GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA
PEKERJA SOSIAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyatan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
NURMAYANI MARIA SITUMORANG
041301083
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena atas segala berkat dan kasih-Nyalah sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti juga tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakults Psikologi
USU.
2. Kakak Arliza Juairiani Lubis., M. Si, Psikolog selaku dosen
pembimbing. Terima kasih Kak buat semua kesabaran, waktu, pikiran,
petunjuk, saran serta semangat yang telah kakak berikan kepada peneliti
terutama diawal-awal penelitian skripsi ini dimana peneliti sempat
merasa jenuh, bosan, tidak berdaya dan mempunyai kekuatan sehingga
menghilang beberapa bulan tetapi kakak dengan sabar dan penuh
semangat tetap mau membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Peneliti juga minta maaf karena selama ini mungkin
banyak sikap, perkataan, perbuatan atau permintaan yang telah
menyakiti hati kak Lisa. Doakan ya kak, semoga cita-cita peneliti dan
harapan kakak agar peneliti tetap mengabdikan diri dalam pekerjaan
sosial bisa peneliti penuhi.
3. Ibu Rodiatul Hassanah M, Si dan Ibu Hasnida, M.Si selaku dosen
saran, nasehat dan masukan yang akan dengan sukacita peneliti
terima.
4. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psi selaku penasehat akademis peneliti . Terima
kasih Bu atas bimbingan, nasehat, semangat dan doa yang Ibu berikan
kepada peneliti selama ini. peneliti juga memohon maaf apabila selama
ini ada sikap, perkataan, perbuatan atau tingkah laku yang menyakiti Ibu.
5. Semua staf pengajar (dosen dan asisten dosen) yang tidak bisa peneliti
sebutkan satu persatu. Terima kasih atas didikan dan pengajaran yang
telah Bapak/Ibu dosen berikan.
6. Kedua orang tua peneliti tercinta, Papa (L. Situmorang alias Tan Pek
Liang) dan Mama (M. Br Simarmata alias Tinung) di Tarutung. Terima
kasih atas cinta kasih, nasehat, doa dan dukungan moril serta materil
yang peneliti terima sejak peneliti hadir ke dunia ini. Peneliti bersyukur
dan bangga bisa hadir di tengah-tengah keluarga kita ini. Semoga
keluarga kita bisa tetap hidup harmonis dan bahagia seperti biasanya.
Maafkan semua kesalahan yang pernah peneliti lakukan semenjak
terlahir ke dunia yang indah ini. Maafkan juga karena peneliti telah
mengecewakan harapan Papa dan Mama karena tidak bisa lulus tepat
pada waktunya seperti yang kita harapkan dan cita-citakan. Doakan juga
agar peneliti bisa membahagiakan Papa dan Mama dan bisa meraih
sukses seperti yang kita harapkan.
7. Saudara-saudari peneliti terkasih (K`Tina & B`Rudi suaminya, B` Hot &
dan adik tersayang Ayu serta keponakan-keponakan yang yang lucu dan
Manis (Samuel, Kevin, Birgitta, Guido/Hangoluan dan yang akan lahir
bulan Oktober ini). Terima kasih atas cinta kasih, rasa persaudaraan serta
perhatian yang boleh peneliti rasakan selama ini. Peneliti juga berterima
kasih atas doa, semangat dan dukungan moril serta materil yang
diberikan kepada peneliti terutama di saat-saat peneliti merasa tertekan,
jatuh dan tak berdaya. Semoga Tuhan selalu memberkati hubungan
persaudaraan kita ini untuk selama-lamanya dan tidak akan ada masalah
apapun yang dapat memisahkan kita. Amin!!!!
8. Komunitas Sant` Egidio. Terima kasih karena telah menjadi sumber
inspirasi dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga karena telah
mmemberi pelajaran yang sangat berarti bagi peneliti. Banyak hal telah
peneliti rasakan selalu peneliti berada di komunitas tercinta ini terutama
apa arti melayani dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Peneliti juga
merasa hidup ini sangat indah dan bermakna. Banyak pengalaman,
pembelajaran hidup yang boleh peneliti rasakan dan membuat peneliti
semakin kuat dan bersyukur atas apa yang telah peneliti miliki dan
nikmati. Terima kasih tak terhingga juga atas persaudaraan tak terbatas
yang selama ini peneliti rasakan. Semoga kita tetap setia dan memegang
teguh panggilan hidup kita untuk melayani orang-orang miskin. Amin
9. Anak-Anak Sekolah Damai terkasih teristimewa Bobby, Karan & Karen
semua pembelajaran hidup yang boleh Bu May rasakan selama dua
tahun ini. Rajinlah belajar dan gapailah cita-cita kalian. Semangat!!!
10.Sahabat-sahabatku tercinta: Yustisi (teman KTB peneliti), Wiwik, Grace,
Ichin. Terima kasih karena atas masa-masa suka-duka yang kita alami.
11.TTM (Teman-Teman Main): Doris, Lidya, Risna, Yanti, Cimun (Puput)
dan Keong (Rosa). Kalian adalah sahabat-sahabat terbaik yang penah
peneliti miliki.
12. Teman-teman seperjuangan stambuk 2004 teristimewa Agnes (Teman
KTB peneliti), Hotpascaman, Nova, Julia, Johan, Bontor, Saut, Juneidi,
Bima, Asroni. Terima kasih telah mengisi satu episode manis dalam
kehidupan peneliti. Semoga kita sukses semuanya.
13.Yustian `05, Herti `06 & Friska `06 yang merupakan teman KTB
peneliti, Erna `06 teman satu bimbingan akademik dan Margareth `07.
terima kasih atas dukungan doa dan semangatnya. Semoga kalian sukses.
14.Senior-senior yang peneliti hormati : K` Ridhoi, K`Etenk (yang peneliti
anggap seperti kakak sendiri), Tante Atin, K` Juliana, K` Ganda, K`
Naomi, K` Tika (anak-anak KLD), B`Yandi (PKK kelompok kecil
peneliti), K`Naomi `03 (teman sekaligus senior peneliti dari mulai SMP
sampai Kuliah), K`Lestari `03, B`Frans `03, K` Sondang `03, K`
Ruslinda `02, K` Corry `03, K` Rahmi `03, dan semua yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuannya dan semoga
15.Ibu Alamina (dosen bahasa Inggris FKM), K` Rimpun `99 serta Pak
Yahya Anwar yang telah membantu peneliti untuk mengalih bahasakan
skala yang akan peneliti gunakan.
16.semua responden peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu
baik ketika mengadakan uji coba alat ukur maupun ketika in take data.
Terima kasih atas bantuannya dan semoga Tuhan memberkati dan
membalas kebaikan anda semua.
17.Semua pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian penelitian ini
dimana peneliti tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Terima kasih
atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. Semoga Tuhan
memberkati anda semua dan semua kebaikan yang telah anda lakukan
bagi peneliti mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Amin...
Seperti kata pepatah ”Tak ada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu,
dengan segala kerendahan hati, peneliti memohon saran dan masukan yang
membangun dari semua pihak agar kelak dalam penelitian selanjutnya dapat lebih
baik lagi. Peneliti berharap semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi banyak
orang.
Sekian dan Terima Kasih
Medan, Desember 2007
Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal lahirnya, manusia adalah makhluk sosial. Hal ini berarti
bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari dunianya karena manusia selalu ada
dan harus hidup dalam ikatan lingkungan sosial seperti keluarga, kerabat, tetangga
dan masyarakat. Keadaan ini juga disebabkan karena menurut kodratnya, manusia
merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain
sebagai mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak atau untuk mengisi,
melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan tersebut (Nurdin, 1990).
Crumbaugh (dalam Bastaman, 1996) menyatakan bahwa membina
hubungan yang mendalam (encounter) dengan sesama manusia merupakan
penerapan prinsip pelayanan memberi dan menerima (take and give) yakni
berusaha mengetahui apa yang diperlukan orang lain dan kemudian
memenuhinya. Proses memenuhi (give) ini dilakukan berdasarkan naluri
kemanusiaan yaitu melalui usaha tolong menolong karena pada hakekatnya,
sesuai pandangan biologis, manusia memiliki dorongan menolong bawaan (Hogg,
2002). Oleh sebab itu, agar kegiatan ini dapat dijalankan dengan lebih efektif
maka pada abad ke-19 di Amerika Serikat, kegiatan ini secara formal didirikan
menjadi suatu profesi yang disebut sebagai pekerjaan sosial (Morales & Sheafor,
1980). Ali (2001), menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai
profesi dan adanya organisasi profesi sebagai wadah yang berfungsi memberikan
pengajaran dan pembinaan kualitas profesi. Demikian juga halnya dengan
pekerjaan sosial yang memiliki kode etik dan organisasi profesi. Oleh sebab itu
maka layaklah pekerjaan sosial disebut sebagai suatu profesi.
Menurut Siporin; Morales & Sheafor (dalam Suharto, 1997), definisi
pekerjaan sosial adalah suatu profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan
utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, keluarga dan
masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Sedangkan Skidmore,
Thackery & Farley (1994), menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu
usaha profesional untuk menolong orang memecahkan dan mencegah
masalah-masalah dalam fungsi sosial, memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan
cara-cara hidup mereka dimana orang-orang yang melakukan profesi tersebut
disebut sebagai pekerja sosial (Adi, 2004).
Secara konvensional, pekerjaan sosial biasanya dipandang sebagai suatu
profesi yang menangani permasalahan kesejahteraan sosial baik pada lingkungan
lembaga maupun masyarakat. Dalam lingkungan lembaga, pekerja sosial biasanya
bekerja pada institusi-institusi pelayanan sosial seperti lembaga rehabilitasi sosial,
pengasuhan anak, perawatan orang tua, penampungan korban narkoba dan lain
sebagainya. Sementara, pada lingkungan masyarakat, umumnya pekerja sosial
menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan pembangunan lokal
(pedesaan dan perkotaan), pengentasan kemiskinan atau perancang proyek-proyek
Di Indonesia sendiri, sering terjadi kerancuan tentang siapa yang disebut
sebagai pekerja sosial. Dalam masyarakat, ada tiga pandangan tentang pekerja
sosial. Pandangan pertama melihat pekerja sosial sebagai setiap orang yang
melakukan kegiatan menolong orang lain tanpa pamrih, tanpa mengharapkan
imbalan, berdasarkan rasa kemanusiaan dan ajaran agama. Pandangan kedua
melihat pekerja sosial sebagai orang yang menduduki jabatan fungsional pekerja
sosial yang diperuntukkan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan
pandangan ketiga melihat pekerja sosial sebagai lulusan atau alumni perguruan
tinggi jurusan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial yang mengikuti
pendidikan formal minimal strata satu (S1) atau Diploma IV yang dapat bekerja di
lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri (Thoyib, 2006).
Pada era pemerintahan presiden Suharto, didirikan Himpunan Pekerja
Sosial Indonesia (HIPSI) yang sayangnya lebih banyak didominasi oleh
orang-orang yang bukan berlatar belakang dari bidang pekerjaan sosial ataupun ilmu
kesejahteraan sosial tetapi orang-orang yang berasal dari berbagai latar pendidikan
lain (Adi, 2004). Hidayat (2004), menyatakan bahwa pekerja sosial memiliki arti
secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik
yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dunham (dalam Adi, 1994) menyatakan, karakteristik untuk menjadi
pekerja sosial adalah mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya
adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih mengutamakan
daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai perantara
agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat.
Sedangkan, mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial
baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang
membutuhkannya sesuai nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan profesional
pekerjaan sosial (Adi, 1994). Fungsi utama pekerja sosial adalah melakukan
restorasi, penyediaan sumber-sumber bagi individu dan masyarakat serta
mencegah disfungsi sosial (Skidmore dalam Adi, 1994).
Setiap profesi yang digeluti memiliki dampak negatif dan positif.
Seorang pekerja sosial terkadang menghadapi berbagai dampak negatif, salah
satunya adalah trauma sekunder. Trauma sekunder adalah masalah-masalah
khusus akibat pekerjaan misalnya trauma tidak langsung akibat membantu orang
lain yang mengalami trauma atau memiliki bentuk-bentuk reaksi yang sama
dengan subyek yang didampingi misalnya mengalami mimpi buruk, gelisah dan
ketakutan. Dampak lain adalah stres dan kelelahan kepedulian (caregiver fatigue)
dikarenakan beberapa faktor misalnya tuntutan atau beban kerja yang sangat berat,
tidak adanya masa istirahat dan kelekatan yang sangat besar pada individu yang
didampingi (Pulih, 2006) serta terjadinya burn out terutama pada pekerja sosial
perempuan yang telah menikah karena konflik peran yang dialami antara
tanggung jawab pada keluarga atau karir sebagai pekerja sosial (Morales &
Sheafor, 1980). Selain itu, tidak jarang pekerja sosial juga mengalami bias dan
prasangka sosial dari individu atau masyarakat terhadap segala aktivitas yang
“Dibayar berapa kamu kesini? Kalian orang-orang luar hanya memanfaatkan kami karena bencana ini memobilisasi uang dan menciptakan proyek-proyek” (Pulih, 2006).
Sebenarnya, merupakan hal yang wajar bila masyarakat memiliki
prasangka terhadap para pekerja sosial. Hal ini terbukti dari sejak terjadinya
bencana tsunami di kawasan paling barat Indonesia (Aceh) membuat kondisi
negara kian terpuruk sehingga mengundang banyak orang untuk membantu dan
terjadi pembludakan pekerja sosial baik dari dalam maupun luar negeri, yang
terlatih dan terorganisir maupun yang dadakan (Pitaloka, 2005). Pada saat genting
seperti ini, banyak orang mengaku sebagai pekerja sosial namun orientasi
sebenarnya adalah proyek (Koentjoro, 2003). Banyak pekerja sosial yang terampil
dari LSM lokal (di Aceh) tertarik untuk direkrut oleh Non-Government
Organizations (NGO), atau di Indonesia biasa dinamakan sebagai LSM
internasional, dimana mereka menawarkan gaji yang tinggi dan melampaui
standar upah minimum regional sehingga tidak jarang kehidupan pekerja sosial
telah menempatkan mereka sebagai konsumen kelas tinggi dan hidup mewah
(Kompas, 2005).
Selain memiliki dampak negatif, menjadi pekerja sosial juga memiliki
dampak positif yaitu adanya perasaan dibutuhkan dan merasa puas apabila dapat
menolong orang lain (Morales & Sheafor, 1980), tersalurkannya perilaku
prososial dalam pekerjaan sosial karena manusia memiliki sense of competence
dan social responsibility dalam menolong orang (Whrightsman & Deaux, 1993)
serta adanya dorongan atau motif untuk mengaktualisasikan diri dengan
Di negara-negara yang sedang berkembang (developing countries)
seperti Indonesia, menjadi seorang pekerja sosial, belum mempunyai porsi yang
mapan karena profesi ini belum begitu dikenal masyarakat dan belum mendapat
prioritas yang signifikan dari lembaga pemerintahan (Adi, 2004) seperti
Departemen Sosial yang kurang memberikan penghargaan terhadap profesi
pekerjaan sosial ini atau seperti ada kesan ambivalen dalam memberikan
penghargaan pada profesi pekerja sosial (Koentjoro, 2003).
Pada saat pekerja sosial melakukan praktek pekerjaan sosial, mereka
dituntut untuk melakukannya dengan semaksimal mungkin dan menggunakan
seperangkat nilai yang merupakan sarana pemandu dalam praktik pekerjaan
sosial. Adapun seperangkat nilai tersebut adalah pelayanan, keadilan sosial,
martabat dan keberhargaan manusia, hubungan antara manusia, integritas, dan
kompetensi (NASW, 2005). Nilai-nilai ini merupakan bentuk operasionalisasi dari
nilai makna hidup karena berdasarkan definisinya nilai adalah alat yang esensial
untuk memilah-milah pengetahuan dan mengindikasikan apa yang sesuai dengan
kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus
melakukannya (Morales & Sheafor, 1980) dan apabila berhasil merealisasikannya
maka akan dapat menemukan makna hidup.
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting serta berharga serta
memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam
kehidupan (purpose of life). Tujuan hidup bersinonim dengan makna hidup yang
merujuk pada memiliki sasaran dan misi dalam hidup serta memiliki arah hidup
Bila makna hidup tidak berhasil terpenuhi akan menyebabkan kehidupan
ini tidak bermakna (meaningless), tetapi bila berhasil memenuhinya maka akan
menyebabkan seseorang merasa kehidupan ini berguna, berharga dan berarti
(meaningful) dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness).
Dalam ilmu psikologi penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan
dikenal sebagai psychological well-being.
Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological
well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang
merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Pada intinya
psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai
aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif
(misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi
mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam
Ryff & Keyes, 1995).
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana
gambaran psychological well-being pada pekerja sosial?
I.B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
psychological well-being pada pekerja sosial.
I.D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
dan praktis.
I.D.1. Manfaat Teoritis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi
khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial yaitu mengenai
psychological well-being pada pekerja sosial
I.D.2. Manfaat Praktis
a. Memberi informasi deskriptif untuk penelitian berikutnya yang
berhubungan dengan psychological well-being serta pekerja sosial.
b. Membantu pekerja sosial lebih memahami psychological well-being-nya
sehingga dapat membenahi diri untuk dapat memberikan pelayanan yang
lebih baik lagi pada klien atau pengguna jasanya
c. Memberi informasi pada lembaga-lembaga sosial tentang psychological
well-being pekerja sosialnya sehingga dapat mengupayakan perbaikan
psychological well-being pekerja sosial yang kurang baik dan
megoptimalkan psychological well-being yang baik yang dapat
sosial dapat lebih maksimal dan berorientasi kepada kepentingan klien
atau pengguna jasa.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori- teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang
berhubungan dengan sumber makna hidup dan pekerja sosial
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian,
subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang
digunakan, uji daya beda butir pernyataan dan reliabilitas, serta metode
analisis data.
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum
hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari
teori yang relevan.
Bab V : Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperolah dari penelitian, diskusi
hasil penelitian,
serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian
atau untuk
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial
Kesehatan mental (Ryff, 1989) seringkali dikaitkan dengan tidak adanya
gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab
itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya
penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Well-being didefinisikan
sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan &
Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being yang
telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda.
Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach),
sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik.
Eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf
Aristoteles yang selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being.
Aristoteles (Ryff,1989) menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh
dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya
segala kebutuhan individu melainkan melalui tindakan nyata dimana individu
mengaktualisasikan potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan
tanggung jawab manusia sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi
individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau
Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan
karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat
seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995).
Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological well-being
sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan
evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman
akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang
membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk
memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya
meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Pada intinya
psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai
aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif
(misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi
mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam
Ryff & Keyes, 1995).
Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan psikologis yang
berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning
person, Maslow menyebutnya dengan konsep self-actualized person, dan Jung
mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyatakannya dengan
II. B. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being
yaitu :
1. Penerimaan Diri (self-acceptance)
Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang
sama dengan karakteristik individu yang mengaktualisasi diri, berfungsi optimal
dan memiliki ciri kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan
kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang
menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. (Ryff
dalam Compton, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocella, 1990)
penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang
mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya,
memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan
individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang
matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina
hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga
memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia
dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan
mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain
itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk
bimbingan dan arahan kepada orang lain (generativity). Semua ciri yang
ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep psychological
well-being.
3. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib
sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur
perilaku sendiri. Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocell, 1990) dalam
konsep aktualisasi diri, individu yang otonomi adalah individu yang memiliki rasa
puas diri yang tinggi dan mampu untuk bertahan sendirian. Individu ini akan
bertahan pada pendapatnya sendiri meskipun yang lain tidak setuju. Kekuatan
yang ada di dalam diri mampu membuat individu tersebut bertahan menghadapi
tekanan dan gangguan dari luar. Ryff (1989) menyatakan sependapat dengan
pandangan Rogers yang menyatakan bahwa individu yang otonomi merupakan
individu yang dapat menentukan kondisi diri sendiri dalam bertindak. Dalam
kondisi ini, individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri
sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan
mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan norma-norma
sosial yang berlaku atau pendapat orang lain, sehingga berpikir dan bertingkah
laku dengan cara tertentu.
Jika dikaitkankan dengan konsep Frankl (dalam Koeswara, 1992),
mengemukakan bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk menemukan arti
dari keberadaan mereka. Kebebasan ini berarti bebas untuk memilih antara
4. Penguasaan Lingkungan (enviromental mastery)
Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola
lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka
mengembangkan diri. Ini merupakan definisi karakteristik dari kesehatan mental.
Individu yang matang (dalam konsep Allport), digambarkan segabai individu
yang mampu mengelola dan mengontrol lingkungan sekitarnya. Individu juga
mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental,
serta menggunakan setiap kesempatan yang ada di lingkungan sekitar.
Partisipasi aktif dalam lingkungan dan penguasaan lingkungan merupakan
karakteristik penting dari psychological well-being.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa definisi dari dimensi
psychological well-being adalah sejauhmana pekerja sosial mampu mengelola
berbagai aktivitas eksternalnya, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang
ada, mampu memilih dan mempunyai kompetensi untuk mengelola lingkungan
yang cocok dengan kebutuhan pribadi.
5. Tujuan Hidup (purpose in life)
Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari
karakteristik individu yang memiliki psychological well-being. Individu yang
berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat
memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki
psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan
arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada
Pandangan Frankl (dalam Koeswara, 1992) tentang kesehatan psikologis
menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna (the will to meaning).
Individu yang merasa kehilangan makna hidup (meaningless), tanpa tujuan dan
arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani
kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu
tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila pekerja
sosial mengalami kondisi ini, maka ia tidak akan dapat mengisi pekerjaannya
dengan baik, merasa bosan, jemu, kosong dan hampa.
6. Pertumbuhan Pribadi (personal growth)
Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mampu mencapai
karakteristik-karektisitk pribadi dari pengalaman-pengalaman terdahulu,
melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya,
tumbuh sebagai individu dapat berfungsi secara penuh (fully functioning).
Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka
terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.
II.A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan
bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi
dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.
1. Usia
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan
kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka
semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu
tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai
dengan keadaan dirinya.
Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor
psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki
skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan
lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang
lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki
skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan
pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain
tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff
dalam Ryan & Deci, 2001).
2. Jenis kelamin
Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan
signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan
orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan
digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap
perasaan orang lain (Papalia dkk., 2001). Tidaklah mengherankan bahwa
dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap
perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan
harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa
wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat
mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.
3. Status sosial ekonomi
Ryff dkk., (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial
ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan
lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial
ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang
memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya.
4. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme
memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu
masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan
diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai
kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan
II. B. Pekerja Sosial
II.B.1. Pengertian Pekerja Sosial
Menurut Adi (2004), konsep pekerja sosial digunakan untuk
menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial yang berasal
(lulusan) dari pendidikan pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial
dimana mereka memiliki karakteristik yaitu mereka tahu bahwa pekerjaan sosial
yang dilakukannya adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih
mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan service
(pelayanan) daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai
perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di
masyarakat (Dunham dalam Adi, 1994). Mereka dapat bekerja di lembaga
pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005
tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, pekerja sosial adalah orang
yang menduduki jabatan fungsional sebagai pekerja sosial. Jabatan fungsional
pekerja sosial diperuntukan khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS)
Menurut Skidmore sebagaimana yang dikutip oleh Jusman Iskandar
(dalam Hermawati, 2001), pekerja sosial adalah orang yang bekerja atau
dikaryakan dalam suatu lembaga pelayanan sosial. Dalam lembaga sosial, pekerja
sosial dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian tergantung dimana orang
tersebut dikaryakan, misalnya pada LSM X, pekerja sosial dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu staf lapangan dan staf kantor. Staf lapangan adalah pekerja sosial
sedangkan staf kantor adalah pekerja sosial yang yang menangani hal-hal yang
berhubungan dengan lembaga misalnya administrasi (Komunikasi Personal,
2008).
Hidayat (2004), menyatakan pekerja sosial dapat diartikan secara luas,
yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang
berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau
LSM. Tugas yang diemban pekerja sosial diterjemahkan ke dalam beberapa fungsi
yaitu: a) melaksanakan pencegahan terhadap timbul dan berkembangnya masalah
sosial; b) melaksanakan rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan
peran-peran sosial yang terganggu dan c) melaksanakan pengembangan
kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan taraf
kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan potensi dan sumber-sumber.
Memberikan dukungan terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan
kualitas pelayanan sosial (Depsos RI dalam Hidayat, 2004 ).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang
dimaksud dengan pekerja sosial adalah semua pihak yang melaksanakan usaha
kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial dimana mereka lebih mengutamakan
pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi
didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.
II.B.2. Nilai-Nilai Utama dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Menurut Morales dan Sheafor (1980), nilai merupakan alat yang esensial
kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus
melakukannya. Rokeach (dalam Morales & Sheafor, 1980) menyatakan nilai
adalah suatu bentuk kepercayaan, yang letaknya pada pusat sistem kepercayaan
seseorang, mengenai bagaimana seseorang harus dan tidak harus berperilaku atau
keadan eksistensi yang berharga atau yang tidak berharga. Nilai berada di dalam
hati setiap orang yang digunakan sebagai pandangan bagaimana seharusnya
mereka hidup dan untuk menuntun aksi-aksi mereka. Begitu juga dengan pekerja
sosial yang menggunakan nilai-nilai profesi sebagai nilai penuntun (value-guided)
dalam praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980).
Menurut Morales dan Sheafor (1980), ada tiga nilai yang dibutuhkan
pekerja sosial sebagai panduan dalam praktik pekerjaan sosial yaitu nilai sebagai
gambaran istimewa manusia, nilai sebagai akibat istimewa bagi manusia dan nilai
sebagai perantara istimewa agar bisa berhadapan dengan orang, namun nilai yang
ketigalah yang biasanya digunakan dalam pekerjaan sosial karena bentuknya lebih
konkrit tidak seperti nilai yang pertama dan kedua yang bersifat abstrak.
Nilai-nilai ini terdapat dalam kode etik NASW (National Association of Social Worker)
yaitu: pekerjaan sosial berdasarkan asas kemanusiaan demokratis. Pekerja sosial
profesional didedikasikan untuk melayani kesejahteraan umat manusia,
menertibkan penggunaan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia (well-being)
dan interaksi mereka, dan mengatur sumber-sumber untuk mempromosikan
kesejahteraan manusia tanpa diskriminasi. Praktek pekerjaan sosial adalah
kegiatan kepercayaan umum (public trust) yang membutuhkan integritas, rasa
manusia, menghormati perbedaan individual, komitmen pada pelayanan dan
berdedikasi pada kebenaran.
Pekerjaan ini juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman profesional. Selain itu diperlukan
juga adanya pengetahuan, ketrampilan dan pelayanan yang akan diberikan serta
menunjukkan pelayanan yang penuh integritas dan kompetensi. Setiap anggota
dari profesi ini memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan
pelayanan pekerjaan sosial, secara konstan untuk menguji, menggunakan, dan
meningkatkan pengetahuan tentang praktek dan kebijakan sosial yang
mendasarinya serta mengembangkan filosofi dan ketrampilan profesi.
Berdasarkan nilai-nilai praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor,
1980) dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai utama pekerja sosial adalah:
a. Pelayanan (service)
Nurdin (1990) mendefinisikan pelayanan sebagai memberikan jasa
kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka dan bukan
untuk kepentingan atau keuntungan sendiri. Romanyshyn (dalam Nurdin, 1990)
menyatakan bahwa usaha pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha
memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial
individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin
berfungsinya kolektivitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta
masyarakat.
Tujuan utama pekerja sosial adalah untuk menolong orang-orang dalam
yang dilakukan bukan atas dasar ketertarikan sendiri (self-interest). Pekerja sosial
menggunakan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan untuk menolong orang lain
dalam memenuhi dan mengatasi masalah-masalah sosial. Pekerja sosial
disemangati untuk menggunakan ketrampilan profesional tanpa mengharapkan
imbalan (pro bono service).
Nilai pelayanan ini mencerminkan nilai kreatif yang terlihat dari kegiatan
yang dilakukan yaitu menolong memenuhi kebutuhan klien, memulihkan,
memelihara dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga dan
masyarakat serta menuntut pekerja sosial untuk menyelesaikan masalah sosial
yang terjadi.
b. Keadilan Sosial (Social Justice)
Pekerja sosial mengejar perubahan sosial, terutama pada individu atau
kelompok yang dihina dan terhimpit. Pekerja sosial mengusahakan perubahan
sosial yang fokus utamanya pada masalah kemiskinan, pengangguran,
diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan sosial. Kegiatan-kegiatan ini untuk
meningkatkan sensitifitas dan pengetahuan tentang tekanan, budaya dan
perbedaan etnik. Pekerja sosial berusaha untuk memastikan adanya akses pada
informasi, pelayanan dan sumber-sumber yang dibutuhkan; memiliki kesempatan
yang sama; dan partisipasi yang bermakna dalam membuat keputusan pada semua
orang.
Nilai keadilan sosial merupakan cerminan dari nilai kreatif dimana pekerja
sosial berusaha mengusahakan terjadinya perubahan sosial dan memastikan
c. Martabat dan Keberhargaan manusia (Dignity and Worth of the Person)
Pekerja sosial menghormati kelekatan antara martabat dan keberhargaan
manusia. Pekerja sosial memperlakukan setiap orang dengan penuh perhatian dan
rasa hormat, menyadari perbedaan individu, budaya dan etnik. Pekerja sosial
meningkatkan pertanggungjawaban penentuan diri (self-determining) klien secara
sosial dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas dan kesempatan bagi klien
untuk berubah dan untuk menyalurkan kebutuhan mereka. Pekerja sosial
menyadari tanggung jawab ganda mereka kepada klien dan masyarakat yang lebih
luas. Mereka mengatasi konflik antara minat klien dan minat masyarakat dengan
nilai, prinsip, etika profesi.
Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu menyadari tanggung
jawabnya sebagai pekerja sosial. Nilai ini juga mencermikan nilai bersikap yaitu
memperlakukan semua orang terutama klien dengan penuh perhatian dan rasa
hormat. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu meningkatkan
kapasitas serta kesempatan bagi klien untuk berubah serta mengatasi konflik yang
terjadi.
d. Pentingnya Hubungan Antara Manusia (Importance of Human
Relationships)
Pekerja sosial mengetahui pentingnya hubungan anatara manusia.
Pekerja sosial mengerti bahwa hubungan antara dan pada manusia merupakan
sarana penting untuk melakukan perubahan. Pekerja sosial memperlakukan
orang-orang sebagai rekan (partner) pada proses pertolongan. Pekerja sosial berusaha
mempromosikan, merestorasi, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan
individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas-komunitas
Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu mengetahui serta
mengerti bahwa hubungan manusia itu penting dan merupakan sarana penting
untuk melakukan perubahan. Nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu
memperlakukan orang-orang sebagai rekan dalam proses pertolongan. Selain itu,
nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu berusaha menguatkan hubungan
diantara individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas.
e. Integritas (Integrity)
Pekerja sosial berperilaku dengan cara yang dapat dipercayai. Pekerja
sosial secara terus menerus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan
praktek profesi pada klien. Pekerja sosial berlaku jujur, bertanggung jawab dan
meningkatkan etika praktek sesuai organisasi dimana ia berafiliasi.
Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu secara terus menyadari
misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktik profesi pada klien. Selain itu, nilai ini
juga mencerminkan nilai bersikap yaitu berlaku jujur, bertanggung jawab serta
meningkatkan etika sesuai organisasi tempat berafiliasi.
f. Kompetensi (Competence)
Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan
seseorang ketika melakukan sesuatu. Hal inilah yang dituntut dari seorang pekerja
kompetensinya dan secara terus menerus berjuang untuk mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesionalnya serta pengaplikasian
dalam praktek. Pekerja sosial harus menerima tanggung jawab atau pekerjaan
hanya atas dasar kompetensi yang diperlukan atau dibutuhkan.
Kompetensi merupakan cerminan dari nilai kreatif yaitu melakukan
pekerjaan sosial sesuai area kompetensinya dan berjuang utnuk mengembangkan
dan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengaplikasian dalam praktek.
Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu menerima suatu
tanggung jawab pekerjaan yang sesuai kompetensinya.
II. B. 3. Peran Pekerja Sosial
Menurut Zastrow (dalam Isbandi, 1994), setidak-tidaknya ada tujuh
peran pekerja sosial yaitu:
a. Enabler
Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat
mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan masalah mereka; dan
mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka
hadapi secara lebih efektif. Peran sebagai enabler ini adalah peran klasik dari
seorang community worker ataupun community organizer. Fokusnya adalah help
people (organize) to help themselves.
Ada empat fungsi utama seorang community worker yaitu (a) membantu
mengembangkan relasi interpersonal yang baik; (d) memfasilitasi perencanaan
yang efektif.
b. Broker
Peranan seorang broker (pialang) berperan dalam menghubungkan
individu ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan
ataupun layanan masyarakat (community services) yang tidak tahu di mana dan
bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan
menjalankan peran mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan
pemilik sumber daya.
c. Expert
Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli di
mana ia lebih banyak memberikan saran dan dukungan informasi dalam berbagai
area. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah
mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran tersebut lebih
merupakan sebagai masukan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat
ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.
d. Social Planner
Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai
masalah-masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut; menganalisanya; dan
menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut.
alternatif sumber pendanaan dan pengembangan konsensus dalam kelompok yang
mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan.
Peran expert dan social planner saling tumpang tindih. Seorang expert
lebih memfokuskan pada pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial
lebih memfokuskan tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan
pengimplementasian program.
e. Advocate
Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok
dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive)
di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy) yang
mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun
layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan
warga).
Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh
lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah agar
pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang tergusur,
atau pemerintah meringankan biaya pendidikan dan lain sebgainya.
f. Activist
sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan
institutional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan
sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan
keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu seperti
Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang
kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan
melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah
melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang
activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok
tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.
g. Educator
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan
mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus
mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai
beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian
ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan
untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial
berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.
Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang
bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan
Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang
kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan
melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah
melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang
activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok
tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.
g. Educator
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan
mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus
mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai
beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian
ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan
untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial
berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.
Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang
bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan
ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud
mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari
implikasi. Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan
tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi
mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata
atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan
dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif.
III.A. Pertanyaan Penelitian
Secara lebih terperinci, operasionalisasi pertanyaan dalam penelitian ini
bila dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial secara
umum?
2. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial
berdasarkan dimensi psycholocical well-being?
3. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial
berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia, status perkawinan dan lamanya
bekerja
III.B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah psychological
III.C. Definisi Operasional
III.C.1. Psycholocical Well-Being Pekerja Sosial
Psychological well-being pekerja sosial adalah hasil evaluasi atau
penilaian pekerja sosial terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas
pengalaman-pengalaman hidupnya sehari-hari.
Adapun dimensi-dimensi psycholocical well-being (Ryff dalam Snyder & Lopez,
2005) adalah :
1. Penerimaan Diri (self-acceptance)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan individu yang memiliki sikap positif terhadap diri; mengakui dan
menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas yang baik atau buruk; dan merasa
positif terhadap masa lalu. Sedangkan apabila pekerja sosial merasa kurang puas
dengan diri; merasa kecewa dengan apa yang terjasi di kehidupan masa lalu;
mengalami persoalan pada beberapa kualitas diri; dan berharap menjadi pribadi
yang berbeda dari apa yang dialami sekarang, ini diartikan bahwa skornya rendah.
2. Hubungan positif dengan orang lain (having positive relationship with
others)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan individu yang hangat, menyenangkan, memiliki hubungan yang
penuh dengan kepercayaan dengan orang lain; perhatian terhadap kesejahteraan
orang lain; mampu berempati, menyayangi dan intim terhadap orang lain;
mengerti arti saling memberi dan menerima dalam hubungan kemanusiaan.
memiliki hubungan yang penuh kepercayaan; mengalami kesulitan untuk menjadi
orang yang hangat, terbuka dan perhatian pada orang lain; merasa terisolasi dan
frustasi dengan hubungan interpersonal; tidak ingin berkompromi dalam
mempertahankan hubungan atau ikatan penting dengan orang lain.
3. Otonomi (Autonomy)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan individu yang menentukan nasib sendiri dan bebas (independen);
mampu bertahan dari tekanan sosial dengan berbagai cara pikir dan perilaku;
dapat mengendalikan perilaku dari dalam; dan mengevaluasi diri dengan standar
pribadi atau perseorangan. Sedangkan, skor rendah adalah memperhatikan
harapan dan evaluasi dari orang lain; mengandalkan penilaian dari orang lain
dalam membuat keputusan yang penting; konformitas terhadap tekanan sosial
dengan berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.
4. Penguasaan lingkungan atau keadaan (enviromental mastery)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan individu yang memiliki perasaan untuk menguasai dan
berkompetensi untuk mengelola lingkungan atau keadaan; mengontrol atauran
yang kompleks untuk kegiatan-kegiatan eksternal; melakukan penggunaan yang
efektif dari kesempatan-kesempatan yang ada disekeliling; mampu untuk memilih
dan menciptakan keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.
Sedangkan, skor rendah adalah memiliki kesulitan untuk mengatur
pekerjaan-pekerjaan setiap hari; merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki
5. Tujuan hidup (purpose in life)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan merupakan individu yang memiliki cita-cita dalam hidup dan
perasaan untuk mengarahkannya; merasa memiliki makna untuk kehidupan
sekarang dan masa lalu; menganut kepercayaan yang akan memberinya tujuan
hidup; memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sedangkan, skor rendah adalah gagal
memiliki makna hidup; hanya memiliki beberapa cita-cita atau tujuan; gagal
memiliki perasaan yang mengarahkannya; tidak melihat adanya tujuan pada
kehidupan masa lalu; tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberi
makna hidup.
6. Pertumbuhan diri (personal growth)
Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini
menggambarkan individu yang memiliki perasaan terus berkembang; melihat diri
bertumbuh dan berkembang; terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru,
memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya; melihat kemajuan dalam
diri dan perilaku sepanjang waktu; melakukan perubahan yang merefleksikan
lebih mengetahui diri dan efektif. Sedangkan, skor rendah adalah merasa stagnasi
diri mengalami stagnasi, kurang dapat mengembangkan dirinya, merasa jenuh
dengan kehidupan yang sedang dijalaninya, tidak tertarik dengan kehidupan, dan
merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.
III.D.1. Populasi dan Sampel
Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling
sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi pada penelitian ini
adalah pekerja sosial yang bekerja di pada suatu kelompok, lembaga atau instansi
tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial yang lebih mengutamakan
pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi
didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki
penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan
populasi yang dinamakan sampel. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu
sifat yang sama (Hadi, 2000). Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah
sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel
yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin
homogenitasnya.
Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Orang-orang yang tergabung pada suatu kelompok, lembaga atau instansi
tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial dan melakukan pekerjaan
sosial di lapangan
2. Dewasa (18-40 tahun)
Masa dimana seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai
memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya (Corr,
Nabe & Corr, 2003).
3. Tamat SD
Menurut Anastasi (nn), individu yang diberi inventori harus sudah
menempuh pendidikan selama 6 tahun yang di Indonesia ini setara dengan
pendidikan sekolah dasar yang diasumsikan telah dapat baca tulis.
III.D.2. Jumlah Sampel Penelitian
Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang menggunakan
analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30.
Sementara, Azwar (2001) menyatakan tidak ada angka yang dikatakan dengan
pasti, namun secara tradisional, statistika menganggap jumlah sampel lebih dari
60 orang sudah cukup banyak. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40
orang.
III.D.3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai,
dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel
yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwanti, 1994). Teknik sampling
yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling.
Incidental sampling adalah pemilihan sampel atas dasar kebetulan
responden berada pada tempat yang sama saat penelitian sedang berlangsung.
untuk dipilih menjadi anggota sampel, tetapi hanya dan kemudahan dijumpainya
sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Pemilihan
penggunaan teknik ini dengan pertimbangan kurangnya data lengkap mengenai
jumlah dan keadaan pekerja sosial di kota Medan. Alat pengumpul data akan
dibagikan kepada subjek setelah terlebih dahulu diketahui apakah subjek
memenuhi karakteristik untuk dijadikan sampel atau tidak. Adapun kelebihan
penggunaan teknik ini adalah lebih efisien, efektif dan praktis di bandingkan
dengan penggunaan teknik lain. Sedangkan kekurangannya adalah sukar
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena ia tidak menggunakan suatu prinsip
ilmiah yang kuat dan generalisasinya juga tidak dapat memberikan taraf
III. E. Metode dan Alat Pengumpul Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan
data dengan skala (Hadi, 2000). Metode skala digunakan karena data yang ingin
diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak
langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk
aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2001).
Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian
berdasarkan asumsi-asumsi berikut:
1.Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
2.Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.
Kelebihan penggunaan skala adalah proses kuantifikasi dari atribut
psikologis yang diukur hasilnya berupa angka-angka sehingga memberi gambaran
yang mudah dimengerti oleh hampir semua orang. Sedangkan keterbatasan dari
penggunakan skala adalah prosedur pengkonstruksian skala psikologi cukup rumit
dan harus dilakukan dengan penuh perencanaan serta mengikuti langkah-langkah
metodologis sehingga sumber error yang mungkin ada dapat ditekan sesedikit
mungkin. Permasalahan validitas pengukuran juga sudah harus diperhitungkan
III.E.1. Skala Psychological Well-Being
Skala psycholocical well-being yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala psikologis yang dikemukakan Ryff tahun 1989. Skala ini terdiri dari
enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan adaptasi terhadap skala tersebut karena
meyakini bahwa skala ini akan mampu mengukur psycholocical well-being orang
dewasa yang dalam hal ini adalah pekerja sosial. Pengadaptasian skala dengan
meminta bantu atau melibatkan orang-orang yang kompeten dibidangnya atau
biasanya disebut dengan professional judgement.
Skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari pernyataan
dengan enam pilihan jawaban yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Agak Setuju
(AS), Agak Tidak Setuju (ATS), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju
(STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan
unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-6, bobot
penilaian untuk pernyataan SS = 6, S = 5, AS = 4, ATS = 3, TS = 2, dan STS = 1.
Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala nilai-nilai utama pekerjaan sosial yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1
Cara Penilaian Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial
Bentuk Pernyataan SKOR
STS TS ATS AS S SS
Favorable 1 2 3 4 5 6
Butir-butir aitem skala psychological well-being disusun berdasarkan
dimensi psychological well-being dikemukakan oleh Ryff (1989) dengan blue
print pada tabel berikut ini :
Tabel 2
Blueprint skala Psychological Well-Being saat uji coba
No. Dimensi
Psychological Well-Being
Nomor Aitem Jumlah Persentase
Favorable Unfavorable
2. Hubungan Positif dengan Orang
Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian
sangat menetukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan.
Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi
(Azwar, 2001). Peneliti akan melakukan uji coba pada skala terhadap sejumlah
responden, dengan tujuan memperoleh alat ukur yang valid dan reliabel.
Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari try out adalah sebagai
berikut:
1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya
2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik,
ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.
3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati (dihindari) atau
hanya menimbullkan jawaban-jawaban dangkal.
4. Menambah aitem yang sangat perlu ataupun meniadakan aitem yang
ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.
III.F.1. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji coba alat ukur
dalam menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan
dengan menggunakan uji daya beda aitem yang tujuan dilakukannya adalah untuk
melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok
individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang
digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang
fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain,
memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
(content validity) dan validitas tampang (face validity). Validitas isi merupakan
validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional
melalui inter item consistency dan lewat professional judgement yaitu dosen
pembimbing. Selain itu, validitas isi juga diuji dengan melakukan pengujian daya
beda aitem dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem
dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan
menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian
ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks
diskriminasi aitem (Azwar, 2001).
III.F.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang
menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila
diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas
alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator
konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama.
Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan
hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997).
Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
reliabilitas konsistensi internal yaitu single trial administration dimana skala
psikologi hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai subjek.
1997). Selain memiliki memiliki keuntungan, ternyata pendekatan ini juga
memiliki kelemahan yaitu .
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha
dari Cronbach. Analisa data diperoleh melalui program SPSS version 12.0 for
windows.
III.G. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian
Penyebaran skala untuk uji coba terhadap alat ukur penelitian yaitu
dilaksanakan mulai tanggal 30 Juni 2008 sampai 17 Juli 2008 kepada 55 orang
pekerja sosial. Akan tetapi, skala yang berhasil kembali sebanyak 49 skala dengan
rincian bahwa sebanyak 40 skala dapat diolah datanya, 9 tidak diisi dengan
lengkap sesuai dengan petunjuk.
III.G.4.1 Skala Psychological Well-Being
Hasil uji coba skala Psychological Well-Being menunjukkan reliabilitas
alpha sebesar 0, 925, dengan nilai rxy aitem bergerak dari -,276 sampai 0,756.
Menurut Azwar (2004), untuk jumlah sampel 30 orang, maka aitem dianggap
memiliki daya pembeda yang memuaskan dengan nilai korelasi minimal 0, 3.
Akan tetapi, apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih kurang mencukupi
jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit
batas kriteria 0,30 menjadi 0,25. Pada umumnya, batas kriteria yang digunakan
adalah 0,3 tetapi pada satu aitem menggunakan kriteria 0,27 karena berdasarkan
hasil inter item correlation, setelah dilakukan penghapusan aitem, ternyata aitem
Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 84 aitem, dan dari 84 aitem
tersebut terdapat 55 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi dimana
aitem-aitem tersebut memiliki inter item consistency dengan nilai rxy > 0, 3. Tabel
5 menunjukkan distribusi aitem setelah uji coba.
Tabel 5
Distribusi aitem-aitem Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial setelah Uji coba
2. Hubungan Positif dengan Orang
0,950, kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada tabel 6,
aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk