetapkan menurut model regionalisasi atau pembentukan dalam Sub Satuan Wilayah
Pengembangan (SSWP), dimana setiap SSWP memiliki wilayah pendukung dan wilayah
tersebut harus memiliki kelengkapan beberapa fasilitas sosial ekonomi dalam skala
pelayanan sub-regional. Wilayah pusat ini juga harus memiliki aksesibilitas yang tinggi
pada wilayah sekitarnya dan akses ke kota Tanjung sebagai pusat pelayanan secara
regional. Berdasarkan kondisi perkembangan wilayah Kabupaten Lombok Utara, maka
rencana sistem perwilayahan dikembangkan berdasarkan skenario pengembangan jangka
panjang dengan asumsi, bahwa setiap wilayah mempunyai peluang yang sama untuk
berkembang, sehingga pada tahap tertentu masing-masing wilayah dianggap mampu untuk
mandiri dan melayani diri mereka sendiri, sehingga tujuan akhir berupa Kemandirian
wilayah dapat tercapai.
Revitalisasi pada prinsipnya tidak sekedar menyangkut masalah konservasi
bangunan dan ruang kawasan bersejarah saja, tetapi lebih kepada upaya untuk
mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasn dalam konteks kota yang tidak
berfungsi atau menurun fungsinya agar berfungsi kembali, atau menata dan
mengembangkan lebih lanjut kawasan yang berkembang sangat pesat namun kondisinya
cenderung tidak terkendali. Dengan kata lain revitalisasi merupakan upaya untuk
mencegah hilangnya aset-aset kawasan yang menandai rangkaian riwayat panjang
perjalanan suatu kawasan beserta masyarakat yang ada di dalamnya pada wilayah
2) Analisa Permasalahan, Alternatif Pemecahan dan Rekomendasi
Kurangnya apresiasi pemerintah dan masyarakat akan pentingnya
mempertahankan bangunan dan ruang kawasan yang memiliki nilai Heritage,
sebagai upaya mencegah hilangnya aset-aset kawasan yang menandai
rangkaian riwayat panjang perjalanan suatu kawasan beserta masyarakat yang
ada di dalamnya.
Degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Kabupaten Lombok
Utara dan sekitarnya semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin
meningkatnya nilai budaya baru yang terus bergerak menggeser
nilai-nilai budaya masa silam.
Masalah klasik, dianggap akibat keterbatasan dana dan SDM profesional,
akan pentingnya mempertahankan bangunan dan ruang kawasan yang
memiliki nilai Heritage, sebagai upaya mencegah hilangnya aset-aset
kawasan yang menandai rangkaian riwayat panjang perjalanan suatu kawasan
beserta masyarakat yang ada di dalamnyadi Kabupaten Lombok Utara.
Tidak terdapatnya bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif untuk
pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan (dari tingkat perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian) revitalisasi bangunan dan ruang
kawasan yang memiliki nilai Heritage, sesuai dengan paradigma tata
pemerintahan yang baik (good governance).
3) Usulan Penataan“Revitalisasi” Lingkungan Permukiman Tradisional
UsulanPenataan “Revitalisasi” Lingkungan Permukiman Tradisionalmeliputi :
1. Studi Identifikasi“Revitalisasi” Lingkungan Permukiman Tradisional
2. Detail Desain“Revitalisasi” Lingkungan Permukiman Tradisional
3. Pelaksanaan Fisik“Revitalisasi” Lingkungan PermukimanTradisional
Gambar 4.4. Peta Revitalisasi Kawasan Tradisional di Kabupaten Lombok Utara Kawasan permukiman
4.2.3 Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
1) Pengertian
a. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Ruang terbuka adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang adalah bagian dari ruang
terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
b. RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada
berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman
tinggi berkayu);
c. RTH adalah sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai
ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun,
yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial
woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan
tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah
lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga
sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.
Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang
terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun
introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural
yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.
Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang
diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan
sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area
2) Tujuan, Fungsi dan Manfaat RTH
Tujuanpembentukan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah:
a. Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
b. Mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di
perkotaan; dan
c. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan
nyaman.
FungsiRuang Terbuka Hijau Kota antara lain:
a. Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
b. Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
c. Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;
d. Pengendali tata air; dan
e. Sarana estetika kota.
Manfaatyang dapat diperoleh dari Ruang Terbuka Hijau Kota antara lain: a. Sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
b. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
c. Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
d. Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
e. Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
f. Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
g. Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
h. Memperbaiki iklim mikro; dan
i. Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
3) Analisa Permasalahan, Alternatif Pemecahan dan Rekomendasi
Degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Kabupaten Lombok
Utara semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin meningkatnya suhu udara di
atas kawasan perkotaan, penurunan muka air tanah, pencemaran air tanah,
udara, dan suara (bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi
pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan terjadinya tekanan
Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkonsistensi kebijakan dan
strategi Tata Ruang Kota Kabupaten Lombok Utara yang sudah ditetapkan
dalam Rencana Induk Kota, serta lemahnya fungsi pengawasan (kontrol)
dalam pelaksanaan pembangunan kota menyebabkan kuantitas dan kualitas
RTH semakin berkurang. Nilai ekonomi vs nilai ekologis, keterbatasan luas
lahan akibat benturan kepentingan dalam fenomena pembangunan perkotaan,
lebih ditekankan pada pentingnya pembangunan sektor perindustrian dan
perdagangan yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja (atau
demi kepentingan ekonomi jangka pendek).
Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap akibat keterbatasan dana dan
SDM profesional, pemeliharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan
jenis tanaman tak sesuai persyaratan ekologis bagi masing-masing lokasi,
termasuk langkanya lahan pembibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan
dana pembangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan
pengembangan pola kemitraan hijau di Kabupaten Lombok Utara.
RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna, tempat sampah, atau
sumber dan atau sarang vektor berbagai penyakit. Pemahaman serta
kesadaran masyarakat akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih
sangat kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok usia
tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain anak, maupun taman
lansia, apalagi taman khusus bagi penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk
pemakaman umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum. Dalam
penataan lansekap kota, etika, dan estetika, khusus penempatan iklan/papan
reklame belum ditata menurut kaidah penataan ruang luar yang lebih sesuai.
Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif untuk pengelolaan,
penyelenggaraan dan pengembangan (dari tingkat perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi ke
sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tumpang tindih dan kurang
terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena tugas pokok dan fungsi yang hampir
sama, seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Dinas
Kebersihan. Rencana penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas
Tata Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam satu atap agar
mampu meningkatkan pelayanan pembangunan dan pengelolaan RTH,
mungkin tetap perlu dikaji ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan
dan Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan dan akuntabel,
sesuai dengan paradigma tata pemerintahan yang baik (good governance).
Dukungan Rencana arahan zonasi ruang terbuka/ruang Bebas sekitar
Kawasan BIL (Bandara Internasional Lombok) sebagai pendukung penataan
lansekap kota, etika, dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame
belum ditata menurut kaidah penataan ruang luar serta pengendalian
ketinggian bangunan di sekitar bandar udara dengan mengacu pada :
(1). Persyaratan keamanan penerbangan, dihitung dari titik nol(zero point)
landas pacu maka ketentuannya adalah pada jarak lebih dari 4.000 m,
ketinggian bangunan maksimal adalah 46 m;
(2). Pengaruh terhadap RADAR. Dihitung dari titik radar yang ada (500 m
disebelah utara landasan pacu), maka sampai dengan jarak 1.300 m
dari radar, atau 800 m dari landas pacu ketinggian bangunan maksimal
10 m dari jarak 800 m dari landas pacu, ketinggian bangunan dihitung
berdasarkan kemiringan 1dari titik radar.
4) Usulan Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Meninjau dari permasalahan akan penataan ruang terbuka hijau di Kabupaten
Lombok Utara maka diusulkan beberapa program Penataan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di Kabupaten Lombok Utara yang meliputi :
1. Studi dan Master Plan Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Wilayah
Pengembangan wilayah Pusat Pemerintahan.
2. Detail Desain Ruang Terbuka Hijau (RTH), melalui skala prioritas Tahun
Pertama, Tahun ke 2 dan Tahun ke 3
3. Pelaksanaan Fisik Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui skala prioritas Tahun
Pertama, Tahun ke 2 dan Tahun ke 3
4. Supervisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui skala prioritas Tahun
5. Pemantauan O&P secara berkala
4.3 RENCANA INVESTASI SUB-BIDANG AIR LIMBAH 4.3.1 Petunjuk Umum Pengelolaan Air Limbah
Sesuai dengan semangat otonomi daerah maka visi Direktorat Jenderal Cipta Karya
adalah terwujudnya kemandirian daerah utk menyiapkan dan menangani prasarana dan
sarana ke Ciptakaryaan. Berdasarkan visi tersebut maka salah satu misi Ditjen. Cipta Karya
yaitu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
prasarana dan sarana tersebut. Sehingga, untuk mencapai maksud tersebut maka
merupakan kewajiban pemerintah pusat melaksanakan pembinaan kepada pemerintah
daerah agar terselenggaranya pembangunan drainase, persampahan dan air limbah
permukiman untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan perlindungan
lingkungan.
Kondisi prasarana dan sarana (PS) sanitasi di Indonesia saat ini masih sangat
terbatas, dan akses masyarakat terhadap PS sanitasi dapat dilihat pada diagram yang
disajikan sebagai berikut.
Gambar 4.5 Diagram kondisi akses masyarakat pada sanitasi
Maka langkah awal dalam pembinaan adalah mendorong daerah dapat usaha
Akses ke P&S 100%
Tak terditeksi 25,98%
Perkotaan 37,53%
Perdesaan 36,50%
Tanpa diolah 8,16%
On-site 28,10%
Off-site 1,36%
Tanpa diolah 14,54%
On-site 21,96%
Adapun cakupan Kriteria ini meliputi antara lain:
Prinsip dasar penanganan air limbah artinya untuk apa air limbah tersebut
ditangani
Azas yang digunakan dalam penaganan air limbah
Landasan operasional yang digunakan untuk pelaksanaan sistem air limbah
Penerapan faktor lingkungan sosial dan ekonomi untuk penanganan air limbah
Konsep pemilihan teknologi yang digunakan untuk Penanganan limbah
Kriteria Teknis dari masing-masing teknologi pilih
Konsepsi dasar dalam penanganan air limbah adalah bahwa penanganan air limbah
harus memenuhi prinsip-prinsip kesehatan (hygenic) dan kelestarian lingkungan (environmental conservation)
Artinya dari segipublic healthmencegah penularan penyakit lewat air dan dari sisi
lingkungan membantu upaya konservasi SDA dengan mengurangi pencemaran limbah
domestik terhadap badan air. Air limbah merupakan urusan individual yang harus dikelola
sektor publik karena penanganan yang tidak layak akan menyebabkan konflik kepentingan
publik.
Azas Penanganan air limbah meliputi;
Azas pemerataan: bahwa Sanitasi adalah kebutuhan dasar untuk kesehatan
maka hak setiap orang untuk memperoleh akses pada sanitasi yang layakAzas
kesehatan: mencegah kontaminasi langsung dan tidak langsung air limbah tehadap manusia dan kegiatannya.Azas kelestarian lingkungan: bahwa kualitas lingkungan harus dipertahankan terhadap penurunan akibat pencemaran oleh air
limbah.Azas pencemar membayar(polluter pays principal): kewajiban retibusi air limbah.Azas Internalisasi externalitas: faktor-faktor dampak lingkungan dimasukkan dalam biaya.
Landasan Oprasional sistem penanganan air limbah adalah :MaksimumNet
Benefit-Cost dan the Most Cost Effectiveness, artinya;Memilih sistem penanganan air
limbah memberikan manfaat yg besar terhadap lingkungan dengan biaya yang
Mencari alternatif penanganan utk mencapai goal yg tepat dengan biaya yg
paling rendah, yaitu melalui pemilihan sistem dalam pengelolaan air limbah
domestik/permukiman yang terbagi atas:
a. Sanitasi sistim on-site atau dikenal dengan sistem sanitasi setempat yaitu fasilitas sanitasi individual seperti septik tank atau cubluk.
b. Sanitasi sistem off-site atau dikenal dengan istilah sistem terpusat atau sistem sewerage, yaitu sistem yang menggunakan perpipaan untuk
mengalirkan air limbah dari rumah-rumah secara bersamaan dan kemudian
dialirkan ke IPAL.
Persyaratan untuk pemilihan sistem seperti dijelaskan di bawah ini :
1. Sistemon sitediterapkan pada:
Kepadatan < 100 org/ha
Kepadatan > 100 org/ha sarana on site dilengkapi pengolahan tambahan
seperti kontak media dengan atau tanpa aerasi
Jarak sumur dengan bidang resapan atau cubluk > 10 m
Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani penduduk urban >
50.000 jiwa atau bergabung dengan kawasan urban lainnya
2. Sistemoff sitediterapkan pada kawasan
Kepadatan > 100 org/ha
Bagi kawasan berpenghasilan rendah dapat menggunakan sistem septik tank
komunal (descentralised water treatment) dan pengaliran dengan konsep
perpipaan shallow sewer. Dapat juga melalui sistem kota/modular bila ada
subsidi tarif.
Bagi kawasan terbatas untuk pelayanan 500–1000 sambungan rumah
disarankan menggunakan basis modul. Sistem ini hanya menggunakan 2 atau
3 unit pengolahan limbah yg paralel.
4.3.2 Gambaran Umum Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Lombok Utara
Saat ini di kabupaten Lombok Utara sistem sarana dan prasarana pengelolaan air
potensi lahan yang masih sangat luas, baik di perkotaan ataupun dikawasan-kawasan pusat
perekonomian. Hingga saat ini Kabupaten Lombok Utara belum memiliki Study dan Master Plan mengenai Rencana Pengelolaan Air Limbah, sehingga penaganan secara teknis yang tepat guna dan tepat sasaran belum dapat dilakukan. Kondisi saluran
pembuangan air limbah masih menggunakan sistem saluran terbuka dan fungsinya saling
tumpang tindih dimana sebagai saluran drainase air hujan, jaringan irigasi dan untuk
pembuangan air limbah rumah tangga.
Tingkat derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Lombok Utara masih jauh dari
standar yang ditetapkan oleh departemen kesehatan hal ini terjadi akibat kondisi sanitasi
yang tidak baik atau penyakit yang ditularkan melalui air (water borne diseases). Di
karenakan kondisi kualitas sumber air, baik air permukaan maupun air tanah yang kurang
bagus dan kemungkinan ini terjadi juga akibat pencemaran oleh air limbah rumah
tangga/permukiman.
Mengacu pada kondisi tersebut diatas, maka sangatlah diperlukan perhatian sejak
dini terhadap Rencana Pengelolaan Air Limbah di Kabupaten Lombok Utara sebelum
permasalahan terhadap kebutuhan semakin meningkat dan semakin sukar dalam
penanganannya yang akhirnya akan berdampak negative baik terhadap kondisi kesehatan
masyarakat ataupun terhadap besarnya pembiayaan.
4.3.3 Permasalahan yang dihadapi terhadap Penanganan Air Limbah
1. Sebagai Kabupaten yang baru, Kabupaten Lombok Utara belum memiliki sistem
pengelolaan air limbah.
2. Belum adanya Study dan Master Plan Sistem Pengelolaan Air Limbah.
3. Kurangnya Sumber Dana APBD II.
4. Kebiasaan dan Kesadaran Masyarakat yang masih rendah.
4.3.4 Usulan dan Prioritas Pengelolaan Air Limbah
Usulan beberapa program Pengelolaan Air Limbah di Kabupaten Lombok Utara
yang meliputi :
1. Studi dan Master Plan Penataan Pengelolaan Air Limbah pada Wilayah
Pengembangan wilayah Pusat Pemerintahan.
2. Detail Desain Pengelolaan Air Limbah, melalui skala prioritas Tahun Pertama,
3. Pelaksanaan Fisik Pengelolaan Air Limbah melalui skala prioritas Tahun Pertama,
Tahun ke 2 dan Tahun ke 3
4. Supervisi Pengelolaan Air Limbah melalui skala prioritas Tahun Pertama, Tahun
ke 2 dan Tahun ke 3.
5. Pemantauan O&P secara berkala Pengelolaan Air Limbah
4.4 RENCANA INVESTASI SUB-BIDANG PERSAMPAHAN 4.4.1 Petunjuk Umum Sistem Pengelolaan Persampahan
Pengelolaan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani sampah yang dihasilkan
penduduknya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta
menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat.
Pada awalnya, pemukiman seperti pedesaan memiliki kepadatan penduduk yang
masih sangat rendah. Secara alami tanah / alam masih dapat mengatasi pembuangan
sampah yang dilakukan secara sederhana (gali urug). Makin padat penduduk suatu
pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, sampah tidak dapat lagi diselesaikan di
tempat; sampah harus dibawa keluar dari lingkungan hunian atau lingkungan lainnya.
Permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional.
Saat ini pengelolaan persampahan menghadapi banyak tekanan terutama akibat
semakin besarnya timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat baik produsen maupun
konsumen. Hal ini menjadi semakin berat dengan masih dimilikinya paradigma lama
pengelolaan yang mengandalkan kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan;
yang kesemuanya membutuhkan anggaran yang semakin besar dari waktu ke waktu; yang
bila tidak tersedia akan menimbulkan banyak masalah operasional seperti sampah yang
tidak terangkut, fasilitas yang tidak memenuhi syarat, cara pengoperasian fasilitas yang
tidak mengikuti ketentuan teknis.
Pada akhirnya berbagai masalah tersebut akan bermuara pada rendahnya kuantitas
dan kualitas pelayanan dan tidak diindahkannya perlindungan lingkungan dalam
pengelolaan; yang bila tidak segera dilakukan perbaikan akan berdampak buruk terhadap
kepercayaan dan kerjasama masyarakat yang sangat diperlukan untuk menunjang
pelayanan publik yang mensejahterakan masyarakat.
pendanaan, peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu system, disamping
kesadaran masyarakat yang cukup tinggi.
a) Pendekatan Sistem Pengelolaan Persampahan
Beberapa Prinsip dan Pertimbangan
Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu
pada proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu
diubah dengan mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan
sampah.
Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi
kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang
memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.
Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak sumber akan memberikan
dampak positif paling menguntungkan yang berarti peran serta masyarakat
perlu dijadikan target utama
Sampah B3 rumah tangga perlu mendapat perhatian dalam penanganannya agar tidak mengganggu lingkungan maupun kualitas sampah dalam
pengolahan di hilirnya.
Karakteristik sampah dengan kandungan organik tinggi (70-80 %) merupakan potensi sumber bahan baku kompos sebagai soil conditioner dan
energi (gas metan) melalui proses dekomposisi secara anaerob
Daur ulang oleh sektor informal sejauh memungkinkan diupayakan menjadi
bagian dari sistem pengelolaan sampah perkotaan
Insinerator sebaiknya hanya dilakukan untuk kota-kota yang memiliki
tingkat kesulitan tinggi dalam penyediaan lokasi TPA dan memiliki
karakteristik sampah yang sesuai, serta menerapkan teknologi yang ramah
lingkungan
Tempat Pembuangan Akhir merupakan alternatif terakhir penanganan
sampah mengingat potensi dampak negatif yang tinggi. Pemanfaatan secara
berulang sebaiknya diupayakan dengan memperhatikan kualitas produk
Pada dasarnya pengelolaan sampah ada 2 macam, yaitu pengelolaan/penanganan
sampah setempat (individu) dan pengelolaan sampah terpusat untuk suatu
lingkungan pemukiman atau kota.
a. Penanganan Setempat
Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh
penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah pekarangannya atau
dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.
Hal ini dimungkinkan bila daya dukung lingkungan masih cukup tinggi misalnya
tersedianya lahan, kepadatan penduduk yang rendah, dll.
b. Pengelolaan Terpusat
Pengelolaan persampahan secara terpusat adalah suatu proses atau kegiatan
penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu wilayah / kota.
Pengelolaan sampah secara terpusat mempunyai kompleksitas yang besar karena
cakupan berbagai aspek yang terkait. Aspek – aspek tersebut dikelompokkan
dalam 5 aspek utama, yakni aspek institusi, hukum, teknis operasional,
pembiayaan dan retribusi serta aspek peran serta masyarakat.
b) Aspek Pengelolaan Sampah b).1 Aspek Teknis Operasional
1) Komposisi Sampah
Komposisi fisik sampah mencakup prosentase dari komponen pembentuk
sampah yang secara fisik dapat dibedakan antara sampah organik, kertas,
plastik, logam dan lain-lain. Komposisi sampah ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan kelayakan
pengolahan sampah khususnya daur ulang dan pembuatan kompos serta
kemungkinan penggunaan gas landfill sebagai energi alternatif.
Sebagai gambaran pada umumnya negara-negara berkembang memiliki
komposisi organik yang lebih tinggi dari negara dengan tingkat ekonomi
yang lebih tinggi. Komosisi sampah di Indonesia rata-rata mengandung
Tabel 4.2. Timbulan & komposisi sampah berbagai negara
1 Thailand 0.65 46 20 21
2 Vietnam 0.7 55
3 Malaysia 0.76 48 30 9.8
4 Indonesia 0.6 60 2 2
5 Asia (rata2) 0.42 75 2 1
6 Eropa (rata2) 0.72 25.4 28.7 4.6
7 Japan 1.12 11.7 38.5 11.9
8 USA 1.97 12 43 5
Sumber : B.G. Yeoh, Municipal Solid Waste Generation and Composition, Asean Committee On Science & Technology, Sub Committee On Non Conventional Energy Research, 2006
2) Karakteristik Sampah
Data mengenai karakteristik kimia sampah dapat dilakukan dengan cara
analisa di laboratorium. Data ini erat kaitannya dengan komposisi fisiknya,
apabila komposisi organiknya tinggi, maka biasanya kandungan airnya
tinggi, nilai kalornya rendah, kadar abunya rendah, berat jenisnya tinggi.
Karakteristik sampah di Indonesia rata-rata memiliki kadar air 60 %, nilai
kalor 1000 – 1300 k.cal/kg, kadar abu 10 – 11 % dan berat jenis 250
kg/m3
Data ini penting dalam menentukan pertimbangan dalam memilih
alternatif pengolahan sampah dengan cara pembakaran (insinerator).
Sebagai contoh sampah yang memiliki kadar air tinggi (> 55 %), nilai
kalor rendah (< 1300 kcal / kg), berat jenis tinggi (> 200 kg / m3) tidak
layak untuk dibakar dengan insinerator.
3). Sumber Sampah
Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai
acuan, yaitu:
Sumber sampah yang berasal dari daerah komersial
Sumber sampah yang berasal dari fasilitas umum
Sumber sampah yang berasal dari fasilitas sosial
Klasifikasi kategori sumber sampah tersebut pada dasarnya juga dapat
menggambarkan klasifikasi tingkat perekonomian yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi
sampah dan menentukan pola subsidi silang.
Daerah Perumahan (rumah tangga)
Sumber sampah didaerah perumahan dibagi atas :
Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income)
Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income)
Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah / daerah kumuh (Low
income / slum area)
Daerah komersial.
Daerah komersial umumnya didominasi oleh kawasan perniagaan, hiburan
dan lain-lain. Yang termasuk kategori komersial adalah pasar pertokoan
hotel restauran bioskop salon kecantikan industri dan lain-lain.
Fasilitas umum
Fasilitas umum merupakan sarana / prasarana perkotaan yang
dipergunakan untuk kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori
fasilitas umum ini adalah perkantoran, sekolah, rumah sakit, apotik,
gedung olah raga, museum, taman, jalan, saluran / sungai dan lain-lain.
Fasilitas sosial
Fasilitas sosial merupakan sarana prasarana perkotaan yang digunakan
untuk kepentingan sosial atau bersifat sosial. Fasilitas sosial ini meliputi
panti-panti sosial (rumah jompo, panti asuhan) dan tempat-tempat ibadah
(mesjid, gereja pura, dan lain-lain)
Sumber lain
Dari klasifikasi sumber-sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi
jenis sumber-sumber sampah yang lain sesuai dengan kondisi kotanya atau
instalasi pengolahan air limbah (sludge), dengan catatan bahwa sampah
atau limbah tersebut adalah bersifat padat dan bukan kategori sampah B3.
4). Pola Operasional
Pola operasional penanganan sampah dari sumber sampai TPA dilakukan
melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan, pemindahan, pengolahan,
pengangkutan dan pembuangan akhir.
Diagram Operasional Penanganan Sampah
Pewadahan
Wadah sampah individual (disumber) disediakan oleh setiap penghasil
sampah sendiri sedangkan wadah komunal dan pejalan kaki disediakan
oleh pengelola dan atau swasta. spesifikasi wadah sedemikian rupa
sehingga memudahkan operasionalnya, tidak permanen dan higienis.
Akan lebih baik apabila ada pemisahan wadah untuk sampah basah
dan sampah kering
Pengosongan sampah dari wadah individual dilakukan paling lama 2
hari sekali sedangkan untuk wadah komunal harus dilakukan setiap
hari
Sumber Sampah
Pengumpulan
Pengolahan Pemindahan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Pengumpulan
Pengumpulan sampah dari sumber dapat dilakukan secara langsung
dengan alat angkut (untuk sumber sampah besar atau daerah yang
memiliki kemiringan lahan cukup tinggi) atau tidak langsung dengan
menggunakan gerobak (untuk daerah teratur) dan secara komunal oleh
mayarakat sendiri (untuk daerah tidak teratur)
Penyapuan jalan diperlukan pada daerah pusat kota seperti ruas jalan
protokol, pusat perdagangan, taman kota dan lain-lain
Pemindahan
Pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke alat angkut
(truk) dilakukan di trasnfer depo atau container untuk meningkatkan
efisiensi pengangkutan
Lokasi pemindahan haru dekat dengan daerah pelayanan atau radius
500 m
Pemindahan skala kota ke stasiun transfer diperlukan bila jarak ke
lokasi TPA lebih besar dari 25 km
Pengangkutan
Pengangkutan secara langsung dari setiap sumber harus dibatasi pada
daerah pelayanan yang tidak memungkinkan cara operasi lainnya atau
pada daerah pelayanan tertentu berdasarkan pertimbangan keamanan
maupun estetika dengan memperhitungkan besarnya biaya operasi
yang harus dibayar oleh pengguna jasa
Penetapan rute pengangkutan sampah harus didasarkan pada hasil
surveytime motion studyuntuk mendapatkan jalur yang paling efisien.
Jenis truk yang digunakan minimal dump truck yang memiliki
kemampuan membongkar muatan secara hidrolis, efisien dan cepat
Penggunaan arm roll truck dan compactor truck harus
Pengolahan
Pengolahan sampah dimaksudkan untuk mengurangi volume sampah
yang harus dibuang ke TPA serta meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan
Teknologi pengolahan sampah dapat dilakukan melalui pembuatan
kompos, pembakaran sampah secara aman (bebas COx, SOx, NOx dan
dioxin), pemanfaatan gas metan dan daur ulang sampah. Khusus
pemanfaatana gas metan TPA (landfill gas), dapat masuk dalam CDM
(clean developmant mechanism) karena secara significan dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada iklim global.
Skala pengolahan sampah mulai dari individual, komunal (kawasan),
skala kota dan skala regional.
Penerapan teknologi pengolahan harus memperhatikan aspek
lingkungan, dana, SDM dan kemudahan operasional
Pembuangan akhir
Pemilihan lokasi TPA harus mengacu pada SNI 03-3241-1994 tentang
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA. Agar keberadaan TPA tidak
mencemari lingkungan, maka jarak TPA ke badan air penerima >
100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke airport 1500 m (untuk
pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet). Selain itu muka air
tanah harus > 4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K < 10-6cm/det.
Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan
controlled landfill (untuk kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill
(untuk kota besar dan metropolitan) dengan “sistem sel”
Prasarana dasar minimal yang harus disediakan adalah jalan masuk,
drainase keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer
zone)
Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi
lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul lindi, pengolahan lindi
dan ventilasi gas / flaring atau landfill gas extraction untuk mngurangi
Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat
(buldozer, excavator, loader dan atau landfill compactor) dan stok
tanah penutup
Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara
berkala dengan ketebalan 20 - 30 cm
Penyemprotan insektisida harus dilakukan apabila penutupan sampah
tidak dapat dilakukan secara harian
Penutupan tanah akhir harus dilakukan sesuai dengan peruntukan
lahan bekas TPA
Kegiatan pemantauan lingkungan harus tetap dilakukan meskipun
TPA telah ditutup terutama untuk gas dan efluen leachate, karena
proses dekomposisi sampah menjadi gas dan leahate masih terus
terjadi sampai 25 tahun setelah penutupan TPA
Manajemen pengelolaan TPA perlu dikendalikan secara cermat dan
membutuhkan tenaga terdidik yang memadai
Lahan bekas TPA direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan
terbuka hijau.
b).2 Aspek Institusi
Penyelenggara pembangunan prasarana dan sarana persampahan dapat
dilakukan secara sendiri atau terpadu oleh Pemerintah Daerah,
BUMN/BUMD, Swasta dan masyarakat
Bentuk institusi dan struktur organisasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, secara umum bentuk institusi yang ada adalah perusahaan daerah
kebersihan (PDK), dinas kebersihan (DK), dinas kebersihan dan
pertamanan (DKP), seksi kebersihan dan lain-lain. Struktur organisasi
sebaiknya mencerminkan kegiatan utama penangan sampah dari sumber
sampei TPA termasuk memiliki bagian perencaan, retribusi, penyuluhan
dan lain-lain.
Instansi pengelola persampahan sebaiknya memiliki pola kerja sama
retribusi) dan kerja sama antar kota untuk pola penangangan sampah
secara regional dan kerja sama dengan masyarakat atau perguruan tinggi.
SDM sebaiknya memiliki keahlian bidang persampahan baik melalui
pendidikan formal (ada staf yang memiliki latar belakang pendidikan
teknik lingkungan, ekonomi, ahli manajemen dll) dan training bidang
persampahan.
Kegiatan pengelolaan sampah yang tidak dapat dilaksanakan oleh
masyarakat, menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus dilaksanakan secara terpadu
dan terus menerus dengan melibatkan instansi terkait, LSM dan perguruan
tinggi
b).3 Aspek Pembiayaan Sumber Pembiayaan
Pengelolaan persampahan dapat dibiayai dari swadaya masyarakat,
investasi swasta dan APBN / APBD
Tata cara pembiayaan mengikuti ketentuan yang berlaku
Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembangunan prasarana
dan sarana persampahan dalam bentuk dana maupun aset kepada
masyarakat
Pembiayaan penyediaan dan pemeliharaan pewadahan individual menjadi
tanggung jawab penghasil sampah
Tarif Retribusi
Biaya untuk penyediaan prasarana dan sarana pengumpulan serta
pengelolaannya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dikenakan pada
anggota masyarakat yang mendapat pelayanan dalam bentuk iuran
(besarnya ditentukan melalui musyawarah dan mufakat) dan
dikordinasikan dengan pihak instansi pengelola persampahan
Biaya untuk pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah atau swasta untuk kepentingan masyarakat dibebankan kepada
masyarakat dalam bentuk retribusi kebersihan. Biaya pengelolaan tersebut
Penentuan tarif retribusi disusun berdasarkan asas keterjangkauan
/willingness to pay (secara umum kemampuan masyarakat membayar
retribusi adalah 1 -2 % dari income) dan subsidi silang dari masyarakat
berpenghasilan tinggi ke masyarakat berpenghasilan rendah dan dari sektor
komersial ke non komersial tanpa meninggalkan prinsip ekonomi / cost
recovery (minimal 80 %, 20 % merupakan subsidi Pemerintah kota/kab
untuk pembersihan fasilitas umum).
Mekanisme penarikan retribusi selain dilakukan langsung oleh instansi
pengelola juga dapat dilakukan melalui kerjasama dengan PLN, PDAM,
RT/RW dan lain-lain sesuai dengan kondisi daerah pelayanan.
b).4 Aspek Peraturan
Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan persampahan adalah UU No
7 / 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32/2004 tentang Otonomi
Daerah, UU No 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, UU No 23/1997 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup, UU No
24 /1992 tentang Penataan Ruang, UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU
No 2/1992 Perumahan dan Permukiman
Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan masalah persampahan
adalah PP tentang Badan Layanan Umum, PP No 16 / 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum , PP No.27 tahun 1999
tentang Amdal, PP No. 18 jo 85/1999 tentang Limbah B3 dan PP 16/2005
tentang Pengembangan Sistem penyediaan Air Minum
Agenda 21 berkaitan dengan program optimaalisasi minimalisasi limbah
secara bertahap sampai tahun 2020, Kyoto Protocol tentang CDM (clean
development mechanism), MDGs tentang upaya pencapaian target
pengurangan jumlah orang miskin dan akses terhadap air minum dan
sanitasi (target 10 dan 11)
SNI yang berkaitan dengan pedoman persampahan adalah SNI
19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, SNI
1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman, SNI
03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, SNI 19-3964-03-3241-1994
tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan
Komposisi Sampah.
Pengaturan penyelenggaraan pembangunan bidang persampahan dilakukan
melalui peraturan daerah (perda) yang pada umumnya terdiri dari perda
pembentukan institusi, ketentuan umum kebersihan dan retribusi. Selain
itu juga diperlukan perda yang mengatur mengenai peran serta swasta,
penanganan limbah B3 / rumah sakit dan lain-lain.
b).5 Aspek Peran Serta Masyarakat dan Kemitraan Peran Serta Masyarakat
Peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana
persampahan diperlukan sejak dari perencanaan sampai dengan operasi
dan pemeliharaan
Peran serta masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan prasarana dan
sarana persampahan dapat berupa usulan, saran, pertimbangan, keberatan
serta bantuan lainnya atau pelaksanaan program 3R baik untuk skala
individual maupun skala kawasan.
Peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan
formal sejak dini, penyuluhan yang intenssif, terpadu dan terus menerus
serta diterapkannya sistem insentif dan disinsentif
Masyarakat bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas
pewadahan dan atau meyelenggarakan pengumpulan / pengolahan sampah
Kemitraan
Pemerintah memberikan peluang kepada pihak swasta untuk
menyelenggarakan pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana
persampahan serta dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif
Kemitraan dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh kegiatan sistem
pembangunan persampahan, termasuk melakukan upaya pengendalian
Pola kemitraan dapat dilakukan melalui studi kelayakan dengan
memperhatikan keterjangkauan masyarakat, kemampuan Pemda, peluang
usaha dan keuntungan swasta.
Kemitraan dapat dilakukan dengan sistem BOO, BOT, kontrak
manajemen, kontrak konsesi dan lain-lain.
c) Dampak Pencemaran Akibat Sampah c).1 Potensi Dampak
Dalam kenyataannya banyak pengelola kebersihan menghadapi berbagai
masalah dan kendala sehingga mereka tidak dapat menyediakan pelayanan
yang baik sesuai dengan ketentuan teknis dan harapan masyarakat. Disana sini
sering terjadi pencemaran akibat pengelolaan yang kurang baik sehingga
menimbulkan berbagai masalah pencemaran selama pelaksanaan kegiatan
teknis penanganan persampahan yang meliputi: pewadahan, pengumpulan,
pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Berbagai
potensi yang menimbulkan berbagai dampak dapat meliputi :
a. Perkembangan vektor penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan
vektor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah
sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar.
Tempat Penampungan Sementara / Container juga merupakan tempat
berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang
tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya.
Vektor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi
TPA. Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang
tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur
menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan.
Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari
b. Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber
bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya
seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran
sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama
bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan
kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial
menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi
menimbulkan masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat
bercecerannya air lindi dari bak kendaraan.
Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat pencemar ke udara
dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya berupa :
partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-lain.
Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan
dalam hal ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan
lain-lain yang secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di
udara, mendorong terjadinya pemanasan global, disamping efek yang
merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya.
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan
berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat
mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi
yang tidak memenuhi syarat teknis.
Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga
timbul akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Asap juga seringkali timbul di TPA akibat terbakarnya tumpukan sampah
baik secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar
dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap
yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.
Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial
menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran
atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran.
Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang
cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga
cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di
sekitarnya.
Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan
sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah
di bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air
tanah akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap
sumur penduduk yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum
memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik
pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan
air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami
kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada.
d. Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan
kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan
menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya
sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya
(B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama
sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu
lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia
dan lingkungan sekitarnya.
e. Gangguan Estetika
Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan
Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan
sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera
diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan
ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan
tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang
tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran
sampah di dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk
pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya.
Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik
merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui.
Lokasi TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat
pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin
pada lokasi yang sedang dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan
yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi / tinggal
berdekatan dengan lokasi tersebut.
f. Kemacetan Lalu lintas
Lokasi penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya
berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain
serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan
terhadap arus lalu lintas.
Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti
transfer station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang
dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan
upaya-upaya khusus untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi
pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di
sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan.
Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering
menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak
g. Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari
mesin-mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat
mengganggu daerah-daerah sensitif di sekitarnya.
Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk
sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila
digunakan mesin pencacah sampah atau shredder).
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan
pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat
berat yang ada.
h. Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya
pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya.
Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap menentang / oposisi dari
masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan
terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup
mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan
mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.
c).2 Resiko Lingkungan
Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya
kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup:
a. Geo-fisik-Kimia; yang meliputi: kuantitas dan kualitas air tanah/permukaan,
kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan
b. Biologis: baik keanekaragaman maupun kondisi flora/fauna
c. Sosioekonomibudaya; yang meliputi: kependudukan, kesehatan masyarakat,
pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan
masyarakat, persepsi masyarakat terhadap proyek, nilai jual tanah, situs
sejarah, adat, dan lain-lain