• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT

BAGI NARAPIDANA

OLEH :

NI MADE GATOT SUKMA DEWI

1310121161

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

(2)

ii

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA

OLEH :

NI MADE GATOT SUKMA DEWI NPM : 1310121161

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

(3)

iii

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK DINILAI PADA TANGGAL, 26 JULI 2017

PEMBIMBING I

DR. SIMON NAHAK, SH., MH. NIP/NIK. 230 330 213

PEMBIMBING II

I MADE MINGGU WIDYANTARA, SH., MH. NIP/NIK. 230 330 119 Mengetahui : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA DEKAN, Dr. I.N.P.Budiartha, SH.,MH. NIP. 19591231 199203 1007

(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara terang dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana Hukum) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Juni 2017 Mahasiswa,

NI MADE GATOT SUKMA DEWI NPM : 1310121161

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugrah-Nya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA”.

Penulisan skripsi ini tidak lain merupakan kewajiban bagi mahasiswa yang hendak menempuh ujian akhir dan dibuat dalam rangka memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.

Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, memberi motivasi, dan mendorong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih saya ucapkan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dewa Putu Widjana, DA&E., Sp. Par.k. Rektor Universitas Warmadewa Denpasar.

2. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.

3. Ibu Ida Ayu Putu Widiati, SH.,MHum., Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.

4. Ibu A.A. Sagung Laksmi Dewi, SH.,MH., Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.

5. Bapak I Ketut Sukadana, SH., MH., Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.

6. Bapak Dr. Simon Nahak, SH., MH. Selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan petunjuk untuk menyelesaikan skripsi ini.

(6)

vi

7. Bapak I Made Minggu Widyantara, SH.,MH. Selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan petunjuk untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha, dan Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, yang telah memberikan bantuan serta petunjuk selama saya mengikuti perkuliahan maupun penyusunan skripsi ini.

9. Spesial penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua, kakak, dan adik-adik tercinta atas dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan. 10. Sahabat-sahabat dan seluruh teman angkatan tahun 2013 khususnya kelas AA yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu, mendampingi dan tidak hentinya memberikan dukungan kepada penulis dalam merampungkan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 25 Juli 2017

(7)

vii ABSTRAK

Hak narapidana yang terwujud pembinaan narapidana tidak selalu dilaksanakan di dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan tetapi juga dapat dilaksanakan pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan seperti salah satunya adalah pembebasan bersyarat bagi narapidana. Permasalahannya adalah : Bagaimanakah prosedur pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ? Dan apakah tujuan dari pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana ? Yang menjadi tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan untuk mengetahui tujuan dari pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana. Metode penelitiannya adalah tipe penelitian normatif. Pendekatan masalah adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum primer dan sekunder. Pengumpulan bahan hukum dengan cara membaca atau memperlajari buku-buku peraturan perundang-undangan serta literatur lainnya. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deskriptif analitis. Hasil dan pembahasan yaitu Rumah Tahanan Negara sekarang ini berkembang dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan melalui program pembinaan, agar para narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak lagi mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat. Dari pembahasan dapat disimpulkan tahap-tahap yang telah ditentukan, yaitu : dilaksanakannya Pembinaan Narapidana yang dimulai dari 0 – 2/3 masa pidana, kemudian pemenuhan syarat baik itu syarat substantif dan administratif, selain itu Narapidana juga harus mengisi surat pernyataan yang diisi oleh pihak keluarga dari Narapidana yang bersangkutan serta harus diketahui oleh masyarakat setempat yang diwakili oleh Kepala Desa ataupun Lurah, setelah semua persyaratan telah dipenuhi maka Kanwil akan membentuk Tim Pengamat Pemasyarakatan dan melaksanakan sidang untuk menyetujui atau tidak usulan tersebut dan selanjutnya usulan itu dikirim ke tingkat pusat yaitu Jenderal Pemasyarakatan, bila lolos maka segera diterbitkan SK dan diturunkan kepada LAPAS. Pembebasan bersyarat bertujuan untuk mendidik Narapidana, hal mana syarat-syarat yang diberikan merupakan pelajaran baginya juga sebagai ujian untuk nantinya bisa berhasil di alam merdeka penuh. Saran yang dapat disampaikan hendaknya Lembaga Pemasyarakatan bukanlah tempat untuk mengurung dan merenggut hak-hak kebebasan seseorang melainkan untuk menjalankan pola pembinaan terhadap narapidana agar menjadi manusia yang baik dan bertanggungjawab. Sehingga perlu ditingkatkan kualitas dan profesionalisme dari petugas dalam melaksanakan proses pembinaan.

(8)

viii ABSTRACT

The rights of the convict manifest coaching inmates were not always implemented in a correctional facility but also workable coaching outside the correctional facility such as one in parole for convict. Its problem is : How parole procedure to convict in correctional institutions ? And what is the purpose of the implementation of the granting of parole for convict ? Becoming its target is : to know parole procedure to convict in correctional institute and to find out the purpose of the implementation of the granting of parole for convict. Its method research is type research of normative. Approach of problem is approach of conceptual approach and legislation. Source of materials punish and primary of sekunder. Approach of problem is conceptual approach and law. Gathering of materials punish by reading or studying law and regulation books and also other literature. Processing of law materials conducted, descriptively is analytical. Results and solution that is State Prisoners now Houses evolved from the kepenjaraan system into the correctional system based on Pancasila which is implemented through the mentoring programme for the convict realized the error repair themselves and no longer repeat the criminal act so that it can be accepted by the community. Of the discussion can be summed up the stages that have been specified : performance coaching convict which started from 0-2/3 the period of criminal, then the fulfillment of the terms of the substantive and administrative, in addition convict also must fill out the affidavit filled in by the family of the convict in question and must be known to the local community which is represented by a village chief or village head, after all the requirements have been met then the regional observe team will establish and carry out correctional hearings to approve or not the proposal and subsequent proposal was sent to the central level general correctional, if getting away hence is immediately published by SK and degraded to LAPAS. Parole aims to educate convict things where the terms provided a lesson for him as well as a test for the later can be successful in public life. The suggestions can be submitted should correctional facility is not a place to confine and takes away a person’s freedom rights but rather to run patterns against the construction of the convict in order to become a good man and responsible. Need to be improved so that the quality and professionalism of the officers in carrying out the process of coaching.

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

KATA PENGANTAR ... v ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 4 1.3.1. Tujuan Umum ... 4 1.3.2. Tujuan Khusus ... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ... 5 1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 5 1.4.2. Kegunaan Praktis ... 5 1.5. Tinjauan Pustaka ... 6 1.6. Metode Penelitian ... 12

(10)

x

1.6.1. Tipe Penelitian Dan Pendekatan Masalah ... 13

1.6.2. Sumber Bahan Hukum ... 13

1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 14

1.6.4. Analisis Bahan Hukum ... 14

BAB II PROSEDUR PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN 2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat ... 15

2.1.1. Pengertian Pembebasan Bersyarat ... 15

2.1.2. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat ... 18

2.2. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan .... 20

2.2.1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 20

2.2.2. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan ... 23

2.2.3. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ... 25

2.3. Prosedur Pembebasan Bersyarat ... 25

BAB III TUJUAN DARI PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA 3.1. Pencabutan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana ... 33

3.2. Tujuan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana ... 34

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan ... 38

4.2. Saran ... 39 DAFTAR BACAAN

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Asas equality before the law atau persamaan dalam hukum, supremasi hukum dan hak asasi manusia merupakan syarat dari konsep Negara hukum.1 Atas konsepsi itulah

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mengedepankan aspek hak asasi manusia.

Dari prinsip ini terlihat pula adanya elemen dari Negara hukum pancasila, yakni terjadinya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir, sedangkan sejauh mengenai hak asasi manusia yang ditekankan bukan hanya hak atau kewajiban saja, akan tetapi juga jalinan yang seimbang antara keduanya.2

Dalam pelaksanaannya di Indonesia peraturan pelaksanaan terhadap hak-hak asasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan salah satu perangkat aturan hukum yang menjadi acuan dan mengatur tentang hak asasi manusia di Indonesia. Siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara

1 SF Marbun, 2004, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UI Press, Yogyakarta, hal.8

2 Philipus M. Hardjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal.85.

(12)

2

Negara/Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri. Jadi dalam suatu Negara hukum tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintah, serta para penegak hukumnya.3

Ketika berbicara tentang kejahatan, maka kata yang pertama muncul adalah pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan biasanya disebut dengan penjahat, criminal atau yang lebih buruk lagi disebut sebagai sampah masyarakat. Maka tidaklah mengherankan apabila upaya penanganan kejahatan yang diterapkan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Dengan memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan sudah dianggap sebagai upaya yang paling efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dimana hukuman yang dimaksud yaitu merupakan suatu sanksi pidana perampasan kemerdekaan sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.

Berbicara tentang hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak asasi yang sama tidak terkecuali bagi orang yang sedang menjalani hukuman. Salah satu hak asasi yang diberikan oleh Negara adalah hak pembinaan bagi Narapidana. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan kemerdekaannya, namun ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi oleh undang-undang dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Sedangkan pengertian terpidana itu sendiri adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

(13)

3

kekuatan hukum tetap. Adapun hak Narapidana yang telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan. Adapun tiga hal yang dapat dijadikan prinsip pemasyarakatan yaitu sebagai suatu tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana penjara di indonesia.4 Pemasyarakatan baik sebagai tujuan, proses dan pelaksanaan

pidana maupun sebagai disiplin ilmu telah membuktikan kemandiriannya, sekaligus telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya. Sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, pemasyarakatan banyak mengalami hambatan, rintangan, dan halangan dalam penerapan disiplin ilmunya. Pembebasan bersyarat bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berada sepenuhnya ditengah-tengah keluarga dan masyarakat dengan maksud memberikan kesempatan bagi Narapidana untuk belajar bergaul dengan kelurga dan masyarakat yang hubungannya terputus selama berada

(14)

4

di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Tujuan dari adanya pembebasan bersyarat adalah untuk memudahkan Narapidana kembali ke masyarakat (resosialisasi), serta mendorong Narapidana untuk berkelakuan baik selama masa hukumannya di penjara.5

Proses pembinaan melalui pemberian pembebasan bersyarat kepada Narapidana tidaklah mudah, karena dibutuhkan persiapan, kemampuan, dan kerja keras dari petugas Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa petugas LAPAS memegang peranan yang penting dalam proses pembinaan dan pembimbingan Narapidana. Selain itu petugas LAPAS juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak-hak yang dimiliki oleh setiap Narapidana.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun mengenai masalah dalam penulisan ini dengan mendasarkan pada latar belakang yang terjadi, maka rumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur pembebasan bersyarat bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

2. Apakah tujuan dari pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat bagi Narapidana ?

(15)

5 1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

1. Untuk melatih mahasiswa dalam menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian.

3. Untuk meraih gelar Sarjana dalam bidang ilmu hukum di Universitas Warmadewa.

4. Untuk memenuhi persyaratan studi mahasiswa dalam bidang ilmu hukum Universitas Warmadewa.

5. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa dalam kehidupan masyarakat.

1.3.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan pada uraian latar belakang permasalahan diatas maka yang menjadi tujuan dari penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui prosedur pembebasan bersyarat bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui tujuan dari pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat bagi Narapidana.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis yang dijelaskan sebagai berikut :

(16)

6 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembangunan ilmu hukum terutama dalam pemahaman terhadap pelaksaan pembebasan bersyarat bagi narapidana.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas terutama pada masyarakat yang masih awam hukum maupun terhadap proses pemberian dan pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi narapidana.

1.5. Tinjauan Pustaka

Secara umum pengertian dari tindak pidana adalah suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan sebagai subjek dari tindak pidana.

Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah “tindak pidana” dan mengartikan tindak pidana sebagai tindakan yang melanggar berbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum dan kepentingan tersebut terdiri dari tiga jenis yaitu kepentingan individu-individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan Negara.6

6 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.16.

(17)

7

Yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini terlihat pada rumusan-rumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, mati, kurungan dan denda.7

Persoalan mendasar yang berkaitan dengan tindak pidana adalah menyangkut saat penetapan perbuatan yang dilarang tersebut (tindak pidana). Suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika telah ditetapkan lebih dahulu melalui perundang-undangan yang kemudian dikenal dengan asas legalitas (legality principle) yang merupakan asas hukum pidana yang dikenal secara universal. Pentingnya asas legalitas berkaitan dengan aspek kepastian hukum.

Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal dengan hukum kepidanaan yakni sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan (yang dilarang untuk dilakukan) yang disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut serta tata cara yang harus dilalui bagi pihak yang berkompeten dalam penegakkannya.8

Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Syarat-syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu tindak pidana ialah :

7Wirjono Prodjodikoro, 2014, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Keenam, Refika Aditama, Bandung, hal.59

8

Ilhami Bisri, 2004, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal.39.

(18)

8

a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang tentu saja perbuatan itu dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya, perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan pelaku wajib mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu. c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya, suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.

e. Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya, kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman itu dinyatakan dengan tegas berupa maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu ketentuan tidak memuat ancaman hukuman terhadap suatu perbuatan tertentu, dalam peristiwa pidana, pelaku tidak perlu melaksanakan hukuman tertentu.9

Berkaitan dengan tujuan pidana, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :

1) Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2) Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)

3) Teori gabungan (verenigings theorien).10

9 Abdoel Djamali, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.175

10 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.26

(19)

9

Teori yang pertama yaitu teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Oleh karena itulah teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.

Teori tentang tujuan pidana yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda yaitu menakutkan, memperbaiki, dan membinasakan.

Hukum pidana hendaklah berada dibarisan terdepan dalam mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Hukum pidana secara konseptual harus dipandang sebagai sarana perubahan masyarakat (social engineering) maupun sebagai sarana integrasi (law as an integrative mechanism).11 Menyelesaikan konflik secara damai

merupakan tujuan pemidanaan yang dilandasi oleh ide pengayoman yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia dalam berhukum. Ide itu perlu dikembangkan dalam tiap langkah pembentukan dan penegakan hukum.

Apabila ada dua pendapat yang bertentangan satu sama lain biasanya ada suatu pendapat ketiga yang muncul sebagai penengah dari kedua teori tersebut.

(20)

10

Disamping teori absolute dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga (vergelding) dalam hukum pidana, tetapi dilain pihak mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.12

Van Bemmelen seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan “Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.13 Tindakan ini

dimaksudkan mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi, pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun menurut M. Sholehuddin yang mengemukakan bahwa: “Tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/Negara, korban, dan pelaku.”14

Masalah pokok dalam hukum pidana yakni orang yang melakukan perbuatan itu harus dapat dinyatakan bersalah, hal ini memunculkan suatu azas yang disebut dengan azas tiada pidana tanpa kesalahan. Azas ini mengandung arti bahwa walaupun perbuatan seseorang telah bersifat melawan hukum, namun itu tidak dapat dipidana apabila ia tidak dinyatakan bersalah.15 Jadi, kesalahan merupakan

suatu syarat untuk seseorang dapat dijatuhkan pidana.

12 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan

Indonesia, Edisi Pertama, Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 28. 13 Andi Hamzah, 1993, op.cit., hal. 32.

14 M. Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal.59.

(21)

11

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana azas tiada pidana tanpa kesalahan tidak diatur secara eksplisit. Namun, secara implisit Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengakui azas tiada pidana tanpa kesalahan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan-ketentuan pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang unsur-unsur kesalahan. Kesalahan mempunyai 3 unsur yaitu diantaranya :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada diri si pembuat, maksudnya keadaan jiwa si pembuat pada waktu melakukan perbuatan harus normal.

2. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan.

3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan yang berupa alasan pemaaf.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur kesalahan tersebut dapat berakibat pada tidak dapat dinyatakannya seseorang yang melakukan perbuatan itu bersalah. Oleh karena itu tidak dapat dinyatakan bersalah maka ia tidak dapat dipidana.

Sementara itu yang dimaksud dengan pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seseorang terdakwa sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto, yang menyebutkan bahwa :

“Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum (berchten) menerapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata, yang kemudian istilah penghukuman dapat disempitkan artinya,

(22)

12

yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh hakim.”16

Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Apabila narapidana selama menjalani pidananya di Rumah Tahanan berkelakuan baik, memperlihatkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat maka dapat diajukan pengusulan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.17Selanjutnya, dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat.18

Maksud dari pembebasan bersyarat yaitu mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah maka sebelum diberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan ketrampilan yang telah diperolehnya selama dalam lembaga pemasyarakatan.

Pembebasan bersyarat merupakan pembinaan narapidana yang berbasiskan masyarakat. Selain itu pembebasan bersyarat juga merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi kepadatan narapidana (overcrowded) didalam Lapas.

16 Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.16

17 Kaedoen, R.A., 1961, Politik Pendjara Nasional, Sumur Bandung, Bandung, hal.45. 18 Bambang Poernomo, 1995, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, hal. 87.

(23)

13

Tetapi tujuan utama dari pembebasan bersyarat adalah merupakan pembinaan narapidana adalah agar bisa kembali hidup dimasyarakat dengan prilaku yang baik. Terhadap istilah pembebasan bersyarat ini semula belum ada kesamaan, ada yang menyatakan pelepasan dengan perjanjian, ada pula yang mengatakan pelepasan Janggela atau pelepasan dengan bersyarat.19

Pemberian pembebasan bersyarat terhadap yang melakukan tindak pidana tertentu, diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Permasyarakatan dengan memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.

1.6. Metode Penelitian

Dalam rangka memperoleh, mengumpulkan serta menganalisis setiap bahan hukum atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya ilmiah mempunyai susunan yang sistematis, terarah dan konsisten. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

1.6.1. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Untuk tipe penelitian hukum normatif dipergunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan perbandingan hukum,

19Soesilo, R., 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap

(24)

14

pendekatan sejarah hukum ataupun pendekatan kasus. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.20

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

1.6.2. Sumber Bahan Hukum

Dalam rangka mengumpulkan bahan hukum pada penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis bahan hukum yaitu :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemasyarakatan diantaranya Undang-undang tentang Pemasyarakatan, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan perundangan lain yang mengatur tentang Pemasyarakatan dan sistem-sistemnya. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :

a. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

b. Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

(25)

15 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam teknik pengumpulan bahan hukum, penulis membaca atau mempelajari buku-buku peraturan perundang-undangan serta literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

1.6.4. Analisis Bahan Hukum

Dalam menentukan bahan hukum, maka terdapat tiga konsepsi pokok yang harus menjadi bahan pertimbangan yakni, pertama bahwa bahan hukum itu haruslah sesuai dan relevan dengan isu hukum yang diketengahkan. Kedua, bahwa bahan hukum khususnya bahan hukum primer harus dapat diinterpretasikan atau dikonstruksikan. Ketiga, bahwa bahan hukum itu harus mempunyai nilai atau standar baik dalam teori maupun konsep hukum.21

(26)

16 BAB II

PROSEDUR PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat 2.1.1. Pengertian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Apabila narapidana selama menjalani pidananya di rumah tahanan berkelakuan baik, memperlihatkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat maka dapat diajukan pengusulan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.22 Pembebasan bersyarat merupakan

pembinaan narapidana yang berbasiskan masyarakat. Selain itu pembebasan bersyarat juga merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi kepadatan narapidana (overcrowded) di dalam lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Tetapi tujuan utama dari pembebasan bersyarat adalah merupakan pembinaan narapidana agar bisa kembali hidup di masyarakat dengan prilaku yang baik. Ketentuan

22

Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, 2008, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo

(27)

17

mengenai Pembebasan Bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia pertama kalinya termuat dengan istilah Pelepasan Bersyarat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van Straftrecht Voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.23 Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van

Straftrecht Voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (Progressive System), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.

Adapun pembebasan bersyarat itu sendiri ialah upaya membina narapidana di luar lembaga pemasyarakatan secara bersyarat sehingga bagian terakhir dari hukuman pidananya tidak dijalani. Bagian terakhir itu digantungkan pada suatu syarat yang harus dipenuhi dalam masa percobaan dan untuk itu diadakan pengawasan. Terhadap istilah pembebasan bersyarat ini semula belum ada kesamaan, ada yang menyatakan pelepasan dengan perjanjian, ada pula yang mengatakan pelepasan Janggela atau pelepasan dengan bersyarat. Semua ini tidak mempengaruhi inti pengertian dari Pembebasan Bersyarat yaitu:

1. Adanya bagian terakhir dari pidana yang tidak dijalankan (biasanya sepertiga bagian dari sisa hukuman).

2. Adanya masa percobaan yaitu sisa hukuman ditambah satu tahun.

23

Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hal 17.

(28)

18

3. Adanya syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

4. Adanya badan yang mengawasi masa percobaan tersebut.

Pembebasan bersyarat tersebut bukanlah pelepasan ke alam merdeka sepenuhnya tetapi mereka masih diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai imbalanan atas tidak dijalaninya sisa pidana itu. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam masa percobaan dan bila dilanggar akan mengakibatkan pencabutan pembebasan bersyarat itu dan kemudian kepadanya diwajibkan menjalani sisa hukumannya lagi. Dalam melaksanakan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada narapidana tersebut diperlukan adanya pengawasan, bimbingan dan pembinaan agar narapidana itu tidak akan melanggar lagi suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, tidak akan melakukan suatu perbuatan yang kurang baik. Karena itulah disebut pembebasan bersyarat, arti pentingnya terletak pada masa peralihan dari kehidupan dalam lembaga pemasyarakatan yang serba terbatas menuju kehidupan yang merdeka. Masa percobaan ini adalah masa merdeka yang dibatasi dengan kewajiban memenuhi syarat-syarat guna melangkah ke masa kehidupan yang merdeka penuh.

Adapun yang menjadi maksud daripada pembebasan bersyarat adalah pandangan bahwa, selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Masalah ini dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mereka menjalani pidana hilang

(29)

19

kemerdekaan, yang menurut paham lama ialah identik dengan pengasingan dari masyarakat sedangkan menurut sistem pemasyarakatan, mereka tidak boleh diasingkan dari rnasyarakat. Bahkan mereka kemudian secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga (ditengah-tengah masyarakat) hal ini merupakan kebutuhan dalam suatu proses pemasyarakatan.

Pada tahap pembinaan pemasyarakatan yang terakhir ini diberikan terhadap narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya selama sembilan bulan, dengan disertai suatu ketentuan bahwa menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan narapidana yang bersangkutan dalam pembinaannya rnengalami kemajuan serta berjalan dengan lancar dan baik. Dalam tahap pembinaan narapiana benar-benar sudah berada di tengah-tengah bebas. Dengan kata lain wadah dalam berupa masyarakat luar, dengan pengawasan dan bimbingan yang makin lama makin berkurang akhirnya dilepas sama sekali. Dengan demikian diharapkan narapidana dapat hidup dalam keadaan harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian orang berkelakuan baik itu mempunyai pengaruh dalam artian bahwa yang tidak berkelakuan baik tidak akan mendapat pembebasan bersyarat.

Mengenai pengawasan terhadap Narapidana yang sedang menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap memonitor segala perbuatan Narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila nantinya dalam

(30)

20

pelaksanaan bebas bersyarat terdapat Narapidana yang ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malasan dalam bekerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan keresahan di dalam masyarakat dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat maka pembebasan yang diberikan dicabut kembali.

2.1.2. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat

Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dijelaskan bahwa dalam menjalankan hukumannya, Narapidana juga memiliki haknya tersendiri yaitu berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Peraturan-peraturan mengenai pembebasan bersyarat yaitu menjadi dasar hukum untuk mernberikan narapidana pembebasan bersyarat, pencabutannya, penahanannya diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, dan 16 Buku Kesatu Bab II Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dasar hukum melepas seorang narapidana dengan pembebasan bersyarat ialah Pasal 15 dan 15a KUHP. Pasal ini mengatur pembebasan bersyarat yang mempunyai pengertian bahwa bila salah satu dari syarat di atas tidak ada, maka tidak dapat disebut pembebasan bersyarat sehingga tidak sampai pada arti dari pembebasan bersyarat yang merupakan masa peralihan. Begitu pula kalau masa percobaannya tidak ada, maka akan menjadi persoalan sampai kapan syarat-syarat itu harus dipenuhi sehingga tidak ada kepastian sampai kapan narapidana mendapat kemerdekaan terbatas dan kapan dapat diambil tindakan kalau syarat-syarat tidak dipenuhi. Demikian pula kalau tidak ada pengawasan maka efeknya sama dengan tidak ada syarat-syarat, sebab tidak ada

(31)

21

yang akan menilai buruk baiknya perbuatan mereka, sehingga mereka akan dapat berbuat sesuai kehendak hatinya. Berikut ini tinjauan pasal demi pasal yang mengatur pembebasan bersyarat :

Pasal 15 KUHP :

1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.

2. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu termasuk masa percobaan.

Pasal 15a KUHP :

1. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. 2. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai

kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

3. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.

4. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana. 5. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau dihapus atau

dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain dari pada orang yang semula diserahi.

6. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.

Pasal 15b KUHP

1. Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat Selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan

(32)

22

keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu. 2. Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana

lagi, tidak termasuk waktu pidananya.

3. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut di atas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelh mendapat keterangan dari Jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.

2. Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15 ayat (5), ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari Jaksa tempat asal terpidana sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.

3. Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah Jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.

4. Waktu penahanan paling lama enam puluh hari, jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.

(33)

23

2.2. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan 2.2.1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Secara etimologi, lembaga pemasyarakatan berarti tempat orang menjalani hukuman pidana penjara.24 Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa :

“Lembaga Pemasyarakatan atau yang disingkat LAPAS adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia”.

Selain pengertian yang diberikan oleh pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.12 Tahun 1995 tersebut, Supramono memberikan definisi bahwa “ Lembaga Pemasyarakatan, sering disingkat dengan akronim LAPAS, sebenarnya merupakan tempat untuk terpidana atau narapidana menjalani hukuman pidananya bagi mereka yang dihukum penjara maupun kurungan”.25

Sebelum dikenal dengan istilah LAPAS, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dahulu dikenal dengan sebutan Departemen Kehakiman. Penghuni lembaga pemasyarakatan bisa narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan, bisa juga yang statusnya masih tahanan yang dimana maksudnya adalah orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh Hakim.

Lembaga pemasyarakatan didirikan disetiap kabupaten, namun bila diperlukan dapat didirikan ditingkat kecamatan atau kota administratif. Hal tersebut

24 Departemen Pendidikan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal.731.

(34)

24

dimaksudkan guna meningkatkan mutu pelayanan hokum dan pemerataan untuk memperoleh keadilan bagi warga binaan pemasyarakatan dan keluarganya dengan memperhatikan perkembangan wilayah, peningkatan jumlah penduduk, dan peningkatan tindak pidana yang terjadi di setiap wilayah yang bersangkutan.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan sebutan sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Ia menyatakan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga tugas yang jauh lebih berat yaitu mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana itu sendiri terdiri dari 4 sub-sistem yang diantaranya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana yang bertugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah yaitu untuk menekan angka kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan atau dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan,

(35)

25

selebihnya juga sangat ditentukan oleh pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana dari pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.

Lembaga pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan yang berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. Dengan sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat berhasil dalam mencapai segala tujuan yang diinginkan yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana (narapidana), maka selanjutnya akan dapat menekan angka kejahatan dan pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan sosial seperti tujuan dari sistem peradilan pidana.

Rumusan yang tercantum baik dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995, KEPMEN Kehakiman R.I No. M.02-PK.04.10 Tahun 1990, maupun KEPMEN Kehakiman R.I No. M.01-PP.02.01 Tahun 1990 tersebut menyiratkan bahwa “Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi Narapidana, Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil.26

2.2.2. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan

Tujuan utama didirikannya Lembaga Pemasyarakatan adalah membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta dapat menjadi warga Negara yang baik,

(36)

26

bertanggungjawab dan berguna bagi masyarakat disekitarnya. Melihat tujuan lembaga pemasyarakatan sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Hal itu dikarenakan masih adanya penghuni dari lembaga pemasyarakatan atau narapidana yang kabur. Bahkan bila ditelusuri lebih dalam lagi dapat ditemukan bahwa ada narapidana yang berbuat hal yang bertentangan dengan norma seperti melakukan penganiayaan di dalam LAPAS dan bahkan ada yang menjalankan bisnis narkoba dari balik jeruji besi. Selain itu, ia juga bisa mendapatkan apa saja yang diinginkan dengan menyuap orang-orang di LAPAS. Namun tidak semua pegawai di Lembaga Pemasyarakatan yang berkelakuan demikian. Adapun tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan tersebut antara lain :

1. Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab. 2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di

Rumah Tahanan Negara dan cabang Rumah Tahanan Negara dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

3. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan / para pihak berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

(37)

27

pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan dirampas untuk Negara berdasarkan putusan pengadilan.

Dalam pasal 2 Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa :

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab”.

Yang dimaksud dengan “manusia seutuhnya” disini adalah upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya.

2.2.3. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Pada dasarnya lembaga pemasyarakatan memiliki beberapa fungsi yang diantaranya yaitu :

 Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat tentang bagaimana harus bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

 Menjaga keutuhan masyarakat.

 Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control ). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

(38)

28

Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Dalam Pasal 3 Kepmenkeh. RI. No. M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya Lembaga Pemasyarakatan memiliki fungsi, yaitu :

1. Melakukan pembinaan terhadap narapidana/anak didik;

2. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja;

3. Melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana/anak didik; 4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga

Pemasyarakatan; dan

5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Lembaga Pemasyarakatan sendiri terdiri dari empat (4) kelas yang masing-masing memiliki klasifikasi yang berbeda. Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI. No.M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01-PR.07.03 Tahun 1985, Lembaga Pemasyarakatan dibagi menjadi empat (4) kelas, yaitu :

1) Lapas diklasifikasikan dalam empat (4) kelas yaitu : a. Lapas Kelas I;

b. Lapas Kelas IIA; c. Lapas Kelas IIB; dan d. Lapas Kelas III.

2) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan, dan tempat kegiatan kerja.

Klasifikasi dari 4 kelas Lapas tersebut dicantumkan dalam Pasal 4A, yaitu : 1. Lapas Kelas I terdiri atas :

(39)

29

b. Kepala Bagian dan Kepala Bidang adalah jabatan struktural eselon IIIb; dan

c. Kepala Satuan Pengamanan adalah jabatan struktural eselon IIIb.

2. Lapas Kelas IIA terdiri atas :

a. Kepala Lapas adalah jabatan eselon IIIa;

b. Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi adalah jabatan struktural eselon Iva; dan

c. Kepala Satuan Pengamanan adalah jabatan struktural eselon IVa.

3. Lapas Kelas IIB terdiri atas :

a. Kepala Lapas adalah jabatan struktural eselon IIIb;

b. Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi adalah jabatan struktural eselon IVb; dan

c. Kepala Satuan Pengamanan adalah jabatan struktural eselon IVb.

4. Lapas Kelas III terdiri atas :

a. Kepala Lapas adalah jabatan struktural eselon IVa; dan

b. Kepala Urusan dan Kepala Subseksi adalah jabatan struktural eselon Va.

2.3. Prosedur Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat merupakan hak bagi setiap Narapidana, hanya saja hak tersebut tidak mutlak harus dipenuhi, mengingat pemberian pembebasan bersyarat harus mencerminkan rasa keadilan di masyarakat terutama bagi pihak korban. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Narapidana sebelum diusulkan untuk memperoleh pembebasan bersyarat haruslah memenuhi tahap-tahap pembinaan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan. Tahap-tahap tersebut ialah :

(40)

30

Pada tahapan ini Narapidana mulai mengenal lingkungan kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagaian dari warga masyarakat di lingkungan tersebut dan wajib melaksanakan program pembinaan seperti olahraga serta pembinaan keagamaan dan pengawasan dilaksanakan secara security maximum.

2. Program Pertama (1/3 - 1/2 masa pidana)

Pada tahap ini Narapidana selain melaksanakan pembinaan keagamaan dan olahraga, Narapidana mulai melaksanakan pembinaan yang bersifat produktif seperti melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan suatu karya serta mendapatkan imbalan jasa dari karya tersebut.

3. Program Kedua (1/2 – 2/3 masa pidana)

Pada tahap ini Narapidana sudah dapat melaksanakan asimilasi. Asimilasi adalah upaya pembaruan diri seorang Narapidana dengan pihak luar atau masyarakat.

4. Program Keempat (2/3 – selesai masa pidana)

Pada tahap inilah apabila seorang Narapidana telah melaksanakan tahapan-tahapan sebelumnya dengan baik, maka Narapidana tersebut dapat diusulkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.

Adapun prosedur awal dalam mengajukan pembebasan bersyarat yaitu :

1) Surat dari Kejaksaan

(41)

31 3) Salinan register F

4) Daftar perubahan (daftar yang dicantumkan apabila ada perubahan masa hukuman bagi Narapidana seperti remisi)

5) Surat pernyataan dari keluarga

6) Surat pernyataan dari kelurahan atau pemerintah setempat 7) Hasil sidang pengadilan

8) Hasil sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) 9) Risalah singkat pembinaan Narapidana

10) Surat keterangan dokter

Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah memenuhi dua pertiga masa pidananya yang sekurang-kurangnya sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat. Berikut merupakan persyaratan yang harus dipenuhi :

1) Persyaratan Substantif :

a. Narapidana telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.

b. Narapidana telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif.

c. Narapidana berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat.

(42)

32

d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.

e. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.

f. Masa pidana yang telah dijalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

2) Persyaratan Administratif :

a. Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis).

b. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan.

c. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian pembebasan bersyarat yang bersangkutan.

d. Salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana selama menjalankan masa pidana) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala LAPAS);

e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi remisi dan lain-lain dari Kepala LAPAS;

f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;

g. Bagi narapidana atau anak pidana warga Negara asing diperlukan syarat tambahan berupa surat jaminan dari Kedutaan Besar atau konsulat Negara orang asing yang bersangkutan dan surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

Sedangkan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus memenuhi syarat-syarat diatas, maka harus pula memenuhi syarat berikut :

a. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya ;

(43)

33

b. Telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua pertiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

c. Telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani ; dan

d. Telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar :

1. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga Negara Indonesia; atau

2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana warga Negara asing.

Setelah semua prosedur telah dilalui maka apabila Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui usulan pembebasan bersyarat tersebut, keputusan mengenai pembebasan bersyarat dibuat oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Surat keputusan tersebut selanjutnya dikirim kepada Kepala Kejaksaan Negeri tempat Narapidana menjalani pembebasan bersyarat. Tembusan surat keputusan itu selanjutnya dikirimkan kepada :

1. Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2. Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

3. Walikota/Bupati dimana Narapidana menjalani pembebasan bersyarat.

(44)

34

Pemberian pembebasan bersyarat terhadap yang melakukan tindak pidana tertentu diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam mempertimbangkan wajib meminta rekomendasi dari instansi terkat, yakni :

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan/atau kejahatan transnasional terorganisasi lainnya;

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika; dan

c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.

Rekomendasi disampaikan secara tertulis oleh instansi terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Apabila instansi terkait tidak memberikan rekomendasi, Direktur Jenderal Pemasyarakatan tetap dapat memberikan pertimbangan kepada Menteri.

(45)

35

Pemberian pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Keputusan Menteri atas usul kepala LAPAS. Selanjutnya pembimbingan para penerima pembebasan bersyarat dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Pembimbingan tersebut dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok secara berkala dan berkesinambungan. Dalam melaksanakan bimbingan petugas BAPAS harus melakukan koordinasi dengan Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, dan pemuka masyarakat setempat. Untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat juga didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain :

1. Sifat tindak pidana yang dilakukan;

2. Pribadi dan riwayat hidup (latar belakang kehidupan ) Narapidana; 3. Kelakuan Narapidana selama pembinaan;

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah dibebaskan; dan

5. Penerimaan masyarakat dimana ia akan tinggal.

Setelah semua tahapan dilakukan maka selanjutnya tahapan terakhir adalah bimbingan terhadap Narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat oleh BAPAS. Pada tahap ini bahwa setelah pihak Lembaga Pemasyarakatan menerima kiriman Surat Keputusan (SK) yang dikirim oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maka pihak Lembaga Pemasyarakatan akan memberitahukan kepada Narapidana bahwa Surat Keputusan (SK) pembebasan bersyarat telah diterbitkan dan Narapidana tersebut memang layak untuk mendapatkan program pembebasan

(46)

36

bersyarat. Setelah Narapidana mendapatkan Surat Keputusan (SK) pembebasan bersyarat maka selanjutnya dari pihak Lembaga Pemasyarakatan akan menyerahkan Narapidana tersebut kepada pihak BAPAS yang mana selanjutnya BAPAS yang akan bertanggung jawab dalam pengawasan dan pembimbingan Narapidana dalam program pembebasan bersyarat.

(47)

37 BAB III

TUJUAN DARI PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA

3.1. Pencabutan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana

Kejaksaan merupakan pranata yang mempunyai berbagai tugas dan fungsi, salah satunya mengawasi pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 15a ayat (3) jo. Pasal 14d ayat (1) KUHP jo. Pasal 30 ayat (1) huruf c Undang-undang RI No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ialah mewajibkan narapidana untuk melaporkan diri setiap satu (1) bulan sekali. Laporan tersebut berbentuk absen yang telah disediakan oleh petugas atau pegawai Kejaksaan yang sebelumnya telah ditunjuk oleh kepala seksi (KASI) untuk menjalankan administrasi wajib lapor bagi narapidana yang memperoleh hak bebas bersyarat.

Fungsi pengawasan narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan, namun pelaksanaan koordinasi terkait pembimbingan terhadap narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat dilakukan pula oleh BAPAS dimana narapidana bersangkutan memperoleh bimbingan dan Kepala Kelurahan dimana narapidana bersangkutan berdomisili, sehingga secara tidak langsung baik BAPAS maupun Kepala Kelurahan tersebut turut serta dalam melakukan pengawasan. Pengawasan tersebut semata-mata guna mebantu tugas

(48)

38

Kejaksaan, sehingga Kepala Kelurahan setempat mempunyai kewajiban untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat melanggar aturan, utamanya apabila narapidana melakukan tindak pidana kembali.

Selain wajib lapor, narapidana pembebasan bersyarat juga wajib memenuhi ketentuan mengenai larangan bagi narapidana pembebasan bersyarat yang diantaranya yaitu :

a. Melanggar pelanggaran hukum;

b. Terindikasi melakukan pengulangan tindak pidana; c. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat;

d. Tidak melaksanakan wajib lapor kepada BAPAS yang membimbing paling banyak 3 kali berturut-turut;

e. Tidak melaporkan perubahan alamat atau tempat tinggal kepada BAPAS yang membimbing; dan/atau

f. Tidak mengikuti atau memenuhi program pembimbingan yang ditetapkan oleh BAPAS.

Adapun sanksi bagi narapidana pembebasan bersyarat yang melakukan pelanggaran ialah sanksi berupa peringatan hingga pencabutan pembebasan yang telah diperoleh. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pemberian dan pencabutan pembebasan bersyarat merupakan kewenangan Menteri Kehakiman atau yang saat ini disebut Menteri Hukum dan HAM setelah melalui pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, sehingga baik

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak

Sistem W6$< SSTEM/ Wick system ini salah satu system hidroponik yan, palin, sederhana sekali dan biasanya dipakai oleh kalan,an pemula/ Sistem ini ter,olon, pasi2% sebab tak

Yield To Maturity adalah tingkat bunga yang menyamakan harga obligasi dengan nilai sekarang dari semua aliran kas yang diperoleh dari obligasi sampai dengan

Tenaga ini adalah unit untuk mengukur kemampuan seseorang melakukan sesuatu aktiviti fizikal seperti mandaki gunung. Dalam teori biokimia,

Berdasarkan hasil yang didapatkan maka dapat diberikan kesimpulan dalam penelitian ini yaitu terdapat pengaruh antara variabel pelayanan tetap yang intensif, kebutuhan

[r]

Berdasarkan hasil penelitian, hasil pendapatan sewa tersebut dikelola Pemerintah Desa Gumpang untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk meningkatkan

Suhu yang lebih tinggi setelah fase generatif memberikan pengaruh terhadap beberapa karakter, yaitu pada karakter jumlah anakan total, jumlah gabah isi per