PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA
INDIVIDU DEWASA AWAL YANG
MENGALAMI KECACATAN AKIBAT
KECELAKAAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA
061301097
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan
sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang
Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Mei 2011
IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA
Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami
Kecacatan Akibat Kecelakaan
Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih
ABSTRAK
Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.
Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan
dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat
psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive
relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (
personal growth).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological
well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki
trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.
Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat
Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident
Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih
ABSTRACT
Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.
The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.
The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat dan anugerahNya lah penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan
penulisan proposal skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penyusunan proposal
skripsi yang berjudul ”Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal
Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan” ini adalah dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mata kuliah skripsi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Kak Juli I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang
dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan
petunjuk, saran, serta semangat untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dengan baik.
3. Kak Silviana Realyta, M.Psi, selaku dosen pembimbing akademik penulis
yang telah bersedia membimbing penulis dalam memberikan masukan dalam
bidang akademis pada setiap perjalanan kuliah penulis.
4. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu,
wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga bagi peneliti.
5. Mama dan Bapak yang tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan
semangat bagi penulis selama proses perkuliahan, khususnya dalam proses
mengingatkan penulis untuk tetap berharap pada Tuhan hingga penulis tidak
putus asa ketika menghadapi setiap kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Adik tersayang, Agus, Obed, Ribka, dan Anggi yang tetap berdoa dan tidak
berhenti memberikan semangat bagi penulis.
7. KTB Purity : Kak Lenni Sitorus, Dwi, Kristina, Kak Nensi, Kak Mastiur,
Apry, dan Ana yang terus setia berdoa, mendengarkan setiap share peneliti
dan memberikan masukan dan dukungan bagi penulis.
8. Kelompok Kecil di SMA N 12 Medan : Arista, Debora, Delima, Dewi, Enzel,
Krisna, Lusi, Meilinda (Bigo), Rahel, Vini, Wina, dan Yuna yang terus
mendukung dan berdoa untuk penyelesaian penelitian ini.
9. Sahabat-sahabat peneliti : Wind, Yoga, dan Richard yang bersedia menjadi
alarm peneliti, membangunkan hampir setiap subuh dan terus mengingatkan
peneliti untuk tidak pernah menyerah; Deva yang ada sebagai teman curhat
dan mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang peneliti rasakan; Kak Citra yang
setia berdoa dan mendukung peneliti; Amson yang menjadi teman untuk
tertawa; Elfrida yang tidak pernah berhenti memberika semangat; Kak Dear
yang mendengarkan setiap cerita; Titien dan Tantry yang telah membantu
peneliti dalam terjemahan.
10. TPS (Tim Pembimbing Siswa) dan Staf Perkantas Medan yang tetap
mendukung penulis dalam doa.
11. Kak Mei, Bang Ferry, Kak Asma, Kak Duma, Kak Ochi, Bang Romel,
Jessyka yang telah memberikan informasi untuk menemui calon-calon
12. Alan, Andika, Ali, kak Ros, Zul, Franky, Hotland, Anugrah dan Aris yang
telah meluangkan waktu untuk bisa share mengenai pengalaman mereka
dengan peneliti.
13. Badan Pembinaan Olahraga Cacat dan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya yang
telah memberikan informasi seputar calon responden peneliti.
14. Teman-teman angkatan 2006 Psikologi USU : Ayu yang telah meluangkan
waktunya untuk membantu memberikan ide-ide, Eky, Muti, Herna, Mona,
dan lain-lain yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
yang bersifat membangun agar menjadi masukan bagi penulis untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, Mei 2011
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Teoritis ... 9
2. Manfaat Praktis ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. Psychological Well-Being ... 12
1. Definisi Psychological Well-Being ... 12
2. Dimensi Psychological Well-Being ... 13
3. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 15
1. Dewasa Awal ... 17
2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal... 20
C. Cacat ... 20
1. Defenisi Cacat ... 20
2. Jenis Cacat ... 22
3. Faktor Penyebab Kecacatan ... 23
4. Bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan ... 23
5. Hambatan-Hambatan ... 24
D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
A. Pendekatan Kualitatif ... 29
B. Responden Penelitian ... 30
1. Karakteristik Responden Penelitian ... 30
2. Jumlah Responden Penelitian ... 30
3. Prosedur Pengambilan Responden ... 31
4. Lokasi Penelitian ... 31
C. Metode Pengambilan Data ... 32
D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33
1. Alat Perekam ... 34
2. Pedoman Wawancara ... 34
E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian ... 35
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 36
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 41
3. Tahap Pencatatan Data ... 44
4. Prosedur Analisis Data ... 44
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... .... 48
A. Analisa Data ... .... 48
1. Responden I ... .... 48
a. Rangkuman Wawancara ... .... 49
b. Data observasi ... .... 51
c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan... .... 57
1. Penerimaan Diri ... .... 57
2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... .... 60
3. Otonomi ... .... 63
4. Penguasaan Lingkungan... .... 64
5. Tujuan Hidup ... .... 65
6. Pertumbuhan Pribadi ... .... 66
2. Responden II ... .... 68
a. Rangkuman Wawancara ... .... 68
b. Data observasi... .... 70
c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan ... .... 74
2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 76
3. Otonomi ... 77
4. Penguasaan Lingkungan ... 78
5. Tujuan Hidup ... 79
6. Pertumbuhan Pribadi ... 81
IV.C. Analisis Antar Responden ... 82
IV.D. Pembahasan ... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 91
1. Saran Praktis ... 91
2. Saran Penelitian Lanjutan ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu wawancara dengan responden I ... 42
Tabel 2. Waktu wawancara dengan responden II ... 43
Tabel 3. Gambaran umum responden I ... 48
Tabel 4. Gambaran umum responden II ... 68
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN B
Lembar Persetujuan Wawancara
LAMPIRAN C
Lembar Observasi
LAMPIRAN D
Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami
Kecacatan Akibat Kecelakaan
Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih
ABSTRAK
Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.
Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan
dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat
psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive
relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (
personal growth).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological
well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki
trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.
Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat
Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident
Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih
ABSTRACT
Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.
The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.
The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap
individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau
hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan
tetapi, siapa yang dapat menolak kehendak Sang Pencipta terhadap umatNya?
Apabila Sang Pencipta menghendakinya, apapun bisa terjadi dalam kehidupan
manusia, termasuk kecelakaan. Siapa yang menyangka akan mendapat
kecelakaan? Kecelakaan bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja karena
kecelakaan merupakan suatu peristiwa spesifik yang terjadi secara tidak sengaja,
tidak biasa, dan tidak diharapkan yang terjadi pada tempat dan waktu yang tidak
ditentukan tanpa penyebab yang disengaja tetapi ditandai dengan suatu efek
(karena kecelakaan) akan menyebabkan perubahan besar bagi individu apalagi
sebelum mengalami kecacatan individu memiliki kelengkapan fisik yang
membuat individu tersebut mampu melakukan banyak kegiatan dan memiliki
kehidupan yang lebih baik dengan kelengkapan fisiknya serta mampu melakukan
tugas-tugas perkembangannya dengan optimal sebagaimana mestinya tanpa ada
Terutama ketika individu memasuki masa dewasa awal dengan berbagai
tugas perkembangannya, seperti mulai bekerja, memilih pasangan, membina
keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab
sebagai warga negara serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan
(Hurlock, 2004). Individu pada awalnya dapat memenuhi tugas-tugas
perkembangannya ini namun karena adanya suatu kecelakaan membuat individu
tidak lagi mampu memenuhi tugas perkembangannya dengan maksimal.
Perubahan drastis tersebut, seperti kecelakaan yang mengakibatkan
kecacatan, terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar
bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan pada awalnya ia memiliki
fisik yang normal, mampu beraktivitas dengan baik, tidak ada hambatan fisik
untuk melakukan sesuatu, bekerja, berolah raga, berlari, dan lain-lain tiba-tiba
dihadapkan pada kondisi cacat yang membuat individu menjadi terbatas untuk
melakukan aktivitas sehari-hari, mengurus diri sendiri, bekerja, dan lain-lain
(Burns, 2010).
Reaksi yang banyak timbul terhadap perubahan drastis yang dialami
individu karena kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan cenderung negatif.
Radler (2000) menyebutkan ada beberapa tahapan yang dialami individu ketika ia
mengalami kejadian traumatik yang menyebabkannya mengalami hambatan fisik,
yaitu: 1) shock, yang merupakan suatu keadaan mati rasa terhadap kejadian; 2)
cemas dan panik terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya; 3) menyangkal
(denial) pengalaman trauma yang dialaminya; 4) depresi karena saat ini ia
yang terjadi; 6) perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri dan bahkan
mencoba menyerang orang-orang yang berusaha untuk menolongnya; 7) rekognisi
intelektual dan berupaya untuk menerima situasi yang sedang dihadapinya saat ini
dan belajar strategi yang dapat dilakukan dengan perubahan yang dialaminya; 8)
tidak hanya menyadari strategi yang baik tetapi juga memanfaatkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi
kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur
atau fungsi psikologis atau anatomis, contohnya kelumpuhan dibagian bawah
tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki,
sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat
adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal
bagi manusia, dan dikatakan handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi
seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari
pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor
/12/tinjauan_terhadap_kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_
mainstream_masyarakat_)
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam
berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya
kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau
akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi
kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela; aib; 4) Tidak (kurang) sempurna (Alwi,
2005.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, cacat seringkali dikonotasikan
dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/dikasihani sehingga
seringnya orang-orang yang mengalami kecacatan dianggap sebagai orang yang
lemah, tidak berdaya, dan membutuhkan pertolongan orang lain. Hal ini dialami
oleh Rizky, 25 tahun, yang mengalami kecacatan akibat penyakit kelainan darah
yang dideritanya:
“Yah...ada perasaan gak mampu dan gak bisa ngerjain apa-apa lah dengan kondisi ku yang kayak gini ini. Aku kan bisanya di kursi roda aja, gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain...orang-orang itu lah (menunjuk ibu dan saudara sepupunya) yang ngurus-ngurusin aku semuanya, kayak mandi, makan, minum obat...semua-semuanya lah...buang air aja aku diurusin karna aku pun pake kateter ini kan...” (Komunikasi Personal, 5 Maret 2011)
Kondisi individu yang merasa tidak berdaya seperti itu seringkali
mempengaruhi psikologis para penyandang cacat dan membuat seseorang merasa
rendah diri dan tidak mampu lagi melakukan tugas atau aktivitas mereka seperti
dulu sebelum mereka mengalami kecacatan, merasa tertolak oleh lingkungan
ini dialami oleh Tony, 53 tahun yang mengalami kecacatan akibat tergilas dua set
roda kereta yang sedang membawa buldozer:
“Sebenarnya, selalu ada orang lain yang biasanya meragukan kehadiran saya. Sebelum meninggalkan Selandia Baru untuk melakukan pendakian, banyak orang yang mengatakan saya tidak waras bahkan untuk memikirkannya saja. Orang lain mengatakan saya tidak mungkin berhasil melakukannya dan bahkan menyarankan agar saya tidak usah mencoba. Para sahabat mengatakan saya “sangat gila.””
(Dikutip dari Attitude Plus!)
Hal ini juga terlihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh Desy (bukan
nama sebenarnya), 27 tahun yang mengalami kecacatan akibat terjatuh pada
waktu balita yang membuatnya harus duduk diatas kursi roda hingga saat ini:
”Sebenarnya aku malu sama kawan-kawanku karena aku kayak gini. Orang itu kan bisa jalan, padahal aku...aku di kursi roda. Ada pun yang
ngejek karena aku kayak gini dan ’ga bisa kayak kawan-kawanku.
Pertamanya aku malu.., minder lah....” (Komunikasi Personal, 8 Maret 2010)
Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan
seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa)
menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Sejalan dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Rizky, yang berkaitan dengan kondisinya:
“Yah, lagian siapa jugak yang mau kerja sama dengan orang yang lumpuh kayak aku ini?”
(Komunikasi Personal, 12 Maret 2011)
Selain adanya perasaan rendah diri, hubungan dengan orang lain seringnya
tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas
dengan keadaannya; ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi
ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan
akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan
aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan
kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang
memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap
tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup;
mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan
diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu
untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff & Singer, 2008).
Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap)
untuk seseorang melakukan sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih kecil
(Nurkolis, 2002).
Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor-faktor penyebabnya,
baik faktor dari dalam (bawaan/congenital) maupun faktor dari luar (lingkungan
setelah individu lahir), mempunyai pandangan negatif terhadap kondisi cacatnya,
dan menjadi subjek stereotype prejudice serta limitation baik dari masyarakat
yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak mampu (Lahey,
2004). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan
tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari
masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka
yang cacat karena mereka memang terlahir cacat dan tidak pernah memiliki fisik
yang normal. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya
membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, lebih siap
sedangkan individu yang mengalami kecacatan setelah lahir (apalagi setelah
individu memasuki masa dewasa) ketika ia sudah membangun cita-cita dari awal,
mempunyai tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, bekerja dan
lain-lain, maka ia akan mengalami tekanan psikologis yang berat karena setelah terjadi
kecelakaan dan divonis cacat mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi,
diskriminasi oleh lingkungan, alienasi dan helpless (Radler, 1999), perasaan
rendah diri, stereotype negatif (seperti helpless, dependent dan merepotkan orang
lain, orang yang malang dan perlu dikasihani), worthless.
Setiap individu selalu ingin mencapai apa yang diinginkannya dalam
hidupnya, tidak perduli ia normal secara fisik, orang yang tidak normal (cacat)
pun tetap memiliki keinginan untuk bisa mencapai sesuatu yang didambakan
dalam hidupnya. Keterbatasan fisik yang dialami oleh seseorang harusnya tidak
menjadi penghalang bagi individu untuk dapat merealisasikan seluruh potensi
yang dimilikinya. Untuk mencapai potensinya tersebut diperlukan psychological
well-being agar individu merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan
merealisasikan dirinya (Ryff, 1989a).
Psychological well-being merupakan dorongan untuk menyempurnakan
dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat
menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat
psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat
(Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological
Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan
hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya
realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melihat bahwa individu yang
mengalami kecacatan akibat kecelakaan selain mendapat stigma negatif dari
orang-orang disekitarnya yang membuat mereka dikucilkan (seperti dianggap
tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik, orang yang sulit/dingin),
mereka juga tidak bisa menerima diri mereka sepenuhnya karena kondisi cacatnya
tersebut yang mengakibatkan mereka tidak percaya diri (karena sebelum
mengalami kecacatan mereka memiliki fisik yang normal dan tidak memiliki
hambatan), hubungan dengan orang lain pun terganggu karena menganggap orang
lain selalu memandang negatif terhadap mereka, membatasi diri dari
lingkungannya, dan tidak ada keyakinan akan dapat mencapai tujuan hidup
mereka. Hal-hal tersebut membuat individu tidak bisa mengoptimalkan segala
potensi yang dimilikinya sehingga ia mempunyai psychological well-being yang
negatif dan kondisi tidak terealisasinya seluruh potensi atau tidak teraktualisasinya
dirinya secara keseluruhan membuat ia tidakn mencapai kebahagiaan dalam
hidupnya. Oleh karena itu, penulis tertarik melihat gambaran psychological
I.B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah bagaimana
gambaran psychological well-being pada individu dewasa awal berdasarkan
dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff?
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological
well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat
kecelakaan.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya psikologi
klinis, terutama yang berkaitan dengan psychological well-being pada
individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
korban kecelakaan yang mengalami kecacatan fisik untuk terus
mengembangkan potensi yang dimilikinya dan tidak menjadikan
kecacatan sebagai suatu penghalang individu merealisasikan potensi
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para
ahli seperti psikolog untuk dapat lebih peka melihat dinamika
dimensi-dimensi psychological well being pada individu yang cacat
akibat kecelakaan.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Latar Belakang
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai
landasan dalam penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif dan responden penelitian.
Bab IV : Analisa dan Pembahasan
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang responden, data
observasi, data wawancara yang berupa analisa data per responden
dan pembahasannya menurut teori-teori yang ada.
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai
psychological well-being pada individu dewasa awal yang
mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Kesimpulan berisikan
hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi
saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan
masalah-masalah penelitian serta saran metodologis untuk penyempurnaan
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Psychological Well-Being
II.A.1. Definisi Psychological Well-Being
Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff
(dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008) mendefinisikan psychological
well-being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi
diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang
menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya
menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan
membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim
dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological well-being merujuk pada
perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat
berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan,
dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau
aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).
Ryff (1989) mengoperasionalkan definisi psychological well-being
menjadi enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri (dapat mengaktualisasikan
diri, berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri), dimensi
hubungan positif dengan orang lain (memiliki hubungan yang hangat, intim dan
terpercaya dengan orang lain), dimensi otonomi (bebas, mampu untuk
lingkungan (mampu memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai
dengan kondisi psikologis dalam rangka mengembangkan diri), dimensi tujuan
hidup (memiliki arah, tujuan, dan makna hidup), dan dimensi pertumbuhan diri
(mampu dan memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan
potensi).
II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam
dimensi psychological well-being, yaitu:
1. Penerimaan diri (self acceptance)
Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri
baik segi positif maupun negatif. Menurut Maslow (dalam Calhoun dan
Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari
individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima
dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas
dan keunikan diri sendiri.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk
mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar
saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang
yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta,
memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan
3. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib
sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk
mengatur perilaku sendiri.
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola
lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka
mengembangkan diri.
5. Tujuan hidup (purpose of life)
Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan
yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu
yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang
jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat
mengabdikan dirinya pada masyarakat.
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh
sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning).
Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat
terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada
diri seseorang, yaitu:
a. Usia
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya
perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai
kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil
meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia
seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya.
Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur
lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.
b. Jenis Kelamin
Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan
signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan
positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam
dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan
mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif
dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia &
Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor
yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat
c. Status Sosial Ekonomi
Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial
ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki
status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya
dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik
dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu
dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai
dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih
tinggi.
d. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme
memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu
masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang
menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain.
e. Faktor Dukungan Sosial
Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan
sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang
II.B. Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh
menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena
itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).
Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun
saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya
kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai
kehidupannya memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran
dalam dunia kerja (berkarir), dan mengembangkan sikap-sikap baru,
keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.
Levinson (dalam Monks, 1999) kemudian menspesifikkan masa dewasa
awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22
hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam
periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan
berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20
tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara
28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini
menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan,
yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan
memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa
dewasa.
Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara
lain:
a. Masa Usia Reproduktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah
masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan
berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat
produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).
b. Masa Bermasalah
Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal
ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran
barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka
akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu
rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi
babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran
baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2
peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak
memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan
c. Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis
isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial
dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan
dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan
diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju
dalam berkarir.
d. Masa Komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah
komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen
baru.
e. Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini
berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai
sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang
berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa
seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat
diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan
yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih
menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan.
f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih
bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda
(peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).
II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Hurlock (2004) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal,
antara lain:
g. Mulai bekerja
h. Memilih pasangan
i. Mulai membina keluarga
j. Mengasuh anak
k. Mengelola rumah tangga
l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan
II.C. Cacat
II.C.1. Definisi Cacat
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk
penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi
kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur
atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah
ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk
melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun
handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya
impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal
(dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang
bersangkutan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam
berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik
atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2)
Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
(kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna) (Alwi, 2005).
ADA atau Americans of Disabilities Act (1990), yaitu sebuah lembaga
yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat
tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1) memiliki
aktivitas kehidupan sehari-hari; 2) memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut;
atau 3) dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini
merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik,
atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh
berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan
(termasuk alat berbicara), cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary,
hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin
II.C.2. Jenis-jenis Cacat
Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa
kategori, yaitu:
1) tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran
penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas;
2) tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa,
dan ;
3) tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai
akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga
mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang,
otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh
II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan
Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.
Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak
lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian
sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal.
Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik
sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan
(bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan
merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang
dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air
keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.
II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan
Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada
individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal
93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya
menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga
puluh) hari sejak terjadi kecelakaan (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, 1992); kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu
sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat
kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan
ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air
keras, kebakaran, dan jatuh.
II.C.5. Hambatan-hambatan
Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan
antara lain:
a. Sosialisasi
Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi
orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal).
Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda
dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut
dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut
yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk
bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak
aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk
dapat melakukan mobilitas sosial.
b. Pekerjaan
Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah
pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka
untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat
kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten
untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi
perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Mencari pasangan
Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan
berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena
hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus
dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu
membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu
dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya
apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga
beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan
mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga
beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal
yang memalukan.
d. Emosi
Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat
individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu
dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah
tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap
menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering
II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat
Kecelakaan
Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari
orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik
yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan
aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan,
dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran
(bukan cacat bawaan) dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika
individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja,
memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu
kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal
itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari
kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain
terganggu.
Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena
tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri
karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan
dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya,
cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut
membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang
dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada
kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki
diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah
PARADIGMA BERPIKIR
Aktivitas Hubungan dengan
orang lain
Mengelola rumah tangga Membina keluarga
Mengambil tanggung jawab
b i
Mencari kelompok sosial
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode
penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan
menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya. Penelitian
kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara
keseluruhan dari perspektif responden sendiri dan yang menjadi instrumen dalam
mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin
diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai psychological well-being
individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting
penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh
tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga
sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’
dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak
cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya
Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif
adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya
tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa
pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta
penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang,
interaksi dan perilaku yang teramati.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada
peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang
fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam
pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan
pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif,
tujuan dari penelitian ini akan tercapai.
III.B. Responden Penelitian
III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik responden yang
dipilih adalah individu dewasa awal, yaitu individu yang berada pada rentang usia
26-30 tahun (Hurlock, 2004) yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan
III.B.2. Jumlah Responden Penelitian
Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes.
Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus
diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan
tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu
dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3
(tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari
segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.
Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif
tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah
responden yang berpartisipasi adalah dua orang. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya
maupun kemampuan peneliti.
III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden
Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik
pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan
sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational
construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan
teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai
tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat
representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.
III.B.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil
Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian,
mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.
III.C. Metode Pengambilan Data
Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode
pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian
dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam
penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus,
analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus,
dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan
dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif
yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan
melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).
Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan
menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu
memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.
Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di
luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.
Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi
terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut
(Poerwandari, 2007).
Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat
bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk
diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan
reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana
keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan
dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam
penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya
bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut
(Minauli, 2002).
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat
yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan
data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
III.D.1 Alat Perekam (mp4 player)
Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu
direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak
bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas
yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh
indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan mp4 player, peneliti tidak perlu
mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi
terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan
memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.
Penggunaan mp4 player juga memungkinkan peneliti untuk lebih
berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, mp4 player dapat merekam
nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan
dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).
Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin
dari partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam
pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang
nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).
III.D.2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat
bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap
juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin
dijawab (Poerwandari, 2001).
Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek
(checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan
dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang
ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan
secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal
diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
III.E. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam
yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam
bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu
ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas
penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi
masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi
yang kompleks.
Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas
1. Memilih calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam
hal ini adalah individu dewasa asal yang berusia 18-40 tahun yang mengalami
kecacatan fisik akibat kecelakaan.
2. Membangun rapport dengan partisipan agar ketika proses wawancara
berlangsung partisipan dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan
suasana tidak kaku pada saat wawancara.
3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan dimensi-dimensi psychological
well-being. Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan
dosen pembimbing. Professional judgement di dalam penelitian ini adalah
dosen pembimbing penelitian ini.
4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk
mendapatkan data yang akurat.
5. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik
mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian.
Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada
kompleksitas fenomena yang diteliti.
III.F. Prosedur Penelitian
III.F.1.Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan
dengan gambaran psychological well-being pada seseorang.
b. Menyusun pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,
peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dari
dimensi-dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.
c. Persiapan untuk mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari
teman-teman peneliti, panti rehabilitasi, rumah sakit, sekolah, dan yayasan
pembinaan olahraga cacat. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti
menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang
akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam
penelitian.
Peneliti melakukan pendekatan ke sebuah panti rehabilitasi bagi orang cacat di
daerah Pematang Siantar untuk memperoleh data mengenai individu yang
mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kecelakaan dan berada pada
rentang usia 18-40 tahun. Peneliti sempat berkenalan dan berbincang-bincang
dengan seorang pasien, berinisial F, yang berada dipanti rehabilitasi tersebut.
Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian F setuju untuk
menjadi salah seorang responden peneliti. Namun ketika peneliti meminta
waktu F dan menyatakan akan berkunjung serta melakukan wawancara, F
menyatakan bahwa F sedang berada di Riau di tempat kedua orangtuanya dan
Kemudian peneliti mencari informasi dari seorang teman peneliti yang pernah
mendapatkan perawatan dipanti rehabilitasi tersebut mengenai
teman-temannya yang sesuai dengan kriteria penelitian. Teman peneliti
memperkenalkan peneliti dengan H yang tinggal di kota Pematang Siantar.
Peneliti mencoba menghubungi H dan meminta kesediaannya menjadi
responden penelitian. Namun karena kesibukannya bekerja sebagai salah
seorang karyawan di bagian marketing peneliti mengalami kesulitan untuk
membuat janji bertemu dengan H dan peneliti memutuskan untuk tidak
menggunakan H sebagai responden penelitian.
Peneliti lalu mendatangi sebuah yayasan pembinaan olahraga bagi orang cacat
yang berlokasi di jalan Stadiun Teladan Medan. Di yayasan tersebut peneliti
dikenalkan dengan seorang atlet tenis meja berskala nasional, berinisial A,
yang mengalami kecacatan pada tangan kirinya. Peneliti mendapat persetujuan
dari A untuk menjadi responden penelitian dan peneliti sempat melakukan
wawancara pertama dengan A tetapi ketika peneliti meminta kesediannya
untuk melakukan wawancara kedua tiba-tiba A tidak memberikan respon.
Peneliti kemudian mencari informasi mengenai keberadaan A dari
teman-temannya sesama atlet dan peneliti menerima kabar bahwa A sedang berada di
pulau Bali selama beberapa minggu untuk mengikuti pertandingan dan
teman-temannya juga tidak memiliki informasi kapan A akan kembali ke Medan.
Dikarenakan ketidakjelasan kapan A akan kembali ke Medan, demi efisiensi
waktu maka peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan A sebagai