GAMBARAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
PADA
DEWASA MADYA YANG MENGALAMI
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
PUTRI MAYRITZA D. W
101301083
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
GAMBARAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
PADA
DEWASA MADYA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
PUTRI MAYRITZA D.W
101301083
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 3 Juni 2014
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Dra. Irmawati, M.Psi, Psikolog
NIP: 195301311980032001
Dewan Penguji
1. Liza Marini, M.Psi, Psikolog Penguji I/
NIP: 198105202005012003 Pembimbing ____________
2. Elvi Andriani, M.Si, Psikolog Penguji II
NIP: 196405232000032001 ___________
3. Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi
saya yang berjudul :
Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang
Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juni 2014
Putri Mayritza D. W
Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog ABSTRAK
Masa dewasa madya seharusnya menjadi masa produktif bagi seseorang dalam bekerja (Papalia, 2007). Diberhentikannya seorang dewasa madya dari pekerjaannya sebelum masa pensiun tiba mengakibatkan perubahan dengan konsekuensi negatif maupun positif yang akhirnya mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ryff (1995) menyebutkan kesjahteraan psikologis berhubungan dengan kemampuan individu dalam mengetahui potensi yang dimiliki, dan terbebas dari kecemasan dan depresi. Hal ini dilihat dari kemampuan individu menerima diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dapat menentukan pilihan sendiri dan berkembang ke arah positif (Ryff, 1995)
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian dilakukan terhadap dua orang subjek dengan menggunakan metode studi kasus. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan teknik theory based/operational construct . Data yang terkumpul diperoleh dari wawancara mendalam terhadap kedua subjek dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dialami mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, khususnya pada aspek penerimaan diri (self-acceptance) dan penguasaan lingkungan (environmental mastery) yang berubah pada kedua responden. Terlihat Respodonden 1 tetap memiliki tujuan hidup dan tetap mandiri dalam mengambil keputusan, namun memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan sekitar. Pada Responden 2, hubungannya dengan lingkungan sekitar tetap terjalin dan tetap memiliki tujuan hidup dan mandiri dalam mengambil keputusan.
Perbedaan ini terkait dengan perbedaan gender dan jumlah dukungan sosial yang didapatkan oleh kedua responden. Dukungan sosial membantu dewasa madya untuk kembali bangkit dan bertumbuh secara pribadi serta memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Psychological Well-Being After Laid Off in Middle Adulthood
Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog
ABSTRACT
Middle adulthood should be a productive time for someone at work
(Papalia, 2007). Laid off before retirement in middle adulthood make a difference
in adult life with the positive or negative consequences that affect the
psychological well-being of individuals. This is related to that proposed by Ryff
(1995). Psychological well-being associated with an individual's ability to
determine their potential, and free from anxiety and depression. It can be seen
from the individual's ability to accept themselves, to have positive relationships
with others, have a purpose in life, able to master the environment, can make
choices and growing in a positive direction (Ryff, 1995)
This study aims to look at the description of psychological well-being after
laid off in middle adult. This study was conducted on two subjects using case
study method. The sampling procedure is done by using theory-based /
operational construct. The collected data obtained from in-depth interviews with
both subject using interview guide.
The result of this study indicate that laid off affect psychological
well-being of middle adult, especially in self-acceptance and environmental mastery.
Respondent 1 has a good autonomy and have a purpose in life but has a poor
relationship with other. In the second respondent, she has a good relationship with
other and also purpose in life and good autonomy. This difference is related to
gender differences and the amount of social support obtained by the second
respondent. Social support helps middle adult to survive and growth personally as
well as having a good relationship with other
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang
telah memberikan kekuatan, keyakinan dan semangat sehingga dengan
pertolonganNya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Gambaran Psychological Well Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Kak Liza Marini, M.Psi sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam membuat skripsi ini
3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, Psikolog
sebagai dosen penguji yang telah membimbing perbaikan dari skripsi ini
sehingga skripsi ini bisa lebih baik lagi
4. Kak Arliza Juariani Lubis, selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memantau perkembangan peneliti setiap semesternya dan
mendukung peneliti agar bisa selesai tepat pada waktunya
5. Kedua orangtuaku tersayang, Papa dan Mami yang selalu memberikan
dukungan dan kehangatan ketika peneliti mulai merasa tidak bersemangat
dan selalu mendoakan peneliti dalam segala kondisi
6. Kedua adikku, Kevin dan Claudya yang memiliki peran dan cara tersendiri
dalam mendukung proses penyelesaian skripsi ini
7. Kak Nala Pasaribu & Alfredo Situmorang, duo ibu anak yang selalu bisa
menjadi pembangkit semangat dan tempat untuk menumpahkan keluh
kesah
8. Sahabatku Yohanti, Irene, Vivian, yang telah menyadarkan bahwa
harmony in disharmony itu nyata dan telah memberikan warna tersendiri
ini, abang-abang. Semoga pertalian ini akan terus berlanjut sampai akhir
zaman memisah.
9. Seluruh ibu - ibu komplek beserta atributnya yang telah memberiku ruang
untuk berimajinasi dan berekspresi lebih dalam lagi dan lebih dalam lagi.
10.Seluruh angkatan 2010 yang sudah mulai menentukan arah hidupnya
masing - masing. Terimakasih atas kebar-bar-an yang kalian tampilkan
teman. Kejadian - kejadian selama 4 tahun menjadi memori tersendiri
untuk dikenang kelak :D
11.Kak Marly, Kak Iche dan Kak Aniem yang memberi semangat dan
memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
12.Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah
menyalurkan pengetahuan dan membimbing peneliti dalam setiap mata
kuliah.
13.Terimakasih sebesar - besarnya juga peneliti haturkan kepada Om Raplin
dan Tante Retno yang telah bersedia berbagi cerita dan pengalaman
kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
14.Semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyusunan
skripsi ini
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang
membangun bagi pengembangan skripsi ini di masa mendatang
Medan, Juni 2014
Putri Mayritza D. W
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH. ... 8
1. Definisi Psychological Well-being ... 12
2. Dimensi Psychological Well-being ... 13
3. Faktor - faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being ... 16
B. BEKERJA ... 19
1. Masa Bekerja ... 20
C. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ... 21
1. Definisi Pemutusan Hubungan Kerja ... 21
2. Jenis - Jenis Pemutusan Hubungan Kerja ... 21
3. Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja ... 23
D. DEWASA MADYA ... 24
1. Definisi Dewasa Madya ... 24
2. Karakteristik Dewasa Madya ... 25
3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 28
4. Perkembangan Psikososial Dewasa Madya ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
A. PENDEKATAN PENELITIAN... 34
B. RESPONDEN PENELITIAN ... 1. Karateristik Responden ... 35
2. Jumlah Responden ... 37
3. Prosedur Pemilihan Responden... 37
4. Lokasi Penelitian ... 37
C. METODE PENGUMPULAN DATA ... 38
D. ALAT BANTU PENELITIAN ... 39
E. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 40
F. PROSEDUR PENELITIAN... 43
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 47
A. ANALISA DATA RESPONDEN 1 ... 47
B. ANALISA DATA RESPONDEN 2 ... 93
C. PEMBAHASAN ... 1. Responden 1 ... 120
2. Responden 2 ... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... A. KESIMPULAN ... 136
B. SARAN ... 139
DAFTAR TABEL
TABEL 1 Identitas Diri Responden 1 ... 47
TABEL 2 Jadwal Wawancara Responden 1 ... 48
TABEL 3 Analisa Intra Subjek Responden 1 ... 87
TABEL 4 Identitas Diri Responden 2 ... 93
TABEL 5 Jadwal Wawancara Responden 2 ... 93
TABEL 6 Analisa Intra Subjek Responden 2 ... 114
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent
Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog ABSTRAK
Masa dewasa madya seharusnya menjadi masa produktif bagi seseorang dalam bekerja (Papalia, 2007). Diberhentikannya seorang dewasa madya dari pekerjaannya sebelum masa pensiun tiba mengakibatkan perubahan dengan konsekuensi negatif maupun positif yang akhirnya mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ryff (1995) menyebutkan kesjahteraan psikologis berhubungan dengan kemampuan individu dalam mengetahui potensi yang dimiliki, dan terbebas dari kecemasan dan depresi. Hal ini dilihat dari kemampuan individu menerima diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dapat menentukan pilihan sendiri dan berkembang ke arah positif (Ryff, 1995)
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada dewasa madya yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian dilakukan terhadap dua orang subjek dengan menggunakan metode studi kasus. Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan teknik theory based/operational construct . Data yang terkumpul diperoleh dari wawancara mendalam terhadap kedua subjek dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dialami mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, khususnya pada aspek penerimaan diri (self-acceptance) dan penguasaan lingkungan (environmental mastery) yang berubah pada kedua responden. Terlihat Respodonden 1 tetap memiliki tujuan hidup dan tetap mandiri dalam mengambil keputusan, namun memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan sekitar. Pada Responden 2, hubungannya dengan lingkungan sekitar tetap terjalin dan tetap memiliki tujuan hidup dan mandiri dalam mengambil keputusan.
Perbedaan ini terkait dengan perbedaan gender dan jumlah dukungan sosial yang didapatkan oleh kedua responden. Dukungan sosial membantu dewasa madya untuk kembali bangkit dan bertumbuh secara pribadi serta memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Psychological Well-Being After Laid Off in Middle Adulthood
Putri Mayritza D. W dan Liza Marini, M. Psi, Psikolog
ABSTRACT
Middle adulthood should be a productive time for someone at work
(Papalia, 2007). Laid off before retirement in middle adulthood make a difference
in adult life with the positive or negative consequences that affect the
psychological well-being of individuals. This is related to that proposed by Ryff
(1995). Psychological well-being associated with an individual's ability to
determine their potential, and free from anxiety and depression. It can be seen
from the individual's ability to accept themselves, to have positive relationships
with others, have a purpose in life, able to master the environment, can make
choices and growing in a positive direction (Ryff, 1995)
This study aims to look at the description of psychological well-being after
laid off in middle adult. This study was conducted on two subjects using case
study method. The sampling procedure is done by using theory-based /
operational construct. The collected data obtained from in-depth interviews with
both subject using interview guide.
The result of this study indicate that laid off affect psychological
well-being of middle adult, especially in self-acceptance and environmental mastery.
Respondent 1 has a good autonomy and have a purpose in life but has a poor
relationship with other. In the second respondent, she has a good relationship with
other and also purpose in life and good autonomy. This difference is related to
gender differences and the amount of social support obtained by the second
respondent. Social support helps middle adult to survive and growth personally as
well as having a good relationship with other
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Memasuki masa dewasa madya layaknya berada dipertengahan jalan
kehidupan. Tanggung jawab menjadi bertambah berat jika dibandingkan
ketika masih muda, namun belum dapat menikmati waktu santai di masa tua .
Perubahan yang dialami masa dewasa madya bukanlah sebuah tahapan
tersendiri, melainkan penyesuaian diri terhadap situasi-situasi dalam
kehidupan seperti melihat anak-anak bertumbuh, mencapai puncak karir dan
mempersiapkan diri untuk pensiun (McCrae & Costa dalam Berk, 2007).
Sebagai individu dewasa madya , terdapat tugas perkembangan sebagai
lanjutan dari tugas yang dijalani di dewasa dini, termasuk didalamnya
mengurus keluarga dan bekerja (Papalia, Olds & Feldman, 2007).
Bekerja menjadi faktor terpenting dalam kehidupan. Di Indonesia
sendiri, jumlah pekerja yang berusia 15 tahun ke atas mencapai 176 juta jiwa
dari keseluruhan 250 juta jiwa penduduk Indonesia ((bps.go.id, 2013).
Pemilihan pekerjaan menjadi tugas perkembangan utama yang bisa
mempengaruhi seluruh struktur kehidupan baik dari segi kemampuan
finansial dan kepemilikan tempat tinggal (Lemme, 1999) . Sepertiga waktu
seseorang dihabiskan untuk bekerja (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Bekerja dapat memberikan fungsi sosial, status sosial dan relasi sosial
(Kartono, 1989). Hal ini diungkapkan melalui komunikasi personal berikut
ini.
"Bekerja itu adalah mengaplikasikan ilmu yang kita miliki. Juga untuk mengaktualisasikan diri dan pendapatan juga"
(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Dengan bekerja, seseorang bisa mendapatkan kesenangan dan
memiliki makna khusus terhadap kehidupan. Beberapa orang menganggap
bekerja sebagai sebuah identitas (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu
mulai memasuki dunia pekerjaan normalnya ketika memasuki usia dewasa
dini, berlangsung sepanjang masa dewasa dan berakhir di masa dewasa akhir
yaitu ketika memasuki masa pensiun (Lemme, 1999). Individu dewasa madya
berada dalam tahap performa yang mengagumkan karena sudah memiliki
pengalaman saat dewasa dini dan masih memiliki cukup waktu untuk
berkarya sebelum memasuki masa pensiun. Usia-usia dewasa madya yang
berada di rentang 40 - 60 tahun merupakan masa-masa berprestasi. (Hurlock,
1998). Di usia ini seseorang mencapai peningkatan karir (Santrock, 2002).
Sejalan dengan peningkatan karir, kepuasan kerja seorang dewasa madya pun
meningkat. Hal ini terjadi karena mereka sudah dapat terbiasa dengan
pekerjaan yang mereka kerjaan. (W.A. Hochwarter et al., 2001 dalam Berk,
2007). Ini pula yang dialami oleh salah satu mantan karyawan bank yang puas
dengan pekerjaannya karena sudah terbiasa dengan pekerjaa yang ia lakukan
selama 1 tahun, seperti yang diungkapkan dalam komunikasi personal
"Enaklah. Puas kerja disitu. Pendapatannya tinggi, trus kerjaan sesuai dengan disiplin ilmu kita. Selain itu bisa ketemu dengan orang-orang dan bisa jalan-jalan ke tiap-tiap cabang di seluruh Sumatera Utara."
produktif dibandingkan yang muda. Walaupun melambat, tetapi hasilnya
lebih akurat. Bahkan menurut penelitian 84 % pekerja yang sudah memasuki
dewasa madya memiliki keinginan untuk tetap bekerja walaupun mereka
sudah memiliki jaminan finansial untuk kehidupannya di masa tua
(Montenegro et al, dalam Schaie & Willis, 2011). Sepeti yang terjadi pada
komunikasi personal berikut ini
"Banyak sekali yang bisa saya dapatkan dari situ. Makanya pengennya sih bisa kerja terus. Bisa untuk tabungan pendidikan anak-anak. Keperluan rumah tangga juga. Apalagi saya kan kepala keluarga"
(Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan karyawan Bank)
Namun segala pencapaian tersebut tidak akan berhasil jika individu
diberhentikan dari pekerjaannya. Pemberhentian dari pekerjaan atau
pemutusan hubungan kerja bukanlah sesuatu yang dapat diduga - duga
kehadirannya. Pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) adalah
situasi berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan dengan
menjadi momok menakutkan bagi para pekerja. Menurut penelitian yang
dilakukan kepada para pekerja yang memiliki gelar sarjana dan berusia 45 -
65 tahun, PHK merupakan sumber ketakutan utama bagi pekerja disamping
minimnya tabungan pensiun(Cohen & Janicki-Deverts, 2012).
PHK merupakan situasi yang tidak mengenal usia atau lamanya
seseorang mengabdi dalam sebuah perusahaan ataupun dengan pekerjaannya.
PHK bisa terjadi pada siapa saja, seperti yang dialami Michael Gates Gill,
seorang direktur di perusahaan iklan terkemuka di Amerika. Ketika
menginjak umur 50 tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia dipecat
dari perusahaannya dengan alasan efisiensi dan restrukturisasi dan digantikan
oleh pekerja yang lebih muda. Awalnya ia menangis setelah mendapatkan
kabar pemecatan tersebut. Ia merasa terkejut bahwa semua yang telah ia
bangun harus berakhir begitu saja. (Oggunnaikke, 2009).
Kasus pemecatan seperti di atas merupakan segelintir dari kasus-kasus
lain. Kasus pemecatan pada pekerja yang berada di usia madya layaknya
fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul di permukaan hanyalah
segelintir dari keseluruhan kasus yang ada (Gullette, 2011). Di Medan sendiri,
jumlah penduduk yang tidak lagi bekerja sudah mencapai 9% dari total 936
ribu lebih penduduk pada tahun 2012 (bps.go.id, 2013). Dari 9% persen
tersebut beberapa diantaranya adalah individu yang seharusnya memasuki
masa produktif dan persiapan menuju pensiun, namun harus berhenti dari
PHK merupakan salah satu kejadian dalam kehidupan seseorang yang
paling membahayakan jika tidak dihadapi dengan baik (Sucher, 2013). PHK
berbahaya bagi psikologis individu, terutama bagi individu dewasa madya.
PHK termasuk ke dalam krisis paruh baya. Hal ini terjadi karena ekspektasi
individu untuk terus bekerja hingga memasuki masa pensiun tidak sesuai
dengan kenyataan bahwa individu tersebut harus berhenti dari pekerjaannya
(Papalia, 2007). Efek dari kehilangan pekerjaan bertahan lebih lama pada
dewasa madya Pemutusan hubungan kerja sama dengan kehilangan
pekerjaan. Walaupun individu tersebut kembali memiliki pekerjaan, ia tetap
memiliki perasaan tidak dapat mengontrol lingkungan pekerjaannya
(Sucher,2013). Individu juga merasa tidak dapat mengembalikan kepercayaan
dirinya seperti ketika ia bekerja dahulu, seperti yang diungkapkan dalam
komunikasi personal berikut ini
"Gak mungkin bisa setinggi kemarin (kepercayaan diri) ya. Sudah sulit mencapai setinggi itu. Sekarang sih Cuma bisa berusaha biar mencapai standarnya aja dulu."
(Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Diberhentikan dari pekerjaan memiliki beban yang sama dengan
kehilangan seseorang yang dicintai (Davis, 2009) Beban tersebut lebih
mempengaruhi fisik dan mental dewasa madya dibandingkan dewasa dini
(Berk, 2007). Beban yang dimaksud terdiri dari perubahan-perubahan yang
harus dialami seperti perubahan dari segi finansial, gaya hidup dan trauma
emosional yang menyebabkan stress. Hal ini diungkapkan dalam komunikasi
"Fisik paling jadi cepat capek, trus perut sering bermasalah. Tapi dari segi pemikiran ya yang paling itu. Pikiran menjadi lebih komplekslah ya. Karena berhubungan dengan pendapatan. CV yang dibangun juga gak berhasil."
(Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Beberapa orang mengekspresikan stressnya dengan cara yang
berbeda-beda, seperti tidak mampu mengingat kenangan bersama rekan kerja,
tidak mampu mengurus keluarga, mencari kambing hitam, dan khawatir
dengan status PHK yang disandang. Beban terberat yang paling dirasakan
adalah hilangnya kelangsungan finansial (Davis, 2009). Hal ini diungkapkan
dalam komunikasi personal berikut ini.
"Stress, bingung. Kehidupan jalan terus, sedangkan uang yang didapat terpakai sedikit demi sedikit. Mesti nutupin utang, hidupin anak istri sedangkan pendapatan istri gak bisa nutupin semuanya. Beratlah pokoknya”
(Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan
karyawan Bank)
"Anak-anak butuh uang sekolah. Suami kerjaannya juga butuh modal tinggi. Pas tahu udah gak ada pemasukan lagi, stresslah udah. Terpaksa gali lobang tutup lobang.
(Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Problem finansial menjadi masalah yang sulit dihindari terkait
pendapatan yang harus terhenti sedangkan pengeluaran dalam keluarga tetap
terjadi. Mulai dari biaya operasional rumah tangga, sampai dengan kebutuhan
anak-anak seperti uang sekolah dan uang saku. Tekanan finansial dan
kehilangan identitas diri mampu meningkatkan stress dan berujung pada
terpengaruhnya kesejahteraan hidup (psychological well-being) seseorang.
sosial seperti perubahan tingkat pendidikan, urbanisasi, tekanan politik dan
perubahan pola pekerjaan mampu mempengaruhi kepuasan hidup (life
satisfaction) seseorang dan berimbas ke psychological well-being yang
individu tersebut miliki (Bradburn dalam Ryff, 1989).
Psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) adalah dimana
individu memiliki pandangan dan sikap yang positif terhadap diri sendiri dan
orang lain serta mampu mengambil keputusan sendiri, mampu mengatur
tingkah laku sendiri dan dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup
menjadi lebih bermakna dengan cara mengeksplorasi dan mengembangkan
dirinya. Psychological well-being tidak hanya sekedar menjadi bahagia
namun juga mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu (Ryff
dalam Strauser, Lustig, & Ciftci, 2008). Psychological well-being
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk tetap berfungsi efektif
dalam kehidupan sehari-hari bahkan ketika harus menghadapi pengalaman
dan emosi yang negatif. Berfungsi efektif berarti mampu mengembangkan
potensi yang dimiliki, memiliki kontrol terhadap diri sendiri, memiliki tujuan
hidup dan memiliki hubungan positif dengan yang lain (Huppert, 2009)
Psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
usia, jenis kelamin, status ekonomi dan banyak lainnya. Jika ditinjau dari segi
usia, di beberapa area dimensi, individu dewasa madya memiliki
psychological well-being yang lebih baik dibandingkan individu yang lebih
dewasa madya, seseorang memiliki kesehatan mental yang positif . Dewasa
madya lebih memiliki otonomi namun tidak fokus dengan perkembangan diri
sendiri. Kontrol terhadap lingkungan juga meningkat dan penerimaa diri
cenderung stabil. (Papalia, 2007) Hubungan dengan orang lain juga
mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Ryff, 1989).
Psychological Well-being juga dipengaruhi oleh life event change
(perubahan dalam kehidupan). Secara teori, PHK merupakan salah satu
perubahan dalam kehidupan yang bisa mempengaruhi kepuasan hidup dan
menyebabkan absennya kesejahteraan psikologis seseorang (Huppert, 2009).
Kehilangan pekerjaan akibat PHK dapat menyebabkan kehilangan status,
kehilangan tujuan hidup dan kemampuan untuk mengatur waktu (Creed &
Macintyre dalam Papalia, 2007). Mereka juga kehilangan salah satu bagian
dari diri mereka, harga diri dan merasa tidak mampu untuk mengontrol
hidupnya lagi. (Chope dalam Dance, 2011). Jika PHK terjadi pada masa
dewasa madya, maka terjadi perbedaan perkembangan kesejahteraan hidup
pada dewasa madya tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat
bagaimanakah gambaran psychological well-being individu dewasa madya
yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. (PHK).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimana gambaran psychological well-being individu dewasa madya yang
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological
well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dilihat dari dimensi – dimensi psychological well-beingnya
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
memberi masukan bagi disiplin ilmu psikologi terutama psikologi
perkembangan berkaitan dengan psychological well-being dewasa
madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti
lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological
well-being pada individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi kepada individu dewasa madya yang
mengalami PHK bahwa psychological well-being penting untuk
meningkatkan potensi yang dimiliki oleh individu
Memberikan informasi kepada pekerja yang mengalami PHK bahwa
PHK bukanlah akhir dari segalanya tapi awal dari merealisasikan
Menjadi informasi untuk masyarakat untuk dapat memberikan
dukungan kepada pekerja yang mengalami PHK untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini akan menyajikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah penelitian rumusan permasalahan atau pertanyaan penelitian, tujuan
dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis, serta sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Pada bab ini akan diuraikan tinjauan teoritis mengenai studi ini.
Adapun teori yang digunakan adalah teori psychological well-being yang
mencakup definisi dan dimensi psychological well-being, faktor – faktor yang
mempengaruhi psychological well-being. serta definisi dan penyebab
seseorang terkena PHK dan teori mengenai individu dewasa madya.
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian kualitatif,
responden penelitian, teknik pengambilan responden, metode pengumpulan
data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum
subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian
dari teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian
serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
A.1. Definisi Psychological Well-being
Pencapaian terbaik seorang manusia adalah memperoleh
kebahagiaan. Kebahagiaan dilihat dari adanya keseimbangan antara efek
negatif dengan efek positif dalam hidup manusia (Bradburn dalam Ryff,
1989). Bradburn melakukan penelitian yang mempelajari bagaimana
perubahan sosial yang terjadi pada level makro baik dari segi level
pendidikan, urbanisasi, masalah politik dan pola pekerjaan. Perubahan sosial
yang dialami mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang yang
mengarah pada psychological well-being. Bradburn merujuk pada
Aristoteles mengenai kebahagiaan atau eudaimonia sebagai pencapaian
tertinggi pada kehidupan manusia. Eudaimonia diartikan sebagai realisasi
potensi yang dimiliki manusia daripada hanya kebahagiaan saja (Brandburn
dalam Ryff, 1989)
Aristoteles (dalam Ryff, 1989) menyebutkan bahwa kebahagiaan
merupakan kebutuhan terpenting individu untuk seseorang. Kebahagiaan
jika dikombinasikan dengan well-being (kesejahteraan) maka akan
menghasilkan suatu kualitas hidup yang sangat baik. Ryff memulai
penelitiannya mengenai hidup yang berkualitas dengan menggunakan
beberapa indikator utama yang menjadi dimensi – dimensi yang berguna
tersebut antara lain adalah penerimaan diri (self-acceptance), pertumbuhan
pribadi (personal growth), otonomi (autonomy), tujuan dalam hidup
(purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan
hubungan positif dengan orang lain.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis atau psychological well-being adalah evaluasi diri individu dalam
mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan cara dapat menerima
diri, bertumbuh secara pribadi, mampu menjalankan pilihan sendiri,
memiliki tujuan dalam hidup, mampu menguasai lingkungan sekitar dan
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain
A.2. Dimensi – dimensi Psychological Well-being
Untuk menjelaskan psychological well-being, Ryff (1989)
membaginya ke dalam enam dimensi, yaitu :
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Penerimaan diri merupakan evaluasi positif yang individu lakukan
terhadap masa lalunya dan kehidupannya sekarang. Dimensi self
acceptance berhubungan dengan pemikiran positif mengenai diri sendiri
baik mengenai hal yang postif ataupun negatif yang ada pada dirinya
Dimensi ini mengkarateristikkan individu sebagai seseorang yang
mampu mengaktualisasikan dirinya, berfungsi secara optimal dan
dewasa. Dimensi penerimaan diri ini merupakan karateristik utama dari
b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Other)
Dimensi ini berkaitan dengan adanya hubungan yang terjalin baik dan
hangat dengan orang lain. Dimensi ini termasuk didalamnya menjalin
hubungan yang hangat dan membuat orang lain menjadi nyaman serta
dicintai. Cinta dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Hubungan yang hangat menggambarkan kedewasaan yang
merupakan karateristik dari dimensi penerimaan diri. Dengan memiliki
empati dan afeksi yang ditandai dengan hubungan percintaan,
persahabatan dan hubungan lain yang erat dengan orang lain , maka
individu akan semakin mampu mengaktualisasikan dirinya dan
kesejahteraannya pun akan turut meningkat.
c. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang untuk menyadari potensi
dan bakat yang dimiliki dan mengembangkan potensi tersebut agar
psikologis individu tersebut dapat berfungsi secara optimal dan mampu
mengembangkan sumber daya baru (Awaningrum, 2007). Dalam dimensi
ini dibutuhkan suatu aktualisasi diri yang bisa digambarkan dengan
terbuka dengan pengalaman – pengalaman yang baru. Individu yang
mampu menjalani dimensi ini dengan baik, ia akan menunjukkan
karateristik seperti terbuka dengan pengalaman baru, mampu melihat
kesalahan diri dan memperbaikinya, melakukan perubahan dan
meningkatkan pengetahuan diri dan efektivitas mereka. Sedangkan
stagnasi, merasa kosong, cepat bosan dan kurang memiliki minat untuk
menjalani hidup.
d. Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini menyangkut kemandirian yang dimiliki seorang individu
dalam menjalani dan menentukan kehidupannya tanpa harus berpaku
pada orang lain. Dimensi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk
mengejar keyakinan pribadi dan kepercayaannya. Hidup yang berkualitas
adalah hidup yang independen, mandiri, menentukan nasibnya sendiri
dan bahkan mampu melawan ajaran atau kepercayaan yang biasa yang
ada namun tidak sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan pribadinya.
Individu yang menjalankan dimensi ini memiliki internal locus of control
karena ia tidak terlalu memikirkan anggapan orang lain, menentukan
segala sesuatunya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain,
menahan tekanan sosial dan mampu mengatur perilakunya berdasarkan
penilaianya sendiri serta mengevaluasi diriniya sendiri dengan standar
pribadinya
e. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi ini menyangkut kemampuan individu menguasai kehidupannya
dengan baik dan efisien dengan cara memilih ataupun menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Kemampuan
individu untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan sekitarnya
merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam rentang waktu
Individu diharapkan mampu bertindak kreatif melalui kegiatan fisik dan
mental sehingga individu mampu meningkatkan psychological
well-being-nya dan nantinya juga akan berimbas ke suksesnya seseorang
dalam menghadapi masa – masa selanjutnya. Jadi bisa dikatakan bahwa
partisipasi aktif seseorang dalam menguasai lingkungannya menjadi
bagian penting dari suatu skema mengenai fungsi psikologis yang positif.
f. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life)
Dimensi ini menyatakan bahwa seseorang yang memiliki psychological
well-being yang baik adalah individu yang memiliki tujuan hidup dan
memaknai hidupnya. Tercapainya tujuan hidup dan membawa individu
untuk mencapai kebahagiaan. Dan kebahagiaan tidak sama dengan
makna hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari menjalankan kegiatan
yang bermakna, sedangkan makan hidup merupakan hal yang dianggap
sangat penting dan berharga bagi seseorang sehingga mampu
mmeberikan nilai khusus yang layak diajdikan tujuan hidup seseorang.
(Bastaman, 2007) sehingga makna hidup di setiap orang berbeda – beda
sesuai dengan apa yang individu tersbeut anggap penting.
A.3.Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being
Ada beberapa hal yang mampu mempengaruhi tinkatan Psychological
a. Usia.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff pada tahun 1989
ditemukan bahwa ada perbedaan tingkat psychological well-being pada
orang dari beberapa kelompok usia (Ryff, 1989b;Ryff & Keyes,1995).
Ryff menggunakan 3 kategori umur yaitu young adult, middle adult dan
older adult (Ryff, 1989) dan ditemukan bahwa dimensi environmental
mastery semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Individu
dewasa akhir memiliki tingkat yang lebih rendah dibanding kategori
kelompok lainnya dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri dan
memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan
orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri, sedangkan
dewasa madya memiliki tingkat yang tinggi pada penguasaan
lingkungannya. Dan individu yang berada dalam usia dewasa awal
memiliki skor yang lebih rendah di sisi dimensi otonomi dan penguasaan
lingkungan dan personal growth yang cukup tinggi (Ryff dalam Ryan &
Deci, 2001)
b. Jenis Kelamin
Pria dan wanita memiliki tingkatan psychological well-being yang
berbeda. Wanita memiliki dimensi hubungan dengan orang lain yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini terkait dengan sensitifitas
wanita terhadap perasaan orang lain, sehingga wanita terbiasa membina
hubungan dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Personal
dimensi lainnya pria dan wanita tidak terjadi perbedaan yang signifikan.
(Ryff, 1995)
c. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi memiliki hubungan dengan dimensi tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, penerimaan diri dan pertumbuhan dirinya
dimana individu dengan status ekonomi yang tinggi akan memiliki
psychological well-being yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang
baik. Individu yang memiliki status ekonomi rendah cenderung mudah
stress dan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. (Ryff, 1989)
d. Budaya
Budaya individualisme dan kolektivisme memberikan dampak yang
berbeda pada psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Ryff
(1995) menyebutkan bahwa budaya individualis memiliki skor yang
lebih tinggi pada dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi,
sedangkan budaya kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain.
e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan orang lain kepada individu dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
psychological well-being seseorang (Devis dalam Oktintia, 2012).
Dukungan sosial disini merupakan perhatian, pertolongan dan rasa
dukungan ini bisa berasal dari mana saja, bisa saja pasangan, keluarga,
teman ataupun organisasi sosial.
f. Locus of Control (LOC)
Locus of Control merupakan suatu kepecayaan yang dimiliki seseorang
mengenai kontrol terhadap peristiwa yang dialami (Rotter dalam (Schultz
& Schultz, 1994). Robinson et.al (dalam Oktintia, 2012) mengemukakan
bahwa locus of control dapat memberikan gambaran terhadap well-being
seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya
memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding
individu dengan locus of control eksternal.
B. BEKERJA
Bekerja menjadi fokus utama dalam perkembangan masa dewasa
(Lemme, 1999). Setiap manusia harus memiliki dan menjalankan sebuah
pekerjaan untuk memenuhi tugas perkembangannya. Memilih sebuah
pekerjaan menjadi bagian dari tugas perkembangan utama seseorang yang
nantinya bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan.
Bekerja mampu memenuhi beberapa kebutuhan manusia. Selain untuk
kepentingan finansial, terdapat aspek lain yang dapat terpenuhi ketika
seseorang memiliki pekerjaan. Menurut Lemme (1999), aspek-aspek tersebut
terkait dengan harga diri, penerimaan sosial, status sosial, sebagai jalan
masuk bagi masa dewasa, menjadi struktur kehidupan, menghindari
otonomi, dan makna bekerja) serta generativitas. Bekerja juga mampu
memberikan identitas dan integrasi sosial kepada seseorang. (Newman &
Newman, 2011). Lemme (1999) juga menyebutkan bahwa bekerja sering
digunakan sebagai simbol kemandirian, keamanan finansial dan well-being.
Bekerja memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap individu tergantung
dari karateristik individu dan pekerjaan yang dilakukannya. Makna dari
pekerjaan itu sendiri berubah seiring usia. Orang yang lebih tua akan lebih
menempatkan nilai dari pekerjaan tersebut dibandingkan finansialnya (Birren,
dalam Lemme 1999).
B.1.Masa Bekerja
Terdapat perbedaan masa bekerja bagi seseorang sampai diputuskan
untuk berhenti bekerja dan menjalani masa pensiun. Seseorang dapat bekerja
setelah memasuki usia 18 tahun, terkecuali pekerjaan ringan yang dapat
dimulai ketika berusia 16 tahun (Undang - Undang Republik Indonesia,
Nomor 20 Tahun 1999). Di Indonesia sendiri terdapat berbagai jenis
pekerjaan dan beragam batas usia pensiun sesuai dengan pekerjaannya. Untuk
Pegawai Negeri Sipil, batas usia pensiun bagi PNS pada umumnya
berdasarkan Undang - Undang Aparatur Sipil Negara adalah 58 tahun
(ANTARA News, 2014). Sedangkan untuk yang bekerja di sektor swasta
dapat berlangsung lebih cepat lagi. Normalnya seseorang yang bekerja di
sektor swasta akan mengalami pensiun di usia 55 tahun, walaupun ada
beberapa perusahaan yang menetapkan batas usia pensiunnya hingga 60
C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
C.1.Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja
dikarenakan suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. (UU No.13 tahun 2003
pasal 1 butir 25). Manulang (2001) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan
kerja adalah berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan
dengan yang menerima dan menjalankan pekerjaan (pekerja) dan pekerja
tersebut mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas disimpulkan pemutusan hubungan kerja
adalah berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dan
pekerja mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya
C.2.Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Rosyid (dalam Harahap, 2010) membagi Pemutusan Hubungan Kerja
ke dalam 2 bagian, yaitu :
1. PHK dalam Kondisi Normal
PHK dalam kondisi normal mempunyai makna pemutusan hubungan kerja
yang memang sudah memasuki waktunya dikarenakan pekerja sudah
memasuki masa purna bakti. Dalam kondisi normal, PHK jenis ini akan
menimbulkan perasaan yang membahagiakan dikarenakan setelah
bertahun – tahun bekerja sesuai dengan peran yang berada di perusahaan
maka tiba saatnya untuk memperoleh penghargaan atas semua jerih
bagian dari pemutusan hubungan kerja secara normal,, dikarenakan
pekerja dengan sadar mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan
memulai karirnya dari awal
2. PHK dalam Kondisi Tidak Normal
Berkembangnya suatu perusahaan tergantung oleh lingkungan tempat
perubahaan tersebut beroperasi dan tergantung perolehan dukungan agar
perusahaan tersebut tetap bertahan (Robbins dalam Harahap, 2010).
Tuntutan yang berasal dari dalam dan luar (inside & outside stakeholder)
dapat membuat sebuah perusahaan melakukan perubahan termasuk di
dalamnya penggunaan tenaga kerja (Harahap, 2010). Dan dampak dari
pengurangan tenaga kerja ini adalah pemutusan hubungan kerja.
Flippo (1981, dalam Edwin, 2003) membagi pemutusan hubungan
kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layoff : Keputusan yang diberikan kepada pekerja yang walaupun
memiliki kualifikasi yang membanggakan, namun tetap harus
dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan jasanya.
b. Outplacement : Keputusan yang diambil dikarenakan perusahaan ingin
mengurangi banyak tenaga kerja baik profesional, manajerial ataupun
pelaksana biasa. Hal – hal yang menyebabkan sebuah perusahaan
mengambil keputusan ini adalah untuk mengurangi karyawan yang
performansinya tidak memuaskan, mengurangi orang – orang yang
dianggap kurang memiliki kompetensi kerja dan orang-orang yang
c. Discharge : Keputusan ini diambil berdasarkan bukti lapangan bahwa
pekerja kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
C.3.Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Stress muncul ketika seseorang menganggap sebuah kejadian sebagai
kejadian yang menakutkan, tidak dapat dihadapi dan merasa putus asa dalam
menghadapinya (Lemme, 1999). Situasi yang paling menimbulkan stress
adalah situasi yang berhubungan dengan kehilangan ataupun ekspektasi yang
terlalu tinggi yang sudah ditetapkan oleh individu (Hobfoll dalam Lemme,
1999). Pemutusan Hubungan kerja menimbulkan konsekuensi psikologis
yang sangat besar bagi individu (Paul & Moser, 2009). Pemutusan hubungan
kerja menyebabkan seseorang mengalami kehilangan baik dari segi
kehilangan pekerjaan, rutinitas, finansial dan kehilangan identitas di
masyarakat (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Segala bentuk
kehilangan yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja mempengaruhi fisik
dan psikologis individu (Journal Of Occupation Health Psychology Vol 7 No
4 dalam Dance 2011). Gangguan fisik yang biasa pada seseoran yang berhenti
bekerja adalah hipertensi (Papalia, 1998). Penelitian lain menunujukkan
bahwa seseorang yang tidak bekerja cenderung mengalami masalah dengan
jantung dan melemahnya sistem imun (Cohen, Kemeny, & Zegans, 2007).
Selain fisik, mental seseorang pun dapat terganggu akibat pemutusan
hubungan kerja. Seseorang yang diberhentikan dari pekerjaannya cenderung
Segala tekanan mental yang terjadi dapat mempengaruhi psychological
well-being seseorang (Bradburn dalam Ryff, 1989)
D. DEWASA MADYA
D.1.Definisi Dewasa Madya
Hurlock (1998) menyebutkan bahwa masa dewasa madya dimulai dari
usia 40 - 60 tahun. Sedangkan jika dilihat dari sudut konteks keluarga,
dewasa madya merupakan masa dimana individu memiliki anak yang sedang
tumbuh dan memiliki orangtua yang sudah lanjut usia (Papalia, Olds, &
Feldman, 2007).
Pada masa ini individu mulai memiliki berbagai tanggung jawab dan
peran seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus usaha,
membesarkan anak, merawat orangtua dan memulai karir baru (Papalia, Olds,
& Feldman, 2007). Individu di masa ini memiliki keadaan fisik, kognitif dan
emosi yang baik dan nyaman dengan kualitas hidupnya. Masa dewasa madya
sering disebut masa krisis dikarenakan di masa ini seseorang kembali
meninjau target dan aspirasinya dan menentukan apa – apa saja yang akan
dilakukan untuk menjalani sisa hidup (Lachman & James dalam Papalia, Olds
& Feldman, 2007).
Boyd & Bee (2009) menyebutkan bahwa kecenderungan individu
untuk bekerja di masa dewasa madya masih tinggi. Mereka
mengkarateristikkannya kedalam dua perspektif dimana Boyd & Bee melihat
bahwa performa kerja individu dewasa madya meningkat walaupun terjadi
meningkat di masa ini. Hal itu dikarenakan individu memperoleh upah yang
besar sesuai pertambahan usianya dan karena individu tersebut telah berada di
posisi yang lebih aman dari sebelumnya. (Santrock, 2002)
Di usia dewasa madya, individu akan lebih berfokus pada otonomi
dalam bekerja, kesempatan untuk individu untuk mendapatkan jabatan yang
lebih tinggi, pencapaian personal, kebebasan untuk lebih kreatif dan
kebutuhan untuk melihat suatu pekerjaan mampu memberikan kontirbusi
yang nyata dalam kehidupan (Clausen dalam Hoyer, Rybash, & Roodin,
1999)
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dewasa madya merupakan
masa yang dimulai dari usia 40 - 60 tahun dan memiliki tanggungan keluarga
serta merupakan masa dengan berbagai tanggung jawab dan peran baik dalam
keluarga dan pekerjaan.
D.2.Karateristik Dewasa Madya
Masa dewasa madya adalah masa yang sangat ditakuti dari berbagai
rentang kehidupan. Karena di masa ini seseorang sudah harus mengevaluasi
apa yang ia rancang di masa dewasa dini dan apa yang harus ia lakukan di
masa dewasa lanjut. Menurut Hurlock (1998), Masa dewasa madya
diasosiasikan dengan beberapa karaterstik, yaitu :
a. Masa yang ditakuti
Stereotipe-stereotipe yang muncul di tengah masyarakat mengakibatkan
penurunan fungsi mental dan fisik serta berhentinya reproduksi menjadi
hal utama dari ketakutan individu dewasa madya
b. Masa transisi
Masa dewasa madya merupakan masa transisi dimana individu harus
melepaskan ciri-ciri jasmani dan perilakunya di masa dewasa dini dan
menyesuaikan diri dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru.
Biasanya ini berhubungan dengan masa transisi keperkasaan seorang pria
dan kesuburan seorang wanita
c. Masa stress
Perubahan yang terlalu drastis terkadang berimbas kepada psikologis
individu di masa ini. Marmor (dalam Hurlock, 1998) membagi kategori
stress yang dihadapi dewasa madya menjadi empat bagian termasuk
didalamnya stress somatik, stress budaya, stress ekonomi dan stress
psikologis
d. Usia yang berbahaya
Di masa ini dikatakan usia yang berbahaya karena di masa inilah terjadi
rasa cemas yang berlebihan, penurunan fungsi fisik dan kurang
memperhatikan diri sendiri. Di beberapa kasus terdapat kemungkinan
bunuh diri ketika tidakmampu mencapai targetnya.
e. Usia canggung
Masa ini merupakan masa canggung karena dewasa madya berada
ada kepastian apakah individu ini masih pantas disebut muda namun
apakah sudah pantas ia disebut tua.
f. Masa berprestasi
Di masa ini performa seseorang untuk menghasilkan sesuatu itu
meningkat. Hal itu dilakukan untuk mencapai generativitas dan tidak
hanya berdiam diri dan mengalami stagnasi. Masa ini merupakan masa
berprestasi dikarenakan di masa ini individu udah berada di puncak
karirnya. Mereka akan puas terhadap hasil yang sudah diperoleh sepanjang
dewasa dini dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai
memasuki usia pensiun. Di masa ini juga masa di mana pendapatan
meningkat secara signifikan.
g. Masa evaluasi
Masa ini menjadi masa evaluasi terhadap apa yang sudah dicapainya
sepanjang dewasa madya. Keinginan-keinginan dan tujuan apa yang sudah
tercapai dan belum tercapai. Jika berhubungan dengan puncak karir, maka
individu dewasa madya akan mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan
aspirasi yang sudah ditentukan sejak awal.
h. Masa dengan standar ganda
Individu dievaluasi melalui dua aspek utama, yaitu jasmani dan sikap.
Aspek perubahan jasmani termasuk didalamnya ketika rambut sudah
mengendur. Dari segi sikap terdiri dari merasa diri tetap muda dan aktif ,
dan secara perlahan menua dengan anggun dan lambat serta hati-hati.
i. Masa sepi
Masa sepi disini maksudnya adalah ketika anak sudah mulai meninggalkan
rumah dan memulai kehidupannya sendiri (emptynest). Namun selain itu
masa sepi disini termasuk didalamnya masa sepi dalam kehidupan
perkawinannya.
j. Masa jenuh
Individu di masa ini sudah mulai jenuh dengan kegiatan yang
dilakukannya sehari-hari. Misalnya pada wanita yang sudah mulai jenuh
untuk mengurus rumah dan anak-anak , dan pria yang mulai
mempertanyakan kegiatan sehari - harinya
D.3.Tugas Perkembangan Dewasa Madya
Ada 4 kategori yang menjadi tugas utama dalam perkembangan
masa dewasa madya (Havighurst dalam Hurlock, 1998), yaitu :
a. Berkaitan dengan perubahan fisik
Menyadari perubahan fisik yang tidak seberfungsi dulu dan mulai
menyesuaikan diri dengna perubahan fisik yang terjadi seperti perubahan
dalam penampilan, kemampuan indra yang menurun, perubahan pada
kemampuan seksual (menopause pada wanita dan klimakterik pada pria)
b. Tugas yang berkaitan dengan perubahan kejuruan
Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan dengan
cara bekerja
c. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.
Tugas ini berkaitan dengan menyesuaikan diri denga orang tua yang
lanjut usia serta membantu mengarahkan anak – anak yang sudah
beranjak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
D.4.Perkembangan Psikososial Dewasa Madya
Masa dewasa madya merupakan periode yang cukup stabil walaupun
dipenuhi dengan berbagai tanggung jawab. Bahkan Abraham Maslow dan
Carl Rogers menyebutkan bahwa masa dewasa madya memiliki kesempatan
untuk berubah ke arah yang lebih positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Di masa ini pula individu dewasa madya mengalami berbagai jenis krisis
yang mempengaruhi psikologis individu. Krisis paruh baya atau yang sering
disebut dengan mid-life crisis adalah kenyataan yang dihadapi tidak berjalan
sesuai dengan ekspektasi yang dimiliki seseorang di usia dewasa madya
(Lachman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) Menurut Erikson, dewasa
madya berada dalam tahap generativitas. Generativitas merupakan kepedulian
pada orang dewasa dalam membangun dan mengarahkan generasi berikutnya
(Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kepedulian ini kemudian menciptakan
kesejahteraan bagi individu dan mempengaruhi lingkungan menjadi lebih
individu itu akan berhenti di tempat dan mengalami stagnasi yang membuat
hidupnya mengalami kekosongan (Papalia, Olds, & Feldman, 2007)
E. PsychologicalWell-being Dewasa madya Yang Mengalami PHK
Dewasa madya merupakan masa dimana seorang individu memiliki
tugas perkembangan, dimana salah satu tugas tersebut adalah bekerja. Bekerja
menjadi tanda kemandirian, keamanan finansial, diterima secara sosial serta
dan kesejahteraan pribadi (McConnel & Beitler dalam Lemme 1999). Dengan
bekerja pula seseorang bisa menunjukkan dan mengembangkan aspek dan
kebutuhan pribadinya (Lemme, 1999). Gambaran diri seseorang pun dapat
terbentuk melalui sebuah pekerjaan (Kinderman dalam Dance, 2011). Dalam
masa dewasa madya, individu menikmati hasil-hasil pekerjaan mereka yang
sudah dibangun sejak masih dewasa dini. Individu di masa ini akan berfokus
pada berapa lama waktu yang ia miliki sebelum pensiun dan berpacu dengan
waktu tersebut untuk mencapai tujuan – tujuannya. Namun hal itu bisa
terhambat jika individu tidak memiliki pekerjaan akibat pemutusan hubungan
kerja / pemecatan.
Pemutusan hubungan kerja adalah berhentinya hubungan kerja antara
pemilik perusahaan dengan pekerja. Pemutusan hubungan kerja membuat
individu menjadi tidak bekerja dan mengalami masa pensiun sebelum
waktunya. Hal ini termasuk kedalam salah satu krisis yang dialami oleh
individu yang memasuki dewasa madya, dimana ekspektasinya dapat bekerja
hingga memasuki usia pensiun harus kandas dikarenakan pemutusan
hubungan kerja mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan. Kehilangan
pekerjaan menjadikan sebuah pekerjaan yang awalnya dianggap tantangan
yang harus dihadapi malah menjadi bumerang yang melemahkan psikologis
dewasa madya (Blustein, dalam Dance, 2011). Kehilangan pekerjaan akibat
PHK mengakibatkan seseorang kehilangan identitas diri, menjadi sulit
menyesuaikan diri dan merasa tidak mampu mengontrol hidupnya lagi.
Seseorang yang mengalami pemecatan juga mengalami penurunan
harga diri dan kepuasan hidup. Menurut penelitian, lebih dari 24.000 individu
mengalami penurunan kepuasan hidup ketika tidak bekerja dan tidak dapat
kembali ke tingkat semula walaupun sudah mendapatkan pekerjaan kembali
(Santrock, 2002). Penelitian lain menyebutkan bahwa diberhentikan dari
pekerjaan berdampak buruk bagi individu, khususnya dewasa madya karena
menimbulkan rasa terbuang dan merasa tidak memiliki kontrol dalam
kehidupan (Barling dalam Australian Psychological Society Ltd., 2000).
Kehilangan pekerjaan juga mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap
kesuksesan di situasi lainnya. Kehilangan pekerjaan membuat seseorang
merasa tidak memiliki harapan sukses lagi walaupun ia sudah mendapat
pekerjaan baru. Ia merasa kehilangan harga diri dan tak mampu mengontrol
kehidupannya. Ketidakmampuan menguasai kehidupan berujung pada
terpengaruhnya Psychological Well-being (kesejahteraan psikologis)
seseorang. Psychological well-being merupakan konstruk yang dirumuskan
oleh Carol D. Ryff (1995), terdiri dari 6 dimensi yang dapat mengungkap
individu dapat dilihat dari dari kemampuan individu menguasai lingkungan
sekitarnya, mejalankan apa yang menjadi pilihannya, memiliki tujuan hidup,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, terus berkembang dan dapat
menerima dirinya (Ryff, 1989)
Seseorang yang mengalami pemecatan akan mengalami perubahan
kesejahteraan hidup (Kalleberg, 2009). Individu yang mengalami PHK ketika
memasuki dewasa madya menjadi tidak mampu menerima dirinya. Seseorang
yang tidak mampu menerima dirinya tidak dapat menyadari potensi yang dia
miliki untuk bisa bangkit dari situasi PHK yang dialami. Ia tidak sadar dapat
membangun karir baru. Ia juga mengalami gangguan dalam menilai kembali
tujuan hidup dan prestasi apa yang harus dicapainya (Broomhall & Winefield
dalam Berk, 2007). Hal ini nantinya akan mempengaruhi generativitas dari
dewasa madya tersebut. Ia juga memiliki hubungan yang tidak terlalu positif
dengan lingkungan karena merasa lingkungan sudah tidak lagi bersahabat
dengannya. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat mempengaruhi mental
secara signifikan. Seseorang yang kehilangan pekerjaan 4 kali lebih rentan
mengalami gangguan mental dibandingkan para pekerja (Mental Health
F. Paradigma Teoritis identitas dan kegiatan sehari - hari
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif
merupakan pendekatan yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
mempelajari isu yang dipilih secara terperinci dan dalam (Patton, 1990)..
Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses yang mencoba
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang
terjadi pada interaksi manusia (Marshal & Rossman, 1998). Individu dewasa
madya yang sedang berada dalam usia produktif untuk bekerja namun harus
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan mengalami perubahan
psychological well-being dan mempengaruhi tugas perkembangannya.
Perubahan dan pengaruh tersebut mempunyai kompleksitasnya sendiri.
Melalui penelitian kualitatif, data akan terus digali sampai ditemukan
gambaran mengenai psychological well-being individu dewasa madya yang
mengalami pemutusan hubungan kerja. Yang diharapkan dari peneliti setelah
menggunakan penelitian kualitatif ini adalah peneliti dapat memperoleh
pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti sehingga
peneliti mampu melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut
mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal
yang turut mempengaruhi responden penelitian. Dibandingkan dengan data
mendalam yang didapatkan melalui metode kualiatif ini bisa menunjukkan
informasi-informasi lain yang dianggap penting dalam menggambarkan
psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami pemutusan
hubungan kerja.
Tipe penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah studi
kasus. Penelitian dengan menggunakan pendekatan studi kasus bertujuan
untuk dapat memperoleh pemahaman utuh dari dimensi dimensi pada kasus
yang diteliti tanpa bermaksud menghasilkan konsep ataupun teori
(Poerwandari, 2007). Peneliti menggunakan pendekatan studi kasus dengan
mengumpulkan data dari beberapa responden kemudian menggabungkannya
agar dapat memahami subjek secara mendalam.
B. RESPONDEN PENELITIAN
B.1.Karateristik Responden
Dalam penelitian ini responden yang diteliti adalah individu dewasa
madya dengan karateristik sebagai berikut :
Usia 40 - 55 tahun
Di usia ini seseorang seharusnya sedang berada di puncak karirnya.
Pemecatan yang dialami individu di masa ini akan mempengaruhi
psikologis individu karena tidak dapat menikmati puncak karir yang
sudah dibangun sejak dewasa dini. Usia 55 tahun merupakan usia
Mengalami PHK tidak normal / pemecatan
Pemutusan hubungan kerja secara tidak normal menimbulkan tekanan
yang berbeda dibandingkan dengan pensiun ataupun mengundurkan diri.
Hal ini dikarenakan pemutusan hubungan tidak memberikan kesempatan
untuk para pekerja bersiap-siap menghadapi masa pensiun (Davis, 2009)
Mengalami pemecatan maksimal 2 tahun sebelum wawancara dilakukan
Perubahan karir akibat pemecatan merupakan situasi yang sulit dihadapi
dan menimbulkan grief (Jones dalam Lefrancois, 1991). Rata-rata
seseorang bisa melewati masa grief setelah measuki bulan ke 24.
Menurut hasil penelitian ditemukan bahwa seseorang akan melewati
masa grief dari life event yang dialami setelah memasuki 2 tahun. Oleh
karena itu dipilih responden yang mengalami pemecatan antara 0 bulan -
2 tahun sebelum penelitian ini dilakukan.
Memiliki tanggungan keluarga (suami/istri dan anak)
Dari segi konteks keluarga, individu dewasa madya adalah individu yang
memiliki tanggungan keluarga. Begitu pula dengan tugas
perkembangannya. Tugas perkembangan dewasa madya adalah
mengurus keluarga. (Hurlock, 1998). Untuk menghidupi sebuah keluarga
dibutuhkan kelangsungan finansial. Kelangsungan finansial bisa
didapatkan jika seseorang bekerja. Jika individu tersebut tidak bekerja,
maka kelangsungan finansialnya terganggu dan berimbas pula kepada
B.2.Jumlah Responden
Dalam sebuah penelitian kualitatif umumnya, karateristik sampel yang
ditampilkam adalah (a) tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada
kasus – kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian, (b) tidak
ditentukan secara kaku dari awal, namun dapat berubah baik dalam hal
jumlah maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan pemahaman
konseptual yang berkembang dalam penelitian, dan (c) tidak diarahkan pada
keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada
kecocokan konteks (Saratakos, dalam Poerwandari, 2007). Jumlah responden
dari penelitian ini awalnya direncanakan sebanyak 3 orang. Namun seiring
berjalannya penelitian , kondisi lapangan yang terjadi adalah adanya
keterbatasan jumlah responden yang bersedia, maka responden dalam
penelitian ini adalah sebanyak 2 orang.
B.3.Prosedur Pemilihan Responden
Responden dipilih berdasarkan prosedur theory based/operational
contruct sampling atau prosedur berdasarkan teori dimana responden akan
dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional
sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan
agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif) terhadap
fenomena yang dipelajari.
B.4.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan. Kota Medan dipilih