• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yayan Akhyar Israr, S. Ked

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Yayan Akhyar Israr, S. Ked"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Authors :

Yayan Akhyar Israr, S. Ked

Faculty of Medicine – University of Riau

Pekanbaru, Riau

2008

(2)

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

—-Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit yang sering ditemukan di Indonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak 1. Sindroma nefrotik tanpa disertai kelainan kelainan sistemik disebut SN primer, ditemukan pada 90% kasus SN anak 1,2,3. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in

Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal 1,2. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari lima tahun 3.

—-Pasien SN primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu 3: 1. Kongenital

2. Responsif steroid 3. Resisten steroid

Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan SN kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan kelainan minimal. Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerulus lain. Sindroma nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang banyak dan cukup lama 3.

(3)

DEFENISI

Sindroma nefrotik adalah sutau sindroma klinik dengan gejala 1,2,3,4: a. Proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu > 2 mg/dl atau dipstik ≥2+) b. Hipoalbuminemia ≤ 2,5 gr/dl

c. Edema

d. Dapat disertai hiperkolesterolemia

—-ETIOLOGI

Sebab yang pasti dari SN ini belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi 4:

1. Sindroma nefrotik bawaan

Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya 4.

2. Sindroma nefrotik sekunder

Sindroma nefrotik yang dapat disebabkan oleh 4: a. Malaria kuartana atau parasit lain

b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid

c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis dan trombosis vena renalis.

d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, air raksa.

e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

3. Sindroma Nefrotik Idiopatik

Berdasarkan kelainan histopatolois yang tampak pada biopsi ginjal dengan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg membagi dalam 4 golongan yaitu 4:

(4)

a. Kelainan minimal b. Nefropati membranosa c. Glomerulonefritis proliferatif d. Glomerulosklerosis fokal segmental

—-

PATOFISIOLOGI

—-Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permiabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permiabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Hipoproteinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl (25 gr/L) 3,5.

—-Mekanisme pembentukan edema pada SN tidak dimengerti sepenuhnya.

Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya

hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifklan sistim renin angiotensin aldosteron, yang merangsang absorsi natrium di tubulus dsital. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta aldosteron plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intra renal dalam eksresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permiabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh serta di dalam ginjal 5.

(5)

—-Pada SN hampir semua kadar lemak (koleterol dan trigliserida) dan lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan yaitu 5:

a. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh di dalam hati, termasuk lipoprotein.

b. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistim enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Ada ahli yang menyatakan lipoprotein lipase keluar melalui urin, tetapi belum ada kepastian.

—-MANIFESTASI KLINIK

—-Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata, edema minimal terlihat oleh orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat hilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema preorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi, lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut lagi dapat timbul ascites, pembengkakan skrotum atau labia dan bahkan efusi pleura 3,4,5.

—-Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN, diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kwadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat

(6)

dengan beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolap ani 3.

—-Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernafasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat 3.

Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang merupakan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional , tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk mengatasinya. Para dokter yang sadar dapat berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mencegah dan mengurangi komplikasi 3.

—-PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain 2: 1. Urinalisa, bila perlu biakan urin

2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam. 3. Pemeriksaan darah:

a. Darah rutin (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)

b. Kadar albumin dan kolesterol plasma

c. Kadar ureum, kreatinin serta kliren kreatinin.

d. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody).

—-DIAGNOSIS Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin bewarna kemerahan 6.

(7)

Pemeriksaan Fisik.

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang hipertensi ditemukan 6.

Pemeriksaan Penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (proteinuria 3+ sampai 4+), yang dapat disertai hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<>6.

—-KOMPLIKASI

—-Infeksi adalah komplikasi utama pada SN, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri. Penjelasan mengenai ini meliputi penurunan kadar imunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit , terapi imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum jelas mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering ,sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kencing dapat ditemukan. Organisme penyebab peritonitis yang paling lazim adalah Streptococcus

pneumonia, bakteri gram negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan

fisik mungkin minimal bila ada terapi kortikosteroid. Oleh karenanya kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan darah dan cairan peritonium) dan memulai terapi awal. Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecendrungan terjadinya trombosis arteri dan vena (setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu dan inhibitor fibrinolisis plasma, dan kenaikan agregasi trombosit), defisisensi faktor koagulasi IX, XI, XII, dan penurunan kadar vitamin D serum 5.

(8)

PENATALAKSANAAN

—-Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di Rumah sakit, dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua 2.

1. Dietetik

—-Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena kana menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya skerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Dailiy Allowances) yaitu 2 gram/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan mallnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 gram/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema 2,3,5.

2. Diuretik

—-Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hamat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium) 2.

—-—-Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% denagn dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberrikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan 2,3,4,5.

3. Antibiotik profilaksis

(9)

berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik 2.

4. Pengobatan Dengan Kortikosteroid

a. Pengobatan inisial

—-Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid 2.

b. Pengobatan relaps

—-Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps 2.

—-Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan 2:

§ Tidak ada relaps sama sekali (30%) § Relaps jarang : jumlah relap < 2

(10)

§ Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%) § Dependen steroid.

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

—-Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diterukan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan 2 .

Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.

—-Bila ditemukan keadaan dibawah ini:

 Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau

 Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis. Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu 2.

d. Pengobatan SN resisten steroid

—-Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan Siklosporin (CyA), metil prednisolon puls, dan obat imunosupresif lain 2.

—-PROGNOSIS

—-Sebagian besar anak dengan SN yang berespon terhadap steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, tidak diturunkan, dan anak akan tetap fertil. Untuk memperkecil

(11)

efek psikologis harus dijelaskan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktifitas 5.

Referensi

Dokumen terkait

Adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam dicairkan dalam tungku peleburan kemudian dituangkan kedalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan telah terjadi perubahan cara penularan HIV dengan didominasi oleh hubungan seks dan pelanggan pekerja

Penyuluhan Agama Islam (dakwah) adalah aktivitas yang sangat mulia, namun pekerjaan yang tidak ringan. Untuk itu, dalam menerapkan etika profesi sebagai

Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penerapan E-SPT (Studi Survei pada Kantor Pelayanan Wajib Pajak Pratama Kota.. Ende, Nusa

a) Jenis pekerjaan atau kegiatan pada industry konstruksi pada setiap proyek sangat berlainan (tidak standar), sangat dipengaruhi oleh bentuk atau jenis bangunan, lokasi dan

a. Penyusunan rencana kerja Sekretariat Daerah. Pengoorganisasian penyusunan kebijakan daerah. Pengoorganisasian pelaksanaan tugas perangkat daerah. Pemantauan dan evaluasi

koheren, (3) membedakan antara kesimpulan yang secara logis sah dengan kesimpulan yang cacat, (4) menunda kesimpulan terhadap bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan,

Proses pemilahan sampah menjadi perhatian, khususnya antara sampah yang biodegradabel dengan bagian sampah yang non-degradabel, dan juga antara sampah biodegradabel yang