• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Psychological Well-Being Pada Pekerja Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Psychological Well-Being Pada Pekerja Sosial"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

PEKERJA SOSIAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyatan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NURMAYANI MARIA SITUMORANG

041301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa, karena atas segala berkat dan kasih-Nyalah sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakults Psikologi

USU.

2. Kakak Arliza Juairiani Lubis., M. Si, Psikolog selaku dosen

pembimbing. Terima kasih Kak buat semua kesabaran, waktu, pikiran,

petunjuk, saran serta semangat yang telah kakak berikan kepada peneliti

terutama diawal-awal penelitian skripsi ini dimana peneliti sempat

merasa jenuh, bosan, tidak berdaya dan mempunyai kekuatan sehingga

menghilang beberapa bulan tetapi kakak dengan sabar dan penuh

semangat tetap mau membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Peneliti juga minta maaf karena selama ini mungkin

banyak sikap, perkataan, perbuatan atau permintaan yang telah

menyakiti hati kak Lisa. Doakan ya kak, semoga cita-cita peneliti dan

harapan kakak agar peneliti tetap mengabdikan diri dalam pekerjaan

sosial bisa peneliti penuhi.

3. Ibu Rodiatul Hassanah M, Si dan Ibu Hasnida, M.Si selaku dosen

(3)

saran, nasehat dan masukan yang akan dengan sukacita peneliti

terima.

4. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psi selaku penasehat akademis peneliti . Terima

kasih Bu atas bimbingan, nasehat, semangat dan doa yang Ibu berikan

kepada peneliti selama ini. peneliti juga memohon maaf apabila selama

ini ada sikap, perkataan, perbuatan atau tingkah laku yang menyakiti Ibu.

5. Semua staf pengajar (dosen dan asisten dosen) yang tidak bisa peneliti

sebutkan satu persatu. Terima kasih atas didikan dan pengajaran yang

telah Bapak/Ibu dosen berikan.

6. Kedua orang tua peneliti tercinta, Papa (L. Situmorang alias Tan Pek

Liang) dan Mama (M. Br Simarmata alias Tinung) di Tarutung. Terima

kasih atas cinta kasih, nasehat, doa dan dukungan moril serta materil

yang peneliti terima sejak peneliti hadir ke dunia ini. Peneliti bersyukur

dan bangga bisa hadir di tengah-tengah keluarga kita ini. Semoga

keluarga kita bisa tetap hidup harmonis dan bahagia seperti biasanya.

Maafkan semua kesalahan yang pernah peneliti lakukan semenjak

terlahir ke dunia yang indah ini. Maafkan juga karena peneliti telah

mengecewakan harapan Papa dan Mama karena tidak bisa lulus tepat

pada waktunya seperti yang kita harapkan dan cita-citakan. Doakan juga

agar peneliti bisa membahagiakan Papa dan Mama dan bisa meraih

sukses seperti yang kita harapkan.

7. Saudara-saudari peneliti terkasih (K`Tina & B`Rudi suaminya, B` Hot &

(4)

dan adik tersayang Ayu serta keponakan-keponakan yang yang lucu dan

Manis (Samuel, Kevin, Birgitta, Guido/Hangoluan dan yang akan lahir

bulan Oktober ini). Terima kasih atas cinta kasih, rasa persaudaraan serta

perhatian yang boleh peneliti rasakan selama ini. Peneliti juga berterima

kasih atas doa, semangat dan dukungan moril serta materil yang

diberikan kepada peneliti terutama di saat-saat peneliti merasa tertekan,

jatuh dan tak berdaya. Semoga Tuhan selalu memberkati hubungan

persaudaraan kita ini untuk selama-lamanya dan tidak akan ada masalah

apapun yang dapat memisahkan kita. Amin!!!!

8. Komunitas Sant` Egidio. Terima kasih karena telah menjadi sumber

inspirasi dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga karena telah

mmemberi pelajaran yang sangat berarti bagi peneliti. Banyak hal telah

peneliti rasakan selalu peneliti berada di komunitas tercinta ini terutama

apa arti melayani dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Peneliti juga

merasa hidup ini sangat indah dan bermakna. Banyak pengalaman,

pembelajaran hidup yang boleh peneliti rasakan dan membuat peneliti

semakin kuat dan bersyukur atas apa yang telah peneliti miliki dan

nikmati. Terima kasih tak terhingga juga atas persaudaraan tak terbatas

yang selama ini peneliti rasakan. Semoga kita tetap setia dan memegang

teguh panggilan hidup kita untuk melayani orang-orang miskin. Amin

9. Anak-Anak Sekolah Damai terkasih teristimewa Bobby, Karan & Karen

(5)

semua pembelajaran hidup yang boleh Bu May rasakan selama dua

tahun ini. Rajinlah belajar dan gapailah cita-cita kalian. Semangat!!!

10.Sahabat-sahabatku tercinta: Yustisi (teman KTB peneliti), Wiwik, Grace,

Ichin. Terima kasih karena atas masa-masa suka-duka yang kita alami.

11.TTM (Teman-Teman Main): Doris, Lidya, Risna, Yanti, Cimun (Puput)

dan Keong (Rosa). Kalian adalah sahabat-sahabat terbaik yang penah

peneliti miliki.

12. Teman-teman seperjuangan stambuk 2004 teristimewa Agnes (Teman

KTB peneliti), Hotpascaman, Nova, Julia, Johan, Bontor, Saut, Juneidi,

Bima, Asroni. Terima kasih telah mengisi satu episode manis dalam

kehidupan peneliti. Semoga kita sukses semuanya.

13.Yustian `05, Herti `06 & Friska `06 yang merupakan teman KTB

peneliti, Erna `06 teman satu bimbingan akademik dan Margareth `07.

terima kasih atas dukungan doa dan semangatnya. Semoga kalian sukses.

14.Senior-senior yang peneliti hormati : K` Ridhoi, K`Etenk (yang peneliti

anggap seperti kakak sendiri), Tante Atin, K` Juliana, K` Ganda, K`

Naomi, K` Tika (anak-anak KLD), B`Yandi (PKK kelompok kecil

peneliti), K`Naomi `03 (teman sekaligus senior peneliti dari mulai SMP

sampai Kuliah), K`Lestari `03, B`Frans `03, K` Sondang `03, K`

Ruslinda `02, K` Corry `03, K` Rahmi `03, dan semua yang tidak dapat

peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuannya dan semoga

(6)

15.Ibu Alamina (dosen bahasa Inggris FKM), K` Rimpun `99 serta Pak

Yahya Anwar yang telah membantu peneliti untuk mengalih bahasakan

skala yang akan peneliti gunakan.

16.semua responden peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu

baik ketika mengadakan uji coba alat ukur maupun ketika in take data.

Terima kasih atas bantuannya dan semoga Tuhan memberkati dan

membalas kebaikan anda semua.

17.Semua pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian penelitian ini

dimana peneliti tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Terima kasih

atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. Semoga Tuhan

memberkati anda semua dan semua kebaikan yang telah anda lakukan

bagi peneliti mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Amin...

Seperti kata pepatah ”Tak ada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu,

dengan segala kerendahan hati, peneliti memohon saran dan masukan yang

membangun dari semua pihak agar kelak dalam penelitian selanjutnya dapat lebih

baik lagi. Peneliti berharap semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi banyak

orang.

Sekian dan Terima Kasih

Medan, Desember 2007

Peneliti

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal lahirnya, manusia adalah makhluk sosial. Hal ini berarti

bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari dunianya karena manusia selalu ada

dan harus hidup dalam ikatan lingkungan sosial seperti keluarga, kerabat, tetangga

dan masyarakat. Keadaan ini juga disebabkan karena menurut kodratnya, manusia

merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain

sebagai mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak atau untuk mengisi,

melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan tersebut (Nurdin, 1990).

Crumbaugh (dalam Bastaman, 1996) menyatakan bahwa membina

hubungan yang mendalam (encounter) dengan sesama manusia merupakan

penerapan prinsip pelayanan memberi dan menerima (take and give) yakni

berusaha mengetahui apa yang diperlukan orang lain dan kemudian

memenuhinya. Proses memenuhi (give) ini dilakukan berdasarkan naluri

kemanusiaan yaitu melalui usaha tolong menolong karena pada hakekatnya,

sesuai pandangan biologis, manusia memiliki dorongan menolong bawaan (Hogg,

2002). Oleh sebab itu, agar kegiatan ini dapat dijalankan dengan lebih efektif

maka pada abad ke-19 di Amerika Serikat, kegiatan ini secara formal didirikan

menjadi suatu profesi yang disebut sebagai pekerjaan sosial (Morales & Sheafor,

1980). Ali (2001), menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai

(8)

profesi dan adanya organisasi profesi sebagai wadah yang berfungsi memberikan

pengajaran dan pembinaan kualitas profesi. Demikian juga halnya dengan

pekerjaan sosial yang memiliki kode etik dan organisasi profesi. Oleh sebab itu

maka layaklah pekerjaan sosial disebut sebagai suatu profesi.

Menurut Siporin; Morales & Sheafor (dalam Suharto, 1997), definisi

pekerjaan sosial adalah suatu profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan

utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, keluarga dan

masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Sedangkan Skidmore,

Thackery & Farley (1994), menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu

usaha profesional untuk menolong orang memecahkan dan mencegah

masalah-masalah dalam fungsi sosial, memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan

cara-cara hidup mereka dimana orang-orang yang melakukan profesi tersebut

disebut sebagai pekerja sosial (Adi, 2004).

Secara konvensional, pekerjaan sosial biasanya dipandang sebagai suatu

profesi yang menangani permasalahan kesejahteraan sosial baik pada lingkungan

lembaga maupun masyarakat. Dalam lingkungan lembaga, pekerja sosial biasanya

bekerja pada institusi-institusi pelayanan sosial seperti lembaga rehabilitasi sosial,

pengasuhan anak, perawatan orang tua, penampungan korban narkoba dan lain

sebagainya. Sementara, pada lingkungan masyarakat, umumnya pekerja sosial

menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan pembangunan lokal

(pedesaan dan perkotaan), pengentasan kemiskinan atau perancang proyek-proyek

(9)

Di Indonesia sendiri, sering terjadi kerancuan tentang siapa yang disebut

sebagai pekerja sosial. Dalam masyarakat, ada tiga pandangan tentang pekerja

sosial. Pandangan pertama melihat pekerja sosial sebagai setiap orang yang

melakukan kegiatan menolong orang lain tanpa pamrih, tanpa mengharapkan

imbalan, berdasarkan rasa kemanusiaan dan ajaran agama. Pandangan kedua

melihat pekerja sosial sebagai orang yang menduduki jabatan fungsional pekerja

sosial yang diperuntukkan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan

pandangan ketiga melihat pekerja sosial sebagai lulusan atau alumni perguruan

tinggi jurusan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial yang mengikuti

pendidikan formal minimal strata satu (S1) atau Diploma IV yang dapat bekerja di

lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri (Thoyib, 2006).

Pada era pemerintahan presiden Suharto, didirikan Himpunan Pekerja

Sosial Indonesia (HIPSI) yang sayangnya lebih banyak didominasi oleh

orang-orang yang bukan berlatar belakang dari bidang pekerjaan sosial ataupun ilmu

kesejahteraan sosial tetapi orang-orang yang berasal dari berbagai latar pendidikan

lain (Adi, 2004). Hidayat (2004), menyatakan bahwa pekerja sosial memiliki arti

secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik

yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau

lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dunham (dalam Adi, 1994) menyatakan, karakteristik untuk menjadi

pekerja sosial adalah mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya

adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih mengutamakan

(10)

daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai perantara

agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat.

Sedangkan, mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial

baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang

membutuhkannya sesuai nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan profesional

pekerjaan sosial (Adi, 1994). Fungsi utama pekerja sosial adalah melakukan

restorasi, penyediaan sumber-sumber bagi individu dan masyarakat serta

mencegah disfungsi sosial (Skidmore dalam Adi, 1994).

Setiap profesi yang digeluti memiliki dampak negatif dan positif.

Seorang pekerja sosial terkadang menghadapi berbagai dampak negatif, salah

satunya adalah trauma sekunder. Trauma sekunder adalah masalah-masalah

khusus akibat pekerjaan misalnya trauma tidak langsung akibat membantu orang

lain yang mengalami trauma atau memiliki bentuk-bentuk reaksi yang sama

dengan subyek yang didampingi misalnya mengalami mimpi buruk, gelisah dan

ketakutan. Dampak lain adalah stres dan kelelahan kepedulian (caregiver fatigue)

dikarenakan beberapa faktor misalnya tuntutan atau beban kerja yang sangat berat,

tidak adanya masa istirahat dan kelekatan yang sangat besar pada individu yang

didampingi (Pulih, 2006) serta terjadinya burn out terutama pada pekerja sosial

perempuan yang telah menikah karena konflik peran yang dialami antara

tanggung jawab pada keluarga atau karir sebagai pekerja sosial (Morales &

Sheafor, 1980). Selain itu, tidak jarang pekerja sosial juga mengalami bias dan

prasangka sosial dari individu atau masyarakat terhadap segala aktivitas yang

(11)

“Dibayar berapa kamu kesini? Kalian orang-orang luar hanya memanfaatkan kami karena bencana ini memobilisasi uang dan menciptakan proyek-proyek” (Pulih, 2006).

Sebenarnya, merupakan hal yang wajar bila masyarakat memiliki

prasangka terhadap para pekerja sosial. Hal ini terbukti dari sejak terjadinya

bencana tsunami di kawasan paling barat Indonesia (Aceh) membuat kondisi

negara kian terpuruk sehingga mengundang banyak orang untuk membantu dan

terjadi pembludakan pekerja sosial baik dari dalam maupun luar negeri, yang

terlatih dan terorganisir maupun yang dadakan (Pitaloka, 2005). Pada saat genting

seperti ini, banyak orang mengaku sebagai pekerja sosial namun orientasi

sebenarnya adalah proyek (Koentjoro, 2003). Banyak pekerja sosial yang terampil

dari LSM lokal (di Aceh) tertarik untuk direkrut oleh Non-Government

Organizations (NGO), atau di Indonesia biasa dinamakan sebagai LSM

internasional, dimana mereka menawarkan gaji yang tinggi dan melampaui

standar upah minimum regional sehingga tidak jarang kehidupan pekerja sosial

telah menempatkan mereka sebagai konsumen kelas tinggi dan hidup mewah

(Kompas, 2005).

Selain memiliki dampak negatif, menjadi pekerja sosial juga memiliki

dampak positif yaitu adanya perasaan dibutuhkan dan merasa puas apabila dapat

menolong orang lain (Morales & Sheafor, 1980), tersalurkannya perilaku

prososial dalam pekerjaan sosial karena manusia memiliki sense of competence

dan social responsibility dalam menolong orang (Whrightsman & Deaux, 1993)

serta adanya dorongan atau motif untuk mengaktualisasikan diri dengan

(12)

Di negara-negara yang sedang berkembang (developing countries)

seperti Indonesia, menjadi seorang pekerja sosial, belum mempunyai porsi yang

mapan karena profesi ini belum begitu dikenal masyarakat dan belum mendapat

prioritas yang signifikan dari lembaga pemerintahan (Adi, 2004) seperti

Departemen Sosial yang kurang memberikan penghargaan terhadap profesi

pekerjaan sosial ini atau seperti ada kesan ambivalen dalam memberikan

penghargaan pada profesi pekerja sosial (Koentjoro, 2003).

Pada saat pekerja sosial melakukan praktek pekerjaan sosial, mereka

dituntut untuk melakukannya dengan semaksimal mungkin dan menggunakan

seperangkat nilai yang merupakan sarana pemandu dalam praktik pekerjaan

sosial. Adapun seperangkat nilai tersebut adalah pelayanan, keadilan sosial,

martabat dan keberhargaan manusia, hubungan antara manusia, integritas, dan

kompetensi (NASW, 2005). Nilai-nilai ini merupakan bentuk operasionalisasi dari

nilai makna hidup karena berdasarkan definisinya nilai adalah alat yang esensial

untuk memilah-milah pengetahuan dan mengindikasikan apa yang sesuai dengan

kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus

melakukannya (Morales & Sheafor, 1980) dan apabila berhasil merealisasikannya

maka akan dapat menemukan makna hidup.

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting serta berharga serta

memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam

kehidupan (purpose of life). Tujuan hidup bersinonim dengan makna hidup yang

merujuk pada memiliki sasaran dan misi dalam hidup serta memiliki arah hidup

(13)

Bila makna hidup tidak berhasil terpenuhi akan menyebabkan kehidupan

ini tidak bermakna (meaningless), tetapi bila berhasil memenuhinya maka akan

menyebabkan seseorang merasa kehidupan ini berguna, berharga dan berarti

(meaningful) dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness).

Dalam ilmu psikologi penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan

dikenal sebagai psychological well-being.

Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological

well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang

merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Pada intinya

psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai

aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif

(misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi

mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam

Ryff & Keyes, 1995).

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

gambaran psychological well-being pada pekerja sosial?

I.B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran

(14)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

psychological well-being pada pekerja sosial.

I.D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

dan praktis.

I.D.1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi

khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial yaitu mengenai

psychological well-being pada pekerja sosial

I.D.2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi deskriptif untuk penelitian berikutnya yang

berhubungan dengan psychological well-being serta pekerja sosial.

b. Membantu pekerja sosial lebih memahami psychological well-being-nya

sehingga dapat membenahi diri untuk dapat memberikan pelayanan yang

lebih baik lagi pada klien atau pengguna jasanya

c. Memberi informasi pada lembaga-lembaga sosial tentang psychological

well-being pekerja sosialnya sehingga dapat mengupayakan perbaikan

psychological well-being pekerja sosial yang kurang baik dan

megoptimalkan psychological well-being yang baik yang dapat

(15)

sosial dapat lebih maksimal dan berorientasi kepada kepentingan klien

atau pengguna jasa.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori- teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang

berhubungan dengan sumber makna hidup dan pekerja sosial

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,

identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian,

subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang

digunakan, uji daya beda butir pernyataan dan reliabilitas, serta metode

analisis data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum

(16)

hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari

teori yang relevan.

Bab V : Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperolah dari penelitian, diskusi

hasil penelitian,

serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian

atau untuk

(17)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial

Kesehatan mental (Ryff, 1989) seringkali dikaitkan dengan tidak adanya

gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab

itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya

penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Well-being didefinisikan

sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan &

Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being yang

telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda.

Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach),

sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik.

Eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf

Aristoteles yang selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being.

Aristoteles (Ryff,1989) menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh

dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya

segala kebutuhan individu melainkan melalui tindakan nyata dimana individu

mengaktualisasikan potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan

tanggung jawab manusia sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi

individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau

(18)

Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan

karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat

seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995).

Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological well-being

sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan

evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman

akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang

membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk

memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya

meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Pada intinya

psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai

aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif

(misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi

mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam

Ryff & Keyes, 1995).

Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan psikologis yang

berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning

person, Maslow menyebutnya dengan konsep self-actualized person, dan Jung

mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyatakannya dengan

(19)

II. B. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being

Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being

yaitu :

1. Penerimaan Diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang

sama dengan karakteristik individu yang mengaktualisasi diri, berfungsi optimal

dan memiliki ciri kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan

kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang

menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. (Ryff

dalam Compton, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocella, 1990)

penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang

mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya,

memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan

individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang

matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina

hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga

memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia

dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan

mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain

itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk

(20)

bimbingan dan arahan kepada orang lain (generativity). Semua ciri yang

ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep psychological

well-being.

3. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib

sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur

perilaku sendiri. Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocell, 1990) dalam

konsep aktualisasi diri, individu yang otonomi adalah individu yang memiliki rasa

puas diri yang tinggi dan mampu untuk bertahan sendirian. Individu ini akan

bertahan pada pendapatnya sendiri meskipun yang lain tidak setuju. Kekuatan

yang ada di dalam diri mampu membuat individu tersebut bertahan menghadapi

tekanan dan gangguan dari luar. Ryff (1989) menyatakan sependapat dengan

pandangan Rogers yang menyatakan bahwa individu yang otonomi merupakan

individu yang dapat menentukan kondisi diri sendiri dalam bertindak. Dalam

kondisi ini, individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri

sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan

mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan norma-norma

sosial yang berlaku atau pendapat orang lain, sehingga berpikir dan bertingkah

laku dengan cara tertentu.

Jika dikaitkankan dengan konsep Frankl (dalam Koeswara, 1992),

mengemukakan bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk menemukan arti

dari keberadaan mereka. Kebebasan ini berarti bebas untuk memilih antara

(21)

4. Penguasaan Lingkungan (enviromental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola

lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka

mengembangkan diri. Ini merupakan definisi karakteristik dari kesehatan mental.

Individu yang matang (dalam konsep Allport), digambarkan segabai individu

yang mampu mengelola dan mengontrol lingkungan sekitarnya. Individu juga

mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental,

serta menggunakan setiap kesempatan yang ada di lingkungan sekitar.

Partisipasi aktif dalam lingkungan dan penguasaan lingkungan merupakan

karakteristik penting dari psychological well-being.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa definisi dari dimensi

psychological well-being adalah sejauhmana pekerja sosial mampu mengelola

berbagai aktivitas eksternalnya, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang

ada, mampu memilih dan mempunyai kompetensi untuk mengelola lingkungan

yang cocok dengan kebutuhan pribadi.

5. Tujuan Hidup (purpose in life)

Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari

karakteristik individu yang memiliki psychological well-being. Individu yang

berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat

memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki

psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan

arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada

(22)

Pandangan Frankl (dalam Koeswara, 1992) tentang kesehatan psikologis

menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna (the will to meaning).

Individu yang merasa kehilangan makna hidup (meaningless), tanpa tujuan dan

arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani

kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu

tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila pekerja

sosial mengalami kondisi ini, maka ia tidak akan dapat mengisi pekerjaannya

dengan baik, merasa bosan, jemu, kosong dan hampa.

6. Pertumbuhan Pribadi (personal growth)

Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mampu mencapai

karakteristik-karektisitk pribadi dari pengalaman-pengalaman terdahulu,

melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya,

tumbuh sebagai individu dapat berfungsi secara penuh (fully functioning).

Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka

terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.

II.A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan

bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi

dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

1. Usia

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan

(23)

kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat

seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka

semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu

tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai

dengan keadaan dirinya.

Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor

psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki

skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan

lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang

lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki

skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan

pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain

tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff

dalam Ryan & Deci, 2001).

2. Jenis kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan

signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan

orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki

digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan

digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap

perasaan orang lain (Papalia dkk., 2001). Tidaklah mengherankan bahwa

(24)

dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap

perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan

harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa

wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat

mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

3. Status sosial ekonomi

Ryff dkk., (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial

ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan

lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial

ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang

memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya.

4. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme

memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu

masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan

diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai

kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan

(25)

II. B. Pekerja Sosial

II.B.1. Pengertian Pekerja Sosial

Menurut Adi (2004), konsep pekerja sosial digunakan untuk

menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial yang berasal

(lulusan) dari pendidikan pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial

dimana mereka memiliki karakteristik yaitu mereka tahu bahwa pekerjaan sosial

yang dilakukannya adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih

mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan service

(pelayanan) daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai

perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di

masyarakat (Dunham dalam Adi, 1994). Mereka dapat bekerja di lembaga

pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005

tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, pekerja sosial adalah orang

yang menduduki jabatan fungsional sebagai pekerja sosial. Jabatan fungsional

pekerja sosial diperuntukan khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS)

Menurut Skidmore sebagaimana yang dikutip oleh Jusman Iskandar

(dalam Hermawati, 2001), pekerja sosial adalah orang yang bekerja atau

dikaryakan dalam suatu lembaga pelayanan sosial. Dalam lembaga sosial, pekerja

sosial dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian tergantung dimana orang

tersebut dikaryakan, misalnya pada LSM X, pekerja sosial dapat dibagi menjadi

dua bagian yaitu staf lapangan dan staf kantor. Staf lapangan adalah pekerja sosial

(26)

sedangkan staf kantor adalah pekerja sosial yang yang menangani hal-hal yang

berhubungan dengan lembaga misalnya administrasi (Komunikasi Personal,

2008).

Hidayat (2004), menyatakan pekerja sosial dapat diartikan secara luas,

yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang

berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau

LSM. Tugas yang diemban pekerja sosial diterjemahkan ke dalam beberapa fungsi

yaitu: a) melaksanakan pencegahan terhadap timbul dan berkembangnya masalah

sosial; b) melaksanakan rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan

peran-peran sosial yang terganggu dan c) melaksanakan pengembangan

kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan taraf

kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan potensi dan sumber-sumber.

Memberikan dukungan terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan

kualitas pelayanan sosial (Depsos RI dalam Hidayat, 2004 ).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang

dimaksud dengan pekerja sosial adalah semua pihak yang melaksanakan usaha

kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial dimana mereka lebih mengutamakan

pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi

didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.

II.B.2. Nilai-Nilai Utama dalam Praktek Pekerjaan Sosial

Menurut Morales dan Sheafor (1980), nilai merupakan alat yang esensial

(27)

kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus

melakukannya. Rokeach (dalam Morales & Sheafor, 1980) menyatakan nilai

adalah suatu bentuk kepercayaan, yang letaknya pada pusat sistem kepercayaan

seseorang, mengenai bagaimana seseorang harus dan tidak harus berperilaku atau

keadan eksistensi yang berharga atau yang tidak berharga. Nilai berada di dalam

hati setiap orang yang digunakan sebagai pandangan bagaimana seharusnya

mereka hidup dan untuk menuntun aksi-aksi mereka. Begitu juga dengan pekerja

sosial yang menggunakan nilai-nilai profesi sebagai nilai penuntun (value-guided)

dalam praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980).

Menurut Morales dan Sheafor (1980), ada tiga nilai yang dibutuhkan

pekerja sosial sebagai panduan dalam praktik pekerjaan sosial yaitu nilai sebagai

gambaran istimewa manusia, nilai sebagai akibat istimewa bagi manusia dan nilai

sebagai perantara istimewa agar bisa berhadapan dengan orang, namun nilai yang

ketigalah yang biasanya digunakan dalam pekerjaan sosial karena bentuknya lebih

konkrit tidak seperti nilai yang pertama dan kedua yang bersifat abstrak.

Nilai-nilai ini terdapat dalam kode etik NASW (National Association of Social Worker)

yaitu: pekerjaan sosial berdasarkan asas kemanusiaan demokratis. Pekerja sosial

profesional didedikasikan untuk melayani kesejahteraan umat manusia,

menertibkan penggunaan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia (well-being)

dan interaksi mereka, dan mengatur sumber-sumber untuk mempromosikan

kesejahteraan manusia tanpa diskriminasi. Praktek pekerjaan sosial adalah

kegiatan kepercayaan umum (public trust) yang membutuhkan integritas, rasa

(28)

manusia, menghormati perbedaan individual, komitmen pada pelayanan dan

berdedikasi pada kebenaran.

Pekerjaan ini juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang

diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman profesional. Selain itu diperlukan

juga adanya pengetahuan, ketrampilan dan pelayanan yang akan diberikan serta

menunjukkan pelayanan yang penuh integritas dan kompetensi. Setiap anggota

dari profesi ini memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan

pelayanan pekerjaan sosial, secara konstan untuk menguji, menggunakan, dan

meningkatkan pengetahuan tentang praktek dan kebijakan sosial yang

mendasarinya serta mengembangkan filosofi dan ketrampilan profesi.

Berdasarkan nilai-nilai praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor,

1980) dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai utama pekerja sosial adalah:

a. Pelayanan (service)

Nurdin (1990) mendefinisikan pelayanan sebagai memberikan jasa

kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka dan bukan

untuk kepentingan atau keuntungan sendiri. Romanyshyn (dalam Nurdin, 1990)

menyatakan bahwa usaha pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha

memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial

individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin

berfungsinya kolektivitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta

masyarakat.

Tujuan utama pekerja sosial adalah untuk menolong orang-orang dalam

(29)

yang dilakukan bukan atas dasar ketertarikan sendiri (self-interest). Pekerja sosial

menggunakan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan untuk menolong orang lain

dalam memenuhi dan mengatasi masalah-masalah sosial. Pekerja sosial

disemangati untuk menggunakan ketrampilan profesional tanpa mengharapkan

imbalan (pro bono service).

Nilai pelayanan ini mencerminkan nilai kreatif yang terlihat dari kegiatan

yang dilakukan yaitu menolong memenuhi kebutuhan klien, memulihkan,

memelihara dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga dan

masyarakat serta menuntut pekerja sosial untuk menyelesaikan masalah sosial

yang terjadi.

b. Keadilan Sosial (Social Justice)

Pekerja sosial mengejar perubahan sosial, terutama pada individu atau

kelompok yang dihina dan terhimpit. Pekerja sosial mengusahakan perubahan

sosial yang fokus utamanya pada masalah kemiskinan, pengangguran,

diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan sosial. Kegiatan-kegiatan ini untuk

meningkatkan sensitifitas dan pengetahuan tentang tekanan, budaya dan

perbedaan etnik. Pekerja sosial berusaha untuk memastikan adanya akses pada

informasi, pelayanan dan sumber-sumber yang dibutuhkan; memiliki kesempatan

yang sama; dan partisipasi yang bermakna dalam membuat keputusan pada semua

orang.

Nilai keadilan sosial merupakan cerminan dari nilai kreatif dimana pekerja

sosial berusaha mengusahakan terjadinya perubahan sosial dan memastikan

(30)

c. Martabat dan Keberhargaan manusia (Dignity and Worth of the Person)

Pekerja sosial menghormati kelekatan antara martabat dan keberhargaan

manusia. Pekerja sosial memperlakukan setiap orang dengan penuh perhatian dan

rasa hormat, menyadari perbedaan individu, budaya dan etnik. Pekerja sosial

meningkatkan pertanggungjawaban penentuan diri (self-determining) klien secara

sosial dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas dan kesempatan bagi klien

untuk berubah dan untuk menyalurkan kebutuhan mereka. Pekerja sosial

menyadari tanggung jawab ganda mereka kepada klien dan masyarakat yang lebih

luas. Mereka mengatasi konflik antara minat klien dan minat masyarakat dengan

nilai, prinsip, etika profesi.

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu menyadari tanggung

jawabnya sebagai pekerja sosial. Nilai ini juga mencermikan nilai bersikap yaitu

memperlakukan semua orang terutama klien dengan penuh perhatian dan rasa

hormat. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu meningkatkan

kapasitas serta kesempatan bagi klien untuk berubah serta mengatasi konflik yang

terjadi.

d. Pentingnya Hubungan Antara Manusia (Importance of Human

Relationships)

Pekerja sosial mengetahui pentingnya hubungan anatara manusia.

Pekerja sosial mengerti bahwa hubungan antara dan pada manusia merupakan

sarana penting untuk melakukan perubahan. Pekerja sosial memperlakukan

orang-orang sebagai rekan (partner) pada proses pertolongan. Pekerja sosial berusaha

(31)

mempromosikan, merestorasi, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan

individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas-komunitas

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu mengetahui serta

mengerti bahwa hubungan manusia itu penting dan merupakan sarana penting

untuk melakukan perubahan. Nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu

memperlakukan orang-orang sebagai rekan dalam proses pertolongan. Selain itu,

nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu berusaha menguatkan hubungan

diantara individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas.

e. Integritas (Integrity)

Pekerja sosial berperilaku dengan cara yang dapat dipercayai. Pekerja

sosial secara terus menerus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan

praktek profesi pada klien. Pekerja sosial berlaku jujur, bertanggung jawab dan

meningkatkan etika praktek sesuai organisasi dimana ia berafiliasi.

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu secara terus menyadari

misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktik profesi pada klien. Selain itu, nilai ini

juga mencerminkan nilai bersikap yaitu berlaku jujur, bertanggung jawab serta

meningkatkan etika sesuai organisasi tempat berafiliasi.

f. Kompetensi (Competence)

Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan

seseorang ketika melakukan sesuatu. Hal inilah yang dituntut dari seorang pekerja

(32)

kompetensinya dan secara terus menerus berjuang untuk mengembangkan dan

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesionalnya serta pengaplikasian

dalam praktek. Pekerja sosial harus menerima tanggung jawab atau pekerjaan

hanya atas dasar kompetensi yang diperlukan atau dibutuhkan.

Kompetensi merupakan cerminan dari nilai kreatif yaitu melakukan

pekerjaan sosial sesuai area kompetensinya dan berjuang utnuk mengembangkan

dan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengaplikasian dalam praktek.

Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu menerima suatu

tanggung jawab pekerjaan yang sesuai kompetensinya.

II. B. 3. Peran Pekerja Sosial

Menurut Zastrow (dalam Isbandi, 1994), setidak-tidaknya ada tujuh

peran pekerja sosial yaitu:

a. Enabler

Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat

mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan masalah mereka; dan

mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka

hadapi secara lebih efektif. Peran sebagai enabler ini adalah peran klasik dari

seorang community worker ataupun community organizer. Fokusnya adalah help

people (organize) to help themselves.

Ada empat fungsi utama seorang community worker yaitu (a) membantu

(33)

mengembangkan relasi interpersonal yang baik; (d) memfasilitasi perencanaan

yang efektif.

b. Broker

Peranan seorang broker (pialang) berperan dalam menghubungkan

individu ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan

ataupun layanan masyarakat (community services) yang tidak tahu di mana dan

bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan

menjalankan peran mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan

pemilik sumber daya.

c. Expert

Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli di

mana ia lebih banyak memberikan saran dan dukungan informasi dalam berbagai

area. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah

mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran tersebut lebih

merupakan sebagai masukan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat

ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.

d. Social Planner

Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai

masalah-masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut; menganalisanya; dan

menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut.

(34)

alternatif sumber pendanaan dan pengembangan konsensus dalam kelompok yang

mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan.

Peran expert dan social planner saling tumpang tindih. Seorang expert

lebih memfokuskan pada pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial

lebih memfokuskan tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan

pengimplementasian program.

e. Advocate

Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok

dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive)

di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy) yang

mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun

layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan

warga).

Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh

lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah agar

pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang tergusur,

atau pemerintah meringankan biaya pendidikan dan lain sebgainya.

f. Activist

sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan

institutional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan

sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan

keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu seperti

(35)

Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang

kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan

melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah

melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang

activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok

tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.

g. Educator

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan

mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus

mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai

beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian

ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah

penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian

ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan

untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial

berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.

Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang

bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan

(36)

Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang

kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan

melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah

melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang

activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok

tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.

g. Educator

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan

mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus

mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai

beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian

ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah

penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian

ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan

untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial

berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.

Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang

bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan

(37)

ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud

mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari

implikasi. Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan

tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi

mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata

atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan

dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif.

III.A. Pertanyaan Penelitian

Secara lebih terperinci, operasionalisasi pertanyaan dalam penelitian ini

bila dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial secara

umum?

2. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial

berdasarkan dimensi psycholocical well-being?

3. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial

berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia, status perkawinan dan lamanya

bekerja

III.B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah psychological

(38)

III.C. Definisi Operasional

III.C.1. Psycholocical Well-Being Pekerja Sosial

Psychological well-being pekerja sosial adalah hasil evaluasi atau

penilaian pekerja sosial terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas

pengalaman-pengalaman hidupnya sehari-hari.

Adapun dimensi-dimensi psycholocical well-being (Ryff dalam Snyder & Lopez,

2005) adalah :

1. Penerimaan Diri (self-acceptance)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan individu yang memiliki sikap positif terhadap diri; mengakui dan

menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas yang baik atau buruk; dan merasa

positif terhadap masa lalu. Sedangkan apabila pekerja sosial merasa kurang puas

dengan diri; merasa kecewa dengan apa yang terjasi di kehidupan masa lalu;

mengalami persoalan pada beberapa kualitas diri; dan berharap menjadi pribadi

yang berbeda dari apa yang dialami sekarang, ini diartikan bahwa skornya rendah.

2. Hubungan positif dengan orang lain (having positive relationship with

others)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan individu yang hangat, menyenangkan, memiliki hubungan yang

penuh dengan kepercayaan dengan orang lain; perhatian terhadap kesejahteraan

orang lain; mampu berempati, menyayangi dan intim terhadap orang lain;

mengerti arti saling memberi dan menerima dalam hubungan kemanusiaan.

(39)

memiliki hubungan yang penuh kepercayaan; mengalami kesulitan untuk menjadi

orang yang hangat, terbuka dan perhatian pada orang lain; merasa terisolasi dan

frustasi dengan hubungan interpersonal; tidak ingin berkompromi dalam

mempertahankan hubungan atau ikatan penting dengan orang lain.

3. Otonomi (Autonomy)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan individu yang menentukan nasib sendiri dan bebas (independen);

mampu bertahan dari tekanan sosial dengan berbagai cara pikir dan perilaku;

dapat mengendalikan perilaku dari dalam; dan mengevaluasi diri dengan standar

pribadi atau perseorangan. Sedangkan, skor rendah adalah memperhatikan

harapan dan evaluasi dari orang lain; mengandalkan penilaian dari orang lain

dalam membuat keputusan yang penting; konformitas terhadap tekanan sosial

dengan berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.

4. Penguasaan lingkungan atau keadaan (enviromental mastery)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan individu yang memiliki perasaan untuk menguasai dan

berkompetensi untuk mengelola lingkungan atau keadaan; mengontrol atauran

yang kompleks untuk kegiatan-kegiatan eksternal; melakukan penggunaan yang

efektif dari kesempatan-kesempatan yang ada disekeliling; mampu untuk memilih

dan menciptakan keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

Sedangkan, skor rendah adalah memiliki kesulitan untuk mengatur

pekerjaan-pekerjaan setiap hari; merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki

(40)

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan merupakan individu yang memiliki cita-cita dalam hidup dan

perasaan untuk mengarahkannya; merasa memiliki makna untuk kehidupan

sekarang dan masa lalu; menganut kepercayaan yang akan memberinya tujuan

hidup; memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sedangkan, skor rendah adalah gagal

memiliki makna hidup; hanya memiliki beberapa cita-cita atau tujuan; gagal

memiliki perasaan yang mengarahkannya; tidak melihat adanya tujuan pada

kehidupan masa lalu; tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberi

makna hidup.

6. Pertumbuhan diri (personal growth)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini

menggambarkan individu yang memiliki perasaan terus berkembang; melihat diri

bertumbuh dan berkembang; terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru,

memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya; melihat kemajuan dalam

diri dan perilaku sepanjang waktu; melakukan perubahan yang merefleksikan

lebih mengetahui diri dan efektif. Sedangkan, skor rendah adalah merasa stagnasi

diri mengalami stagnasi, kurang dapat mengembangkan dirinya, merasa jenuh

dengan kehidupan yang sedang dijalaninya, tidak tertarik dengan kehidupan, dan

merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.

(41)

III.D.1. Populasi dan Sampel

Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling

sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi pada penelitian ini

adalah pekerja sosial yang bekerja di pada suatu kelompok, lembaga atau instansi

tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial yang lebih mengutamakan

pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi

didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki

penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan

populasi yang dinamakan sampel. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu

sifat yang sama (Hadi, 2000). Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah

sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel

yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin

homogenitasnya.

Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Orang-orang yang tergabung pada suatu kelompok, lembaga atau instansi

tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial dan melakukan pekerjaan

sosial di lapangan

2. Dewasa (18-40 tahun)

Masa dimana seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai

(42)

memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya (Corr,

Nabe & Corr, 2003).

3. Tamat SD

Menurut Anastasi (nn), individu yang diberi inventori harus sudah

menempuh pendidikan selama 6 tahun yang di Indonesia ini setara dengan

pendidikan sekolah dasar yang diasumsikan telah dapat baca tulis.

III.D.2. Jumlah Sampel Penelitian

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang menggunakan

analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30.

Sementara, Azwar (2001) menyatakan tidak ada angka yang dikatakan dengan

pasti, namun secara tradisional, statistika menganggap jumlah sampel lebih dari

60 orang sudah cukup banyak. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40

orang.

III.D.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai,

dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel

yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwanti, 1994). Teknik sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling.

Incidental sampling adalah pemilihan sampel atas dasar kebetulan

responden berada pada tempat yang sama saat penelitian sedang berlangsung.

(43)

untuk dipilih menjadi anggota sampel, tetapi hanya dan kemudahan dijumpainya

sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Pemilihan

penggunaan teknik ini dengan pertimbangan kurangnya data lengkap mengenai

jumlah dan keadaan pekerja sosial di kota Medan. Alat pengumpul data akan

dibagikan kepada subjek setelah terlebih dahulu diketahui apakah subjek

memenuhi karakteristik untuk dijadikan sampel atau tidak. Adapun kelebihan

penggunaan teknik ini adalah lebih efisien, efektif dan praktis di bandingkan

dengan penggunaan teknik lain. Sedangkan kekurangannya adalah sukar

dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena ia tidak menggunakan suatu prinsip

ilmiah yang kuat dan generalisasinya juga tidak dapat memberikan taraf

(44)

III. E. Metode dan Alat Pengumpul Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan

data dengan skala (Hadi, 2000). Metode skala digunakan karena data yang ingin

diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak

langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk

aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2001).

Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian

berdasarkan asumsi-asumsi berikut:

1.Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2.Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan

dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan

kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.

Kelebihan penggunaan skala adalah proses kuantifikasi dari atribut

psikologis yang diukur hasilnya berupa angka-angka sehingga memberi gambaran

yang mudah dimengerti oleh hampir semua orang. Sedangkan keterbatasan dari

penggunakan skala adalah prosedur pengkonstruksian skala psikologi cukup rumit

dan harus dilakukan dengan penuh perencanaan serta mengikuti langkah-langkah

metodologis sehingga sumber error yang mungkin ada dapat ditekan sesedikit

mungkin. Permasalahan validitas pengukuran juga sudah harus diperhitungkan

(45)

III.E.1. Skala Psychological Well-Being

Skala psycholocical well-being yang digunakan dalam penelitian ini

adalah skala psikologis yang dikemukakan Ryff tahun 1989. Skala ini terdiri dari

enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain,

otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Dalam

penelitian ini, peneliti melakukan adaptasi terhadap skala tersebut karena

meyakini bahwa skala ini akan mampu mengukur psycholocical well-being orang

dewasa yang dalam hal ini adalah pekerja sosial. Pengadaptasian skala dengan

meminta bantu atau melibatkan orang-orang yang kompeten dibidangnya atau

biasanya disebut dengan professional judgement.

Skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari pernyataan

dengan enam pilihan jawaban yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Agak Setuju

(AS), Agak Tidak Setuju (ATS), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju

(STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan

unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-6, bobot

penilaian untuk pernyataan SS = 6, S = 5, AS = 4, ATS = 3, TS = 2, dan STS = 1.

Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala nilai-nilai utama pekerjaan sosial yang

digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1

Cara Penilaian Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial

Bentuk Pernyataan SKOR

STS TS ATS AS S SS

Favorable 1 2 3 4 5 6

(46)

Butir-butir aitem skala psychological well-being disusun berdasarkan

dimensi psychological well-being dikemukakan oleh Ryff (1989) dengan blue

print pada tabel berikut ini :

Tabel 2

Blueprint skala Psychological Well-Being saat uji coba

No. Dimensi

Psychological Well-Being

Nomor Aitem Jumlah Persentase

Favorable Unfavorable

2. Hubungan Positif dengan Orang

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian

sangat menetukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan.

Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi

(47)

(Azwar, 2001). Peneliti akan melakukan uji coba pada skala terhadap sejumlah

responden, dengan tujuan memperoleh alat ukur yang valid dan reliabel.

Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari try out adalah sebagai

berikut:

1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik,

ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati (dihindari) atau

hanya menimbullkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu ataupun meniadakan aitem yang

ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

III.F.1. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji coba alat ukur

dalam menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan

dengan menggunakan uji daya beda aitem yang tujuan dilakukannya adalah untuk

melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok

individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang

digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang

fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain,

memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes

(48)

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi

(content validity) dan validitas tampang (face validity). Validitas isi merupakan

validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional

melalui inter item consistency dan lewat professional judgement yaitu dosen

pembimbing. Selain itu, validitas isi juga diuji dengan melakukan pengujian daya

beda aitem dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem

dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan

menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian

ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks

diskriminasi aitem (Azwar, 2001).

III.F.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang

menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila

diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas

alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator

konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama.

Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan

hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997).

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

reliabilitas konsistensi internal yaitu single trial administration dimana skala

psikologi hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai subjek.

(49)

1997). Selain memiliki memiliki keuntungan, ternyata pendekatan ini juga

memiliki kelemahan yaitu .

Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha

dari Cronbach. Analisa data diperoleh melalui program SPSS version 12.0 for

windows.

III.G. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian

Penyebaran skala untuk uji coba terhadap alat ukur penelitian yaitu

dilaksanakan mulai tanggal 30 Juni 2008 sampai 17 Juli 2008 kepada 55 orang

pekerja sosial. Akan tetapi, skala yang berhasil kembali sebanyak 49 skala dengan

rincian bahwa sebanyak 40 skala dapat diolah datanya, 9 tidak diisi dengan

lengkap sesuai dengan petunjuk.

III.G.4.1 Skala Psychological Well-Being

Hasil uji coba skala Psychological Well-Being menunjukkan reliabilitas

alpha sebesar 0, 925, dengan nilai rxy aitem bergerak dari -,276 sampai 0,756.

Menurut Azwar (2004), untuk jumlah sampel 30 orang, maka aitem dianggap

memiliki daya pembeda yang memuaskan dengan nilai korelasi minimal 0, 3.

Akan tetapi, apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih kurang mencukupi

jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit

batas kriteria 0,30 menjadi 0,25. Pada umumnya, batas kriteria yang digunakan

adalah 0,3 tetapi pada satu aitem menggunakan kriteria 0,27 karena berdasarkan

hasil inter item correlation, setelah dilakukan penghapusan aitem, ternyata aitem

(50)

Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 84 aitem, dan dari 84 aitem

tersebut terdapat 55 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi dimana

aitem-aitem tersebut memiliki inter item consistency dengan nilai rxy > 0, 3. Tabel

5 menunjukkan distribusi aitem setelah uji coba.

Tabel 5

Distribusi aitem-aitem Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial setelah Uji coba

2. Hubungan Positif dengan Orang

0,950, kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada tabel 6,

aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk

Gambar

Tabel 1 Psychological Well-Being
Tabel 2  Psychological Well-Being
Tabel 5 Psychological Well-Being
Tabel 6 Psychological Well-Being
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dilihat dari kemampuan individu menerima diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dapat menentukan

Bagaimanakah gambaran Psychological Well-Being lesbian yang berusia 20 tahun keatas ditinjau dari dimensi-dimensinya, yaitu penerimaan diri, hubungn positive dengan orang

Individu yang berada dalam kategori usia dewasa awal (young) mempunyai skor yang tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup, sedangan

memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain,.. penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri sementara pada

being scale (1989) dengan aspeknya antara lain: penerimaan diri, hubungan positif.. dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup,

Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci,

yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang.. lain dan skor yang rendah pada dimensi

Individu dalam usia dewasa awal ( young ) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi