• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I- PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuatu pekerjaan bisa dilakukan melalui alat-alat berteknologi. Namun pekerjaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I- PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuatu pekerjaan bisa dilakukan melalui alat-alat berteknologi. Namun pekerjaan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I-

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini dimana ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan pesat dan teknologi semakin maju membuat segala sesuatu pekerjaan bisa dilakukan melalui alat-alat berteknologi. Namun pekerjaan yang dilakukan menggunakan alat-alat berteknologi yang dilakukan pelaku usaha seringkali membuat konsumen tidak mengetahui dengan apa yang ditentukan oleh pelaku usaha. Konsumen dipaksa menerima tanpa mengetahui informasi yang sebesar-besarnya mengenai produk yang dikonsumsinya. Pelaku usaha juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam memberikan inovasi-inovasi baru terhadap produknya untuk mengimbangi persaingan dengan pelaku usaha lainnya, disamping itu juga untuk meningkatkan keuntungan. Namun selama ini pelaku usaha kurang memperhatikan kepentingan konsumen sehingga muncul ketidakpuasan dari konsumen karena barang dan/atau jasa yang mereka nikmati tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan sehingga munimbulkan kerugian kepada konsumen. Pelaku usaha seharusnya menyadari bahwa salah satu unsur penting dalam usaha adalah konsumen, hal ini dikarenakan sasaran utama dalam pemasaran barang dan/atau jasa tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Tenaga listrik merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik sangat

(2)

dibutuhkan manusia. Agar masyarakat dapat terus menikmati aliran tenaga listrik dari PT. PLN, maka masyarakat harus melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya atas jasa yang didapatkan sebagaimana yang tercantum dalam rekening tagihan listrik. Jumlah yang harus dibayarkan konsumen dalam rekening tagihan listrik adalah sebagaimana yang diperjanjikan oleh para pihak, yaitu masyarakat selaku konsumen dan PLN selaku pelaku usaha penyedia tenaga listrik.

Masyarakat dalam membayar rekening tagihan listrik dapat melalui loket-loket khusus yang ditunjuk oleh PT. PLN maupun membayar secara online melalui bank, kantor pos maupun pihak lain yang ditunjuk. Pembayaran rekening listrik secara online melalui kantor pos diadakan karena sebelumnya terjadi penumpukan pelanggan PT. PLN yang ingin melakukan pembayaran rekening listrik secara langsung melalui loket kantor PT. PLN, sehingga PT. PLN mengadakan kerjasama dengan beberapa bank dan kantor pos untuk melayani masyarakat yang ingin melakukan pembayaran listrik. Pembayaran rekening listrik melalui PT. Pos Indonesia ini merupakan hal yang baru bagi PT. Pos Indonesia, dan pembayaran secara online ini disebut dengan sistem online payment point (SOPP). Pembayaran rekening listrik secara online ini dikenakan biaya tambahan yaitu berupa biaya administrasi yang harus dibayarkan nasabah PT. PLN yang membayar rekening listrik secara online. Penarikan biaya administrasi yang dilakukan oleh pihak PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik ini.

(3)

PT. Pos Indonesia melaksanakan kerjasama dengan pihak PLN, dimana di sana terjadi pembagian keuntungan di antara para pihak. Dalam materi perjanjian antara PLN dengan PT. Pos Indonesia, kewajiban untuk membayar segala biaya yang dikeluarkan oleh PT. Pos dalam pelaksanaan pembayaran rekening listrik secara online ditanggung oleh pihak pelaksana dalam hal ini adalah PT. Pos Indonesia. PT. PLN selaku pemegang hak atas biaya pembayaran rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PT. PLN berhak menerima uang yang dibayarkan oleh pelanggan PT. PLN yang disetorkan melalui PT. Pos Indonesia, namu tidak selalu hak tersebut berjalan dengan lancer, ada kalanya pelaku usaha membuat kesalahan yang akhirnya merugikan konsumen. Hak dasar dalam Guidelines for Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan:

Konsumen dimanapun mereka berada dan segala bangsa memiliki hak-hak dasar sosialnya, yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak-hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, jujur, hak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan & papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik & bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar.1

Menyikapi permasalahan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak terlepas dari adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dimana dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan

1

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Tiagra Utama, 2002, hal 7

(4)

sebagai landasan perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Idealnya antara hak dan kewajiban berjalan secara paralel, dimana PT. PLN membayar imbalan jasa yang diberikan dengan tepat waktu dan sesuai apa yang diperjanjikan dan begitu pula pihak PT. Pos Indonesia melaksanakan kewajiban yang diberikan PT. PLN dengan sebaik-baiknya dan menyetorkan segala biaya hasil penerimaan pembayaran rekening listrik sesuai dengan apa yang di perjanjikan. Namun hal tersebut tidaklah sepenuhnya terjadi, terlebih jika pihak pelaku usaha hanya memikirkan kepentingan mereka saja tanpa memikirkan kepentingan pihak konsumen yang merasa dirugikan.

“Kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta perjanjian standar yang

merugikan konsumen.”2

Perlindungan konsumen diperlukan adanya keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan konsumen sehingga secara umum antara konsumen dan produsen memiliki kedudukan yang sejajar. Dengan adanya kedudukan yang sejajar maka tidak ada salah satu pihak yang merasa lebih tinggi dan pihak lain merasa lebih rendah.

Konsumen harus tetap mendapatkan perlindungan hukum karena hal tersebut merupakan salah satu sifat dan tujuan hukum. Konsumen perlu mengetahui kondisi barang dan/atau jasa yang akan digunakan atau

2

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 2000, hal.12.

(5)

dikonsumsinya. Pembayaran rekening listrik adalah sesuatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelanggan tenaga listrik karena jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut, masyarakat selaku nasabah PT. PLN tidak akan mendapatkan pasokan tenaga listrik dari pihak PLN. Selain itu terlebih jika nasabah PT. PLN sudah membayar tetapi ternyata pembayaran tersebut tidak sampai ke pihak PLN sehingga keamanan dalam membayar rekening listrik tersebut tidak terpenuhi dan hak PT. PLN untuk medapatkan uang setoran atas hasil pembayarang rekening listrik dari pelanggan PT. PLN menjadi tidak terpenuhi, seperti yang terjadi di Makasar, dimana sebanyak 20 pelanggan PT. PLN harus dinyatakan dicabut kilometer dengan alasan tidak pernah melakukan pembayaran, padahal para pelanggan tersebut telah membayar kepada salah satu partner PT. PLN dalam pembayaran rekening listrik secara online yaitu CV Aria Prima, yang ternyata oleh CV Aria Prima tidak dibayarkan kepada pihak PLN, sehingga masyarakat melakukan protes terhadap PT. PLN yang secara nyata tidak mengetahui bahwa pelanggan PT. PLN tersebut telah melakukan pembayaran rekening listrik, dan pihak PT. PLN pun menjadi dirugikan dengan adanya hal tersebut karena seolah-olah PT. PLN lah yang melakukan kesalahan tersebut sehingga merugikan masyarakat. Dalam kasus diatas jelas keamanan dan kenyamanan pelanggan terganggu, padahal dalam Pasal 4 huruf a UUPK menyebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Dengan adanya hal tersebut maka tentu saja berpotensi menimbulkan kerugian terhadap PT. PLN selaku konsumen atas jasa yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia. Sesuai dengan Pasal 4 huruf h UUPK

(6)

menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut untuk dijadikan bahan kajian berbentuk skripsi mengenai Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik secara online berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik secara online khususnya yang berkaitan dengan hak yang diatur oleh Pasal 4 huruf (a) dan (h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa layanan PT. Pos Indonesia dalam pembayaran lsitrik secara online melalui PT. Pos Indonesia jika ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

(7)

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Penelitian secara Teoritis.

Memberikan informasi yang berguna dan memberikan masukan bagi pengembangan disiplin ilmu hukum dagang pada umumnya dan hukum pada perlindungan konsumen pada khususnya.

2. Kegunaan Penelitian secara Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah wawasan yang berguna bagi mayarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen penggunna tenaga listrik.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen a) Perlindungan Hukum

Hukum tercipta karena adanya kumpulan manusia yang disebut masyarakat dalam suatu komunitas tertentu, setiap individu dalam masyarakat tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan semuanya berusaha untuk memenuhi kepentingannya. Hukum mempunyai peranan besar yaitu sebagai kaidah untuk mengatur tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya, dengan adanya hukum diharapkan tidak akan terjadi bentrokan kepentingan antara individu yang satu dengan yang lain.

Menurut Surojo Wignojodipuro, hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Hubungan tersebut harus dilakukan menurut norma atau kaidah hukum yang berlaku. Adanya kaidah hukum itu bertujuan mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat sehingga dapat dihindarkan

kekacauan dalam masyarakat.3

Beberapa sarjana hukum di Indonesia mendefinisikan hukum sebagai berikut:

a. S.M Amin

Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia.

3

(9)

b. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukkan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.

c. M.H Tirtaatmadja

Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan

kehilangan kemerdekannya, didenda dan sebagainya. 4

Dari berbagai macam pengertian hukum dari para sarjana tersebut hukum terdiri dari beberapa unsur yaitu:

a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan masyarakat;

b) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib; c) Peraturan itu bersifat memaksa;

d) Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas.

Pengertian perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan

untuk memberikan rasa aman.5

Dari pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa perlindungan hukum adalah segala upaya untuk memberikan rasa aman bagi seseorang dengan membatasi hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat berdasarkan sekumpulan peraturan yang mengatur tata tertib bertingkah laku dalam masyarakat.

4

CST. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia Cetakan ke 6, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hal 38

5

(10)

Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian perlindungan hukum sebagai berikut:

Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat

baik di Undang-Undang, Ratifikasi maupun Konvensi Internasional.6

Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya agar tujuan hukum dapat tercapai, tujuan hukum yang dimaksud yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.

b. Pengertian Hukum Perlindungan konsumen

Menurut AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun Hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa

konsumen, di dalam pergaulan hidup.7

Hukum Perlindungan Konsumen sebagai keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan konsumen dan pelaku usaha yang dusertai sanksi bagi

pelanggarannya.8

Hukum konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Masalah konsumen merupakan titik fokus dari hukum konsumen yang kemudian dilakukan pembagian kepada hukum konsumen.

Menurut Munir Fuady, pembagian hukum konsumen terdiri dari:

6

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal 20.

7

A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, 1995, hal 64-65

8

Suyadi, Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Jenderal soedirman, Purwokerto, 2007, hal.5

(11)

1. Hukum konsumen formil, titik fokusnya akan tertuju kepada antara lain:

a. Tanggung jawab mutlak (strict liability): b. Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast); c. Subyek yang bertanggung jawab;

d. Polisi-polisi khusus; e. Tindak pidana ekonomi; f. Badan peradilan khusus; g. Consumer ombudsman;

h. Gugatan kelompok (small claims court);

i. Badan pendamai; dan

j. Organisasi konsumen (consumer organization). Semacam

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

2. Hukum konsumen materil, antara lain hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Hak konsumen

b. Pranata-pranata masyarakat yang dapat dipergunakan sebagai yang dapat menyebabkan terhambatnya hak-hak konsumen seperti:

1. Hak milik perindustrian (industrial property right); 2. Perjanjian baku (standard contract);

3. Servis purna jual; 4. Berbagai versi jual beli; 5. Persaingan curang;

6. Perantara dalam perdagangan;

7. Iklan yang tidak layak (unjust advertising, false advertising, bait advertising);

c. Tanggung jawab produksi (product safety and liability), seperti masalah:

1. Mutu barang, makanan, minuman dan obat 2. Standar mutu/ standar industri

d. Masalah harga yang pantas

e. Ukuran, takaran dan timbangan yang tepat.9

c. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pasal 3 UUPK menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen bertujuan: 1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

9

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 163

(12)

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barabg dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

2. Konsumen

1) Pengertian Konsumen

Konsumen berasal dari bahasa Belanda dari kata “konsument” yang oleh para ahli diartikan sebagai pemakai terakhir barang dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh para pengusaha, baik pengusaha itu sebagai produsen maupun sebagai pedagang perantara. Konsumen (sebagai alih bahasa Inggris dari Consumer), konsumen dari bahasa Belanda secara harfiah berarti setiap orang yang membeli barang atau menggunakan jasa seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, juga sesuatu atau seseorang yang menggunakan

suatu persediaan atau sejumlah barang.10 Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Tujuan daripada konsumen barang atau jasa itu nanti akan menentukan termasuk konsumen kelompok yang mana konsumen tersebut.

Di Amerika serikat pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan memperoleh

10

(13)

perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi Negara MEE dalam menyusun ketentuan

Hukum Perlindungan Konsumen.11

Menurut Munir Fuadi, konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.12 Dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 angka (2) Undang-Undang tersebut menyatakan :

Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dari sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi

konsumen dalam Pasal 1 angka (2) UUPK yaitu:13

a. Setiap orang

Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya pada orang perseorangan namun juga mencakup badan hukum.

11

Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, hlm. 13.

12 Munir Fuadi, S.H, M.H, LL.M, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modren di

Era Pasar Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 227.

13

(14)

b. Pemakai

Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat dipakai dalam ketentuan tersebut sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti teminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah tersedia dipasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan mahkluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian konsumen.

f. Barang dan /atau jasa itu tidak diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen diberbagai Negara.

(15)

Hal yang perlu ditekankan dalam pengertian konsumen ini adalah bahwa syarat untuk tidak diperdagangkan yang menunjukan sebagai “konsumen akhir” (end consumer) yaitu konsumen sebagai pengguna dan pemanfaat akhir suatu produk.

Menurut A.Z Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan mengenai konsumen akhir, antara lain:

a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan

tidak untuk diperdagangkan. 14

2) Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar

fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak. 15

14

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Daya Widya, 1999.

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2004, hal 1.

(16)

Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa, memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Hak-hak konsumen merupakan hal yang sudah mendapatkan jaminan perlindungan oleh hukum, tidak saja oleh hukum nasional tetapi juga hukum internasional. Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, mengemukakan empat hak dasar konsumen, yang kemudian oleh Bob Widyaharmoko dijelaskan lebih lanjut yang meliputi :

1. the right to safe products (Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan);

Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang dan atau jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk makan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.

2. the right to be informed about products (Hak untuk memperoleh informasi);

setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan konprehensif tentang suatu produk barang dan/atau jasa yang dibeli (dikonsumsi). Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bias mengetahui bagaimana kondisi barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi. Jika suatu saat ada resiko negatif dari produk dan/atau jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah mengetahuinya sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengkonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label atau kemasan prosuk.

(17)

3. the right to definite choices in selecting products (Hak untuk memilih);

Setiap konsumen berhak memilih produk barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bias merugikan hak-haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi.

4. the right to be heard regarding consumer interest (Hak untuk didengarkan).

Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lembaga-lembaga perlindungan

konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen. 16

Pengaturan mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen pada umumnya dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen tersebut terdapat dalam Pasal 4 UUPK, yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara ketat;

f. Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

16

Bob Widyahartono MA, Telaah Hak-Hak Dasar Konsumen Perlu Sosialisasi

Berkesinambunga, dikutip dari

(18)

Selain hak-hak Konsumen yang terdapat dalam UUPK dan Deklarasi Hak Konsumen (John F. Kennedy), Hak-hak yang dapat melindungi konsumen juga diperjuangkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dikenal sebagai Panca Hak Konsumen yang terdiri atas:

1. Hak untuk mendapatkan keamanan dan Keselamatan

Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa tertentu apabila terjadi suatu hal yang dapat membahayakan kesehatan dan keamanan tubuh serta kesehatan jiwanya;

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur.

Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur serta lengkap dari suatu produk barang dan/atau jasa. Hak ini merupakan perlindungan bagi konsumen terhadap informasi yang mengelabui, menyesatkan atau menipu;

3. Hak untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan

Konsumen memiliki hak untuk memilih barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, namun konsumen tetap mendapatkan jaminan mutu dan pelayanan yang memuaskan. Dengan pemenuhan hak ini diharapkan konsumen terhindar dari kerugian.

4. Hak untuk didengar pendapatnya.

Konsumen berhak untuk menyampaikan pendapat dan masalahnya secara pribadi atau bersama-sama, baik mengenai hal-hal yang merugikan mereka maupun hak-hak yang dianggap dapat menimbulkan kerugian bagi diri mereka.

Di samping hak-hak konsumen, juga diatur kewajiban konsumen. Menurut Imam Buchari Abdullah, kewajiban konsumen yaitu:

a. Bersikap kritis; b. Berani Bertindak;

c. Memiliki kepedulian sosial;

d. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup;

e. Memiliki rasa setia kawan.17

17

Imam Buchari dkk, Menggugat Hak panduan Konsumen Bila Dirugikan, YLKI, Jakarta, 1990, hal 2.

(19)

Kewajiban-kewajiban Konseumen menurut UUPK yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UUPK yaitu:

a. Membaca dam mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tersebut diatas, setidaknya konsumen dapat memperhatikan hak dan kewajiban tersebut diatas dan menerapkannya dalam melakukan tindakan hukum sebagai konsumen sehingga dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan dialaminya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya sebagai konsumen.

3) Kepentingan Konsumen

Menurut A.Z. Nasution ada beberapa bentuk kepentingan konsumen, yaitu :

1. Kepentingan Fisik

Kepentingan Fisik adalah kepentingan badan konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan kesehatan tubuh dan atau jiwa mereka dalam penggunaan barang atau jasa konsumen.

(20)

2. Kepentingan Sosial Ekonomi

Kepentingan ini menghendaki agar konsumen dapat memperoleh hasil optimal dari konsumen dan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup mereka. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines For Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi meliputi:

a) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap

kesehatan dan keamanannya;

b) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c) Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka memberikan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d) Pendidikan konsumen;

e) Tersedianya ganti rugi yang efektif;

f) Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut

kepentingan mereka.18

3. Pelaku Usaha

1) Pengertian Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 1 butir 3 UUPK, pengertian Pelaku Usaha adalah : “Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

18

(21)

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (3) UUPK dijelaskan bahwa yang termasuk pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Menurut A.Z. Nasution, pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka (3) UUPK terdiri dari:

1. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.

2. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.

3. Pengusaha jasa.19

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memberikan pengertian pelaku usaha, yaitu:

Pengusaha adalah:

a) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan yang bukan miliknya;

19

(22)

c) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) dan (2) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia

2) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha kepada pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak. Hak-hak pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 UUPK antara lain :

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaaan sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan merupakan hal yang lumrah. Hal ini berkaitan dengan kewajiban konsumen untuk membayar sesuai dengan nilai produk barang dan/atau jasa yang telah diterima konsumen dari produsen. Pelaku usaha tidak dapat menuntut hal yang lebih kepada konumen mengenai pembayaran suatu produk barang dan/atau jasa bila barang dan/atau jasa yang diberikan

(23)

konsumen tidak sesuai dengan apa yang diminta konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho, hak pelaku usaha dalam Pasal 6 huruf b, c, dan d merupakan hak pelaku usaha yang berhubungan dengan pihak aparat

pemerintah atau badan penyelesaian sengketa konsumen atau pengadilan.20

Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga mempunyai kewajiban. Kewajiban Pelaku Usaha terdapat dalam Pasal 7 UUPK yang harus dilakukan pelaku usaha antara lain :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3) Memeperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho, kewajiban untuk beritikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha:

“Dalam Undang-undang perlindungan konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna jual, sebaliknya

20

(24)

konsumen hanya diwajibkan untuk beritikad baik dalam melakukan

transaksi pembelian barang dan/atau jasa.”21

Kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan kondisi barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan perbaikan, dan pemeliharaan, merupakan hal yang penting bagi konsumen karena dengan adanya informasi yang benar, jelas dan jujur tersebut, konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodho, informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu dari jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan

konsumen.22

3) Larangan Bagi Pelaku Usaha

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK dapat kita bagi dalam dua larangan pokok, yaitu :

1) Larangan mengenai kelayakan produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan

tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.23

Larangan bagi pelaku usaha menurut Pasal 8 UUPK dirumuskan sebagai berikut:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

21 Ibid, hal 54.

22

Ibid, hal 55 23 Ibid , hal 39

(25)

a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan

jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c) tidak sesuai dengan ukuran takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g) tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan, pemanfaatan yang paling baik atas barang terseut;

h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih/netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembutan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara benar dan lengkap atas informasi yang dimaksud;

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa informasi secara lengkap dan benar;

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu:

(26)

1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memnuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar,

dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.24

Larangan lain bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 10 UUPK adalah :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau memuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan. Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Untuk tujuan itulah, maka dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, diharapkan konsumen dan pelaku usaha saling menghargai dan menjalankan fungsinya masing-masing dalam perekonomian sehingga kegiatan perekonomian dapat berjalan dengan baik.

24

(27)

Mengingat peran konsumen yang sangat penting dalam perekonomian sebagai pembeli hasil produksi maka pelaku usaha bertanggung jawab memproduksi barang dan/atau jasa dengan memperhatikan kepentingan konsumen yang berkaitan dengan hak konsumen atas hak akan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa.

4) Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berbicara tentang perlindungan Kosumen sama halnya dengan membicarakan tentang tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha menurut W. J. S. Poerwadarminta yaitu

“Suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan

sebagainya).”25

Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat pengerian tanggung jawab adalah:

“Suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Penanggung jawab merupakan pihak yang bertanggung jawab. Sedangkan pertanggungjawaban sendiri memiliki arti perbuatan (hal tersebut) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

dipertanggung jawabkan.” 26

Tanggung jawab pelaku usaha menurut Pasal 19 UUPK disebutkan: 1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana yang disebut ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara

25

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 1014

26

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal. 899.

(28)

nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santuanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

1. Tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan; 2. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran; dan 3. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.

Kelemahan yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen adalah ketentuan Pasal 19 ayat (3) yang menentukan bahwa pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan ini dipertahankan maka konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan menderita kerugian. Oleh karena itu, agar UUPK ini dapat memberikan perlindungan yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan pelaku usaha, maka seharusnya Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa

(29)

tenggang waktu pemberian ganti rugi kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 (tujuh) hari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.

Secara umum, tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk barang dan/atau jasa baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum.

Tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi maka terlebih dahulu penggugat dan tergugat (produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian, dengan demikian pihak ketiga (bukan pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti rugi dengan alasan wanprestasi. Ganti rugi ini diperoleh karena merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/ garansi dalan perjanjian. Berbeda dengan tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian, tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dan konsumen.

Berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha menurut Pasal 24 UUPK lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

(30)

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Berkaitan dengan beban pembuktian unsur kesalahan sudah diatur dalam pasal 28 UUPK yakni:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”

Berdasarkan ketentuan pasal 28 UUPK di atas, bahwa beban pembuktian unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini memberikan konsekuensi hukum bahwa pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul bukan merupakan kesalahannya, terbebas dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi.

4. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK disebutkan :

”Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

Penjelasan Pasal 2 UUPK dalam rangka mewujudkan membangun manusia seutuhnya, diselenggarakan berdasarkan 5 asas yang relevan dengan

(31)

pembangunan nasional. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

a) Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan agar konsumen diberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini tersirat dalam Pasal 3 huruf a, Pasal 3 huruf b, Pasal 3 huruf e Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

b) Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar seluruh masyarakyat dalam berpartisipasi dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. Asas keadilan terdapat dalam Bab III Undang – Undang Perlindungan Konsumen tentang hak dan kewajiban.

c) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti meteriil maupun spirituil. Asas keseimbangan ini tersirat dalam bagian menimbang huruf f Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen bermaksud untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

(32)

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini tertuang dalam Pasal 3 huruf f Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

e) Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Asas ini terdapat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 3 huruf d Undang – Undang Perlindungan Konsumen.

Kelima asas diatas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepatian hukum.

Asas keseimbangan yang dikelompokan kedalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing–masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyerta pelaku usaha dan konsumen.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang

(33)

konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat perlindungan yang diberikan

kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara menyeluruh.27

5. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen

Selain di dalam UUPK, hukum perlindungan konsumen dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) UUPK disebutkan:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.” Pasal 64 UUPK ditujukan untuk menghindari kemungkinan adanya kekosongan hukum, dalam arti ketentuan yang ada di luar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetap dapat dijadikan dasar yang digunakan sebagai upaya memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.

Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan konsumen diantaranya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar 1945

1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini adalah hak

27

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.26-28

(34)

warga Negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya hak yang bersifat fisik, material, tetapi hak bersifat psikis seperti hak mendapatkan pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan.

2. Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa, pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen karena hak konsumen terdapat di dalamnya.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Buku III tentang Perikatan antara lain: 1) Pasal 1238 KUHPerdata, berbunyi:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal ini menentukkan tentang waktu yang dinyatakan debitur lalai, yaitu jika hingga lewatnya waktu yang ditetapkan, debitur belum melaksanakan perikatan/prestasi yang telah ditentukan.

(35)

2) Pasal 1267 KUHPerdata, berbunyi:

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal tersebut masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”

Pasal ini memberikan pilihan kepada debitur untuk menunjuk pihak debitur karena perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih tuntutan sebagai berikut:

a. pemenuhan perjanjian;

b. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. pembatalan perjanjian;

d. pembatalan disertai ganti rugi.28

3) Pasal 1365 KUHPerdata, berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Pasal ini mengatur tentang ganti rugi yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi hak konsumen, apabila seseorang dalam hal ini konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha.

4) Pasal 1320 KUHPerdata, berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu adanya:

a. persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian.

b. kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian. c. suatu hal tertentu.

d. suatu sebab yang halal.”

Perjanjian tersebut menjadi bukti adanya hubungan atau transaksi antara konsumen dan produsen sebagai dasar pemenuhan hak dan

28

(36)

kewajiban diantara mereka. Jika syarat 1 dan 2 tidak terpenuhi maka akibatnya adalah dapat dibatalkan dan apabila syarat 3 dan 4 tidak terpenuhi maka akibatnya adalah batal demi hukum.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dalam Buku III tentang Pelanggaran antar lain Pasal 204, 205, 393 KUHP.

Berbagai peraturan perudang-undangan lainnya, diantaranya: 1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;

2) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib daftar

Perusahaan;

4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 5) Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; 6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

Industri;

7) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

8) Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);

9) Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; 10) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

11) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

12) Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; 13) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 14) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 15) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; 16) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; 17) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 18) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah;

19) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

20) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang.

(37)

6. Pihak-pihak dalam Perlindungan Konsumen

Konsep perlindungan konsumen pada hakikatnya memberikan perlindungan terhadap konsumen, akan tetapi perlindungan konsumen bukanlah masalah konsumen sendiri. Setiap usaha atau upaya yang bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya selalu melibatkan berbagai pihak. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen, oleh karena itu tidak hanya melibatkan satu pihak saja.

Keterlibatan berbagai pihak yang saling terkait di dalam praktik perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut:

1. Konsumen

Semua manusia pada kodratnya adalah konsumen. Konsumen merupakan pihak dalam perlindungan konsumen yang memiliki bargaining power, nilai tawar maupun kedudukan yang baik secara pendidikan maupun secara ekonomi cenderung lemah. Untuk itu, perlu jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum. Konsumen diartikan sebagai sebagai konsumen akhir, yaitu orang yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak ntuk diperdagangkan.

Disini konsumen akhir dibedakan dengan pembeli akhir, pengertian konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir. Konsumen akhir tidak harus berperan sebagai pembeli, namun dapat berkedudukan sebagai konsumen karena menerima barang pemberian orang lain.

(38)

2. Pelaku Usaha

Menurut UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Berdasarkan pengertian diatas, pelaku usaha diartikan cukup luas tanpa membedakan apakah perorangan maupun badan usaha, berbentuk badan hukum maupun bukan berbentuk badan hukum, sendiri maupun bersama-sama kesemuanya tidak menjadi masalah asalkan melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi demi memperoleh keuntungan yang komersial.

3. Pemerintah

Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat peraturan atau kebijaksanaan, melaksanakan dan menjalankan pelaksanaan peraturan yang dibuatnya agar ditaati oleh para pihak (para pihak yang dimaksud adalah pelaku usaha dan konsumen), yang ada dalam daerah pemerintahannya. Pemerintah disini bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan dengan baik.

Diantara Pihak-pihak yang disebutkan di atas, juga melibatkan beberapa pihak yang saling terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai berikut:

(39)

a) Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.

Yang dimaksud departemen atau instansi terkait adalah departemen atau instansi yang berwenang menangani, antara lain mengenai masalah perizinan, penentuan standar mutu dan sebagainya dari produk yang bersangkutan.

b) Organisasi Pelaku Usaha

Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang bersangkutan.

c) Organisasi Konsumen

Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk melindungi hak-hak konsumen, mewakili konsumen jika ada permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 1973.

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan.

(40)

B. PT. Pos Indonesia a. Pengertian Pos

PT. Pos Indonesia merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pos sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos:

“adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.”

Seperti kita ketahui sebelumnya, masyarakat mengetahui kantor pos hanya tempat untuk mengirimkan barang atau jasa, namun sekarang kantor pos juga melayani pembayaran rekening listrik secara online. Pembayaran rekening listrik yang dilakukan kantor pos merupakan salah satu hal yang baru bagi kantor pos, tetapi jika kita melihat pengertian pos sebagaimana tersebut diatas, disana disebutkan bahwa salah satu layanan dalam pos yaitu layanan transaksi keuangan, karena pembayaran rekening listrik secara online melalui kantor pos merupakan pembayaran tagihan rekening listrik dari masyarakat kepada pihak PT. Pos Indonesia, dimana disini ada kegiatan transaksi keuangan dari masyarakat kepada PT. Pos Indonesia, dan dana yang didapat PT. Pos Indonesia dalam pembayaran rekening listrik secara online kepada PT. PLN, sehingga disini terjadi kegiatan pelayanan jasa yang dilakukan PT. Pos Indonesia kepada PT. PLN oleh karena itu kegiatan tersebut merupakan layanan transaksi keuangan.

(41)

Menurut Pasal 1 angka (3) UU No. 38 Tahun 2009, Penyelenggara Pos adalah keseluruhan kegiatan dan penatausahaan layanan pos. Dalam melakukan kegiatan usahanya, berhak menetukan tarif yang besarnya dituntukan oleh penyelenggara pos yang dihitung berdasarkan formula perhitungan berbasis biaya.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 disebutkan bahwa tugas Pos:

a. Layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik; b. Layanan paket;

c. Layanan Logistik;

d. Layanan transaksi keuangan; dan e. Layanan keagenan pos.

Asas-asas Pos sebagaimana disebutkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 yaitu: a. Kemanfaatan; b. Keadilan; c. Kepastian Hukum; d. Persatuaan; e. Kebangsaan;

f. Keamanan dan Keselamatan; g. Kerahasiaan;

h. Perlindungan; i. Kemandirian; dan j. Kemitraan.

Tujuan dari pos itu sendiri adalah:

a. Meningkatkan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan hubungan antarbangsa dan antarnegara;

b. Membuka peluang usaha, memperlancar perekonomian nasioanl, dan mendukung kegiatan pemerintahan;

(42)

c. Menjamin kualitas layanan komunikasi tertulis dan surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos; dan

d. Menjamin terselenggaranya layanan pos yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Sejarah PT. Pos Indonesia

PT. Pos Indonesia merupakan salah satu badan usaha yang menyelenggarakan pos. Bentuk usaha pos indonesia ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1995. Peraturan Pemerintah tersebut berisi tentang pengalihan bentuk awal pos yang tadinya perusahaan umum (Perum) menjadi perusahaan (Persero). Dalam melaksanakan pelayanan pos Indonesia, Pos Indonesia membagi wilayah pelayanan menjadi sebelas wilayah atau regional, salah satunya wilayah VI cabang semarang yang meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah.

PT. Pos Indonesia dalam menjalankan perusahaannya menetapkan visi dan misi yang dijadikan pedoman dalam mencapai sasaran dan tujuan dari kegiatan pos yang bersangkutan. Visi PT. Pos Indonesia yaitu:

1. 2009-2010: integrated mail, logistik & financial services infranstructures.

2. 2010-2011: indonesia’s leader the mail, logistik & financial services.

3. 2014- 2018: ASEAN champions of Postal Industries.29

Misi PT. Pos Indonesia yaitu “Pos Indonesia menyediakan solusi handal dalam mail, logistik dan jasa keuangan dengan menggunakan jaringan bisnis

29

(43)

dan infrastruktur terluas dan terpadu serta mengembangkan hubungan kolaboratif.30

c. Jasa Layanan Pos

Jasa layanan pos merupakan jasa sebuah perusahaan pos yang melayani layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, menyebutkan:

 Layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik merupakan pengumpulan, pemrosesan, pengangkutan dan penyampaian informasi berupa surat, warkat pos, kartu pos, barang dokumen, cetakan dan/atau sekogram.

 Layanan paket berupa layanan kegiatan pengambian, pengantaran, dan/atau penerimaan barang.

 Layanan logistik berupa kegiatan perencanaan, penanganan, dan pengendalian terhadap pengiriman dan penyimpanan barang, termasuk informasi dan jasa pengurusan, dan administrasi terkait yang dilaksanakan oleh penyelenggara pos.

 Layanan transaksi keuangan berupa kegiatan penyetoran,

penyimpanan, dan pemindahbukuan, pendistribusian, dan

pemindahan uang dari dan/atau untuk pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

30

(44)

 Layanan keagenan pos berupa penyediaan sarana dan prasaran untuk layanan pos.

Pembayaran rekening listrik yang dilakukan oleh pos merupakan salah satu layanan pos yang merupakan layanan keagenan pos karena merupakan penyetoran kepada pengguna jasa lain yaitu pihak PLN. Dalam melaksanakan kegiatannya tersebut, penyelenggaraan pos harus dilaksanakan dengan prima dann berpedoman pada standar pelayanan sebagaimana yang disebutkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 tahun 2009 menyebutkan bahwa:

“Penyelenggaraan Pos dilakukan dengan pelayanan prima dan berpedoman pada standar pelayanan”

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:

“Penyelenggaraan Pos harus menggunakan perangkat yang memenuhi standar teknis yang berlaku nasional dan/atau internasional.”

Pasal 28 UU No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos menyebutkan pengguna layanan pos berhak mendapatkan ganti rugi apabila terjadi:

a. Kehilangan kiriman; b. Kerusakan isi paket;

c. Keterlambatan kiriman; atau

Referensi

Dokumen terkait

Kajian mengenai kelimpahan fitoplankton dengan kualitas perairan telah dilakukan di Teluk Jakarta (Yuliana dkk , 2012) pada penelitian ini Yuliana memperoleh hasil

Pada uji coba yang telah dilakukan, motif yang dapat diklasifikasikan sistem secara sempurna adalah motif Ceplok, motif Lung-lungan dan motif Parang, sedangkan untuk

pemerintah China dalam pemberantasan korupsi salah satunya juga diwujudkan dengan ikut meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi yang memasukkan suap kepada pejabat

Sistem kontinyu yang dilakukan terlihat bahwa untuk rasio C dan N 1:1 maka hasil panen mikroalga akan diperoleh terbaik pada waktu dua hari kultivasi.. Kata kunci :

Koefisien Determinasi (KD) = R Square dari hasil perhitungan pada tabel diatas sebesar 0,543. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya hubungan kompensasi dan iklim

Sistem informasi penggajian karyawan yang telah dibuat dapat membantu dalam penyimpanan data karyawan, pembuatan jadwal shift kerja, membuat surat perintah lembur,

Bubuk kaca butiran halus yang bersifat - ini dapat mengisi rongga1rongga kosong pada beton sehingga dapat mengurangi porositas beton, penggunaan limbah industri

Bagian tanaman pisang yang digunakan pada penelitian ini yaitu bonggol pisang ambon, meskipun sebelumnya pernah ada yang meneliti bonggol pisang sebagai