• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG DILAKUKAN OLEH PEMASYARAKATAN MILITER. A. Komponen Dalam Sistim Peradilan Pidana Militer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG DILAKUKAN OLEH PEMASYARAKATAN MILITER. A. Komponen Dalam Sistim Peradilan Pidana Militer"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG DILAKUKAN OLEH PEMASYARAKATAN MILITER

A. Komponen Dalam Sistim Peradilan Pidana Militer

Terangkum beberapa unsur atau elemen dalam teori legal sistim (legal system theory) yang berperan penting dalam proses peradilan pidana. Sistim peradilan pidana merupakan tatanan yang teratur dari suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.65 Sudikno Mertokusumo, mengatakannya sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.66

Lebih luas diungkapkan Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan suatu kesatuan sistim besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain. Sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistim yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.67

Ada tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: Pertama, struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan

65

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

66

Ibid.

67

(2)

dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; Kedua, substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan; dan Ketiga, kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.68

Hukum akan mampu secara efektif bekerja di tengah-tengah kehidupan masyarakat apabila instrumen-instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum mencakup sub-sub sistim hukum yakni: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Elemen-elemen hukum ini sebagai faktor penentu apakah suatu sistim hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.69

Jika salah satu dari elemen ketiga-tiga sistim hukum di atas tidak bekerja dengan baik, maka akan berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistim hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak efektif. Komponen-komponen sistim hukum itu merupakan bagian

68

Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

69

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana,

(3)

faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.70

Berbeda pandangan dengan yang disebutkan Romli Atmasasmita, bahwa dalam Sistim Peradilan Pidana (SPP) secara umum melibatkan 4 (empat) unsur penegak hukum yang meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam penegakan hukum secara litigasi harus melalui dan melibatkan keempat unsur tersebut. SPP disebut juga sebagai Criminal Justice System (CJS) yang berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.71 Menurut Romli Atmasasmita, istilah SPP atau CJS telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penegakan hukum dengan menggunakan dasar pendekatan sistim.72

Peradilan pidana memiliki: Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara; dan Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi peradilan pidana.

73

70

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

71

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal. 33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.

72

Ibid., hal. 14.

73

Yesmi Anwar dan Adang, Sistim Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, &

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), hal.

(4)

Sebagaimana yang diungkapkan Romli, bahwa UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, SPP atau CJS tersebut terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat penegak hukum tersebut sangat berhubungan erat dan sangat menentukan pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang merupakan suatu rangkaian yang sistematis.74 Misalnya Polisi melakukan tugas penegakan hukum, ketika terjadinya suatu perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan, hingga pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan. Tugas tersebut harus dilakukan Polri dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika profesi yang diatur dalam Kode Etik Kepolisian. Sebab, pelaksanaan tugas di lapangan sangat bergantung pada etika manusianya dalam menyikapi peluang bagi oknum Polisi melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Itulah sebabnya, Robert B. Seidman, mengatakan bahwa oknum itu mereka yang membuat, melaksanakan hukum, justru terkena sasaran peraturan perundang-undangan karena melanggar hukum.75

SPP yang lazim selalu melibatkan dan mencakup sub sistim dengan ruang lingkup masing-masing komponen dalam SPP. Kepolisian berdasarkan UU No.2 Tahun 2002 dengan tugas utamanya menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat manakala terjadi suatu pelanggaran atau tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan ke

74

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. cit., hal. 62.

75

Robert B. Seidman, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hal. 84.

(5)

kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Kejaksaan berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 dengan tugas pokok: menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.

Pengadilan melalui hakim-hakimnya, berkewajiban: menegakkan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa; saksi dan korban dalam proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efektif; memberikan putusan yang adil berdasarkan hukum dan perasaan hakim. Selanjutnya lembaga pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan putusan pengadilan dalam hal melakukan pembinaan kepada narapidana; memastikan perlindungan kepada hak-hak narapidana; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan bekal narapidana untuk kembali ke masyarakat. Sementara Advokat atau pengacara yang melakukan pembelaan terhadap kliennya, dan menjaga hak-hak kliennya untuk dipenuhi dalam proses peradilan pidana.

SPP sebagai suatu sistim pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian/PM, kejaksaan/Oditur militer, pengadilan umum/pengadilan militer, dan lembaga pemasyarakatan/Masmil yang dengan sub-sub sistim inilah kejahatan dapat ditanggulangi. Menanggulangi diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sub-sub sistim di dalam SPP menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan pelasaksanaan pidananya.76

76

Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

(6)

Sebagaimana Sistim Peradilan Pidana (SPP) yang telah dijelaskan di atas, pada hakikatnya elemen-elemen atau unsur-unsur yang saling terkait dalam Sistim Peradilan Pidana Militer (SPPM) sama halnya dengan SPP. Namun, terdapat perbedaan dimana bahwa dalam SPPM, atasan yang berhak menghukum (Ankum) adalah penyidik selain dari Polisi Militer serta Oditur sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Oditur dalam SPPM yang seharusnya sebagai penuntut sebagaimana juga dapat melakukan penyidikan dasar hukumnya adalah Pasal 64 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997.

Dapat dijelaskan secara rinci perbedaan komponen antara SPP dengan SPPM dapat dilihat dalam tabel berikut:77

No. Komponen SPP No. Komponen SPPM

1 Atasan yang berhak menghukum (Ankum) 2 Perwira Penyerahan Perkara (Papera)

1. Polisi 3 Polisi Militer

2. Jaksa 4 Oditur Militer

3. Hakim 5 Hakim Militer

4. Lembaga Pemasyarakatan 6 Masmil

Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku

77

Pasal 1 angka 2, angka 4, angka 9, angka 10, angak 11, Pasal 256 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lihat juga: Pasal 4, Pasal 13 KUHAP, Pasal 1 angka 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lihat juga: Paul Sihombing, Kewenangan Peradilan

Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Tesis, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum-Fakultas Hukum Universitas

(7)

dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang.78

Selain asas komando, asas kepentingan militer juga mendasari Ankum. Asas kepentingan militer selalu diutamakan melebihi dari kepentingan golongan dan perorangan namun khusus dalam SPPM kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Asas ini merupakan kekhususan dari KUHAP yang dianut dalam UU No.31 Tahun 1997. Walaupun Ankum diberi wewenang menghukum, namun dalam SPPM terdapat Papera sebagai elemen kedua dari SPPM yang bisa saja tidak bersedia menyerahkan anak buahnya yang disangka melakukan tindak pidana dengan tidak mengeliarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) untuk diadili di pengadilan militer, oditur sekalipun selaku penuntut tetap tidak dapat melakukan fungsinya.

Keterlibatan Ankum dalam hal penyidikan dalam SPPM berkaitan erat dengan asas yang mendasari kehidupan dalam militer. Misalnya asas komando, komando berasal dari seorang komandan yang menempati kedudukan penting dalam militer. Komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam SPPM. Asas komando tidak mengenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan melainkan dalam hukum acara militer dikenal adanay lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.

Berdasarkan Pasal 74 UU No.31 Tahun 1997, atasan yang berhak menghukum (Ankum), diberi wewenang sebagai berikut:

78

Petunjuk Pelaksanaan Kasal Nomor: Juklak/14/III/2006 tentang Penyelesaian Administrasi Tindak Pidana Desersi di Lingkungan TNI Angkatan Laut.

(8)

1. Melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;

2. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;

3. Menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c; dan

4. Melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.

Wewenang yang disebutkan dalam Pasal 74 huruf a sedikit membingungkan jika dibandingkan dengan huruf b sebab menurut huruf a Ankum yang melakukan penyidikan sementara dalam huruf b Ankum menerima laporan penyidikan dari penyidik yaitu Polisi Militer. Makna yang tidak tersirat dalam Pasal 74 huruf a dan huruf b ini dipertimbangkan oleh sebab waktu atau kesempatan bahwa Ankum melakukan penyidikan itu terkadang bertabrakan dengan tugas-tugas lain yang terpenting. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dijelaskan dalam penjelasan Pasal 74 UU No.31 Tahun 1997 bahwa pengaturan yang demikian dibuat demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Ankum tersebut dan untuk membantu supaya Ankum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya, pelaksanaan penyidikan tersebut dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur.79

Polisi Militer atau Oditur setelah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, hasilnya diserahkan kepada Ankum sesuai dengan Pasal 71 ayat (2) huruf b junto Pasal 74 huruf b UU No.31 Tahun 1997. Bahkan dalam pelaksanaan penyidikan, Ankum bisa langsung melakukan penyidikan atau menyerahkannya

79

(9)

kepada penyidik Polisi Militer atau Oditur. Pasal 99 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 diatur ketentuan tersebut bahwa dalam hal yang menerima laporan atau pengaduan adalah Ankum, maka Ankum harus segera menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c untuk melakukan penyidikan. Jelas ditegaskan kewenangan Ankum dalam UU No.31 Tahun 1997, Ankum mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegekan hukum militer, Polisi Militer sekalipun yang melakukan penyidikan harus melalui ijin Ankum kecuali si pelaku tertangkap tangan seperti diatur dalam Pasal 102.80

Menurut SPP dalam KUHAP, apabila suatu berkas perkara dari hasil penyidikan Polisi sudah berada di Kejaksaan dan Jaksa menilai bahwa berkas perkara tersebut telah sesuai atau telah lengkap, maka Jaksa harus menyerahkan berkas tersebut kepada Ketua Pengadilan untuk di sidangkan.81

80

Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2006), hal. 99.

Namun, dalam SPPM, Jaksa Militer/Oditur Militer bukanlah pihak yang menentukan untuk menyerahkannya kepada Hakim, melainkan harus melalui campur tangan Ankum atau Komandan secara langsung. Penentu terakhir mengenai suatu perkara diserahkan atau tidak diserahkan ke pengadilan, bukan terletak pada Oditur Militer meskipun Oditur Militer yang mempersiapkan segal sesuatu mengenai perkara tersebut sampai selesai, melainkan Oditur Militer harus terlebih dahulu meminta pendapat dari Ankum dan

81

(10)

Papera. Dengan demikian, Ankum merupakan salah satu komonen atau elemen dalam SPPM.82

Wewenang Perwira Penyerah Perkara (Papera) dalam Pasal 123 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 berwenang:

(1) Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:

a. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan; b. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan; c. Memerintahkan dilakukannya upaya paksa;

d. Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 78;

e. Menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara;

f. Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;

g. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.

(2) Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.

(3) Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.

Ketentuan dalam Pasal 1 huruf f di atas, penyerahan perkara kepada Pengadilan yang berwenang mengandung maksud memerintahkan Oditur Militer supaya perkara tersebut dilakukan penuntutan di persidangan Pengadilan. Ketentuan dalam ayat (1) huruf h mengandung makna bahwa perkara ditutup demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer berarti perkara yang bersangkutan dihentikan penyidikannya atau dihentikan penuntutannya dan perkaranya tidak diserahkan ke Pengadilan. Perkara ditutup demi kepentingan hukum antara lain

82

(11)

karena tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, perkaranya kedaluwarsa, tersangka/terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, telah dibayarkannya maksimum denda yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang ancaman pidananya berupa denda saja, atau dalam delik aduan pengaduannya sudah dicabut. Perkara ditutup demi kepentingan umum/militer adalah perkara tidak diserahkan ke Pengadilan karena kepentingan negara, kepentingan masyarakat/umum dan/atau kepentingan militer lebih dirugikan dari pada apabila perkara itu diserahkan ke Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 127 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997, apabila pendapat Oditur Militer bertentangan dengan pendapat Papera berkaitan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan militer dimana Oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan, perkara perlu diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Jika Oditur tetap dalam pendiriannya, maka Oditur tersebut harus mengajukan permohonan disertai dengan alasan-alasan kepada Papera agar perbedaan pendapat ini diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama). Sehubungan dengan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997, Papera tidak dibenarkan semena-mena dalam hal menentukan penyelesaian perkara di luar pengadilan atau dalam peradilan militer/umum karena pada akhirnya perbedaan demikian akan tetap saja diputuskan oleh hakim Dilmiltama yang berada di bawah Mahkamah Agung.83

Mengenai Polisi Militer (Pom), sebagai salah satu elemen atau unsur atau sub sistim dari SPPM melakukan kewenangannya yakni penyelidikan dan penyidikan

83

(12)

yang ditegaskan dalam Pasal 71 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 bahwa selain melakukan penyidikan, Pom diberi wewenang untuk:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian; 3. Mencari keterangan dan barang bukti;

4. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;

5. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan

9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tindakan lain yang harus dilakukan oleh Pom dimaksud pada angka 9 yaitu tindakan dari penyidik (Pom) untuk kepentingan penyidikan dengan syarat: Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk di lingkungan jabatannya; Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan Menghormati hak asasi manusia dan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut di atas penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.84

Selain itu, Jaksa sebagai salah satu unsur dalam SPP menurut KUHAP diposisikan sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan juga diberi wewenang sebagai penyidik dalam

kasus-84

(13)

kasus tertentu misalnya kasus korupsi. Sama halnya dengan kewenangan Oditur Militer dalam SPPM selain sebagai pihak yang berhak melakukan penuntutan juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Bedanya kalau dalam SPPM, Oditur Militer tidak diberikan kewenangan untuk menyerahkan perkara yang sudah dipersiapkannya secara langsung ke pengadilan melainkan harus terlebih dahulu melalui gelar pendapat dari Ankum dan Papera.85

Lebih jelasnya ketentuan mengenai ruang lingkup kekuasaan Oditur Militer ditegaskan dalam Pasal 64 UU No.31 Tahun 1997 yaitu:

(1) Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya: 1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;

2) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten ke bawah;

3) Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer;

b. Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;

c. Melakukan pemeriksaan tambahan.

(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan.

Kewenangan Oditur Militer dalam Pasal 64 di atas, mencakup sebagai penuntut dan penyidik terhadap pelaku pelanggaran atau tindak pidana apabila subjeknya adalah prajurit yang berpangkat kapten ke bawah atau berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf b sedangkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana sementara yang

85

(14)

bersangkutan berpangkat mayor ke atas, maka yang melakukan penuntutan adalah Oditur Militer Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU No.31 Tahun 1997.86

Komponen lain dari SPPM adalah pengadilan. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, seperti ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1997 yaitu:

1. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera. 2. Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara

sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.

3. Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.

4. Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.

Hakim adalah pejabat peadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili artinya adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP.87

86

Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Op. cit., hal. 32-33. Mengenai kepangkatan dijelaskan dalam Pasal 40 UU No.31 Tahun 1997 bahwa dalam hal penentuan tingkat pangkat Kapten ke bawah didasarkan atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebagai contoh, orang sipil yang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan III/c setingkat kepangkatannya dengan Kapten.

Hakim sebagai aparat penegak hukum dalam SPPM merupakan suatu tumpukan harapan dari para pencari keadilan yang selalu

87

(15)

menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Keadilan yang hakiki merupakan suatu syarat yang utama mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat dalam penegakan hukum khususnya hukum pidana agar tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.88

Peranan hakim sangat penting sebagai corong undang-undang. Hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mampu melakukan penafsiran terhadap realitas yang sering disebut dengan penemuan hukum sebab eksistensi hakim sebagai penegak hukum seolah-olah penganut paham legisme belaka. Penafsiran hakim dalam memutus suatu perkara dengan memperhatikan persoalan filsafat hukum.89 Kekuasaan kehakiman sebagai alat negara itu berdiri sendiri di samping dan sejajar kedua kekuasaan negara lainnya yaitu kekuasaan pelaksanaan (executive power) dan kekuasaan perundang-undangan (legislative power) oleh sebab itu kekuasaan kehakiman terbebas dari pengaruh dari kedua kekuasaan tersebut.90

Hakim peradilan militer sebagai sub sistem dalam SPPM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

88

Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit., hal. 218.

89

Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Haven: Yale University Press, 1953), hal. 48.

90

(16)

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dalam perkara koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Kebebasan kekuasaan kehakiman yang dalam penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan menurut Eman Suparman, merupakan ciri khas negara hukum.91

B. Pemasyarakatan Militer Sebagai Salah Unsur Dalam Sistim Peradilan Militer

Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu komponen dalam Sisitim Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di Indonesia adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan putusan pengadilan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana, memastikan perlindungan hak-hak narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, dan mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.92

91

Eman Suparman, Kitab Undang-Undang Peradilan Umum, (Bandung: Fokusmedia, 2004), hal. 84.

Secara umum dasar hukum sebagai rujukan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Pasal 3 UU Pemasyarakatan

92

(17)

menegaskan fungsi Lembaga Pemasyarakatan adalah “Menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”.

Sebelum keluar UU Pemasyarakatan, konsep pembinaan narapidana tidak dikenal melainkan konsep pemenjaraan. Bagian umum penjelasan UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa:

Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.93

Berdasarkan Pancasila, pemikiran- pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan setelah diundangkannya UU Pemasyarakatan tanggal 30 Desember 1995 telah melahirkan suatu sistim pembinaan yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Secara filosofis, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.

93

Alinea ke-3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

(18)

Bahkan dalam kemiliteran, suatu undang-undang yang mengatur tentang pembinaan narapidana militer belum ada secara khusus sebab saat ini konsep yang dijadikan sebagai dasar hukumnya. Salah satu dasar hukumnya adalah Staatblad 1934 Nomor 169 Sebagaimana Telah Diubah Melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan. Konsep dalam undang-undang ini masih dianut konsep “Kepenjaraan” yang bisa bernuansa sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Oleh sebab itu, sehubungan dengan diundangkannya UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang meletakkan dasar suatu konsep pembinaan kepada narapidana, maka oleh Panglima TNI pada tanggal 31 Desember 1997 Pemerintah melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 Tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Masmil yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24VIII/2005 Tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Pusmasmil. Sehingga dengan demikian dikeluarkannya Skep/792/XII/1997 dan Kep/24VIII/2005 ini meletakkan dasar hukum pelaksanaan konsep pembinaan narapidana anggota militer/TNI dan meninggalkan konsep pemenjaraan.

Sehingga dengan demikian, Staatblad 1934 Nomor 169 Sebagaimana Telah Diubah Melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1947 tentang Kepenjaraan sebagai dasar hukum masih berlaku, tetapi masih menggunakan konsep “penjara” sehingga tidak sesuai dengan konsep pembinaan dimaksud. Sementara jika dirujuk kepada Skep Panglima TNI tampak telah ada perubahan konsep dari sistim kepenjaraan ke sistim pemasyarakatan. Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997

(19)

tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Masmil dan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24VIII/2005 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Pusmasmil merupakan konsep penundukan terhadap UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagaimana yang dimaksud dengan Pemasyarakatan dalam Pasal 1 angka 1 adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Fungsinya dalam Pasal 3 ditegaskan untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.94

Masmil sebagai salah satu elemen dalam SPPM sebagaimana disebutkan Ismay Hadley, dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana di lingkungan peradilan pidana dikenal adanya Sistim Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang dalam hal khusus militer terdiri dari: Lembaga Penyidik (Pom), Lembaga Penuntut (Odmil), Lembaga Peradilan (Hakim Militer), dan Masmil. Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda namun dalam pelaksanaan tugasnya saling terkait serta memiliki kedudukan yang sama sebagai Lembaga Penegak Hukum.95

94

Ismay Hadley, Peningkatan Pembinaan Narapidana Militer, Makalah disampaikan pada Seminar Pembinaan Narapidana Militer di Markas Besar TNI, Badan Pembinaan Hukum (Babinkum), Jakarta: tanggal 1 Desember 2009, hal. 3

95

(20)

Skema 1:

Sistem Peradilan Pidana Militer96

PELAKSANAAN

96

Oditurat Militer I-02 Medan.

TAHAP EKSEKUSI TAHAP PERSIDANGAN TAHAP PENUNTUTAN TAHAP PENYIDIKAN Dasar Penyidikan Tkt. BANDING PAPERA - Laporan - Pengaduan - Tertangkap tangan Oditur POM Ankum - Penangkapan - Penahanan Max 20 hari - Penggeledahan - Penyitaan Terhadap tindak pidana khusus penyidikan dilakukan POM dan Oditur Perpanjangan penahanan sementara setiap kali 30 hari max 180 hari - Skep penyerahan perkara - Skep hukuman disiplin - Skep penutupan perkara

- Berita Acara Pendapat Oditur - Pendapat hukum berupa permintaan: * Skep penyerahan perkara * Skep hukuman disiplin * Skep penutupan perkara - Surat dakwaan - Surat tuntutan - Eksekusi - Penangkapan - Penahanan Max 20 hari - Penggeledahan - Penyitaan Tkt. PERTAMA Dilmilti Mayor ke atas Dilmil Kapten ke bawah DILMILTI DILMILTAMA OTMIL/OTMILTI Dilmilti tingkat banding ke bawah Dilmiltama mayor ke atas Putusan yg telah berkekuatan hukum tetap MA RI MA semua tingkat kepangkatan Tkt. Kasasi DILMIL/DILMILTI ODMIL/ODMILTI PIDANA PENJARA PIDANA KURUNGAN PIDANA PERCOBAAN MASMIL & STALTAHTIBMIL KESATRIAAN Kembali Ke... KESATUAN

(21)

Proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana di lingkungan Peradilan Militer jika dirujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dikenal Polisi Militer (Pom) sebagai penyidik, Oditur Militer (Odmil) sebagai penuntut, Hakim Militer sebagai pemeriksa dan pemutus perkara serta Masmil sebagai tempat pelaksanaan pidana atas putusan Pengadilan Militer yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 256 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 bahwa, “Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Masmil atau di tempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” kecuali yang ditegaskan dalam ayat (3) bahwa “Apabila terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum”, jika dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum maka dasar hukum pembinaannya adalah UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sedangkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan kepada terpidana yang masih berstatus anggota TNI dilaksanakan di Masmil.

Dalam Pasal 256 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 terdapat penegasan “…..di tempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya jumlah Masmil yang ada dan adanya ST ORJEN TNI Nomor ST/16/2004 tanggal 14 Oktober 2004 serta keterbatasan anggaran yang tersedia. Misalnya, dari data yang ada terdapatnya narapidana anggota TNI yang

(22)

menjalani pidananya di luar Masmil yakni di Staltahmil POMDAM, bilik hukuman POMAL, sel tahanan POMAU, dan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.97

Masmil merupakan sub sistem terakhir dalam sistem peradilan militer. Dengan tetap berpedoman kepada UU Pemasyarakatan, Masmil memiliki fungsi untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana militer selama menjalani pidana. Masmil dalam organisasi TNI merupakan unit pelaksanaan teknis dari Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil) dan merupakan bagian dari Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berada di bawah komando Panglima TNI.

Saat ini ada 5 (lima) Masmil berada di bawah Pusmasmil di seluruh wilayah Republik Indonsia. Empat Masmil telah dioperasionalkan dan satu Masmil masih dalam tahap pembangunan. Masmil tersebut adalah:

1. Masmil Medan; 2. Masmil Cimahi; 3. Masmil Surabaya;

4. Masmil Ujung Pandang-Makassar; dan

5. Masmil Papua-Irian Jaya (saat ini sedang dalam pembangunan).

Pemasyarakatan Militer Medan (Masmil Medan) adalah salah satu elemen dalam SPPM untuk melaksanakan pekerjaan dan kegiatan pembinaan, pengamanan, rehabilitasi, dan teknis administrasi terhadap narapidana TNI yang melaksanakan pidananya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

97

(23)

tetap (in kracht van gewijsde) dalam wilayah rayonisasi yang telah ditetapkan sehingga setelah selesai melaksanakan pidananya.

Berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI, maka Masmil-Masmil secara organisasi, personel, keuangan, logistik, dan administrasi berada di bawah Babinkum TNI namun dalam penyelenggaraan fungsi teknis Masmil-Masmil di seluruh wilayah Republik Indonesia berada di bawah Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil).

Babinkum TNI sebagai badan pelaksana pusat yang bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan hukum dan HAM di lingkungan TNI, pembinaan penyelenggaraan Oditurat, dan Pemasyarakatan Militer. Semua peradilan pidana termasuk peradilan pidana militer saat ini sudah berada di bahwa pembinaan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pusmasmil adalah sebagai pembina teknis penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer yang bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan terhadap narapidana TNI yang menjalani pidana. Masmil sebagai tempat pelaksanaan pidana bagi terpidana yang masih berstatus anggota TNI/militer/prajurit harus aktif melakukan pembinaan untuk membina narapidana TNI dengan tujuan untuk dapat mengembalikan terpidana menjadi prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi melakukan tindak pidana sehingga siap melaksanakan tugas di kesatuannya.98

98

Ibid., hal. 1.

(24)

Berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Skep 792/XII/1997 tanggal 31 Desember 1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknik Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer dan sesuai dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep 24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 sub Lampiran V tentang Pokok-Pokok Oraginsasi dan Prosedur Pusat Pemasyarakatan Militer, Kapusmasmil dijabat oleh seorang Pamen berpangkat Kolonel dan saat ini berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 38/VI/2008 tanggal 16 Juni 2008 Kapusmasmil TNI dijabat oleh Pati Bintang Satu.

C. Pembinaan yang Dilakukan oleh Pemasyarakatan Militer Terhadap Narapidana Anggota Tentara Nasional Indonesia

Pasal 256 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 menegaskan kewenangan Masmil (Masmil) adalah melaksanakan pembinaan, namun dalam Pasal 256 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tersebut masih digunakan kata “penjara” yang pada prinsipnya tidak mencerminkan maksud pembinaan sebagaimana ditegaskan berikut: “Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Masmil atau di tempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” kecuali yang ditegaskan dalam ayat (3) bahwa “Apabila terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum”, jika dilaksanakan di Lapas maka dasar hukum pembinaannya adalah UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

(25)

tetap berupa perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan kepada terpidana yang masih berstatus anggota TNI dilaksanakan di Masmil.

Pelaksanaan putusan dilaksanakan oleh Oditur Militer dimana bahwa Oditur berwenang mengirimkan salinan berita acara pelaksanaan putusan Pengadilan yang ditandatangani oleh Oditur, Kepala Masmil, dan Terpidana kepada Pengadilan yang memutus, Atasan yang Berhak Menghukum, dan Perwira Penyerah Perkara, selanjutnya salinan berita acara pelaksanaan putusan yang diterima Pengadilan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku register pengawasan dan pengamatan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997.

Mengenai kewenangan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat). Para Kamasmil mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada Hakim Wasmat yang melakukan kunjungan atau pemeriksaan di Masmil mengenai hal-hal sebagai berikut:99

1. Kebenaran tentang pelaksanaan pidana yang dijatuhkan; 2. Perlakuan terhadap para Narapidana TNI;

3. Tata kehidupan antara sesama Narapidana TNI;

4. Sistim pembinaan yang diterapkan kepada Narapidana TNI; 5. Himpunan data mengenai perilaku Narapidana TNI; dan

6. Evaluasi mengenai hubungan antara perilaku Narapidana TNI dengan pidana yang diterimanya.

Sehubungan dengan itu dalam Pasal 262 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 ditentukan terhadap Hakim Wasmat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian

99

Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer, hal. 102.

(26)

demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku Narapidana atau pembinaan di Masmil serta pengaruh timbal balik terhadap Narapidana selama menjalani pidananya.

Oleh karena dalam Pasal 256 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 masih digunakannya kata “penjara” yang pada prinsipnya tidak mencerminkan maksud pembinaan, maka dikeluarkanlah Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer dapat dipahami secara umum pembinaan terhadap Narapidana TNI mencakup pelaksanaan rehabilitasi yaitu suatu upaya atau kegiatan dilakukan dalam rangka mengembalikan suatu keadaan narapidana TNI yang tidak baik kepada kondisi yang baik sehingga pelaksanaannya mengarah kepada konsep pembinaan bukan konsep kepenjaraan.

Melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer dijadikan sebagai dasar pembahasan dalam sub bab ini yang di dalamnya diatur berbagai macam dan bentuk pembinaan teradap Narapidana TNI dan hingga sampai saat ini sebagai dasar pelaksanaan pembinaan Narapidana TNI di Masmil adalah Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer.

Berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/792/XII/1997 disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di Masmil ditujukan kepada Narapidana TNI, maka dengan sendirinya kegiatan tersebut merupakan upaya

(27)

untuk membina para Narapidana TNI agar nantinya setelah selesai melaksanakan pidananya dapat kembali menjadi Prajurit Sapta Marga. Berhasil atau tidaknya kegiaan pembinaan tersebut, tidak terlepas juga daripada sikap maupun tingkah laku dari petugas Masmil, oleh sebabnya petugasnya harus mengetahui dan melaksanakan ketentuan yang berlaku, larangan serta kewajiban-kewajibannya.

Setiap petugas di samping menunjukkan sikap tegas dan berdisiplin, harus juga memiliki sifat kemanusiaan, kejujuran, dan kecakapan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya di dalam melaksanakan tugasnya. Setiap petugas harus bisa menjadi contoh tauladan terhadap para Narapidana TNI serta memberikan perlakuan yang sama terhadap para Narapidana TNI tanpa memandang suku dan agama. Sedapat mungkin kebiasaan dalam agama serta adat istiadatnya juga harus diperhatikan. Terhadap petugas Masmil yang tidak mengindahkan ketentuan tersebut akan diambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, terhadap para petugas ditentukan larangan sebagai berikut:

1. Menerima hadiah atau pinjaman baik dalam bentuk uang maupun barang dari Narapidana TNI atau keluarganya;

2. Menerima hadiah baik langsung ataupun tidak langsung dari orang lain yang ada hubungannya dengan Narapidana TNI;

3. Membawakan barang atau alat milik Narapidana TNI ke dalam maupun ke luar Masmil dengan maksud yang tidak wajar; dan

(28)

4. Membawa/menganjurkan Narapidana TNI untuk keluar dari Masmil guna menemui keluarga namun tujuannya agar petugas tersebut mendapatkan imbalan berupa uang.

Dalam hal kewajiban yang wajib dilakukan para petugas dalam Masmil adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tanggung jawab masing-masing;

2. Membantu Kamasmil untuk ikut mengawasi segala tingkah laku para Narapidana TNI sehari-hari; dan

3. Melaporkan semua pelanggaran atau permasalahan yang terjadi di lingkungan Masmil kepada Kamasmil untuk diselesaikannya sebagaimana mestinya.

Ditentukan pula larangan terhadap para Narapidana TNI agar tidak diperkenankan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Para Narapidana TNI tidak diperbolehkan memakai tanda pangkat ataupun atribut TNI lainnya selama melaksanakan pidananya melainkan harus disimpan pada Urusan Penitipan Barang di Masmil;

2. Tanpa ijin dari petugas, para Narapidana TNI dilarang berada di tempat lain selain yang telah ditentukan baginya;

3. Setiap Narapidana TNI dilarang membuat kegaduhan, baik dengan ucapan maupun dengan tindakan-tindakan sehingga ketenteraman di Masmil terganggu;

(29)

4. Setiap Narapidana TNI dilarang membuat tulisan, lukisan ataupun coretan pada bagian bangunan serta benda-benda lain di Masmil; dan

5. Setiap Narapidana TNI dilarang menambah, mengurangi serta merubah barang-barang atau peralatan yang dipercayakan kepadanya, sehingga keadaannya menjadi tidak sesuai dilihat dari segi keamanan, kebersihan, dan keindahan.

Bidang-bidang kegiatan yang dilakukan di Masmil dalam rangka melakukan pembinaan terhadap para Narapidana TNI meliputi: pembinaan pendidikan, keterampilan, olah raga, kesenian, dan lain-lain. Kegiatan dalam bidang pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat pokok dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana TNI. Pembinaan dalam bidang pendidikan ini meliputi:

1. Pembinaan Rohani. Meliputi pemberian pelajaran atau ceramah-ceramah yang berkaitan dengan keagamaan dan pemberian kesempatan kepada para Narapidana TNI untuk melaksanakan ibadah sesusi dengan agamanya;

2. Bintara Juang. Meliputi: Pelestarian nilai-nilai-45; Sapta Marga; Sumpah Prajurit100

100

Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Op. cit., hal. 153. Pengertian “militer” dan “prajurit” adalah sama, hanya yang berbeda adalah selera pengguanaan istilah saja atau penerapannya oleh pembentuk undang-undang.

; Delapan wajib TNI; Nilai-nilai sejarah perjuangan TNI; Kesadaran nasional; Etos kerja; Bin MATRA (AD, AL, AU); Mental ideologi; Penyuluhan hukum; penerapan Peraturan Militer Dasar (Permildes) misalnya: Peraturan Baris-Berbaris (PBB), Peraturan Penghormatan Militer (PPM),

(30)

Peraturan Disiplin Militer (PDM), Peraturan Urusan Dalam (PUD), dan Peraturan Dinas Garnisum (PDG).

Uraian mengenai pelaksanaan pembinaan dalam bidang pendidikan ada 3 (tiga) yakni: bersifat pokok; bersifat penunjang; dan rohani. Pembinaan peniddikan yang bersifat pokok berlaku ketentuan berikut:

1. Dilaksanakan sebagaimana yang berlaku di Masmil; 2. Diberikan di ruang kelas yang telah tersedia di Masmil;

3. Banyaknya jam pelajaran untuk setiap mata pelajaran disesuaikan dengan jenis mata pelajaran yang diberikan;

4. Setiap jam pelajaran lamanya 45 menit;

5. Diadakan test setiap mata pelajaran yang telah selesai diberikan dengan maksud untuk mengetahui sampai dimana kemampuan tiap Narapidana TNI menghayati dan menyerap pengetahuan yang diberikan kepadanya; dan

Bidang pendidikan yang bersifat penunjang secara teori diberikan di dalam ruang kelas dan praktiknya dilaksanakan di lapangan, berlaku:

1. Untuk pelajaran teori setiap jam mata pelajaran lamanya 45 menit;

2. Banyaknya pelajaran untuk setiap mata pelajaran disesuaikan dengan jenis mata pelajaran yang diberikan;

3. Kepada Narapidana TNI diberikan kesempatan untuk memilih jenis mata pelajaran yang diminatinya dengan pertimbangan harus tetap juga mengikuti semua mata pelajaran keterampilan yang diberikan; dan

(31)

4. Diadakan test ketarampilan di lapangan terhadap masing-masing pelajaran yang diminatinya.

Pembinaan di bidang pendidikan yang bersifat rohani adalah pembinaan yang diberikan berdasarkan sudut pandang religi atau keagamaan. Melalui pemberian ceramah-ceramah agama agar dijadwalkan dan diberikan di ruang kelas. Pemberian kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut Narapidana TNI yang bersangkutan misalnya untuk yang beragama Islam ditekankan melaksanakan Sholat lima waktu dan melaksanakan Sholat Juma’at dan lain sebagainya. Untuk yang beragama Nasrani diharuskan melaksanakan kebaktian setiap pada hari minggu. Begitu pula bagi Narapidana TNI yang memeluk agama lainnya tetap diberikan kesempatan melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama yang dianutnya.

Mengenai waktu yang disiapkan untuk keperluan belajar, melakukan pekerjaan serta keperluan istirahat, hendaknya diupayakan dibuat berimbang dengan maksud agar mengindari perasaan jenuh di kalangan Narapidana TNI, memberikan cukup waktu untuk meresapkan setiap ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya baik dari pembina maupun pengajar, serta menjaga kondisi para Narapidana TNI agar selalu sehat dalam menjalani masa pidananya di Masmil.

Kegiatan dalam bidang keterampilan merupakan pendidikan yang bersifat penunjang dan merupakan kegiatan yang diberikan kepada para Narapidana TNI dengan maksud untuk mengurangi rasa jenuh selama melaksanakan pidananya dan dapat berguna bila selesai menjalankan pidana. Bidang-bidang keterampilan ini meliputi: pengetahuan pertanian, pengetahuan pertukangan kayu, pengetahuan

(32)

perikanan, pengetahuan menjahit, pengetahuan anyam-menganyam, dan lain-lain. Pelaksanaan kegiatan dalam keterampilan ini disesuaikan dengan sarana yang tersedia di masing-masing Masmil.

Selain memberikan pengetahuan keterampilan terhadap Narapidana TNI, di luar jam kerja kepada Narapidana TNI juga diberikan pekerjaan untuk kepentingan dinas yang jenis dan waktunya ditentukan oleh Kamasmil. Beberapa hal yang diperhatikan dalam pemberian pekerjaan adalah:

1. Dengan pekerjaan tersebut, para Narapidana TNI melakukan pemeliharaan kesehatan, mengembangkan dan mempertinggi daya maupun keterampilan kerja;

2. Pemberian pekerjaan tersebut jangan sampai menimbulkan kesan sebagai pengurus tenaga Narapidana TNI dengan dalih untuk kepentingan dinas serta lamanya kerja tidak dibenarkan sampai 8 (delapan) jam dalam satu hari; 3. Jika ada hasil pekerjaan yang dapat dipasarkan, maka kepada Narapidana TNI

yang bersangkutan wajib diberikan imbalan yang ditentukan oleh Kamasmil yang disesuaikan dengan nilai serta volume hasil pekerjaan tersebut; dan 4. Imbalan yang diterima Narapidana TNI yang bersangkutan tersebut ditabung

secara tercatat untuk keperluan Narapidana itu sendiri sewaktu-waktu atas ijin Kamasmil.

Kegiatan lainnya yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas pembinaan di Masmil adalah kegiatan olah raga. Kepada para Narapidana TNI diberikan juga ksemepatan untuk melakukan kegiatan olah raga dalam waktu yang

(33)

cukup dan apabila perlu serta dengan pertimbangan keamanan yang mengijinkan dapat dilakukan di luar Masmil di bawah pengawasan dan penjagaan petugas yang cukup. Adapun jenis-jenis olah raga tersebut meliputi: Sepak Bola, Bola Volly, Bulu Tangkis, Bola Basket, Tenis Meja, dan lain sebagainya.

Jenis olah raga yang kemungkinan tidak bisa dilakukan di dalam Masmil dan memingkunkan dilakukan di laur Masmil haruslah jenis olah raga yang dilakukan secara bersama seperti Sepak Bola, Bola Volly dan lain-lain. Sementara untuk jenis olah raga perorangan yang dilakukan di dalam Masmil tetap diawasi agar tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas pembinaan dan keamanan. Semua perlengkapan dan peralatan alah raga disediakan oleh Masmil dan waktunya diatur oleh Kamasmil. Selain kegiatan olah raga sebagaimana disebutkan di atas, setiap melaksanakan apel pagi, kepada para Narapidana TNI diwajibkan untuk melakukan senam pagi bersama. Diadakan pula latihan kesemaptaan jasmani dan bela diri. Dalam hal kegiatan kesenian, terhadap para Narapidana TNI seharusnya diberikan waktu untuk melakukan kegiatan kesenian, misalnya latihan musik, sandiwara dan lain-lain. Kegiatan tersebut, di samping sebagai penyaluran minat dan bakat juga sebagai sarana hiburan.

Perpustakaan pada setiap Masmil hendaknya disediakan yang isi buku-bukunya bernuansa keagamaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain yang berguna untuk membantu dan menambah pengetahuan para Narapidana TNI. Tetapi dilarang terhadap buku-buku yang isinya dapat mempengaruhi jiwa Narapidana TNI atau

(34)

kemungkinan dapat berakibat buruk atau kurang baik dampaknya bagi Narapidana TNI.

Dalam hal menerima kunjungan keluarga dan tamu Narapidana TNI, para Narapidana TNI diberikan kesempatan untuk menerima kunjungan dari keluarga maupun rekannya. Kunjungan dilaksanakan pada tempat yang telah disediakan dan kalau memungkinkan, penentuan tempat tersebut dibagi menurut klasifikasi Narapidana TNI dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan. Kunjungan dilakukan pada hari kerja atau pada hari-hari besar tertentu (hari raya agama yang diakui Pemerintah) seperti: hari kerja Senin sampai dengan Kamis jam 10.00 WIB s/d 12.30 WIB dan hari libur/besar jam 10.00 WIB s/d 12.30 WIB.

Begitu pula dalam hal kiriman barang-barang dari setiap pengunjung maupun rekan-rekannya yang dapat diterimakan kepada Narapidana TNI berupa: alat-alat untuk membersihkan badan sepanjang alat-alat tersebut tidak membahayakan; minuman yang tidak mengandung alkohol dan tidak memabukkan; dan makanan-makanan yang tidak perlu dimasak lagi. Selain itu, diperbolehkan pula alat-alat olah raga sepanjang alat-alat tersebut baik bentuk maupun keadaannya tidak dapat digunakan untuk usaha-usaha melarikan diri atau untuk membuat gangguan ketertiban di dalam Masmil.

Buku-buku bacaan yang tidak dilarang oleh yang berwajib dan tidak boleh dikirimkan secara berlebihan serta jumlahnya harus dibatasi. Kamasmil akan menentukan lebih lanjut tentang jumlah dan jenis barang kiriman yang harus diterima oleh Narapidana TNI setelah melalui pemeriksaan petugas. Sebab, pada waktu

(35)

berkunjung tamu-tamu wajib lapor terhadap petugas dan melalui pemeriksaan serta dilarang membawa senjata tajam maupun alat-alat lain yang membahayakan.

Terhadap Narapidana TNI yang berkelakuan baik dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan pada setiap tanggal 17 Agustus dapat diusulkan untuk diberikan remisi atau pengurangan masa pidana dengan tujuan pemberian remisi tersebut adalah sebagai dorongan bagi para Narapidana TNI agar selalu berkelakuan baik selama melaksanakan pidananya.

Remisi diberikan harus terlebih dahulu ada dilakukan penilaian dan penghargaan dari Kamasmil terhadap Narapidana TNI. Penilaian dilakukan secara berkala terhadap Narapidana TNI dengan maksud agar petugas mengetahui apakah pembinaan yang dilakukan tersebut berhasil atau tidak, dapat menentukan sikap atau langkah selanjutnya yang akan dilakukan apakah Narapidana TNI tersebut masih bisa dibina atau kemungkinan disarankan kepada DANSAT-nya untuk diberhentikan secara tidak hormat. Penilaian itu juga dilakukan sebagai dorongan atau rangsangan terhadap para Narapidana TNI untuk selau berbuat baik selama melaksanakan pidananya dan pada akhirnya mendapatkan remisi dari Kamasmil.

Selama menjanai masa pidananya, Narapidana TNI yang berbuat baik patut dipuji dan diberikan penghargaan. Pemberian penghargaan tersebut sebagai dorongan agar para Narapidana TNI selalu berbuat baik dan menambah rasa tanggung jawab dalam rangka memasyarakatkan dirinya. Bentuk penghargaan tidak boleh berupa bahan pokok kebutuhan sehari-hari melainkan memberikan fasilitas tertentu. Bagi Narapidana TNI yang selalu menunjukkan tingkahlaku yang baik atau telah berjasa

(36)

besar terhadap negara, dapat diusulkan untuk memperoleh remisi, baik sebagaian atau seluruhnya.

Apabila Narapidana TNI mengalami sakit dan mesti harus ditangani oleh dokter ahli di bidangnya, maka harus diperlukan ijin berobat yang dikeluarkan oleh Kamasmil. Perobatan itu dilakukan ke laur dari Masmil apabila tidak tersedia unit kesehatan tertentu sesuai dengan penyakit yang dideritanya. Penunjukan dokter hali tersebut harus pula melalui dokter TNI yang telah memeriksa penyakit Narapidana TNI tersebut. Apabila Narapidana TNI yang bersangkutan harus dirawat di rumah saki, maka harus di rumah sakit TNI agar memudahkan pengawasan dan tetap dalam pengawalan.

Ada kalanya Narapidana TNI yang sedang menjalani masa pidanaya di Masmil diperlukan sebagai saksi dalam persidangan baik dalam perkara perdata maupun pidana, maka harus ada: pemberitahuan dari instansi yang memerlukannya; tetap harus dikawal oleh petugas dari Masmil; dan jika Narapidana TNI tersebut harus menginap di luar Masmil maka tempat menginapnya adalah di Rutan TNI terdekat terhadap tempat tujuan ijinnya. Berbeda dengan dalam kondisi penyidikan terhadap Narapidana. Penyidikan jika diperlukan terhadapnya, maka penyidik harus melakukan penyidikan itu tetap berada di dalam Masmil dan petuas penyidik diijinkan untuk memasuki Masmil.

Pemberian ijin lainnya seperti mengunjungi kelaurganya sendiri (misalnya: Istri, Suami, anak-anak yang masih dalam tanggungan) yang sakit keras atau meninggal dunia. Diberikan pula ijin dalam hal menjadi wali untuk pernikahan

(37)

anaknya dan hal ini hanya dapat dimintakan ijin dari Kapusmasmil dan diketahui Kepala Pengadilan Militer setempat selaku Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat). Mengenai tanggungan biaya-biaya ijin keluar dari Masmil terkait dengan urusan pribadi Narapidana TNI ditanggung sendiri olehnya atau kelaurganya.

Setiap Narapidana TNI diberikan pula kesempatan untuk mengirim atau menerima surat dari keluarga atau kesatuannya dan harus diperiksa oleh petugas Masmil terlebih dahulu. Terhadap suart-surat yang isi dan maksudnya dapat mempengaruhi Narapidana TNI untuk berbuat melanggar ketentuan di Masmil, maka petugas harus membatasinya dan tidak perlu diteruskan kepada yang bersangkutan.

Setiap Narapidana TNI dapat mengajukan surat permohonan ataupun pengaduan yang ditujukan kepada Kamasmil baik mengenai perlakuan ataupun perawatan yang diberikan oleh petugas Masmil yang tidak sesuai pada tempatnya maupun mengenai persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Terhadap Narapidana TNI sebagai pelaku dengan sengaja mengajukan permohonan atau membuat surat pengaduan yang tidak benar serta isinya bersifat fitnah atau menghina baik terhadap sesama Narapidana TNI maupun petugas, maka terhadap pelaku (oknum) harus diambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Masmil.

Sebagai bagian dari pembinaan Narapidana TNI, perlu pula diperhatikan kesejahteraan terhadap Narapidana TNI misalnya di dalam Masmil disediakan kantin yang menyediakan barang-barang keperluan sehari-hari dimana barang-barang tersebut tidak diberikan oleh Masmil serta dijual dengan harga yang patut dan tidak dibenarkan memungut keuntungan yang besar. Dalam hal ini Kamasmil membuat

(38)

ketentuan lebih lanjut mengenai waktu dan lamanya kantin tersebut dibuka, macam dan jenis barang yang boleh dijual serta daftar harga dan lain-lain yang dianggap perlu.

Selama melaksanakan kegiatan pembinaan di Masmil, jika ada Narapidana TNI yang melakukan pelanggaran tata tertib yang berlaku di Masmil, maka petugas melalui kewenangan Kamasmil harus memberikan sanksi. Misalnya tindakan paksa dilakukan terhadap Narapidana TNI (pelaku) yang sengaja tidak taat ataupun melakukan pelanggaran terhadap tata tertib Masmil. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan agar Narapidana TNI yang lainnya tidak mengikuti jejak atau langkah dari rekannya yang melakukan pelanggaran tersebut. Hukuman yang dijatuhkan terhadapnya berupa pengasingan dari Narapidana TNI yang lainnya serta dimasukkan ke dalam kamar atau sel khusus untuk tidak lebih dari 8 (delapan) hari. Hukuman yang dijatuhkan tersebut dicatat dalam Register Hukuman Tatib Masmil.

Perlakuan terhadap Narapidana TNI yang dipidana mati harus ditempatkan di kamar sel khusus yang terpisah dari sel kamar sel lainnya. Kepadanya diberikan kesempatan untuk membersihkan diri/mandi dan menghirup udara segar. Sekalipun pidana mati yang dijatuhkan oleh Hakim sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap artinya terpidana mati tidak memohon banding, tidak memohon grasi, bahkan menerima pidana tersebut, namun pidana mati belum boleh dilaksanakan sebelum

(39)

turun keputusan dari Presiden mengenai pelaksanaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.3 Tahun 1950 LN No.40 Tahun 1950 tentang Grasi.101

Pelaksanaan pembinaan di Masmil dilakukan sampai pada akhirnya Narapidana TNI yang bersangkutan bebas dari pelaksanaan hukuman pidanan atau pembebasan. Pembebasan terhadap Narapidana TNI yang dibina di Masmil harus berdasarkan surat keputusan ataupun pemberitahuan secara tertulis dari instansi yang menitipkan (misalnya instansi yang menitipkan itu adalah Pengadilan Militer). Kelengkapan administrasi berupa surat perintah pembebasan dibuat oleh Kamasmil. Kamasmil menyerahkan Narapidana TNI tersebut kepada instansi yang menitipkan. Sebelum melaksanakan pembebasannya, Narapidana TNI yang akan dibebaskan itu wajib mengisi formulir angket yang disediakan guna sebagai bahan evaluasi pentelenggaraan pemasyarakatan di Masmil.

101

SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 75.

Referensi

Dokumen terkait

PERANAN ORGANISASI GREENERATION INDONESIA DALAM MENGEMBANGKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN SEBAGAI WUJUD PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: Studi kasus terhadap organisasi

Kurva PI berbentuk lonceng dengan derajat keanggotaan 1 terletak pada pusat dengan domain ( γ), dan lebar kurva (β) seperti terlihat pada

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Pokja Pembangunan Pembangunan Pagar Hidup dan Kawat Duri Keliling di Instalasi Waihibur melalui Penetapan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa setiap

Melihat begitu pentingnya peran atlet pencak silat yang memiliki kualitas yang cukup tinggi serta kemampuan yang dimiliki dalam meraih prestasi maka peneliti

Pada acara ini, pihak pesantren mengundang pula para habaib (ahlu bait Nabi), baik dari Jombang dan sekitarnya, sebagai penghormatan bagi keturunan dari Nabi Muhammad

Jumlah kelimpahan fitoplankton tertinggi yang ditemukan di Sungai Tulung pada pagi hari terdapat di stasiun II sebesar 14.735 ind/L dengan jumlah 18 genera dan