• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM

UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS

Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

ENI NURAENI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Jenis Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012 Eni Nuraeni NRP. G353090071

(3)

ABSTRACT

Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO

Tree architecture model is basically tree construction as a result of meristematic growth pattern. Tree architecture is closely associated with water and soil components, i.e rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion. Two sample plots of 4 m x 8 m each were established, which one plot was to measure Altingia excelsa (Rasamala) and another plot for Schima wallichii (Puspa). Total rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion were measured. Correlation coefficients between rainfall with erosion, throughfall with erosion, stemflow with erosion, and surface run-off with erosion were calculated and analized. For A. excelsa, the results showed that the intensity of rainfall observed was 290.11 mm, stem flow 0.03 mm, throughfall 5.43 mm, infiltration 0.51 ml/mm2/sec, surface run-off 3.45 mm, and erosion 169,91 kg/m2/month. While for S. wallichii, the amount of rainfall was 290.11 mm, stemflow 0.04 mm, throughfall 4.02 mm, infiltration 0.49 ml/mm2/sec, surface run-off 8.18 mm, and erosion 381,27 kg/m2/month. Compared to A. excelsa, S. wallichii had larger values for some parameters measured (i.e. stemflow, surface run-off, and erosion) indicate that on more than 50% land slope of the Mount Gede Pangrango National Park, individual plants of S. wallichii seemed to be more well adapted. However, individuals of A. excelsa possessed a more spreadly branching model, larger vertical width, and higher trunk height. Consequently individual plants of A. excelsa would generally able to conserve more water and soil better than S. wallichii plants.

Keywords: erosion, infiltration, Rauh tree architectural model, stemflow, surface run-off, throughfall.

(4)

RINGKASAN

ENI NURAENI. Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan

Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO.

Model arsitektur pohon merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai hasil dari pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Arsitektur pohon model Rauh memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropik. Model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Model arsitektur pohon memiliki hubungan dengan komponen-komponen konservasi air dan tanah, yaitu komponen curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tumbuhan yang memiliki model arsitektur pohon yang sama, tidak selalu memiliki pengaruh yang sama terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall), infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada Altingia excelsa Noronha (Rasamala ) dan Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa) yang memiliki arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 50% di lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), dan mengetahui kemampuan tumbuhan dengan arsitektur pohon model Rauh yang ada di lokasi TNGGP terhadap konservasi air dan tanah yang baik, dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Citarum.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah, meliputi curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, infiltrasi, aliran permukaan, dan besarnya erosi, dengan menggunakan dua spesies target: A. excelsa dan S. wallichii.

Curah hujan yang terukur selama 30 kali pengamatan memiliki nilai yang bervariasi, dengan curah hujan harian rata-rata sebesar 9,67 mm (dengan nilai tertinggi yaitu 41.4 mm dan terendah 4.3 mm). Total nilai curah hujan selama 30 kali pengamatan yaitu 290.11 mm. Nilai rata-rata aliran batang pada A. excelsa yaitu 0.03 mm (total untuk 30 pengamatan yaitu 1.02 mm). Nilai rata-rata aliran batang pada S. wallichii yaitu 0.04 mm (dengan total 1.26 mm) . Nilai curahan tajuk rata-rata untuk A. excelsa yaitu 5,43 mm (dengan total 162,79 mm). Pada tegakan pohon S. wallichii nilai curah hujan rata-rata sebesar 4,02 mm dengan total 120,60 mm. Nilai infiltrasi harian untuk tanah di bawah tegakan A. excelsa selama 30 kali pengukuran yaitu rata-rata 0,51 ml/mm2/detik, dengan nilai total sebesar 15,16 ml/mm2/detik, sedangkan pada tanah di bawah tegakan S. wallichii yaitu rata-rata 0,49 ml/mm2/detik dengan total selama 30 kali pengamatan sebesar 14,81 ml/mm2/detik. Tumbuhan A. excelsa memiliki nilai rata-rata aliran permukaan 3,45 mm (dengan total 103,63 mm) sedangkan S. wallichii

(5)

mempunyai rata-rata aliran permukaan sebesar 8,18 mm (dengan total 245,25 mm). Nila erosi pada plot A. excelsa adalah 5,66 kg/m2/hari dengan total 169,91 kg/m2/bulan atau 1,23 ton/ha/tahun. Nilai erosi pada plot tegakan S. wallichii 12,71 kg/m2/hari dengan total 381,27 kg/m2/bulan atau 2,76 ton/ha/tahun.

Secara umum tumbuhan S. wallichii memiliki nilai lebih besar untuk beberapa parameter dibandingkan tumbuhan A. excelsa. Hal ini ditunjukkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 50% di daerah Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tumbuhan yang sesuai untuk restorasi hutan tersebut adalah A. excelsa . Tumbuhan A. excelsa ini memiliki model percabangan yang lebar, vertikal, dan batangnya tinggi sehingga tumbuhan ini mampu mengkonservasi air dan tanah lebih optimal daripada S. wallichii .

Kata kunci: aliran batang, aliran permukaan, arsitektur pohon model Rauh, curahan tajuk, erosi, infiltrasi.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM

UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS

Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

ENI NURAENI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)
(9)

Tanggal Ujian: 24-11-2011 Tanggal Lulus: Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S Ketua

Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Diketahui

Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango Eni Nuraeni

G353090071 Judul Tesis :

Nama :

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Judul tesis ini adalah Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan September 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dan dorongannya baik moril maupun materil, kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS dan Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc yang telah memberikan bimbingan dan dorongannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Kepala Kebun Raya Cibodas, yang telah memfasilitasi dan memberikan bantuan dananya dalam penelitian ini.

3. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Pusat Penelitian Alam Bodogol (PPKAB), yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di kawasan Hutan PPKAB.

4. Kementerian Agama RI, yang telah memberikan bantuan dananya, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan Pasca Sarjana S2 di lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Suami, Keluarga dan Teman-teman BUD, yang telah memberikan bantuan dan motivasinya baik moril maupun materil selama penulis menyusun tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 13 Februari 1985 dari ayah Alm. Zukni dan ibu Iyot Syariah. Penulis merupakan putri ke delapan dari delapan bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari MAN Pandeglang dan pada tahun yang sama lulus seleksi ujian masuk perguruan tinggi Universitas Pendidikan Indonesia melalui jalur PMDK. Penulis memilih jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tahun 2008 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan program S1. Kemudian penulis mengabdi sebagai guru Madrasah Tsanawiyah di Yayasan Al-Falah Pandeglang.

Tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana IPB, melalui program beasiswa utusan daerah (BUD) yang

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 5 1.5 Asumsi ... 5 1.6 Hipotesis Penelitian ... 6 2 TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Model Arsitektur Pohon ... 7

2.2 Arsitektur Pohon Model Rauh ... 8

2.2.1 Taksonomi Tanaman ... 9

2.2.2 Deskripsi Tanaman ... 9

2.3 Konservasi Air dan Tanah ... 11

2.3.1 Aliran Batang...14 2.3.2 Curahan Tajuk...15 2.3.3 Intersepsi...15 2.3.4 Infiltrasi...16 2.3.5 Aliran Permukaan ... 17 2.4 Erosi ... 17

3 BAHAN DAN METODE ... 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Bahan dan Metode Penelitian ... 20

3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah ... 21

3.4 Analisis Data ... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air &Tanah ... 27

4.2 Pembahasan dari Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air &Tanah ... 28

4.2.1 Curah Hujan ... 28

4.2.2 Aliran Batang ... 28

4.2.3 Curahan Tajuk ... 29

4.2.4 Intersepsi ... 30

(13)

4.2.5 Infiltrasi ... 31

4.2.6 Aliran Permukaan dan Erosi... 31

4.3 Hubungan Curah Hujan, Aliran Batang, Curahan Tajuk, Aliran Permukaan Terhadap Erosi ... 32

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Simpulan ... 37

5.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Arsitektur pohon Model Rauh ... .8

2. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango … ... 19

3. Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 19

4. Pengukuran aliran batang. ... 21

5. Cara pengukuran curahan tajuk. ... 22

6. Cara pengukuran laju infiltrasi. ... 22

7. Cara pengukuran curah hujan harian ... 23

8. Plot Percobaan Erosi ... 25

9. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan Altingia excelsa Noronha pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 33

10. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan S. wallichii (DC.) Korth pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 35

(15)

DAFTAR TABEL

1. Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango...27 2. Jumlah air hujan, aliran batang, curahan tajuk dan intersepsi

pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii...27 3 . Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada

tumbuhan Altingia excelsa di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango...33 4. Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada

tumbuhan S. Wallichii di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango...35

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan

Altingia excelsa di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB)Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (TNGGP) ………... 43 2. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan Schima wallichii

di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol

(PPKAB)Taman NasionalGunung Gede Pangrango (TNGGP)……... 45

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai media utama di mana manusia bisa mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, dan tambang. Tanah merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas di muka bumi. Air adalah zat yang sangat esensial bagi makhluk hidup. Air tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga oleh seluruh makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme.

Kuantitas sumberdaya tanah dan air yang ada di bumi ini relatif tetap, tetapi kualitasnya selalu berubah setiap saat. Fenomena lahan terdegradasi dan rawan longsor makin mengemuka dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang cukup serius karena mempengaruhi kualitas ketersediaan sumberdaya tanah dan air. Rangkaian peristiwa alam yang ekstrim seperti perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan terjadi silih berganti. Desakan kebutuhan manusia dalam bentuk penggunaan lahan meningkat secara tajam dan massif dari waktu ke waktu, terutama untuk ekstraksi dan bukan pemanfaatan secara berkelanjutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka manusia akan menemui kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan lahan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran ini akan semakin kuat jika dikaitkan dengan keberadaan sumberdaya air, di mana siklus hidrologinya sudah mulai terganggu. Laporan World Bank (2007) memprediksikan bahwa perubahan iklim untuk kawasan Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan sebesar 2-3%, sehingga dapat dipastikan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir, terutama pada lahan terdegradasi dan rawan longsor. Kejadian longsor tidak hanya ditemui di daerah pemukiman warga, tetapi juga sering terjadi di kawasan hutan.

Tanah longsor merupakan proses perpindahan tanah dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah, dan akan berakhir setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor muncul akibat adanya banjir, lereng yang curam, lapisan di bawah permukaan massa tanah yang sedikit kedap air dan lunak, adanya cukup air

(18)

dalam tanah (Arsyad 2006). Banjir akan terjadi jika tidak tersedia daur air yang efektif, sehingga mengakibatkan memadatnya permukaan tanah dan berkurangnya daya serap. Untuk mencegah munculnya banjir, perlu adanya daur air yang efektif, ketersediaan tumbuhan di hutan dan kondisi DAS yang terjaga fungsinya. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap air yang tinggi dan mengatur siklus hidrologinya.

Peristiwa lahan terdegradasi dan rawan longsor mudah ditemui dan menjadi masalah khas pada ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Ekosistem DAS merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Sekitar 117 dari 141 DAS di pulau Jawa kondisinya telah rusak (Dephut 2008), diantaranya termasuk DAS prioritas I Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung dan Cisadane. Keberadaan DAS ini sangat vital karena merupakan kawasan tangkapan air (catchment areas) serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi pendidikan, wisata, serta sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara Jakarta. Luas total lahan terdegradasi di DAS Cisadane, Ciliwung, dan Cisadane mencapai 127, 977, 10 ha atau 16, 89 %.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat menyatakan bahwa sekitar 54 % dari tutupan hutan di DAS Cisadane telah hilang dalam periode 1983-2002 (Simamora 2007). Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian menjadi perumahan (peningkatan 233%) dan kawasan industri (peningkatan 868%) dan berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air. Kasus kehilangan area hutan sebesar 30,3% dan area kebun campuran sebesar 11,9 % di kawasan Puncak (periode 1972-2005) menjadi contoh riil disfungsi DAS Ciliwung.

Merujuk Undang-Undang No. 26 tahun 2007, pasal 17 ayat 5 tentang Tata Ruang, bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka 30% dari luas DAS harus ditetapkan sebagai kawasan hutan atau menjadi kawasan hijau, yang berfungsi sebagai lahan konservasi air dan tanah, sehingga mampu untuk mengurangi laju erosi dan banjir yang mengakibatkan terhadap kerusakan lingkungan seperti tanah longsor dan sedimentasi.

Pemikiran di atas memberi gambaran dengan jelas betapa pentingnya sumberdaya tanah dan air bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pada saat ini

(19)

telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kedua sumberdaya tersebut. Dibutuhkan usaha-usaha konservasi sumberdaya air dan tanah secara luas untuk mengurangi bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Penanganan lahan terdegradasi dan rawan longsor pada ekosistem DAS dapat Cisadane dilakukan dengan cara restorasi dan rehabilitasi ekosistem. Dalam penelitian, peneliti lebih memfokuskan terhadap upaya restorasi ekosistem. Restorasi ekosistem merupakan proses pengkondisian ekosistem (tanah, vegetasi, dan hidupan liar) untuk mencapai pola dan profil yang serupa dengan kondisi sebelum terjadinya kerusakan ekosistem, baik dari segi komposisi, struktur maupun fungsinya.

Keberadaan vegetasi penutup di dalam suatu kawasan hutan akan mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap proses biologi, baik fisik dan kimia tanah. Setiap jenis tumbuhan hutan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dalam melindungi tanah dan tata air. Hal ini disebabkan setiap tumbuhan memiliki sistem perakaran, bentuk tajuk, dan penutupan tanah yang berbeda (Soper dan Lull 1967, dalam Ginting AN & Semadi IGK 1996). Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan setiap tumbuhan dalam mengevapotranspirasikan air hujan serta menyimpan air pada permukaan tanah.

Dalam upaya konservasi air dan tanah di area lahan restorasi hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), pemilihan jenis pohon yang digunakan akan sangat mendukung keberhasilan usaha konservasi ini. Pemilihan spesies untuk restorasi kawasan lindung dilakukan dengan cara penapisan secara ekologi, yaitu dengan mencontoh profil karakteristik vegetasi alami yang ada di kawasan sekitarnya. Tumbuhan Schima wallichii dan Altingia excelsa merupakan tumbuhan dominan yang ada di TNGGP. Berdasarkan hasil penelitian Arijani et.al (2006) nilai frekuensi Schima wallichii yang ada di TNGGP yaitu 86,67%, sedangkan A. excelsa memiliki nilai frekuensi 73,33% dari 30 plot penelitian. Kedua nilai ini menggambarkan bahwa tumbuhan S. wallichii dan A.excelsa tersebar dengan luas dan memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Dengan demikian untuk mendukung usaha konservasi air dan tanah ini, maka dilakukan kajian terhadap arsitektur pohon model Rauh dari tumbuhan S. wallichii dan A. excelsa yang ada di daerah TNGGP sebagai upaya mencegah bahaya erosi.

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana keterkaitan arsitektur pohon model Rauh pada Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth terhadap konservasi air dan tanah di lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango”.

Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan dengan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Berapa besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall), infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada plot percobaan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii?

2. Apakah terdapat korelasi antar parameter yang sudah diukur dari tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii dengan nilai erosi yang terjadi pada setiap plot percobaan tersebut?

3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari kedua jenis tumbuhan percobaan tersebut?

4. Faktor apa yang mempengaruhi dari dua jenis tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh tersebut dapat mengkonservasi air dan tanah dengan baik?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall), infiltrasi, aliran permukaan, dan erosi pada tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 50% di lokasi lahan terdegradasi dan restorasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

b. Mengetahui korelasi antar parameter konservasi air dan tanah dari kedua plot percobaan, yaitu plot tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii.

c. Mengetahui perbedaan kemampuan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii dalam mengkonservasi air dan tanah di lokasi lahan terdegradasi dan

(21)

restorasi di TNGGP dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Cisadane.

d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kemampuan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii dalam mengkonservasi air dan tanah.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai: a. Peran dari model arsitektur pohon yang ada di lokasi lahan terdegradasi dan

restorasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang mampu mengkonservasi air dan tanah sebagai upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Cisadane.

b. Jenis tumbuhan yang mampu mengkonservasi air dan tanah secara baik sebagai upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Cisadane.

1.5. Asumsi

Berdasarkan perumusan masalah di atas dan diperkuat oleh kajian teori, maka penulis berasumsi bahwa:

a. Aliran batang yang terjadi pada tumbuhan Rasamala (A. excelsa) dengan model arsitektur Rauh merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya pengurangan erosi (Utami 2011).

b. Erosi pada arsitektur pohon model Rauh tumbuhan S. wallichii lebih besar dibandingkan model Rauh pada tumbuhan P. merkusii (Aththorick 2000). c. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi diantaranya adalah

iklim, sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002 dalam Arsyad 2006).

(22)

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka penulis membuat hipotesis bahwa: a. Kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii berkorelasi dengan pola percabangan, tipe tajuk, diameter batang, serta infiltrasi dari tanah habitatnya.

b. Terdapat hubungan positif antara parameter curah hujan, curahan tajuk,

aliran batang, dan aliran permukaan terhadap erosi pada tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model Rauh di

lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. c. Terdapat perbedaan kemampuan dalam mengkonservasi air dan tanah dari

tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model Rauh pada lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

d. Terdapat hubungan positif antara diameter batang dengan kemampuan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii untuk mengkonservasi air dan tanah.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Model Arsitektur Pohon

Model arsitektur pohon pada dasarnya merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai konsekuensi dari pola pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri atas pola pertumbuhan batang, percabangan, dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan dapat bersifat ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pertumbuhan kontinu tidak memiliki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabang. Pola percabangan dapat dibedakan atas pola sylepsis (percabangan yang dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan kontinu) dan pola percabangan prolepsis (percabangan yang terbentuk secara diskontinu dengan beberapa periode istirahat dari meristem lateral). Pertumbuhan tunas pada jenis-jenis pohon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu orthotropik dan plagiotropik. Pertumbuhan tunas jenis orthotropik dicirikan oleh pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh secara vertikal dan tidak sering berbunga, sedangkan pada pertumbuhan tunas jenis plagiotropik yaitu pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh secara horizontal dan sering menghasilkan bunga. (Halle et al. 1978).

Menurut Halle et al . (1978), model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam 4 karakteristik utama, yaitu:

a. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holtum dan Corner.

b. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotrofik, contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuweunberg, dan Schoute. c. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang non ekivalen, contohnya

model Prevost, Rauh, Cook, Kwan-koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville, Theorical, Scarrone, Attim, Nozeran, Massart, dan Rauh.

(24)

d. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan non ekivalen, contohnya model Troll, Champanat, dan Mangenot.

2.2. Arsitektur Pohon Model Rauh

Asal usul penamaan model arsitektur pohon ini diberikan oleh Rauh yang telah mendeskripsikan arsitektur pohon-pohon temperate (Rauh, 1939 dalam Halle et al. 1978). Arsitektur pohon model Rauh adalah model arsitektur pohon memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropic (Gambar 1). Pola percabangan ini berhubungan dengan batang perbungaannya, di mana umumnya lateral. Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk orthotropik. Bentuk ini akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh vertikal berfungsi sebagai penampung air hujan, yang selanjutnya dialirkan ke batang. Fellizar (1976) mengemukakan bahwa aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan akhirnya sampai ke permukaan tanah. Arsitektur pohon model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu, model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh adalah anggota suku Lauraceae, Elaeocarpaceae, Theaceae, Altingiaceae, dan Hamamelidaceae.

Gambar 1 Arsitektur Pohon Model Rauh. ( ) Aliran curahan tajuk, ( ) aliran batang (Halle et al. 1978).

(25)

Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth merupakan contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh. Kedua tumbuhan ini berasal dari famili yang berbeda, akan tetapi memiliki beberapa kesamaan dalam pola percabangannya yaitu pola percabangan orthotropik. Berikut ini deskripsi dari kedua tumbuhan tersebut:

2.2.1 Taksonomi Tanaman

1. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Theales Famili : Theaceae

Genus : Schima

Spesies : Schima wallichii (DC.) Korth

2. Altingia excelsa Noronha (Rasamala)

Kerajaan : Plantae

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Saxifragales Famili : Altingiaceae Genus : Altingia

Spesies : Altingia excelsa Noronha

2.2.2 Deskripsi Tanaman

a. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)

Nama latin dari tumbuhan Puspa adalah Schima wallichii (DC.) Korth. Tumbuhan ini termasuk dalam famili (suku) Theaceae, yang terdiri dari empat subspesies, yaitu S. wallichii Korth. ssp. bancana Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. crenata Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. noronha Bloemb, dan S. wallichii Korth. ssp. oblata Bloemb. Penyebaran Puspa secara alami meliputi Semenanjung Malaya, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, seluruh Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Martawijaya et al. 1989).

(26)

Tinggi pohon mencapai 40 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, diameter batang 150 cm, tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas, kulit hidup tebalnya sampai 15 mm, berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang yang gatal. Daunnya tunggal, tebal, permukaan hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong, tajuknya bulat sampai lonjong (Martawijaya et al. 1989).

Di Jawa Barat Puspa merupakan tumbuhan asli, sering terdapat pada ketinggian 100-1500 m dpl. Pohon ini juga memiliki daya hidup (kesintasan) yang cukup tinggi dengan kulit kayu yang tebal sehingga tahan api. Pada saat roboh anakan akan cepat tumbuh terutama pada saat hujan turun membasahi lantai hutan. Tegakan Puspa dari kejauhan daun berwarna hujau tua ini sangat kontras dengan daunnya yang muda berwarna kemerahan saat musim hujan. Bunganya yang berwarna putih berjatuhan di atas serasah dengan benang sari kuning sehingga menarik satwa untuk menikmati. Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan jenis mamalia yang hidup di pohon pucuk daun puspa merupakan santapan lezat bagi jenis primata ini.

b. Altingia excelsa Noronha ( Rasamala)

Nama latin dari tumbuhan Rasamala adalah Altingia excelsa Noronha, anggota famili Hammalidaceae. Tumbuhan ini menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga kawasan Semananjung Malaysia, Sumatera, dan pulau Jawa. Di Pulau Jawa, jenis tumbuhan ini hanya tumbuh di wilayah barat yang memiliki ketinggian 500-1500 m dpl atau di hutan bukit atau pegunungan yang lembab. A. excelsa di wilayah Sumatera tersebar di daerah Bukit Barisan. A. excelsa akan tumbuh subur pada daerah yang memiliki curah hujan 100 mm perbulan dan jenis tanahnya vulkanik. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m dan diameter 80 cm (Martawijaya et al. 1989).

Kulit luar Rasamala berwarna coklat muda atau kelabu. Kulit kayunya halus, abu-abu, dan warna kayu merah. Pada pohon yang masih muda memiliki tajuk yang rapat dan berbentuk piramid. Dengan bertambahnya usia tanam, maka pada pohon yang tua berangsur-angsur menjadi bulat. Letak daun bergiliran,

(27)

bentuknya lonjong, memiliki panjang 6-12 cm, lebarnya 2,5-5,5 cm, tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu, bunga jantan, dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dar 14-18 bunga, berkumpul membentuk menyerupai kepala (Martawijaya et al. 1989). Kayunya sangat awet walaupun diletakkan langsung bersentuhan dengan tanah. Karena batang bebas cabangnya tinggi, maka kayunya cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang listrik dan telepon, serta penyangga rel kereta api. Selain itu, kayunya dimanfaatkan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai, rakit, finir, dan plywood. Daun yang masih muda berwarna merah sering untuk sayur atau lalap. Di Jawa, daun yang telah ditumbuk halus digunakan sebagai obat batuk. Getahnya berbau aromatik sebagai pengharum ruangan (Agus et al. 2002)

2.3 Konservasi Air dan Tanah

Air merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Air merupakan sumber daya yang terbarukan dan bersifat dinamis, artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun. Di Indonesia yang memiliki musim penghujan dan musim kemarau sepanjang tahun, jumlah air yang berada di suatu wilayah tergantung dari kedua musim tersebut. Pada waktu musim penghujan, jumlah air meningkat sangat tinggi. Secara alami air mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir di atas permukaan tanah akan tetapi air juga mengalir di dalam tanah. Dalam jumlah tertentu, air juga dapat mengakibatkan bencana. Jumlah air terlalu besar di suatu lokasi mempunyai kekuatan yang sangat besar dan destruktif yang sering disebut dengan banjir. Peristiwa banjir akan mengakibatkan kerugian bagi makhluk hidup. Dalam jumlah yang terlalu sedikit di suatu lokasi, air juga menimbulkan bencana yang sering disebut bencana kekeringan (drought) (Kodoatie 2008). Berdasarkan kedua permasalahan ini, pengelolaan sumberdaya air terpadu memiliki peran yang sangat penting untuk mengatasi persoalan sumberdaya air yang sangat kompleks dalam mewujudkan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air

(28)

yang berkelanjutan, pengendalian daya rusak air serta menempatkan air dalam dimensi-dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum, kelembagaan, dan lingkungan yang harmoni.

Aliran air sangat tergantung pada kondisi tata guna lahan di permukaan bumi. Bila tidak ada daerah yang bisa menyerap air atau menahan laju aliran air maka pada waktu musim hujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada musim kemarau, keberadaan air di suatu tempat tergantung pada kuantitas dan kualitas resapan dan penahan air yang baik. Kebutuhan air di suatu area dapat terpenuhi pada musim kemarau jika masih ada air yang tertampung dan terhenti, misalnya: waduk, danau, retensi, dan cekungan, serta air yang meresap di dalam tanah sehingga membentuk air tanah, sumur, dan spring (R J Kodoatie 2008).

Tanah merupakan salah satu faktor terpenting bagi kehidupan manusia. Banyak sekali fungsi tanah yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Sebagai sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi), dan pengikisan ini diakibatkan oleh bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab, misalnya air hujan dan angin. Konservasi tanah merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan tingkat keberlanjutan produksi lahan dengan cara menjaga laju kehilangan tanah tetap berada di bawah ambang batas yang diperkenankan. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa laju erosi harus lebih kecil atau sama dengan laju pembentukan tanah (Suripin 2001). Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air, pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, akan tetapi mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau jasa (Suripin 2001).

Kerusakan air dapat berupa timpangnya distribusi air secara temporal, hilangnya atau mengeringnya sumber air, dan menurunnya kualitas air. Semua ini berkaitan erat dengan kerusakan tanah. Menurunnya kualitas air dapat disebabkan

(29)

oleh kandungan sedimen yang bersumber dari erosi atau kandungan bahan-bahan atau senyawa limbah rumah tangga, limbah industri atau limbah pertanian (Suripin 2001). Secara alami tanah mengalami pengikisan (erosi). Erosi seperti ini sering disebut dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya karena lajunya seimbang dengan pembentukan tanah di tempat terjadinya erosi tersebut. Kehadiran manusia sejak pertama kali di bumi ini, menimbulkan dampak negatif, yaitu disadari atau tidak, terjadi peningkatan laju erosi. Erosi ini terjadi akibat adanya perubahan pola penutupan, dari pola alami menjadi pola buatan manusia. Erosi ini dikenal sebagai “erosi dipercepat” (accelerated erosion).

Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, pengaruh iklim sangat berkaitan erat dengan curah hujan dan temperatur. Curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi memiliki daya penghancuran yang tinggi terhadap agregat tanah sehingga agregat tanah menjadi partikel-partikel yang mudah terhanyutkan. Kecepatan dan arah angin kadang-kadang dapat pula memindahkan partikel-partikel tanah.

Tanah di Indonesia umumnya berasal dari abu vulkanik, dan tanah-tanah demikian mudah sekali terkena erosi. Selain itu, jenis tanah yang ada di Indonesia merupakan jenis tanah podsolik atau tanah latosol yang memiliki warna yang cukup khas, yaitu berwarna merah kekuning-kuningan sampai merah cokelat (Kartasoeputra 2005). Tanah podsolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. kesuburan kimiawi rendah atau miskin akan zat-zat hara tanaman. b. reaksi tanah adalah masam.

c. solumnya dangkal atau top soilnya tipis.

d. mudah tererosi serta sifat-sifat fisiknya buruk sampai medium.

e. selalu berasosiasi dengan tanah hidromorf kelabu, tanah lateritis, dan tanah podsol.

f. produktivitas tanahnya berkisar dari tingkatan rendah sampai sedang, dan g. sebagian lahan pertanian sangat memerlukan pemupukan lengkap (N-P-K),

liming atau pengapuran dan pengendalian erosi.

Ditinjau dari ciri-ciri tanah tersebut tindakan konservasi perlu dilakukan, sebab tanah demikian demikian relatif tidak subur (Kartasapoetra et al.2005).

(30)

Berikut ini beberapa data hasil penelitian mengenai konservasi tanah dalam pencegahan erosi yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tanah, Bogor (1975). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erodibiltas tanah, vegetasi dan cara-cara pengelolaan dan pendayagunaan tanah terhadap besarnya erosi yang dilakukan pada 9 tempat yang meliputi tanah-tanah:

a. Jenis podsolik merah kuning di Janlapa – Jasinga b. Jenis latosol coklat kemerahan di sekitar Bogor c. Jenis andosol di Ciwidey, Ciparay

d. Jenis grumosol di Rembang e. Jenis regosol di Klakah, Tengger.

Keberadaan tumbuhan sangat dibutuhkan dalam upaya mengurangi laju erosi. Dengan kata lain bahwa keberadaan hutan mempunyai peranan penting terhadap kepentingan dan usaha manusia, seperti halnya peranan hutan terhadap pengawetan (konservasi) tanah dan air (Kartasapoetra et al.2005).

2.3.1 Aliran batang

Aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan sampai ke permukaan tanah. Aliran batang juga merupakan peubah yang penting dalam studi ekologi dan kelembaban tanah berhutan (Fellizar 1976). Arsyad (2006) mengemukakan bahwa air hujan yang mengenai tajuk sebagian akan melekat sementara pada daun dan batang, yang disebut dengan air intersepsi, sebagian akan mengalir pada batang sampai ke permukaan tanah. Menurut Lull (1952) aliran batang dipengaruhi oleh bentuk batang, curah hujan, dan bentuk hujan yang telah diintersepsi atau tanpa intersepsi oleh tajuk. Jumlah air hujan yang sampai ke tanah melalui aliran batang tergantung pada besarnya sudut yang dibentuk oleh batang tumbuhan terhadap tanah (Van Elewijk 1988, dalam Arsyad 2006). Sedangkan menurut Parker (1983) bahwa jumlah aliran batang dipengaruhi oleh kehalusan kulit batang dan sudut batang dan cabang. Air yang sampai ke permukaan tanah, melalui aliran batang tidak akan memiliki energi yang cukup untuk dapat menghancurkan

(31)

butir-butir tanah. Kekuatan perusak air aliran batang akan terjadi setelah berubah menjadi aliran permukaan (Arsyad 2006).

2.3.2 Curahan tajuk

Curahan tajuk (throughfall) merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah melalui celah-celah tajuk dan atau berupa limpasan dari daun, ranting atau cabang pohon (Lull 1952). Pada kawasan hutan, curahan tajuk merupakan bagian dari curahan hujan yang jatuh permukaan lantai hutan setelah melalui struktur lapisan tajuk yang rapat, mulai dari tajuk pohon yang dominan hingga ke lapisan semak belukar dan serasah (Zinke 1967).

Menurut Zinke (1967) besarnya curahan tajuk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang membentuk tegakan, suhu, dan kecepatan angin. Hasil penelitian Aththorick (2000) di daerah hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, menunjukkan bahwa persentase curahan tajuk pada model arsitektur Masart yang diwakili oleh tumbuhan A. damara sebesar 87,23% lebih besar dari pada model arsitektur pohon Rauh yang diwakili oleh tumbuhan S. wallichii sebesar 77,97%. Unsur iklim yang mempengaruhi curahan tajuk yaitu suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam) (Manokaran 1979).

2.3.3 Intersepsi

Intersepsi adalah bagian dari curahan hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi sehingga tidak sampai ke permukaan tanah, kemudian diuapkan kembali ke atmosfir (Lutz dan Chandler 1965). Secara kuantitatif intersepsi merupakan perbedaan antara curah hujan total dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang. Menurut Rutter et al.(1971). Intersepsi adalah peristiwa evaporasi sejumlah air yang tercegat pada permukaan daun dan permukaan batang dari curah hujan yang jatuh di atasnya. Evavorasi ini merupakan parameter dari total evaporasi areal yang berhutan. Intersepsi terdiri dari aliran batang yang tidak mencapai permukaan tanah, air yang dievaporasikan selama hujan, dan sejumlah air yang ditahan oleh tajuk dan dievaporasikan ke udara setelah hujan (Parker 1983).

(32)

Secara kuantitatif intersepsi adalah perbedaan curah hujan dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang.

Menurut Zinke (1967) faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi diantaranya adalah kapasitas tajuk (S), porositas tajuk (P) dan tahanan aerodinamika (ra). Kapasitas tajuk merupakan tebalnya air pada luasan penutup vegetasi yang dapat disimpan atau ditahan oleh tajuk vegetasi pada saat kejadian hujan. Kapasitas hujan dapat menggambarkan jumlah air yang tertinggal pada tajuk ketika hujan berlangsung dan sampai curahan tajuk berhenti, sedangkan porositas hujan menggambarkan bagian dari air hujan yang jatuh ke permukaan tanah tanpa melalui tajuk (Gash dan Morto 1978). Tahanan aerodinamika merupakan hambatan melintang dari pertukaran uap air, panas, dan momentum antar tajuk vegetasi dengan udara di atasnya jika mempunyai nilai gradien yang tetap (Monteith, 1976).

Faktor iklim yang mempengaruhi intersepsi adalah keadaan musim dan intesitas hujan, bila curah hujan sangat kecil atau intensitas curah hujan rendah, umumnya sebagian besar air hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi dan langsung diluapkan, akan tetapi apabila curah hujan besar dengan intensitas tinggi maka kan lebih banyak air hujan yang jatuh ke permukaan tanah/lantai hutan. Dengan demikian persentase intersepsi menjadi rendah (Wiersum et al 1979). Menurut Manokaran (1979) faktor suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin mempengaruhi air yang akan terintersepsikan untuk berevaporasi selama dan setelah hujan.

2.3.4 Infiltrasi

Infiltrasi merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah yang umumnya melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air maka infiltrasi akan bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah. Laju infiltrasi adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam (Arsyad 2006).

(33)

2.3.5 Aliran permukaan

Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah karena tidak dapat diabsorbsi oleh tanah dan tidak mengumpul di permukaan kemudian mengalir ke bawah melalui lereng dan akhirnya mengumpul di saluran atau sungai (Arsyad 2006). Aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya curah hujan, jenis tanah, luas daerah aliran, jenis tanaman serta jenis pengolahan tanah (Arsyad 2006). Kecepatan aliran permukaan akan dipengaruhi oleh kecepatan jatuhnya butir-butir hujan, besarnya intersepsi oleh tanaman, infiltrasi, defresi, dan evaporasi. Sedangkan banyaknya air yang terkumpul untuk membentuk aliran permukaan ditentukan oleh luas daerah, tofografi, dan bentuk daerah (Hudson 1979). Menurut Arsyad (2006) jumlah aliran permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di permukaan tanah untuk suatu masa hujan atau masa tertentu dinyatakan dalam tinggi kolom air (mm atau cm) atau dalam volume air (m3).

2.4 Erosi

Erosi adalah lepasnya material padat (sedimen, tanah, batuan, partikel lain) dari batuan induknya oleh air, angin, es, gaya gravitasi, atau organisme. Erosi pada dasarnya merupakan proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan penghancuran, pengakutan, dan pengendapan. Di alam ada dua komponen utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi dengan adanya aktifitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi ( Kartasapoetra et al 2005). Menurut Arsyad (2006) erosi merupakan peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin. Dalam buku kamus konservasi tanah dan air, erosi dibedakan menjadi 3, yaitu erosi geologi, erosi normal, dan erosi dipercepat. Menurut bentuknya erosi dibedakan menjadi 6, yaitu erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing sungai, longsor, dan erosi internal (Arsyad 2006).

Erosi yang terjadi saat ini umumnya bukan hanya disebabkan oleh faktor alami tetapi sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, diantaranya adalah teknik pembukaan lahan yang salah, alih fungsi

(34)

hutan menjadi lahan pemukiman, perdagangan, pertambangan, serta tempat hiburan. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002 dalam Arsyad 2006). Menurut Arsyad (2006), di daerah beriklim tropika basah, penyebab utama erosi tanah adalah air, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub-proses, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan (2) pemindahan butir-butir primer tersebut oleh percikan air hujan, sehingga air yang tergenang di permukaan tanah akan mengakibatkan tanah terdispersi serta pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang mengalir dipermukaan tanah. Peranan tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah untuk menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh serta daya dispersi dan daya angkut aliran permukaan.

(35)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol berada pada ketingian 800 dpl, merupakan salah satu zona pemanfaatan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Zona pengambilan sampel dilakukan di blok Rasamala dan Puspa. Penelitian dilakukan pada musim hujan (September 2010- Maret 2011). Peta lokasi penelitian dan denah lokasi pengambilan sampel berturut-turut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

(36)

Gambar 3 Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber:

http://ppkab.blogspot.com).

3.2. Bahan dan Metode Penelitian

Bahan penelitian ini menggunakan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di kawasaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Jenis tumbuhan yang menjadi kajian (target) adalah Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth. Plot penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling dengan memperhatikan faktor lingkungan, yaitu kemiringan dan jenis tanah. Kemiringan tanah yang digunakan yaitu kemiringan lebih dari 50%. Kedua jenis tumbuhan diidentifikasi ciri-ciri biologi dan morfologinya.

Model arsitektur pohon ditentukan berdasarkan determinasi Halle et al (1978) dengan memperhatikan dan mengukur parameter-parameter berikut:

1. Bentuk pertumbuhan batang

2. Bentuk dan susunan cabang pada batang

3. Bentuk dan susunan cabang pada cabang lateral 4. Posisi organ seksual (perbungaan)

(37)

3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah

Langkah berikutnya, daerah di sekitar bawah pohon dibersihkan dari segala serasah dan vegetasi yang tumbuh di bawah, kemudian dilakukan pengukuran terhadap parameter-parameter sebagai berikut:

3.3.1 Aliran batang

Pengukuran aliran batang dilakukan melalui cara menampung air yang mengalir pada batang. Penampungan dilakukan dengan cara melingkarkan selang pada sekeliling permukaan batang pohon dengan salah satu ujungnya diletakkan lebih rendah, kemudian ditampung dengan menggunakan jerigen penampungan (Gambar 4).

Pengukuran aliran batang dilakukan pada setiap sampling jenis tumbuhan, dengan pengulangan dua kali untuk setiap jenis tumbuhan. Volume aliran batang (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan:

Gambar 4 Pengukuran aliran batang di hutan PPKAB Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Sfi = Vi/Li cm = Vi/Li X 10 mm (Kaimuddin 1994)

dimana: Sfi = Tinggi aliran batang ke-i (mm) Vi = Volume aliran batang ke-i (cm3) Li = Luas tajuk pohon ke-i (cm2)

(38)

Tfi = Vi/Li x 10 (Kaimuddin 1994)

dimana: Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm) Vi = Volume curah hujan ke-i (cm3) Li = Luas penampungan ke-i (cm2)

3.3.2 Air Curahan Tajuk

Pengukuran curahan tajuk dilakukan dengan cara menampung air hujan dengan lembaran plastik yang diberi kerangka kayu dengan luas penampung (1 x 1) m2, kemudian ditempatkan di bawah tajuk pohon (Gambar 5). Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali pengulangan untuk setiap contoh jenis tumbuhan .

Untuk volume curahan tajuk (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan:

Gambar 5 Cara pengukuran curahan tajuk di lokasi penelitian menggunakan metode Kaimuddin (1994).

3.3.3 Infiltrasi

Laju infiltrasi diukur dengan menggunakan paralon dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi 50 cm (Gambar 6). Laju infiltrasi diukur dengan menghitung laju penyerapan atau habisnya air dalam pipa infiltrasi ke dalam tanah

Drum penampung

(39)

menggunakan stopwatch (Setiadi 1998). Data infiltrasi berupa laju infiltrasi air kedalam tanah persatuan waktu (ml/mm2/sekon).

Gambar 6 Cara pengukuran laju infiltrasi di lokasi penelitian menggunakan metode Setiadi (1998).

3.3.4 Curah hujan

Curah hujan diukur dengan menggunakan penakar hujan yang terbuat dari corong plastik dan botol jerigen plastik berukuran 20 lt (ombrometer buatan) yang diletakkan di tempat terbuka (Gambar 7). Pengukuran curah hujan dilakukan selama 30 kali kejadian hujan. Untuk mengukur banyaknya air yang tertampung dalam jerigen, air tersebut dituangkan ke dalam tabung pengukur, sehingga dapat diketahui volume (V) dalam mm3, dengan luas corong (A) adalah πr2 = 3,14 x jari-jari corong (mm2). Untuk menghitung curah hujan harian, digunakan persamaan: CH = V/A

dimana: CH = Curah hujan

V = Volume air hujan yang tertampung dalam jerigen (mm3)

A = Luas permukaan corong (mm2) .

Gambar 7 Cara pengukuran curah hujan harian di lokasi penelitian dengan menggunakan ombrometer buatan.

(40)

3.3.5 Intersepsi

Pengukuran intersepsi dilakukan dengan cara menghitung selisih jumlah curah hujan di tempat terbuka, dikurangi dengan jumlah air hujan yang mengalir melalui curahan tajuk dan aliran batang. Berdasarkan metode Heth dan Karchon (1963), perhitungan intersepsi dapat menggunakan persamaan:

Ic = CH – (Tfi – Sfi) dimana: Ic = Intersepsi tajuk CH = Curah hujan Tfi = Curahan tajuk Sfi = Aliran Batang

3.3.6 Pengamatan aliran permukaan dan erosi

Pengukuran aliran permukaan dilakukan plot percobaan yang terbuat dari bahan karpet yang tidak tembus air. Plot percobaan berukuran 8 m x 4 m memanjang dari atas ke bawah lereng. Banyaknya plot percobaan sebanyak 2 buah untuk setiap sampel jenis tumbuhan, dengan demikian jumlah seluruh plot sebanyak 4 plot. Plot percobaan ini dibuat pada kemiringan tanah lebih dari 50 % yang diukur dengan Clinometer Suunto. Untuk mengukur volume aliran permukaan, maka pada bagian ujung bawah plot dibuat penampungan air dari drum. Drum yang digunakan berukuran ± 100 liter dan ± 50 liter dengan diameter ± 50 cm. Drum I dipasang untuk menampung aliran permukaan dan erosi langsung dari plot percobaan dan bagian atasnya dibuat lubang pembagi sebanyak 5 buah. Lubang pembagi ini berfungsi untuk menghitung banyaknya air yang keluar bila terjadi luapan. Masing-masing lubang berdiameter 1 cm, berkedudukan rata dan berjarak 2 cm satu sama lain. Drum II dipasang untuk menampung luapan yang terjadi pada salah satu lubang pembagi dari drum I dengan menghubungkannya memakai selang plastik (Gambar 8). Sehingga jumlah total volume luapan adalah 5 x volume drum II. Semua drum diberi penutup untuk menghindari masuknya air secara langsung dari atas.

(41)

Banyaknya aliran permukaan yang tertampung pada setiap plot erosi dapat dihitung menggunakan persamaan matematis di bawah ini, yaitu:

Untuk mendapatkan nilai aliran permukaan dalam satuan tinggi kolom air, maka volume total aliran permukaan dibagi dengan luas petak percobaan, dimana luas petak percobaanya 32 m2.

Gambar 8 Plot percobaan erosi di lokasi penelitian menggunakan metode Santosa (1985).

Penentuan berat tanah yang tererosi dapat dilakukan dengan cara mengambil contoh air dari setiap drum, yaitu drum I dan drum II sebanyak 1 liter untuk setiap plot erosi. Agar mendapat hasil yang baik, terlebih dahulu dilakukan pengadukan hingga homogen. Setelah itu sampel air tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, yang sudah diketahui berat keringnnya. Selanjutnya kertas saring dan endapannnya tersebut dikeringkan dalam oven pada temperatur 1050 C sampai beratnya konstan, kemudian dilakukan penimbangan.

Untuk menghitung berat tanah yang tererosi dapat menggunakan persamaan matematis dibawah ini, yaitu:

Wtc = W1 + W2 (Santosa 1985)

W1 dan W2 = Vd / Vs x (Wksc – Wks)

Vap = V1+5V2 (Santosa, 1985)

dimana : Vap = Volume total aliran permukaan (mm3)

V1 = Volume aliran permukaan pada drum I (mm3)

V2 = Volume aliran permukaan pada drum II (mm3)

drum I

drum II 8 m

(42)

Nilai erosi = berat tanah/luas petak percobaan/satuan waktu (gr/m2/bulan) Luas petak percobaan = 32 m2 = 32000 mm2.

3.4 Analisis data

Untuk menginterpretasikan hubungan hasil pengukuran dari setiap variabel yang diukur, dilakukan analisis komponen utama (Principal Component Analysis). Analisis komponen utama merupakan suatu teknik statistik untuk mengubah dari sebagian besar variabel asli yang digunakan yang saling berkorelasi satu dengan yang lainnya menjadi satu set variabel baru yang lebih kecil dan saling bebas (tidak saling berkorelasi lagi). Jadi analisis komponen utama berguna untuk mereduksi data, sehingga data lebih mudah untuk diinterpretasikan (Supranto.2004).

Korelasi antar parameter dianalisis dengan menggunakan rumus koefisien Korelasi produk moment di bawah ini:

(Budiono & Koster IW 2002)

Budiono & Koster IW (2002) mengemukakan interpretasi nilai koefisien korelasi dapat mengikuti aturan sebagai berikut:

1. bila 0.90 < r < 1.00 atau -1,00 < r < - 0,90; artinya hubungan yang sangat kuat.

2. bila 0.70 < r < 0,90 atau -0,90 < r < - 0,70; artinya hubungan yang kuat. 3. bila 0.50 < r < 0,70 atau -0,70 < r < - 0,50; artinya hubungan yang moderat. 4. bila 0.30 < r < 0,50 atau -0,50 < r < - 0,30; artinya hubungan yang lemah. 5. bila 0.00 < r < 0,30 atau -0,30 < r < - 0,00; artinya hubungan yang sangat

lemah.

Dimana Wtc = Berat tanah dalam drum 1 dan drum II

Vs = Volume air yang tersaring (mm3)

Wksc = Berat kertas saring beserta endapan (g)

Wks = Berat kertas saring (g)

Vd = Volume air (mm3) 2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N rxy

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air & Tanah

Parameter konservasi air dan tanah yang diukur dalam penelitian ini, meliputi curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan, dan erosi. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap model arsitektur pohon Rauh pada dua jenis tumbuhan yang berbeda, yaitu Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth, menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran untuk setiap parameter konservasi tanah dan air. Tabel 1 berikut menyajikan ringkasan hasil pengukuran dari setiap parameter.

Tabel 1 Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Jenis Tumbuhan Curah hujan (mm) Aliran Batang (mm) Curahan Tajuk (mm) Infiltrasi ml/mm2/det Aliran Permukaan (mm) Erosi (Kg/m2) T M T M T M T M T M T M Altingia excelsa (Rasamala) 290,11 9,67 1,02 0,03 162,79 5,43 15,16 0, 51 103,63 3,45 169,91 5,66 Schima wallichii (Puspa) 290,11 9,67 1,26 0.04 120,60 4,02 14,81 0,49 245,25 8,18 381,27 12,71

Keterangan: T = Total; M = Rata-rata harian

Pengamatan dilakukan selama 3 bulan (Januari – Maret 2011), sebanyak 30

kali pengamatan pada dua tumbuhan yang berbeda, yaitu A. excelsa dan S. wallichii dengan kemiringan lahan 70%. Pada masing-masing plot percobaan

dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Hasil pengukuran seluruh parameter konservasi air dan tanah pada plot percobaan tegakan A. excels dan S. wallichii (Lampiran 1 dan 2) dapat disimpulkan dalam Tabel 1.

(44)

4.2 Pembahasan dari Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah.

4.2.1 Curah Hujan

Pengamatan Curah hujan dilakukan sebanyak 30 kali kejadian hujan, yaitu dimulai dari tanggal 6 bulan Januari 2011 hingga 5 Maret 2011. Pengamatan ini di lakukan tiga kali pengulangan pada tempat terbuka, yang berdekatan dengan plot sampel penelitian. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Tabel 1. Curah hujan memiliki nilai yang bervariasi, dengan rata-rata curah hujan harian sebesar 9,67 mm dengan nilai tertinggi yaitu 41.4 mm dan terendah 4.3 mm. Total nilai curah hujan selama 30 kali pengamatan yaitu 290.11 mm.

4.2.2 Aliran Batang

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil pengukuran aliran batang pada dua sampel tumbuhan, yaitu A. excelsa dan S. wallichii, terdapat perbedaan. Nilai rata-rata aliran batang pada tumbuhan A. excelsa jauh lebih rendah dibandingkan tumbuhan S. wallichii. Nilai rata-rata aliran batang pada A. excelsa yaitu 0.03 mm, untuk 30 pengamatan dengan total 1.02 mm, sedangkan nilai rata-rata aliran batang pada tumbuhan S. wallichii yaitu 0.04, dengan total 1.26 mm. Tingginya aliran batang pada arsitektur pohon model Rauh berhubungan dengan pola percabangannya. Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk orthotropik, dan bentuk ini akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh vertikal berfungsi sebagai penampungan air hujan, yang selanjutnya dialirkan ke batang. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan yang singnifikan terhadap besarnya aliran batang A. excelsa dengan S.wallichii. Kedua tumbuhan ini memiliki pola percabangan batang yang sedikit berbeda, walaupun bentuk percabangan pada kedua tumbuhan ini orthotropik, tetapi arah percabangan pohon A. excelsa lebih sedikit datar daripada pohon S.wallichii, sehingga hal mempengaruhi kemampuan penyerapan air pada batang. Air hujan yang jatuh pada percabangan pohon A. excelsa akan lebih cepat jatuh ke permukaan tanah tanpa melalui batang dibandingkan dengan air hujan yang jatuh pada percabangan pohon S.wallichii, karena arah percabangan S.wallichii lebih

(45)

condong ke atas daripada A. excelsa. Menurut Penman (1963), aliran batang akan lebih besar pada tumbuhan yang memiliki percabangan tegak dan batang berkulit licin. Percabangan tumbuhan S. wallichii lebih tegak dan lebih tinggi daripada tumbuhan A. excelsa, selain itu diameter batang tumbuhan S. wallichii berukuran 1,5 m, lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa yang hanya 0,8 m. Menurut Dabral dan Rao (1968) dalam Aththorick semakin besar diameter pohon yang diteliti, semakin besar aliran batang yang terjadi. Tekstur batang A. excelsa kulit batang beralur ke samping, sedangkan pada batang S. wallichii kulit batang beralur lurus ke bawah membentuk kanal. Dengan demikian, air yang mengalir pada batang S. wallichii akan lebih besar dan cepat jatuh ke tanah. sehingga sesuai dengan hasil pengamatan bahwa aliran batang tumbuhan S.wallichii lebih besar dari pada tumbuhan A. excelsa. Selain daripada itu, diameter batang tumbuhan S.wallichii lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa, serta morfologi kulit batang S.wallichii berbeda dengan A. excelsa. Pada kulit batang S.wallichii terbentuk kanal-kanal kecil, morfologi seperti ini akan mempermudah air turun ke permukaan tanah melalui batang, dengan demikian aliran batang pada S.wallichii lebih besar daripada A. excelsa.

Peristiwa hujan merupakan salah satu rangkaian yang berperan dalam peredaran unsur hara. Unsur hara yang ada di daun akan tercuci oleh air hujan. Peredaran unsur hara dari atmosfer akan terbawa oleh air hujan melalui aliran batang dan curahan tajuk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indra Fermanto di DAS Cipeureu Hutan Gunung Walat Sukabumi tumbuhan S.wallichii menyumbangkan 0,014-1,327 kg/ha/th, dengan urutan terbesar hingga terkecil yaitu unsur nitrogen, kalium, pospor, kalsium, dan magnesium.

4.2.3 Curahan Tajuk

Berdasarkan hasil pengukuran selama 30 kali pengamatan diketahui bahwa rata-rata curahan tajuk untuk tumbuhan A. excelsa yaitu 5,43 mm dengan total 162,79mm, sedangkan rata-rata curahan tajuk pada tumbuhan S. wallichii yaitu 4,02 mm, dengan total 120,60 mm (Tabel 1). Tingginya curahan tajuk pada tumbuhan berhubungan erat dengan tebal tipisnya lapisan tajuk (strata) yang membentuk tegakan, suhu, dan kecepatan angin (Zinke, 1967). Tumbuhan

Gambar

Gambar 1 Arsitektur  Pohon Model Rauh. (       )  Aliran curahan tajuk,                                     (        ) aliran batang (Halle et al
Gambar 2  Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Gambar  3    Denah  lokasi  pengambilan  sampel  di  Hutan  Pusat  Konservasi    Alam                   Bodogol  Taman  Nasional  Gunung  Gede  Pangrango  (Sumber:
Gambar 4  Pengukuran aliran batang di hutan PPKAB Taman Nasional Gunung                       Gede Pangrango
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana kedudukan hukum Lembaga Perkreditan Desa yang berbasis masyarakat hukum adat di Bali dalam sistem Lembaga Keuangan

Yang berakal salama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya: ada waktu yang digunakan bermunajat (dialog) dengan Tuhannya, ada

merupakan tujuan utama dari strategi komunikasi yang diterapkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) provinsi Bali dalam menyebarkan

Dari informasi dan hasil wawancara dengan nelayan di Desa Pekan Tanjung Beringin dan Desa Kuala Lama, program pemerintah untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang ada di

1.1 Mempraktikkan gerak dasar salah satu permainan bola kecil dengan koordinasi dan kontrol yang baik dan dengan peraturan yang dimodifikasi, serta nilai kerjasama, sportivitas,

Semakin banyak kadar tepung kacang merah pada kue kering dengan campuran tepung jagung dan tepung kacang merah, kandungan protein dan nilai cerna protein

Semua kekayaaan Sekolah Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a dan b, merupakan kekayaan negara yang pengelolaannya sesuai dengan ketentuan

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengembangkan komik sebagai media pembelajaran akuntansi untuk siswa SMA kelas XI; (2) Mengetahui kelayakan komik akuntansi berdasarkan penilaian ahli