Ruam Merah Seluruh Tubuh
Seorang anak laki laki usia 5 tahun dibawa ibunya ke RS dengan keluhan keluar ruam merah di tubuh sejak tadi pagi. Sejak 4 hari yang lalu anak demam disertai batuk, pilek, mata merah, muntah, buang air besar lembek 2x/ hari dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak lemah, suhu 39oC. Dalam rongga mulut terlihat koplik spot dan terdapat ruam makulopapular di belakang telinga, wajah, leher, badan dan ekstremitas. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Hasil laboratorium ditemukan leukopenia.
Kata sulit
1. Koplik spot
Bintik putih kecil yang merupakan tanda khas dari rubeola. 2. Ruam makulopapular
Bintik-bintik dan benjolan kecil kemerahan pada kulit. 3. Leukopenia
Berkurangnya jumlah leukosit dalam darah kurang dari 5000 mm3. 4. Ekstremitas
Alat gerak. 5. Ruam merah
Bercak kemerahan.
Pertanyaan
1. Apa yang menyebabkan leukopenia? 2. Mengapa bisa timbul ruam merah?
4. Kenapa bisa terjadi koplik spot? 5. Apa penyebab pada kasus ini?
6. Apa diagnosis dari skenario tersebut?
7. Apa pemeriksaan fisik lain yang terdapat pada skenario? 8. Apa hubungan ruam merah dengan leukopenia?
9. Mengapa ruam makulopapular melekat pada belakang telinga, wajah, leher, badan dan ekstremitas?
10. Bagaimana cara mencegah pada penyakit tersebut? 11. Bagaimana cara penularan pada penyakit ini? 12. Bagaimana penatalaksanaan penyakit ini? 13. Apa komplikasi yang terjadi pada penyakit ini?
Jawaban
1. Virus menyerang leukosit dan menyebabkan leukosit lisis sehingga kadar leukosit menrun.
2. Adanya hipersensitivitas dari pembuluh darah.
3. Karena virus tersebut ditemukan dilendir yang ada pada hidung dan tenggorokan jadi penyakit menular melalui saluran pernapasan.
4. Karena kontak udara dan droplet penderita masuk ke nasofaring dan berkembang.
6. Campak atau rubeola atau morbili
7. Pemeriksaan serologi, imunoglubulin M, isolasi virus pada nasofaring, pemeriksaan darah rutin.
8. Virus masuk menyebabkan lisis pada pembuluh darah kapiler. 9. Karena dibelakang telinga terdapat kelanjar getah bening.
10. Melakukan imunisasi pada bayi 9 bulan dan menjaga jarak pada penderita. 11. Kontak langsung pada penderita, kontak udara.
12. Dengan cara pemberian bedak yang mengandung salisil (antipiuretik) untuk ruam merah, pemberian parasetamol, dan jika terjadi infeksi sekunder diberikan antivirus.
13. Pneumonia.
Hipotesis
Virus paramyxovirus menyebabkan campak melalui kontak udara dan kontak langsung dengan keluhan adanya koplik spot dan ruam makulopapular, diagnosa melalui pemeriksaan darah, serologi atau isolasi virus. Penatalaksanaan untuk menghindari komplikasi dengan pemberika antipiuretik, antivirus dan analgesik. Pencegahan dengan cara menghindari kontak langsung dengan penderita.
Sasaran belajar
1. Memahami dan mempelajari paramyxovirus 1.1 Definisi
Paramyxovirus adalah genus virus (famili paramyxoviridae) yang terutama menyebabkan infeksi saluran pernapasan pada berbagai hospes bertebrata; termasuk virus campak dan parainfluenza.
Mencangkup agen infeksi saluran nafas terpenting pada bayi dan anak kecil (respiratory syncytial virus dan virus parainfluenza) serta agen penyebab dua penyakit menular yang umun terjadi pada anak (gondongan dan campak). Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization) memperkirakan bahwa infeksi pernapasan akut dan pneumonia menyebabkan 4 juta kematian anak berusia kurang dari 5
tahun setiap tahun di seluruh dunia. Paramyxovirus merupakan patogen utama saluran pernapasan pada kelompok usia ini.
Semua anggota famili Paramyxoviridae memulai infeksi melalui saluran napas. Replikasi patogen ini hanya terjadi di epitel saluran napas, sementara campak dan gondongan tersebar diseluruh tubuh dan menyebabkan penyakit umum.
Virus rubella, meski dikelompokkan sebagai suatu togavirus karena sifat kimia dan fisiknya, dapat dianggap paramyxovirus atas dasar epidemiologi.
1.2 Morfologi dan sifat
Morfologi paramyxovirus
Virus campak termasuk golongan Paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian protein yg mengelilingi asam nukleat (RNA) yg merupakan struktur heliks nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek, salah satu protein yg ada di selubung luar berfungsi sbg aglutinin.
Morfologi paramyxovirus berbentuk bulat, pleomorfik, berdiameter 150-300 nm (nukleokapsid helix 18 nm) dengan ukuran partikel 100-700 nm. Komposisinya terdiri dari RNA (1%),protein (73%),lemak (20%),karbohidrat (6%). Genom virus merupakan RNA untai tunggal,lurus,tidak bersegmen,negative-sense, 16-20 kb, tidak ada kemungkinan penyusunan ulang genetik yang sering terjadi menyebabkan fakta bahwa semua nggota kelompok Paramyxovirus stabil secara antigen.
Sebagian besar Paramyxovirus mengandung 6 protein struktural: a. Tiga protein membentuk kompleks dengan RNA virus berfungsi
untuk transkripsi dan replikasi RNA.
b. Tiga protein berpartisipasi dalam pembentukan selubung virus. Protein matriks (M) mendasari selubung virus, protein tersebut
memiliki afinitas terhadap NP dan glikoprotein permukaan virus dan penting dalam perakitan virion.
Virus
campak mempunyai 6 protein struktural, 3 di antaranya tergabung dengan RNA dan membentuk nukleokapsid yaitu; Pospoprotein (P), protein ukuran besar (L) dan nukleoprotein (N). Tiga protein lainnya tergabung dengan selubung virus yaitu; protein fusi (F), protein hemaglutinin (H) dan protein matrix (M).
Sifat-sifat Paramyxoviridae 1. Struktur Virion
Partikel virus lebih besar dari orthomyxovirus dan bersifat pleomorfik yang diameter- nya berkisar antara 150-300 nm dan peka eter (ether sensitive). Partikel virus mempunyai selubung (peplos) yang penuh dengan tonjolan-tonjolan serta mudah sekali rusak karena pengaruh penyimpanan, pembekuan dan pencairan atau pengolahan untuk pembuatan preparat mikroskop elektron, sehingga virus dapat mengalami distorsi atau pecah. Asam nukleatnya berupa suatu RNA yang berserat tunggal dengan berat molekul sebesar 7 juta Dalton dan nukleokapsidnya mempunyai simetri helikal. Besarnya nukleokapsid dan tidak terbaginya genom RNA dari Paramyxovirus menjadi segmen-segmen, merupakan tanda-tanda yang membedakannya dari Orthomyxovirus.
2. Sifat Biologik
Kebanyakan paramyxovirus menempel pada reseptor nukleoprotein yang terdapat pada eritrosit dan sel hospes dengan pertolongan tonjolan glikoprotein (HN) pada permu- kaan partikel virus. Pada beberapa anggota dari golongan virus ini, protein tersebut mempunyai sifat yang kedua sebagai enzim perusak reseptor atau disebut juga neura - minidasa. Karena hal ini maka reaksi hema- glutinasi dilaksanakan pada 40 ℃ , di mana hemaglutinin adalah aktif, sedangkan neuraminidasa tidak. Kebanyakan anggota paramyxovirus mempunyai hemolisin, yaitu sruatu zat yang dapat melisiskan eritrosit.
Paramyxovirus dapat menimbulkan peristiwa fusi sel (cell fusion), sehingga terjadi suatu polikariosit atau sel raksasa pada kejadian infeksi manusia. Peristiwa fusi sel kini dipakai sebagai suatu cara untuk mendapatkan hibrida sel yaitu suatu teknik yang penting dan banyak dipakai dalam genetika sel somatik.
Kebanyakan anggota dari famili Paramyxoviridae dapat menimbulkan suatu infeksi persisten yang tidak sitosidal pada biakan sel. Sifat ini mempunyai arti klinik yang penting untuk menerangkan sindrom panensefalitis sklerosa sub akut.
Virus parotitis, penyakit New Castle dan parainfluenza secara antigenic adalah ber- kerabat, akan tetapi dapat dibedakan dari lainnya berdasarkan struktur antigen nukleo- kapsid dan antigen permukaannya. Demikian pula virus campak dan distemper anjing serta virus rinderpest mempunyai antigen yang berkerabat.
3. Replikasi
Genom RNA dari anggota Paramyxoviridae tidak infektif dan tidak dapat bertindak sebagai RNA pesuruh (messenger RNA). Yang terjadi adalah genom virus mengalami transkripsi menjadi molekul RNA yang lebih pendek yang berfungsi sebagai pesuruh dan bersifat komplementer terhadap genom. Cara replikasi anggota Paramyxoviridae mirip dengan cara dari rhabdovirus.
Sama halnya dengan orthomyxovirus dan rhabdovirus, paramyxovirus mempunyai polimerasa RNA yang bergantung pada RNA, yaitu suaru komponen struktural dari virion yang memproduksi RNA pesuruh permulaan.
Sifat-sifat penting paramyxovirus
Virion Bulat, pleomorfilik, berdiametr 150-300 nm (nukleokapsid helix 18 nm)
Komposisi RNA (1%), protein (73%), lemak (20%), karbohidrat (6%)
Genom RNA untai tunggal, lurus tidak bersegmen, negative-sense, 16-20 kb
Protein Enam protein stuktural
Amplop Mengandung lipoprotein hemaglutinin virus (HN) (yang kadang-kadang membawa aktivitas neoroadminidase) dan glikoprotein fusi (F); sangat ringkih
Replikasi Sitoplasma; partikel bertunas dari membran plasma Ciri khas yang
menonjol
Stabil secara antigen, partikel labil juga sangat infeksius
1.3 Klasifikasi
Famili paramyxoviridae terbagi menjadi dua subfamily dan tujuh generasi, enam di antaranya merupakan pathogen bagi manusia. Sebagian besar anggotanya mootipik (tersusun atas satu serotype); semuanya stabil secara antigenic.
Genus respirovirus mengandung 2 serotipe virus parainfluenza manusia, dan genus rubulavirus mengandung dua virus parainfluensa yang lain serta virus gondongan. Semua anggota genera respirovirus dan rubulavirus memiliki aktivitas hemaglutinasi dan neuramidase, keduanya dibawa oleh glikoprotein HN, serta memiliki sifat fusi membrane dan hemolisin, keduanya merupakan fungsi protein F.
Genus Morbilivirus terdiri dari virus campak (rubeola) yang menyerang manusia serta virus distemper pada anjing, virus rinderpest yang menyerang hewan ternak, dan morbilivirus akuatik yang
menyerang mamalia laut. Virus-virus ini secara antigenic terkait satu sama lain, tetapi tidaklah terkait dengan anggota genera lain. Protein F sangat dipertahankan di antara morbilivirus, sementara protein HN/G terlihat lebih bervariasi. Virus campak memiliki aktivitas hemaglutinin tetapi tidak neuraminidase. Virus campak memicu pembentukan inklusi intranuklear, sementara paramyxovirus lainnya tidak.
Genus Henipavirus mengandung paramyxovirus zoonotic yg mampu menginfeksi dan menyebabkan penyakit pd manusia. Virus hendra dan nipah di kelelawar buah contohnya, tidak memiliki aktivitas neuraminidase. Respiratory syncytial virus pd manusia dan hewan ternak serta virus pneumonia pd mencit, termasuk dalam genus Pneumovirus.
1.4 Siklus hidup
Siklus hidup paramyxovirus yaitu:
1. Ikatan → Penetrasi → Pelepasan Selubung Virus
Paramyxovirus berikatan dengan sel inang (reseptornya adalah molekul CD46 membran) melalui glikoprotein hemaglutinin (protein HN). Kemudian, amplop virion berfusi dengan membran sel melalui kerja dari produk pemecahan F1 (fusi oleh F1 terjadi pada pH netral lingkungan ekstraseluler) memungkinkan pelepasan nukleokapsid virus secara langsung ke dalam sel (sitoplasma).
2. Trasnskripsi, Translasi, Dan Replikasi DNA
Paramyxovirus mengandung genom RNA untaian negatif yang tidak bersegmen,transkrip RNA messenger dibuat dalam sitoplasma oleh polimerase RNA virus. Posisi dari gen relatif terhadap ujung 3’ genom berkorelasi dengan efisiensi transkripsi.Kelas trasnkripsi yang paling banyak dihasilkan oleh yang terinfeksi adalah dari gen NP (nukleoprotein), sementara yang paling sedikit adalah gen L (polimerase besar) yang berlokasi di dekat ujung 5’. Kemudian protein virus di sintesis di sitoplasma dan glikoprotein virus juga di sintesis dan terglikosilasi dalam jalan
kecil sekretoris. Genom-genom progen dengan panjang dan penuh kemudian digandakan dari templete antigenom.
3. Maturasi
Virus matur melalui pertunasan dari permukaan sel. Nukleokapsid progen terbentuk di sitoplasma dan pindah ke permukaan sel.Mereka tertarik ke tempat pada membran plasma yang terpaku oleh duri-duri glikoprotein HN dan F0 virus. Protein M penting untuk pembentukan partikel, mungkin membantu merangkaikan amplop virus pada nukleokapsid. Selama pertunasan, kebanyakan protein inang menjauh dari membran. Aktivasi protein fusi kemudian menyebabkan fusi membran berdekatan,menyebabkan pembentukan sinsitium besar.
4. Nasib Sel
Pembentukan sinsitum merupakan respon yang umum pada infeksi paramyxovirus. Partikel virus yang baru terbentuk memecah sel inang, dan siap menginfeksi sel inang berikutnya.
1.5 Cara transmisi
Virus menyerang sel inang dengan cara menyuntikkan materi genetiknya ke dalam sel inang. Sel yang terinfeksi memproduksi protein virus dan materi genetiknya lebih banyak dibandingkan protein tubuhnya sendiri. Ada beberapa tahap dari siklus hidup virus:
Tahap I: Adsorpsi yaitu ditandai dengan melekatnya virus pada dinding sel inangnya.
Tahap II : Penetrasi yaitu materi genetik virus disuntikkan kedalam sel inangnya.
Tahap III : Sintesis yaitu merupakan tahap menggandakan komponen -komponen tubuh virus.
Tahap IV : Maturasi atau perakitan yaitu berupa penyusunan tubuh virus menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tahap V : Lisis yaitu partikel virus yang baru terbentuk memecah sel inang, dan siap menginfeksi sel inang berikutnya. Mekanisme reproduksi virus seperti di atas disebut daur litik.
2.
Memahami dan mempelajari campak 2.1 Definisi
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh virus. Disebut juga rubeola, morbilli atau measles. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat peradangan otak (ensefalitis).
Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium pradormal (kataral), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik.
Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai gejala-gejala ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, perbesaran serta nyeri limpa nadi.
2.2 Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700 kematian yang disebabkan oleh campak di
seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus).
2.3 Etiologi
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang sama dengan virus gondongan (mumps), virus parainfluenza, virus human metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus).
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA tunggal yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6 struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus ke sel penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP (Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam aktivitas polimerase RNA virus, sedangkan protein NP berperan sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>370C), suhu dingin (<200C), sinar ultraviolet, serta kadar (pH) ekstrim (pH <5 dan >10). Virus ini jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam.
2.4 Patogenesis
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke- 14, virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endotelial, sel-sel epitel, monosit, dan makrofag.
Tabel. Patogenesis infeksi campak Hari Patogenesis
0 Virus campak dalam droplet terhirup dan melekat pada permukaan epitel nasofaring ataupun konjungtiva. Infeksi terjadi di sel epitel dan virus bermultiplikasi.
1 – 2 Infeksi menyebar ke jaringan limfatik regional 2 – 3 Viremia primer
3 – 5 Virus bermultiplikasi di epitel saluran napas, virus melekat pertama kali, juga di sistem retikuloendotelial regional dan kemudian menyebar.
5 – 7 Viremia sekunder
7 – 11 Timbul gejala infeksi di kulit dan saluran napas
11 – 14 Virus terdapat di darah, slauran napas, kulit dan organ-organ tubuh lain.
15 – 17 Viremia berkurang dan menghilang
2.5 Manifestasi klinis Klinis
Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari).
Gejala klinis terjadi setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium: Stadium prodromal: berlangsung kira - kira 3 hari (kisaran2-4hari),ditandaidengan demam yang dapat mencapai 39,50C ± 1,10C. Selain demam, dapat timbul gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung), konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-virus lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal yang disebut Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam. Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput saat pemeriksaan klinis.
Stadium eksantem: timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 400C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam.1,5,7 Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi..
Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3-4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10 hari.1,7,10
2.6 Diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis
Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai timbul dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh..
Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi (>380C), mata merah, dan ruam makulopapular.
Pemeriksaan penunjang: pemeriksan darah berupa leukopenia dan limfositopenia. Pemeriksaan immunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan biasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam. IgM campak ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah infeksi.
Diagnosis Banding
Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisnya juga berupa ruam makulopapular. Gejala klinis klasik campak adalah adanya stadium prodromal demam disertai coryza, batuk, konjungtivitis, dan penyebaran ruam makulopapular. Penyakit lain yang menimbulkan ruam yang sama antara lain:
Rubella (Campak Jerman) dengan gejala lebih ringan dan tanpa disertai batuk.
Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam yang mereda ketika ruam muncul.
Parvovirus (fifth disease) dengan ruam makulopapular tanpa stadium prodromal.
Demam scarlet (scarlet fever) dengan gejala nyeri tenggorokan dan demam tanpa konjungtivitis ataupun coryza.
Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi, konjungtivitis, dan ruam, tetapi tidak disertai batuk dan bercak Koplik. Biasanya timbul nyeri dan pembengkakan sendi yang tidak ada pada campak. 2.7 Penatalaksanaan dan penegahan
Penatalaksanaan
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator
yang meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia. Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan
50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai umur penderita diberikan antara minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala defisiensi vitamin A.
Pada campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bakterial dapat diberi antibiotik.1,7,12 Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai dengan derajat dehidrasinya.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun vaksinasi MMR (Measles, Mumps, Rubella). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014, vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya, vaksin penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun. Apabila vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan, tidak perlu vaksinasi campak pada usia 2 tahun. Selanjutnya, MMR ulangan diberikan pada usia 5-6 tahun. Dosis vaksin campak ataupun vaksin MMR 0,5 mL subkutan.
Imunisasi ini tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien tuberkulosis yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan
terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.
Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) yang dapat terjadi pasca-vaksinasi campak berupa demam pada 5-15% kasus, yang dimulai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi, dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, yang timbul pada hari ke 7 s/d 10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari.8 Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan sistem saraf pusat, seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua efek samping tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di antara 1.000.000 dosis vaksin.
Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan pada penelitian mencakup 6000 anak berusia 1-2 tahun berupa malaise, demam, atau ruam 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung 2-3 hari. Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam, terutama karena komponen campak. Kurang lebih 5-15% anak akan mengalami demam >39,40C setelah imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi, ada yang selama 1-2 hari. Dalam 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca-imunisasi terjadi pada <1/1.000.000 dosis.
2.8 Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu: Usia muda, terutama dibawah 1 tahun
Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV, malnutrisi, atau keganasan
Anak dengan defisiensi vitamin
Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)
Saluran pencernaan: diare yang dapat diikuti dengan dehidrasi Telinga: otitis media
Susunan saraf pusat:
Ensefalitis akut: timbul pada 0,01 – 0,1% kasus campak. Gejala berupa demam, nyeri kepala, letargi, dan perubahan status mental yang biasanya muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah munculnya ruam. Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri), tetapi pada sekitar 15% kasus terjadi perburukan yang cepat dalam 24 jam. Gejala sisa dapat berupa kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan, kelumpuhan, dan kejang berulang.
Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE): suatu proses degeneratif susunan saraf pusat yang disebabkan infeksi persisten virus campak, timbul beberapa tahun setelah infeksi (umumnya 7 tahun). Penderita mengalami perubahan tingkah laku, retardasi mental, kejang mioklonik, dan gangguan motorik.
Mata: keratitis
Sistemik:septicemia karena infeksi bakteri sekunder. 2.9 Prognosis
Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius. Mortalitas dan morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1-3%, dapat meningkat sampai 5-15% saat terjadi KLB campak.
Daftar Pustaka
Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 31 (Alih Bahasa :
Albertus Agung Mahode). Jakarta : EGC.
Geo, F.B. and et al. (2014). Jawetz, Melnick, and Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. 25th ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Janet,S, dkk. 2005. Mikrobilogi Kedokteran Edisi 2. Jakarta: SalembaMedika
M Dubey AP. Measles. In: Parthasarathy A, Menon PSN, Gupta P, Nair MKC, Agrawal R, Sukumaran TU, editors. IAP Textbook of Pediatrics. 5th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.; 2013. p. 250-1.
M World Health Organization. Measles [Internet]. 2015 February [cited 2015 June 11]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs286/en/
[cited 2015 June 11]. Available from: http://www.who.int/csr/don/13-february-2015-measles/en/
M Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2014. Jakarta; 2015. p. 25-7
M Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute sclerosing panencephalitis). In: Long SS, Pickering LK, Prober CG, editors. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 4th ed. Churchill Livingstone: Elsevier Inc.; 2012. p. 1137-44.
M The American Academy of Pediatrics. Measles. Early release from red book® 2015 Report of the Committee on Infectious Diseases [Internet]. 2015 February
20 [cited 2015 June 11]. Available from:
http://redbook.solutions.aap.org/DocumentLibrary/2015RedBookMeasles.pdf M Cherry JD. Measles Virus. In: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Hotez PJ,
Steinbach WJ, editors. Feigin & Cherry’s textbook of pediatric infectious diseases. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2014 (Vol 2.). p. 2373-94.
M Soegijanto S, Salimo H. Campak. In: Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. p. 341-5.
M Khuri-Bulos N. Measles. In: Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, Stapleton FB, Oh W, Whitley RJ, editors. Textbook of clinical pediatrics. 2nd ed. Berlin: Springer; 2012. p. 1221-7.
M World Health Organization. Treating measles in children [Internet]. 2004 [cited
2015 June 11]. Available
from:http://www.who.int/immunization/documents/EPI_TRAM_97.02/en/
M Info Imunisasi. Campak bisa dicegah dengan imunisasi [image on the Internet]. 2012 July 17 [cited 2015 June 11] Available from: http://infoimunisasi.com/headline/campak-bisa- dicegah-dengan-imunisasi/
M Pediatric Infectious Disease Society of the Philippines. Interim management guidelines for measles [Internet]. 2013 [cited 2015 June 11]. Available from: www.pidsphil.org/pdf/ Journal_12312013/jo45_ja07.pdf
M Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal imunisasi IDAI 2014 [Internet]. 2014 [cited 2015 June 11]. Available from: http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014. html
M Centers for Disease Control and Prevention. Measles. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases [Internet]. 2015 [cited 2015 June 11].
Available from: http://www.cdc.