• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Pengembangan

Bahan Bakar Nabati

(2)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... 1 DAFTAR TABEL ... 5 DAFTAR GAMBAR ... 6 BAB 1 PENDAHULUAN ... 7 1.1 Latar Belakang ... 7

1.2 Tujuan Dan Sasaran ... 10

1.2.1 Tujuan ... 10

1.2.2 Sasaran... 11

1.3 Ruang Lingkup ... 11

1.4 Keluaran ... 11

1.5 Metodologi ... 11

BAB 2 INVENTARISASI DAN EVALUASI PERATURAN BERKAITAN DENGAN BAHAN BAKAR NABATI 2.1 Inventarisasi Peraturan Lingkup Internasional ... 14

2.1.1 Global Bioenergy Partnership (GBEP) ... 14

2.1.2 RSPO Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production Tahun 2007 ... 15

2.1.3 EU Directive Tahun 2009 tentang Persyaratan Ekspor Minyak Sawit .... ... 15

2.1.4 Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries/REDD) Tahun 2007 ... 16

2.2 Inventarisasi Peraturan Lingkup Nasional ... 16

2.2.1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi ... 16

2.2.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional ... 17

2.2.3 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan ... 19

(3)

2.2.4 Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan

dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu ... 20

2.2.5 Peraturan Presiden No 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit ... 20

2.2.6 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan GRK Nasional ... 21

2.2.7 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. ... 21

2.2.8 Peraturan Menteri Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 tentang Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar ... 22

2.2.9 Peraturan Menteri Pedagangan RI No 54/M-DAG/PER/9/2013 tentang Tata Cara Patokan Harga Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar ... 23

2.2.10 Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tataniaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain ... 23

2.2.11 Keputusan Menteri ESDM No 3239 K/12/MEM/2015 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan kedalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Minyak Khusus Penugasan ... 24

2.3 Evaluasi Peraturan Lingkup Nasional ... 25

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH DALAM PENGEMBANGAN ENERGI BAHAN BAKAR NABATI 3.1 Kementerian ESDM (Direktorat Jenderal ETBKE) ... 29

3.2 Produsen dan Industri Pengolah Bahan Baku ... 30

3.3 Industri Refineri ... 31

3.4 Produsen Biofuel ... 31

3.5 Industri Pencampur dan Distributor Produk Campuran BBN dan BBM ... 32

(4)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 3

BAB 4 ANALISIS KAJIAN AKADEMIS SEBAGAI LANDASAN

PENYUSUNAN PEDOMAN PENGEMBANGAN BAHAN BAKAR NABATI

4.1 Analisis Tanaman Sebagai Bahan Baku BBN ... 36

4.1.1 Gambaran Umum Tanaman BBN dan Karakteristiknya ... 36

4.1.2 Jenis Tanaman Potensial ... 37

4.1.2.1 Tanaman Kelapa Sawit ... 37

4.1.2.2 Tanaman Kelapa ... 39

4.1.2.3 Tanaman Jarak ... 40

4.1.2.4 Tanaman Nyamplung ... 41

4.1.2.5 Tanaman Kemiri Sunan ... 41

4.1.2.6 Tanaman Pongamia ... 42 4.1.2.7 Tanaman Karet ... 43 4.1.2.8 Tebu ... 44 4.1.2.9 Ubi Kayu ... 46 4.1.2.10 Tanaman Jagung ... 47 4.1.2.11 Tanaman Sagu ... 48 4.1.2.12 Tanaman Aren ... 49 4.1.2.13 Tanaman Sorgum ... 50

4.1.3 Pemilihan Tanaman BBN Potensial ... 52

4.1.4 AHP Tanaman BBN Penghasil Biodiesel ... 55

4.1.5 AHP Tanaman BBN Penghasil Bioetanol ... 57

4.2 Analisis Kebijakan Pengembangan BBN... 58

BAB 5 PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI BERBASIS BAHAN BAKAR NABATI 5.1 Analisis SWOT Kebijakan Pengembangan Energi Berbasis BBN ... 62

5.2 Rumusan Strategi Kebijakan Pengembangan BBN ... 62

5.3 Prioritas Strategi Kebijakan Pengembangan Bahan Bakar Nabati ... 69

(5)

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan ... 84 6.2 Rekomendasi ... 85

(6)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 5

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator GBEP tentang Pengembangan Bioenergi Berkelanjutan ... 14

Tabel 2.2 Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada 5 Sektor ... 21

Tabel 2.3 Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Biodiesel ... 24

Tabel 2.4 Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Bioetanol ... 24

Tabel 2.5 Evaluasi Peraturan BBN ... 25

Tabel 2.6 Evaluasi Peraturan BBN (lanjutan) ... 26

Tabel 3.1 Identifikasi Permasalahan dalam Pengembangan Energi BBN... 34

Tabel 4.1 Komoditas Tanaman BBN dan Tujuh Parameter yang Digunakan untuk Penentuan Prioritas Pengembangan ... 55

Tabel 4.2 Inventarisasi Hasil Kajian Akademis Kebijakan Pengembangan BBN ... 60

Tabel 5.1 Identifikasi SWOT Kebijakan Pengembangan BBN ... 63

Tabel 5.2 Rumusan Strategi SO dan ST untuk kebijakan pengembangan BBN ... 65

Tabel 5.3 Rumusan Strategi WO dan WT Untuk Kebijakan Pengembangan BBN .... 67

Tabel 5.4 Rumusan Strategi Kebijakan Pengembangan BBN ... 68

Tabel 5.5 Rekaman Hasil FGD Pengembangan Kebijakan BBN ... 69

Tabel 5.5 Rekaman Hasil FGD Pengembangan Kebijakan BBN (lanjutan) ... 71

Tabel 5.5 Rekaman Hasil FGD Pengembangan Kebijakan BBN (lanjutan) ... 73

Tabel 5.6 Rekaman Hasil Seminar Pengembangan Kebijakan BBN ... 74

Tabel 5.6 Rekaman Hasil Seminar Pengembangan Kebijakan BBN (Lanjutan) ... 76

Tabel 5.7 Urutan Prioritas Strategi Kebijakan Pengembangan BBN ... 78

Tabel 5.8 Penilaian prioritas strategi kebijakan pengembangan BBN ... 80

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Target Bauran Energi 2025 ... 8

Gambar 1.2 Produksi dan Konsumsi Biodiesel (KESDM 2015) ... 9

Gambar 1.3 Pasokan Energi Primer Tahun 2014 ... 10

Gambar 2.1 Target Bauran Energi Primer Nasional ... 18

Gambar 4.1 Klasifikasi Tanaman BBN ... 37

Gambar 4.2 Buah Kepala Sawit ... 38

Gambar 4.3 Buah Kelapa ... 39

Gambar 4.4 Buah Jarak ... 40

Gambar 4.5 Buah Nyamplung ... 41

Gambar 4.6 Buah Kemiri Sunan ... 42

Gambar 4.7 Buah Pongamia ... 43

Gambar 4.8 Biji Karet ... 44

Gambar 4.9 Batang Tanaman Tebu ... 45

Gambar 4.10 Akar Singkong ... 46

Gambar 4.11 Buah Jagung ... 47

Gambar 4.12 Batang Sagu ... 49

Gambar 4.13 Buah Aren ... 50

Gambar 4.14 Biji Sorgum ... 51

Gambar 4.15 Hirarki pemilihan Tanaman BBN Penghasil Biodiesel ... 56

Gambar 4.16 Nilai Skor Kriteria Pemilihan Bahan Baku BBN Potensial ... 56

Gambar 4.17 Nilai Skor Kriteria Pemilihan Bahan Baku BBN Potensial ... 57

Gambar 4.18 Hirarki Pemilihan Tanaman BBN Penghasil Bioetanol ... 57

Gambar 4.19 Nilai Bobot Tanaman BBN Penghasil Bioetanol ... 58

(8)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor energi masih memiliki peranan penting dan menjadi faktor strategis bagi perekonomian nasional. Tidak hanya sebagai penopang utama penerimaan negara dalam APBN, tapi juga memasok kebutuhan energi, bahan baku industri, menciptakan lapangan kerja, menarik investasi serta mendorong pertumbuhan di daerah. Pada tahun 2014 penerimaan negara di sektor energi dan sumber daya mineral mencapai Rp 464,25 triliun. Penerimaan tertinggi berasal dari minyak dan gas bumi sebesar Rp 320,25 triliun, dikuti batu bara sebesar Rp. 142, dan sisanya dari sektor lain (KESDM 2015). Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia pada tahun 2014 meningkat 3,1%. Jumlah total energi yang dikonsumsi itu, Indonesia masih tergantung pada energi fosil yang terdiri dari minyak 42,3%, batubara sebesar 34,8%, gas sebesar 19,8%, hidro sebesar 1,9%, sementara energi terbarukan yang memiliki potensi besar hanya sebesar 1,3% (BPS 2015). Ketergantungan terhadap energi fosil yang relatif masih cukup tinggi dapat menimbulkan permasalahan diantaranya i) menipisnya cadangan energi fosil, ii) kenaikan harga akibat laju permintaan lebih besar dari produksinya, dan iii) emisi gas rumah kaca akibat pembakaran energi fosil.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak di dunia yang jumlah cadangannya pada saat ini tinggal sekitar 0,20% dari cadangan minyak dunia. Mulai tahun 1995 produksi minyak bumi Indonesia terus mengalami penurunan, dari sekitar 1,6 juta bpd menjadi hanya sekitar 789 ribu bpd tahun 2014. Akibatnya Sejak tahun 2008 Indonesia telah menjadi net importir minyak bumi. Dalam kurun waktu tahun 2010-2013, laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau Reserve to

Replacement Ratio (RRR) sekitar 55%. RRR ini tergolong rendah dibandingkan dengan

sasaran RRR ideal yaitu sebesar 100%. Rendahnya RRR disebabkan karena kurangnya kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan juga eksplorasi yang dilakukan oleh pihak swasta karena kurang kondusifnya iklim investasi migas. Selain permasalahan ketersediaan cadangan, gangguan pada produksi minyak bumi juga diakibatkan oleh persoalan teknis, diantaranya adalah unplanned shutdown, serta faktor non-teknis (lahan, perizinan, tataruang, dan keamanan) yang kerap kali menjadi kendala dalam upaya peningkatan produksi minyak bumi.

(9)

Gejolak harga energi beberapa tahun belakangan ini merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecenderungan harga energi yang selalu meningkat dalam sepuluh tahun terakhir telah berubah dengan turunnya harga minyak, dari sekitar US$100 per barel pada tahun 2014 menjadi sekitar US$ 35 perbarel pada akhir tahun 2015. Keadaan harga yang diluar kewajaran ini akan mempengaruhi ekonomi dan politik dunia. Gejolak penurunan harga minyak dunia akan berdampak pada ikut menurunnya tingkat inflasi global sebesar 0,4-0,9 persen sepanjang tahun 2015. Konstelasi keseimbangan perekonomian secara global ini juga akan mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri, yang akan mempengaruhi juga kebijakan energi nasional.

Minyak mentah dan BBM telah diimpor guna mengatasi permintaan yang melonjak dari tahun ke tahun sehingga ketahanan energi nasional rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan/permintaan minyak mentah dunia. Untuk itu diperlukannya penganekaragaman energi selain energi berbasis fosil dalam penyediaan energi nasional diantaranya energi berbasis bahan nabati. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No.79 tahun 2014 mengeluarkan kebijakan energi nasional yang merupakan revisi dari Peraturan Presiden No.5 tahun 2006. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan keamananan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama meliputi penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien, penetapan harga energi kearah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan. Kebijakan ini juga memuat target pencapaian bauran energi (energy mix) sampai tahun 2025 seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Target Bauran Energi 2025 EBT 23% Batu bara 30% Gas Bumi 22% Minyak Bumi 25% EBT Batu bara Gas Bumi Minyak Bumi

(10)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 9 Upaya Pemerintah mendorong penggunaan BBN untuk mengurangi konsumsi BBM yang berasal dari minyak bumi diawali dengan, Peraturan Presiden RI No.5 tahun 2006 yang mentargetkan pemanfaatan BBN hingga 5% dari total energi primer pada tahun 2025, dan ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya mandatori penggunaan BBN melalui Peraturan Menteri ESDM No.32 tahun 2008. Target mandatori ini terus ditingkatkan melalui beberapa kali perubahan Peraturan Menteri ESDM, dan yang terbaru adalah, target menjadi 30% biodiesel dan 20% bioetanol dari total kebutuhan minyak solar dan bensin pada tahun 2025 (PerMen ESDM No.12/2015).

Pemanfaatan BBN semenjak dikeluarkannya peraturan mandatori pada tahun 2008 belum pernah mencapai target. Implementasi madatori BBN pada tahun 2014 mencapai 1,69 juta kl atau hanya mencapai 43% dari target. Produksi BBN pada tahun 2014 berasal dari biodiesel, sementara bioetanol secara nasional belum dapat berproduksi secara baik. Namun demikian produksi biodesel terus berkembang, pada tahun 2009 produksi biodiesel sebesar 190 ribu kl meningkat 17 kali lipat menjadi 3,3 juta kl pada tahun 2014. Produksi biodiesel 51% dikonsumsi dalam negeri dan sisanya diekspor. Penggunaan biodiesel untuk konsumsi dalam negeri dapat menghemat devisa US$ 1,23 miliar (KESDM 2015).

Gambar 1.2 Produksi dan Konsumsi Biodiesel (KESDM 2015)

Untuk mempercepat pengembangan Bahan Bakar Nabati dikeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar lain dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran

(11)

melalui Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006. Tim nasional ini berkewajiban untuk menyusun Blue Print dan Road Map Pengembangan BBN. Permasalahan di dalam pengembangan energi BBN diantaranya adalah harga BBN yang mahal karena harga bahan baku juga mahal, sehingga diperlukan arah kebijakan dalam pengembangan energy BBN. Masih kecilnya pemanfaatan BBN untuk menopang penyediaan energi nasional memerlukan perencanaan yang komprehensif dan berimbang sehingga target yang ditetapkan di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dapat tercapai.

Gambar 1.3 Pasokan Energi Primer Tahun 2014

Pada tahun 2014 porsi minyak bumi dalam bauran energi nasional sebesar 43%, sedangkan EBT hanya sebesar 4% sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3. Persoalan dalam pengembangan sumber daya EBT khususnya bahan bakar nabati antara lain belum optimalnya pengembangan dan pemanfaatan BBN disebabkan antara lain karena harga BBN kalah bersaing dengan harga energi fosil yang sebagian masih disubsidi terlebih lagi harga minyak bumi semakin rendah. Selain itu, penggunaan BBN pada sektor transportasi masih terkendala pada kemampuan mesin kendaraan untuk dapat menggunakan BBN 100%, dan beberapa kendala lainnya.

1.2 Tujuan Dan Sasaran 1.2.1 Tujuan

Tujuan dari Kegiatan Kajian Bahan Bakar Nabati adalah agar dapat dihasilkan suatu pedoman dan arah kebijakan untuk pengembangan energi berbasis bahan nabati, sehingga mempunyai landasan yang cukup kuat serta komprehensif dalam menerapkan pengembangan bahan bakar nabati.

(12)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 11

1.2.2 Sasaran

Menyusun kebijakan tentang percepatan pengembangan energi berbahan bakar nabati sehingga dapat menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan energi nasional dan dapat menjadi masukan dalam penyusunan dokumen perencanaan jangka pendek/RKP.

1.3 Ruang Lingkup

1. Inventarisasi dan mengevaluasi peraturan dan ketentuan berkaitan dengan BBN. 2. Identifikasi masalah-masalah yang ada dalam pengembangan energi BBN. 3. Analisis kajian akademis sebagai landasan penyusunan pedoman pengembangan

BBN.

4. Perumusan alternatif kebijakan pengembangan energi BBN.

1.4 Keluaran

Laporan pelaksanaan kegiatan Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati yang dapat dijadikan rekomendasi untuk membuat suatu kebijakan dalam dokumen perencanaan jangka pendek mengenai percepatan pengembangan bahan bakar nabati.

1.5 Metodologi

1.5.1 Metodologi Pengumpulan Data

Analisis yang akan dilakukan dalam kajian adalah analisis data sekunder (secondary data analysis/desk study). Sedangkan data yang diperlukan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer melakukan kunjungan lapangan ke daerah-daerah untuk mengetahui kondisi data yang terkait dengan kajian ini, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan review dokumen. Berkaitan dengan pengumpulan data dalam melakukan studi maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Melaksanakan koordinasi melalui rapat kerja, konsinyasi, lokakarya ataupun seminar. Rapat kerja anggota tim kajian dilakukan untuk mengkoordinasikan kegiatan kajian agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan, sasaran dan timeline yang telah disepakati, konsinyasi dilakukan untuk mempersiapkan perumusan dan pembuatan laporan awal, tengah dan akhir. Untuk mendapatkan masukan lebih banyak dan mendalam mengenai bahan bakar nabati dilakukan kegiatan lokakarya/seminar, dengan mengundang pemangku kebijakan baik pusat maupun daerah, stakeholder, serta narasumber pakar.

(13)

b. Melakukan diskusi yang terencana dengan praktisi, pengguna dan para narasumber terkait dalam pengembangan bahan bakar nabati.

c. Melakukan Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa pemangku kebijakan serta stakeholder khususnya yang terkait dengan sektor energi. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi (brainstorming) yang bertujuan untuk mendapatkan, mengidentifikasi dan menggali informasi lebih mendalam mengenai penyediaan bahan baku biofuel, proses untuk menghasilkan biofuel dan penggunaan produk biofuel yang akan dijadikan masukan bagi pengembangan bahan bakar nabati.

1.5.2 Metolodologi Analisis

Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis kondisi yang ada, merumuskan strategi pemecahan masalah, serta pengembangan dan atau perbaikan kebijakan pengembangan BBN secara berkelanjutan. Analisis SWOT meliputi komponen kebijakan dan kondisi yang menyangkut penyediaan bahan baku produk biofuel, proses untuk menghasilkan biofuel dan atau produk campuran biofuel dengan BBM jenis tertentu, dan penggunaan produk biofuel dan atau produk campuran biofuel dengan BBM jenis tertentu.

Cakupan analisis SWOT meliputi komponen lahan, komoditi tanaman, dan produk hasil olahan komoditi tanaman untuk digunakan sebagai bahan baku biofuel, proses untuk menghasilkan biofuel dan atau produk campuran biofuel dengan BBM jenis tertentu, dan penggunaan produk biofuel dan atau produk campuran biofuel dengan BBM jenis tertentu. Stakeholder yang terlibat meliputi petani atau perusahaan penghasil komoditi dan industri pengolahan komoditi, industri penghasil biofuel dan atau industri pencampur biofuel dengan bbm jenis tertentu, industri pengguna biofuel dan atau industri pencampur biofuel dengan BBM jenis tertentu, antara lain industri otomotif dan pembangkit listrik.

RIA adalah suatu metode yang sistematis dan konsisten untuk menganalisis suatu regulasi atau tindakan pemerintah, serta mengkomunikasikan regulasi tersebut kepada para pengambil keputusan (ADB 2002). Metode RIA digunakan untuk menilai suatu regulasi, untuk mengevaluasi keterkaitan antara kebutuhan masyarakat dan sasaran kebijakan, kebutuhan terhadap intervensi pemerintah, efisiensi antara input dan output, efektifitas antara sasaran kebijakan dan hasil, keberlanjutan antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum diterapkannya atau dirubahnya suatu regulasi.

(14)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 13 Tahapan metode RIA meliputi perumusan masalah, identifikasi tujuan kebijakan, identifikasi alternatif penyelesaian masalah, analisis manfaat dan biaya, komunikasi dengan stakeholders, penentuan alternatif terbaik, perumusan strategi implementasi kebijakan (OECD 2008). Metode RIA dipilih karena dapat memberikan gambaran terhadap besarnya manfaat dari kebijakan yang ditetapkan, serta proses RIA melibatkan komunikasi dari stakeholder yang terlibat, yang pada kajian ini proses tersebut sudah dilaksanakan melalui FGD.

(15)

BAB 2

INVENTARISASI DAN EVALUASI PERATURAN BERKAITAN

DENGAN BAHAN BAKAR NABATI

2.1 Inventarisasi Peraturan Lingkup Internasional 2.1.1 Global Bioenergy Partnership (GBEP)

GBEP mengukur indikator-indikator tentang pengembangan bioenergi secara berkelanjutan. Indikator keberlanjutan ada 24 yang dikelompokan dalam 3 (tiga) pilar yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi dan telah disetujui oleh 23 negara.

Tabel 2.1 Indikator GBEP tentang Pengembangan Bioenergi Berkelanjutan

PILARS

ENVIRONMENT SOCIAL ECONOMIC

INDICATORS

1 Life-cycle GHG emissions 9 Allocation and tenure o f land for new bioenergy production

17 Productivity

2 Soil quality 10 Price and supply of a national food basket

18 Not energy balance 3 Harvest levels of wood

resources

11 Change in income 19 Gross value added 4 Emissions of non-GHG air

pollutants, including air toxics

12 Jobs in the bioenergy sector 20 Change in consumption of fossil fuels and traditiona luse of biomass

5 Water use and efficiency 13 Change in unpaid time spent by women and children collecting biomass

21 Training and requalification of the workforce

6 Water Quality 14 Bioenergy used to expand acces to modern energy services

22 Energy diversity

7 Biological diversity in the Landscape

15 Change in mortality and burden of disease attributable to indoor smoke

23 Infrastructure and logistics for distributionof bioenergy 8 Land use and land-use

change related to bioenergy feedstock production

16 Incidence of occupational injury, illness and fatalities

24 Capacity and flexibility of use of bioenergy

(16)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 15

2.1.2 RSPO Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production Tahun 2007

Konferensi Minyak Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm/RSPO) merupakan prakarsa berbagai pengambil keputusan di dunia mengenai minyak sawit lestari. Anggota RSPO berasal dari berbagai kalangan, meliputi perusahaan perkebunan sawit, pabrik kelapa sawit dan pengecer produk-produk minyak kelapa sawit, LSM lingkungan hidup dan LSM sosial serta dari berbagai negara penghasil atau pengguna minyak sawit. Tujuan utama RSPO adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan penggunaan minyak sawit lestari melalui kerjasama dalam mata rantai pemasokan dan membuka dialog antara para pengambil keputusan. Produksi minyak sawit lestari akan tergantung pada kelayakan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial, yang dicapai dengan mematuhi beberapa asas, yaitu:

1. Komitment terhadap transparansi/ keterbukaan. 2. Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

3. Perencanaan manajemen untuk mencapai kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang.

4. Penggunaan praktik usaha yang baik oleh para produsen dan pabrik pengolah. 5. Tanggung jawab lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam serta

keanekaragaman hayati.

6. Pertimbangan yang bertanggung jawab pada karyawan dan perorangan serta masyarakat yang terkena dampak dari produsen dan pabrik pengolah.

7. Pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab.

8. Komitmen terhadap peningkatan sinambung di bidang kegiatan utama.

2.1.3 EU Directive Tahun 2009 tentang Persyaratan Ekspor Minyak Sawit

EU Directive merupakan persyaratan ekspor minyak sawit (CPO) termasuk dari Indonesia yang memuat sejumlah persyaratan bagi CPO yang akan diekspor ke kawasan tersebut. Beberapa persyaratan banyak dikaitkan dengan isu lingkungan hidup seperti penanaman harus pada kedalaman tertentu, tidak pada daerah resapan air, tidak mengorbankan hutan dan satwa di dalamnya, tanaman (sawit) tidak boleh ditanam di tanah yang dihutankan kembali dengan tinggi pohon sudah 5 meter dan memiliki kanopi 30%. Hal ini membuat kebun sawit sulit replanting. Sebab tanaman sawit tua tingginya sudah 25 meter dan kanopi 32%. Selain itu tanaman juga tidak boleh ditanam di areal yang memiliki high biodiversity seperti di hutan. Aturan-aturan dalam EU Directive

(17)

tidak diterapkan untuk bahan baku minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed, kanola ataupun bunga matahari yang diproduksi oleh negara-negara maju. EU Directive memberikan kesan diskriminasi negara Eropa terhadap minyak sawit.

2.1.4 Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing

Countries/REDD) Tahun 2007

REDD adalah isu yang kompleks mengenai keberagaman penyebab deforestasi, kondisi nasional pemilik hutan, dan keterkaitan yang kuat dengan kebijakan pembangunan nasional dan peluang pasar internasional baik terhadap hasil hutan maupun komoditi lain, serta fungsi sumberdaya hutan bagi setiap negara, menuntut adanya pendekatan kebijakan internasional yang benar-benar dapat mendukung negara berkembang mampu menekan deforestasi dan degradasi hutan tanpa mengorbankan pembangunan nasionalnya.

Pada konvensi perubahan iklim di Bali tahun 2007 terdapat berbagai usul untuk penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian. REDD berkembang lebih jauh lagi dengan menggunakan tanda ‘plus’ di belakangnya menambahkan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan.

REDD adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, REDD merupakan mekanisme internasional yang bersifat voluntary dan menghormati kedaulatan negara (sovereignty), REDD merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan.

2.2 Inventarisasi Peraturan Lingkup Nasional

2.2.1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

Peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu. Energi merupakan salah satu faktor penting penentu keberhasilan pengembangan industri. Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2007 merupakan salah satu peraturan tertulis yang mengharuskan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin dikarenakan terbatasnya cadangan sumber daya energi tak terbarukan.

(18)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 17 UU No 30 Tahun 2007 merumuskan tujuan pengelolaan energi, juga merumuskan kebijakan energi nasional dan perlunya Presiden membentuk Dewan Energi Nasional (DEN). Sembilan tujuan pengelolaan energi diataranya yaitu :

a. Tercapainya kemandirian pengelolaan energi;

b. Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri;

c. Tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk:

1. Pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri;

2. Pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri; dan 3. Peningkatan devisa negara;

d. Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;

e. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor;

f. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara:

1. Menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu;

2. Membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;

g. Tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya nanusia; h. Terciptanya lapangan kerja; dan

i. Terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2.2.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

Kebijakan Energi Nasional (KEN) disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 79 tahun 2014 pada tanggal 17 Oktober 2014 yang memuat, antara lain:

1. Tujuan KEN sebagai pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan.

(19)

2. Sasaran penyediaan dan pemanfaatan energi primer termasuk penyediaan pembangkit listrik dan pemanfaatan listrik per kapita.

3. Pencapaian sasaran Kebijakan Energi Nasional, antara lain terwujudnya paradigma baru bahwa sumber energi merupakan modal pembangunan nasional; elastisitas energi, intensitas energi, rasio elektrifikasi, rasio penggunaan gas rumah tangga, dan bauran energi primer yang optimal.

4. Arah kebijakan energi nasional yang meliputi kebijakan utama dan kebijakan pendukung.

5. KEN menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Gambar 2.1 Target Bauran Energi Primer Nasional

Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 merupakan revisi Peraturan Presiden No 5 tahun 2006. PP No 79 tahun 2014 menjelaskan bahwa pada tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% (dua puluh tiga persen) dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% (tiga puluh satu persen) sepanjang keekonomiannya terpenuhi; Pada tahun 2025 peran minyak bumi kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen); Pada tahun 2025 peran batubara minimal 30% (tiga puluh persen), dan pada tahun 2050 minimal 25% (dua puluh lima persen); dan 4. pada tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% (dua puluh dua persen) dan pada tahun 2050 minimal 24% (dua puluh empat persen). Peraturan tersebut

(20)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 19 memuat dua arah kebijakan yaitu kebijakan utama dan kebijakan pendukung sebagai berikut:

1. Kebijakan utama, meliputi:

a. Ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional; b. Prioritas pengembangan energi;

c. Pemanfaatan sumber daya energi nasional; d. Cadangan energi nasional.

2. Adapun kebijakan pendukung, meliputi:

a. Konservasi energi, konservasi sumber daya energi, dan diversifikasi energi; b. Lingkungan hidup dan keselamatan;

c. Harga, subsidi, dan insentif energi;

d. Infrastruktur dan akses untuk masyarakat terhadap energi dan industri energi; e. Penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi energi; dan

f. Kelembagaan dan pendanaan.

2.2.3 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan

Peraturan tersebut bertujuan untuk menyediakan dana bagi pengembangan usaha komoditas perkebunan strategis yang berkelanjutan. Peraturan tersebut antara lain berupaya untuk meningkatkan optimasi penggunaan hasil perkebunan untuk bahan baku energi terbarukan. Untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana yang dihimpun itu maka dibentuk Badan Pengelola Dana untuk 1 (satu) komoditas Perkebunan strategis atau gabungan dari beberapa komoditas Perkebunan strategis.

Badan Pengelola Dana dalam pelaksanaan tugasnya mendapatkan imbalan manajemen (operasional Badan Pengelola Dana) atas Dana yang dikelola, dan besarnya ditentukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan serta Badan Pengelola Dana juga diberikan fasilitas oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan pemerintah ini juga menegaskan dalam rangka memberikan arah kebijakan atas pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana dibentuk Komite Pengarah yang bertugas menyusun kebijakan dalam penghimpunan dan penggunaan dana, termasuk kebijakan alokasi aset yang berdasarkan pendekatan portofolio, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan.

(21)

2.2.4 Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu

Beberapa pasal pada Perpres No. 71 Tahun 2005 yang mengalami perubahan adalah pasal 2 yaitu mengenai pengaturan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu meliputi penetapan jenis BBM tertentu, perencanaan penjualan dari Badan Usaha, penyediaan dan pemanfaatan BBN, ketentuan ekspor, impor dan sistem pendistribusian secara tertutup untuk jenis BBM tertentu. Selain itu juga terdapat beberapa pasal yang diselipkan pada pasal yang sudah ada, yaitu pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C dan pasal 10 C. Sisipan pada pasal 7 menjelaskan tentang kewajiban Badan Usaha yang mendapatkan penugasan penyediaaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu untuk melakukan pencampuran BBM dengan BBN produksi dalam negeri (biodiesel, bioetanol, dan minyak nabati hasil proses pemurnian lainnya). Selanjutnya Pemerintah menjamin ketersediaan dan pendistribusian BBN serta menetapkan harga indeks pasar bahan bakar minyak dan BBN yang dicampurkan ke dalam BBM tertentu. Sedangkan pasal 10 C mengatur tentang sistem pendistribusian tertutup jenis BBM tertentu yaitu dilakukan secara bertahap meliputi konsumen pengguna, wilayah, harga jual eceran dan volume tertentu.

2.2.5 Peraturan Presiden No 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit

Peraturan didasari untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, sehingga diperlukan strategi nasional yang ditunjang oleh pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Penghimpunan dana antara lain diperuntukan untuk mendukung penggunaan biodiesel sebagai bahan campuran diesel, peremajaan (replanting) tanaman sawit rakyat, mendorong pengembangan SDM perkebunan kelapa sawit, mendorong penelitian, promosi, serta peningkatan sarana dan prasarana.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (badan layanan umum) dibentuk berdasarkan peraturan ini bertugas untuk mengelola dana dari para pengusaha sawit, dana yang berasal dari pungutan 24 item produk CPO dan turunannya antara lain; CPO, minyak goreng, crude palm kernel oil (CPKO), tandan buah segar dan cangkangnya.

(22)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 21

2.2.6 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan GRK Nasional

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) ini merupakan pedoman perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2011 ini terdapat penjabaran target dan strategi penurunan emisi gas rumah kaca pada lima sektor utama yang meliputi pertanian; kehutanan dan lahan gambut; energi dan transportasi; industri; dan pengelolaan limbah.

Tabel 2.2 Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada 5 Sektor No Bidang Target Penurunan Emisi (Giga ton) CO2e

(26%) (41%)

1 Pertanian 0,008 0,011

2 Kehutanan dan Lahan Gambut 0,672 1,039

3 Bidang Energi dan Transportasi 0,038 0,056

4 Bidang Industri 0,001 0,005

5 Bidang Pengelolaan Limbah 0,048 0,078

RAN-GRK ini disusun sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan menengah (RPJM) dalam kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, khususnya untuk menurunkan emisi GRK, terutama untuk beberapa bidang pembangunan yang prioritas. Penyusunan dokumen ini juga merupakan tindak lanjut dari komitmen Indonesia terhadap penanggulangan permasalahan perubahan iklim global. Berdasarkan skenario SNC (Second National Communication) tingkat emisi di Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 1,72 Gton CO2e pada tahun 2000 (KLH, 2009) menjadi 2,95 Gton CO2e pada tahun 2020 (KLH 2009). Perhitungan tersebut akan ditinjau kembali secara periodik dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik.

2.2.7 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain

Pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga BBM, hal ini mengakibatkan pemerintah tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan. Presiden RI kemudian mengeluarkan

(23)

Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 1996 tentang pemanfaatan dan penyediaan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain.

Instruksi ini ditetapkan presiden dalam rangka percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Instruksi ini ditujukan kepada 13 Menteri serta Gubernur dan Walikota/Bupati agar mengambil langkah- langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, meliputi :

1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 3. Menteri Pertanian;

4. Menteri Kehutanan; 5. Menteri Perindustrian; 6. Menteri Perdagangan; 7. Menteri Perhubungan;

8. Menteri Negara Riset dan Teknologi;

9. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 10. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;

11. Menteri Dalam Negeri; 12. Menteri Keuangan;

13. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 14. Gubernur; dan

15. Bupati/Walikota.

2.2.8 Peraturan Menteri Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 tentang Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Pada bidang pemasaran luar negeri peraturan yang terkait adalah penetapan pajak dan harga ekspor. Peraturan yang terkait dengan pajak ekspor adalah Permen Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 tentang barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar. Peraturan tersebut merupakan revisi Permen Keuangan RI No 75/PMK.011/2012. Permen Keuangan RI No 128/PMK.011/2013 antara lain berisi kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya dikenakan bea keluar secara progresif. Bea keluar progresif dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri dan ekspor produk hilir. Besaran bea keluar tersaji pada lampiran II Permen Keuangan RI No

(24)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 23 128/PMK.011/2013. Tujuan penerapan bea keluar berdasarkan UU No 17/2006 tentang Kepabeanan adalah sebagai berikut:

1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri 2. Melindungi kelestarian sumber daya alam

3. Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional

4. Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri

2.2.9 Peraturan Menteri Pedagangan RI No 54/M-DAG/PER/9/2013 tentang Tata Cara Patokan Harga Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar

Penetapan harga ekspor biodiesel didasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 54/M-DAG/PER/9/2013 tentang tata cara patokan harga ekspor atas produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar. Peraturan tersebut merupakan revisi dari Permendag No 36/M-DAG/PER/5/2012. Harga Patokan Ekspor (HPE) merupakan harga untuk menentukan harga patokan yang digunakan dalam perhitungan besaran bea keluar yang harus dibayarkan ketika dilakukan ekspor produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar. HPE per bulan produk biodiesel (FAME) ditetapkan berdasarkan harga pasar atau bursa dalam negeri dan/atau luar negeri. Pada aturan tambahan disebutkan HPE produk biodiesel ditetapkan berdasarkan harga international Chemical Information Service (CIS) Asia.

2.2.10 Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tataniaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia dalam rangka menetapkan target penggunaan biofuel sebagai bahan campuran bahan bakar minyak tahun 2025, telah merevisi tiga kali peraturan Permen ESDM No 32 Tahun 2008. Revisi yang pertama adalah Permen ESDM No 25 Tahun 2013, kedua Permen ESDM No 20 Tahun 2014, dan ketiga Permen ESDM No 12 Tahun 2015. Inti dari isi peraturan Permen ESDM No 12 Tahun 2015 adalah kewajiban (mandatori) industri sektor tertentu untuk menggunakan bahan bakar nabati biodiesel dan bioetanol sebagai campuran bahan

(25)

bakar minyak dengan komposisi campuran tertentu dari tahun 2015 sampai tahun 2025 (disajikan pada Tabel 2.3 dan 2.4).

Tabel 2.3 Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Biodiesel

Jenis/Sektor April 2015 Januari 2016 Januari 2020 Januari 2025 Rumah Tangga - - - -

Usaha mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian Transportasi dan Pelayanan umum (PSO

15% 20% 30% 30%

Transportasi Non PSO 15% 20% 30% 30%

Industri dan Komersial 15% 20% 30% 30%

Pembangkit Listrik 25% 30% 30% 30%

Tabel 2.4 Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Bioetanol

Jenis/Sektor April 2015 Januari 2016 Januari 2020 Januari 2025 Rumah Tangga - - - -

Usaha mikro, usaha Perikanan, Usaha Pertanian Transportasi dan Pelayanan umum (PSO

1% 2% 5% 20%

Transportasi Non PSO 2% 5% 10% 20%

Industri dan Komersial 2% 5% 10% 20%

Pembangkit Listrik - - - -

2.2.11 Keputusan Menteri ESDM No 3239 K/12/MEM/2015 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan kedalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Minyak Khusus Penugasan

Kepmen ESDM No 3239 K/12/MEM/2015 merupakan revisi kedua terhadap Kepmen ESDM No 0726 K/12/MEM/2015. Isi Kepmen ESDM No 3239 K/12/MEM/2015 meliputi:

1. Harga Indeks Pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak tertentu, didasarkan pada harga

(26)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 25 publikasi Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara untuk CPO unit Belawan dan Dumai rata-rata 1 (satu) bulan sebelumnya tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai ditambah konversi CPO menjadi biodiesel sebesar 125 US$/MT dengan faktor konversi sebesar 870 kg/m3, serta ditambah ongkos angkut dengan besaran maksimal untuk masing-masing titik serah.

2. Harga Indeks Pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) jenis bioetanol yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak khusus penugasan didasarkan pada harga publikasi argus untuk etanol FOB Thailand rata-rata periode 1 (satu) bulan sebelumnya ditambah 14 % indeks penyeimbang produksi dalam negeri dengan faktor konversi sebesar 778 kg/m3.

3. Besaran HIP BBN sebagaimana tersebut diatas ditetapkan setiap bulan dan dilakukan evaluasi paling sedikit sekali oleh Direktur EBTKE.

2.3 Evaluasi Peraturan Lingkup Nasional

Evaluasi peraturan terkait BBN dilakukan untuk peraturan yang terbit di lingkup nasional. Evaluasi dilakukan terhadap kekurangan redaksi maupun implementasi regulasi untuk pengembangan BBN yang dikaji. Hasil evaluasi disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Evaluasi Peraturan BBN

Regulasi Terkait BBN Evaluasi

UU No 30/2007 : energi • EBT sebagai sumber energi • Penyediaan EBT

memperoleh kemudahan dan/atau insentif

• BBN merupakan bentuk EBT, perlu disebutkan dalam UU PP RI No 79/2014 : kebijakan bioenergi nasional PP RI No 24 /2015 : penghimpunan dana perkebunan

• Target EBT 23% tahun 2025

• Tanaman strategis perkebunan : kelapa sawit, kelapa, karet, tebu

• BBN perlu disebutkan dalam PP

• Kelapa sawit, kelapa, karet, tebu juga merupakan sumber BBN potensial, tidak disebutkan dalam PP Per Pres No 45/2009 :

penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu

• BBN disebutkan merupakan bahan bakar tertentu

• Bentuk BBN dapat berupa biodiesel, bioethanol,

• Perlu dukungan infrastruktur yang memadai

(27)

Regulasi Terkait BBN Evaluasi

minyak nabati murni Per Pres No 61/2011 : rencana

aksi nasional penurunan GRK (26%)

• Meliputi kegiatan energi • BBN belum disebutkan • Lingkup kegiatan yang

diwajibkan perlu ada batasan

Per Pres No 61/2015 : penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

• Penggunaan dana termasuk untuk penyediaan dan pemanfaatan BBN jenis biodiesel

• Perlu regulasi sejenis untuk bioetanol

Tabel 2.6 Evaluasi Peraturan BBN (lanjutan)

Regulasi Terkait BBN Evaluasi

Inpres No 1/2006 : penyediaan & pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar lain

• Tugas oleh 1 menko, 12 kementerian, Gubernur, Bupati/walikota

• Nomenklatur perlu disesuaikan dengan saat ini • Sulit menyelaraskan

horizontal (departemen), dan vertikal ke bawah Permen Keuangan RI No

128/PMK.011 /2013 : Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea kaluar

• Kelapa sawit, CPO, dan turunannya dikenakan bea keluar

• Apabila digunakan untuk BBN perlu diimbangi dengan insentif

Permen Perdagangan RI No 54/M-DAG/PER/9 /2013 : Tata cara patokan harga ekspor atas produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar

• Kelapa sawit, CPO, dan turunannya dikenakan bea keluar

• Apabila digunakan untuk BBN perlu diimbangi dengan insentif

(28)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 27

Regulasi Terkait BBN Evaluasi

penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga BBN (Biofuel) sebagai bahan bakar lain

penggunaan biodiesel dan biotenaol

terpenuhi

• Implementasi perlu pengawasan secara ketat Kepmen ESDM No 3239

K/12/MEM/2015 : Harga Indeks Pasar BBN yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak tertentu dan jenis bahan bakar minyak khusus penugasan

• Ditetapkan Harga Indeks Pasar biodiesel dan bioetanol

• Implementasi perlu pengawasan dan sesuai kebutuhan mandatori

(29)

BAB 3

IDENTIFIKASI MASALAH DALAM PENGEMBANGAN ENERGI

BAHAN BAKAR NABATI

Ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Indonesia sampai saat ini belum dapat mewujudkan ketahanan energi, bahkan diidentifikasi mengalami permasalahan penyediaan energi. Sebagai gambaran konsumsi energi listrik di Indonesia pada tahun 2012 adalah 733 kWh/kapita, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,684 dan berada di peringkat 108 dari 187 negara di dunia. Untuk meningkatkan IPM menjadi 0,7 - 0,75 dibutuhkan peningkatan ketersediaan listrik paling sedikit 3000 kWh/kapita/tahun.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang dipercaya dapat menjadi solusi tepat untuk mengatasi pasokan energi yang masih tergolong rendah. Kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 3,2 % dari total kebutuhan energi (BPS 2015). Target pemerintah pada tahun 2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006, EBT yang semula diharapkan memberikan kontribusi suplai sebesar 17 %, telah ditingkatkan paling sedikit 23 % dalam Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014.

EBT yang paling mampu menggantikan peran sumber energi fosil, baik sebagai penyedia listrik maupun BBM adalah bioenergi. Bioenergi didalamnya temasuk biofuel dinilai paling mudah dikonversi menjadi energi bahan bakar maupun listrik. Sumber EBT lainnya, yaitu panas bumi, aliran dan terjunan air (hidro), sinar matahari, angin, gerakan dan perbaikan suhu lapisan laut hanya mudah dikonversi menjadi listrik (Thornley and Deborah 2008, Soerawidjaja 2011).

Indonesia sendiri sudah memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan biofuel. Komitmen tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa kebijakan terkait dengan pengembangan biofuel yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga secara politik pengembangan biofuel mempunyai kekuatan hukum. Namun kebijakan yang telah ditetapkan ternyata di lapangan banyak mengalami hambatan. Kebijakan biofuel mengalami masalah karena belum didukung oleh struktur dan kebijakan yang memadai,

(30)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 29 proses, formulasi, organisasi, dan implementasi, dan dinilai tidak memiliki basis ilmiah yang kuat (Arifin 2012, Sadewo 2012, Jeffers et al. 2013).

Metode RIA Regulatory Impact Analysis digunakan untuk mengidentifikasi secara sistematis terhadap permasalahan yang ada. Alasan penggunaan metode RIA karena prinsip metode RIA adalah transparan dan partisipatif. Transparan dalam pengertian mengutamakan asas keterbukaan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Partisipatif maksudnya adalah melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan regulasi kebijakan yang dievaluasi. Peran serta aktif seluruh pemangku kepentingan diperlukan untuk mendapatkan umpan balik dari regulasi kebijakan yang dievaluasi.

Wawancara kepada pemangku kepentingan yang terlibat, studi literatur, dan focus

group discussion (FGD) dilakukan untuk mengidentifikasi masalah dalam

mengembangkan energi BBN. Hasil idenifikasi masalah diuraikan sebagai berikut (disajikan pada Tabel 3.1) :

3.1 Kementerian ESDM (Direktorat Jenderal ETBKE)

Kementerian ESDM merupakan lembaga pemerintah yang mengeluarkan regulasi atau kebijakan. Ditjen EBTKE merupakan lembaga dibawah Kementerian ESDM yang membidangi terkait regulasi kebijakan biofuel. Menurut Ditjen EBTKE kendala yang muncul dalam mengembangkan BBN adalah mengintegrasikan kebijakan antar lembaga pemerintahan agar berkesesuaian, serta masih terbatasnya infrastruktur produksi dan distribusi biofuel terutama di Indonesia Timur.

Pengembangan biofuel sebagai bahan campuran bahan bakar minyak akan berhasil sesuai target apabila ada prastisipasi aktif dari pemangku kepentingan serta adanya pengawasan dan monitoring pelaksanaan regulasi. Partisipasi aktif semua pihak yang berkepentingan meliputi partisipasi dari para pelaku di lapangan baik level produsen, distributor, maupun konsumen, dan evaluasi dari pengambil kebijakan. Kementerian ESDM telah membentuk “Tim Pengawasan Mandatori Pengawasan Biodiesel” yang melibatkan Direktorat Jenderal EBTKE, Direktorat Jenderal Migas, Direktorat Jenderal Kelistrikan, Direktorat Jenderal Minerba, Badan Pengatur Hilir Migas, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), Kementerian terkait lainnya, dan Asosiasi Produsen. Tugas Tim adalah melakukan monitoring implementasi kegiatan penyediaan dan pemanfataan biodiesel sesuai regulasi yang ada.

(31)

Implementasi yang ada saat ini, biofuel lebih dominan digunakan untuk wilayah Indonesia Bagian Barat. Untuk wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih terkendala. Infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih terbatas, baik dari produksi maupun distribusi biofuel. Diperlukan investasi untuk pembangunan infrastruktur produksi dan distribusi di KTI.

3.2 Produsen dan Industri Pengolah Bahan Baku

Informasi data dan informasi digali terutama berasal dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). GAPKI merupakan produsen minyak sawit yang saat ini telah menyuplai bahan baku untuk kebutuhan produksi biodiesel. Kendala yang dihadapi oleh produsen bahan baku antara lain adalah adanya moratorium pembatasan lahan sawit, belum ada insentif untuk produsen penyedia bahan baku biofuel, mindset pada praktiknya belum sepenuhnya dipandang sebagai komoditi strategis, harga TBS kelapa sawit rendah, isu lingkungan di luar negeri, dan kebijakan antisubsidi di luar negeri.

Adanya moratorium pembatasan lahan sawit menyebabkan lahan menjadi lebih terbatas. Hal tersebut menyebabkan kemungkinan peningkatan produksi kelapa sawit melalui ekstensifikasi lahan menjadi terbatas. Produsen penyedia komoditi bahan baku biofuel belum mendapatkan insentif tertentu. Oleh karena itu, bagi produsen umumnya akan menjual kepada siapa saja dengan harga yang paling tinggi, tidak khusus untuk industri biofuel.

Kelapa sawit berdasarkan pada PP No 24 tahun 2015 termasuk komoditi strategis perkebunan. Namun pada praktikya belum sepenuhnya diperjuangkan sebagai komoditi utama untuk dikembangkan khususnya sebagai penyuplai bahan baku biofuel, seperti pemberian insentif khusus. Harga TBS kelapa sawit saat ini rendah, sehingga produsen (petani) kurang termotivasi untuk meningkatkan produksi kelapa sawit. Hal tersebut dapat mengurangi ketersediaan pasokan komoditi untuk penggunaan biofuel, yang justru permintaan biofuel semakin meningkat.

Pengembangan kelapa sawit mendapat hambatan dari luar negeri, khususnya dikaitkan dengan isu lingkungan. Untuk dapat masuk ke pasar internasional, seperti di Eropa disyaratkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) hingga 60 %.

Komoditi kelapa sawit dianggap belum dapat mencapai angka tersebut. Kebijakan luar negeri yaitu anti dumping yang menerapkan bea masuk tinggi menyebabkan kelapa sawit

(32)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 31 berkurang nilai keekonomiannya untuk diekspor. Hal ini dapat mengurangi motivasi produsen kelapa sawit.

3.3 Industri Refineri

Industri refineri merupakan pengolah bahan baku menjadi produk yang digunakan sebagai bahan baku biofuel. Contoh industri refineri adalah industri pengolah CPO menjadi stearin yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Kendala yang dihadapi oleh industri refineri adalah produk hasil refineri dibutuhkan juga oleh industri selain biodiesel, seperti oleokimia, pangan. Mekanisme pasar yaitu harga tertinggilah yang menentukan kemana produk hasil refineri akan dijual.

3.4 Produsen Biofuel

Produsen biofuel di Indonesia tergabung dalam Aprobi (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia). APROBI merupakan pemangku kepentingan yang memproduksi biofuel untuk dijadikan sebagai bahan campuran diesel menjadi bahan bakar. Kendala yang dihadapi menurut APROBI adalah keekonomian harga biodiesel, belum mendapat subsidi hingga harga keekonomian, perlu dukungan peningkatan kapasitas, importer yang lebih menyukai impor BBM dibanding mengembangkan biofuel, belum ada penalti yang tegas dalam implementasi kebijakan biofuel, pengembangan teknologi terbatas dan tumpang tindih, kurang didukung riset, kebijakan penurunan emisi GRK baik di dalam maupun di luar negeri.

Harga minyak dunia yang rendah, menyebabkan harga biodiesel menjadi tidak mempunyai daya saing. Rendahnya harga jual menyebabkan produsen biofuel tidak termotivasi untuk memproduksi biofuel. Jika hal ini tidak ditangani melalui subsidi maka dapat mengakibatkan jumlah industri produsen menurun.

Kapasitas produksi biofuel saat ini masih di bawah target kebutuhan biofuel sebagai bahan bakar campuran. Dukungan berupa pemberian insentif untuk peningkatan kapasitas atau pembangunan pabrik biofuel diperlukan, khususnya untuk Indonesia Bagian Timur.

Pengembangan BBN sebagai sumber energi akan mengalami kendala, apabila impor BBM tidak dibatasi. Walaupun sudah dikeluarkan regulasi tentang mandatori biodiesel dan biofuel, namun sulit tercapai jika impor BBM tidak dibatasi, terlebih lagi pada saat harga minyak dunia rendah. Distrubutor dan produsen BBM tentu akan memilih menggunakan BBM pada saat harga minyak dunia rendah. Selama ini penalti

(33)

yang diberikan terhadap pihak-pihak yang tidak berkomitmen menjalankan regulasi mandatori biofuel kurang tegas. Kondisi ini menyebabkan produksi biofuel tidak pernah mencapai target sesuai dengan yang diharapkan.

Riset untuk mendukung pengembangan biofuel di Indonesia sebagai sumber energi masih terbatas, baik dalam bentuk perangkat keras (hard) maupun lunak (soft). Hal tersebut menyebabkan dukungan inovasi sumber bahan baku, proses produksi, produk, implementasi regulasi atau kebijakan, persepsi lebih ramah lingkungan, maupun pembangunan jaringan supply chain biofuel masih lemah.

Kebijakan luar negeri tentang syarat penurunan emisi gas rumah kaca, dirasakan mempersulit pasar luar negeri produk biofuel Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan industri produsen biofuel mengurangi atau berhenti memproduksi biofuel.

3.5 Industri Pencampur dan Distributor Produk Campuran BBN dan BBM

PT Pertamina (Persero) adalah pemangku kepentingan yang mencampur biodiesel dan diesel sebagai bahan bakar, mendistribusikan, dan menjual produk campuran biodiesel dan diesel sebagai bahan bakar. Kendala pengembangan biofuel menurut PT Pertamina (Persero) yang utama adalah terkait dengan keekonomian yaitu harga biodiesel. Harga pembelian biodiesel lebih tinggi dibanding harga MOPS diesel, sehingga tidak mudah bagi PT Pertamina untuk menyerap biodiesel.

Mandatori biodiesel menurut PT Pertamina (Persero) secara teknologi dapat diimplementasikan. Teknologi pencampuran (blending) antara diesel dan biodiesel sampai 30 % sesuai target masih mungkin dilakukan oleh PT Pertamina.

PT Pertamina (Persero) dalam rangka menunjang implementasi kewajiban biodiesel telah menyiapkan fasilitas penyaluran produk campuran biodiesel dan diesel baru sebanyak 44 stasiun pengisian bahan bakar minyak di seluruh Indonesia. Lokasi stasiun penyaluran baru adalah Sumatera sebanyak 19 unit, Jawa 7 unit, Bali 1 unit, Kupang 1 unit, Kalimanta 8 unit, Sulawesi 6 unit, dan Papua 2 unit. PT Pertamina sebelumnya telah mempunyai 33 stasiun penyaluran yang sudah menyalurkan biodiesel. Lokasi 33 terminal biodiesel yang sudah ada berada di Sumatera sebanyak 9 unit, Jawa 18 unit, 2 di Bali, dan 4 di Kalimantan.

(34)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 33

3.6 Industri Pengguna BBN Sebagai Bahan Campuran BBM

Sektor transportasi merupakan sektor terbesar pengguna BBM, oleh karena itu data dan informasi didapatkan dari produsen otomotif di Indonesia. Gaikindo (Gabungan Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) merupakan produsen kendaraan bermotor sebagai pemangku kepentingan penghasil teknologi kendaraan bermotor yang akan menggunakan campuran biofuel dan diesel sesuai regulasi kebijakan yang dievaluasi. Gaikindo menyebutkan kendala dalam mengimplementasikan kebijakan biodiesel adalah campuran biofuel dalam diesel yang hingga mencapai 30 % belum ada standarnya baik didalam maupun diluar negeri, sehingga menyulitkan untuk menstandarisasi mesin kendaraan bermotor yang dihasilkan.

Gaikindo berkeinginan agar bahan bakar biodiesel sebagai bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan bermotor di Indonesia dapat memenuhi standar World Wide

Fuels Charter (WWFC). Produksi kendaraan bermotor di Indonesia mengacu pada

teknologi dengan bahan bakar yang sesuai dengan standar WWFC. Pemenuhan standar bahan bakar yang memenuhi standar WWFC akan selaras dengan teknologi yang dihasilkan produsen kendaraan bermotor di Indonesia.

Gaikindo tidak menginginkan kinerja mesin kendaraan bermotor menjadi turun akibat penggunaan bahan bakar yang tidak memenuhi standar. Penurunan kinerja mesin akan mengakibatkan dua hal, yaitu pertama citra kendaraan bermotor menjadi turun sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi penurunan pasar. Kedua menambah biaya khususnya biaya pelayanan purna jual. Strategi bisnis kendaraan bermotor saat ini juga mencakup pelayanan purna jual, sehingga dikhawatirkan apabila terdapat percepatan kerusakan pada komponen akan mengakibatkan semakin seringnya produsen mengganti komponen tersebut yang berarti menimbulkan biaya.

Gaikindo menyebutkan setidaknya terdapat dua kondisi agar implementasi mandatori biodiesel mendapat dukungan penuh dari industri produsen kendaraan bermotor, yaitu :

a. Terdapat insentif yang diberikan kepada semua stakeholder yang terlibat, dari hulu hingga hilir, termasuk produsen kendaraan. Thailand sebagai contoh memberikan insentif berupa pengurangan pajak bagi industri produsen kendaraan bermotor berbahan bakar bioetanol E85.

b. Bahan bakar biofuel yang digunakan memenuhi standar WWFC sehingga tidak mengganggu kinerja mesin kendaraan bermotor.

(35)

Gaikindo juga menyebutkan sosialiasi terhadap peraturan baru terkait dengan penggunaan biofuel perlu direncanakan jauh-jauh hari, serta dilakukan secara intensif. Hal tersebut perlu dilakukan agar setiap pemangku kepentingan yang terlibat dapat mempersiapkan implementasinya secara berkesinambungan dan terintegrasi.

Tabel 3.1 Identifikasi Permasalahan dalam Pengembangan Energi BBN

Stakeholder Peran Masalah

Pemerintah - Pembuat dan pemberi kebijakan

- Penyelarasan/sinkronisasi kebijakan yang melibatkan antar lembaga pemerintahan - Terbatas infrastruktur produksi dan

distribusi terutama di KTI Penghasil Bahan Baku dan Industri Pengolah Bahan Baku - Penyuplai bahan baku

- Pembatasan lahan (kelapa sawit)

- Belum ada kebijakan insentif bagi industri penyuplai bahan baku BBN

- Isu lingkungan di luar negeri diterapkan pengurangan emisi CO2, untuk eropa sebesar

60%, dan USA 20 %.

- Bea masuk yang tinggi di luar negeri (anti dumping)

- Kelapa sawit belum menjadi industri strategis (mindset)

- Harga TBS masih rendah Industri

Refinery

- Penyuplai produk turunan sebagai bahan baku BBN

- Produk turunan CPO juga digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia dan pangan

Industri Produsen BBN

- Penghasil BBN - Harga jual biodiesel sebagai bahan campuran diesel rendah

- Belum mendapatkan subisidi hingga pada harga keekonomian

- Perlu dukungan peningkatan kapasitas produksi

(36)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 35

Stakeholder Peran Masalah

energi dan transportasi)

- Kepentingan para importer bbm yang lebih menyukai impor bbm dibanding

mengembangkan biofuel

- Pengembangan biofuel di KTI sulit karena kondisi lokasi

- Belum ada penalty yang tegas untuk pihak yang tidak mengimplementasikan mandatory - Tidak ada komitmen mencampur non PSO - Pengembangan teknologi kurang

terkoordinir

- Tidak ada dana riset yang signifikan Industri pencampur diesel dan biodiesel - Produsen bahan bakar campuran diesel dan biodiesel

- Keekonomian (Harga beli biodiesel lebih tinggi dibanding BBM)

- Perlu pengembangan infrastruktur khususnya untuk distribusi

Industri pengguna (sektor transportasi) - Produsen kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar campuran

- Belum ada standarisasi mesin untuk menggunakan bahan bakar campuran biodiesel diatas 10 % (diatas B10) sesuai WWFC

- Belum ada insentif bagi industri otomotif pengguna bahan bahan campuran biodiesel dan diesel

- Impelementasi regulasi perlu koordinasi antar pengambil kebijakan dengan stakeholders lainnya

(37)

BAB 4

ANALISIS KAJIAN AKADEMIS SEBAGAI LANDASAN

PENYUSUNAN PEDOMAN PENGEMBANGAN BAHAN BAKAR

NABATI

4.1 Analisis Tanaman Sebagai Bahan Baku BBN

Hambali et al. (2015), telah melakukan kajian tentang potensi tanaman di Indonesia sebagai bahan baku bioenergi. Hasil kajian tersebut memberikan informasi terhadap dukungan dan prioritas tumbuhan yang layak dikembangkan menjadi bahan baku BBN. Kajian tersebut perlu dijadikan sebagai dasar pola pemikiran dalam pengembangan tanaman sebagai bahan baku energi BBN. Oleh karena itu, hasil kajian tersebut dirujuk secara lebih mendalam. Uraian hasil kajian adalah sebagai berikut :

4.1.1 Gambaran Umum Tanaman BBN dan Karakteristiknya

Beragam bahan baku hasil pertanian dapat digunakan untuk memproduksi bahan bakar nabati seperti bioavtur, biodiesel, dan bioethanol. Bahan baku pertanian tersebut bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu minyak/lemak, pati/gula dan lignoselulosa. Tanaman penghasil minyak dan lemak antara lain adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, mikroalga dan bahan lainnya. Tanaman penghasil pati/gula antara lain adalah tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, sorghum, makroalga dan bahan lainnya. Sedangkan tanaman penghasil lignoselulosa antara lain adalah limbah kehutanan, limbah pertanian, rumput gajah dan lain-lain. Pembagian klasifikasi jenis tanaman BBN disajikan pada Gambar 4.1

(38)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 37

Gambar 4.1 Klasifikasi Tanaman BBN

4.1.2 Jenis Tanaman Potensial 4.1.2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia. Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang tumbuh baik antara garis lintang 130 Lintang Utara dan 120 Lintang Selatan, terutama di

kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tanaman Kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500 – 4.000 mm per tahun, dengan curah hujan optimal 2.000 – 3.000 mm per tahun, dan jumlah hari hujan lebih rendah dari 180 hari per tahun.

Kelapa sawit dimanfaatkan untuk beragam produk seperti pangan, oleokimia dan bioenergy. Produksi tanaman kelapa sawit cenderung meningkat pada umur 4-7 tahun, kemudian mulai melandai pada umur 8-15 tahun dan mulai mengalami penurunan produksi secara bertahap pada umur lebih dari 16 tahun. Dalam keadaan yang optimal, produktivitas kelapa sawit dapat mencapai 20-25 ton TBS/ha/tahun atau sekitar 4-5 ton minyak sawit. Pengolahan kelapa sawit akan menghasilkan dua jenis minyak yaitu Crude

Sumber BBN Tanaman penghasil minyak/lemak Kelapa sawit Kelapa Jarak pagar Nyamplung Kemiri sunan Pongamia Tanaman penghasil pati/gula Tebu Ubi kayu Jagung Sagu Aren Shorgum Makroalga Tanaman mengandung lignoselulosa Limbah Pertanian Limbah Kehutanan Rumput Gajah

(39)

Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). CPO dihasilkan dari mesocarp sedangkan PKO dihasilkan dari inti sawit.

Gambar 4.2 Buah Kepala Sawit

Pada proses pengolahan TBS menjadi CPO biomassa yang potensial dihasilkan adalah empty fruit bunch (tandan kosong kelapa sawit), mesocarp fiber (fiber), palm

kernel shell (cangkang), dan Palm Oil Mills Effluent (limbah cair). Pengolahan kelapa

sawit akan menghasilkan Empty Fruit Bunch sebesar 21%, mesocarp fibre sebesar 53,4%, Palm Kernel Shell sebesar 6,4%, dan Palm Oil Mills Effluent (POME) sebesar 58,3% (Hambali et. al., 2010)

Kelapa sawit mulai dari buah, pelepah, batang, dan limbahnya, dapat diolah menjadi berbagai macam produk dan dapat digunakan sebagai bahan baku beragam industri seperti pangan, oleokimia dan bioenergy. Pemanfaatan kelapa sawit menjadi

bioenergi, antara lain adalah menjadi biodiesel, biogas, biooil, biopellet, biobriket, gas

(40)

Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 39

4.1.2.2 Tanaman Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu anggota tanaman palma yang paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Kelapa tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan antara 1300-2300 mm/tahun, bahkan sampai 3800 mm atau lebih, sepanjang tanah mempunyai drainase yang baik. Kelapa menyukai sinar matahari dengan lama penyinaran minimum 120 jam/bulan sebagai sumber energi fotosintesis.

Kelapa dapat menghasilkan buah antara 9.000-11.000 butir/ha/tahun atau setara dengan 1,5-2 ton kopra. Tanaman kelapa dipanen setelah umur 6-8 tahun hingga selama lebih dari 50 tahun. Rata-rata produksi buah kelapa adalah 1.200 – 7.500 kg/ha, dan setiap hektar kelapa dapat dihasilkan 2869 liter minyak.

Gambar 4.3 Buah Kelapa

Bagian tanaman kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi adalah daging buah yang diolah menjadi minyak dan bahan bakar nabati. Pengolahan kelapa akan menghasilkan 8,4% minyak kelapa, 25% air kelapa dan sisanya berupa biomassa kelapa. Biomassa yang dihasilkan dari pengolahan kelapa adalah tempurung kelapa sebesar 12%, sabut kelapa sebesar 35%, dan ampas minyak kelapa sebesar 19,6%.

Gambar

Gambar 1.1  Target Bauran Energi 2025 EBT 23%Batu bara 30%Gas Bumi 22%Minyak Bumi 25% EBT Batu bara Gas Bumi Minyak Bumi
Gambar 1.2  Produksi dan Konsumsi Biodiesel (KESDM 2015)
Gambar 2.1  Target Bauran Energi Primer Nasional
Tabel 2.2  Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada 5 Sektor  No  Bidang  Target Penurunan Emisi (Giga ton) CO2e
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pusat pengurusan krisis untuk operasi kawalan dan pembasmian wabak penyakit haiwan di IPPV, Putrajaya yang bertanggungjawab mentadbir, mengawal, menyelia dan

water stored potential energy (in falling water) and kinetic enery (in

Dari 31 perusahaan sampel tersebut dilakukan pengamatan terhadap harga saham harian, jumlah saham yang diperdagangkan dan jumlah saham yang beredar pada periode

Berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran administrasi, teknis, kualifikasi dan harga pekerjaan Pengadaan Alat Pengolah Data, dengan ini Panitia Pengadaan Barang

Saya cemas terhadap kematian yang mungkin akan terjadi Saya takut akan kematian ketika melihat orang yang sudah meninggal Saya tau apa yang harus saya lakukan untuk meraih

Virus isolation and a number of methods for detection of viral antigens, nucleic acids, and antibodies (serology) are the core repertoire of techniques used in a diagnostic

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan.Perundang-undangan yang akan dibahas dalam

Tindak pidana yang berhubungan dengan dunia perbankan dimulai dengan perampokan uang di bank, ketika kejahatan pada umumnya dilakukan oleh orang- orang berasal