INTEGRASI WAKAF-DANA MASJID-KOPERASI (Triangle
Sinergy) SEBAGAI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN
DESA PESISIR
(Studi Kasus Kampung Nelayan Pantai Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta)
Diusulkan Oleh:
Candra Kusuma Wardana NIM. 20150410248 (2015) Rido Argo Mukti NIM. 20140520098 (2014)
Meisya Rani NIM. 20160430017
(2016)
2017
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
Judul Karya :Integrasi Wakaf-Dana Masjid-Koperasi (Triangle Sinergy) Sebagai Strategi Pengentaskan Kemskinan Desa Pesisir
Nama Penulis :
1. Candra Kusuma Wardana 2. Ridho Argo Mukti
3. Meisya Rani
Dengan ini, kami menyatakan bahwa benar karya tulis dengan judul tersebut diatas merupakan karya orisinil saya dan belum pernah dipublikasikan dan/atau memenangkan perlombaan sejenis di tempat lain. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dan apabila terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, maka saya siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab saya.
Yogyakarta, 23 Juli 2017 Ketua Tim
NIM. 20150410248
INTEGRASI WAKAF-DANA MASJID-KOPERASI (Triangle
Sinergy) SEBAGAI STRATEGI PENGENTASKAN KEMISKINAN
DESA PESISIR
(Studi Kasus Kampung Nelayan Pantai Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta)
Candra Kusuma Wardana, Rido Argo Mukti, Meisya Rani
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 pulau serta dua pertiga wilayahnya berupa lautan. Potensi sumber daya kelautan Indonesia didalamnya dapat digolongkan menjadi empat kelompok yaitu renewable resources, nonrenewable resources, OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion), dan environmental services. Disisi lain Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang dapat menjadi modal perkembangan ekonomi maritim. Dalam Islam terdapat berbagai sumber pendanaan yang dapat diberdayakan untuk kepentingan masyarakat seperti dana wakaf dan dana masjid dengan potensi dana wakaf mencapai Rp 3 triliun dan dana masjid mencapai Rp 260 miliar. Tujuan penulisan ini adalah mengoptimalkan potensi wakaf tunai dan dana masjid sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur produksi yang terintegrasi, efisien, sumberdaya manusia berkualitas, berakselerasi tinggi dan sistem manajemen yang baik pada sektor perikanan dan pariwisata berwawasan lingkungan (ekowisata). Gagasan yang diajukan menggunakan peran Koperasi Pantai Siung sebagai pengelola dana Wakaf tunai dan Dana Masjid dalam suatu sinergitas (Triangle Sinergy). Tulisan ini bersifat library research yang disajikan secara deskriptif dan ditunjang oleh beberapa literatur yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Selain itu dikombinasikan dengan data observasi langsung (In-depth Interview) secara tatap muka (Face to Face Relationship) kepada objek studi. Teknik pengolahan data menggunakan Fishbone Diagram dan analisis deskriptif. Tentu, dalam penerapannya dibutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder, diantaranya Badan Wakaf Indonesia, Bank Masjid, akademisi, praktisi, dan pemerintah agar implikasi yang timbul berkelanjutan. Melalui optimalisasi wakaf dan dana masjid, masyarakat dapat lebih mandiri dalam mengembangkan sektor perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir tanpa harus tergantung pada anggaran pemerintah serta menjadi suatu strategi pengentasan kemiskinan bagi masyarakat pesisir.
Pendahuluan
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada) yang meliputi 17.508 pulau. Sejak tahun 1982, berdasar hukum laut internasional (United Nation Convention on the Laws of the Sea, UNCLOS), luas lautan indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi (km2) termasuk
zone ekonomi eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 (Siham, Ramadhani & Intan 2016).
Wilayah pesisir merupakan suatu ekosistem khas yang kaya akan sumberdaya alam baik yang berada didaratan maupun pada perairannya.
Kendati Indonesia memiliki wilayah pesisir dan sumberdaya kelautan yang potensial namun fakta membuktikan bahwa, menurut Jannah (2014), berdasarkan data dari Badan Pusat Stastisitik 2011, dari total 31,02 juta jiwa penduduk miskin nasional, 7,87 juta jiwa diantaranya disumbang oleh nelayan. Dengan kata lain, dari total penduduk miskin nasional, 25,14 persen berasal dari nelayan. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2014), isu utama dalam upaya pengembangan ekonomi kelautan adalah pertama, rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh belum terintegrasinya produksi yang dibangun. Kedua, belum diperolehnya dukungan permodalan dalam rangka pengembangan usaha kelautan. Ketiga, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, serta nimimnya keahlian. Kemiskinan masyarakat pesisir merupakan ironi di negeri ini. Melihat potensi sektor kelautan yang begitu besar, namun masyarakatnya tidak dapat merasakan kekayaan negerinya sendiri.
pertunjukan wayang kulit, serta berbagai warung yang menyediakan jajanan seafood yang menjadi sumber utama pendapatan penduduk di daerah tersebut.
Dalam upaya merealisasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, konsep-konsep baru pembangunan sektor perikanan terus bermunculan, sesuai dengan inovasi dan kreatifitas daerah. Seharusnya masyarakat wilayah pantai Siung tak hanya berprioritas pada pencapaian-pencapaian hasil komoditas perikanan saja, namun lebih dari itu. Karena pada dasarnya sektor perikanan memiliki kompetensi normatif guna melakukan pemanfaatan jasa lingkungan, pengelolaan ekosistem, dan keterampilan berbudidaya, penelitian dan pengembangan teknologi serta promosi. Dengan beragam sumber daya lokal yang potensial didaerahnya dan memiliki diversifikasi produk lokal unggulan, menjadikan wilayah administrasi perikanan dapat “disulap” menjadi kawasan wisata bahari yang memiliki daya tarik kepariwisataan.
Beberapa kendala belum berkembangnya wisata lokal ini dikarenakan beberapa sebab seperti fasilitas yang masih terbatas, belum ada akses internet, dan ketersediaan penunjang wisata seperti penginapan (homestay) yang terbatas. Selain itu, kendala terpenting yakni belum terkonsepnya perencanaan struktural dari segi pemasaran produk lokal yang meyebabkan potensi sumber daya yang ada belum dikelola secara optimal. Permasalahan perencanaan struktural dari segi pemasaran meliputi promosi ikan hasil tangkapan dan promosi destinasi wisata yang masih minim. Sedangkan kendala sistem pengolahan perikanan dan konsep pariwisata berwawasan lingkungan (ekowisata) masih belum dioptimalkan oleh masyarakat.
trilyun. Jika melihat perhitungan yang dilakukan oleh Mustafa Nasution (2001), mengungkapkan bahwa wakaf uang umat Islam di Indonesia saat ini diasumsikan bisa mencapai Rp 3 trilyun setiap tahunnya bahkan bisa jauh lebih besar. Hal ini karena lingkup sasaran pemberi wakaf uang (wakif) bisa sangat luas dibanding wakaf biasa.
Tabel 1. Potensi Aset Wakaf Indonesia Secara Variatif
Penghasilan per
Rp 500.000 4 juta jiwa Rp 5.000 Rp 20 milyar Rp 240 milyar
Rp 1juta -2 juta 3 juta jiwa Rp 10.000 Rp 30 milyar Rp 360 milyar Rp 2 juta – 5 juta 2 juta jiwa RP 50.000 Rp 100 milyar Rp 1,2 trilyun Rp 5 juta – 10 juta 1 juta jiwa Rp 100.000 Rp 100 milyar Rp 1,2 trilyun
TOTAL Rp 3 trilyun
Sumber: Nasution, 2001 diolah
Sedangkan potensi dana masjid sebagaimana contoh di povinsi DI Yogyakarta terdapat dana masjid yang terakumulasi menganggur. Padahal kita tahu bahwa dana masjid akan terus terkumpul, karena sumbernya melalui infaq dan/atau sodakoh melalui kotak amal setiap hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akhyar Adnan, dengan judul penelitian “An Investigation of The Financial Management Practise of The Mosques In The Special Region of Yogyakarta Province, Indonesia” menemukan adanya temuan saldo dari sampel sebanyak 48 masjid di Yogyakarta terdapat keseimbangan surplus sebesar Rp. 42.159.151 (sekitar USD $ 4.485) per masjid. Jika agregat perkiraan dana masjid diseluruh Provinsi Yogyakarta, dalam penelitiannya memperkirakan terdapat sebesar Rp. 269,9 milyar atau setara USD $ 30 juta dana masjid surplus atau menganggur. Berdasarkan temuan ini, peneliti melihat adanya dana potensial yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ekonomi kelautan. Dengan demikian, kedua dana publik Islam tersebut dapat dijadikan sumber dana alternatif guna mempercepat pembangunan di desa pesisir.
Teknik pengumpulan data menggunakan dua metode yakni kualitatif dan kuantitatif. Teknik kualitatif berupa wawancara langsung (in-depth interview) yang dilakukan kepada warga dan petugas pengelola Pantai Siung, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Sementara teknik kuantitatif bersumber dari media informasi online.
Metode pengolahan data dilakukan dengan metode fishbone diagram yang merupakan suatu diagram untuk menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Analisis sebab akibat dilakukan melalui Focus group discussion yang dapat digunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab itu kemudian.
Pembahasan
Sebagai langkah konkrit untuk mempercepat pembangunan sektor perikanan dan ekowisata di wilayah Pantai Siung dapat dilakukan melaui konsep Triangle Sinergy. Triangle Sinergy yang diusulkan merupakan gagasan pembangunan desa pesisir di Yogyakarta dengan mengoptimalkan potensi wakaf tunai dan dana masjid sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur produksi yang terintegrasi, sumberdaya manusia berkualitas, berakselerasi tinggi dan sistem manajemen yang baik. Konsep pembangunan wilayah pesisir tentunya memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Jika pemerintahan daerah khususnya Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta hanya bergantung pada anggaran daerah dan perimbangan, cukup sulit untuk merealisasikan akselerasi pembangunan di wilayah pesisir. Maka, permasalahan anggaran dana yang terbatas dapat diatasi dengan memanfaatkan dua dana publik Islam tersebut.
Adapun langkah pertama yaitu dengan mengidentifikasi faktor penyebab belum optimalnya potensi sumber daya lokal di kawasan tersebut melaui metode Fishbone Diagram menggunakan analisis faktor 7P (product, price, place, promotion, people, physical evidence dan process). Maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor permasalahan pengembangan Pantai Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Product, belum adanya paket wisata yang ditawarkan oleh masyarakat (pengelola). 2) Price, belum adanya standarisasi harga antara satu pengunjung dengan pengunjung lainnya. 3) Place, minimnya fasilitas homestay, guna mendukung keberadaan wisatawan yang ingin tinggal lebih lama. Fasilitas penunjang lain yaitu belum ada jaringan internet. 4) People, keterampilan pengelola wisata bahari maupun inovasi guna mengelola hasil perikanan masih sangat rendah, seperti tata cara menyambut wisatawan dengan ramah. 5) Promotion, belum terbentuknya pihak-pihak manajemen pemasaran yang mempromosikan Pantai Siung secara berkelanjutan. 6) Phisical Evidence, bentuk destinasi belum ditata secara baik, sehingga untuk menciptakan destinasi wisata yang apik masih membutuhkan upaya dari pengelola atau masyarakat. 7) Process, pelayanan yang akan diberikan kepada wisatawan/pengunjung belum berstandar SOP (Standar Oprational Procedure) dan belum ada layanan menyeluruh baik dari segi manajemen administrasi maupun customer sevice management.
Gambar 1. Fishbone Diagram Pengembangan Perikanan dan Ekowisata Pantai Siung
Sumber: Analisis Penulis
Setelah diuraikan berbagai faktor penyebab hambatan terkait pengembangan pantai Siung, langkah selanjutnya yakni mengetahui faktor-faktor utama (potensial) yang paling dominan dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan. Focus group discussion menjadi langkah untuk mengetahui hal tersebut. Hasil berupa kesimpulan bahwa faktor yang paling dominan yakni promosi yang masih rendah, kurangnya alokasi sumber dana, kemampuan SDM yang rendah, dan infrastruktur yang belum memadai.
Kemudian, disusun langkah-langkah strategis pengembangan pariwisata maupun sistem perikanan dan gagasan pemberdayaan masyarakat berbasis koperasi dengan konsep 3E (Environment, Education dan Entrepreneur) melibatkan berbagai stakeholder, diantaranya Badan Wakaf Indonesia, Bank Masjid, Koperasi Pantai Siung, akademisi, praktisi, dan, pemerintah agar implikasi yang timbul berkelanjutan. Sehingga mampu mengarahkan pada pencapaian sektor perikanan dan pariwisata yang unggul berbasis sumber daya lokal.
Selama ini, pengetahuan umum tentang wakaf hanyalah sebuah aset (tanah). Padahal, sejak zaman Rasulullah, wakaf tunai telah ada. Penerimaan dana wakaf tunai memiliki potensi yang cukup besar bila kita bandingkan dengan dana sosial Islam lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian Agama Provinsi Yogyakarta tahun 2014 jumlah masjid di Kabupaten Gunungkidul terdapat 1.863 masjid (https://simas.kemenag.go.id). Penulis meyakini tidak semua masjid tersebut memiliki prosedur pemanfaatan dana yang ada untuk disalurkan ke sektor produktif. Jadi dengan asumsi 30% dari jumlah keseluruhan masjid dan mushola yang ada di kota Yogyakarta dengan keseimbangan dana yang menganggur misalkan hanya mencapai Rp. 20 juta saja maka akan terkumpul potensi dana umat mencapai Rp. 11,178,000,000,00-.
Adapun skema penerapan Triangle Sinegy (sinergi tiga pihak) melalui peran BWI (Badan Wakaf Indonesia), Bank Masjid (Inovasi lembaga pengakumulasi dana masjid yang mengaggur di Daerah istimewa Yogyakarta) dan Koperasi Pantai Siung dapat dilihat pada konsep dibawah ini:
Gambar 2. Skema Pembiayaan Triangle Sinergy Menggunakan Dana Wakaf dan Dana Masjid
V
Sumber: Analisis Penulis
Dari gambar 2. diatas, penerapan Triangle Sinergy dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyerahan harta wakaf oleh waqif kepada nazhir (Koperasi Pantai Siung) atau dapat melaui perantara BWI regional daerah dan penyerahan dana masjid kepada
Bank Masjid. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh Koperasi Pantai Siung.
2. Penyerahan harta wakaf dan dana masjid melalui Koperasi Pantai Siung kepada masyarakat agar kemudian dapat dikelola secara produktif guna penunjang pembangunan sektor perikanan dan pariwisata bahari. Aset wakaf yang berupa uang tunai dapat dimanfaatkan untuk membeli lahan daerah pesisir dan tempat untuk pengolahan ikan bagi nelayan, sebagiannya dana tersebut dapat dimanfaatkan membangun infrastruktur, membeli alat pengolahan ikan dan transportasi untuk menunjang produksi.
Agar dapat menunjang ekonomi masyarakat pesisir, maka dibutuhkan partisipasi berbagai pihak untuk terlibat. Konsep yang dibangun berupa pemberdayaan masyarakat lokal dan nelayan pantai Siung dalam pengembangan wisata dan perikanan dengan tujuan mendukung nilai partisipasi antar elemen penyelenggara kegiatan ekonomi melalui sebuah pendekatan yang berkesinambungan.
Gambar 3. Bentuk Pemberdayaan Ekonomi dalam Konsep Triangle Sinergy
Sumber: Analisis Penulis
Akademisi dan praktisi
Desa Purwodadi Gunungkidul Pemerintah
BWI Koperasi Pantai Siung Bank Masjid
Research and Development
Fisik dan Pelembagaan Human Resource
Development
Sarana-prasarana dan Modal Sosial Inovasi, Teknologi dan
Diferensiasi
Adapun peran dari masing-masing elemen dalam realisasi program ini adalah:
1. Pemerintah, yaitu pemerintah pusat maupun daerah. Peran serta meliputi (1) Regulation role, dalam wujud pembuatan kebijakan melalui perda yang dapat dibuat. (2) Allocation role, dalam wujud distribusi sumber daya, seperti infrastruktur pendukung, transfer teknologi dan tenaga ahli.
2. Akademisi dan Praktisi. (1) Research and Development, terkait bagaimana konsep manajemen pengelolaan dan diferensiasi produk. (2) Human Resource Development, pengembangan kualitas SDM.
3. Masyarakat Pantai Siung. Sebagai elemen utama pemberdayaan.
4. Koperasi Pantai Siung. Sebagai lembaga intermediasi yang berisi aktor-aktor pelaksana pemberdayaan serta sebagai lembaga audit serta pengelola dana wakaf dan dana masjid.
5. BWI (Badan Wakaf Indonesia), berperan sebagai pihak yang menghimpun dan menyalurkan dana wakaf tunai. Lebih dari itu, BWI perlu melakukan kajian tentang wakaf produktif kepada masyarakat dengan jalan sosialisasi, sehingga terciptaya kesadaran masyarakat terkait pengelolaan wakaf produktif bagi peningkatan ekonomi masyarakat.
6. Bank Masjid. Konsep pembentukan bank masjid ditujukan untuk mengakumulasi dana masjid yang menganggur. Bank masjid juga yang nantinya akan mensosialisasikan terkait pentingnya keuangan potensial seperti dana masjid ini agar dapat disalurkan bagi pengembangan dan kemajuan ekonomi umat.
Selain dengan konsep pemberdayaan yang digagas dalam Triangle Sinergy bagi Masyarakat Pantai Siung, ditanamkan juga nilai 3E (Environment, Education dan Entrepreneur) yaitu :
2. Education (Pendidikan dan Pelatihan) Memberikan pendidikan dan pelatihan tentang konsep Triangle Srtategy. Edukasi ditujukan pula untuk pengembangan teknologi tepat guna baik untuk pengembangan wisata maupun perikanan berupa pemasaran dan pengembangan produk.
3. Entrepreneur. Setiap hasil perikanan hendaknya tidak hanya dijual dalam bentuk komoditas primer. Lebih dari itu, perlu diolah kembali sehingga memiliki value added terhadap hasil olahan komoditas perikanan. Perlu juga memperhatikan penggunaan media internet sebagai langkah menjangkau pasar yang lebih luas dan memiliki daya saing ungulan.
Dampak dari penerapan konsep Triangle Sinergy dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai berikut: Pertama, mewujudkan strategi sebagai solusi pengentasan kemiskinan, kerusakan lingkungan dan meningkatkan produktivitas perdesaan yang terdiri dari interaksi ekonomi, sosial dan ekologi yang saling melengkapi dan melindungi satu sama lainnya. Kedua, mendorong tumbuhnya Social Capital di Indonesia. Triangle Sinegy bertujuan mengangkat potensi social capital masyarakat desa pesisir sebagai investasi keberlanjutan pembangunan perdesaan. Ketiga, peningkatan aktifitas ekonomi, dengan penyediaan sarana infrastruktur dampaknya akan meningkatkan lapangan kerja. Mekanisme pembangunan didorong melalui pendekatan aspek ekologi dan budaya tanpa mengabaikan nilai agamis, sehingga dapat, menjadi strategi pengelolaan kawasan perdesaan yang berkelanjutan.
Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, Muhammad. A. (2013) “An Investigation of The Financial Management Practise of The Mosques In The Special Region of Yogyakarta Province, Indonesia”. Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Azra, Azyumardy (2001). “Berderma Untuk Semua”. Jakarta: PT. Mizan Pustaka. Badan Wakaf Indonesia (BWI). “Data Based dan Potensi Wakaf” Diakses pada 18
Februari 2017 dari http://www.bwi.or.id”.
Direktorat Pemberdayaan dan Pulau-pulai Kecil. (2014). “Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan Sebagai Negara Maritim”. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan dan Pulau-pulai Kecil
Jannah, K. M. (2014). 25 Persen Penduduk Nelayan adalah Miskin. Diakses pada 22 Juli 2017 dari http://m.okezone.com/read/2014/11/24/.
Sistem Informasi Masjid. “Profil Masjid/Mushalla 2014”. Diambil dari https://simas.kemenag.go.id/. 22 Juli 2017.
Morgan, Roystone. (2008). “How to Do a Force Filed Analysis-The Seven Steps” diakses dari http://ezineraticles.com/?How-to-Do-a-Force-Filed-Analysis---The-Seven-Steps&id-175274.
Nasution, Mustaf Edwin. (2001). “Wakaf Tunai dan Sektor Volunter: Strategi untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”. Makalah Disampaikan dalam Seminar Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial. Jakarta, 10 November 2001.
Nugroho, I. dan Dahuri, R. (2012). “Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi Sosial dan Lingkungan”. LP3ES: Jakarta.
Pusat Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. (2016). “Sustainable Development Goals (sdgs) Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia”. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan
PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center). (2007). Diakses dari www.pirac.org
Priherdity, Hendro. (2015). “Ekowisata Indonesia, Besar Potensi Minim Optimalisasi”. Diakses dari www.cnnindonesia.com pada 22 Juli 2017.