I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia) memiliki panjang sekitar 1,02 ribu km, membentang dari Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kawasan perbatasan yang terletak di Kabupaten Nunukan adalah Pulau Sebatik. Pulau ini mempunyai luas sekitar 24,6 ribu ha. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur ini sangat strategis, terutama jika dilihat dari aspek geoekonomi, geopolitik, geografi, dan geokultural, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik.
Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik. Pengembangan berbagai komoditas pertanian unggulan di kawasan ini sangat memungkinkan, karena didukung oleh kondisi biofisik sumberdaya lahan kering yang memadai (Puslittanak, 2000; BPTP Kaltim, 2007). Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan ini adalah kakao (Theobroma cacao L.), yang dikelola oleh perkebunan rakyat. Permintaan kakao untuk pasar ekspor dari kawasan ini cukup tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas kakao yang dihasilkan (kualitas rendah) sehingga sampai saat ini hanya sebagai pencampur kakao Malaysia. Luas perkebunan kakao rakyat di kawasan ini mencapai 5,2 ribu ha dengan produktivitas berkisar antara 600-800 kg ha-1 th-1 kakao kering (Abubakar, 2004; Samudra, 2005). Hasil penelitian di Ghana (Dormon et al., 2004) menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas kakao antara lain disebabkan oleh faktor biologi (hama penyakit) dan kondisi sosial ekonomi (keterbatasan modal, upah tenaga kerja mahal dan terbatasnya infrastruktur).
Pengembangan pertanian tanaman perkebunan khususnya kakao di Pulau Sebatik mempunyai beberapa kendala teknis. Faktor pembatas kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan
produktivitas hasil tanaman, antara lain melalui evaluasi kualitas dan kesesuaian lahan, pengelolaan hara, konservasi air, pemanfaatan bahan organik dan integrasi tanaman-ternak (Benjamin et al., 2003; Bindraban et al., 2000; Dariah et al., 2005; Evah et al., 2000; Garrity dan Agus, 1999; Ouédraogo et al., 2001; Subagyono et al., 2004; Watung et al., 2003; Zhang et al., 2004).
Berkaitan dengan kendala lahan untuk pengembangan pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan, karena setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Amien, 1996; Djaenudin et al., 2000). Tanah di Pulau Sebatik umumnya berkembang dari bahan sedimen dan sebagian kecil endapan sungai (marine) serta volkan. Wilayah ini mempunyai rejim kelembaban tanah daerah dataran tinggi tergolong udik dengan curah hujan tahunan > 2000 mm. Kelas kedalaman solum tanah bervariasi dari dangkal (< 50 cm) hingga sangat dalam (> 150 cm), namun secara umum didominasi oleh solum dalam (100 - 150 cm). Solum dangkal dijumpai pada tanah yang terbentuk dari bahan kuarsa dengan lereng datar-berombak, dan tanah yang terbentuk dari bahan batu pasir dengan lereng terjal. Pada beberapa lokasi dijumpai batuan yang muncul ke permukaan tanah. Berdasarkan sifat-sifat morfologi dan hasil analisis tanah, tanah-tanah di daerah penelitian dikelompokkan menjadi 3 Ordo yaitu Entisols, Inceptisols, dan Ultisols (BPTP Kaltim, 2007). Jenis tanah tersebut umumnya memiliki kemampuan menahan air rendah (Uexkull, 1984; Spain, 1986), sehingga curah hujan yang melimpah tidak bermanfaat bagi tanaman apabila kapasitas menahan air tanah rendah.
Keadaan biofisik lahan kering di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan atau produktivitas tanah relatif rendah, dan keterbatasan air tahunan yang membatasi pola pertanaman. Lahan kering ini dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut: (i) kondisi biofisik yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah relatif rendah, topografi berbukit (peka erosi), sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan infrastruktur terbatas (Puslittanak, 2000). Degradasi lahan yang disebabkan oleh adanya erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring di wilayah ini akan
menyebabkan makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), sehingga akan mempengaruhi produktivitas hasil komoditas yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Saliba (1985), bahwa produktivitas lahan akan mempengaruhi produktivitas hasil dari komoditas yang diusahakan pada suatu wilayah. Lebih lanjut Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa evaluasi sistem peningkatan produktivitas lahan dapat memberikan informasi secara detail, yang akan membantu pengambil keputusan mengidentifikasi pengelolaan pertanian optimal untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan. Oleh karena itu peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan dalam rangka pembangunan pertanian perlu dilaksanakan di kawasan Pulau Sebatik, sesuai dengan potensi sumberdaya dan kearifan lokal setempat.
World Conservation Strategy mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.
Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, selama ini penanganan berbagai masalah pertanian sudah banyak dilakukan, namun masih secara parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Pendekatan parsial untuk mengatasi suatu masalah adalah ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. Consultative Group on International Agriculture Research (CGIAR) mengubah strategi penelitian melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya (CGIAR,1978).Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative, dan dalam skala mikro dijabarkan dalam integrated crop management. Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan agroekosistem di kawasan perbatasan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
kegiatan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan secara holistik yang memadukan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia, dengan studi kasus di Pulau Sebatik. Tujuan spesifiknya adalah:
a) Mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kakao.
b) Mempelajari kesenjangan produktivitas lahan dan kendala yang dihadapi. c) Mempelajari status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao
rakyat.
d) Mengidentifikasi kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat.
e) Memformulasikan arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat.
1.3. Kerangka Pemikiran
Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan sebagai salah satu kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di kawasan ini sangat memungkinkan, namun demikian faktor pembatas kualitas lahan perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman.
Keadaan biofisik lahan untuk pengembangan pertanian di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap kerusakan lahan akibat erosi, dan produktivitas tanah relatif rendah. Berbagai masalah yang dihadapi untuk pengembangan komoditas unggulan di kawasan ini antara lain adalah: (a) keterbatasan air tahunan, (b) terjadinya degradasi lahan akibat erosi pada lahan perbukitan dan lahan miring, yang mengakibatkan makin menurunnya
(c) pengelolaan sistem pertanaman (cropping system), pengelolaan tanah dan air di tingkat petani belum memadai. Permasalahan tersebut terkait dengan tingkat penguasaan petani terhadap teknologi budidaya komoditas unggulan, dan konservasi tanah serta air yang relatif kurang memadai.
Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan Pulau Sebatik diusahakan untuk keperluan pasar ekspor ke Sabah (Malaysia). Akses pasar yang sangat baik merupakan faktor pendorong bagi masyarakat untuk mengusahakan tanaman perkebunan di kawasan tersebut.Permintaan komoditas kakao dari Pulau Sebatik untuk tujuan ekspor semakin tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas hasil (mutu rendah), sehingga harganya relatif rendah di pasar Malaysia. Produktivitas hasil kakao dari kawasan ini semakin menurun yang disebabkan antara lain oleh umur tanaman sudah tua, serangan hama penyakit, dan produktivitas lahan yang semakin menurun.
Lahan pertanian untuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada umumnya belum dikelola dengan baik (Abubakar, 2004; Samudra, 2005; BPTP Kaltim, 2007). Masalah lain adalah teknologi yang tersedia bagi pengembangan lahan kering marginal ini umumnya memerlukan input tinggi, masih kurangnya informasi potensi sumberdaya lahan, terbatasnya sumberdaya manusia, terbatasnya modal, belum didukung oleh kelembagaan usahatani yang memadai dan terbatasanya infrastruktur.
Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan tersebut yang melandasi pentingnya penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat yang memadukan berbagai aspek keberlanjutan. Penelitian ini sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas komoditas unggulan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam setempat sehingga akan tetap dapat mendukung keberlanjutan usaha pertanian pada suatu kawasan. Dengan demikian akan mendorong agribisnis komoditas unggulan pada suatu kawasan dan diharapkan akan mendukung ketersediaan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan pendapatan asli daerah. Kerangka pemikiran penelitian tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
1.4. Perumusan Masalah
Tanaman kakao merupakan komoditas pertanian unggulan dari Pulau Sebatik. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan multidimensi, terutama berkaitan dengan produktivitas dan mutu hasil kakao yang semakin
• Ketersediaan pangan • Pendapatan masyarakat • Lapangan kerja • PAD Perkebunan Kakao Rakyat Produksi dan Mutu Rendah
Rekomendasi Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat
di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik
Ekonomi (kelayakan finansial) Kesesuaian Lahan Kesenjangan dan kendala,
produktivitas lahan Kebutuhan stakeholders Keberlanjutan Prospektif Analisis Identifikasi Faktor Berpengaruh
Data primer, sekunder dan pendapat pakar
Skenario
Berkelanjutan
Ya
Tidak Kawasan Perbatasan Negara Sebagai
menurun. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yaitu (1) apakah lahan usahatani kakao rakyat sesuai dengan agroekologi kawasan setempat ? (2) bagaimana kesenjangan (gap) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (3) apakah kendala, perubahan yang diinginkan dan kelembagaan pendukung yang terlibat dalam perkebunan kakao rakyat ? (4) seberapa besar tingkat keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (5) apa saja kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat ? dan (6) bagaimana formulasi rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ?
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini diharapkan:
a. Menjadi arahan atau rekomendasi bagi penentu kebijakan dan masyarakat setempat untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan, khususnya di Pulau Sebatik berdasarkan potensi sumberdaya alam, potensi ekonomi dan kelembagaan setempat.
b. Mempertahankan keberlanjutan produktivitas lahan untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan.
1.6. Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini adalah pengembangan dari penelitian sebelumnya yang terkait dengan pembangunan pertanian di kawasan perbatasan negara, beranjak dari pendekatan parsial menuju pendekatan holistik. Penelitian-penelitian sebelumnya antara lain:
a) Susilo (2003) dengan judul penelitian “Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta” dengan menggunakan konsep keberlanjutan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Pangang dan Pulau Pari termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan.
b) Abubakar (2004) dengan judul “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur”. Penelitian tersebut menggunakan metode Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT), Analitycal Hierarchy Process (AHP) dan Linear Goal Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan di kawasan perbatasan cukup komplek dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
c) Samudra (2005) dengan judul “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pulau Sebatik Sebagai Pulau Kecil Perbatasan di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur Secara Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”. Metode yang digunakan adalah skoring sederhana dan SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumberdaya hayati unggulan Pulau Sebatik adalah (i) perikanan tangkap, (ii) perkebunan kakao, dan (iii) peternakan [kerbau, sapi, kambing].
d) Marhayudi (2006) dengan judul “Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat”. Penelitian tersebut menggunakan metode Rap-INSUSFORMA dan disimpulkan bahwa pengelolaan hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 36,85%.
e) Thamrin (2008) dengan judul “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia”. Penelitian tersebut menggunakan Rap-BENGKAWAN dan disimpulkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia cukup berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 52,43%.
Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penanganan berbagai masalah pertanian di kawasan perbatasan telah banyak dilakukan, namun masih bersifat parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah:
1. Penggunaan analisis kesenjangan (gap analysis) untuk mengetahui produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat pada kondisi saat ini (existing) dan kondisi yang diharapkan (optimum), sehingga akan diketahui upaya-upaya perbaikan.
2. Penggunaan alat analisis keberlanjutan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island) untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Alat analisis ini merupakan modifikasi dari RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries), yang semula hanya menyertakan 5 dimensi keberlanjutan (ecological, technology economic, social, and ethical), pada RAP-COCOA SEBATIK ini ditambahkan dimensi pertahanan keamanan, sehingga menjadi 6 dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan).
3. Alternatif skenario arahan kebijakan berdasarkan analisis kesenjangan produktivitas lahan (antara kondisi eksisting dengan kondisi yang diharapkan), dan analisis keberlanjutan dari berbagai dimensi atau aspek keberlanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik.
1.7. Definisi Beberapa Istilah dalam Penelitian
a. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 20).
b. Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (atau wilayah negara tetangga). Sedangkan menurut UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 6, Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
c. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 21). d. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 22).
e. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 28). f. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan di bidang
pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 11).
g. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 12).
h. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 13).
i. Komoditas andalan adalah komoditas dengan ciri-ciri: merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat, merupakan komoditas spesifik lokasi, dan dapat dibudidayakan berdasarkan kondisi agroekologi setempat (Thamrin, 2008).
j. Komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai ciri-ciri: merupakan salah satu komoditas andalan, besaran ekonominya menguntungkan, memiliki prospek pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, potensi sumberdaya lahan yang besar, digemari oleh masyarakat, dan diusahakan sepanjang tahun (Thamrin, 2008).
k. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990).
l. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam (Anonim, 1990; Sutanto, 2002). Pertanian berkelanjutan merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian.
m. Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (FAO, 1976).
n. Lahan atau land adalah suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (FAO, 1976).
o. Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu. Produktivitas adalah suatu hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output).