• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO : 2004 ABDUL HARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO : 2004 ABDUL HARIS"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS

BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI

MENGGUNAKAN ISO 22157-1: 2004

ABDUL HARIS

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS

BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI

MENGGUNAKAN ISO 22157-1: 2004

ABDUL HARIS

E24103067

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

Abdul Haris. E24103067. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu sebagai Bahan Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004.

Dibawah Bimbingan Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S.

Bambu merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai konstruksi pengganti kayu. Di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 1.000 jenis bambu dimana Indonesia memiliki 142 jenis, baik yang endemik (hanya terdapat di satu kawasan) maupun yang tersebar di Asia Tenggara (Rahardi 2008). Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan, diantaranya pertumbuhannnya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, elastis dan dalam pengerjaannya tidak memerlukan keahlian khusus.

Kekuatan pada bagian bambu terbagi atas dua bagian yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Pada bagian buku diisi oleh diafragma yaitu bagian yang membatasi rongga bambu tepatnya bagian yang menyusun bagian buku. Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kekuatan tertinggi terdapat pada bagian ruas (internode) (Yap 1967).

Dalam pemakaiannya di masyarakat, bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh atau buluh (full scale). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis bambu agar dapat digunakan di lapangan. Informasi tersebut diperoleh melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada, yaitu ISO 22157-1: 2004 tentang pengujian sifat fisis dan mekanis buluh bambu secara full scale.

Pengujian sifat fisis dan mekanis dengan menggunakan standar ISO 22157-1: 2004 belum pernah dilakukan di Indonesia ataupun di dunia terhadap jenis bambu-bambu tropis khususnya yang terdapat di Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan data sifat fisis dan mekanis bambu-bambu tropis Indonesia.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga jenis bambu tropis Indonesia, yaitu bambu tali (Gigantochloa apus (Bl. ex Schult.f.) Kurtz), bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (steudel) Widjaya) dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schules f.) Backer ex Hayne).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisis dan mekanis tiga jenis bambu tropis indonesia apabila digunakan sebagai bahan konstruksi dalam bentuk buluh utuh dengan menggunakan standar internasional ISO 22157-1: 2004.

Nilai sifat fisis seperti kadar air dan kerapatan mempengaruhi nilai kekuatan bambu. Kadar air berkolerasi negatif terhadap nilai kekuatan bambu, sedangkan kerapatan berkolerasi positif terhadap nilai kekuatan bambu, hal ini diduga dipengaruhi oleh jumlah ikatan vaskular didalam bambu, dimana semakin tinggi jumlah ikatan vaskular dalam bambu maka semakin tinggi nilai kekuatan bambu. Nilai kekuatan mekanis bambu seperti MOE dan kekuatan tekan sejajar serat tertinggi adalah jenis bambu tali yaitu sebesar 234.631 kg/cm2 dan 388 kg/cm2, sedangkan untuk nilai MOR yang diperoleh pada ketiga jenis tersebut setelah dilakukan analisis ragam nilainya tidak berbeda nyata.

Bambu tali memiliki nilai MOE yang lebih tinggi sebesar 14-24% dan tekan sejajar serat sebesar 11% dibandingkan jenis bambu betung dan bambu

(4)

andong. Hal ini diduga karena bambu tali mempunyai bentuk serat yang lurus dan kuat, sehingga mampu menahan beban secara maksimal. Kekuatan buluh bambu meningkat sebesar 15% dari bagian pangkal bambu sampai bagian tengah bambu, hal ini disebabkan oleh ukuran panjang serat dan tebal dinding serabut. Kekuatan pada ruas akan lebih tinggi sebesar 6% dibandingkan kekuatan bambu untuk bagian buku. Bentuk serabut-serabut bambu yang panjang dan lurus pada bagian ruas mengakibatkan kekuatan pada ruas lebih tinggi dibandingkan pada buku. Kata kunci: buluh bambu, ISO 22157-1:2004, ruas, buku, ikatan vaskular

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu sebagai Bahan Bahan Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004 adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.       Bogor, Mei 2008    

(6)

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir. Sucahyo Sadiyo, MS Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS

NIP.131 411 834 NIP. 131 849 385

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr NIP.131 578 788

      Tanggal Lulus:

Judul : Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu sebagai Bahan Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004

Nama Mahasiswa : Abdul Haris

NIM : E24103067

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada umatnya yang setia sampai akhir jaman.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dan Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS yang telah memberikan bantuan, arahan, nasihat dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Siswoyo, MSi selaku dosen penguji dari Departemen KSHE dan Ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur.

3. Keluarga tercinta (Ibu, bapak dan kakak-kakak) yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanan baik moral maupun material kepada penulis.

4. KPAP Departemen Hasil Hutan atas segala bantuannya

5. Rekan-rekan Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu yang telah memberikan bantuannya.

6. Kelurga besar vilbader’s atas persahabatannya.

7. Mas Irvan, Mas Wawan, Mas Roni, Pak Amin, Pak Atin dan seluruh Laboran di Departemen Hasil Hutan atas bantuannya.

8. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang setimpal. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 22 Juli 1984. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bpk. Soleh dan Ibu Robiah. Jenjang pendidikan formal yang dilalui penulis adalah pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Banjarharjo I, Brebes tahun 1991-1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Banjarharjo, Brebes tahun 1997-2000 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 24 Bandung tahun 2000-2003.

Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Tahun 2004 penulis mengambil Sub-Program Studi Pengolahan Hasil Hutan dan pada tahun 2005 memilih Rekayasa Kayu sebagai bidang keahlian.

Dalam bidang akademik, penulis telah mengikuti beberapa praktek lapang, antara lain : Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan Juli-Agustus 2006 di Getas, Baturraden, Cilacap, dan di Pulau Nusakambangan, pada bulan Februari – April 2006, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Kota Jati Furindo, Jepara, Jawa Tengah.

Penulis juga pernah aktif dalam organisasi kampus baik internal maupun eksternal, organisasi internal kampus yang pernah diikuti adalah Himasiltan, sedangkan organisasi eksternal adalah Perkumpulan Mahasiswa dan Pelajar Brebes.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul ” Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu sebagai Bahan Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004” di bawah bimbingan Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ... 3

2.2 Sifat Fisis Bambu ... 4

2.3 Sifat Mekanis Bambu ... 5

2.4 Sifat Jenis Bambu yang di Uji ... 6

2.5 Bambu Sebagai Bahan Konstruksi ... 8

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 10

3.3 Metode Penelitian ... 10

3.3.1 Persiapan Contoh Uji. ... 10

3.3.2 Pengujian Sifat Fisis Bambu. ... 12

3.3.3 Pengujian Sifat Mekanis Bambu. ... 13

3.3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi ISO ... 19

4.2 Sifat Fisis Bambu ... 20

4.3 Sifat Mekanis Bambu ... 28

4.4 Bambu Sebagai Bahan Konstruksi ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 38 5.2 Saran ... 38 DAFTAR PUSTAKA ... 39 LAMPIRAN ... 43          

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Tabel Bagan Analisis Ragam (ANOVA) ... 17 2. Nilai Rata-rata Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 20 3. Perbedaan Nilai Rata-rata Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu ... 21 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 22 5. Hubungan Antara Kekuatan Mekanis Terhadap Kadar Air ... 22 6. Perbedaan Nilai Kekuatan Bambu pada Beberapa Kondisi Kadar Air ... 23 7. Nilai Rata-rata Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 24 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 24 9. Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Menurut

Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian Terhadap

Kerapatan Bambu ... 25 10. Perbedaan Nilai Rata-rata Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu ... 28 11. Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Pada Tiga Jenis Bambu Menurut

Posisi Pada Buluh Bambu ... 28 12. Hasil Analisis Sidik Ragam Kekakuan Lentur Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu ... 29 13. Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Terhadap

Nilai Kekakuan Lentur Menurut Posisi Pada Buluh Bambu ... 29 14. Nilai Rata-rata MOR (Modulus of Rufture) Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu ... 31 15. Hasil Analisis Sidik Ragam MOR Pada Tiga Jenis Bambu Menurut

Posisi Pada Buluh bambu ... 32 16. Perbedaan Nilai MOR Hasil Penelitian Terhadap Tegangan Ijin ... 32 17. Nilai Rata-rata Tekan Sejajar Serat Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 34 18. Hasil Analisis Sidik Ragam Tekan Sejajar Serat Pada Tiga Jenis

Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian ... 34 19. Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Menurut

Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian Terhadap

Nilai Tekan Sejajar Serat ... 35 20. Perbedaan Nilai Penelitian Terhadap Nilai Tegangan Ijin Bambu ... 37

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pemotongan Contoh Uji Menurut ISO 2004 ... 11

2. Pengukuran Diameter Bambu Menurut ISO 2004 ... 12

3. Contoh Uji Kadar air dan Kerapatan Bambu ... 12

4. Contoh uji MOE dan MOR Menurut ISO 2004 ... 14

5. Contoh Uji Tekan Sejajar Serat Menurut ISO 2004 ... 16

6. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Jenis Bambu ... 26

7. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Posisi pada Buluh ... 26

8. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Perlakuan Pengujian ... 27

9. Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Bambu Menurut Jenis Bambu ... 30

10. Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Bambu Menurut Posisi pada Buluh ... 31

11. Kerusakan Pengujian MOR Pada Bambu ... 33

12. Nilai Rata-rata Tekan Sejajar Serat Bambu ... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data pengujian Nilai Kadar Air dan Kerapatan Tiga Jenis Bambu ... 44

2. Data Pengujian Nilai MOE dan MOR Tiga Jenis Bambu ... 46

3. Data Pengujian Nilai Tekan Sejajar Serat Tiga Jenis Bambu ... 48

(13)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada umumnya masyarakat hanya mengenal kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, sementara ketersediaan kayu di alam semakin sedikit. Untuk itu perlu dicari material/bahan lain yang dapat menggantikan kayu yaitu bahan yang memiliki kekuatan menahan beban yang sama atau bahkan lebih dari kekuatan kayu sehingga nantinya diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan yang lebih parah lagi.

Bambu merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan konstruksi pengganti kayu. Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan diantaranya pertumbuhannya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, elastis dan dalam pengerjaannya tidak memerlukan keahlian khusus. Penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi sebenarnya sudah dikenal sejak dulu oleh masyarakat Indonesia khususnya di daerah pedesaan, tetapi penggunaannya hanya terbatas pada konstruksi ringan saja. Padahal menurut penelitian yang telah dilakukan bambu memiliki kekuatan tarik yang tinggi yaitu sebesar 1.000-4.000 kg/cm2 atau setara dengan besi baja kualitas sedang (Yap 1967).

Kekuatan pada bagian bambu terbagi atas dua bagian yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Pada bagian buku diisi oleh diafragma yaitu bagian yang membatasi rongga bambu tepatnya bagian yang menyusun bagian buku. Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kekuatan tertinggi terdapat pada bagian ruas (internode) (Yap 1967).

Dalam pemakaiannya di masyarakat bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh atau buluh (full scale), oleh karena itu diperlukan suatu informasi untuk dapat mengetahui kekuatan fisis dan mekanisnya apabila digunakan di lapangan dengan pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu ISO 22157-1: 2004 tentang pengujian buluh bambu secara full scale sehingga nantinya bisa memberikan informasi pada masyarakat dalam pembuatan konstruksi dari bambu.

(14)

Pengujian sifat fisis dan mekanis dengan menggunakan standar ISO 22157-1: 2004 belum pernah dilakukan di Indonesia ataupun di dunia terhadap jenis bambu-bambu tropis khususnya yang terdapat di Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan data sifat fisis dan mekanis bambu-bambu tropis Indonesia.

Dalam penelitian yang dilakukan digunakan tiga jenis bambu yaitu bambu tali (Gigantochloa apus (Bl. ex Schult.f.) Kurtz) bambu andong (Gigantochloa

pseudoarundinacea (steudel) Widjaya) dan bambu betung (Dendrocalamus asper

(Schules f.) Backer ex Hayne) yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh masyarakat Indonesia.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sifat fisis dan mekanis bambu full scale sebagai bahan konstruksi dengan menggunakan ISO 22157-1: 2004.

2. Mengetahui jenis bambu yang memiliki kekuatan yang tinggi dalam menahan beban berdasarkan standar ISO 22157-1: 2004..

3. Mengetahui perbedaan kekuatan bambu pada bagian pangkal dan tengah dengan contoh uji full scale berdasarkan ISO 22157-1: 2004. 1.3 Manfaat Penelitian

1. Sebagai upaya pemanfaatan bambu untuk bahan konstruksi, sehingga dapat menggantikan penggunaan kayu.

2. Memberikan informasi sifat fisis dan mekanis tiga jenis bambu Indonesia sesuai standar internasional.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bambu

Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol. Bambu termasuk suku gramineae yang terbagi atas rimpang, pucuk, buluh, percabangan, daun dan perbungaan (Heyne 1987).

Batang bambu berbentuk tabung (silinder) dengan diameter sekitar 2-30 cm dan panjangnya mencapai 3-35 m. Batang ini umumnya berongga dan terbagi atas ruas (internode) yang dibatasi oleh buku (node), dan rongga antar bambu dipisahkan oleh diafragma. Panjang, ketebalan dinding dan garis tengah dari bambu tergantung dari umur bambu itu (Anonymus 1977a dalam Ross 1993).

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan yang tumbuh cepat. Rebung yang akan muncul akan menyelesaikan pertumbuhan vertikalnya dalam waktu setahun, sedang tahun-tahun berikutnya merupakan proses penuaan dan pada akhir tahun ketiga batang bambu tersebut sudah dapat ditebang. Untuk barang kerajinan anyaman bahkan banyak buluh yang ditebang pada akhir tahun kedua. Oleh karena itu pembudidayaan bambu sebenarnya merupakan usaha yang cepat menghasilkan, karena dalam waktu 4 tahun sudah dapat melakukan pemanenan yang pertama (Widjaja et al. 1994).

Untuk mengenal bambu, perbungaan merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenisnya. Tetapi karena bambu jarang berbunga kemungkinan lain untuk mengidentifikasi bambu adalah dengan melihat ciri morfologinya seperti rebung, pelepah buluh dan sistem percabangannya.

India dan Republik Rakyat Cina (RRC) merupakan negara yang memiliki potensi bambu terbesar didunia, India memiliki luas hutan bambu seluas 9,5 juta ha dengan hasil panen bambu sebesar 9,5 juta ton per tahun dan RRC seluas 3,5 juta ha dengan hasil panen bambu sebesar 7 juta ton per tahun (Varmah dan Pant 1981, Hsiung 1986).

Menurut Widjaja (1990) di Indonesia ada sekitar 70 jenis bambu yang tersebar luas baik berupa bambu budidaya maupun berasal dari tanaman liar,

(16)

sedangkan yang telah tercatat kegunaannya ada 32 jenis diantaranya 10 jenis adalah bambu asing (Alrasyid 1990).

Di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 1.000 jenis bambu. Indonesia memiliki 142 jenis, baik yang endemik (hanya terdapat di satu kawasan) maupun yang tersebar di Asia Tenggara. Selain itu ada 30 jenis bambu introduksi dari luar negeri. Dari 142 jenis yang selama ini dikenal, hanya belasan jenis yang sudah dibudidayakan meskipun budidaya bambu di Indonesia masih subsisten. Baik rebung maupun bambu yang selama ini diperdagangkan, merupakan tumbuhan liar dari pekarangan maupun kebun rakyat. Sebagian malah merupakan hasil penjarahan dari hutan (Rahardi 2008).

Menurut McClure (1953), sifat-sifat yang menentukan kegunaan terbaik bambu adalah:

a. Rata-rata dimensi batang b. Keruncingan bambu c. Kelurusan batang

d. Ukuran dan distribusi cabang e. Panjang ruas batang

f. Bentuk dan proporsi ruas g. Ketebalan dinding batang

h. Proporsi relatif jaringan yang berbeda i. Kerapatan dan kekuatan bambu

j. Kemudahan diserang jamur dan serangga 2.2 Sifat Fisis Bambu

Sebagai bahan material alami, bambu mempunyai bermacam-macam sifat yang tergantung pada jenis, lingkungan pertumbuhan dan asalnya. Hal tersebut menyebabkan bambu memiliki perbedaan mengenai sifat-sifat yang dimilikinya, baik itu sifat-sifat fisis maupun mekanisnya (Syafii 1984).

Bambu sangat mudah menyerap air dan melepaskannya pada saat mengering. Penyerapan bambu terhadap air mencapai 25% pada 24 jam pertama (Fang dan Mehta 1978 dalam Ross 1993).

Kadar air bambu bervariasi dalam suatu batang dipengaruhi oleh umur, musim pemanenan bambu dan jenis bambu. Dalam keadaan segar perbedaan yang

(17)

lebih besar terjadi dalam satu batang yang berhubungan dengan umur, musim dan jenis. Buluh yang masih muda, berumur satu tahun memiliki kadar air yang relatif tinggi sekitar 120-130% baik pada bagian pangkal maupun ujung. Bagian ruas menunjukkan nilai kandungan air yang lebih rendah dibandingkan bagian antar ruas. Perbedaannya dapat mencapai kadar air 25% dan lebih tinggi pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung. Pada batang yang berumur 3-4 tahun bagian pangkal memilki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan bagian ujung. Kandungan air bambu lebih tinggi pada bagian dalam dibandingkan bagian luar pada arah melintang batang (Liese 1986).

Kadar air bambu ditentukan oleh berat air yang terkandung dalam batang. Kadar air batang bambu yang segar berkisar 50-99% dan pada bambu muda 80-150% sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaya 1995).

Semua nilai sifat-sifat kekuatan bambu meningkat seiring dengan menurunnya kadar air dan berkolerasi positif dengan berat jenis. MOE bambu berhubungan secara langsung dengan jumlah serat, oleh karena itu pada batang nilai parameter ini menurun dari sisi luar menuju bagian dalam. Kisaran normal untuk batang bambu kering udara adalah 17.000-20.000 N/mm2 dan untuk batang segar 9.000-10.100 N/mm2. Nilai rata-rata MOR adalah 0,14 x kerapatan (dalam

kg/m3) untuk kondisi kering udara (KA 12%) dan 0,11 x kerapatan untuk bambu basah (Dransfield dan Widjaja 1995).

2.3 Sifat Mekanis Bambu

Sifat mekanis adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan bahan, merupakan ukuran kemampuan bahan untuk menahan beban yang bekerja padanya dan cenderung untuk merubah bentuk dan ukurannya. Sifat mekanis meliputi keteguhan lentur statis, keteguhan tarik, keteguhan geser, sifat kekerasan dan lain-lain (Wangaard 1950 dalam Syafii 1984).

Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh jenis, umur, tempat tumbuh dan posisi dalam batang. Keteguhan lentur, tekan dan tarik dari dinding bambu bagian luar lebih besar dari pada bagian dalam (Sharma dan Mehra 1970).

Keteguhan lentur statis merupakan ukuran kemampuan suatu benda untuk menahan beban tertentu, tegak lurus memanjang serat di tengah balok yang

(18)

disangga pada kedua ujungnya. Dari pengujian keteguhan ini akan diperoleh 2 nilai kekuatan yaitu, tegangan pada batas proporsi dan tegangan patah (Mardikanto 1979 dalam Lestari 1994)

Keteguhan tekan batang bambu dipengaruhi oleh presentase sel-sel skelenkrim, kadar air dan posisi dalam batang. Sedangkan keteguhan lenturnya dipengaruhi oleh dalamnya batang dan ada tidaknya buku (Janssen 1981).

2.4 Sifat Jenis Bambu yang Diuji

1. Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (steudel) Widjaya)

Masyarakat Indonesia mengenal bambu ini dengan nama daerah pring surat, pring gombong (Jawa), awi andong, awi gombong, tiying jajang surat (Bali) dan buluh betuang danto (Minangkabau). Asal bambu ini belum jelas, tetapi tersebar dan dibudidayakan di Sumatera, Jawa dan Bali (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu ini dapat dikenali melalui kulit buluh berwarna hijau bergaris-garis kuning menonjol, garis tersebut mulai dari batang bagian bawah sampai ujung. Tinggi batangnya dapat mencapai 16 m dengan diameter bawah 15 cm, cabang-cabang dimulai pada batang bagian tengah sampai ujung. Bambu andong biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan bangunan, kerajinan tangan, furniture, sumpit (chopstick), tusuk gigi, tusuk sate, flower stick, kertas, pulp dan arang bambu (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu andong memiliki nilai MOR sebesar 1.032-1.835 kg/cm2, MOE sebesar 96.616-121.395 kg/cm2 dan tekan sejajar serat sebesar 562-631 kg/cm2 (Idris et al. 1980).

2. Bambu Tali (Gigantochloa apus (Bl. ex. Schult. F.) Kurz)

Bambu yang memiliki nama daerah pring tali, pring apus, dan awi tali ini diperkirakan berasal dari Burma dan Thailand bagian selatan telah dibudidayakan diseluruh kepulauan Indonesia. Bambu tali memiliki ciri-ciri diantaranya rumpun rapat, pertumbuhan simpodial, buluhnya tegak mencapai tinggi 8-30 cm, dengan diameter 4-13 cm, tebal 1-1,5 cm, warna hijau agak abu-abu, terang atau kekuning-kuningan, bagian bawah permukaan daun agak berbulu, permukaan mengkilat, yang muda berlapis lilin berwarna putih, tunas melampai penuh bulu coklat kehitaman. Dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan perkakas rumah

(19)

tangga, atap, dinding rumah, anyaman dan alat musik tradisional (Dransfield dan Widjaja 1995).

Idris et al. (1980) menyatakan bahwa bambu tali memiliki nilai MOR

sebesar 502- 1.240 kg/cm2, MOE 57.515-121.334 kg/cm2, dan keteguhan tekan 505-521 kg/cm2. Sifat mekanik bambu tali tanpa buku lebih besar dibandingkan

bambu tali dengan bukunya.

3. Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schules f.) Backer ex Hayne)

Bambu betung termasuk dalam famili Graminae sub famili Bambusoidae. Bambu ini memiliki nama-nama daerah diantaranya bambu betung coklat (Bengkulu), betung hijau (Lampung) dan betung hitam (Banyuwangi).

Bambu betung memiliki rumpun yang agak sedikit rapat. Tinggi buluhnya sampai 20 m dan bergaris tengah sampai 20 cm. Buku-bukunya sering mempunyai akar-akar pendek yang bergerombol. Panjang ruas 40-60 cm. Dinding buluhnya cukup tebal yaitu 1-1,5 cm. Cabang bambu yang bercabang lagi hanya terdapat di buku-buku bagian atas. Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang yang lain dan sering dominan. Pelepah buluh mudah jatuh, panjangnya 20-55 cm, dengan miang yang berwarna coklat muda keputih-putihan. Daun pelepah buluh sempit dan melipat ke bawah (Sastrapraja et al. 1980).

Bambu betung biasanya digunakan untuk pembangunan rumah dan jembatan. Buluh antar ruas (internode) bagian atas lebih panjang dari bagian bawah. Buluh dari bambu betung dan jenis lain digunakan juga sebagai pot di halaman. Buluh yang terbuka pada satu sisi dapat di isi dengan sayuran, nasi, lauk dan air lalu ditutup dan diletakkan di perapian. Tunas atau rebungnya digunakan juga sebagai sayur. Dendrocalamus asper di Thailand dikenal sebagai bambu manis karena tunasnya tidak pahit (Dransfield dan Widjaya 1995).

Bambu betung memiliki nilai MOR sebesar 1.236 kg/cm2 untuk bagian buku dan bagian tanpa buku sebesar 2.065 kg/cm2, MOE pada buku 103 kg/cm2 dan tanpa buku 216 kg/cm2, dan keteguhan tekan pada buku dan tanpa buku

adalah sebesar 548 kg/cm2 dan 587 kg/cm2. Sifat mekanis bambu tanpa buku lebih besar dibandingkan bambu dengan bukunya (Idris et al. 1980).

(20)

2.5 Bambu sebagai bahan konstruksi

Dari hasil penelitian diketahui bahwa biaya untuk bahan bangunan merupakan 60-70% dari biaya konstruksi. Oleh karena itu diperlukan penelitian-penelitian bahan bangunan yang dimaksudkan untuk mengefisiensikan penggunaaan bahan bangunan sangat diperlukan. Bambu merupakan salah satu bahan bangunan yang tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya di daerah pedesaan. Hal ini disebabakan karena bambu mudah diperoleh, harganya relatif murah dan secara teknis sangat relatif mudah dikerjakan oleh tenaga kurang terampil. Selain itu juga bambu memiliki kekuatan tarik yang cukup besar dan cukup elastis, sehingga cocok digunakan sebagai tulangan alternatif untuk daerah pendalaman bila tulangan besi tidak tersedia atau harganya sangat mahal.

Penggunaan bambu sangat baik sebagai bahan konstruksi/ bahan bangunan apabila memiliki diameter buluh yang besar, berdinding tebal dan beruas pendek (Dransfield dan Widjaya 1995).

Secara garis besar skema penggunaan bambu dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Berdasar bentuk bambu ketika digunakan terdiri dari: bambu bulat/bambu utuh, bambu belah, gabungan bambu bulat dan belah, bambu serat.

b. Berdasar penggunaan akhir terdiri atas: konstruksi, non konstruksi yang terbagi atas furnitur dan non furnitur (Yudodibroto 1985).

Bambu sebagai bahan bangunan dapat berbentuk buluh utuh, buluh belahan, bilah dan partikel. Bahan ini dapat digunakan untuk komponen kolom, kuda-kuda, kaso, reng, rangka, jendela, pintu dan laminasi bambu. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai bahan bangunan adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinanceae), bambu ater (Gigantochloa atter), bambu duri (Bambusa bambos dan Bambusa

blumeana), bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae) dan bambu tali

(Gigantochloa apus) (Surjokusumo 1997).

Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan banyak dipergunakan oleh masyarakat pedesaan maupun perkotaan dengan jenis bambu yang biasa

(21)

dipergunakan di daerah Jawa adalah bambu hitam, bambu tali, bambu petung dan bambu duri (Yap 1967).

Bambu pada bangunan rumah dapat digunakan pada daerah atau tanah kondisi basah dan kering. Pada daerah tanah basah bambu dapat dimanfaatkan sebagai pondasi ceroak. Pada bangunan sederhana bambu dapat digunakan untuk lantai, tiang, dinding, atap, maupun langit-langit. Bambu sebagai bahan bangunan dapat berbentuk bambu bulat untuk bagian struktur seperti kolom, balok dan lantai maupun dalam bentuk anyaman untuk bahan dinding, langit-langit, daun pintu dan jendela. Cara penyambungan bambu dapat dilakukan dengan sistem pasak atau diikat menggunakan tali atau ijuk.

Penggunaan bambu sebagai bahan dasar untuk tujuan penggunaan konstruksi sangat terkait erat dengan sifat-sifat mekanisnya. Berdasar hasil pengujian untuk beberapa macam contoh uji, sifat-sifat dasar bambu menunjukkan bahwa adanya kecenderungan peningkatan nilai hasil pengujian dari bagian pangkal ke bagian ujungnya (Nuriyatin 2000).

(22)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2007 sampai Januari 2008. Untuk pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu dan pengujian mekanis dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1.Bahan

Dalam penelitian ini digunakan bahan berupa bambu dengan jenis bambu tali (Gigantochloa apus (Bl. ex Schult.f.) Kurtz) bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (steudel) Widjaya) dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schules f.) Backer ex Hayne). Bambu yang digunakan dalam penelitian ini masing-masing berumur sekitar 3 tahun. Bambu betung berasal dari arboretum IPB Kampus Darmaga Bogor, sedangkan bambu andong dan bambu tali diperoleh dari daerah Ciampea Bogor.

3.2.2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya:

Gergaji tangan sebagai alat untuk memotong bambu, oven sebagai alat untuk mengoven contoh uji kadar air, kaliper sebagai alat untuk mengukur diameter bambu, dan mesin Universal Testing Machine (UTM) merk BALDWIN sebagai alat untuk pengujian sifat mekanis bambu.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1.Persiapan Contoh Uji

Bambu dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian pangkal dan bagian tengah. Pembagian batang bambu dapat dilihat pada Gambar 1. Bentuk pemotongan didasarkan pada standar ISO 22157-1: 2004

(23)

9m

Pangkal Tengah

4,3 m 9 m

3,66 m 8,9 m

Uji tekan (1D) Uji tekan (1D)

Uji lentur (30D) Uji lentur (30D)

Uji tekan (1D) Uji tekan (1D)

0,21 m 4,89 m

0 m 4,30 m

Gambar 1. Pemotongan contoh uji (ISO 2004) Keterangan:

(24)

3 Setel peng 3.3.2.Pengu Pemb 2004 bentu kerap pada lah dipotong gukuran dime Gambar ujian Sifat F buatan cont 4 yaitu deng uk masing-m patan. Conto a Gambar 3. Gambar 3. g bambu lalu eter bambu d 2. Pengukur Fisis

toh uji sifat an ukuran ( masing bam oh uji untuk 2,5 Contoh Uji u diukur diam dapat dilihat ran diameter fisis didasa 2,5x2,5x1) c mbu. Pengu k pengujian 5 cm 2,5 Kadar Air d meternya. Lo t pada Gamb bambu (ISO arkan pada cm, dimensi ujian ini me n KA dan k 1 cm 5 cm dan Kerapata

okasi dan tat bar 2. O 2004) standar ISO i dimodifika eliputi kada kerapatan da m an Bambu ta cara O 22157-1: asi menurut ar air dan apat dilihat

(25)

a. Kadar Air

Kadar air merupakan berat air yang terdapat didalam kayu yang dinyatakan dalam persen berat kering tanur (Haygreen dan Bowyer 1982). Untuk pengujian kadar air dilakukan dengan cara menimbang berat awal bambu (BKU) lalu dimasukkan kedalam oven dengan suhu 103±2oC

selama 24 jam lalu dihitung beratnya (BKT). Besarnya kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

KA = x100% BKT BKT BKU − dimana: KA = kadar air (%)

BKU = berat awal/ berat kering udara (g) BKT = berat akhir/ berat kering tanur (g) b. Kerapatan

Kerapatan bambu merupakan masa bambu (berat bambu) dibanding dengan volume bambu. Nilai Kerapatan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: ρ = VKU BKU dimana: ρ = kerapatan (g/cm3)

BKU = berat awal/ berat kering udara (g) VKU = volume kering udara (cm3)

3.3.3.Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian mekanis yang dilakukan meliputi keteguhan lentur statis yang terdiri dari Modulus of Elasticity (MOE) atau kekakuan lentur dan

Modulus of Rupture (MOR) atau kekuatan lentur serta kekuatan tekan

sejajar serat pada bambu. Panjang contoh uji yang dibuat untuk pengujian MOE dan MOR setidaknya 30 kali diameter luar bambu sesuai dengan

(26)

stand Bent a K m k k b ru d M P L Y d d dar pengujia tuk pengujian Gambar a. Kekakuan Kekakuan L menahan len keteguhan p kekakuan ka besaran MOE umus: MO dimana : MOE = P = L = Y = (c d2 = d1 = an bambu u nnya dapat d r 4. Contoh u n Lentur Lentur mer ntur tanpa pada batas p ayu. Besarn E (Modulus OE = ( 3 4 2 d Y P π Modulus el Besarnya pe Panjang ben Besarnya p cm) = Diameter lu = Diameter d utuh (full sc dilihat pada

uji MOE dan

rupakan uk terjadi peru proporsi dig nya nilai k of Elasticity ) 4 1 4 2 3 d PL − astisitas (kg/ erubahan beb ntangan cont erubahan de uar bambu ( dalam bambu ale) menuru Gambar 4. n MOR (ISO kuran kema ubahan bent gunakan un kekakuan in y) atau mod /cm2) ban (kg) toh uji (cm) efleksi akiba cm) u (cm) ut ISO 2215 O 2004) ampuan sua tuk yang te ntuk menent ni dinyataka dulus elastisi at perubahan 57-1: 2004 atu bahan etap. Nilai tukan sifat an dengan itas dengan n beban P

(27)

b. Tegangan pada batas patah

Tegangan pada batas patah merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Besarnya nilai tegangan patah dinyatakan dengan besaran MOR (Modulus of Rupture) atau modulus patah dengan rumus:

MOR = ) ( 8 4 1 4 2 2 , d d Ld P − π dimana :

MOR = Modulus patah (kg/cm2)

P’ = Beban maksimum pada saat contoh uji mengalami kerusakan (kg)

L = Panjang bentangan contoh uji (cm) d2 = Diameter luar bambu (cm)

d1 = Diameter dalam bambu (cm) c. Kekuatan tekan

Pengujian mekanik yang lainnya adalah pengujian kekuatan tekan. Pengujian tekan dilakukan yaitu pada bagian ruas (internode) dan pada bagian buku (nodes). Pengujian tekan dilakukan dengan cara memberikan beban secara perlahan-lahan pada bambu dengan kedudukan vertikal sampai contoh uji mengalami kerusakan.

tk = A Pmax

A = ¼ π (d22-d12) dimana:

tk = Keteguhan tekan maksimum (kg/cm2) Pmaks = Beban maksimum (kg)

A = Luas penampang (cm2) d2 = Diameter luar bambu (cm) d1 = Diameter dalam bambu (cm)

(28)

3 B 3.3.4.Ranca Ranc ulang antar (a2) pang buku Mod Yijk= i = 1 j = 1 k = 1 l = 1 Bentuk pengu Gambar 5 angan Perco cangan perc gan sebanya ra lain: Fakt dan bambu gkal (b1) dan u (c1) dan ru del rancangan = µ + Ai + B , 2, 3 , 2 1, 2 1, 2, 3, 4, 5 ujian dapat d 5. Contoh uj obaan dan A cobaan meng ak 5 kali. F tor jenis bam betung (a3 n bagian teng uas (c2). n percobaan Bj + Ck+ AB dilihat pada ji tekan sejaj Analisis Dat ggunakan ra Faktor yang mbu (A), yai ). Faktor po gah (b2) sert

faktorial ya Bij + ACik +

Gambar 5.

jar serat (ISO ta ancangan fa g digunakan itu bambu ta osisi pada bu ta Faktor jen ang digunaka + BCjk + (AB O 2004) aktorial 3x2 n dalam pen

ali (a1) bam uluh (B), ya nis perlakuan an adalah: BC) ijk + Є x2 dengan nelitian ini mbu andong aitu bagian n (C), yaitu ijk

(29)

dimana:

Yijk = Nilai respon yang diukur µ = Nilai rata-rata umum Ai = Pengaruh faktor A taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor B taraf ke-j Ck = Pengaruh faktor C taraf ke-k

ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ACik = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor C taraf ke-k BCjk = Pengaruh interaksi faktor B taraf ke-j dan faktor C taraf ke-k (ABC) ijk = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

serta faktor C taraf ke-k Є ijk = Kesalahan percobaan

Data hasil penelitian dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan uji wilayah berganda Duncan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Bagan Analisis Ragam (ANOVA) Sumber

Keragaman db JK KT

F

Hit Tabel Perlakuan (abc-1) Jabc

A a-1 Ay Ay/a-1

B b-1 By By/b-1

C c-1 Cy Cy/c-1

AB (a-1) (b-1) Aby ABy/(a-1) (b-1)

AC (a-1) (c-1) Acy ACy/(a-1) (c-1) BC (b-1) (c-1) Bcy BCy/(b-1) (c-1) ABC (a-1) (b-1) (c-1) ABCy ABCy/(a-1) (b-1) (c-1)

Galat abc (n-1) Ey Ey/abc (n-1)

Total abcn-1 Y²

Uji F merupakan cara untuk menguji hubungan atau perbedaan antara 1-perlakuan, dimana Fhitung merupakan hasil bagi kuadrat tengah masing-masing perlakuan dengan kuadrat tengah galat percobaan, sedangkan Ftabel diperoleh dari tabel F pada berbagai tingkat kepercayaan.

(30)

a. Fhitung < Ftabel, maka berarti 1-perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata pada suatu tingkat kepercayaan.

b. Fhitung > Ftabel, maka berarti 1-perlakuan memberikan pengaruh nyata pada suatu tingkat kepercayaan.

(31)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi ISO

ISO (International Organization for Standardization (Organisation

internationale de normalisation)) adalah badan penetap standar internasional yang

terdiri dari wakil-wakil dari badan standar nasional setiap negara. Pada awalnya, singkatan dari nama lembaga tersebut adalah IOS, bukan ISO. Tetapi sekarang lebih sering memakai singkatan ISO, karena dalam bahasa Yunani isos berarti sama (equal). Penggunaan ini dapat dilihat pada kata isometrik atau isonomi. Didirikan pada 23 Februari 1947 dan berpusat di Geneva, Switzerland, ISO menetapkan standar-standar industrial dan komersial dunia. ISO, yang merupakan lembaga nirlaba internasional, pada awalnya dibentuk untuk membuat dan memperkenalkan standardisasi internasional untuk apa saja. Meski ISO adalah organisasi nonpemerintah, kemampuannya untuk menetapkan standar yang sering menjadi hukum melalui persetujuan atau standar nasional membuatnya lebih berpengaruh daripada kebanyakan organisasi non-pemerintah lainnya, dan dalam prakteknya ISO menjadi konsorsium dengan hubungan yang kuat dengan pihak-pihak pemerintah. Peserta ISO termasuk satu badan standar nasional dari setiap negara dan perusahaan-perusahaan besar (Anonim 2008).

ISO 22157-1:2004 merupakan salah satu hasil produk dari ISO yang mengkaji tentang pengujian sifat fisis dan sifat mekanis buluh bambu, yang selama ini standar yang digunakan untuk pengujian bambu di Indonesia dilakukan dengan menggunakan standar kayu seperti ASTM D 198 tentang pengujian kayu struktural atau PKKI NI-5: 1961 tentang pengujian kayu untuk konstruksi, sementara bambu dan kayu memiliki sifat yang berbeda baik dalam hal sifat anatomi dan kimianya. Dalam ISO 22157-1:2004 dijelaskan pengujian buluh bambu baik sifat fisis maupun sifat mekanisnya, sifat fisis yang diuji meliputi: kadar air (KA), kerapatan, dan penyusutan sedangkan sifat mekanis yang diuji meliputi MOE, MOR, kekuatan tekan, kekuatan geser dan kekuatan tarik. Tapi dalam penelitian yang dilakukan hanya menguji untuk sifat fisis yaitu kadar air (KA) dan kerapatan, sedangkan sifat mekanis yang diuji meliputi MOE, MOR dan kekuatan tekan sejajar serat.

(32)

4.2. Sifat Fisis Bambu

4.2.1. Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat didalam bambu yang dinyatakan dalam persen berat kering tanurnya. Bambu memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh umur, musim pada waktu penebangan dan jenis bambu itu sendiri (Kumar et al. 1994). Kandungan air dalam bambu dipengaruhi oleh isi sel parenkim dalam bambu dimana pada waktu musim hujan kadar air bambu akan lebih tinggi dibandingkan pada waktu musim kemarau.

Besarnya nilai kadar air tiga jenis bambu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan nilai rata-rata kadar air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai Rata-rata Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

No Jenis Bambu

Kadar Air (%)

Pangkal Tengah

Rata-rata Ruas Buku Ruas Buku

1 Andong 27,41 28,22 26,15 26,52 27,07 2 Betung 26,87 29,65 24,41 30,05 27,74 3 Tali 25,53 26,68 23,89 25,79 25,47

Rata-rata 26,60 28,18 24,81 27,45 26,76

Berdasarkan pada Tabel 2 nilai rata-rata kadar air bambu secara keseluruhan adalah sebesar 26,76% dengan nilai kadar air paling tinggi adalah jenis bambu betung bagian tengah dengan perlakuan buku yaitu sebesar 30,05% dan kadar air paling rendah adalah jenis bambu tali bagian tengah dengan perlakuan ruas sebesar 23,89%.

Nilai kadar air yang diperoleh pada pengujian ini cukup tinggi (dalam keadaan basah), hal ini disebabkan pengaruh musim pada waktu pengambilan bambu yaitu dilakukan pada musim hujan, sehingga kadar air pada bambu akan lebih besar dibandingkan dengan pengambilan bambu pada musim kemarau. Selain itu pengujian kadar air bambu dilakukan dengan menggunakan bambu segar atau langsung diambil dari rumpunnya, sehingga untuk menurunkan kadar

(33)

air bambu diperlukan upaya pengeringan lebih lanjut baik pengeringan alami menggunakan sinar matahari maupun pengeringan dengan menggunakan oven. Nilai kadar air yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin (2000). Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimia antar jenis yang mempengaruhi besarnya volume udara dalam batang bambu (Sattar 1993). Selain itu tempat tumbuh dan umur bambu yang berbeda mempengaruhi nilai kadar air bambu. Perbedaan nilai kadar air bambu hasil penelitian dengan Nuriyatin (2000) disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Perbedaan Nilai Rata-rata Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu

Jenis Bambu

Rata-rata Kadar Air (%)

Hasil Penelitian (2008) Nuriyatin (2000)

Andong 27,07 13,40

Betung 27,74 12,68

Tali 25,47 13,07

Untuk mengetahui pengaruh jenis bambu (faktor A), posisi pada buluh (faktor B) dan perlakuan pengujian (faktor C) maka dilakukan analisis sidik ragam. Karena data kadar air dinyatakan dalam bentuk persen, maka agar data menyebar secara normal maka dalam pengolahan statistik data tersebut ditransformasikan kedalam bentuk arc sin √ %. Hasil analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar air menurut jenis bambu (faktor A), posisi pada buluh (faktor B), perlakuan pengujian (faktor C) dan interaksinya (A*B, A*C, B*C, dan A*B*C) tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin (2000) dimana kadar air pada ketiga jenis bambu tersebut tidak ada perbedaan yang cukup signifikan.

(34)

Tabel 4 Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

Sumber Keragaman DB JK KT F hit P F tabel 0.05 0.01 A 2 51,98 25,99 2,00tn 0,15 3,183 5,057 B 1 41,47 41,47 3,18tn 0,08 4,034 7,171 C 1 39,26 39,26 3,02 tn 0,09 4,034 7,171 A*B 2 8,09 4,04 0,31 tn 0,73 3,183 5,057 A*C 2 64,73 32,36 2,49 tn 0,09 3,183 5,057 B*C 1 0,02 0,02 0,00 tn 0,97 4,034 7,171 A*B*C 2 25,42 12,71 0,98 tn 0,38 3,183 5,057 Error 48 625,03 13,02 Total 59 856,01

Keterangan: sn = Sangat Nyata n = Nyata tn= Tidak Nyata

Nilai kadar air dapat menentukan nilai kekuatan suatu bahan. Dimana semakin tinggi nilai kadar air maka kekuatan suatu bahan akan menurun. Hal ini dapat dilihat pada hubungan antara kadar air terhadap kekuatan mekanis suatu bahan dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hubungan Antara Kekuatan Mekanis Terhadap Kadar Air

Sifat Mekanis (kg/cm2)

KA (%)

Basah Kering udara (12%)

Modulus of Elasticity (MOE)

(Jutaan) 2,36 G 2,80 G

Modulus of Rupture (MOR) 17.600 G1.25 25.700 G1.25 Tekan sejajar serat 6.730 G 12.200 G

G = Spesific gravity (Wood Handbook 1974)

Pada Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa nilai kekuatan suatu bahan akan meningkat dari kondisi kadar air basah ke kondisi kadar air kering udara.

(35)

Perbedaan nilai kadar air terhadap kekuatan bambu pada kondisi basah (penelitian) dengan kadar air kering udara dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbedaan Nilai Kekuatan Bambu pada Beberapa Kondisi Kadar Air

Sifat Mekanis (kg/cm2)

KA (%)

Penelitian (Basah) Kering udara

27% 12%

Modulus of Elasticity (MOE) 205.306 243.583 Modulus of Rupture (MOR) 825 1.205

Tekan sejajar serat 361 654

Pada Tabel 6 terlihat bahwa kekuatan bambu akan meningkat dari kondisi basah ke kondisi kering udara, sehingga untuk penggunaan dilapangan diperlukan pengeringan terlebih dahulu.

4.2.2. Kerapatan Bambu

Umumnya sifat mekanis bambu sangat erat hubungannya dengan berat jenis dan kerapatan. Kerapatan merupakan perbandingan besarnya berat kering udara terhadap volume kering udara. Kerapatan berhubungan langsung dengan porositas yaitu proporsi volume rongga sel. Nilai kerapatan bambu akan bertambah dengan bertambah usianya dan akan mencapai nilai maksimum apabila telah tua. Nilai kerapatan bambu tergantung pada struktur anatomisnya seperti distribusi dan kuantitas serat di sekitar bundel vaskuler. Kerapatan bambu meningkat dari dalam keluar buluh (Sekhar dan Bhartari 1960, Sharma dan Mehra 1970). Kerapatan bambu juga meningkat dari pangkal ke bagian ujung bambu. Kerapatan maksimum diperoleh ketika bambu berumur sekitar tiga tahun (Liese 1986, Sattar et al. 1990, Kabir et al. 1993, Espiloy 1994).

Nilai pengujian kerapatan tiga jenis bambu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan nilai rata-rata kerapatan dari tiga jenis bambu yang diuji dapat dilihat pada Tabel 7.

(36)

Tabel 7 Nilai Rata-rata Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

Jenis Bambu

Kerapatan (g/cm³)

Pangkal Tengah

Rata-rata Ruas Buku Ruas Buku

Andong 0,72 0,73 0,75 0,80 0,75 Betung 0,79 0,85 0,88 0,93 0,86

Tali 0,63 0,71 0,73 0,77 0,71

Rata-rata 0,71 0,76 0,79 0,83 0,77

Berdasarkan Tabel 7 nilai kerapatan bambu secara keseluruhan adalah sebesar 0,77 g/cm3 dengan nilai kerapatan paling tinggi adalah jenis bambu betung bagian tengah dengan perlakuan buku yaitu sebesar 0,93 kg/cm3 dan nilai kerapatan paling rendah adalah jenis bambu tali bagian pangkal dengan perlakuan ruas sebesar 0,63 kg/cm3.

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis bambu dan posisi pada buluh dan perlakuan pengujian terhadap nilai kerapatan dilakukan analisis ragam yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil Analisis Sidik Ragam Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

Sumber Keragaman DB JK KT F hit P F tabel 0.05 0.01 A 2 0,25 0,12 102,23sn 0,00 3,183 5,057 B 1 0,07 0,07 59,92 sn 0,00 4,034 7,171 C 1 0,03 0,03 28,17 sn 0,00 4,034 7,171 A*B 2 0,00 0,00 1,13tn 0,33 3,183 5,057 A*C 2 0,00 0,00 0,70 tn 0,50 3,183 5,057 B*C 1 0,00 0,00 0,20 tn 0,66 4,034 7,171 A*B*C 2 0,00 0,00 1,15 tn 0,32 3,183 5,057 Error 48 0,06 0,00 Total 59 0.42

(37)

Hasil analisis ragam pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada jenis bambu (faktor A), posisi pada buluh (faktor B) dan perlakuan pengujian (faktor C) berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan bambu sedangkan interaksi antara ketiga faktor (A*B, A*C, B*C dan A*B*C) tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata kerapatan bambu.

Untuk mengetahui perbedaan kerapatan bambu pada ketiga jenis bambu menurut posisi pada buluh bambu dan perlakuan pengujian dilakukan uji rata-rata Duncan dan hasilnya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Terhadap Kerapatan Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

Jenis Bambu Rata-rata N

Andong 0,75b 20

Betung 0,86a 20

Tali 0,71c 20

Total 60

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Hasil uji beda rata-rata Duncan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai kerapatan bambu pada ketiga jenis bambu tesebut berbeda nyata dengan nilai rata-rata paling tinggi adalah bambu betung 0,86 g/cm3 dan rata-rata terendah adalah bambu tali 0,71 g/cm3. Kerapatan bambu betung lebih tinggi dibandingkan bambu lainnya diduga karena serat-serat pada bambu betung lebih banyak dan kompak dibandingkan jenis bambu tali dan bambu andong. Selain itu nilai kerapatan pada bambu menurut Lestari (2004) dipengaruhi oleh panjang serabut dan tebal dinding serabut semakin besar panjang serabut dan tebal dinding maka nilai kerapatan semakin tinggi.

(38)

Gambar 6. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Jenis Bambu

Posisi pada buluh bambu dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian pangkal dan bagian tengah. Berdasarkan hasil uji rata-rata Duncan diperoleh bahwa bagian tengah bambu memiliki kerapatan lebih tinggi dibandingkan bagian pangkal bambu. Besarnya nilai kerapatan berdasarkan posisi pada buluh pada bambu disajikan pada Gambar 7

Gambar 7. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Posisi pada Buluh

Besarnya nilai kerapatan bambu pada bagian pangkal adalah sebesar 0,74 g/cm3 dan bagian tengah sebesar 0,81 g/cm3. Nilai kerapatan pada setiap bagian

0,75 0,86 0,71 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

Andong Betung Tali

Ke ra p atan  (g/cm ³) Jenis Bambu 0,74 0,81 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 Pangkal Tengah Ke ra p atan  (g/cm ³) Posisi Pada Buluh

(39)

berbeda diduga disebabkan oleh ikatan vaskular yang tersusun dari bagian bawah kebagian atas akan semakin meningkat, sehingga persentase serabut akan bertambah besar pula kebagian atas. Hal ini menyebabkan volume total zat dinding sel akan meningkat dari bawah keatas. Selain itu juga dipengaruhi oleh kandungan silika yang cenderung meningkat dari permukaan bawah bambu sampai permukaan atas bambu (Epsiloy 1987). Nilai kerapatan berdasarkan perlakuan disajikan pada Gambar 8.

Nilai kerapatan paling tinggi berdasarkan perlakuan pengujian bambu yaitu pada bambu bagian buku yaitu sebesar 0,80 g/cm3 sedangakan kerapatan paling rendah pada bambu dengan perlakuan ruas yaitu sebesar 0,75 g/cm3. Nilai kerapatan pada bagian buku lebih besar dibandingkan bagian ruasnya, hal ini diduga disebabkan pada bagian buku jumlah serabut-serabut yang mengisi buku bambu lebih banyak dibandingkan dengan ruas bambu. Sulthoni (1989) menyatakan bahwa serabut bambu dicirikan oleh sel sklerenkim yang berdinding tebal, panjang dan mati. Jika serabut berdinding tebal dan berongga kecil maka berat jenis atau kerapatan akan tinggi.

Gambar 8. Nilai Rata-rata Kerapatan Bambu Menurut Perlakuan Pengujian Nilai kerapatan yang didapatkan dari penelitian kali ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin (2000). Hal ini diduga oleh perbedaan tempat tumbuh dan umur bambu, sehingga mempengaruhi

0,80 0,75 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 Buku  Ruas Ker apatan  (g /c m ³) Perlakuan Pengujian

(40)

nilai kerapatan pada bambu. Perbedaan nilai kerapatan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perbedaan Nilai Rata-rata Kerapatan Pada Tiga Jenis Bambu

Jenis Bambu Rata-rata Kerapatan (g/cm³) Penelitian (2008) Nuriyatin (2000) Andong 0,75 0,29 Betung 0,86 0,61 Tali 0,71 0,43

4.3. Sifat Mekanis Bambu

4.3.1. Kekakuan Lentur

Kekakuan lentur (MOE) merupakan ukuran kemampuan suatu bahan dalam menahan lentur tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap. Nilai tersebut digunakan untuk menentukkan sifat kekakuan bambu.

Besarnya nilai pengujian kekakuan lentur untuk masing-masing jenis bambu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan nilai rata-rata nilai pengujian kekakuan lentur dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu

No Jenis Bambu

MOE (kg/cm²)

Pangkal Tengah Rata-rata

1 Andong 189.674 215.384 202.529 2 Betung 173.928 183.589 178.758

3 Tali 199.685 269.578 234.631

Rata-rata 187.762 222.850 205.306

Pada Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata MOE secara keseluruhan adalah 205.306 kg/cm2. MOE paling tinggi adalah jenis bambu tali bagian tengah

(41)

yaitu sebesar 269.577 kg/cm2 dan paling rendah adalah jenis bambu betung bagian pangkal yaitu sebesar 173.927 kg/cm2.

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis bambu dan posisi pada buluh terhadap nilai MOE bambu dilakukan analisis ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil Analisis Sidik Ragam Kekakuan Lentur Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu

Sumber Keragaman DB JK KT F hit P F tabel 0.05 0.01 A 2 1,57x1010 0,78x1010 7,28n 0,00 3,403 5,614 B 1 0,92x1010 0,92x1010 8,55n 0,01 4,260 7,823 AB 2 0,48x1010 0,24x1010 2,25tn 0,13 3,403 5,614 Error 24 2,59x1010 0,11x1010 Total 29 5x1010

Keterangan: sn = Sangat Nyata n = Nyata tn= Tidak Nyata

Hasil analisis sidik ragam seperti tertera pada tabel 10 menunjukan bahwa jenis bambu (faktor A) dan posisi pada buluh (faktor B) sangat berpengaruh nyata terhadap nilai MOE sedangkan nilai interaksi keduanya (A*B) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai MOE.

Untuk mengetahui perbedaan nilai MOE pada setiap jenis bambu maka dilakukan uji beda rata-rata duncan dan hasilnya disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Terhadap Kekakuan Lentur Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu

Jenis Bambu Rata-rata N

Andong 202.529b 10

Betung 178.758b 10

Tali 234.631a 10

(42)

Hasil uji rata-rata Duncan pada Tabel 13 diperoleh bahwa hanya MOE bambu tali yang berbeda nyata, sedangkan untuk jenis bambu andong dan bambu betung tidak berbeda nyata. Nilai MOE tertinggi adalah jenis bambu tali sebesar 234.631 kg/cm2 sedangkan MOE terkecil adalah dari jenis bambu betung sebesar 178.758 kg/cm2. Nilai MOE pada bambu tali tinggi diduga disebabkan bambu tali mempunyai serabut yang panjang, kuat dan lentur sehingga bambu tali mampu menahan beban lebih besar dibandingkan jenis bambu lain. Secara fisiologis sel serabut berfungsi sebagai bahan penguat, sehingga semakin panjang dan banyak jumlah serabut, maka sifat mekanis bambu akan semakin meningkat. Besarnya nilai rata-rata MOE ketiga jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Bambu Menurut Jenis Bambu Sedangkan nilai MOE berdasarkan posisi pada buluh bambu diperoleh nilai rata-rata MOE pada bambu bagian pangkal adalah sebesar 187.762 kg/cm2 dan bambu bagian tengah sebesar 222.850 kg/cm2. Dari hasil uji beda rata-rata Duncan menunjukkan nilai MOE pada masing-masing bagian buluh berbeda nyata baik bagian pangkal maupun bagian tengah. Hal ini berarti MOE pada setiap bagian buluh akan berbeda dan akan mengalami kenaikan dari bawah sampai keatas. Perbedaan yang terjadi antar buluh ini terjadi karena presentase dan jumlah serabut dalam batang. Semakin besar jumlah serabut maka nilai MOE akan semakin besar (Epsiloy 1983). Nilai rata-rata MOE berdasarkan posisi pada buluh bambu dapat dilihat pada Gambar 10.

202.529 178.758 234.631 0 50000 100000 150000 200000 250000

Andong Betung Tali

MO

(kg/cm

²)

(43)

Gambar 10. Nilai Rata-rata Kekakuan Lentur Bambu Menurut Posisi pada Buluh 4.3.2. Tegangan Pada Batas Patah

Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Nilai MOR dari ketiga jenis bambu yang diuji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan nilai rata-rata MOR dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai Rata-rata MOR (Modulus of Rupture) Pada Tiga Jenis Bambu

Menurut Posisi Pada Buluh Bambu

No Jenis Bambu

MOR (kg/cm²)

Pangkal Tengah Rata-rata

1 Andong 837 804 820 2 Betung 912 859 886

3 Tali 723 812 768

Rata-rata 824 825 825

Pada Tabel 14 diatas nilai rata-rata MOR secara keseluruhan adalah sebesar 825 kg/cm2 dengan nilai MOR tertinggi adalah jenis bambu betung bagian pangkal sebesar 912 kg/cm2 dan nilai MOR terendah adalah jenis bambu tali bagian pangkal yaitu sebesar 723 kg/cm2.

187.762 222.850 0 50000 100000 150000 200000 Pangkal Tengah MOE  (kg/cm ²) Posisi Pada Buluh Bambu

(44)

Untuk mengetahui pengaruh jenis bambu dan posisi pada buluh dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil Analisis Sidik Ragam MOR Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu

Sumber Keragaman DB JK KT F hit P F tabel 0.05 0.01 A 2 0,07x106 0,035x106 0,80 tn 0,46 3,403 5,614 B 1 4 4 0,00 tn 0,99 4,260 7,823 AB 2 0,03x106 0,01x106 0,34 tn 0,71 3,403 5,614 Error 24 1,05x106 0,04x106 Total 29 1,15x106

Keterangan: sn = Sangat Nyata n = Nyata tn= Tidak Nyata

Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap nilai MOR pengaruh jenis bambu (faktor A), posisi pada buluh (faktor B) dan interksinya (A*B) menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata terhadap nilai MOR, hal ini berarti nilai MOR tidak berbeda untuk setiap jenis bambu dan posisi pada buluh bambu.

Berdasarkan hasil MOR yang diperoleh maka ketiga jenis bambu ini bisa dijadikan sebagai bahan konstruksi, karena nilai MOR yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan tegangan ijin untuk bambu yang dibuat oleh Yap (1967) maupun oleh Peraturan Kayu Konstruksi Indonesia (PKKI 1961) seperti yang disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Perbedaan nilai MOR Terhadap Tegangan Ijin (kg/cm2)

Hasil penelitian Yap (1967) PKKI (1961) Jenis MOR

Andong 820 100 725-1.100

Betung 885 100 725-1.100

(45)

Akibat pembebanan secara terus-menerus pada pengujian MOR maka bambu akan mengalami kerusakan. Bentuk kerusakan pada buku (a) dan ruas (b) bambu akibat pembebanan dapat dilihat pada Gambar 11.

Bentuk kerusakan yang terjadi pada buku bambu lebih terlihat dibandingkan pada bagian ruas bambu. Pada bagian buku kerusakan yang terjadi berupa pecah dan tidak dapat kembali ke bentuk semula, sedangkan untuk kerusakan pada bagian ruas setelah mencapai maksimum akan terjadi pecah tetapi bentuknya akan kembali ke bentuk semula sehingga bentuk pecah yang terjadi akibat pembebanan tidak akan terlihat.

(a) Kerusakan pada bagian buku (b) Kerusakan pada bagian ruas Gambar 11. Kerusakan Pengujian MOR pada Bambu

4.3.3. Kekuatan Tekan Sejajar Serat

Kekuatan tekan merupakan kemampuan suatu bahan dalam menahan gaya vertikal yang bekerja sampai terjadinya kerusakan pada bahan tersebut. Pengujian tekan yang dilakukan yaitu dengan memberikan tekan sejajar serat. Besarnya Nilai tekan sejajar serat dari ketiga jenis bambu yang diuji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3 dan nilai rata-ratanya dapat dilihat pada Tabel 17.

Kekuatan tekan sejajar serat secara keseluruhan bambu adalah sebesar 361 kg/cm2. Nilai tekan sejajar serat tertinggi terdapat pada jenis bambu tali bagian tengah ruas yaitu sebesar 440 kg/cm2, sedangkan nilai tekan terendah terdapat pada jenis bambu betung bagian pangkal buku sebesar 243 kg/cm2.

(46)

Tabel 17 Nilai Rata-rata Tekan Sejajar Serat Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

No Jenis Bambu

Tekan Sejajar Serat (kg/cm²)

Rata-rata Pangkal Tengah Ruas Buku Ruas Buku

1 Andong 341 301 353 393 347

2 Betung 358 243 364 425 347

3 Tali 380 363 440 369 388

Rata-rata 360 303 386 395 361

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis bambu dan posisi pada buluh terhadap nilai tekan sejajar serat dilakukan analisis sidik ragam yang meliputi bambu pada bagian ruas dan bagian buku. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil Analisis Sidik Ragam Tekan Sejajar Serat 3 (tiga) Jenis Bambu Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian

Sumber Keragaman DB JK KT F hit P F tabel 0.05 0.01 A 2 0,22x105 0,11x105 5,58n 0,00 3,183 5,057 B 1 0,53x105 0,53x105 26,51sn 0,00 4,034 7,171 C 1 0,08x105 0,08x105 4,16n 0,04 4,034 7,171 A*B 2 0,09x105 0,05x105 2,37tn 0,10 3,183 5,057 A*C 2 0,05x105 0,02x105 1,21tn 0,30 3,183 5,057 B*C 1 0,17x105 0,17x105 8,41sn 0,00 4,034 7,171 A*B*C 2 0,33x105 0,17x105 8,36sn 0,00 3,183 5,057 Error 48 0,96x105 0,02x105 Total 59 2,44x105

Keterangan: sn = Sangat Nyata n = Nyata tn= Tidak Nyata

Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan diperoleh bahwa jenis bambu (faktor A), posisi pada buluh (faktor B), perlakuan pengujian (faktor C) sangat berpengaruh nyata terhadap nilai tekan sejajar serat bambu. Selain itu interaksi antara (faktor B dan faktor C) dan interaksi antara (faktor A, faktor B

(47)

dan faktor C) sangat berpengaruh nyata terhadap nilai tekan sejajar serat bambu, maka dilakukan uji lanjut Duncan terhadap interaksi ketiga faktor tersebut dan hasilnya disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Uji Beda Rata-rata Duncan Perbedaan Tiga Jenis Bambu Terhadap Nilai Tekan Sejajar Serat Menurut Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian Perlakuan Rata-rata N C*T*R 440aa 5 B*T*B 393ab 5 A*T*B 379abc 5 C*P*R 369abc 5 C*T*B 364abc 5 B*T*R 363abcd 5 C*P*B 358abcd 5 B*P*R 352cd 5 A*T*R 353cd 5 A*P*R 341cd 5 A*P*B 301cd 5 B*P*B 243e 5 Total 60

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata selang kepercayaan 95%

Hasil uji rata-rata Duncan pada Tabel 19 diperoleh bahwa perlakuan C*T*R (bambu tali bagiantengah dengan ruas) menghasilkan nilai tekan sejajar serat paling tinggi yaitu sebesar 440 kg/cm2 dan B*P*B (bambu betung bagian pangkal dengan buku) menghasilkan nilai tekan sejajar serat paling rendah yaitu sebesar 243 kg/cm2. Hal ini diduga disebabkan oleh panjang serabut dan tebal dinding serabut pada bagian tengah lebih besar dibandingkan dengan bagian pangkalnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuatan tekan sejajar serat bambu akan meningkat dari bagian bawah kebagian atas buluh bambu. Nilai tekan sejajar serat bambu pada bagian ruas akan lebih besar dibandingkan pada buku. Hal ini diduga disebabkan oleh serabut-serabut yang menyusun bambu bagian ruas lebih lurus dan kompak dibandingkan bagian buku.

(48)

p b s S b d m Perb pada Gamba Bent bagian ruas Keru sedangkan Sehingga na bekerja untu didasarkan menghindari edaan nilai ar 12. Gambar 12 tuk kerusaka dan buku da usakan pada kerusakan p antinya diha uk suatu k pada kekua i kecelakaan tekan sejaja 2. Nilai Rata an pada pen apat dilihat p bagian ruas pada bagian arapkan untu konstruksi a atan tekan n yang fatal p ar serat pada a-rata Tekan ngujian teka pada Gambar s (a) terlihat n buku (b) uk perhitung agar dihitun sejajar ser pada suatu k a ketiga jenis Sejajar Sera an sejajar se r 13. t adanya pec hanya ter gan gaya tek

g tegangan rat pada ba konstruksi. s bambu da at Bambu erat bambu cah secara m lihat retak-r kan sejajar ijin atau agian bukun apat dilihat baik pada menyeluruh retak saja. serat yang kuat batas nya untuk

(49)

(a) Ruas (b) Buku Gambar 13. Kerusakan Pengujian Tekan Sejajar Serat

4.4. Bambu Sebagai Bahan Konstruksi

Penentuan bambu sebagai bahan konstruksi harus didasarkan pada tegangan ijin dengan memperhatikan faktor keamanan dan keekonomisan penggunaan bambu sebagai bahan dasar suatu konstruksi. Berdasarkan besarnya rata-rata hasil yang diperoleh dalam penelitian ini akan dibandingkan dengan tegangan ijin yang diperkenankan untuk penggunaan konstruksi bambu yang dirancang untuk berbagai macam bambu yang bersumber dari Tular dan Sutidjan (1961). Nilai perbandingan penelitian dan tegangan ijin yang diperkenankan disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Perbedaan Nilai Penelitian Terhadap Nilai Tegangan Ijin Bambu

Macam Tegangan Hasil Penelitian (kg/cm²) Kuat Batas (kg/cm²) Tegangan Ijin (kg/cm²) Lentur MOR 825 703-2.997 102 Tekan 361 254-999 82

Sumber : Tular dan Sutidjan (1961)

Berdasarkan Tabel 20 diatas maka terlihat bahwa nilai pengujian mekanis (lentur dan tekan) yang dilakukan berdasarkan standar ISO 22157-1:2004 memenuhi nilai kuat batas dan tegangan ijin yang diperkenankan untuk konstruksi bambu yang dibuat oleh Tular dan Sutidjan (1961), sehingga bambu dapat digunakan sebagai bahan konstruksi sebagai pengganti kayu.

(50)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Sifat fisis dan mekanis tiga jenis bambu tropis Indonesia dengan menggunakan standar ISO 22157-1: 2004 adalah sebagai berikut:

a. Bambu andong memiliki nilai kadar air 27,05%, kerapatan 0,75 g/cm3, MOE sebesar 202.529 kg/cm2, MOR sebesar 820 kg/cm2 dan tekan sejajar serat sebesar 347 kg/cm2.

b. Bambu betung memiliki kadar air rata-rata sebesar 27,75%, kerapatan sebesar 0,86 g/cm3, MOE sebesar 178.758 kg/cm2, MOR sebesar 886 kg/cm2 dan tekan sejajar serat sebesar 347 kg/cm2.

c. Bambu tali memiliki nilai kadar air sebesar 25,47%, kerapatan 0,71 g/cm3, MOE sebesar 234.631 kg/cm2, MOR sebesar 768 kg/cm2 dan tekan sejajar serat sebesar 388 kg/cm2.

2. Jenis bambu yang memiliki kekuatan yang tinggi dalam menahan beban adalah jenis bambu tali karena pada beberapa pengujian sifat mekanis bambu tali memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bambu lainnya seperti nilai MOE dan tekan.

3. Berdasarkan pengujian 3 jenis bambu berdasarkan ISO 22157-1:2004 diperoleh nilai pengujian baik sifat fisis dan mekanis bambu pada bagian tengah memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan bagian pangkal.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian sifat fisis dan mekanis terhadap bambu tropis Indonesia lainnya dengan menggunakan standar ISO 22157-1:2004 sehingga dapat diketahui kekuatannya dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi pengganti kayu.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kekuatan penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi baik dalam bentuk bambu utuh maupun bilah bambu dengan menggunakan ISO 22157-1:2004.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kekuatan bambu pada kondisi batang yang lurus dengan kondisi batang yang melengkung.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 1990. Segi-segi Penelitian dan Pengembangan Silvikultur Bambu untuk Menunjang Industri dalam Gatra Pengembangan Industri dan Kerajinan Bambu, hal: 22-24.

Anonymous. 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/ISO. Di akses tanggal 3 maret 2008.

Anynomous. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. NI – 5. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung.

Dransfield dan E. A. Widjaya .1995. Plant Resources of South Asia. Bamboos. 7th vol: Bogor Prosea Foundation. 189 p.

Espiloy, Z.B. 1987. Physico-mechanical properties and anatomical relationship of some Philippine bamboos. In Rao, A.N.; Dhanarajan, G.; Sastry, C.B. ed., Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzhou, China, 6-14 October 1985. Chinese Academy of Forestry, Beijing, China; International Development Research Centre, Ottawa, Canada. pp. 257-264.

Espiloy, Z.B. 1994. Effect of age on the physico-mechanical properties of some Phil-ippine bamboo. In Bamboo in Asia and the Pacific. Proceedings of the 4th International Bamboo Workshop, Chiangmai, Thailand, 27-30 November 1991. International Develop-ment Research Centre, Ottawa, Canada; Forestry Research Support Programme for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand. pp. 180-182.

Haygreen, J. G. And Bowyer. 1982. Forest Product and Wood Science an Introduction. First Edition. The Lowa State University Press. Ames. Iowa.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jakarta: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hal 323. Hsiung, Wen Yue. 1986. Research and Development in The Production and

Utilization of Bamboo in China. Higuchi, T. (Penyunting). Bamboos: Production and Utilization: 4-10.

Idris, A. A.; Anita F.; Purwito. 1980. Penelitian Bambu untuk Bahan Bangunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Bandumg.

Gambar

Gambar 1. Pemotongan contoh uji (ISO 2004)  Keterangan:
Tabel  1 Bagan Analisis Ragam (ANOVA)
Tabel 2  Nilai Rata-rata Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu Menurut Posisi Pada  Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian
Tabel 4  Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Air Pada Tiga Jenis Bambu Menurut  Posisi Pada Buluh Bambu dan Perlakuan Pengujian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan jumlah lapisan dan posisi pengujian sifat mekanis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase kadar air, daya serap air, delaminasi dan keteguhan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Fisis dan Mekanis Papan Partikel Bambu Betung dengan Perlakuan Perendaman Asam Asetat adalah benar karya

Dari hasil penelitian ini terdapat pengaruh susunan lembaran bilah bambu terhadap sifat mekanis yaitu semakin sejajar lembaran bilah bambu dengan beban tarik maka

Arah aksial tidak berpengaruh terhadap sifat fisika bambu tali kecuali pada pengujian kadar air segar, sehingga semua bagian dari batang bambu tali (pangkal, tengah

Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung ( Dendrocalamus asper ( Schult.f) Backer ex Heyne ) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat.. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di USU, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Sifat fisis dan Mekanis Laminasi Bambu (Dendrocalamus asperBacker Ex. Heyne)

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di USU, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper Backer Ex. Heyne)

Pengujian nondestruktif metode gelombang suara dapat digunakan untuk menduga sifat mekanis lentur papan semen seperti ditunjukkan oleh hubungan yang erat antara