• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Data

6. Pertumbuhan Pribadi

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri seseorang, yaitu:

a. Usia

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

d. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Faktor Dukungan Sosial

Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang dirasakan oleh individu tersebut.

II.B. Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai kehidupannya memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran dalam dunia kerja (berkarir), dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

Levinson (dalam Monks, 1999) kemudian menspesifikkan masa dewasa awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22 hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20 tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara 28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan, yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk

memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa dewasa.

Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:

a. Masa Usia Reproduktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).

b. Masa Bermasalah

Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2 peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan masalah.

c. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.

d. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.

e. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.

f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).

II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hurlock (2004) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:

g. Mulai bekerja

h. Memilih pasangan

i. Mulai membina keluarga

j. Mengasuh anak

k. Mengelola rumah tangga

l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.C. Cacat

II.C.1. Definisi Cacat

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,

penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur

atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah

ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun

handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal

(dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang

bersangkutan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna) (Alwi, 2005).

ADA atau Americans of Disabilities Act (1990), yaitu sebuah lembaga yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1) memiliki kelemahan fis ik ataupun mental yang pada dasarnya membatasi satu atau lebih

aktivitas kehidupan sehari-hari; 2) memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut; atau 3) dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik, atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan (termasuk alat berbicara), cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary, hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin

II.C.2. Jenis-jenis Cacat

Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu:

1) tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas; 2) tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa,

dan ;

3) tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf.

II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan

Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal 93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi kecelakaan (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 1992); kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis. Selain yang tertera diatas,

ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air keras, kebakaran, dan jatuh.

II.C.5. Hambatan-hambatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga

perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.

II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan, dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran (bukan cacat bawaan) dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja, memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain terganggu.

Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya, cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki

diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah individu mencapai kebahagiaan.

PARADIGMA BERPIKIR Keterangan : Dewasa Awal Kecelakaan Perubahan Kehidupan Kecacatan/Tidak Lengkap fisik Psychological Well-Being? Penerimaan Diri Pertumbuhan Pribadi Hubungan Positif dengan Orang Lain

Otonomi Tujuan Hidup Penguasaan Lingkungan Tujuan hidup Stres

Aktivitas Hubungan dengan

orang lain Perhatian : berakibat pada : dimensi-dimensi Tugas-tugas Perkembangan Memilih pasangan Mengasuh anak Bekerja

Mengelola rumah tangga Membina keluarga

Mengambil tanggung jawab

b i

Mencari kelompok sosial

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan dari perspektif responden sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai psychological well-being individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

III.B. Responden Penelitian

III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik responden yang dipilih adalah individu dewasa awal, yaitu individu yang berada pada rentang usia 26-30 tahun (Hurlock, 2004) yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan

III.B.2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif

diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang berpartisipasi adalah dua orang. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational

construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan

teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat

representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.

III.B.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.

III.C. Metode Pengambilan Data

Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).

Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewatkan.

Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007).

Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut (Minauli, 2002).

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data antara lain :

III.D.1 Alat Perekam (mp4 player)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan mp4 player, peneliti tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan mp4 player juga memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, mp4 player dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin

Dokumen terkait