• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernahkah kalian melihat sebuah pertunjukan tari? Jika pernah, di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pernahkah kalian melihat sebuah pertunjukan tari? Jika pernah, di"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Pengelolaan

dan Pementasan

P

ernahkah kalian melihat sebuah pertunjukan tari? Jika pernah, di mana, tari apa, dan dalam rangka apa pertunjukan itu dilaksanakan? Siapa pula yang menyelenggarakannya? Apakah se­ seorang, suatu lembaga (pemerintah­swasta), keluarga, atau sekelompok masyarakat?

Pada saat ini, tidaklah terlalu sulit bagi kita untuk dapat menyak­ sikan sebuah pertunjukan tari, baik yang dekat dengan lingkungan kita maupun yang jauh. Pada saat­saat tertentu, di sekitar kita pasti ada orang yang mengadakan keramaian kenduri, syukuran misalnya, baik yang diselengggarakan oleh individu, maupun oleh sekelompok orang atau masyarakat. Dalam keramaian itu acapkali disertai dengan hiburan. Acara tahunan dalam rangka memperingati kemerdekaan negara kita, biasanya juga dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan hiburan. Tari­tarian adalah salah satunya.

Dari tempat yang jauh, kita pun bisa menyaksikan macam­macam pertunjukan tari. Ruang tontonan kini menjadi sangat terbuka karena teknologi audiovisual (TV, VCD, DVD) telah berkembang dengan sangat cepat. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi audiovisual, telah memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk menonton pertunjuk­ an tari sekalipun lokasinya jauh, dan berbeda pula budayanya. Tari­tarian, kini sudah banyak yang direkam dalam bentuk VCD. Oleh sebab itu, kalian bisa menonton tari di ruangan yang sempit sekalipun.

▸ Baca selengkapnya: tata pentas yang dipergunakan dalam pertunjukan sebuah karya tari meliputi yaitu …

(2)

Jika kalian pernah menyaksikan pertunjukan tari, paling sedikit kalian dapat melihat dua hal pokok, yakni seniman yang main (menari) dan tempat atau panggung pertunjukannya. Akan tetapi, ada satu ukuran lagi yang mungkin tidak terpikir oleh penonton, yakni pengelola. Pengelola adalah yang mengatur pertunjukan agar terlaksana dengan baik.

Dalam bab ini kita akan membicarakan bagaimana pertunjukan dilaksanakan, ditinjau dari sisi penyelenggaraannya.

Di dalam khazanah tari tontonan, ada berbagai cara penyeleng­ garaan dan tempat yang biasanya digunakan. Terselenggaranya sebuah pertunjukan pun bisa terjadi karena berbagai hal, tujuan dan kepentingan. Kedua unsur itulah yang akan dibahas dalam bab ini, yaitu hubungan antara yang dipentaskan dengan yang mementaskan; yang menonton dan yang ditonton; atau yang mengelola dan yang dikelola.

5.1 Unsur-Unsur Pokok Organisasi

Sesederhana apa pun, penyelenggaraan seni pertunjukan, termasuk pertunjukan tari, pasti ada pengelola, ada yang dikelola dan ada sistem pengelolaan/manajemennya. Pengelola adalah sekelompok orang yang terhimpun dalam satu wadah organisasi. Sedangkan yang dikelola, selain orang, juga aktivitas dan hal­hal yang bersifat teknis. Organisasi inilah sebagai alat untuk menyelenggarakan suatu kegiatan pementasan. Orang­ orang di dalam organisasi, sesuai dengan peran dan fungsinya masing­ masing, bertanggung jawab atas terselenggaranya suatu kegiatan.

Dalam suatu penyelenggaraan pementasan, organisasi atau sekumpulan orang yang mengurus pementasan sering kali disebut sebagai panitia. Kepanitiaan, di samping memiliki struktur kepengurusan, juga memiliki sistem manajemen yang biasanya telah disepakati bersama untuk pelaksanaannya. Sistem manajemen menjadi patokan dalam melakukan pekerjaan. Sistem itu memuat berbagai hal untuk mendukung jalannya organisasi kepanitiaan.

Sebuah kepanitiaan biasanya memiliki pula tatakerja atau aturan bagi setiap anggotanya. Tatakerja tersebut antara lain meliputi sistem koordinasi, garis komando, kewenangan, tugas, kewajiban dan tanggung jawab. Sistem manajemen pun mengatur sistem administrasi dan keuangan. Oleh sebab itu, betapapun sederhananya suatu organisasi, pasti memiliki struktur kepengurusan; besar­kecilnya serta banyak­sedikitnya anggota kepanitiaan tergantung pada tuntutan kegiatan dan event kegiatan.

(3)

5.1.1 Struktur Organisasi

Dua unsur pokok di dalam organisasi adalah: 1) Struktur kepengurusan, yang terdiri atas orang­orang yang menjalankan organisasi sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, baik secara vertikal, maupun hori­ zontal. 2) Sistem manajemen yang merupakan landasan atau pedoman kerja untuk menjalankan roda organisasi.

Pada suatu penyelenggaraan seni pertunjukan, sesuai dengan bidang atau materi yang akan ditangani, sudah tentu sebuah organisasi kepani­ tiaan harus memperhatikan manajerial yang bersifat umum dan hal­hal yang berkaitan dengan pementasan. Struktur organisasi penyelenggaraan seni pertunjukan biasanya terdiri atas:

a. Orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur dan mengen­ dalikan jalannya organisasi. Ia adalah orang yang merancang segala aktivitas mulai dari prakegiatan (perencanaan, persiapan), pementasan (berlangsungnya pementasan), dan pasca­pementasan (penyelesaian segala hal yang menyangkut tugas dan kewenangan, dan evaluasi). Sebutan untuk orang dalam posisi ini bermacam­macam, misalnya; ketua umum, manajer umum, direktur utama, dan lain sebagainya. b. Orang yang bertanggung jawab pada bidang administrasi secara

umum seperti surat menyurat, undangan, dokumentasi dan hal­hal yang bersinggungan dengan administrasi. Posisi ini biasanya disebut sekretaris.

c. Orang yang bertanggung jawab pada hal­hal yang bersifat keuangan, yakni orang yang mengatur sistem keluar­masuknya dana. Meren­ canakan besaran anggaran yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan perbidang. Membantu ketua dalam hal penanganan keuangan, ter­ masuk kelebihan dan kekurangan dana yang mungkin terjadi. Posisi ini sering disebut bendahara.

d. Orang yang bertanggung jawab pada materi dan kualitas seni yang akan dipentaskan. Ia bertanggung jawab secara artistik dan me­ laksanakan koordinasi dengan seniman­seniman yang terlibat di dalamnya, baik koreografer, penata musik, penari maupun pemusik, sejak perencanaan, latihan­latihan, persiapan pementasan sampai pelaksanaan pementasan. Kelancaran pelaksanaan pementasan di atas panggung merupakan tanggung jawabnya. Posisi ini sering kali disebut sebagai direktur artistik.

e. Orang yang bertanggung jawab pada hal­hal yang bersifat umum dan menyeluruh untuk terlaksananya suatu kegiatan. Misalnya, tempat latihan dan gedung pementasan, sekretariat, logistik, pemasaran, dan sebagainya. Posisi ini sering disebut sebagai manajer produksi.

(4)

Itulah gambaran secara umum sistem organisasi dan manajemen penyelenggaraan seni pertunjukan. Pengembangan struktur organisasi biasanya disesuaikan dengan kebutuhan serta besar kecilnya peristiwa dan volume pekerjaan. Misalnya ada bidang publikasi dan dokumentasi, bidang penggalangan dana dan pemasaran, dan lain sebagainya. Sudah tentu banyak bentuk dan sistem organisasi yang lain dengan segala variasinya. Tetapi kecenderungan saat ini, pembentukan organisasi dan manajemen seni pertunjukan dibuat secara efektif dan efisien.

Bertolak dari pemahaman di atas, sering kali kita mengenal adanya organisasi dan menejemen tetap atau standar. Tetapi sebaliknya, ada pula organisasi dengan manajemen tidak tetap dan tidak standar. Artinya ada yang permanen, semi­permanen, dan insidental atau temporer. Begitu pula ada yang bersifat amatir dan ada pula yang bersifat profesional. 5.1.2 Organisasi Permanen dan Nonpermanen

Organisasi Permanen. Organisasi dan manajemen pementasan per­

manen biasanya terjadi pada program­program pementasan yang bersifat rutin (berkala), yaitu pementasan yang berlangsung bisa setiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap tahun. Sebagai contoh adalah pementasan pada panggung­panggung profesional dan komersial, antara lain; grup

Wayang Orang Sri Wedari di Surakarta, Jawa Tengah, grup Wayang Orang Bharata di daerah perdagangan Senen di Jakarta, taman­taman

budaya, dan sebagainya. Pementasan tari tontonan wayang orang pada dua grup tersebut di atas berlangsung setiap malam. Untuk dapat memasuki gedung dan melihat pertunjukannya, para penonton harus membeli tiket sebagai tanda masuk.

Demikian pula pertunjukan seni wisata di berbagai daerah tujuan wisata juga ada yang dikelola dengan organisasi dan manajemen yang permanen. Misalnya pertunjukan tari Barong di Batubulan, Bali, juga sendratari Ramayana di panggung terbuka kompleks candi Prambanan di Yogyakarta setiap bulan purnama. Sementara itu, di daerah pantai utara Jawa Barat terdapat grup­grup tari Jaipong komersial yang menganut sistem organisasi dan manajemen yang permanen.

Selain kelompok­kelompok seni pertunjukan komersial di atas ada juga berbagai forum festival seni yang menggunakan sistem organisasi dan manajemen yang permanen. Misalnya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang diadakan selama satu bulan (Juni­Juli) tiap tahunnya. Namun sistem organisasi dan manajemennya berganti setiap dua tahun. Perubahan organisasi kepanitiaan pada suatu periode tertentu juga terjadi pada sistem

(5)

organisasi dan manajemen penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, Festival Danau Tempe di Sulawesi, Festival Erau di Kalimantan, Festival Danau Toba di Sumatera, dan festival­festival lainnya yang kini banyak diadakan hampir di seluruh wilayah provinsi atau kabupaten.

Di dalam kehidupan tradisi banyak sekali acara­acara yang justru bersifat permanen dan dilakukan secara periodik setiap tahun, empat tahunan, atau 100 tahun (seperti Eka Dasa Ludra di Bali). Pada bentuk­ bentuk acara tradisi seperti ini, kepanitiaannya tentu saja selalu berganti. Tapi, secara tradisi pula masing­masing orang biasanya sudah memahami tugas dan tanggung jawabnya.

Belakangan ada perkembangan baru, yaitu tumbuhnya organisasi­ organisasi yang bergerak di bidang jasa penyelenggara seni pertunjukan. Pelaku jasa penyelenggara seni pertunjukan tersebut dikenal dengan nama

event organizer, yang disingkat EO. Di kota­kota besar seperti Jakarta,

Bandung, Surabaya, Makasar, Medan banyak tumbuh EO yang secara profesional siap menyelenggarakan event (peristiwa) seni pertunjukan. Sudah tentu, sebagai bentuk organisasi dan sistem manajemen badan usaha, pola kerja EO berbeda dengan organisasi­organisasi kepanitiaan yang sifatnya temporer, atau tidak permanen, dan apalagi jika dibanding dengan tradisi masyarakat adat tertentu.

Organisasi Nonpermanen. Organisasi dan sistem manajemen tidak

permanen adalah suatu organisasi penyelenggara seni pertunjukan yang dibentuk atau diadakan bila dibutuhkan. Artinya, penyelenggaraan seni pertunjukannya pun tidak bersifat permanen. Dengan demikian, orang­orang yang terlibat dalam organisasi dan sistem manajemennya pun berubah­ubah atau berganti­ganti. Sebagai contoh, sebuah grup tari walaupun telah memiliki organisasi dan sistem manajemen yang per­ manen, tetap saja membentuk organisasi dan sistem manajemen baru pada saat pentas. Pada saat akan mementaskan karya tari yang lain, organisasi dan sistem manajemen yang baru dibentuk lagi.

Organisasi dan manajemen seperti tersebut di atas, mirip dengan organisasi dan manajemen tradisi orang hajatan (kenduri). Di beberapa daerah di Indonesia, tradisi hajatan, misalnya khitanan, perkawinan, nadzar, dan lain­lain, seringkali disertai dengan adanya tanggapan kese­ nian (tari, wayang, organ tunggal, layar tancap dan sebagainya). Peng­ organisasiannya dilaksanakan oleh sanak keluarga dan handai taulan yang empunya hajat. Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan sistem organisasi seperti tersebut di atas, yakni ada yang bertanggung jawab dan ada yang melaksanakan. Sebutan profesi untuk mereka berbeda­beda, atau mungkin

(6)

Gbr. 5-1: Pertunjukan koreografi modern karya Maria Bernadeth A, yang berdasar pada nilai budaya Flores. Pertunjukan itu diadakan pada Festival Tari Nasional yang dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan sistem dan management modern.

Gbr. 5-2: Tarian di Simanindo, Toba, Sumatera Utara, yang tampil setiap hari untuk wisatawan, yang diselenggarakan oleh kepanitiaan yang permanen.

juga tidak ada namanya. Inilah yang unik atau khas dalam tradisi masing­ masing, yang seringkali tidak dikenal dalam teori manajemen modern.

Mungkin kalian pernah mendengar istilah kumbokarnan, mageleng, riungan, musyawarah, dan sebagainya, yang isinya adalah rapat pemben­ tukan panitia. Atau istilah­istilah kepanitiaan lainnya seperti pemangku

hajat, sahibulbet (orang yang punya hajat), candoli (juru masak), juru tulis

(sekretaris), panyebar ulem (penyebar undangan), panatacara (pengatur acara), juru duum (yang mengatur dan mendistribusikan makanan) dan lain­lain. Istilah­istilah tersebut hanyalah sebagai contoh kecil dan kalian bisa mencari istilah­istilah manajemen tradisional di daerah masing­ masing. Istilah­istilah seperti itu pun biasanya hanya berlaku bagi suatu wilayah tertentu.

(7)

Gbr. 5-3: Festival kesenian tingkat kabupaten, propinsi, dan nasional biasanya dikelola oleh para pejabat struktural dengan menggunakan sistem sendiri. Kini acara itu mulai banyak melibatkan para event

organizer dari luar birokrasi.

(a) Para penari dari Kabupaten Sumba Barat, menjelang tampil dalam Festival Budaya NTT di Kefa, Timor.

(b) Suatu atraksi tari dan pencak dengan kuda renggong, dalam lomba kesenian tingkat kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

(c) Drama-tari anak tampil sebagai selingan Festival Gong Kebyar Ibu-Ibu di Bali.

Gbr. 5-4: Tarian akrobatis Cina di Singapura, tampil rutin 3 kali seminggu di kompleks pertamanan dan pertokoan.

b

c a

(8)

5.1.3 Amatir dan Profesional

Pengertian “amatir” dan “profesional” sering dipahami secara rancu, dan hanya dilihat dari aspek finansialnya saja. Misalnya, seniman yang telah menunaikan tugasnya tetapi tidak dibayar atau kurang dihargai secara layak dan menerima apa adanya, sering kali disebut sebagai seniman amatir. Sementara bagi seniman yang selalu mendapatkan honorarium setelah menunaikan tugasnya, serta­merta disebut sebagai seniman profesional. Ada juga yang beranggapan bahwa seniman yang menggantungkan nafkahnya dari kesenian disebut sebagai seniman profesional. Sementara itu, seniman yang menjadikan kegiatan seninya sebagai sambilan atau sampingan (walaupun menghasilkan uang) dikategorikan sebagai seniman amatir.

Semudah itukah kita memahami amatir dan profesional? Tentu tidaklah demikian. Inti persoalan “amatir” dan “professional” bukanlah semata­mata hanya diukur dari aspek finansialnya saja melainkan juga diukur dari komitmen, tanggung jawab dan kualitas kerja dari bidang yang digelutinya. Kualitas atau tingkat kemampuan kerjanya dalam sistem tradisi pun umumnya mendapat penghargaan, baik penghargaan kehormatan maupun penghargaan secara finansial.

Jadi, sebutan “profesional” juga merujuk pada komitmen (etos) kerja, tanggung jawab, dan hasil kerjanya. Artinya segala sesuatu yang menyangkut kerja kesenian dilakukan dan ditangani secara sungguh­ sungguh, target dan tujuannya jelas sehingga hasil yang dicapai bisa optimal, dan kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan penjelasan tentang sistem organisasi dan manajemen, terselenggaranya pementasan tari tontonan pada dasarnya dilandasi

Gbr. 5-5: Tari Bedaya dari keraton Yogyakarta, yang dipertunjukkan untuk suguhan tamu terhormat (pejabat tinggi Belanda), pada zaman kolonial. Manajemen pertunjukannya sudah menjadi bagian dari keseluruhan sistem budaya istana.

(9)

oleh empat sistem penyelenggaraan, yaitu sistem produksi, tanggapan,

barangan dan panggung permanen. Masing­masing memiliki sifat dan

cara pengelolaan yang berbeda, baik cara pengorganisasian, maupun sis­ tem manajemen keuangannya. Dari sana pula dapat diketahui arah dan orientasi penyelenggaraannya, apakah profesional atau amatir, komersial atau nonkomersial. Masalah ini akan diuraikan pada bagian lain dalam bab ini.

5.2 Sistem Pengelolaan

Sesederhana apa pun suatu penyelenggaraan seni pertunjukan, termasuk pertunjukan tari, pasti ada pengelolanya, ada yang dikelola, dan ada sistem pengelolaan/manajemennya.

Berkenaan dengan itu, terdapat banyak sistem yang secara tradi­ sional telah berlangsung di setiap lingkungan masyarakatnya, hingga ke bentuk­bentuk sistem pengelolaan yang modern. Berikut ini kita kenali beberapa model pengelolaan yang acapkali kita jumpai pula di daerah kita masing­masing.

5.2.1 Sistem Tanggapan

Sistem manajemen tanggapan terselenggara atas dasar permintaan pihak lain. “Pertunjukan tanggapan” adalah pertunjukan yang diselenggarakan oleh pihak lain yang menanggap. Pihak pengundang atau penanggap bisa instansi pemerintah, lembaga swasta atau perorangan. Konteks peristiwanya bisa dalam rangka upacara tertentu, misalnya peresmian ge­ dung, HUT negara, instansi/lembaga swasta, pembukaan lokakarya, atau upacara­upacara/pesta adat, misalnya acara pesta perkawinan, khitanan, syukuran, nadzar dan lain sebagainya.

Manajemen tanggapan relatif lebih simpel dan sederhana. Sumber keuangannya berasal dari pengundang atau penanggap. Demikian pula organisasi dan manajemen pementasannya hampir semuanya dilakukan oleh pihak penanggap. Seniman atau grup tari juga menyiapkan semacam organisasi kecil atau pengurus untuk menangani persiapan dan sebagai penghubung untuk mengurus segala sesuatu dengan pihak penanggap.

Dalam manajemen tanggapan yang lebih bersifat komersial sering­ kali terjadi kompromi antara penanggap dan yang ditanggap. Pihak penanggap sering berperan dalam menentukan materi pertunjukannya, sehingga muncul sebutan “karya seni pesanan.” Tetapi, tidak berarti si seniman semata­mata menuruti selera si penanggap, karena bagaimana

(10)

pun pertanggungjawaban atas karya seni tetap ada pada si seniman. Kini, banyak seniman atau grup tari yang menjalankan dua sistem tersebut, yaitu sistem produksi dan sistem tanggapan. Bahkan lewat sistem tanggapan inilah seniman bisa hidup dan menghidupi organisasinya.

Kesenian­kesenian tradisional di Nusantara banyak sekali yang merupakan kesenian tanggapan: seperti, bangsawan, lenong, topeng Betawi,

pakarena, dan lain­lain. Kesenian­kesenian itu kebanyakan merupakan

grup­grup kesenian tanggapan, yang biasa atau harus ditanggap (dengan bayaran) oleh pengundangnya, dalam perayaan hajatan keluarga. Manakala kesenian tanggapan tidak diminati lagi oleh publik, kesenian tersebut lambat laun akan “mati,” karena kehilangan pendukungnya. Si empunya hajat akan memilih kesenian dengan memperhatikan selera publik agar pertunjukannya dikunjungi penonton. Banyak si empunya hajat mengalahkan seleranya sendiri, dan lebih memilih selera publik, karena ingin acaranya dikunjungi banyak orang.

Berbagai jenis kesenian tanggapan kemudian harus mengadopsi selera publik tersebut. Jadi, populernya suatu jenis kesenian, langsung atau tidak, akan mendesak jenis kesenian lainnya. Percampuran gaya lama dan gaya baru pun selalu terjadi sepanjang sejarah. Kini, umpa­ manya, banyak tari­tari tradisional yang bercampur dengan tarian gaya kekinian, dangdutan misalnya, yang memang disenangi publik. Kesenian yang tidak mampu menemukan nilai­nilai atau teknik penampilan yang dapat menyenangkan publik, atau tidak mau mencampurkannya dengan gaya populer, mengalami kesulitan dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Wayang Wong di Cirebon, Jawa Barat, umpamanya, yang jumlah anggotanya sekitar dua kali lipat dari kelompok kesenian lain di wilayah itu, kini sudah punah, karena selama lebih dari 30 tahun tidak pernah ada yang menanggap. Sebagian besar senimannya sudah meninggal, sehingga walau ada upaya dari sebagian orang untuk menghidupkannya kembali, hal itu sangat sulit untuk dilakukan.

Ada anggapan bahwa wayang wong Cirebon itu mati karena ang­ gotanya terlalu banyak, jumlahnya sekitar dua kali lipat dari kesenian lainnya di daerah itu, sehingga mahal untuk membiayainya (bayaran dan konsumsinya). Namun demikian, hal sebaliknya justru terjadi. Grup­grup kesenian tradisional yang tetap diminati masyarakat, kini justru makin membesar jumlah anggotanya, lebih banyak lagi peralatannya, dan makin mahal pula harga tanggapannya. Kesenian wayang kulit di Jawa Tengah dan wayang golek di Jawa Barat, misalnya saja, kini anggota grupnya lebih besar dengan instrumen musik yang lebih banyak sebagian dilengkapi dengan instrumen baru, baik dari wilayah tradisi tetangga ataupun dari

(11)

Barat (seperti keyboard dan lain­lain) untuk penampilan musik gaya barunya. Tapi wayang ini sampai sekarang masih sangat populer, walau jumlah dalang­dalangnya makin sedikit dibanding masa sebelumnya. Popularitas suatu jenis kesenian (atau senimannya) bisa mengalahkan kehidupan ekonomi yang “wajar.” Banyak orang yang menjual harta kekayaan untuk mampu mengundang kesenian mahal, ketika mengadakan hajatan, karena pertimbangan prestis atau status sosial.

Singkatnya, hilangnya suatu kesenian tanggapan bukan hanya karena seniman tersebut tidak mau menurunkan atau mengajarkannya pada generasi penerus, melainkan juga ditentukan oleh selera publik. Kesenian hanya bisa hidup jika diperlukan oleh kehidupan masyarakatnya, seberapapun kecilnya jumlah kelompok masyarakat yang mendukungnya. Demikian juga memudarnya nilai­nilai atau norma­norma tradisi, bukan hanya seniman yang menentukannya, melainkan juga publiknya. Karena itu, perkembangan kualitas kesenian akan tergantung pula pada kualitas daya apresiasi masyarakatnya, bukan semata oleh kemampuan seniman.

Gbr. 5-6: Tari Cakalele dari Manado dalam suatu perkawinan. Walau merupakan bagian dari upacara, kini banyak grup kesenian yang biasa ditanggap oleh yang empunya hajat.

Gbr. 5-7: Wayang wong dari desa di daerah Cirebon, Jawa Barat: kesenian tanggapan yang kini sudah punah, karena tidak ada orang yang mau lagi menanggap.

(12)

5.2.2 Festival Desa

Berbagai festival khususnya yang berlangsung di pedesaan, diselenggara­ kan oleh masyarakat desa. Festival itu bisa disebut sebagai sistem yang berbasiskan komunitas, yaitu organisasi yang berbasis kepada ikatan kemasyarakatan (lihat definisi di glosari). Di balik bentuk ikatan seperti itu, niscaya mereka telah memiliki sistem yang telah terbangun sebelumnya. Itu merupakan pula modal sosial yang membuat suatu sistem berjalan seperti sekarang ini.

Berbagai festival kerakyatan umumnya dikelola dengan cara ikatan kerja seperti itu, meski belakangan bisa pula sistem komunitas tersebut bergabung dengan sistem­sistem lain di luar tradisi setempat. Dalam upacara kebo-keboaan (“kerbau­kerbauan”), yaitu ritus desa yang berhubungan dengan sistem pertanian di Banyuwangi, misalnya, kini memiliki sistem kepanitiaan semimodern, yang menyertakan pula sponsor dari luar desa. Umbul­umbul dan poster­poster komersial bisa memenuhi areal upacara itu. Namun demikian, pada dasarnya upacara itu diselenggarakan dengan modal sosial masyarakat.

Upacara semacam itu, yang masih sepenuhnya merupakan “festival” desa, bisa disebut antara lain upacara sanggring yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Tleman, Jawa Timur. Upacara ini dilakukan malam hari setiap tanggal 26 Jumadilawal (bulan Jawa/Islam), dilakukan secara turun­ temurun untuk menghormati keberadaan sumber air di desa tersebut. Di Lubuk Linggau, Sumatera, dikenal upacara sejenis sedekah bumi yang disebut sedekah rami, yaitu upacara untuk mengusir segala keburukan atau menangkal perilaku menyimpang (deviasi sosial). Di daerah Klaten, Jawa Tengah, ada upacara makarti tirta, upacara penyucian yang dilakukan di suatu sumber air; di Banten ada upacara seren taun yaitu upacara untuk memperingati panen padi; serupa dengan upacara kerja tahun di Tanah Karo; dan sebagainya. Kesemuanya itu dilakukan secara berkala dengan dukungan sepenuhnya dari masyarakat setempat.

Hajatan desa seperti itu bukan hanya terdapat pada masyarakat petani di pegunungan, melainkan juga pada masyarakat pantai atau nelayan. Hampir setiap komunitas nelayan mengadakan upacara tahunan, bahkan banyak yang penyelenggaraannya besar­besaran. Sebagian di antaranya menggabungkan antara masyarakat petani dan nelayan. Berbagai nama untuk upacara masyarakat pengambil ikan ini, seperti pesta laut, hajat laut,

petik laut, nadran, dan lain­lain. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat

tradisional sangat menghormati daya alam yang telah memberi sumber kehidupan. Upacara­upacara yang dilakukan, salah satunya bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara irama alam (makro­kosmos) dan irama kehidupan penghuninya (mikro­kosmos).

(13)

Gbr. 5-10: Topeng dalam kasinoman (upacara muda-mudi) dan sidekah bumi di daerah Cirebon, diselenggarakan setiap tahun. Walau acara itu untuk upacara desa tapi grup yang diundangnya berasal dari desa lain.

Gbr. 5-8: Pertunjukan tarian pada ritus keluarga di Toraja yang menjadi bagian dari masyarakat desa: kesenian yang tidak semata berdasar pada tanggapan.

Gbr. 5-9: Arak-arakan para siswa Madrasah Aliyah Al Mizan di Jatiwangi, Jawa Barat, berkeliling kota dalam festival perayaan Pesantrennya.

(14)

Gbr. 5-14: Kakek (pemangku upacara) pada upacara sedekah Rami di Lubuk Linggau.

Gbr. 5-13: Tari Baris Gede di Bali, diadakan pada upacara keagamaan di pura. Tari itu merupakan milik komunitas.

Gbr. 5-12: Tarian muda-mudi dalam upacara kerja tahun di Tanah Karo, Sumatera Utara. Yang menari adalah yang turut upacara, bukan penari bayaran (seperti perkolong-kolong).

Gbr. 5-11: Tabuik: upacara bulan Muharam di Pariaman, Sumatera Barat. Dalam upacara itu mereka beramai-ramai mengusung figur

(15)

Gbr. 5-16: Wayang wong di Desa Tutup Ngisor, Magelang, Yogyakarta, yang diadakan tahunan pada upacara desa, dan dilakukan oleh warga masyarakat desa itu sendiri.

Gbr. 5-18: Salah satu tarian kagura yang diadakan setiap tahun di kompleks kuil kuno di Nara, Jepang.

Gbr. 5-19: Dalam upacara nadran sesaji dihanyutkan di pantai Cirebon.

Gbr. 5-17: Seblang adalah pertunjukan sakral. Pertunjukan itu diadakan tiap tahun di beberapa desa di Banyuwangi: penari bukan dipilih karena popularitas kesenimanannya, melainkan karena pertimbangan kepercayaan adatnya.

Gbr. 5-15: Tari Galombang di Minangkabau, selain diadakan pada upacara pernikahan, juga pada acara-acara kampung atau nagari, seperti Pengangkatan Penghulu.

(16)

5.2.3 Sistem Barangan

Kata “barangan” dalam konteks seni pertunjukan menunjuk pada jenis­ jenis kesenian yang berkeliling dari kampung ke kampung; dari desa ke desa; dari rumah ke rumah; untuk menawarkan jasa pertunjukannya.

Barangan artinya ngamen. Biasanya dilakukan dengan berjalan kaki dalam

rombongan kecil antara 5 sampai dengan 6 personel, terkadang lebih. Misalnya di kawasan pinggiran Jakarta sering dijumpai seni barangan yang disebut “topeng monyet”. Personelnya hanya satu orang atau dua orang. Sesuai dengan namanya, komoditi seni yang ditawarkan berupa pertunjukan topeng monyet dengan segala atraksinya. Terkadang disertai pula dengan seekor anjing yang berkolaborasi dengan monyet diiringi bunyi­bunyian tertentu misalnya terbang atau tambur kecil. Topeng monyet ditawarkan dari pintu ke pintu di sepanjang perkampungan dan hanya main jika ditanggap.

(17)

Manajemen seni barangan ditentukan dan dikelola oleh senimannya. Misalnya di Jawa juga sering ditemukan rombongan seni barangan seperti jatilan, ledek, tandak, ledek gogik, topeng Cirebon dan sebagainya. Kehadirannya terkait dengan siklus pertanian (masa tanam dan panen). Seni barangan muncul jika di daerah seniman pengamen tersebut tengah musim paceklik. Mereka biasanya berkeliling ke wilayah­wilayah yang sedang panen atau ke daerah­daerah perkotaan.

Di kawasan kota Yogyakarta sampai sekarang juga masih ada rombongan seni barangan berupa kuda kepang/kuda lumping yang menjajakan keseniannya lewat lorong­lorong kampung, bahkan sampai ke daerah pertokoan. Tanpa diminta pun mereka seringkali menunjuk­ kan atraksinya. Setelah selesai, si empunya rumah atau toko memberikan uang sekadarnya, lalu ia pun beralih ke tempat lain.

Manajemen barangan sangat sederhana. Jika pengamen itu terdiri dari rombongan dan pergi jauh dari rumahnya, biasanya uang yang didapat dikumpulkan pada anggota yang dituakan. Di sore hari, sambil menghitung penghasilannya, mereka beristirahat dan menginap di rumah penduduk atau di tempat­tempat umum seperti mesjid atau balai desa. Bentuk­bentuk seni barangan bisa dijumpai di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan daerah­daerah lainnya di Indonesia.

Walaupun fungsi barangan umumnya untuk mencari nafkah, namun dalam beberapa tradisi ada juga yang berfungsi sebagai bagian dari kegiatan pewarisan atau pelajaran. Dalam tradisi topeng Cirebon, umpamanya, sebelum bisa jadi seniman”penuh,” yaitu menerima tang­ gapan untuk main seharian, seseorang (murid) harus melakukan per­ tunjukan barangan terlebih dahulu. Dalam barangan, ia akan memiliki kesempatan latihan yang terus menerus, dari hari ke hari. Gurunya, biasanya adalah orang­tuanya sendiri, yang dengan sendirinya berfungsi sebagai pembimbing selama periode barangan tersebut yang bisa berjalan sampai beberapa bulan.

Kini, kegiatan barangan yang memiliki makna ganda seperti topeng Cirebon itu banyak ditinggalkan. Masalah utamanya adalah pandangan sosial terhadap praktik seperti itu kurang mendukung. Seniman yang melakukan barangan, secara umum dianggap rendah, karena hampir disederajatkan dengan peminta­minta. Sementara itu, kalau dilihat dari sisi “meminta,” grup­grup kesenian di kota pun melakukan hal yang serupa. Hanya saja, memintanya tidak spontan dengan bermain di jalan­ jalan atau halaman, mereka berkeliling dengan menggunakan proposal secara terencana, untuk diajukan pada pihak­pihak yang potensial menjadi sponsor. Pengajuan proposal seperti ini, yang pada prinsipnya sama

(18)

dengan barangan yakni “meminta sumbangan,” bukan hanya terjadi di negara kita, melainkan terjadi di negara maju sekalipun. Kesenian, memang secara umum bukanlah sektor yang harus selalu produktif dapat menghasilkan uang, namun ia memiliki makna­makna lain, seperti makna kultural, spiritual, etnisitas, pendidikan, dan sebagainya, yang kehidupannya membutuhkan du­ kungan dari sektor lainnya.

Di kota­kota besar, kini ba­ nyak dijumpai sekumpulan anak jalanan yang sengaja ngamen di perempatan jalan (lampu merah/ stopan). Ketika lampu merah me­ nyala dan kendaraan berhenti, mereka biasanya menghampiri mobil dan memainkan lagu yang diiringi oleh alat musik gitar diser­ tai dengan tetabuhan lainnya. Sese­ orang di antara mereka biasanya menyodorkan sebuah wadah untuk menampung uang receh yang di­ berikan secara sukarela oleh para

penumpang. Itulah imbalan yang diterimanya. Ada pula satu atau dua orang pengamen yang menyanyi dan bermain gitar di dalam bus umum, baik antarkota maupun dalam kota. Cara mereka hampir sama dengan pengamen jalanan. Satu­dua lagu mereka mainkan dan setelah selesai mereka meminta imbalan secara sukarela dari para penumpang.

5.2.4 Sistem Modern

Sistem modern adalah pola yang konsepnya tidak bermula dari nilai­nilai kultural yang ditumbuhkan lama dalam masyarakat masing­masing. Sistem itu berasal dari sistem atau logika modernisme yang dianggap universal. Jika dalam sistem tradisional para pelakunya harus dari orang­orang yang paham terhadap sistem tradisi itu, dalam sistem modern tidak diperlukan. Di dalam sistem organisasi modern orang­orangnya bisa berasal dari mana saja, bisa berlainan latar budayaannya. Yang mengikat tata kerjanya adalah

Gbr. 5-21: Topeng barangan Cirebon, dipertunjukan di depan balai desa, dengan diiringi ensembel gamelan yang lebih kecil dan ringan. Kini topeng barangan jarang sekali, karena pengaruh pandangan sosial.

(19)

sistem itu sendiri dengan landasan kerja “profesionalisme.” Karena itu, seluruh tatanan kerjanya harus diatur secara rinci. Mulai dari gagasan, penyelenggaraan, dan pendanaannya diperhitungkan betul­betul secara matang. Demikian pula dengan sasaran (segmen) publik yang nantinya menjadi penonton, termasuk kiat­kiat promosinya.

Untuk mencapai keberhasilan seperti itu, tata kerja biasanya dipim­ pin oleh seorang manajer yang mengoordinasikan keseluruhan jaringan kerja. Di dalamnya, tentu, dilengkapi dengan struktur organisasi yang menjelaskan seseorang berada di mana kedudukannya dan apa tanggung jawab kerjanya (deskripsi kerja). Semua unsur yang terlibat bertanggung jawab ke atasannya (vertikal ke atas), dengan siapa ia akan kerja sama yang sejajar (horizontal), dan siapa pula yang akan membantunya (vertikal ke bawah).

Berbagai pementasan di perkotaan, cenderung menggunakan sis­ tem yang modern ini. Unsur­unsur di sekelilingnya pun menjadi serba baru dan berlainan sekali dengan watak tradisi. Seperti disebut di atas, munculnya promosi misalnya, hal yang tidak perlu dilakukan di masya­ rakat tradisi karena kesenian yang dipertunjukkan itu telah menjadi milik bersama. Menjelang pementasan, kerap juga dilaksanakan semacam pro­ gram pengantar apresiasi, baik dalam bentuk tulisan di media atau pun melalui seminar­seminar. Manakala pertunjukan itu sudah dilaksanakan, biasa pula diikuti dengan diskusi atau kritik­kritik yang muncul di koran atau majalah.

Sistem modern ini bisa pula disebut sistem produksi. Artinya pementasan diselenggarakan atas dasar keinginan untuk mementaskan suatu karya seni pertunjukan untuk ditonton oleh masyarakat. Ini biasa terjadi pada sanggar­sanggar tari ketika memperingati HUT­nya. Selain itu, terjadi pada seniman­seniman tari yang sudah memiliki nama besar. Jadi, niat atau gagasan untuk menyelenggarakan suatu pementasan tari memang berasal dari si seniman sendiri atau kelompok/sanggar tari yang bersangkutan. Tujuan dan sasarannya pun juga hanya satu, yaitu terselenggaranya suatu pementasan tari dan tidak harus terkait dengan peristiwa lain. Dengan demikian, terbentuknya organisasi pengelola dan sistem manajemen serta yang penanggung jawab, adalah seniman atau sanggar tari yang bersangkutan.

Penopang keuangan organisasi dan manajemen pementasan, secara umum biasanya berasal dari tiga sumber, yaitu kas organisasi sanggar/si seniman sebagai modal kerja awal, donatur/sponsor, dan hasil penjualan tiket. Penting untuk dicatat, penyelenggaraan tari tontonan dengan sistem produksi semacam ini umumnya tidak bersifat komersial dan tidak

(20)

permanen. Tujuan pementasan itu sendiri berupa sebuah rasa tanggung jawab pribadi atas predikat kesenimanan yang disandangnya. Oleh karena itu, karya tari yang dipentaskan tidak diposisikan sebagai sebuah komoditi yang berorientasi pada perhitungan untung dan rugi. Namun demikian, apabila manajemen produksinya dijalankan secara profesional, penyelenggaraan seni pertunjukan itu pun bisa mendapatkan keuntungan. Artinya, para seniman dan pengurus organisasi penyelenggara juga akan mendapatkan penghargaan finansial.

5.3 Pelaksanaan Pertunjukan

Di manakah suatu pertunjukan bisa berlangsung? Kalian sendiri mung­ kin pernah membuat sebuah pertunjukan di dalam kelas pada saat acara menjelang liburan atau perpisahan. Atau bisa juga dilakukan di halaman sekolah manakala sekolah sedang membuat perayaan. Ketika acara berlangsung di kelas, ruangan itulah yang diberdayakan, atau sedikit diubah, dan dihias sehingga dianggap memadai untuk pertunjukan. Sementara itu, ketika pertunjukan diadakan di halaman sekolah, mungkin harus dibuatkan terlebih dahulu panggungnya. Agar terlindung dari panas atau pun hujan, dibuatkan tenda pelindung di atas panggung atau pun di tempat penonton.

Ini menunjukkan bahwa banyak cara untuk memilih atau membuat tempat pertunjukan. Ditinjau dari maksud dan tujuan suatu pementasan, kita mengenal beberapa model tempat pertunjukan.

5.3.1 Tempat Pemanggungan

Tempat dan ruang memiliki peranan penting untuk suatu pertunjukan, karena di tempat atau ruang itulah suatu bentuk tari disajikan dan diekspresikan. Dari satu segi, ruang tari bisa diibaratkan seperti bidang kanvas pada seni lukis. Di dalam bidang kanvas itu pula seorang pelukis menyajikan dan mengekspresikan daya cipta seninya lewat permainan garis dan warna. Tetapi, dari segi lain, ruang pertunjukan tari berbeda dengan bidang kanvas. Kanvas lukis itu kosong, sedangkan tempat pertunjukan tari terisi oleh elemen­elemen pendukung lain, setting (penataan) panggung atau dekorasi, misalnya tata lampu (betapa pun sederhananya), tempat musik, tempat penonton, dan lain sebagainya. Selain itu, ruang tari itu dinamis (bergerak, berbeda dari waktu ke waktu), sedangkan kanvas lukis tetap atau statis. Pencahayaan bisa berubah­ubah, pemusik, penonton bisa berpindah­pindah. Semua itu akan berpengaruh terhadap rasa ruang

(21)

tersebut. Bayangkan lagi uraian dalam Bab 1 tentang pertunjukan seorang penari­pelawak yang berinteraksi dengan penonton. Situasi ruang seperti itulah yang membedakan antara panggung sebagai ruang tari dengan kanvas sebagai ruang lukis.

Tempat pementasan bermacam­macam bentuknya, dari yang alami (alam terbuka), bangunan­bangunan permanen dan semi permanen. Di zaman prasejarah, peristiwa­peristiwa seni pertunjukan selalu terkait dengan upacara ritual dan komunal dan banyak diadakan di alam terbuka. Ini pula yang kemudian mengilhami adanya bentuk­bentuk panggung pementasan terbuka. Tempat pementasan kemudian berkembang menjadi bentuk bangunan­bangunan tertutup dan terbuka secara lebih permanen seiring dengan kemajuan zamannya, yang dianggap lebih sesuai dengan sifat pertunjukannya, baik untuk tari, musik, atau pun drama.

Bangunan­bangunan tempat pertunjukan dikenal dengan istilah teater, yang dikenal sejak zaman Yunani kuno. Jadi, kata teater tidak hanya berarti drama, tetapi juga berarti gedung pertunjukan. Gedung­ gedung pertunjukan banyak terdapat di Indonesia, misalnya di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, atau di taman­taman budaya. Bentuknya bermacam­macam, ada yang terbuka dan yang tertutup, ada yang ber­ bentuk prosenium (berbingkai, penonton dari satu arah) dan arena (tidak berbingkai, penonton dari beberapa arah) hal ini akan diterangkan lagi di bawah. Gedung­gedung bioskop juga di Barat biasa disebut “teater.”

Selanjutnya, tempat pementasan berupa panggung, walaupun masih terbuka, mulai dikenalkan pada zaman Ratu Elizabeth I di Inggris (1564­ 1616) yang kemudian dikenal dengan sebutan Teater Elizabethan. Di tempat inilah William Shakespeare mementaskan karya­karya dramanya. Bentuk bangunan teater yang memisahkan antara penonton dan panggung pementasan terus berkembang di Eropa Barat yang kemudian dikenal dengan sebutan Teater Renaissance. Dari bentuk teater inilah kemudian dikembangkan tata lampu, dekor dan setting panggung. Bentuk teater ini juga sebagai awal munculnya bentuk­bentuk panggung prosenium yakni panggung berbingkai di bagian depannya.

Uraian di atas ini menegaskan betapa pentingnya pemuatan tempat pertunjukan, yang sesuai dengan yang dipentaskannya. Untuk membangun tempat tersebut tentu saja tidak murah. Di negeri Barat zaman dahulu tempat pemanggungan yang khusus dan mewah hanya bisa diadakan oleh kalangan istana, yang memiliki kekuatan politik dan modal besar. Dengan demikian, sejak zaman feodal, seni pertunjukan merupakan atribut (simbol, tanda) dari status atau prestis sosial.

(22)

5.3.2 Panggung Pertunjukan di Nusantara

Dalam masa lalu, pada zaman kerajaan dulu sekalipun kita tidak mengenal adanya suatu tempat yang dibangun khusus untuk pertunjukan kesenian. Tapi, itu tidak berarti bahwa tempat pertunjukan dianggap tidak penting, melainkan karena pertunjukan kesenian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Karena itu, pertunjukan­ pertunjukan kesenian diadakan di tempat­tempat yang tidak eksklusif, di mana tempat itu biasa dipakai juga untuk kepentingan lainnya.

Suatu misal, di zaman kerajaan atau kesultanan di Jawa, pertunjuk­ an kesenian diadakan di pendopo, yaitu suatu bangunan yang relatif besar, berbentuk segi­empat tanpa dinding. Pendopo tersebut, gunanya bukan hanya untuk pertunjukan kesenian, melainkan juga untuk pertemuan­ pertemuan penting lainnya. Demikian juga tempat­tempat kegiatan keagamaan, sebagian dipergunakan sebagai panggung pertunjukan kesenian. Dahulu pertunjukan kesenian itu berkaitan erat dengan kegiatan kerohaniahan. Karena itu, tempatnya pun tentu saja tidak terpisah dengan kompleks peribadatan. Salah satu misal yang paling jelas bisa dilihat sampai kini adalah di Bali. Kegiatan dilaksanakan di halaman kuil (pura) dan bahkan di bagian dalam dari pura itu.

Demikian juga untuk upacara­upacara di desa. Balai desa (tempat pertemuan pengurus dan warga), gedung sekolahan, kompleks pesan­

Gbr. 5-23: Gedung teater Shakespeare merupakan hasil pembangunan kembali (rekonstruksi). Bentuk gedung itu sama dengan pada abad 17. Disebut “globe”karena tempat duduk penontonnya melingkar. Di antara tempat penonton dan panggung tak beratap. Detail lukisan itu adalah langit-langit panggungnya.

(23)

tren, gedung olahraga (di kota), alun­alun, halaman di makam, lapangan, pantai, dan lain­lain, biasa dijadikan tempat pertunjukan. Tentu saja, masing­masing wilayah atau kelompok masyarakat memiliki tradisi yang berbeda­beda. Beberapa tempat peribadatan (mesjid, gereja, kuil), biasa juga dijadikan tempat pertunjukan atau latihan kesenian, yang tentu saja sesuai dengan sifatnya masing­masing. Misalnya, tarian rudat (radat atau rodhat), yang diiringi dengan rebana dan puisi pujian untuk Nabi Muhammad dalam bahasa Arab (Barzanji, ditulis dalam abad 17­18).

Untuk acara pertunjukan keluarga, misalnya untuk perayaan pernikahan dan khitanan, sebagian masyarakat mendirikan panggung sementara (tidak permanen) di halaman rumah si empunya hajat. Ketika grup seniman datang untuk main, mereka pun harus menyesuaikan dengan situasi yang ada, baik terhadap kualitas maupun ukuran panggungnya. Mungkin ada beberapa hal yang bisa diperbaiki, ditambah atau dikurangi, tapi jika tidak, seniman harus menerima apa adanya. Hal itu umumnya tidak menjadikan persoalan atau apalagi persengketaan, karena kese­ pakatan pada hari itu juga berdasar pada “kesepakatan­kesepakatan” sebelumnya, walau tidak tertulis namun telah terbangun secara kultural. Tradisi adalah suatu “kesepakatan” warga, yakni pemahaman satu sama lain melalui proses kehidupan yang panjang. Masing­masing anggota masyarakat dalam tradisi tersebut akan tahu mana yang layak dan yang tidak, mana yang harus turut atau menerima, dan bagian mana yang bisa tawar­menawar.

Dari situ, mungkin kita bisa melihat dua hal yang kontradiksi. Jika kita melihatnya hanya dari sudut pandang kesenimanan saja, mungkin hal di atas akan dianggap sebagai sesuatu yang “tidak profesional,” atau tidak sesuai dengan idealisme senimannya. Akan tetapi, jika kita meli­ hatnya dari sisi sosial, justru sikap seniman yang “kompromistis” itulah yang membuat kesenian hidup sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Sekali lagi, kesenian bukan suatu sektor yang berdiri sendiri terlepas dari kehidupan masyarakat, dan karena itu sistemnya pun harus pula sesuai dengan kondisi atau situasi masing­masing. Ketika sistem sosial berubah, akan dengan sendirinya sistem keseniannya pun akan berubah.

Sejak tahun 1960­an di kota­kota besar di Indonesia dibangun pang­ gung yang dibuat secara permanen, yang tentu saja sesuai pula dengan perubahan sistem kehidupan di kota metropolitan. Pusat kesenian yang pertama dibangun, yang berorientasi kepada sistem modern adalah di Jakarta, yaitu Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM). Kebetulan, Gubernur Daerah Khusus Ibukota kala itu, Ali Sadikin, sangat memahami pentingnya kesenian walaupun ia sendiri bukan seniman.

(24)

Kebun binatang di Jalan Cikini kemudian dirombak menjadi TIM, dengan panggung­panggung yang waktu itu boleh dikata modern.

Namun demikian, yang patut dicatat adalah pembangunan TIM bukan saja sesuai dengan tuntutan perkembangan sistem sosial internal masyarakat kota metropolitan Jakarta, melainkan juga karena meningkatnya sistem komunikasi internasional. Seniman­seniman dari luar negeri, banyak yang datang ke Indonesia. Dengan adanya TIM, kebutuhan pentas mereka bisa terpenuhi. Adanya hubungan dengan dunia luar merupakan suatu yang sangat penting dalam dunia kesenian: baik dalam meningkatkan teknik, pengetahuan, maupun wawasan, sehingga perkembangan bangsa Indonesia pun tidak terlepas dari perkembangan global.

Selain itu, pada akhir tahun 1960­an telah ada empat perguruan tinggi tari, yaitu Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta, dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar. Keempat perguruan tinggi tersebut, belum memiliki panggung sebaik atau semodern yang ada di TIM. Karena itu, TIM pun kemudian menjadi tempat diadakannya pertunjukan­pertunjukan tari nasional dalam lingkup nasional. Dengan demikian TIM, yang waktu itu dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta, menduduki posisi yang sangat bermakna bagi perkembangan dunia tari (dan juga musik, teater, sastra, dan seni rupa) di Indonesia. Banyak seniman besar yang kemudian lahir dari lingkungan TIM ini.

5.3.3 Nonpermanen, Semipermanen dan Permanen

Jika di atas telah disinggung bahwa sistem organisasi atau manajemen pertunjukan itu ada yang permanen dan ada yang tidak. Demikian pula pembangunan panggung pertunjukannya: ada yang dibuat sementara (nonpermanen), semipermanen (setengah­permanen), dan yang permanen.

Panggung nonpermanen dibuat untuk sementara saja. Setelah pertunjukan

usai, panggung tersebut dibongkar. Panggung­panggung untuk hajatan keluarga yang hanya diperlukan sesaat, seperti telah dikatakan di atas, adalah panggung yang tidak permanen. Dahulu, panggung seperti itu biasanya memakai bahan­bahan (kayu­kayu, bambu) yang dipinjam dari sesama warga seperti misalnya bahan­bahan yang dikumpulkan untuk pembangunan rumah. Karena itu, ukurannya pun tidak ada yang standar. Bahkan, pinggir panggung pun sering tidak rata karena bahan­bahan pin­

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang tepat bagi UKM Kampung sepatu GAGO yaitu strategi agresif dengan menjalankan: Penataan manajemen usaha untuk memperoleh modal dari pemerintah /

Untuk siswa kelompok KAM bawah, 68% sudah memahami hubungan antar topik matematika, namun hanya 26% yang mampu mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama dan

Namun guna mendukung nilai pemanfaatan dari system yang telah dibangun, dilakukanlah penelitian yang lebih menyeluruh terutama berkaitan dengan kemampuan dalam adopsi

Jika pemberian berbagai konsentrasi ekstrak pisang raja pada media VW yang mengandung air kelapa 20% berpengaruh terhadap perkembangan tunas embrio anggrek

Rincian Kewenangan klinik untuk Radiografer dalam menjalankan prosedur tindakan kefarmasian di Rumah Sakit Umum Mitra Sehat diajukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan

Menganalisis hubungan karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, pengetahuan), dukungan keluarga, dan peran petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif di

Pada awalnya bahan dibekukan dengan alat pendingin, kemudian bahan dikeringkan dengan cara mengubah tekanan di dalam ruang pengering menjadi lebih rendah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemupukan berimbang pada padi sawah dikombinasikan dengan pupuk biologis dan bahan organik mampu meningkatkan produktivitas