• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBARAN SPASIAL VEGETASI LAMUN (SEA GRASS) BERDASARKAN PERBEDAAN KARAKTERISTIK FISIK SEDIMEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBARAN SPASIAL VEGETASI LAMUN (SEA GRASS) BERDASARKAN PERBEDAAN KARAKTERISTIK FISIK SEDIMEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

405

SEBARAN SPASIAL VEGETASI LAMUN (SEA GRASS)

BERDASARKAN PERBEDAAN KARAKTERISTIK FISIK SEDIMEN

DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Husain Latuconsina

Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon

Diterima 10-08-2012; Terbit 01-11-2012

ABSTRACT

Sea grass is the only one flowered plant that can life and grow on the sea. One of the factor that can determine sea grass vegetation is sediment physical characteristic as its growing medium. Sea grass vegetation observation done with systematic sampling method that using transect and quadrant, meanwhile sampling of sediment is putted using corer 2,5 inch from 3 random point from each observation location. The result found in Tanjung Tiram that dominated by medium sand fraction and soft sand which is grow 4 kinds of sea grass (Enhalus

acorides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophila ovalis). The second location is Lateri, dominated

by medium sand faction and very rough sand. In that location found 2 kinds of sea grass vegetation (Enhalus

acorides, Thalassia hemprichii). Waiheru is the third location, dominated by mud and medium sand fraction which

is grow just one kind of sea grass. This research result showing that physical characteristic of sediment determine space distribution, diversity, and kind of sea grass vegetation density.

Keywords: space distribution, sea grass vegetation, sediment physical characteristic, characteristic

differences.

PENDAHULUAN

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Umumnya membentuk padang luas di dasar laut dangkal dan jernih dengan sirkulasi air yang baik untuk menghantarkan zat-zat hara, oksigen terlarut, dan mengangkut hasil metabolisme ke luar daerah padang lamun (Bengen, 2001; Nontji, 2005; Supriharyono, 2007).

Lamun dapat tumbuh secara luas berupa hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu perairan pantai berupa satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (multispecific) dengan kerapatan vegetasi yang padat atau jarang (Azkab, 2006). Di Indonesia padang lamun merupakan ekosistem yang umum ditemukan tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, habitatnya dapat berupa lumpur, pasir dan karang mati (Hutomo dkk, 1992).

Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan vegetasi lamun adalah kedalaman sedimen. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup pelindung tanaman dari arus laut dan tempat

pengolahan dan pemasok nutrient (Dahuri, 2003). Menurut Nyibakken (1992), pada umumnya komunitas lamun mampu tumbuh pada semua tipe substrat, yaitu mulai dari lumpur lunak sampai batu granit, namun demikian lamun paling banyak menempati dasar perairan yang bersubstrat lunak.

Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) merupakan perairan dangkal dengan kedalaman 0 – 40 m dan dipisahkan oleh ambang yang sempit dengan Teluk Ambon Luar (TAL) dengan kedalaman hanya 12 meter, menyebabkan sirkulasi masa air tidak berjalan lancar. Pemukiman penduduk yang semakin padat di wilayah pesisir dengan topografi daratan yang relatif terjal, aktivitas pembukaan lahan untuk pemukiman, pelabuhan, dan arus lalulintas laut yang semakin padat akan berdampak pada tekanan ekologis yang semakin tinggi berupa sedimentasi. Dimana luasan sedimentasi sebesar 102,56 ha pada tahun 1994 dan pada tahun 2007 meningkat luasannya menjadi 168,13 ha. Sehingga luasan sedimentasi telah mencapai 65,57 ha, dengan rata-rata penambahan luas sebesar 5,43 ha/tahun (Mudjiono, 2008).

(2)

406 Konsukwensi tersebut berpotensi memberikan perubahan luasan padang lamun di perairan Teluk Ambon bagian Dalam (TAD), mengingat padang lamun selalu tumbuh pada perairan pantai yang dekat dengan daratan dan pada akhirnya akan merusak ekosistem padang lamun diikuti oleh menurunnya keanekaragaman sumberdaya hayati laut yang berasosiasi di dalamnya.

Dengan demikian diperlukan kajian distribusi vegetasi lamun keterkaitannya dengan karaktersitik sedimen yang diharapkan dapat menjadi bahan informasi ilmiah terkait dengan strategi pengelolaan, konservasi dan upaya rehabilitasi ekosistem padang lamun untuk dapat mempertahankan keberadaannya di perairan Teluk Ambon Dalam.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret 2011, dengan penentuan lokasi penelitian secara purposive berdasarkan penelitian sebelumnya (Setyono, 1990 dan Kuriandewa, 1996) dengan kondisi lamun dan karakteristik lingkungan yang berbeda untuk melihat sebaran spasial vegetasi lamun kaitannya dengan karaktersitik fisik sedimen di perairan Teluk Ambon Dalam, yaitu:

 Lokasi 1 (Tanjung Tiram), letaknya berdekatan

dengan ambang (inlet) antara TAD dan TAL sebelah Barat pada posisi 03º39’1,43” LS dan 128º12’3,03” BT.

 Lokasi 2 (Lateri), Letaknya di sebelah Timur, pada

posisi 03º 38’ 23,1” LS dan 128º 13’ 36,0” Sampai BT, dan

 Lokasi 3 (Waiheru), Letaknya pada bagian dalam

sebelah Utara TAD, pada posisi 03º37’09,29” LS dan 128º12’08,92” BT, (Gambar 1).

Teknik Sampling Komunitas Lamun dan Sedimen

Pengamatan kerapatan dan komposisi jenis lamun dilakukan dengan pengambilan contoh menggunakan metode sistematic sampling (Setyobudiandi, dkk, 2009) dengan mengguna-kan transek garis dan kuadran. Penentuan jarak antar transek dan jarak antara kuadran disesuaikan dengan luas areal padang lamun di setiap lokasi pengamatan dan transek diletakkan tegak lurus garis pantai saat surut.

Lamun yang diambil diidentifikasi dan diestimasi tingkat kerapatan pada setiap lokasi transek dan jumlah rumpun pada setiap petak contoh untuk melihat distribuai spasialnya. Identifikasi lamun dilakukan menurut Phillips dan Menez (1988), Azkab (1999) dan Waycott dkk (2004).Pengambilan sampel sedimen menggunakan corer berdiameter 2,5 inchi dan diambil secara acak sebanyak 3 plot pada setiap lokasi pengamatan.

Analisa Butiran Sedimen

Sedimen dianalisis secara mekanis dengan penentuan ukuran besaran butiran sedimen menurut skala Wentworth (Wibisono, 2008).

Kerapatan Jenis Lamun

Analisis kerapatan lamun menggunakan persamaan dalam Fachrul (2007) :

(3)

407

Gambar 2. Persentase ukuran butiran dan fraksi sedimen di Lokasi Tanjung Tiram.

Gambar 3. Persentase ukuran butiran dan fraksi sedimen di Lokasi Lateri

D =

Keterangan:

Di = Kerapatan jenis ke-i (jumlah ind./m2), ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i, A = Areal total pengambilan sampel (m2)

Analisa data statistik dilakukan secara deskriptif dalam bentuk grafik untuk memudahkan dalam penyajian data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran Butiran dan Fraksi Sedimen

Hasil pengukuran ukuran butiran dan fraksi sedimen ditemukan pada ketiga lokasi penelitian cukup bervariasi proporsinya.

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa persentase ukuran diameter butiran sedimen pada stasiun Tanjung Tiram cukup beragam, dan persentase terbesar adalah ukuran diameter 0,250 mm (45,66 %). Secara umum tumbuhnya vegetasi Enhalus acaroids, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophila ovalis didominasi pasir ukuran sedang (45,65 %).

Sementara pasir berukuran sangat halus dan lumpur memiliki persentase sangat kecil, dikarenakan cukup jauhnya lokasi Tanjung Tiram dari muara sungai sebagai pemasok utama material lumpur.

Ditemukannya jenis Halodule uninervis dan Halophila ovalis yang dikenal sebagai kategori vegetasi perintis (pioneering species) dan Enhalus acoroides dan Thalassia heprichii sebagai vegetasi klimaks (Phillips dan Menez, 1988), menunjukkan bahwa perairan Tanjung Tiram cukup mendukung pertumbuhan lamun lamun dengan menyediakan substrat yang cukup ideal. Menurut Kiswara (1992), Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii tumbuh dengan baik pada dasar lumpur sampai pasir dan pasir campuran patahan karang, sementara Halodule uninervis dan Halophila ovalis merupakan jenis pioner yang mampu tumbuh pada substart pasir kasar sampai patahan karang.

Untuk lokasi perairan Lateri, seperti terlihat pada Gambar 3, ukuran diameter butiran sedimen cukup bervariasi yang diambil dari substrat tempat tumbuhnya Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides yang membentuk padang cukup luas.

12.96 17.40 45.65 20.54 2.74 0.70 Fraksi Sedimen Pasir Sgt Kasar Pasir Kasar Pasir Sedang Pasir Halus Pasir Sgt Halus Lumpur

(4)

408

Gambar 4. Persentase ukuran butiran dan fraksi sedimen di Lokasi Waiheru

Lokasi Lateri didominasi butiran sedimen dengan ukuran 0,250 mm sebesar 23,12 %, dan secara umum substrat sedimen didominasi pasir berukuran sedang diikuti oleh dominasi substrat pasir sangat kasar sebesar 22,90 %.

Sementara itu pada Gambar 4, terlihat ukuran diameter sedimen cukup bervariasi pada perairan pantai Waiheru.

Sedimen diambil dari substrat tempat tumbuhnya Enhalus acaroides yang membentuk padang yang cukup luas, didominasi ukuran sedimen 0,150 mm sebesar 25,70 % dan secara umum lebih didominasi substrat lumpur (39,25 %). Cukup tingginya proporsi fraksi lumpur dikarenakan lokasi Waiheru berdekatan dengan muara sungai sebagai pemasok material lumpur dan sedimen dari daratan. Dengan demikian diduga kuat susbstrat sedimen yang berada pada lokasi perairan pantai Waiheru lebih didominasi partikel sedimen hasil limpasan dari sungai. Dimana menurut Supriharyono (2007), sedimen-sedimen halus yang berasal dari erosi daratan pantai atau limpahan sungai merupakan tipe terrigenous sediment, biasanya tipe sedimen ini mengandung bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan tipe carbonate sediment yang bersumber dari hasil pengikisan dasar laut. Erftemeijer (1993) membandingkan pertumbuhan lamun Enhalus acoroides pada

terrigenous sediment yang kaya bahan organik dengan carbonate sediment yang miskin bahan organik, dimana laju pertumbuhan Enhalus acoroides lebih tinggi pada tipe terrigenous sediment (pantai berlumpur) yang berada pada pulau Gusung Talang dengan kepadatan maksimum 50 ind./m2 dan biomasa maksimum 392 gram berat kering/m2. Sementara pada tipe carbonate sediment (pantai berpasir) pada pulau Barrang Lompo maksimum kepadatan Enhalus acaroides 28 ind./m2 dengan biomasa maksimum 300 gram berat kering/m2.

Sementara itu hasil penelitian Kuriandewa (1996) menemukan biomoassa jenis lamun Enhalus acoroides pada lokasi Waiheru sebesar 655,1 gram berat kering/m2, lokasi Lateri didapatkan biomasa Enhalus acoroides sebesar 278,98 gram berat kering/m2, dan terendah lokasi Tanjung Tiram dengan biomasa 269,56 gram berat kering/m2. Fenomena ini menunjukkan bahwa lokasi Waiheru memiliki substrat sedimen yang kaya bahan organik dan mendukung pertumbuhan lamun dengan baik.

Dominansi substrat pasir berukuran sedang pada lokasi Tanjung Tiram dan Lateri sampai dengan fraksi lumpur pada lokasi Waiheru menunjukkan perairan TAD merupakan tipe perairan yang relatif tenang karena bentuknya yang semi tertutup. Menurut Nyibakken (1992), perairan pantai yang bersubstrat lunak dengan kandungan pasir dan lumpur, memiliki material organik yang kaya dan berperan meredam gelombang sehingga menjadi substrat yang ideal bagi pertumbuhan lamun.

Keragaman dan Kerapatan jenis vegetasi Lamun

Keragaman (jumlah jenis) vegetasi lamun yang ditemukan pada masing-masing stasiun berbeda-beda, dimana lokasi Tanjung Tiram ditemukan 4 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, dan Halophila ovalis, sementara untuk lokasi Lateri ditemukan 2 jenis lamun yaitu : Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii, untuk lokasi Waiheru ditemukan 1 jenis lamun Enhalus acoroides.

Kerapatan jenis lamun pada masing-masing lokasi penelitian juga bervariasi seperti yang terlihat pada Tabel 1.

No Spesies Lamun Stasiun Pengamatan Tg. Tiram Lateri Waiheru

1 Enhalus acoroides 21 11 11

2 Thalassia hemprichii 17 12 0

3 Halodule uninervis 57 0 0

(5)

409 Tabel 1 menunjukkan bahwa lokasi Tanjung Tiram memiliki keragaman dan tingkat kerapatan jensi lamun yang tertinggi, dan terendah pada lokasi Waiheru. Fenomena ini diduga berkaitan erat dengan fraksi sedimen tempat tumbuhnya vegetasi lamun. Menurut Erftemeijer et al (1994), tipe substrat atau prosesntase komposisi ukuran sedimen akan mempengaruhi konsentrasi P daun berbeda. lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dengan konsentrasi bahan organic tinggi mempunyai konsentrasi N dan P jaringan lebih tinggi daripada yang ditemukan pada substrat pasir dengan konsentrasi bahan organik rendah.

Distribusi Spasial Vegetasi Lamun Lokasi Tanjung Tiram

Terletak cukup dekat dengan dermaga ferry dan daerah pemukiman penduduk sehingga diperkirakan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan lamun, dengan luas area padang lamun sekitar 200 x 130 m2. Ditemkuan 4 jenis lamun yang membentuk vegetasi campuran (vegetasi multispesifik) yaitu :Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophila ovalis.

Gambar 5. Distribusi spasial vegetasi lamun di lokasi Tanjung Tiram

Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa jumlah tegakan vegetasi lamun tertinggi adalah Halodule uninervis, namun tidak tersebar secara luas. Kerapatan tertinggi kedua adalah Thalassia hemprichii, diikuti jenis Enhalus acoroides dengan luas penyebaran sampai pada jarak 100 m dari garis pantai. Terlihat juga adanya pembentukan zonasi, dimana pada zarak 20 meter dari garis pantai mulai ditumbuhi vegetasi lamun Thalassia hemprichii dan Halodule uninervis, kemudian kearah laut sekitar 30 – 40

meter dari garis pantai mulai ditemukan 4 vegetasi lamun yaitu : Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis, selanjuntya pada jarak 50-60 meter dari garis pantai hanya ditemukan Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Enhalus acoroides, dan pada 90 sampai di atas 100 meter hanya didominasi oleh vegetasi Enhalus acoroides namun semakin dalam kerapatan vegetasinya semakin berkurang. Luasnya sebaran Enhalus acaroides pada lokasi Tanjung Tiram karena jenis lamun ini menurut Bengen (2002) mampu tumbuh sampai kedalaman 25 m dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhannya.

Meskipun lokasi Tanjung Tiram ditumbuhi oleh 4 vegetasi lamun, namun kerapatan antar vegetasi berbeda-beda. Dimana Menurut Brouns dan Heijs (1991), padang lamun dengan vegetasi campuran umumnya terdiri dari sedikitnya 4 dari 7 jenis yaitu : Cymodocea rotundata, Cyodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii. Tetapi dalam struktur komunitasnya selalu terasosiasi spesies Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan kelimpahan tertinggi dibanding sepsies lainnya.

Lokasi Lateri

Ditemukan 2 jenis vegetasi lamun, yaitu : Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan luasan sekitar 200 x 50 m2. Rata-rata jumlah tegakkan vegetasi lamun pada lokasi lateri seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Distribusi spasial vegetasi lamun di lokasi Lateri

Gambar 6, memperlihatkan bahwa lokasi Lateri memiliki rata-rata jumlah tegakan jenis

0 50 100 150 200 250 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m 70 m 80 m 90 m 100 m R e ra ta jum la h te ga ka n je ni s La mu n

Jarak dari pantai ke Arah Laut

Thalassia hemrichii Enhalus acoroides Halodule uninervis Halophila ovalis

0 5 10 15 20 25 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m 70 m R er at a jum lah t eg ak kan J eni s La m un

Jarak dari pantai ke arah laut (m)

(6)

410 vegetasi lamun yang cukup tinggi, tertinggi oleh Thalassia hemprichii yang tumbuh secara luas dari jarak 20 m sampai lebih dari 70 m dari garis pantai ke arah laut, sehingga cukup mendominasi komunitas lamun pada lokasi Lateri. Terlihat juga adanya zonasi dimana pada jarak 20-40 meter dari garis pantai didominasi oleh vegetasi Thalssia hemprichii dan pada jarak 50-70 meter dari garis pantai dominasi Thalassia hemprichii digantikan oleh Enhalus acoroides.

Lokasi Waiheru

Terletak relaif jauh dari pemukiman penduduk jika dibandingkan dengan lokasi Tanjung Tiram dan Lateri dan disekitarnya ditumbuhi mangrove yang cukup alami dengan ditumbuhi vegetasi lamun monospesifik Enhalus acoroides, luasannya sekitar 200 x 50 m2.

Gambar 7. Distribusi spasial vegetasi lamun di lokasi Waiheru

Berdasarkan Gambar 7, terlihat rata-rata jumlah tegakkan jenis lamun pada lokasi Waiheru adalah yang terendah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Selain itu pada lokasi ini hanya ditumbuhi 1 jenis lamun yang membentuk vegetasi monospesifik dan sebarannya tidak merata namun terpencar-pencar (patches), membentuk rumpun dengan jumlah yang relatif sedikit. Terlihat juga jumlah tegakkan vegetasi Enhalus acoroides pada jarak 30-40 meter dari garis pantai relatif tinggi dan mulai menurun jumlah tegakkannya pada kedalaman 50- 60 m dari garis pantai.

Rendahnya jumlah tegakan vegetasi lamun diduga karena lokasi Waiheru dipengaruhi oleh sedimentasi dan tingkat kekeruhan perairan yang cukup tinggi karena letaknya yang dekat dengan muara sungai sebagai pemasok material lumpur sehingga secara langsung maupun tidak langsung menurunkan produktivitas primer vegetasi lamun, dimana menurut Dahuri (2003), kekeruhan dalam perairan pesisir berpotensi mengurangi penetrasi cahaya matahari pada

kolom perairan dan menganggu produktivitas primer vegetasi lamun.

Kondisi yang sama ditemukan pada perairan Selangan Kota Bontang, Kalimantan Timur yang berdekatan dengan industri LNG, dimana pertumbuhan lamun yang jarang dan didominasi Enhalus acoroides dengan kepadatan rata-rata 9,1 rumpun m-2 (Jailani, 2006). Rendahnya kepadatan vegetasi lamun pada perairan Selangan kota Bontang menurut Supriharyono (2007) karena merupakan daerah pelayaran sehingga menyebabkan tingginya kekeruhan dari partikel sedimen halus yang berasal dari erosi daratan pantai dan limpasan aliran sungai yang melayang dan mengendap pada daun lamun.

Ditemukannya vegetasi monospesifik berupa Enhalus acoroides diduga karena sepsies ini mampu secara luas mentolerir berbagai parameter lingkungan pembatas, sehingga dapat tumbuh pada perairan terbilang cukup ekstrim seperti di lokasi Waiheru. Hal yang sama dijumpai pada perairan pantai pulau Lae-lae yang didominasi vegatasi monospesifik Enhalus acoroides (La Nafie & Arifin, 2003).

Menurut Brouns & Heijs (1990) bahwa hamparan monospesifik padang lamun merupakan hamparan vegetasi fase intermediat yang bersifat sementara karena akan menuju pembentukan komunitas bervegetasi campuran yang stabil, namun dengan keberadaan jenis Enhalus acoroides yang menurut Phillips & Menez (1988) dikenal sebagai vegetasi klimaks yang bersifat stabil, maka diduga tidak akan ada lagi jenis vegetasi lainnya yang akan tumbuh pada perairan pantai Waiheru, disebabkan cukup tingginya kekeruhan akibat masukan partikel sedimen dari aliran sungai yang berada disekitarnya maupun dari hasil erosi daratan pantai.

Perbedaan jenis distribusi dari setiap jenis lamun yang ada pada ketiga lokasi penelitian diduga disebabkan perbedaan substrat, kondisi lingkungan dan kebutuhan fisiologis masing-masing spesies yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh kondisi abiotiknya seperti, kekeruhan, kedalaman, substrat dan kandungan zat hara. Enhalus acoroides merupakan spesies yang ditemukan tersebar pada 3 lokasi penelitian yaitu :Tanjung Tiram, Waiheru dan Lateri. Bahkan pada lokasi Waiheru Enhalus acaroides membentuk vegetasi monospesifik. Diduga disebabkan oleh sifatnya yang dapat bertahan pada berbagi jenis substrat terutama pada substrat lumpur dan pasir. Menurut Bengen (2001) dan Dahuri (2003), Enhalus accoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat 0 2 4 6 8 10 12 14 16 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m R er at a jum lah t eg ak an J eni s La m un

Jarak dari Pantai ke Arah laut Enhalus…

(7)

411 berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun.

Keragaman jenis vegetasi lamun pada lokasi penelitian yang didapatkan tidak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kuriandewa (1996) dengan jumlah jenis yang sama, yaitu Tanjung Tiram 4 jenis lamun (Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule sp dan Halophila ovalis), di Waiheru 1 jenis (Enhalus acoroides) dan lokasi Lateri 2 jenis (Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii).

Fenomena ini menunjukan bahwa secara umum tidak ada perubahan dalam hal keragaman vegetasi lamun pada ketiga lokasi penelitian. Artinya semua jenis lamun pada ketiga lokasi memiliki strategi hidup dan toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan perairan.

Menurut Fortes (1990), vegetasi lamun dapat beradaptasi dengan lingkungan melalui 3 strategi, yaitu ; (1) adaptasi morfologis karena bersifat fleksibel, variasi batang dan daun, sistem perakaran dan rimpang yang menyebar, (2) adaptasi fisiologis, dan (3) adaptasi tingkah laku, yang dengan variasi stenobiotik dan eurobiotik terhadap pengaruh lingkungan. Vegetasi lamun yang mampu mengembangkan strategi adaptasi ini akan mampu bertahan hidup dan berkembang dengan baik.

Meskipun demikian strategu hidup dari vegetasi lamun dapat dipertahankan, jika aktivitas sedimentasi dari pembukaan lahan dapat dikurangi, karena kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan dan penyebaran vegetasi lamun.

PENUTUP Kesimpulan

Karakteristik fisik sedimen menentukan distribusi spasial, keragaman dan kerapatan jenis vegetasi lamun di perairan Teluk Ambon Dalam, dimana sedimen dengan dominasi fraksi pasir berukuran sedang lebih memiliki keragaman dan kerapatan vegetasi lamun yang tinggi dibandingkan dengan dominasi fraksi pasir kasar dan lumpur.

Saran

Diperlukan pengelolaan dan konservasi ekosistem padang lamun di perairan Teluk Ambon Dalam, dengan mengurangi laju sedimentasi akibat aktivitas pembukaan lahan daratan yang dapat menyebabkan perubahan karaktetistik fisik sedimen dan tingkat kekeruhan

yang tinggi sebagai penyebab menurunnya produktivitas dan luasan padang lamun.

DAFTAR PUSTAKA

Azkab, M.H. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana. Vol. XXIV. (1): 1-16. Jakarta.

Adrin, M. 2006. Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Oseana. Vol.XXXI, No.4.1-7.

Bengen, D.G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPBL-IPB.Bogor. 167 pp. Brouns, J.J.W.M. and F.A.M.I. Heijs. 1991.

Seagrass ecosystem in the tropical West Pacific, in Mathieson and Nienhuis (eds). Intertidal and Litoral Ecosystem. Serie Ecosystem of the World. Elsevier Science Pub. New York. No. (24):371-390.

Bengen,D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Sinopsis, PKSPBL-IPB.Bogor. 66 pp.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut.

Aset Pembangunan Berkelanjtuan.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 pp. Erftemeijer,

P.L.A.,J.Stapel.,M.J.E.Smekens.,and W.E.Drosseart.1993.The limited effect of in phosphorus and nitrogen additions to seagrass beds in carbonate and terrigenous sediment in South Sulawesi Indonesia. J.Mar.Biol, Ecol,182: 123-140.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 198 pp. Erftemijer,P.LA., Stapel,M.J.E. Smakens and

W.E. Drosseart. 1994. The Limited Effect of im Phosphorus and Nitrogen Additions to

Seagrass Beds in Carbonate and

Terrigenous Sedimets in South Sulawesi. Indonesia. J.Exp. mar. Biol. Ecol. 182:123-140.

Fortes MD.1990. Seagrasses : A Resource Unknown in the ASEAN Region. ICLARM. International Centre for Aquatic Living Resources, Manila, Philippines, 46 pp. Hutomo, M., W.Kiswara dan M.H.Azkab. 1992.

Status dan Khasanah Pengetahuan

Ekosistem Lamun di Indonesia. Prosiding. Lokakarya Nasional Penyusunan Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir: 92-114.

Jailani. 2006. Telaah Sapsio-Temporal Komunitas Ikan padang Lamun di Perairan Pantai Kota Bontang Kalimantan Timur.

(8)

412 Disertasi. Program pasca Sarjana. Universitas

hasanuddin. Makassar. 166 pp.

Kuriandewa, T.E. 1996. Beberapa Aspek Biologi Komunitas Lamun di Teluk Ambon Bagian Dalam. Prosiding Seminar Pengelolaan Teluk Ambon.Pelaksana P3O-LIPI, Bappeda Maluku dan UNPATTI. Ambon : 44-55.

Kiswara, W. 1992. Struktur Komunitas padang lamun perairan Indonesia. Dalam Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. P3O-LIPI. Jakarta : 54-61.

La Nafie, Y.A dan Arifin. 2003. Kondisi Ekosistem padang Lamun di Pulau Lae-lae Makassar. Torani Vol.13 (4) : 209 – 216. Mudjiono. 2008.Monitoring Teluk

Ambon.Laporan Penelitian Tahun Anggaran 2008. Balai Konservasi Biota laut Ambon. Pusat Penelitian Oseanografi.-LIPI.Ambon. 81 pp.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. (edisi revisi). Djambatan Jakarta. 372 pp.

Nyibakken, J.W. 1992. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 443 pp.

Setyobudiandi, I., Sulistiono., F. Yulianda., C.Kusmana,C.,S.Hariyadi.,A.Damar., A.Sembiring dan Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan; Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB.Bogor. 312 pp.

Setyono, D.E. 1990. Distribusi dan Dominansi Lamun di Teluk Ambon. Puslitbang Oseanologi, LIPI, Ambon.

Supriharyono, 2007. Konservasi Sumberdaya Hayati di Wikayah Pesisir Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 470 pp.

Waycott,M.,K.McMahon.,J.Mellors.,A.Calladine & D.Kleine. 2004. A Guide Tropical Seagrass

of Indo-West Pacific.James Cook

University.Townsville.Australia.78 pp Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan.

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Ambon Dalam.
Gambar 3. Persentase ukuran butiran dan  fraksi sedimen di Lokasi Lateri
Gambar 5. Distribusi spasial vegetasi lamun  di lokasi Tanjung Tiram
Gambar 7. Distribusi spasial vegetasi lamun  di lokasi Waiheru

Referensi

Dokumen terkait

Aktifitas olahraga merupakan hal yang sangat penting guna menunjang prestasi olahraga adalah seberapa besar tingkat kebugaran jasmani yang dimiliki oleh seorang

IMT merupakan salah satu indeks penilaian status gizi sederhana yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.. seseorang maka semakin tinggi tingkat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH larutan elektrolit dan voltase terhadap waktu pembentukan Fe3O4, efisiensi sintesis, serta karakteristik produk,

Saluran primer adalah saluran utama dari jaringan irigasi tambak yang berfungsi untuk pemberi atau pembuang.. Saluran sekunder adalah cabang utama dari

Cekungan Sunda dikenal pada industri /igas sebagai Sunda"!sri Basin, dan eiliki source 7ock yang cukup terkenal yaitu 5orasi Banuwati, dengan batuan

Kemudian pada siklus II siswa yang tuntas secara individu sebanyak 17 orang dengan ketuntasan belajar klasikal 85 %.dari hasil analisis data tersebut

Untuk menentukan dampak marjinal pada variabel terikat (misalnya laba yang optimal) yang disebabkan karena adanya perubahan variabel X dan variabel Y, maka

Perlakuan dosis pupuk NPK 188 kg.ha-1+ZA 150 kg.ha-1+ SP36 113kg.ha-1+ KCl 75 kg.ha-1 + pupuk organik 2000 kg.ha-1 mampu meningkatkan efektivitas penggunaan pupuk dan mampu