• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

INDIVIDU DEWASA AWAL YANG

MENGALAMI KECACATAN AKIBAT

KECELAKAAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA

061301097

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan

sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang

Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2011

IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA

(3)

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami

Kecacatan Akibat Kecelakaan

Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.

Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (

personal growth).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki

trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.

Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat

(4)

Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident

Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.

The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan rahmat dan anugerahNya lah penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan

penulisan proposal skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penyusunan proposal

skripsi yang berjudul ”Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal

Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan” ini adalah dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mata kuliah skripsi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Juli I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan

petunjuk, saran, serta semangat untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini dengan baik.

3. Kak Silviana Realyta, M.Psi, selaku dosen pembimbing akademik penulis

yang telah bersedia membimbing penulis dalam memberikan masukan dalam

bidang akademis pada setiap perjalanan kuliah penulis.

4. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu,

wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga bagi peneliti.

5. Mama dan Bapak yang tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan

semangat bagi penulis selama proses perkuliahan, khususnya dalam proses

(6)

mengingatkan penulis untuk tetap berharap pada Tuhan hingga penulis tidak

putus asa ketika menghadapi setiap kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Adik tersayang, Agus, Obed, Ribka, dan Anggi yang tetap berdoa dan tidak

berhenti memberikan semangat bagi penulis.

7. KTB Purity : Kak Lenni Sitorus, Dwi, Kristina, Kak Nensi, Kak Mastiur,

Apry, dan Ana yang terus setia berdoa, mendengarkan setiap share peneliti

dan memberikan masukan dan dukungan bagi penulis.

8. Kelompok Kecil di SMA N 12 Medan : Arista, Debora, Delima, Dewi, Enzel,

Krisna, Lusi, Meilinda (Bigo), Rahel, Vini, Wina, dan Yuna yang terus

mendukung dan berdoa untuk penyelesaian penelitian ini.

9. Sahabat-sahabat peneliti : Wind, Yoga, dan Richard yang bersedia menjadi

alarm peneliti, membangunkan hampir setiap subuh dan terus mengingatkan

peneliti untuk tidak pernah menyerah; Deva yang ada sebagai teman curhat

dan mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang peneliti rasakan; Kak Citra yang

setia berdoa dan mendukung peneliti; Amson yang menjadi teman untuk

tertawa; Elfrida yang tidak pernah berhenti memberika semangat; Kak Dear

yang mendengarkan setiap cerita; Titien dan Tantry yang telah membantu

peneliti dalam terjemahan.

10. TPS (Tim Pembimbing Siswa) dan Staf Perkantas Medan yang tetap

mendukung penulis dalam doa.

11. Kak Mei, Bang Ferry, Kak Asma, Kak Duma, Kak Ochi, Bang Romel,

Jessyka yang telah memberikan informasi untuk menemui calon-calon

(7)

12. Alan, Andika, Ali, kak Ros, Zul, Franky, Hotland, Anugrah dan Aris yang

telah meluangkan waktu untuk bisa share mengenai pengalaman mereka

dengan peneliti.

13. Badan Pembinaan Olahraga Cacat dan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya yang

telah memberikan informasi seputar calon responden peneliti.

14. Teman-teman angkatan 2006 Psikologi USU : Ayu yang telah meluangkan

waktunya untuk membantu memberikan ide-ide, Eky, Muti, Herna, Mona,

dan lain-lain yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna

dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca

yang bersifat membangun agar menjadi masukan bagi penulis untuk perbaikan di

masa yang akan datang. Semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Mei 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Psychological Well-Being ... 12

1. Definisi Psychological Well-Being ... 12

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 13

3. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 15

(9)

1. Dewasa Awal ... 17

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal... 20

C. Cacat ... 20

1. Defenisi Cacat ... 20

2. Jenis Cacat ... 22

3. Faktor Penyebab Kecacatan ... 23

4. Bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan ... 23

5. Hambatan-Hambatan ... 24

D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

A. Pendekatan Kualitatif ... 29

B. Responden Penelitian ... 30

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 30

2. Jumlah Responden Penelitian ... 30

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 31

4. Lokasi Penelitian ... 31

C. Metode Pengambilan Data ... 32

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33

1. Alat Perekam ... 34

2. Pedoman Wawancara ... 34

E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian ... 35

(10)

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 36

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 41

3. Tahap Pencatatan Data ... 44

4. Prosedur Analisis Data ... 44

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... .... 48

A. Analisa Data ... .... 48

1. Responden I ... .... 48

a. Rangkuman Wawancara ... .... 49

b. Data observasi ... .... 51

c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan... .... 57

1. Penerimaan Diri ... .... 57

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... .... 60

3. Otonomi ... .... 63

4. Penguasaan Lingkungan... .... 64

5. Tujuan Hidup ... .... 65

6. Pertumbuhan Pribadi ... .... 66

2. Responden II ... .... 68

a. Rangkuman Wawancara ... .... 68

b. Data observasi... .... 70

c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan ... .... 74

(11)

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 76

3. Otonomi ... 77

4. Penguasaan Lingkungan ... 78

5. Tujuan Hidup ... 79

6. Pertumbuhan Pribadi ... 81

IV.C. Analisis Antar Responden ... 82

IV.D. Pembahasan ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

1. Saran Praktis ... 91

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Waktu wawancara dengan responden I ... 42

Tabel 2. Waktu wawancara dengan responden II ... 43

Tabel 3. Gambaran umum responden I ... 48

Tabel 4. Gambaran umum responden II ... 68

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Pedoman Wawancara

LAMPIRAN B

Lembar Persetujuan Wawancara

LAMPIRAN C

Lembar Observasi

LAMPIRAN D

(15)

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami

Kecacatan Akibat Kecelakaan

Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.

Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (

personal growth).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki

trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.

Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat

(16)

Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident

Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.

The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap

individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau

hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

tetapi, siapa yang dapat menolak kehendak Sang Pencipta terhadap umatNya?

Apabila Sang Pencipta menghendakinya, apapun bisa terjadi dalam kehidupan

manusia, termasuk kecelakaan. Siapa yang menyangka akan mendapat

kecelakaan? Kecelakaan bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja karena

kecelakaan merupakan suatu peristiwa spesifik yang terjadi secara tidak sengaja,

tidak biasa, dan tidak diharapkan yang terjadi pada tempat dan waktu yang tidak

ditentukan tanpa penyebab yang disengaja tetapi ditandai dengan suatu efek

(karena kecelakaan) akan menyebabkan perubahan besar bagi individu apalagi

sebelum mengalami kecacatan individu memiliki kelengkapan fisik yang

membuat individu tersebut mampu melakukan banyak kegiatan dan memiliki

kehidupan yang lebih baik dengan kelengkapan fisiknya serta mampu melakukan

tugas-tugas perkembangannya dengan optimal sebagaimana mestinya tanpa ada

(18)

Terutama ketika individu memasuki masa dewasa awal dengan berbagai

tugas perkembangannya, seperti mulai bekerja, memilih pasangan, membina

keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab

sebagai warga negara serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan

(Hurlock, 2004). Individu pada awalnya dapat memenuhi tugas-tugas

perkembangannya ini namun karena adanya suatu kecelakaan membuat individu

tidak lagi mampu memenuhi tugas perkembangannya dengan maksimal.

Perubahan drastis tersebut, seperti kecelakaan yang mengakibatkan

kecacatan, terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar

bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan pada awalnya ia memiliki

fisik yang normal, mampu beraktivitas dengan baik, tidak ada hambatan fisik

untuk melakukan sesuatu, bekerja, berolah raga, berlari, dan lain-lain tiba-tiba

dihadapkan pada kondisi cacat yang membuat individu menjadi terbatas untuk

melakukan aktivitas sehari-hari, mengurus diri sendiri, bekerja, dan lain-lain

(Burns, 2010).

Reaksi yang banyak timbul terhadap perubahan drastis yang dialami

individu karena kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan cenderung negatif.

Radler (2000) menyebutkan ada beberapa tahapan yang dialami individu ketika ia

mengalami kejadian traumatik yang menyebabkannya mengalami hambatan fisik,

yaitu: 1) shock, yang merupakan suatu keadaan mati rasa terhadap kejadian; 2)

cemas dan panik terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya; 3) menyangkal

(denial) pengalaman trauma yang dialaminya; 4) depresi karena saat ini ia

(19)

yang terjadi; 6) perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri dan bahkan

mencoba menyerang orang-orang yang berusaha untuk menolongnya; 7) rekognisi

intelektual dan berupaya untuk menerima situasi yang sedang dihadapinya saat ini

dan belajar strategi yang dapat dilakukan dengan perubahan yang dialaminya; 8)

tidak hanya menyadari strategi yang baik tetapi juga memanfaatkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa

penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau

mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk

melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,

penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi

kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur

atau fungsi psikologis atau anatomis, contohnya kelumpuhan dibagian bawah

tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki,

sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat

adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal

bagi manusia, dan dikatakan handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi

seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari

pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor

(20)

/12/tinjauan_terhadap_kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_

mainstream_masyarakat_)

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam

berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya

kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau

akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi

kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela; aib; 4) Tidak (kurang) sempurna (Alwi,

2005.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, cacat seringkali dikonotasikan

dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/dikasihani sehingga

seringnya orang-orang yang mengalami kecacatan dianggap sebagai orang yang

lemah, tidak berdaya, dan membutuhkan pertolongan orang lain. Hal ini dialami

oleh Rizky, 25 tahun, yang mengalami kecacatan akibat penyakit kelainan darah

yang dideritanya:

“Yah...ada perasaan gak mampu dan gak bisa ngerjain apa-apa lah dengan kondisi ku yang kayak gini ini. Aku kan bisanya di kursi roda aja, gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain...orang-orang itu lah (menunjuk ibu dan saudara sepupunya) yang ngurus-ngurusin aku semuanya, kayak mandi, makan, minum obat...semua-semuanya lah...buang air aja aku diurusin karna aku pun pake kateter ini kan...” (Komunikasi Personal, 5 Maret 2011)

Kondisi individu yang merasa tidak berdaya seperti itu seringkali

mempengaruhi psikologis para penyandang cacat dan membuat seseorang merasa

rendah diri dan tidak mampu lagi melakukan tugas atau aktivitas mereka seperti

dulu sebelum mereka mengalami kecacatan, merasa tertolak oleh lingkungan

(21)

ini dialami oleh Tony, 53 tahun yang mengalami kecacatan akibat tergilas dua set

roda kereta yang sedang membawa buldozer:

“Sebenarnya, selalu ada orang lain yang biasanya meragukan kehadiran saya. Sebelum meninggalkan Selandia Baru untuk melakukan pendakian, banyak orang yang mengatakan saya tidak waras bahkan untuk memikirkannya saja. Orang lain mengatakan saya tidak mungkin berhasil melakukannya dan bahkan menyarankan agar saya tidak usah mencoba. Para sahabat mengatakan saya “sangat gila.””

(Dikutip dari Attitude Plus!)

Hal ini juga terlihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh Desy (bukan

nama sebenarnya), 27 tahun yang mengalami kecacatan akibat terjatuh pada

waktu balita yang membuatnya harus duduk diatas kursi roda hingga saat ini:

”Sebenarnya aku malu sama kawan-kawanku karena aku kayak gini. Orang itu kan bisa jalan, padahal aku...aku di kursi roda. Ada pun yang

ngejek karena aku kayak gini dan ’ga bisa kayak kawan-kawanku.

Pertamanya aku malu.., minder lah....” (Komunikasi Personal, 8 Maret 2010)

Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan

seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa)

menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Sejalan dengan

pernyataan yang dikemukakan oleh Rizky, yang berkaitan dengan kondisinya:

“Yah, lagian siapa jugak yang mau kerja sama dengan orang yang lumpuh kayak aku ini?”

(Komunikasi Personal, 12 Maret 2011)

Selain adanya perasaan rendah diri, hubungan dengan orang lain seringnya

tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas

dengan keadaannya; ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi

ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan

(22)

akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan

aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan

kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang

memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap

tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup;

mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan

diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu

untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff & Singer, 2008).

Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap)

untuk seseorang melakukan sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih kecil

(Nurkolis, 2002).

Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor-faktor penyebabnya,

baik faktor dari dalam (bawaan/congenital) maupun faktor dari luar (lingkungan

setelah individu lahir), mempunyai pandangan negatif terhadap kondisi cacatnya,

dan menjadi subjek stereotype prejudice serta limitation baik dari masyarakat

yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak mampu (Lahey,

2004). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan

tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari

masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka

yang cacat karena mereka memang terlahir cacat dan tidak pernah memiliki fisik

yang normal. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya

membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, lebih siap

(23)

sedangkan individu yang mengalami kecacatan setelah lahir (apalagi setelah

individu memasuki masa dewasa) ketika ia sudah membangun cita-cita dari awal,

mempunyai tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, bekerja dan

lain-lain, maka ia akan mengalami tekanan psikologis yang berat karena setelah terjadi

kecelakaan dan divonis cacat mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi,

diskriminasi oleh lingkungan, alienasi dan helpless (Radler, 1999), perasaan

rendah diri, stereotype negatif (seperti helpless, dependent dan merepotkan orang

lain, orang yang malang dan perlu dikasihani), worthless.

Setiap individu selalu ingin mencapai apa yang diinginkannya dalam

hidupnya, tidak perduli ia normal secara fisik, orang yang tidak normal (cacat)

pun tetap memiliki keinginan untuk bisa mencapai sesuatu yang didambakan

dalam hidupnya. Keterbatasan fisik yang dialami oleh seseorang harusnya tidak

menjadi penghalang bagi individu untuk dapat merealisasikan seluruh potensi

yang dimilikinya. Untuk mencapai potensinya tersebut diperlukan psychological

well-being agar individu merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan

merealisasikan dirinya (Ryff, 1989a).

Psychological well-being merupakan dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat

menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat

(Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological

(24)

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan

hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya

realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melihat bahwa individu yang

mengalami kecacatan akibat kecelakaan selain mendapat stigma negatif dari

orang-orang disekitarnya yang membuat mereka dikucilkan (seperti dianggap

tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik, orang yang sulit/dingin),

mereka juga tidak bisa menerima diri mereka sepenuhnya karena kondisi cacatnya

tersebut yang mengakibatkan mereka tidak percaya diri (karena sebelum

mengalami kecacatan mereka memiliki fisik yang normal dan tidak memiliki

hambatan), hubungan dengan orang lain pun terganggu karena menganggap orang

lain selalu memandang negatif terhadap mereka, membatasi diri dari

lingkungannya, dan tidak ada keyakinan akan dapat mencapai tujuan hidup

mereka. Hal-hal tersebut membuat individu tidak bisa mengoptimalkan segala

potensi yang dimilikinya sehingga ia mempunyai psychological well-being yang

negatif dan kondisi tidak terealisasinya seluruh potensi atau tidak teraktualisasinya

dirinya secara keseluruhan membuat ia tidakn mencapai kebahagiaan dalam

hidupnya. Oleh karena itu, penulis tertarik melihat gambaran psychological

(25)

I.B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah bagaimana

gambaran psychological well-being pada individu dewasa awal berdasarkan

dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff?

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat

kecelakaan.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya psikologi

klinis, terutama yang berkaitan dengan psychological well-being pada

individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

korban kecelakaan yang mengalami kecacatan fisik untuk terus

mengembangkan potensi yang dimilikinya dan tidak menjadikan

kecacatan sebagai suatu penghalang individu merealisasikan potensi

(26)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para

ahli seperti psikolog untuk dapat lebih peka melihat dinamika

dimensi-dimensi psychological well being pada individu yang cacat

akibat kecelakaan.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai

landasan dalam penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang

menggunakan pendekatan kualitatif dan responden penelitian.

Bab IV : Analisa dan Pembahasan

Bab ini menguraikan mengenai latar belakang responden, data

observasi, data wawancara yang berupa analisa data per responden

dan pembahasannya menurut teori-teori yang ada.

(27)

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai

psychological well-being pada individu dewasa awal yang

mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Kesimpulan berisikan

hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi

saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan

masalah-masalah penelitian serta saran metodologis untuk penyempurnaan

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Psychological Well-Being

II.A.1. Definisi Psychological Well-Being

Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

(dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008) mendefinisikan psychological

well-being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi

diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang

menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya

menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan

membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim

dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological well-being merujuk pada

perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat

berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan,

dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau

aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Ryff (1989) mengoperasionalkan definisi psychological well-being

menjadi enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri (dapat mengaktualisasikan

diri, berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri), dimensi

hubungan positif dengan orang lain (memiliki hubungan yang hangat, intim dan

terpercaya dengan orang lain), dimensi otonomi (bebas, mampu untuk

(29)

lingkungan (mampu memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai

dengan kondisi psikologis dalam rangka mengembangkan diri), dimensi tujuan

hidup (memiliki arah, tujuan, dan makna hidup), dan dimensi pertumbuhan diri

(mampu dan memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan

potensi).

II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam

dimensi psychological well-being, yaitu:

1. Penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri

baik segi positif maupun negatif. Menurut Maslow (dalam Calhoun dan

Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari

individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima

dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas

dan keunikan diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk

mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar

saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang

yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta,

memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan

(30)

3. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib

sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk

mengatur perilaku sendiri.

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola

lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka

mengembangkan diri.

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan

yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu

yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang

jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat

mengabdikan dirinya pada masyarakat.

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh

sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning).

Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat

terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan

(31)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada

diri seseorang, yaitu:

a. Usia

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya

perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai

kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil

meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia

seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya.

Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur

lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan

signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan

positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam

dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan

mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif

dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia &

Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor

yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat

(32)

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial

ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,

penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki

status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya

dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik

dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu

dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai

dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih

tinggi.

d. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme

memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu

masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi

penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang

menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada

dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Faktor Dukungan Sosial

Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan

sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang

(33)

II.B. Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh

menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena

itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi

pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama

dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun

saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya

kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai

kehidupannya memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran

dalam dunia kerja (berkarir), dan mengembangkan sikap-sikap baru,

keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

Levinson (dalam Monks, 1999) kemudian menspesifikkan masa dewasa

awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22

hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam

periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan

berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20

tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara

28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini

menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan,

yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan

(34)

memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa

dewasa.

Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara

lain:

a. Masa Usia Reproduktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah

masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan

berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat

produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).

b. Masa Bermasalah

Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal

ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran

barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka

akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu

rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi

babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran

baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2

peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak

memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan

(35)

c. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis

isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial

dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan

dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan

diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju

dalam berkarir.

d. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah

komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen

baru.

e. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini

berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai

sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang

berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa

seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat

diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan

yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih

menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan.

(36)

f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih

bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda

(peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).

II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hurlock (2004) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal,

antara lain:

g. Mulai bekerja

h. Memilih pasangan

i. Mulai membina keluarga

j. Mengasuh anak

k. Mengelola rumah tangga

l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.C. Cacat

II.C.1. Definisi Cacat

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa

penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau

mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk

(37)

penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi

kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur

atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah

ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk

melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun

handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya

impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal

(dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang

bersangkutan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam

berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik

atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2)

Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik

(kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna) (Alwi, 2005).

ADA atau Americans of Disabilities Act (1990), yaitu sebuah lembaga

yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat

tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1) memiliki

(38)

aktivitas kehidupan sehari-hari; 2) memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut;

atau 3) dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini

merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik,

atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh

berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan

(termasuk alat berbicara), cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary,

hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin

II.C.2. Jenis-jenis Cacat

Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa

kategori, yaitu:

1) tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran

penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas;

2) tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa,

dan ;

3) tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai

akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga

mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan

gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang,

otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh

(39)

II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak

lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian

sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal.

Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik

sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan

(bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan

merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang

dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air

keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan

Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada

individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal

93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya

menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga

puluh) hari sejak terjadi kecelakaan (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, 1992); kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu

sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat

kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan

(40)

ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air

keras, kebakaran, dan jatuh.

II.C.5. Hambatan-hambatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan

antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi

orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal).

Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda

dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut

dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut

yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk

bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak

aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk

dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah

pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka

untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat

kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten

untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi

(41)

perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan

pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan

berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena

hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus

dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu

membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu

dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya

apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga

beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan

mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga

beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal

yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat

individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu

dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah

tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap

menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering

(42)

II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat

Kecelakaan

Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari

orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik

yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan

aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan,

dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran

(bukan cacat bawaan) dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika

individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja,

memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu

kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal

itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari

kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain

terganggu.

Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena

tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri

karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan

dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya,

cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut

membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang

dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada

kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki

(43)

diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah

(44)

PARADIGMA BERPIKIR

Aktivitas Hubungan dengan

orang lain

Mengelola rumah tangga Membina keluarga

Mengambil tanggung jawab

b i

Mencari kelompok sosial

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode

penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan

menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya. Penelitian

kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara

keseluruhan dari perspektif responden sendiri dan yang menjadi instrumen dalam

mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin

diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai psychological well-being

individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting

penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh

tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga

sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’

dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak

cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya

(46)

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif

adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya

tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa

pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta

penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang,

interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada

peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang

fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam

pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan

pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif,

tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

III.B. Responden Penelitian

III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik responden yang

dipilih adalah individu dewasa awal, yaitu individu yang berada pada rentang usia

26-30 tahun (Hurlock, 2004) yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan

III.B.2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes.

Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus

(47)

diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan

tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu

dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3

(tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari

segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif

tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah

responden yang berpartisipasi adalah dua orang. Hal ini dilakukan dengan

mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya

maupun kemampuan peneliti.

III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik

pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan

sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational

construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan

teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai

tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat

representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.

III.B.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil

(48)

Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian,

mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.

III.C. Metode Pengambilan Data

Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber

utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode

pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian

dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam

penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus,

analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus,

dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan

dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif

yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud

melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan

melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).

Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan

menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu

memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman

(49)

Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di

luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi

terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan

mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut

(Poerwandari, 2007).

Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat

bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk

diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan

reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana

keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan

dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam

penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya

bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut

(Minauli, 2002).

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat

yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan

data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

(50)

III.D.1 Alat Perekam (mp4 player)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu

direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak

bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas

yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh

indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan mp4 player, peneliti tidak perlu

mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi

terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan

memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan mp4 player juga memungkinkan peneliti untuk lebih

berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, mp4 player dapat merekam

nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan

dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin

dari partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam

pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang

nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).

III.D.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak

menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap

(51)

juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin

dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek

(checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan

dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang

ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan

secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal

diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

III.E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif

untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam

yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam

bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu

ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas

penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi

masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi

yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas

(52)

1. Memilih calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam

hal ini adalah individu dewasa asal yang berusia 18-40 tahun yang mengalami

kecacatan fisik akibat kecelakaan.

2. Membangun rapport dengan partisipan agar ketika proses wawancara

berlangsung partisipan dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan

suasana tidak kaku pada saat wawancara.

3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan dimensi-dimensi psychological

well-being. Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan

dosen pembimbing. Professional judgement di dalam penelitian ini adalah

dosen pembimbing penelitian ini.

4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data yang akurat.

5. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik

mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian.

Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada

kompleksitas fenomena yang diteliti.

III.F. Prosedur Penelitian

III.F.1.Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:

(53)

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan

dengan gambaran psychological well-being pada seseorang.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,

peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dari

dimensi-dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari

teman-teman peneliti, panti rehabilitasi, rumah sakit, sekolah, dan yayasan

pembinaan olahraga cacat. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti

menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang

akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam

penelitian.

Peneliti melakukan pendekatan ke sebuah panti rehabilitasi bagi orang cacat di

daerah Pematang Siantar untuk memperoleh data mengenai individu yang

mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kecelakaan dan berada pada

rentang usia 18-40 tahun. Peneliti sempat berkenalan dan berbincang-bincang

dengan seorang pasien, berinisial F, yang berada dipanti rehabilitasi tersebut.

Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian F setuju untuk

menjadi salah seorang responden peneliti. Namun ketika peneliti meminta

waktu F dan menyatakan akan berkunjung serta melakukan wawancara, F

menyatakan bahwa F sedang berada di Riau di tempat kedua orangtuanya dan

(54)

Kemudian peneliti mencari informasi dari seorang teman peneliti yang pernah

mendapatkan perawatan dipanti rehabilitasi tersebut mengenai

teman-temannya yang sesuai dengan kriteria penelitian. Teman peneliti

memperkenalkan peneliti dengan H yang tinggal di kota Pematang Siantar.

Peneliti mencoba menghubungi H dan meminta kesediaannya menjadi

responden penelitian. Namun karena kesibukannya bekerja sebagai salah

seorang karyawan di bagian marketing peneliti mengalami kesulitan untuk

membuat janji bertemu dengan H dan peneliti memutuskan untuk tidak

menggunakan H sebagai responden penelitian.

Peneliti lalu mendatangi sebuah yayasan pembinaan olahraga bagi orang cacat

yang berlokasi di jalan Stadiun Teladan Medan. Di yayasan tersebut peneliti

dikenalkan dengan seorang atlet tenis meja berskala nasional, berinisial A,

yang mengalami kecacatan pada tangan kirinya. Peneliti mendapat persetujuan

dari A untuk menjadi responden penelitian dan peneliti sempat melakukan

wawancara pertama dengan A tetapi ketika peneliti meminta kesediannya

untuk melakukan wawancara kedua tiba-tiba A tidak memberikan respon.

Peneliti kemudian mencari informasi mengenai keberadaan A dari

teman-temannya sesama atlet dan peneliti menerima kabar bahwa A sedang berada di

pulau Bali selama beberapa minggu untuk mengikuti pertandingan dan

teman-temannya juga tidak memiliki informasi kapan A akan kembali ke Medan.

Dikarenakan ketidakjelasan kapan A akan kembali ke Medan, demi efisiensi

waktu maka peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan A sebagai

Gambar

Tabel 1. Waktu Wawancara dengan Responden I
Tabel 2. Waktu Wawancara dengan Responden II
Tabel 3. Gambaran Umum Responden  II
Tabel 4. Gambaran Umum Responden  II
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jäseniä IKLY:ssä ovat Inkerin kirkko, Suomen kirkon viralliset lähetysjärjestöt (Suomen Lähetysseura, Suomen Pipliaseura, Suomen Luterilainen Evanke- liumiyhdistys,

Definisi asma yang pertama dihasilkan di Simposium Ciba pada tahun 1958, iaitu keadaan pesakit yang mengalami penyempitan saluran pernafasan yang berubah keparahannya

Media yang dikembangkan bernilai valid dan layak untuk digunakan pada kegiatan pembelajaran dimana penilaian Media Pembelajaran Matematika oleh validator diperoleh

Semen Padang terus berupaya untuk memperkuat budaya kerja unggul, pengelolaan sumber daya manusia yang difokuskan pada program - program peningkatan kapabilitas

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari identifikasi protein excretory secretory larva kedua dorman cacing Toxocara canis yang sudah ditambahkan antibodi anti larva-kedua dari serum

“ Disini guru PAI kami Metode yang digunakan dalam menanamkan nilai akhlak yang pertama keteladanan mengenai sopan santun kepada orangtua/Guru, kenapa kok begitu karena

Pendidikan moral sangat diperlukan untuk ditanamkan dalam usia dini. Pondasi moral anak-anak diera perkembangan media informasi yang global, banyak terdegredasi oleh

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan berbagai macam hasil yang berbeda mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan