• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

5

Agar hasil suatu usaha dapat diketahui, setiap kurun waktu (periode akuntansi) tertentu perusahaan perlu menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Sedangkan penyusunan laporan keuangan adalah tahap akhir dalam akuntansi. Laporan keuangan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : relevan, dapat dimengerti, dapat diuji, dapat dibandingkan, dapat dipercaya, lengkap, penyampaian tepat waktu, akurat dan obyektif.

Laporan keuangan suatu perusahaan merupakan interpretasi kondisi keuangan suatu perusahaan selama periode tertentu, sehingga fungsi laporan keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam pengambilan suatu keputusan, baik di tingkat manajemen maupun di tingkat shareholder/investor

terutama yang tidak terlibat secara langsung dalam operasional

perusahaan.Amril (2002:1). Beberapa pengertian dari laporan keuangan antara lain:

1. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2002:2)

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan posisi keuangan (yang dapat disajikan diberbagai

(2)

cara misalnya laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengaruh perubahan harga.

2. Menurut Zaki Baridwan (2003:7)

Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan dan merupakan suatu transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama satu tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh managemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh pemilik perusahaan.

Laporan keuangan selain tercantum dalam pengertian-pengertian yang

telah disebutkan diatas juga mencakup karakteristik kualitatif yang merupakan ciri khas yang membuat informasi dapat lebih bermanfaat. Terdapat empat karakteristik kualitatif pokok yaitu dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat diperbandingkan. Dasar-dasar pengukuran tersebut atas empat karakteristik tersebut sebagai berikut:

1. Biaya Historis

Aktiva dicatat sebesar pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aktiva tersebut pada saat perolehan. Kewajiban dicatat

(3)

sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam keadaan tertentu (misanya, pajak penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara kas) yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha yang normal.

2. Biaya Kini

Aktiva dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang seharusnya dibayar bila aktiva yang sama atau setara aktiva diperoleh sekarang. Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas (setara kas) yang tidak didiskontokan (undiscounted) yang mungkin akan diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban (obligasi) sekarang.

3. Nilai Realisasi atau penyelesaian

Aktiva dinyatakan dalam jumlah kas (setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aktiva dalam pelepasan normal (orderly disposal), kewajiban dinyatakan sebesar nilai penyelesaian, yaitu jumlah kas (setara kas) yang tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.

4. Nilai Sekarang

Aktiva dinyatakan sebesar arus kas masuk bersih dimasa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang dari pos yang diharapkan dapat memberikan hasil dalam pelaksanaan usaha normal. Kewajiban

(4)

dinyatakan sebesar arus kas keluar bersih di masa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang yang diharapkan akan diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal. B. Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

1. Pengertian laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, yang bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi, khususnya informasi tentang prospek arus kas, posisi keuangan, kinerja usaha dan aktivitas investasi pendanaan dan operasi.

Pengertian laporan keuangan fiskal menurut Sophar Lumbantoruan (1997:167)

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba rugi dan rinciannya. Laporan keuangan harus dilampirkan pada saat penyerahan Surat Pemberitahuan Pajak. Laporan keuangan fiskal terdiri dari perhitungan laba rugi dan neraca perusahaan, yang disusun sesuai dengan peraturan perpajakan. Oleh karena itu untuk menghitung penghasilan kena pajak suatu perusahaan, laporan keuangan komersial perlu dikoreksi sesuai dengan persyaratan-persyaratan fiskal.

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan yang bertujuan menyediakan data dan informasi

(5)

dalam penghitungan besarnya pajak terutang (PPh, PPN, PPn BM). Undang-undang pajak tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan pembatasan untuk hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun biaya. Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba akuntansi dan laba fiskal berbeda. Secara umum, laporan keuangan disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang.

2. Perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal Perbedaan antara akuntansi pajak dengan akuntansi keuangan, antara lain karena: tujuan akuntansi keuangan adalah pemberian informasi penting kepada manajer, pemegang saham, pemberi kredit, serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dan merupakan tanggung jawab akuntan untuk melindungi pihak-pihak tersebut dari informasi yang menyesatkan. Sebaliknya tujuan utama sistem perpajakan (termasuk akuntansi pajak) adalah pemungutan pajak yang adil dan merupakan tanggung jawab Direktorat Jendral Pajak untuk melindungi para pembayar pajak dari tindakan semena-mena.

Sejalan dengan tujuan tersebut, prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan adalah prinsip konservatif, sehingga kemungkinan kesalahannya cenderung kepada understatement pelaporan penghasilan atas assetnya dibandingkan dengan pelaporan overstatement. Disamping perbedaan acuan yang dianut dalam penyusunan laporan keuangan untuk kepentingan

(6)

perpajakan, dari sudut pandang Direktorat Jendral Pajak laporan keuangan yang understatement tersebut tentunya tidak dipakai sebagai dasar menetapkan pajak yang terutang.

Menurut Gunadi (2009:309), prinsip-prinsip yang menjadi fokus perbedaan orientasi laporan keuangan fiskal dan laporan keuangan komersial tampak sebagai berikut:

1. Penetapan pendapatan dan beban

Untuk keperluan komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan penghasilan pada saat realisasi transaksi pertukaran atau pembebanan biaya atau beban dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Walaupun pada prinsipnya ketentuan perpajakan menggaris bawahi prinsip itu, kadangkala ketentuan perpajakan dapat menyimpang dari prinsip itu. Misalnya: 1. Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang penghasilan walaupun secara ekonomis pengeluaran itu merupakan unsur biaya untuk mendapatkan penghasilan perusahaan, 2. Penyusutan asset mulai pada tahun pengeluaran walaupun harta itu belum dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan, 3. Imputasi penghasilan pada bentuk usaha tetap atas dasar force of attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya dan secara nyata tidak di catat dalam pembukuan BUT.

(7)

Untuk mengetahui kinerja bisnis dari tahun ke tahun diperlukan penerapan suatu metode akuntansi secara taat asas, kecuali terdapat alas an dan bukti yang cukup kuat untuk melakukan penggantian metode. Konsistensi ini lebih menekankan pada penyandingan vertikal (dari tahun ke tahun), dapat saja terjadi, misalnya terhadap berbagai kelompok persediaan dipakai metode penilaian dan pembukuan yang berbeda. Pelaporan fiskal pada dasarnya juga menganut pandangan itu, namun dalam konteks konsepsional, ketentuan perpajakan dapat menentukan lain, misalnya hasil pengakuan-pengakuan operasi bisnis mancanegara (dengan penolakan terhadap konsilidasi kerugian berdasarkan penjelasan pasal 4 UU PPh).

3. Konservatisme

Laporan keuangan komersial bersifat konservatif terhadap suatu transaksi yang belum terjadi menjadi suatu fakta. Dalam praktek akuntansi sifat demikian direalisasikan dengan pembentukan penyisihan atas kemungkinan kerugian yang mungkin di derita, tanpa pengakuan atas suatu klaim atau potensi keuntungan yang belum terealisasi. Dalam kasus itu, administrasi pajak kurang tertarik kepada estimasi dan angka-angka yang belum terjadi secara nyata, tetapi lebih cenderung untuk menganut realitas dengan meneliti secara seksama tiap elemen pengurang basis pengenaan pajak. Untuk jenis perusahaan tertentu (bank dan asuransi), penerapan pendekatan konservatif secara limitatif dapat diperkenankan.

(8)

4. Substansi mengesampingkan bentuk formal

Seperti laporan keuangan komersial, ketentuan perpajakan juga mengikuti pandangan yang lebih menitik beratkan kepada substansi (hakikat) ekonomis daripada bentuk formal tiap transaksi atau fakta bisnis. Namun ketentuan pajak dalam kasus tertentu (misalnya leasing) kadangkala mengutamakan bentuk formal dibandingkan substansi ekonominya.

Seperti laporan keuangan komersial, ketentuan perpajakan juga mengikuti pandangan yang lebih menitik-beratkan kepada substansi (hakikat) ekonomis daripada bentuk formal tiap transaski atau fakta bisnis. Namun, ketentuan pajak, dalam kasus tertentu (misalnya leasing), kadangkala mengutamakan bentuk formal dibandingkan dengan substansi ekonominya

(9)

Tabel 2.1

Perbedaan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal

Akuntansi Komersial Akuntansi Fiskal

Masa Manfaat Masa Manfaat

a. Masa manfaat aktiva ditentukan berdasarkan taksiran umur ekonomisnya maupun umur teknis

a. Ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan

b. Ditelaah ulang secara periodik b. Nilai residu tidak dapat diperhitungkan

c. Nilai residu bisa diperhitungkan

Harga Perolehan Harga Perolehan

a. Untuk pembelian menggunakan harga sesungguhnya

a. Untuk transaksi yang tidak mempunyai hubungan istimewa berdasarkan harga yang sesungguhnya.

b. Untuk pertukaran aktiva tidak sejenis

menggunakan harga wajar b. Untuk transaksi yang mempunyai hubungan

istimewa berdasarkan harga pasar c. Untuk pertukaran sejenis berdasarkan nilai

buku yang dilepas

c. Untuk transaksi tukar menukar adalah berdasarkan harga pasar

d. Aktiva sumbangan berdasarkan nilai harga

pasar d. Dalam rangka liquidasi, peleburan,

pemekaran, pemecahan, atau penggabungan adalah harga pasar kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Jika direvaluasi adalah sebesar nilai setelah revaluasi

Metode Penyusutan Metode Penyusutan

a. Garis lurus

a. Untuk aktiva tetap bangunan adalah garis lurus

b. Jumlah angka tahun

b. Untuk aktiva tetap bukan bangunan, wajib pajak dapat memilih garis lurus atau saldo menurun ganda asal diterapkan secara taat asas

c. Saldo menurun/ menurun ganda

d. Metode jam jasa

e. Unit produksi

d. Anuitas

e. Sistem persediaan Perusahaan dapat memilih salah satu metode yang diaggap sesuai, namun harus diterapkan secara konsisten dan harus

ditelaah secara periodik

Sistem Penyusutan Sistem Penyusutan

a. Penyusutan individual

Penyusutan secara individual, kecuali peralatan kecil boleh secara golongan

(10)

Saat Dimulainya Penyusutan Saat Dimulainya Penyusutan

a. Saat perolehan a. Saat perolehan

b. Saat penyelesaian b. Dengan ijin menteri keuangan, dapat

dilakukan pada tahun penyelesaian atau tahun mulai menghasilkan

Sumber: Erly Suandy.2003.Perencanaan Pajak.Salemba Empat.Jakarta

Menurut Gunadi (2009:309), beberapa penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal itu antara lain sebagai berikut:

1. Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dan praktek akuntansi, misalnya kenikmatan dan natura (benefit in kinds), intercompany dividen, pembebasan utang, dan penghasilan (BUT) karena atribusi force of attraction.

2. Ketidaksamaan pendekatan penghitungan penghasilan, misalnya link and match antara beban dan penghasilan, metode depresiasi, penerapan norma penghitungan, dan pemajakan dengan metode basis bruto atau neto.

3. Pemberian relatif atau keringanan yang lain misalnya rugi laba pelaporan aktiva, penghasilan tidak kena pajak, perangsang penanaman, dan penyusutan dipercepat.

4. Perbedaan perlakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara, atau harta yang tidak dipakai dalam usaha.

Kesimpulannya, perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal berpangkal pada adanya perbedaan tujuan yang pada akhirnya menghasilkan perhitungan laba usaha menurut SAK dan laba usaha menurut pajak.

(11)

3. Hubungan Laporan Keuangan Fiskal dan Laporan Keuangan Komersial

Laporan keuangan (yang dilaporkan dalam SPT) dapat disusun dengan proses penyesuaian atau rekonsiliasi ketentuan perpajakan terhadap laporan keuangan komersial. Untuk mengamankan data historis, atas penyesuaian itu perlu diadakan pencatatan terhadap pos-pos yang menyebabkan perbedaan sementara (timing difference) antara ketentuan pajak dan standar akutansi keuangan (misalnya penyusutan). Implikasi dari aktivitas itu menunjukkan adanya perangkat pembukuan ganda terhadap pos-pos tertentu yang memungkinkan adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi keuangan untuk mengamankan kontinuitas rekonsiliasi. Namun karena pembukuan itu dapat di rekonsiliasikan secara yuridis fiskal pembukuan ganda itu dapat dipertimbangkan.

Dalam praktek, pajak penghasilan dapat dihitung (untuk keperluan laba komersial) berdasarkan laba akuntansi (pajak teoritis) atau laba kena pajak (pajak riil). Selisih antara keduanya dicatat sebagai pos aktiva lain di neraca yang secara teoritis dapat dialokasikan dari waktu ke waktu. Dari praktek itu, tampak SAK memberikan kelonggaran kepada pengusaha untuk memilih metode akuntansi pajak penghasilan.

(12)

C. Pajak

1. Pengertian Pajak

Menurut UU Perpajakan Tahun 2000

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Gusfahmi(2007:25)

“Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah, untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan”

Menurut P. J. A. Adriani, dalam Yusdianto(2004:2)

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutama oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

(13)

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur: 1. Iuran rakyat kepada negara

2. Berdasarkan undang-undang

3. Tanpa jasa timbal balik

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara

Pajak penghasilan merupakan salah satu penerimaan negara yang berasal dari penerimaan masyarakat. Dalam proses pemungutan pajak kepada masyarakat telah diatur di Undang-undang perpajakan No 36 Tahun 2008, hal ini dibutuhkan agar adanya kepastian hukum sesuai dengan peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Pengertian dari pajak penghasilan menurut Undang-undang pajak No 36 Tahun 2008 adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pada tahun pajak.

Sedangkan pengertian pajak penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan (SAK, 2002). Dan dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya pada tahun pajak untuk kepentingan negara dan bernegara sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut UU No 36 Tahun 2008 yang menjadi subjek pajak penghasilan sebagai berikut :

(14)

1. a. Orang Pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang menggantikan yang berhak

2. Badan, dan

3. Bentuk Usaha Tetap

Subjek pajak dibedakan menjadi dua, subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Yang dimaksud subjek pajak dalam negeri adalah:

1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintahan yang memenuhi kriteria:

a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Pembiayannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah

c. Penerimannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah

(15)

d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan menggantikan yang berhak.

3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah 1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang

pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

(16)

kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

1. Tempat kedudukan Manajemen

2. Cabang perusahaan 3. Kantor perwakilan 4. Gedung kantor 5. Pabrik 6. Bengkel 7. Gudang

8. Ruang untuk promosi danb penjualan 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam

10.Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi

11.Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan 12.Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan

13.Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka 12 bulan 14.Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya

tidak bebas

15.Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia

(17)

16.Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

Menurut UU No 36 Tahun 2008 yang tidak termasuksubjek pajak adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana

(18)

Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 ditetapkan dengan Keputusan Mentri Keuangan.

2. Konsep Penghasilan Menurut Akutansi

Penghasilan merupakan segala macam kegiatan yang berhubungan

dengan perubahan-perubahan pada perusahaan yang nantinya dapat menambah modal perusahaan atau memberikan keuntungan bagi perusahaan. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas-aktivitas perusahaan yang berupa penyerahan jasa atau barang dagangan kepada konsumen. Secara spesifik penghasilan masih sulit untuk didefinisikan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan ragam dalam penentuan penghasilan dan pengaruh faktor lain yang kadang sulit untuk disatukan.

Definisi penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

adalah:

“Penghasilan merupakan peningkatan manfaat ekonomi selama suatu periode Akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari konstribusi penanaman modal”.

(19)

Dari definisi diatas, maka penghasilan dalam suatu perusahaan dapat diperoleh dari:

a. Peningkatan jumlah aktiva perusahaan dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva. Penghasilan yang diperoleh diukur dengan besarnya aktiva yang diperoleh sebagai penukar atas jasa yang telah ditukarkan.

b. Penurunan kewajiban suatu perusahaan yang diperoleh dari

pembatalan hutang perusahaan terhadap kreditur atau pihak lain

c. Aktivitas usaha lain yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.

Penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue) maupun

keuntungan (gains). Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktivitas

perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, deviden, dan sewa.

Keuntungan mencerminkan keuntungan lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan perusahaan yang biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Oleh karena, pos tersebut tidak dipandang sebagai unsur terpisah dalam kerangka dasar.

(20)

3. Konsep Penghasilan Menurut Perpajakan

3.1 Penghasilan yang menjadi objek pajak

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang perpajakan No 36 Tahun 2008 menyebutkan penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.

b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

c. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, deviden, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.

(21)

Karena pengertian penghasilan dalam Undang-undang perpajakan No 36 Tahun 2008 sangat luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya, kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Berikut ini adalah penghasilan yang menjadi objek pajak:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

(22)

sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama clan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihakyang

bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah

dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

(23)

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang

mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. surplus Bank Indonesia.

3.2 Penghasilan yang bersifat final

Dari beberapa penghasilan yang telah disebutkan diatas ada penghasilan yang dikenai tarif bersifat final, sehingga tidak boleh

(24)

digabungkan dengan penghasilan yang menjadi objek pajak secara umum, sesuai Undang-undang No 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (2) yaitu:

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

b. Penghasilan berupa hadiah undian.

c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.

e. Penghasilan tertentu lainnya

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 3.3 Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak

Dari penghasilan yang sudah disebutkan diatas ada beberapa yang dikecualikan dari objek pajak atau bukan merupakan penghasilan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (3) yang dikecualiakan dari objek pajak adalah:

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

(25)

pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau

(26)

Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi

sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. dividen berasal dari cadangan laba yang

ditahan; dan

2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya

telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun

sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

(27)

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

j. dihapus;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m.sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan

pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang

membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya

(28)

sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 3.4 Tarif Pajak Penghasilan

Unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam Undang-undang pajak. Besarnya tarif dalam Undang-undang pajak tidak selalu ditentukan secara nilai presentase, tetapi bisa dengan nilai nominal. Menurut Undang-undang PPh No 36 Tahun 2008 tarif pajak untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% berlaku untuk tahun 2009. Sedangkan untuk tahun 2010 dan selanjutnya tarif yang berlaku sebesar 25%.

4. Konsep Beban dan Biaya menurut Akuntansi

Dalam akuntansi ada dua istilah yang digunakan untuk

menggambarkan pengeluaran dalam suatu perusahaan, yaitu beban dan biaya. Pemakaian istilah beban (expense) dan biaya (cost) sering dirancukan tergantung dari tujuan pemakaian istilah tersebut.

Pengertian biaya menurut Bustami dan Nurlela (2009:7) adalah:

“pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu”

(29)

Pengertian beban menurut Bustami dan Nurlela (2009: 8) adalah:

Beban adalah biaya yang telah memberikan manfaat dan sekarang telah habis. Biaya yang belum dinikmati yang dapat memberikan manfaat dimasa akan datang dikelompokkan sebagai harta. Biaya ini dimasukkan kedalam laporan laba rugi, sebagai pengurangan dari pendapatan.

Sehingga dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah dari beban dan biaya itu berbeda, namun untuk mencari perbedaan tersebut cukup sulit. Beban berkaitan erat dengan arus keluarnya barang dan jasa dalam suatu periode yang dipertemukan dengan pendapatan untuk memperoleh laba, sedangkan biaya itu sendiri merupakan nilai tukar atau pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh manfaat barang dan jasa. Beban diakui dalam laporan laba rugi jika penurunan masa manfaat masa depan yang mempunyai hubungan dengan penurunan aktiva atau peningkatan kewajiban yang telah terjadi dan dapat diukur. Dan beban diakui atas dasar hubungan langsung antara yang timbul dan pos penghasilan tertentu yang diperoleh.

5. Konsep Biaya dan Bukan Biaya menurut perpajakan

5.1 Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih

(30)

dari satu tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya biaya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pengertian biaya menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 6 ayat (1) adalah:

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

1. biaya pembelian bahan;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;

(31)

4. biaya perjalanan;

5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi;

7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

8. biaya administrasi; dan

9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;

c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;

e. kerugian selisih kurs mata uang asing;

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

(32)

komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;

yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang

dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(33)

dengan Peraturan Pemerintah;

l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

m.sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No KEP-220/PJ./2002, selain biaya-biaya yang sudah disebutkan diatas, terdapat biaya yang boleh dikurangkan sebesar 50% dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak. yakni:

1. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya

2. Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjannya.

3. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya

4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat no 3 diatas yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya.

(34)

5.2 Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang

pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.

Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 9 menyatakan bahwa biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu: 1. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak

dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota;

(35)

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

(36)

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; h. Pajak Penghasilan;

i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan

(37)

untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A. 6. Fungsi, Syarat, dan Tata Cara Pemungutan Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua

pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Oleh karena itu pajak mempunyai beberapa fungsi.

Mardiasmo(2000:2) menyebutkan ada dua fungsi pajak yaitu

1. Fungsi Budgetair

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya

2. Fungsi Mengatur

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Mardiasmo(2000:2-3) juga menyebutkan agar pemungutan pajak tidak

menimbulkan hambatan atau perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil

(38)

3. Tidak mengganggu perekonomian 4. Pemungutan pajak harus efisien

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Hukum Pajak juga mengatur tentang tata cara pemungutan pajak. Menurut Achmad Tjahyono(2000:25-26) pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga cara berikut ini, yaitu:

1. Stelsel Nyata

Pemungutan pajak baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun pajak setelah mengetahui penghasilan sesungguhnya yang diperoleh dalam masa pajak yang bersangkutan.

2. Stelsel Anggapan

Pemungutan pajak dapat dilakukan pada awal tahun pajak karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan berdasarkan suatu anggapan penerimaan/pendapatan yang diperoleh Wajib Pajak. Anggapan ini dapat menggunakan perbandingan data antara penerimaan/pendapatan Wajib Pajak pada tahun sebelumnya yang dianggap sama dengan pendapatan yang akan diperoleh pada tahun sekarang.

3. Stelsel Campuran

Pengenaan pajak pada awal tahun yang didasarkan pada suatu

(39)

sehingga menurut stelsel ini akan terjadi perhitungan kembali untuk menentukan masalah lebih atau kekurangan pajak.

7. Pembukuan Perpajakan

Pengertian pembukuan menurut Erly Suandy (2002:49) adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentang keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, tidak terutang PPN, dikenakan PPN denga tarif 0%, dan dikenakan pajak Penjualan atas barang mewah. Pembukuan ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak.

Kutipan pasal 28 UU perpajakan

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebasdan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma

(40)

Penghitungan Penghasilan Neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

3. Pembukuan dan pencatatan tersebut diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan

menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak.

7. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang

8. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain

rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

9. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah

(41)

pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

10. Dihapus

11. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan

ataupencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak Badan,

12. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan Menteri Keuangan.

Dari kutipan diatas, perlu dijelaskan pengertian istilah-istilah terkait sebagai berikut:

a. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang

merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam

(42)

bentuk apapun, firma, kongsi, dana pensiun, persekutuan,

perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. c. Pajak terutang adalah pajak pajak yang harus dibayar pada suatu

saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

d. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan dengan menyusun neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

8. Penyusutan Perpajakan

Metode penyusutan yang diperkenankan dalam peraturan

perpajakanadalah metode garis lurus (Straight Line Method) dan metode saldo menurun (Declining Balance Method) sesuai dengan pasal 11 UU No 36 Tahun 2008. Perusahaan dapat memilih salah satu metode yang dianggap sesuai, namun harus diterapkan secara konsisten. Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus, sedangkan harta

(43)

bukan bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus dan saldo menurun. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2

Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Untuk Aktiva Tetap

Kelompok Harta Berwujud

Masa Manfaat

Tarif penyusutan

Metode garis lurus Metode saldo menurun

Bukan Bangunan Kelompok 1 4 tahun 25% 50% Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25% Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 tahun 5% 10% Bangunan Permanen 20 tahun 5%

Tidak Permanen 10 tahun 10%

Sumber: Undang-undang No 36 Tahun 2008 pasal 11 ayat (6)

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan juga dengan memakai 2 metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun, dengan pengelompokkan sebagai berikut

(44)

Tabel 2.3

Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Untuk Aktiva Tidak Berwujud

Kelompok Harta Tak Berwujud

Masa Manfaat

Tarif penyusutan

Metode garis lurus Metode saldo menurun

Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Sumber: Undang-undang No 36 Tahun 2008 pasal 11A ayat (2)

D. Rekonsiliasi Fiskal

Ketentuan perpajakan mempunyai kriteria tertentu tentang pengukuran dan pengakuan terhadap unsur-unsur yang umumnya terdapat dalam laporan keuangan. Ukuran itu dapat saja kurang sejalan dengan prinsip akuntansi komersial.

Solusi antara penerapan standar akuntansi keuangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dilakukan suatu rekonsiliasi.

Zain(2003); dalam buku Manajemen Perpajakan menuliskan bahwa untuk menyusun rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal, urutan penyusunannya dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Buat terlebih dulu daftar penyusutan fiskal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

(45)

b. Penyusutan fiskal tersebut kemudian di alokasikan sesuai dengan pengalokasian yang dilakukan oleh perusahaan

c. Susun rekonsiliasi harga pokok produksi d. Susun rekonsiliasi biaya operasional

e. Susun rekonsiliasi pendapatan/beban lain-lain

f. Susun rekonsiliasi laba/rugi, yang dihimpun dari jumlah-jumlah akhir masing-masing rekonsiliasi sebelumnya.

1. Koreksi fiskal

Koreksi terhadap penghasilan neto komersial yang teradapat dalam laporan laba rugi dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta pelaksanaannya. Sehubungan dengan adanya perbedaan antara laba rugi menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan terutang, terlebih dahulu laba rugi komersial harus dilakukan koreksi fiskal sesuai dengan UU No 36 Tahun 2008. Dengan demikian untuk keperluan perpajakan, wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal.

(46)

2. Jenis Koreksi Fiskal

Jenis koreksi fiskal merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008), yaitu terdiri dari:

a. Beda tetap

Perbedaan pengakuan penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya permanen.

Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan pajak bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri dengan penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan perpajakan telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang. Menurut akuntansi komersial merupakan biaya sedangkan menurut ketentuan perpajakan tidak dapat dibebankan, misalnya:

1. Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan objek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final

(47)

2. Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

3. Biaya-biaya yang menurut ketentuan perpajakan tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang)

b. Beda waktu

Adalah perbedaan waktu pengakuan penghasilan dan biaya tertentu menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan ini mengakibatkan pergeseran pengakuan penghasilan dan biaya antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Misalnya metode penyusutan, pada tahun pertama biaya penyusutan fiskal lebih besar daripada penyusutan komersial namun di akhir tahun jumlah penyusutan menurut fiskal dan komersial akan menjadi sama.

Achmad Tjahjono(2000:567), memberi pedoman untuk

menyusun rekonsiliasi fiskal sebagai berikut:

1. Wajib pajak tetap menyelenggarakan proses akuntansi komersial (menurut SAK) sebagai proses akuntansi utama, sehingga pada akhir tahun akan menghasilkan produk berupa laporan keuangan komersial

2. Menyelenggarakan pencatatan untuk menghitung laba usaha kena pajak. Yang dimaksud dengan kegiatan pencatatan tambahan disini

(48)

adalah terbatas untuk menghitung harta/biaya/penghasilan yang kebijakan akuntansinya berbeda dengan SAK.

3. Melakukan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah

penyesuaian laba usaha menurut akuntansi komersial dalam rangka menghitung besarnya laba usaha kena pajak, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengenali penyesuaian pajak yang diperlukan

1. Melakukan analisis terhadap elemen-elemen yang perlu

disesuaikan untuk menentukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak

2. Melakukan penyesuaian fiskal, dengan cara melakukan

penambahan atau pengurangan atas laba usaha, sebagai berikut: Laba usaha (akuntansi komersial)

Penyesuaian fiskal:

positif/negatif akibat kebijakan akuntasi positif/negatif akibat pengakuan pendapatan positif/negatif akibat pengakuan biaya

3. Menyusun laporan keuangan fiskal, sebagai lampiran SPT

Tahunan Pajak Penghasilan

Referensi

Dokumen terkait

Pentingnya Membangun Strategi Layanan Akademik Yang Berkualitas Pada Pendidikan Tinggi Bidang Kesehatan dalam pencapaian mutu institusi, sebagaimana dikembangkan di

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan profitabilitas perusahaan yang diukur oleh Return on Asset (ROA)

RKA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung

Pemakaian bahan pengawet menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan

Berdasarkan taraf integritas, terdapat 120 data tergolong pada kelompok pertama yaitu unsur asing yang belum sepenuhnya terserap kedalam bahasa Indonesia, dan 91

Analisis data hasil uji praktikalitas oleh guru kelas XI SMA menunjukkan bahwa modul bergambar yang dilengkapi peta konsep pada materi sistem regulasi manusia yang

sebagai unit produksi, e) kemampuan mengelola sumberdaya petani yaitu melatih juru tanam dan merubah perilaku petani penerima program menjadi lebih semangat dan pantang

Berdasarkan perhitungan ES tersebut maka pembelajaran dengan menggunakan model make a match memberikan pengaruh yang tinggi terhadap hasil belajar siswa pada mata