• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Politik Islam tentang Pencalonan Diri dan Kampanye untuk Jabatan Politik Oleh: Mujar Ibnu Syarif *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus Politik Islam tentang Pencalonan Diri dan Kampanye untuk Jabatan Politik Oleh: Mujar Ibnu Syarif *"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Mujar Ibnu Syarif * Abstrak

Pencalonan diri dan kampanye untuk meraih jabatan politik tertentu dapat dibenarkan menurut hukum Islam bagi seseorang yang dalam dirinya terdapat dua hal. Pertama, ketika dia memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk mengemban jabatan. Ia kemudian mencalonkan dan mengkampanyekan dirinya sendiri untuk menggapainya. Kedua, motivasi utama mencalonkan diri dan berkampanye untuk sebuah jabatan politik tertentu adalah semata-mata untuk menggapai ridha Allah dan demi merealisasikan kemaslahatan publik, bukan untuk menggapai kepentingan pribadi dan atau bukan sebagai sarana untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif bagi kepentingan publik.

Kata kunci: politik islam , pencalonan diri, kampanye A. Pendahuluan

1. Definisi pencalonan diri dan kampanye

Pencalonan diri berarti proses, cara, dan perbuatan (mencalonkan diri sendiri), sedangkan kampanye berarti tindakan atau kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon (tertentu) yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara, sementara jabatan politik berarti pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi politik.1

2. Pendapat ulama tentang pencalonan diri dan kampanye

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya seseorang mencalonkan diri dan berkampanye untuk jabatan politik tertentu. Secara garis besar pendapat para ulama dalam masalah ini dapat dipetakan ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan politik tertentu. Kedua, kelompok yang mendukung pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan politik tertentu. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terutama timbul

* Dosen Mata Kuliah Fiqh Siyasah dan Pembantu Dekan Bidang Akademik

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1Hasan Alwi, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka,

(2)

karena, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, di samping terdapat dalil-dalil yang terkesan melarang seseorang untuk mencalonkan diri dan berkampanye untuk mendapatkan suatu jabatan politik tertentu, ditemukan pula dalil-dalil lain yang bernada membolehkannya. Perbedaan dalil yang digunakan oleh masing-masing kelompok atau bahkan perbedaan interpretasi terhadap dalil-dalil yang sama, tentu saja, melahirkan pendapat yang bervariasi.

3. Dalil kelompok pertama

Kelompok pertama, yakni kelompok yang yang menolak pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan politik tertentu mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an, hadis Nabi, dan praktik politik yang dilakukan para sahabat. Dalil berupa ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat 32 Surat al-Najm yang berbunyi sebagai berikut:

ﻼﹶﻓ

ﺍﻮﱡﻛﺰﺗ

ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ

ﻮﻫ

ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ

ﹺﻦﻤﹺﺑ

ﻰﹶﻘﺗﺍ

Artinya: “ …maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (Q.S. 53: al-Najm: 32). Menurut kelompok pertama, pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan politik tertentu, pada hakikatnya dapat dianggap sebagai tindakan penyucian seseorang terhadap dirinya sendiri. Selain itu, tindakan tersebut juga dapat dipandang sebagai simbol adanya ambisi yang besar dari seseorang untuk merebut sebuah jabatan tertentu, yang menurut ayat tersebut, tidak dapat dibenarkan.

Dalil berupa hadis Nabi yang sekaligus juga mengisahkan praktik politik sahabat di zaman Nabi yang biasa dimajukan kelompok pertama untuk mendukung pendapatnya, antara lain, berbunyi sebagai berikut: Pertama, sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

ﻦﻋ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﹺﻦﺑ

ﹶﺓﺮﻤﺳ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻲﻟ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺎﻳ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﻦﺑ

ﹶﺓﺮﻤﺳ

ﹾﻝﹶﺄﺴﺗﻻ

ﹶﺓﺭﺎﻣِﻹﺍ

ﻚﻧﹺﺈﹶﻓ

ﹾﻥﹺﺇ

ﺎﻬﺘﻴﻄﻋﹸﺃ

ﻦﻋ

ﺔﹶﻟﹶﺄﺴﻣ

ﺖﹾﻠﻛﻭ

ﺎﻬﻴﹶﻟﹺﺇ

ﹾﻥﹺﺇﻭ

ﺎﻬﺘﻴﻄﻋﹸﺃ

ﻦﻋ

ﹺﺮﻴﹶﻏ

ﺔﹶﻟﹶﺄﺴﻣ

ﺖﻨﻋﹸﺃ

ﹶﻠﻋ

ﺎﻬﻴ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

(

Dari Abd al-Rahman Ibn Samurah berkata, Rasulullah s.a.w. bersabdakepadaku: ”Wahai Abdurrahman Ibn Samurah, janganlah engkau meminta-minta jabatan. Sesungguhnya jika engkau mendapatkan sebuah jabataban lantaran memintanya, maka engkau akan dibiarkan menanganinya seorang diri. Akan tetapi, bila jabatan itu diberikan kepadamu tanpa memintanya, maka engkau akan diberi dukungan dalam menjalankannya”. (H.R. al-Bukhari).

(3)

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﻰﺳﻮﻣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺖﹾﻠﺧﺩ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺎﻧﹶﺃ

ﻥﺎﹶﻠﺟﺭﻭ

ﻦﻣ

ﻲﹺﻨﺑ

ﻲﻤﻋ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﺣﹶﺃ

ﺪ

ﹺﻦﻴﹶﻠﺟﺮﻟﺍ

ﺎﻳ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﻧﺮﻣﹶﺃ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﺾﻌﺑ

ﺎﻣ

ﻙﻻﻭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺰﻋ

ﱠﻞﺟﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗﻭ

ﺮﺧﻵﺍ

ﹶﻞﹾﺜﻣ

ﻚﻟﹶﺫ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﺎﻧﹺﺇ

ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ

ﻲﱢﻟﻮﻧ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺍﹶﺬﻫ

ﹺﻞﻤﻌﹾﻟﺍ

ﺍﺪﺣﹶﺃ

ﻪﹶﻟﹶﺄﺳ

ﻻﻭ

ﺍﺪﺣﹶﺃ

ﺹﺮﺣ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺴﻣ

.(

“Dari Abu Musa

(

al-Asy’ari

)

berkata, saya dan dua orang pria yang tidak lain adalah anak-anak paman saya (sendiri) menghadap Rasulullah s.a.w. Kemudian salah seorang di antara kedua pria itu berkata, “Ya, Rasul Allah, angkatlah kami sebagai pejabat untuk menangani sebagian tugas yang telah diembankan Allah ‘azza wa jalla kepada engkau”. Pria yang satunya lagi turut pula mengajukan permohonan yang sama. Nabi bersabda, “Demi Allah, kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya atau yang sangat berambisi untuk mendapatkannya.” (H.R. Muslim).

Berdasarkan kedua hadis yang dikutip di atas, Abd al-Qadir Awdah menyimpulkan, pencalonan diri dan kampanye untuk sebuah jabatan (politik) tertentu, haram hukumnya. Pendapat yang disebut terakhir ini, antara lain, sama-sama dianut Abu A’la al-Maududi dan Abd. al-Karim Zaidan. Bedanya dengan al-Maududi, Abd. al-Karim Zaidan menyatakan, pada saat darurat, semisal di saat umat Islam tidak dapat menentukan sendiri orang-orang yang cocok untuk menduduki jabatan-jabatan politik yang masih belum terisi, pencalonan diri dan kampanye yang dilakukan seorang kandidat untuk menggapai jabatan politik tertentu yang formasinya masih belum terisi itu dapat dibenarkan. Pada saat demikian, demi menjaga kemaslahatan, seseorang diperkenankan mencalonkan dirinya sendiri untuk menduduki jabatan-jabatan politik yang masih belum terisi. Dasar argumentasi yang diamajukan Abd. al-Karim Zaidan untuk mendukung pendapat tersebut adalah ayat 55 surat Yusuf yang berbunyi sebagai berikut:

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻲﹺﻨﹾﻠﻌﺟﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻦﺋﺍﺰﺧ

ﹺﺽﺭَﻷﺍ

ﻲﻧﹺﺇ

ﹲﻆﻴﻔﺣ

ﻢﻴﻠﻋ

Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Q.S. 12: Yusuf: 55).

Menafsirkan ayat tersebut abd al-Karim Zaidan menyatakan, Nabi Yusuf diduga tidak meminta jabatan karena ketamakannya akan

(4)

kedudukan, tapi sebagai sarana untuk merealisir tujuan-tujuan yang diridhai Allah s.w.t. Karena itu, seseorang yang mencalonkan diri untuk meraih jabatan politik tertentu, tidak boleh melakukan kampanye yang sifatnya memuji diri sendiri dan merendahkan calon lain. Yang boleh dilakukan seorang kandidat saat berkampanye hanyalah memperkenalkan diri dan menyampaikan visi, misi, dan program-programnya bila kelak terpilih untuk mengemban sebuah jabatan politik tertentu.2

4. Dalil kelompok kedua

Sama seperti kelompok pertama, kelompok kedua, yakni kelompok yang mendukung pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan politik tertentu juga mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an, hadis Nabi, dan praktik politik yang dilakukan para sahabat. Dalil berupa ayat al-Qur’an yang dimaksud, antara lain, adalah sebagai berikut:

Pertama, firman Allah s.w.t.:

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻲﹺﻨﹾﻠﻌﺟﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻦﺋﺍﺰﺧ

ﹺﺽﺭَﻷﺍ

ﻲﻧﹺﺇ

ﹲﻆﻴﻔﺣ

ﻢﻴﻠﻋ

Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Q.S. 12: Yusuf: 55).

Kedua, firman Allah s.w.t.:

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺏﺭ

ﺮﻔﹾﻏﺍ

ﻲﻟ

ﺐﻫﻭ

ﻲﻟ

ﺎﹰﻜﹾﻠﻣ

ﻲﻐﺒﻨﻳ

ﺪﺣﻷ

ﻦﻣ

ﻌﺑ

ﻱﺪ

ﻚﻧﹺﺇ

ﺖﻧﹶﺃ

ﺏﺎﻫﻮﹾﻟﺍ

Artinya: Ia (Nabi Sulaiman) berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi".(Q.S. 38: Shad: 35).

Kedua ayat tersebut sekalipun berbeda dalam redaksi, tetapi sama dalam substansi, yakni sama-sama berkisah tentang dua orang Nabi yang mencalonkan diri dan berkampanye untuk mengemban suatu jabatan politik tertentu. Bedanya, ayat 55 surat Yusuf berkisah tentang pencalonan diri dan kampanye yang dilakukan Nabi Yusuf di hadapan penguasa Mesir untuk menduduki jabatan bendaharawan negara Mesir. Sementar ayat 35 surat Shad berisi permohonan Nabi Sulaiman kepada Allah s.w.t. agar berkenan memberikannnya kekuasaan besar yang tak dapat ditandingi para penguasa lain sesudahnya. Baik permohonan Nabi Yusuf maupun permohonan Nabi Sulaiman, terbukti dalam sejarah, sama-sama dikabulkan. Permohonan Nabi Yusuf dikabulkan penguasa

2Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam,

(5)

Mesir. Sementara permohonan Nabi Sulaiman dikabulkan Allah s.w.t. sehingga, kedua Nabi tersebut, di samping sebagai Nabi, juga tampil sebagai pemimpin negara yang efektif pada zamannya masing-masing. Berdasarkan ayat 55 surat Yusuf dan ayat 35 surat Shad, kelompok kedua berkesimpulan, pencalonan diri dan kampanye untuk sebuah jabatan politik tertentu, dapat dibenarkan.

Sedangkan dalil berupa hadis Nabi yang biasa dimajukan kelompok kedua, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang berbunyi sebagi berikut :

ﻦﻋ

ﻞﻬ

ﻦﺑ

ﺪﻌﺳ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻨﻋ

ﱠﻥﹶﺃ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻡﻮﻳ

ﺮﺒﻴﺧ

ﻦﻴﻄﻋﹸﺄﹶﻟ

ﻩﺬﻫ

ﹶﺔﻳﺍﺮﻟﺍ

ﺍﺪﹶﻏ

ﺎﹰﻠﺟﺭ

ﺢﺘﹾﻔﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻪﻳﺪﻳ

ﺐﺤﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﹶﻟﻮﺳﺭﻭ

ﻪﺒﺤﻳﻭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﹸﻟﻮﺳﺭﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺕﺎﺒﹶﻓ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﹶﻥﻮﹸﻛﻭﺪﻳ

ﻢﻬﺘﹶﻠﻴﹶﻟ

ﻢﻬﻳﹶﺃ

ﺎﻫﺎﹶﻄﻌﻳ

ﺎﻤﹶﻠﹶﻓ

ﺢﺒﺻﹶﺃ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﺍﻭﺪﹶﻏ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﻢﻬﱡﻠﹸﻛ

ﻮﺟﺮﻳ

ﹾﻥﹶﺃ

ﺎﻫﺎﹶﻄﻌﻳ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﻦﻳﹶﺃ

ﻲﻠﻋ

ﻦﺑ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹴﺐﻟﺎﹶﻃ

ﹶﻞﻴﻘﹶﻓ

ﻮﻫ

ﺎﻳ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟ

ﻲﻜﺘﺸﻳ

ﻪﻴﻨﻴﻋ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺍﻮﹸﻠﺳﺭﹶﺄﹶﻓ

ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ

ﻲﺗﹸﺄﹶﻓ

ﻪﹺﺑ

ﻖﺼﺒﹶﻓ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﻲﻓ

ﻪﻴﻨﻴﻋ

ﺎﻋﺩﻭ

ﻪﹶﻟ

ﹶﺃﺮﺒﹶﻓ

ﻰﺘﺣ

ﹾﻥﹶﺄﹶﻛ

ﻢﹶﻟ

ﻦﹸﻜﻳ

ﻪﹺﺑ

ﻊﺟﻭ

ﻩﺎﹶﻄﻋﹶﺄﹶﻓ

ﹶﺔﻳﺍﺮﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﻲﻠﻋ

ﺎﻳ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟ

ﻢﻬﹸﻠﺗﺎﹶﻗﹸﺃ

ﻰﺘﺣ

ﺍﻮﻧﻮﹸﻜﻳ

ﺎﻨﹶﻠﹾﺜﻣ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﹾﺬﹸﻔﻧﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻚﻠﺳﹺﺭ

ﻰﺘﺣ

ﹶﻝﹺﺰﻨﺗ

ﻢﹺﻬﺘﺣﺎﺴﹺﺑ

ﻢﹸﺛ

ﻢﻬﻋﺩﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﹺﻡﺎﹶﻠﺳﹺﺈﹾﻟﺍ

ﻢﻫﺮﹺﺒﺧﹶﺃﻭ

ﺎﻤﹺﺑ

ﺐﹺﺠﻳ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻦﻣ

ﻖﺣ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﻓ

ﻪﱠﻠﻟﺍﻮﹶﻓ

ﹾﻥﹶﺄﹶﻟ

ﻱﺪﻬﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻚﹺﺑ

ﺎﹰﻠﺟﺭ

ﺍﺪﺣﺍﻭ

ﺮﻴﺧ

ﻚﹶﻟ

ﻦﻣ

ﹾﻥﹶﺃ

ﹶﻥﻮﹸﻜﻳ

ﻚﹶﻟ

ﺮﻤﺣ

ﹺﻢﻌﻨﻟﺍ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

.(

Dari Sahl Ibn Sa’ad ra. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda pada waktu terjadi perang Khaibar, “Aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang Allah akan memberikan kemenangan (bagi umat Islam) melalui tangannya. Orang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya dan sebaliknya Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Sahal berkata lagi, kemudian para sahabat membuat suasana malam menjadi sedemikian gaduh lantaran masing-masing ingin mencari tahu, siapa di antaranya yang akan diberikan bendera itu. Ketika pagi hari tiba, para sahabat bergegas menemui Rasulullah s.a.w. Setiap orang di antara mereka menginginkan agar bendera itu diberikan kepadanya. Lalu Nabi bertanya, “Di mana Ali Ibn Abi Thalib?” (Pertanyaan Nabi dijawab), “Ali Ibn Abi Thalib sedang sakit mata”. Kemudian para sahabat menjemput Ali dan membawanya ke hadapan Nabi. Lalu Nabi megoleskan mata Ali dengan ludah beliau, seraya berdoa untuk kesembuhan penyakit mata yang tengah diderita Ali. Seketika itu juga penyakit mata yang diderita Ali pun sembuh, sehingga nampak seolah-olah Ali sebelumnya tidak pernah

(6)

menderita penyakit apa pun . Selanjutnya Nabi memberikan bendera tersebut kepada Ali Ibn Abi Thalib. Lalu Ali bertanya, “Ya, Rasul Allah, bolehkah aku memerangi mereka (orang-orang kafir) itu, sehingga mereka (mau beriman) seperti kita?” Nabi menjawab,”Laksanakanlah tugasmu dan sesampainya engkau di hadapan mereka serukanlah kepada mereka untuk memeluk Islam dan sampaikan pula kepada mereka segala kewajiban menyangkut hak Allah yang harus mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya ada seseorang yang mendapat hidayah Allah melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu ketimbang (berkurban dengan menyembelih) seekor hewan ternak”. (H.R. al-Bukhari).

Hadis Nabi yang bersumber dari Sahl Ibn Sa’ad tersebut di atas mengisahkan mengenai adanya ambisi para sahabat untuk mendapat nominasi sebagai panglima perang yang disimbolisasikan dengan penganugerahan bendera oleh Nabi.

Kedua, sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang bersumber dari Buraidah yang berbunyi sebagai berikut:

ﺎﻤﹶﻓ

ﺎﻨﻣ

ﻞﺟﺭ

ﻪﹶﻟ

ﺔﹶﻟﹺﺰﻨﻣ

ﺪﻨﻋ

ﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﻮﻫﻭ

ﻮﺟﺮﻳ

ﹾﻥﹶﺃ

ﻥﻮﹸﻜﻳ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻞﺟﺮﻟﺍ

ﻰﺘﺣ

ﺖﹾﻟﻭﺎﹶﻄﺗ

ﺎﻧﹶﺃ

ﺎﻬﹶﻟ

ﺎﻋﺪﹶﻓ

ﺎﻴﻠﻋ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

.(

“Tidak ada seorang pun di antara kami yang menginginkan jabatan di sisi Rasulullah s.a.w., kecuali berharap agar dirinyalah yang akan (terpilih) sebagai pria (yang akan mendapatkan jabatan sebagai panglima perang ) itu, sehingga aku sendiri termasuk orang yang sangat menginginkan jabatan itu... (Akan tetapi) ternyata Nabi memanggil Ali (untuk menduduki jabatan itu)”.(H.R. al-Bukhari).

Ketiga, sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang yang berbunyi sebagai berikut:

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﱠﻥﹺﺇ

ﺮﻤﻋ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﺎﻣ

ﺖﺒﺒﺣﹶﺃ

ﺓﺭﺎﻣﹺﺈﹾﻟﺍ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﺬﺌﻣﻮﻳ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

.(

“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Umar berkata, “Aku tidak pernah menginginkan sebuah jabatan, kecuali pada saat itu”. (H.R. al-Bukhari).

Berdasarkan ketiga hadis tersebut, kelompok kedua menyimpulkan, pencalonan diri dan kampanye untuk mendapatkan jabata tertentu dapat dibenarkan. Sekiranya hal tersebut tidak diperbolehkan, tentu tidak mungkin Umar Ibn Khattab dan para sahabat yang lain begitu berambisi untuk menduduki jabatan sebagai panglima perang.

Di samping dalil berupa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, kelompok kedua juga mendasarkan pendapatnya pada ijma’ sahabat saat terjadi suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi. Dalam memperebutkan tahta khilafah, di antara para sahabat ada yang tampil sebagai kandidat khalifah lewat pencalonan dirinya sendiri, di samping ada pula yang dicalonkan

(7)

orang lain. Sebagai contohnya, menurut al-Thabari, antara lain, dapat ditunjuk peristiwa yang terjadi menjelang pemilihan khalifah ketiga. Sebelum terpilihnya Utsman Ibn Affan sebagai khalifah ketiga, Abdurrahman Ibn Auf meloby Ali Ibn Abi Thalib dan Usman Ibn Affan agar salah seorang di antaranya bersedia mundur dari bursa pencalonan khalifah. Ternyata, keduanya sama-sama terdiam alias tidak ada yang mau mengalah. Dari peristiwa ini, kelompok kedua berkesimpulan, baik Ali Ibn Abi Thalib maupun Utsman Ibn Affan, sesungguhnya sama-sama berambisi untuk menduduki tahta khilafah.3

Di kalangan teoritisi politik zaman klasik, yang paling vokal mendukung kebolehan pencalonan diri dan kampanye untuk merebut sebuah jabatan politik tertentu adalah al-Mawardi. Bertalian dengan masalah ini al-Mawardi menulis sebagai berikut:

ﺲﻴﹶﻟﻭ

ﺐﹶﻠﹶﻃ

ﺔﻣﺎﻣﹺﺈﹾﻟﺍ

ﺎﻫﻭﺮﹾﻜﻣ

،

ﺪﹶﻘﹶﻓ

ﻉﺯﺎﻨﺗ

ﻬﻴﻓ

ﹸﻞﻫﹶﺃ

ﻯﺭﻮﺸﻟﺍ

ﺎﻤﹶﻓ

ﺩﺭ

ﺎﻬﻨﻋ

ﺐﻟﺎﹶﻃ

ﺎﹶﻟﻭ

ﻊﹺﻨﻣ

ﺎﻬﻨﻣ

ﺐﻏﺍﺭ

4

“Pencalonan diri untuk menjadi kepala negara bukan suatu hal yang dilarang. Sesungguhnya ahl al-syura memang berbeda pendapat mengenai hal ini. (Akan tetapi), seseorang yang mencalonkan diri dan atau punya ambisi untuk merebut jabatan tersebut dapat dibenarkan”.

B. Munaqasyah al-Adillah (Diskusi/Analisis Dalil)

Salah satu dalil yang dimajukan kelompok pertama, sebagaimana dikutip di muka, adalah ayat 32 surat al-Najm yang berbunyi sebagai berikut:

ﻼﹶﻓ

ﺍﻮﱡﻛﺰﺗ

ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ

ﻮﻫ

ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ

ﹺﻦﻤﹺﺑ

ﻰﹶﻘﺗﺍ

Artinya: “ …maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (Q.S.53: al-Najm: 32).

Mengenai interpretasi ayat tersebut, penting kiranya dicatat, bahwa larangan menyucikan diri yang disinggung pada ayat tersebut adalah larangan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa hanya dirinya seoranglah yang paling bertakwa atau paling dekat dengan Allah s.w.t. Menurut al-Razy, adalah sesuatu yang sangat wajar, bila seseorang dilarang memamerkan kualitas ketakwaanya di hadapan orang lain, sebab menyangkut soal ketakwaan seseorang itu tidak ada yang mengetahuinya

3Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (t.tp: tp, t.t.), jilid 5, p. 33.

4Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyyah fi Wilayah Diniyyah, (Beirut: Dar

(8)

kecuali Allah s.w.t. Sehubungan dengan hal ini, al-Razy menyatakan sebagai berikut:

ﻻﻭ

ﺍﻮﻟﻮﻘﺗ

ﺮﺧﻵ

ﺎﻧﺃ

ﲑﺧ

ﻚﻨﻣ

ﺎﻧﺃﻭ

ﻰﻛﺯﺃ

ﻚﻨﻣ

ﻰﻘﺗﺃﻭ

،

ﻥﺈﻓ

ﺮﻣﻷﺍ

ﺪﻨﻋ

ﷲﺍ

5

Artinya: “Janganlah engkau menyatakan kepada orang lain, saya lebih baik, lebih suci, dan lebih bertakwa dibanding Anda. Sebab mengenai hal yang disebutkan itu, hanya Allah s.w.t. sajalah yang mengetahuinya”.

Senada dengan pendapat al-Razy, al-Qurthubi menyatakan sebagai berikut:

ﻲﻀﺘﻘﻳ

ﺾﻐﻟﺍ

ﻦﻣ

ﻲﻛﺰﳌﺍ

ﻪﺴﻔﻨﻟ

،ﻪﻧﺎﺴﻠﺑ

ﻡﻼﻋﻻﺍﻭ

ﻥﺄﺑ

ﻲﻛﺍﺰﻟﺍ

ﻰﻛﺰﳌﺍ

ﻦﻣ

ﺖﻨﺴﺣ

ﻪﻟﺎﻌﻓﺃ

ﻩﺎﻛﺯﻭ

ﷲﺍ

ﻞﺟﻭﺰﻋ

ﻼﻓ

ﺓﱪﻋ

ﺔﻴﻛﺰﺘﺑ

ﻥﺎﺴﻧﻻﺍ

،ﻪﺴﻔﻧ

ﺎﳕﺇﻭ

ﺓﱪﻌﻟﺍ

ﺔﻴﻛﺰﺘﺑ

ﻪﻟ

. 6

“Seorang yang suci seyogyanya menahan diri untuk memproklamirkan kesucian dirinya. Sebab orang yang suci sesungguhnya adalah orang yang segala perbuatannya dinilai baik oleh Allah s.w.t. Karena itu, bila ada orang yang mengklaim tentang kesucian dirinya, sebaiknya diabaikan saja. Sebab yang dapat dianggap hanyalah penilaian kesucian seseorang yang diberikan kepadanya oleh Allah s.w.t.”.

Penting dicatat, di samping dilarang memuji-muji diri sendiri, seseorang juga dilarang memuji-muji orang lain yang berimplikasi pada timbulnya sikap takabbur atau arogan dari orang yang dipuji, sehingga terlalu terlena dengan pujian atau sanjungan yang biasa diterimanya, ia tidak mau lagi melakukan sesuatu untuk meningkatkan kualitas pribadinya. Nabi Muhammad s.a.w. tidak menyukai seseorang yang suka memuji-muji orang lain. Sehubungan dengan hal ini beliau bersabda:

ﻦﻋ

ﰉﺃ

ﺓﺮﻳﺮﻫ

ﻝﺎﻗ

ﺎﻧﺮﻣﹶﺃ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹾﻥﹶﺃ

ﻮﹸﺜﺤﻧ

ﻲﻓ

ﻩﻮﺟﻭ

ﲔﺣﺍﺪﻤﹾﻟﺍ

ﺏﺍﺮﺘﻟﺍ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍ

(

7

“Dari Abu Hurairah, berkata, kami diperintahkan oleh Rasullullah s.a.w. agar melumuri tanah pada wajah mereka yang suka memuji-muji (orang lain). (H.R. al-Turmudzi).

Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. mengingatkan agar kita jangan suka meniru kebiasaan orang-orang yang suka memuji-muji diri dan atau kelompoknya sendiri. Hal ini relevan dengan firman Allah s.w.t. yang berbunyi sebagai berikut:

5Al-Imam al-Fakhr al-Razy, al-Tafsir al-Kabir, (t.tp: tp, t.t.), jilid 29, p. 10.

6Abu Abdillah Muhammd Ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam

al-Qur’an, (t.tp: tp, t.t.), jilid 5, p. 246.

(9)

ﻢﹶﻟﹶﺃ

ﺮﺗ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ

ﹶﻥﻮﱡﻛﺰﻳ

ﻧﹶﺃ

ﻢﻬﺴﹸﻔ

ﹺﻞﺑ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻲﱢﻛﺰﻳ

ﻦﻣ

ُﺀﺎﺸﻳ

Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya

"

. (Q.S.4:al-Nisa: 49).

Golongan yang paling suka memuji-muji diri atau kelompoknya sendiri adalah kaum Yahudi. Dalam al-Qur’an ditemukan beberapa contoh pujian yang di masa lalu biasa diungkapkan kaum Yahudi untuk mengagung-agungkan dirinya sendiri. Beberapa contoh pujian dimaksud, antara lain termaktub dalam dua buah firman Allah s.w.t. yang berbunyi sebagi berikut:

Pertama, firman Allah s.w.t.:

ﺖﹶﻟﺎﹶﻗﻭ

ﺩﻮﻬﻴﹾﻟﺍ

ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍﻭ

ﻦﺤﻧ

ُﺀﺎﻨﺑﹶﺃ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻩﺅﺎﺒﺣﹶﺃﻭ

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.S. 5: al-Maidah: 18).

Kedua, firman Allah s.w.t.:

ﺍﻮﻟﺎﻗﻭ

ﻦﹶﻟ

ﹶﻞﺧﺪﻳ

ﹶﺔﻨﺠﹾﻟﺍ

ﻻﹺﺇ

ﻦﻣ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺍﺩﻮﻫ

ﻭﹶﺃ

ﻯﺭﺎﺼﻧ

Artinya: “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani".(Q.S.2: al-Baqarah: 111).

Dari uraian di atas dapat ditarik konklusi, seseorang hanya dilarang memuji-muji dirinya sendiri sebagai figur yang paling dekat dan paling dicintai Allah s.w.t. sebagaimana diklaim kaum Yahudi dan Nasrani. Bila kesimpulan yang disebut terakhir ini diterima, maka pendapat yang menyatakan seseorang dilarang mencalonkan diri dan berkampanye untuk menggapai jabatan politik tertentu, adalah pendapat yang invalid.

Selanjutnya, mengenai hadis-hadis yang dimajukan untuk melegitimasi penolakan pencalonan diri dan kampanye untuk menggapai jabatan politik tertentu, juga perlu digarisbawahi beberapa hal sebagai berikut. Pertama, Hadis yang bersumber dari Abdurrahman Ibn Auf dan Abu Musa al-Asy’ari yang dikutip di muka, yang pada intinya berisi larangan untuk meminta-minta jabatan tertentu, menurut al-Nawawi, sesungguhnya hanya berlaku bagi seseorang yang sangat berambisi menduduki jabatan tertentu guna memuaskan keinginan pribadinya saja, sehingga tak pernah sedikitpun terlintas dalam hati dan pikirannya untuk mengabdi bagi kepentingan publik. Seseorang yang dari track record-nya

(10)

diketahui punya ambisi semacam ini, sangat mungkin tidak akan banyak mendapat simpati atau dukungan massa pemilih.

Dengan kata lain, dapat pula dikatakan, larangan meminta-minta jabatan itu hanya berlaku bagi mereka yang dalam dirinya ditemukan dua hal. Pertam, ia tidak memiliki kapabilitas, kapasitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk memangku jabatan yang diinginkannya. Kedua, motivasi pertama dan utamanya dalam menggapai suatu jabatan tertentu hanyalah untuk memuaskan diri dan atau kelompoknya saja.

Senada dengan pendapat yang disebut terakhir ini, Abd Hamid al-Anshari menyatakan, larangan meminta-minta jabatan yang tercantum dalam Hadis yang bersumber dari Abdurrahman Ibn Auf dan Abu Musa al-Asy’ari yang dikutip sebelum ini, tidak berlaku bagi orang yang motivasi utamanya meminta jabatan tertentu untuk mewujudkan kemaslahatan dan melayani kepentingan publik.8

Pendapat di atas relevan dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w. ketika merespon permintaan jabatan yang diajukan Abu Dzar al-Ghifari. Dalam salah satu hadis Nabi terekam sebuah pembicaraan antar Nabi dan Abu Dzar al-Ghifari yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﺭﹶﺫ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺖﹾﻠﹸﻗ

ﺎﻳ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﹶﻟﹶﺃ

ﻲﹺﻨﹸﻠﻤﻌﺘﺴﺗ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺴﻣ

.(

9

“Dari Abu Dzar (al-Ghifari) berkata, aku bertanya, Ya, Rasul Allah, mengapa engkau tidak memilih aku untuk menduduki suatu jabatan (tertentu)?” (H. R. Muslim).

Merespon pertanyaan tersebut Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻳ

ﺎﺑﹶﺃ

ﺭﹶﺫ

ﻲﻧﹺﺇ

ﻙﺍﺭﹶﺃ

ﺎﹰﻔﻴﻌﺿ

ﻲﻧﹺﺇﻭ

ﺐﺣﹸﺃ

ﻚﹶﻟ

ﺎﻣ

ﺐﺣﹸﺃ

ﻲِﺴﹾﻔﻨﻟ

ﺎﹶﻟ

ﱠﻥﺮﻣﹶﺄﺗ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻦﻴﻨﹾﺛﺍ

ﺎﹶﻟﻭ

ﻦﻴﱠﻟﻮﺗ

ﹶﻝﺎﻣ

ﹴﻢﻴﺘﻳ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺴﻣ

(

. 10

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya menurut hematku, engkau seorang yang lemah. Dan sesungguhnya aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. (Karena itu), janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan jangan pula engkau mengurus harta anak yatim”. (H.R. Muslim).

Hadis di atas berisi penjelasan Nabi bahwa tidak dikabulkannya permohonan Abu Dzar al-Ghifari untuk memangku jabatan tertentu karena dalam perspektif Nabi, Abu Dzar merupakan seorang sahabat yang tidak memenuhi kualifikasi untuk mengemban sebuah jabatan tertentu.

8Abd al-Hamid al-Anshari, al-Syura wa Atsaruha fi al-Dimuqrathiyyah, (t.tp: tp., t.t.),

p. 439.

9Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, (t.tp.: tp., t.t.), jilid 6, p. 296. 10Ibid., jilid 9, p. 348.

(11)

Berdasarkan hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan, yang dilarang meminta jabatan tertentu hanyalah seseorang yang yang lemah atau tidak memiliki kapabilitas, kapasitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk memangku sebuah jabatan politik tertentu. Sementara bagi mereka yang memiliki kapabilitas, kapasitas, dan akseptabilitas yang memadai, dapat dibenarkan untuk mencalonkan diri dan berkampanye untuk mendapatkan sebuah jabatan politik tertentu. Dalam politik modern, menurut Munawir Sjadzali, pencalonan diri dan kampanye sangat urgen dilakukan seorang kandidat yang ingin menduduki sebuah jabatan politik tertentu. Sebab lewat pencalonan diri dan kampanye politik yang dilakukannya, ia dapat menginformasikan kepada para calon pemilih tentang identitas atau jati dirinya, program-program, kesanggupan, dan janjinya kalau nanti ia terpilih.11

Penting dicatat, mereka yang setuju dengan pencalonan diri dan kampanye yang dilakukan seseorang untuk menduduki sebuah jabatan politik tertentu, sebaiknya berhati-hati dalam menentukan pilihannya saat berlangsung pemilu, sebab tidak tertutup kemungkinan di antara kandidat yang mencalonkan diri dan berkampanye menjelang pemilu, ada yang berusaha menarik simpati dan dukungan publik melalui kepandaiannya membual atau merayu serta membagi-bagikan hadiah.12

F. Penutup

Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, yang paling relevan diterapkan di masa kontemporer sekarang ini adalah pendapat kelompok kedua, yakni pendapat yang menyatatakan, pencalonan diri dan kampanye untuk meraih jabatan politik tertentu dapat dibenarkan menurut hukum Islam bagi seseorang yang dalam dirinya terdapat dua hal. Pertama, memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk mengemban jabatan, yang ia sengaja mencalonkan dan mengkampanyekan dirinya sendiri untuk menggapainya. Kedua, motivasi utamanya mencalonkan diri dan berkampanye untuk sebuah jabatan politik tertentu adalah semata-mata untuk menggapai ridha Allah dan demi merealisasikan kemaslahatan publik, bukan untuk menggapai kepentingan pribadi dan atau bukan sebagai sarana untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif bagi kepentingan publik.

11Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak, p. 59. 12Ibid.

(12)

Daftar Pustaka

al-Anshari, Abd al-Hamid, al-Syura wa Atsaruha fi al-Dimuqrathiyyah, t.tp.: tp., t.t.

al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.

al-Nawawi, Imam, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, jilid 6, t.tp.: tp., t.t.

al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammd Ibn Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 5, t.tp.: tp., t.t.

al-Razy, Al-Imam al-Fakhr, al-Tafsir al-Kabir, jilid 29, t.tp.: tp., t.t. al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid 5, t.tp.: tp., t.t. al-Turmudzi, Imam, Sunan al-Turmudzi, jilid 8, t.tp.: tp., t.t.

Alwi, Hasan, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

'Arabi, Ibn, Ahkam Qur'an, jilid 2, Beirut–Lubnan: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1998.

Depag RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, al-Madinah al-Munawwarah: Majma' Khadim al-Haramain al-Syarifain Malik Fahd li Thiba'ah al-Mushhaf al-Syarif, 1971.

Gharaybah, Rahayyil Muhammad, al-Huquq wa al-Hurriyyat al-Siyasiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah, 'Aman: Dar al-Manar li al-Nasyr wa al-Tauzi', 2000.

Syarif, Mujar Ibnu, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, Bandung: Angkasa, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan ADT untuk Eclipse akan memudahkan kita dalam membuat aplikasi project android, membuat GUI aplikasi, dan menambahkan komponen-komponen yang

Changes in the size and number of contracts induced by financial innovations result in more disperse interest rates, as rates for low risk borrowers decline while high risk

kemudian sumodiningrat, mengatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat sebagaimana tersebut diatas paling tidak harus mencakup lima hal pokok yaitu bantuan dana sebagai modal

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Tak terhingga rasa syukur yang penulis rasakan saat ini karena akhirnya penulis bisa menyelesaikan Laporan Kerja Praktek ini dengan judul “Mengkonfigurasi DNS server di LPSE

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan teknik observatif yang bertujuan mendeskripsikan adanya protozoa ektoparasit yang ditemukan pada udang Vaname di

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Demikian surat pernyataan dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. ...2017