• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenal Lebih Dekat Dr. R. Soetomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mengenal Lebih Dekat Dr. R. Soetomo"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Mengenal Lebih Dekat Dr. R. Soetomo

Siapa tidak mengenal Dr. R. Soetomo? Beliau adalah salah satu tokoh pendiri Organisasi Budi Utomo, bersama teman teman semasa masih bersekolah di STOVIA (School Tot Opleding Van Inlandsche Artsen). Akibat kegigihan R. Soetomo dan teman-temannya, Indonesia mengalami tonggak baru dalam

perjuangan kemerdekaan.

Dalam tulisan kali ini, kita belum membahas tentang Organisasi Budi Utomo namun kita akan mengenal lebih dekat tentang Dr. R. Soetomo.

Riwayat Dr. R. Soetomo

R. Soetomo dilahirkan di Ngepeh, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 30 Juli 1888. Sejak lahir hingga usia 7 tahun beliau dirawat dengan penuh kasih sayang oleh kakek dan neneknya. Nama

pemberian kedua orang tuanya ketika dilahirkan adalah Soebroto. Perubahan nama dari Soebroto menjadi Soetomo, memiliki cerita tersendiri yang cukup unik. Hal tersebut terjadi di Bangil, ketika beliau hendak dimasukkan ke Sekolah Dasar Belanda. Saat itu beliau ditolak, sementara anak pamannya, (sepupu R. Soetomo), Sahil, diterima. Pamannya yang bernama Ardjodipoero, lalu menggunakan akal agar keponakannya bisa diterima masuk ke sekolah tersebut.

Esok harinya, sang paman kembali datang ke sekolah tersebut bersama Soebroto dan meminta tempat dengan menyatakan bahwa anak yang dibawa adalah Soetomo, adik dari Sahil yang terlebih dahulu diterima. Anehnya, tanpa mengambil tindakan apapun, pimpinan sekolah tersebut langsung menerima permintaan tersebut, meskipun ia mengerti akan akal Ardjodipoero. Sejak itulah Soebroto berganti nama menjadi Soetomo.

Masa kecil merupakan masa yang sangat peka bagi pembentukkan watak dan menyerap pengalaman. Demikian pula dengan R. Soetomo. Kakek dan neneknya sangat memanjakan beliau sehingga muncullah sifat manja tertanam pada diri R. Soetomo kecil.

Beliau juga melihat dan menghayati, bagaimana perasaan kasih sayang yang diperlihatkan oleh kakek dan neneknya terhadap sesama manusia, bahkan terhadap hewan, sekalipun. Hal tersebut

(2)

Namun demikian, R. Soetomo mengenal lebih dalam, bahwa sang kakek ternyata seseorang yang keras dan berpendirian sangat kuat. Maka dalam hati beliau kian bersemi perasaan dan pendirian yang sangat kuat. Kakek dan nenek R. Soetomo juga dikenal sebagai orang yang taat dan shaleh dalam menjalankan agama. Hal tersebutpun telah mempengaruhi perkembangan jiwa beliau pada masa-masa selanjutnya. Sementara R. Soewardji, ayah R. Soetomo, memiliki tabiat yang menurut ukuran masyarakat pada waktu itu dianggap sudah dikalahkan oleh “modernisasi” dimana kesan tersebut disebabkan sikap dan

perbuatannya dianggap menyalahi adat istiadat yang berlaku. Sebagai contoh :

 Tidak berganti nama atau gelar-gelar lain, seperti kebanyakan orang lain sesudah dewasa (nikah) atau sesudah menjabat suatu pangkat

 Kerap kali lahir perkataannya tentang tidak adanya keadilan sikap dan perlakuan bangsa kita terhadap kaum putri. Ia amat prihatin setelah memiliki anak perempuan, karena takut kelak akan mengalami nasib yang tidak baik. Oleh karena itu anak-anak perempuannya disekolahkan Hal tersebut sudah pasti ikut pula membentuk watak, sikap dan garis perjuangan serta key akinan R. Soetomo. Sementara paman beliau, Ardjodipoero seorang ahli kebatinan dan gemar tirakat, sehingga kerap R. Soetomo mendapat pelatihan untuk mengekang nafsu, meluruskan jalan fikiran, menyadari kebesaran Tuhan dan memupuk nilai yang tinggi serta mulia.

Dalam hal memahami pelajaran di sekolah, kepandaian R. Soetomo selalu dibawah Sahil, juga dalam cabang-cabang olahraga. Guru-guru dan teman-teman murid Belanda tidak pernah menghina beliau namun jika beliau mendengar perkataan penghinaan terhadap murid bangsa Jawa yang lain dari murid-murid Belanda, panaslah telinga dan mendidihlah darahnya. Demikian pula jika ada yang berbuat tidak adil, beliau tidak segan maju, sehingga kerap kali terjadi perkelahian dengan anak-anak sekolah

tersebut., khususnya dengan murid bangsa Belanda. Meskipun pada akhirnya kalah karena murid-murid bangsa Belanda memiliki postur tubuh lebih besar dan kekar, namun beliau sangat dicintai temen-teman orang Jawa, karena mereka tahu bahwa beliau berada dipihak yang benar dan selalu berkelahi untuk membela keadilan.

Ketika berusia 10 tahun, kakek dan neneknya berharap kelak R. Soetomo menjadi pegawai Pangreh Praja atau penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya; pamong praja. Sebaliknya sang ayah berharap kelak R. Soetomo masuk Sekolah Dokter. Kedua belah pihak selalu mempertahankan pendirian masing-masing, sehingga membuat R. Soetomo mulai belajar memecahkan suatu persoalan dan menentukan pilihan yang tepat. Bagaimanapun beliau sangat menyintai kakek dan neneknya sehingga ia merasa tidak mungkin membantah orang-orang yang sangat beliau cintai. Namun disisi lain, beliau sangat menghormati ayahnya, sehingga sukar untuk tidak mendengarkan kehendak sang ayah.

Suatu ketika sang ayah mengenalkan seorang murid Sekolah Kedokteran berpakaian jas berwarna putih dan mengenakan peci berwarna putih kepada R. Soetomo, entah mengapa, menurut penglihatan pertama beliau merasa, bahwa mengenakan jas putih serta peci putih, sangat anggun dan menarik sekali. Peristiwa tersebut menimbulkan kecenderungan beliau memilih Sekolah Dokter ketimbang menjadi pegawai Pangreh Praja.

(3)

Hal lain yang menyebabkan pilihan R. Soetomo makin yakin bersekolah di Sekolah Dokter adalah karena percakapan antara beliau dan ayahnya sendiri. Ayahnya waktu itu seorang Asisten Wedana dan sering menggerutu tentang buruknya derajat seorang priyayi B.B. (Binnenlands Bestuur : Pangreh Praja) menimbulkan pertanyaan bagi R. Soetomo yang kala itu berusia antara 12-13 tahun. Menurut beliau, mengapa harus menggerutu jika masih tetap menjadi priyayi B.B.? Mengapa tidak mau memilih jabatan lain saja, semisal menjadi guru?

Mendengar pertanyaan R. Soetomo, sang ayahpun menjelaskan. “Bila pekerjaan ini tidak saya jalani, apakah kau kira, kamu sekalian dapat makan roti dengan mentega?” setelah berhenti sesaat, ayahnya kembali melanjutkan penjelasan. “Hanya saja, permintaanku, janganlah kiranya anak-anak saya kelak dikemudian hari, ada seorangpun yang menjadi priyayi B.B.”

Mendengar penjelasan sang ayah, R. Soetomo menjadi semakin hormat. Ia dapat menyimpulkan bahwa ayahnya hanyalah sebagai “korban” dan dalam hati beliaupun berjanji tidak akan menyecewakan harapan ayahnya. Pilihannya sudah tepat, beliau akan masuk Sekolah Dokter.

Di rektur STOVIA, dr. H.F. Roll

Kurang lebih dua tahun setelah peristiwa tersebut diatas, R. Soetomo yang telah menginjak usia 15 tahun, mendaftarkan diri ke STOVIA (School Tot Opleding Van Inlandsche Artsen) pada tanggal 10 Januari 1903, bersama dengan 13 orang dari berbagai daerah lain. Sebagian dari mereka kelak me njadi teman seperjuangan dan bersama-sama mendirikan Perkumpulan BUDI UTOMO.

Mereka antara lain adalah :  R.M. Goembrek  M. Soeradji

 M. Goenawan Mangoenkoesoemo  M. Mohamad Saleh

 Soeleiman

Selama dua tahun pertama masa belajarnya di STOVIA, R. Soetomo menjadi murid yang serampangan, pemalas, sombong, nakal dan suka berkelahi, sehingga nilai pelajaran yang didapat menurun drastis. Kesadarannya mulai muncul, manakala teringat akan pengharapan sang ayah terhadapnya. Rasa hormat R. Soetomo pada sang ayah, telah merubah sikap dan perangainya yang buruk menjadi lebih baik. Bahkan R. Soetomo berusaha menolong teman-temannya yang lemah. Ia berusaha membangkitkan semangat belajar serta kepercayaan terhadap diri sendiri terhadap teman-teman sekolahnya. Karena

(4)

sikap itulah, maka teman-temannya menjadi hormat. Ucapan serta pertimbangan R. Soetomo mulai dihargai, sehingga seolah-olah beliau telah menjadi pemimpin diantara mereka.

Namun begitu ketika ayahnya, R. Soewardji meninggal dunia, R. Soetomo mulai menutup diri dari pergaulan bersama teman-teman sekolahnya. R. Soetomo lebih memilih merenung dan berdiam diri di mess. Sebagai anak sulung, beliau merasa tanggung jawab terhadap mendiang ayahnya harus ditepati. Setidaknya beliau memberi contoh yang baik terhadap adik-adiknya.

Dalam masa perenungan itulah, R. Soetomo bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohoesodo. Pertemuan tersebut memberi bobot yang lebih mantap serta menambah luasnya jangkauan cita-cita.

R. Soetomo sempat akan dikeluarkan dari sekolah STOVIA karena dianggap berbahaya dengan adanya organisasi Budi Utomo namun direktur STOVIA, seorang Belanda bernama dr. H.F. Roll, membela beliau saat diadakan rapat dosen. Salah satu pembelaan dr. H.F. Roll yang pada akhirnya berhasil membela R. Soetomo adalah pernyataannya.

“Apakah diantara tuan yang hadir disini tidak ada yang lebih merah dari Soetomo waktu tuan-tuan berumur 18 tahun?”

Sekelumit Kisah Kasih R. Soetomo dan Everdina Broering

R. Soetomo pertama kali bertemu Everdina Broering pada tahun 1917, saat keduanya sama-sama bekerja di sebuah rumah sakit di Blora. kala itu R. Soetomo diperbantukan sebagai dokter di Rumah Sakit tersebut, sementara Everdina yang tengah sedih karena ditinggal mati sang suami, tengah mengisi kekosongan hatinya menjadi tenaga perawat di Rumah Sakit yang sama.

"Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam kesusahan," kata R. Soetomo dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo”, terbitan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1984.

Sadar akan kesedihan yang tengah dialami Everdina, R. Soetomo terus berusaha menghibur dan berusaha menghapus kesedihan wanita Belanda tersebut. Pada akhirnya, merekapun menjalin hubungan persahabatan.

(5)

sepakat untuk menikah. Namun, keputusan mereka itu mendapat tentangan dari teman sepergerakan R. Soetomo dan keluarga Everdina. Sebagai tokoh pergerakan, R. Soetomo dianggap tak pantas menikahi seorang wanita Belanda.

Tentangan dan penolakan itu tak lantas membuat mereka menyerah. Keduanya akhirnya tetap menikah. Kesetiaan, kesederhanaan dan perilaku Everdina kepada suami yang mirip seperti perempuan Jawa membuat R. Soetomo semakin mengagumi sang istri.

Pada tahun 1919, R. Soetomo mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mendalami ilmu penyakit kulit dan kelamin di Belanda. Kesempatan itu tidak disia-siakan, R. Soetomo berusaha menjalin hubungan baik dengan keluarga sang istri.

Di Amsterdam, pasangan beda negara itu hidup dengan segala suka duka selama empat tahun lamanya. Meski hidup pas-pasan, Everdina tak pernah mengeluh, padahal saat itu R. Soetomo kerap menjamu pemuda dan mahasiswa Indonesia di rumah kecilnya untuk berdiskusi tentang nasionalisme Indonesia. Bahkan R. Soetomo pernah menjadi ketua Organisasi Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang bernama “Indonesische Vereniging” yang berarti Perhimpunan Indonesia.

Dalam acara mengunjungi para mahasiswa di negeri Belanda, R. Soetomo menyatakan sumpahnya sebagai berikut :

“Di Indonesia tempat kita. Disana tempat berjuang kita. Disana harus ditunjukkan keberanian,

keperwiraan dan kesatryaan kita, terutama sekali kecintaan kita pada Nusa dan bangsa. Marilah kita bekerja disana, ditanah tumpah darah kita!!!”

Empat tahun berlalu, R. Soetomo dan Everdina akhirnya kembali ke Indonesia. Meski belum juga dikarunia anak, keduanya tetap harmonis dan bahagia. Setelah kembali ke Indonesia, kegiatan R. Soetomo semakin padat. Hal tersebut tentu berpengaruh kepada kegiatan sang istri yang semakin bertambah banyak dan berat. Namun Everdina menjalaninya tanpa keluhan, R. Soetomopun sering terharu melihat pengorbanan sang istri.

Dibalik ketegaran Everdina, akhirnya perempuan Belanda itu jatuh sakit. Mereka harus berpisah untuk sementara waktu karena saat itu Everdina harus tinggal di lokasi sejuk. Dua minggu sekali R. Soetomo menjenguk sang istri di lereng Gunung Penanggungan, Celaket, Malang.

Kondisi Everdina terus melemah. Akhirnya pada tanggal 17 Februari 1934, perempuan Belanda tersebut meninggal di pangkuan R. Soetomo. Kematian sang istri menimbulkan kesedihan yang mendalam terhadap diri R. Soetomo.

"Saya telah terserang malapetaka yang sangat hebat karena kematian istri saya pada hari bulan 17 Februari 1934." kata Dr Soetomo.

Hingga akhir hayatnya pada 29 Mei 1938, Dr Soetomo tidak pernah menikah lagi . Rasa cinta beliau begitu dalam terhadap Everdina.

Nara Sumber : Buku Gedung STOVIA Sebagai cagar Sejarah oleh Drs. S.Z. Hadisutjipto Sri, bagian Edukasi dan Informasi, Museum kebangkitan Nasional Penulis : Tri Feriki, Nunik Sumasni

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi tidak akan efektif Komunikasi tidak akan efektif bila pesan bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata menjadi disampaikan

(Other names are the asymptotic equipartition theorem or AEP, the ergodic theorem of information theory, and the entropy theorem.) A variety of detailed proofs of the basic

Puji Syukur kepada Allah SWTyang telah memberikan perlindungan dan kemudahan serta bimbingan-Nya pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan lancar

Lama sudah tidak ada penemuan kembali setelah 12 abad Blaise Pascal (1623-1662) ingin meringankan pekerjaan ayahnya untuk melakukan perhitungan pajak, maka dia berfikir

Orang Pribadi untuk tahun pajak 2006 dan / atau Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember 2008

Distribusi genotif polimorfisme gen enzim EPHX Tyr113His pada penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara penderita kanker paru dan kontrol.. Hubungan

Dalam tulisan ini diterangkan teknik solusi analitik dan numerik untuk menentukan distribusi temperatur dan aliran panas pada konduksi panas dalam keadaan tunak berdimensi satu

EPPA2813 Perakaunan Untuk Pengurusan Accounting for Management WP 2 EPPM3033 Kelakuan Organisasi Organizational Behavior WP 3 EPPM2114 Pengurusan Kewangan