• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMANKU DIGUGAT Tantangan Bagi Spirituali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMANKU DIGUGAT Tantangan Bagi Spirituali"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

IMANKU DIGUGAT!

(Tantangan Bagi Spiritualitas Mahasiswa Teologi)1 Oleh.Pdt.Sanon, M.Th2

Abstrak

Manusia hanya disebut manusia utuh jika ia menilai dirinya

secara utuh, berpikir utuh, bertindak utuh. Hal ini

mengindikasikan bahwa manusia tidak hanya terdiri atas satu

aspek atau dimensi saja, melainkan multidimensi. Ia terdiri atas

jasmani dan rohani. Ia terdiri atas akal dan batin, intelektual

dan spiritual. Begitu pun halnya dalam konteks mahasiswa

teologi. Ia mesti berpikir holistik, bertindak holistik. Artinya

mesti menjadi mahasiswa kristen sekaligus mahasiswa radikal.

Seseorang yang hanya memenuhi kebutuhan rasional dengan

mengabaikan kebutuhan spiritual atau sebaliknya,

sesungguhnya ia mencampakkan keutuhan diri.

Key word:iman, spiritual, intelektual, pengetahuan, radikal, kristen, alkitab, metode, ilmiah.

1 Tulisan ini pernah dimuat dalam Tim Penyusun, Pambelum: Jurnal

Teologi, Volum 3 No.1 Maret 2011 (Banjarmasin: Bidang Penerbitan dan Publikasi STT GKE, 2011), 46-62.

2 Dosen Tetap Bidang Misiologi di STT GKE. Selain itu juga mengajar

(2)

PENDAHULUAN

Semasa SMU, Putra (bukan nama sebenarnya) terkenal

sebagai pemuda saleh. Aktif dalam persekutuan, kegiatan

pemuda gereja, suka membawa kesaksian dalam ibadah

pemuda dan keluarga. Tanpa ragu ia meyakini bahwa Alkitab

sungguh-sungguh forman Allah. Sejak sekolah minggu, ia

hafal sekali cerita penciptaan bahwa segala sesuatu diciptakan

oleh Allah. Dalam kebaktian SPP (Seksi Pelayanan Pemuda),

Putra sering menawarkan dirinya untuk khotbah. Ia yakin betul

bahwa imannya kepada Yesus tidak lagi salah, tidak akan

goyah. Sebab Dia adalah Allah yang sejati. Dialah juruselamat

dunia. Siapa yang tidak bangga punya anak seperti Putra?

Begitulah kira-kira ungkapan dalam hati kecil orang tuanya.

Selesai SMU, Putra memutuskan untuk kuliah di sekolah

teologi. Keputusannya tanpa kompromi dengan orang tuanya.

Ia ingin sekali menjadi pendeta. Ia yakin betul bahwa Ia

dipanggil oleh Allah menjadi pelayan-Nya. Tentu saja orang

tuanya setuju denga pilihannya. Sebab Bapaknya sendiri sudah

sekian tahun mengabdikan diri menjadi aktivis gereja.

Tepatnya menjadi penatua jemaat di desa itu. Putra ingin

belajar banyak tentang Alkitab yang diyakini sebagai firman

(3)

tentang Tuhan. Beberapa tahun berlalu menekuni kuliah di

pendidikan teologi, putra teringat orang tuanya.

Di sela-sela libur, ia berlibur ke kampung halamannya.

Dengan bangga orang tuanya menerima kedatangannya. Begitu

pun pemuda gereja yang sudah lama mereka akrab dalam

pelayanan pemuda. Sehari lagi, hari minggu akan tiba. Itu

berarti, saatnya akan tiba bagi warga jemaat untuk ibadah

minggu. Di jemaat itu tidak ada pendeta dan vikaris. Hanya ada

Penatua dan diakon. Mereka lah biasanya yang melayani setiap

ibadah di jemaat itu. baik ibadah minggu, ibadah rumah tangga

maupun ibadah dan pelayanan lainnya. Mengingat Putra, si

mahasiswa teologi itu ada di sana, maka Majelis Jemaat

meminta Putra untuk menyampaikan khotbah pada ibadah

minggu kelak. Namun, tanpa diduga, putra menolak

permintaan itu dengan tegas. Ia tidak mau ke gereja. Apalagi

khotbah. “saya tidak akan ke gereja. Apalagi diminta khotbah.

Sebab saya tahu bahwa menurut pelajaran yang saya terima di

kampus teologi, ternyata alkitab tidak lebih dari catatan

dongeng di kala senja. Tidak ada bedanya dengan buku bacaan

biasa yang terdapat kesalahan di sana-sini. Terjemahannya

sudah tidak lagi sesuai dengan bahasa aslinya. Menurut filsafat

yang saya baca, Tuhan itu tidak ada. Tuhan sudah mati.

(4)

yang tidak ada. Oleh karena itu, mulai sekarang, berhentilah

kalian menyembah Tuhan. Sebab itu sia-sia. Yesus itu tidak

lebih dari manusia biasa”. Demikianlah ungkapan Putra kepada

para tua-tua yang memintanya khotbah minggu itu.

Kagetnya bukan kepalang. Para Penatua dan orang tua

Putra termasuk rekan-rekan pemuda nya dulu menjadi heran

mendengar pernyataan Putra. Kesalehannya di masa lalu, kini

sirna. Ia tak lagi suka baca alkitab, berdoa dan beribadah.

“sebenarnya kami berharap, Putralah yang bisa meyakinkan

kami untuk tetap setiap pada agama. Tapi sekarang...? ia

malah benci dengan agama. Kami harus bagaimana?”

demikianlah terpikir di benak kaum muda yang aktif kegiatan

gereja di jemaat atau desa itu.

Itu hanya ilustrasi! Namun yang pasti, ilustrasi di atas

mengungkapkan pergeseran paradigma berpikir manusia

khususnya mahasiswa pasca studi teologi. Banyak orang yang

tidak lagi bertahan ketika imannya terus dipertanyakan baik

oleh orang lain maupun oleh buku-buku yang mereka baca.

Mereka goyah lalu menyerah. Tidak jarang mahasiswa teologi

menjadi putus asa setelah menggumuli pendidikan teologi.

Sebab mereka berhadapan dengan teori-teori di ruang kuliah

yang justru meniadakan keyakinannya semula di masa sekolah

(5)

mereka terima tentang alam semesta, penciptaan dan

ke-Tuhan-an Yesus ditolah habis-habisan. Paling tidak terus

dipertanyakan seraya diragukan kebenaran informasi-informasi

yang ia terima sebelumnya.

Umumnya mereka berharap, masuk Sekolah Tinggi

Teologi (STT) sebagai suatu upaya menemukan bukti bahwa

keyakinan mereka benar. Mereka memerlukan legitimasi

keyakinannya sebelumnya. Dengan lain perkataan, mereka

berharap imannya semakin kuat setelah selesai studi teologi.

Pengetahuan akan Tuhan makin luas. Imannya makin teguh,

hubungan dengan Allah makin erat. Namun ternyata, bagi

sebagian orang justru merasa sebaliknya. Mereka menjadi

ragu-ragu akan keyakinannya. Mereka menjadi kesal dan

kecewa. Sebab iman mereka terus dipertanyakan. Keyakinan

mereka akan kebenaran isi Alkitab ditantang habis-habisan

oleh dosen maupun buku-buku yang mereka baca.3 Dulu sangat

senang dulu sangat senang dengar pendeta khotbah, “saudara

-saudara, percayalah kepada Tuhan, maka anda akan selamat”.

Mereka menjadi senang, lalu merasa tenang. Mereka

menjawab, “amin”. Namun sekarang? Mungkin mereka bilang bahwa khotbag seperti itu terlalu “idealis, mustahil, omong

3 Bdk. David Cupples, Beriman dan Berilmu: Spiritualitas Mahasiswa

(6)

kosong”. Tidak lagi bilang, “amin”, tetapi, “amun kawa (kalau bisa)”. Mereka menjadi kering rohani karena iman mereka sedang digugat!

Akan tetapi, apakah harus begitu? Haruskah mereka

menyangkal imannya karena nalarnya? Haruskah mereka

meniadakan gagasan-gagasan alkitabiah setelah mendapat

pencerahan ilmu pengetahuan? Haruskah mereka

meninggalkan keyakinan nya semula, lalu memuja

intelektualnya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba

diselesaikan dalam tulisan ini. Namun janganlah beranggapan

bahwa solusi-solusi dalam tulisan ini menjadi panduan mutlak.

Tidak! Ini bukan senjata pamungkas mengatasi keraguan.

Tidak bermaksud memutlakkan suatu jawaban. Tulisan ini

sebaiknya dilihat sebagai pengembaraan mencari makna

kehidupan. Karenanya tentu sangat terbuka pada perbedaan

gagasan. Oleh sebab itu, tulisan ini hanyalah ingin membuka

diskusi panjang tanpa akhir dalam menyikapi tantangan

spiritualitas kaum beriman khususnya spiritualitas mahasiswa

teologi dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.4

4 Secara etimologis, ilmu pengetahuan dan sains itu berbeda. Ilmu

(7)

A.HUBUNGAN AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN Iman yang digugat menggambarkan begitu kuatnya peran

ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan agama dalam

kehidupan manusia. Hubungan yang saling pengaruh

mempengaruhi itu sesungguhnya bukanlah perkara masa kini,

melainkan sudah terjadi berabad-abad lamanya. Sejarah

mencatat bahwa relasi keduanya jarang harmonis. Lebih

banyak mengungkapkan relasi dalam konflik. Secara garis

besar, kecenderungan hubungan antara agama dan ilmu

pengetahuan dapat dipetakan menjadi dua yakni Dominasi

Iman atau agama dan dominasi ilmu pengetahuan.

1. Dominasi Iman/agama

Pada era Bapak-Bapak gereja, iman memegang peranan

yang amat penting dalam sejarah peradaban dunia. Ilmu

pengetahuan harus mengabdi kepada agama/iman. Teologi

sebagai acuan berpikir dan bertindak, sehingga teologi

(8)

Ilmu Pengetahuan Iman/Agama

dianggap sebagai ratu ilmu

pengetahuan. Ilmu pengetahuan

harus tunduk begitu saja pada

pandangan kitab suci. Dalam

sejarah kekristenan, apa yang

dicatat dalam Alkitab, itulah

kebenaran. Tidak boleh dipertanyakan

lagi. Dengan kata lain, agama menjadi ukuran kebenaran untuk

segala hal.

Jadi, era patristik merupakan masa keemasan bagi gereja.

Produk-produk berpikir rasional ditolak dan dicampak. Sekali

pun kebenarannya teruji. Itulah sebabnya, gereja dengan

keyakinan imannya membunuh galileo Galilei. Galileo

mengatakan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi,

melainkan bumilah yang mengelilingi matahari

(bdk.Mzm.19:7). Pendapat seperti itu dianggap kesalahan besar

karena bertentangan dengan ajaran gereja yang berpendapat

sebaliknya. Paus Paulus V (1605-1621) dan Paus Urban VII

(1623-1644) memusnahkan Gagileo dengan alasan

pemeliharaan kemurnian ajaran gereja.5

5

(9)

Penulis mengatakan bahwa agama mendominasi ilmu

pengetahuan. Hal ini bukan berarti penguasaan total agama atas

ilmu, melainkan masih ada yang mencintai cara berpikir

rasional. Hanya saja sedikit. Hanya mereka yang mau

membayar mahal lah yang mau mencintai dunia ide. Sebab

setiap orang yang menantang ajaran gereja, pastilah ia siap

mengakhiri hidupnya. Demikianlah salah satu nasib kaum

intelek minoritas pada masanya. Oleh karena itu, tidak heran

manakala Hypatia yakni seorang wanita cantik dan cerdas

harus mengakhiri hidupnya hanya karena menolak lamaran

setiap laki-laki bangsawan dan anggota gereja. Penolakan

Hypatia sebenarnya dilatarbelakangi oleh semangatnya untuk

mencurahkan segala pikirannya dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan dengan menghabiskan waktunya di perpustakaan.

Sikapnya diklaim sebagai wujud pembangkangan atas otoritas

gereja, sehingga Hypatia dibunuh oleh sekelompok anggota

gereja atas perintah Cryl yakni Uskup Agung Iskandaria ketika

dalam perjalanannya menuju perpustakaan Iskandaria.

Anehnya, Cryl malah diberi kehormatan oleh gereja sebagai

orang suci atau santo.6

6 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: dari Hakikat Menuju Nilai (Bandung:

(10)

Iman/agama

Ilmu Pengetahuan

2. Dominasi Ilmu Pengetahuan

Terjadi justru sebaliknya pada era

skolastik atau pada zaman

pencerahan. Ilmu pengetahuan

mengalami revolusi yang luar

biasa. Iman atau agama menjadi

sepi bahkan kerdil dan tidak

menarik untuk dibicarakan di

kalangan kaum cendikiawan. Dengan kata lain, ilmu

pengetahuan menjadi dominan atas agama.

Metode ilmiah memainkan peran penting. Ilmu

pengetahuan diyakini secara mutlak sebagai pemegang

kebenaran yang objektif, universal dan rasional. Sebab

kebenaran ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti data ilmiah

yang tak dapat dibantahkan. Akibatnya, lama kelamaan kaum

religius mulai meragukan kebenaran kitab suci.7 Bahkan

7

(11)

meninggalkannya sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Rasio

manusia menjadi ukuran segala sesuatu. Tokoh seperti Auguste

Comte (1798-1857) menjadi sangat tenar dengan teori

positivistik nya. Teori tersebut menjelaskan bahwa sesuatu

yang benar adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Realitas

sosial itu real, dapat diukur, dapat diidentifikasi, dapat

diklasifikasi. Itu berarti sudah dapat dipastikan bahwa agama

dikucilkan karena meyakini sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu

yang adikodrati, sesuatu yang tidak nyata.8

Percaya saja pada ajaran agama dituduh sebagai wujud

ketidakberdayaan manusia. Paham gnostik yang mengajarkan

bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa, materi itu jahat,

keselamatan hanya dapat terjadi dengan percaya pada yang

supranatural dianggap ketinggalan zaman. Bahkan lebih keras,

Nietzsche menilainya sebagai suatu penyakit manusia beriman.

Nietsche sebagaimana dikutif secara utuh oleh Louis Leahy

mengatakan, “Sejak permulaannya, paham kristen itu pada

hakikatnya dan secara fundamental, bersikap muak dan jemu

terhadap hidup ... kebencian terhadap dunia, fitnahan terhadap

hawa nafsu, ketakutan terhadap keindahan serta seksualitas,

Ilmu: Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 11-27.

8 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu..., 10-17; Lihat juga Greg Soetomo,

(12)

suatu tempat di “sebelah sana” yang ditemukan untuk

memfitnah hal duniawi; pada dasarnya suatu hasrat akan

kehampaan, suatu kehendak akan dekadensi, suatu pertanda

paling mendalam dari penyakit, kelesuan, kepayahan hidup”.9

Kesaksian kitab suci diserang habis-habisan oleh

ilmuwan.10 Mereka tidak menerima begitu saja apa yang

disampaikan oleh Alkitab. Pertanyaan bertubi-tubi ditujukan

kepada agama. Ketika agama tidak bisa menjelaskannya secara

rasional, agama dituduh menyampaikan sesuatu yang salah.

Kitab kejadian misalnya diawali dengan pernyataan “pada

mulanya” dalam mengawali cerita penciptaan (Kej.1:1). Bagi

kaum ilmuan, tidak cukup hanya berdalih bahwa hanya Allah

yang tahu. Mereka mengharapkan jawaban yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Siapa yang hadir

sebelum pada mulanya? Allah? Bagaimana manusia tahu,

sedangkan mereka tidak bertemu dengan Allah? Menurut

(13)

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, akhirnya mendorong

kaum ilmuawan untuk mengimpulkan bahwa kisah penciptaan

tidak lebih dari sekedar mitologi. Pada titik kebutuhan seperti

itu, agama atau iman dipaksa mengaku keunggulan ilmu

pengetahuan.

B. SIKAP MAHASISWA TEOLOGI

Lalu bagaimana sikap mahasiswa teologi menghadapi

tantangan yakni imannya digugat habis-habisan oleh ilmu

pengetahuan, ditelanjangi dari pakaian kebesaran kudusnya?

Setidaknya ada empat respon berbeda. Pertama, Menolak.

Kedua, tunduk saja. Ketiga, pemisahan. Keempat, dipadukan. Masing-masing sikap tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

1. Menolak: Tetap berpihak pada agama

Sebagian memilih cuek, masa bodoh. Biarkan saja. Mereka

tidak tertarik untuk meladeninya atau berdebat dengan ilmu.

Mereka menilainya hanya sebatas pengetahuan yang tidak

lebih baik dari keyakinan imannya. Keyakinan mereka akan

doktrin kitab suci tidak tergoyahkan. Dengan kata lain, mereka

tetap memilih percaya kepada Tuhan sebagai suatu pilihan

kudus, pilihan yang tak terbantahkan. Kehadirannya dalam

(14)

tugas-tugas dalam kerangka mendapatkan nilai dan lulus dengan

baik.

Sudah dapat dipastikan bahwa sulit meyakinkan orang

yang berkarakter demikian. Ia akan lebih banyak membantah

jika diskusi-diskusi di kampus menjurus pada terancamnya

hubungan dengan Allah. Kekuatan apologet ada pada mereka.

Artinya, apologetnya lebih ditonjolkan. Ia tidak membiarkan

begitu saja keyakinan atau imannya diserang oleh kaum

ilmuwan. Mahasiswa semacam ini umumnya lahir dari

keluarga yang tingkat disiplin rohaninya tinggi. Sebab sejak

kecil, mereka sudah ditanam doktrin-doktrin gereja oleh orang

tuanya, oleh gereja, oleh buku-buku bacaan rohani, maupun

dalam persekutuan iman. Sejak kecil mereka memang sudah

dilatih untuk bersungguh-sungguh menekuni imannya. Mereka

sudah memiliki dasar yang kokoh.11

2. Tunduk saja: Meninggalkan iman, lalu memuja ilmu Berbeda dengan kelompok mahasiswa ini. Setelah melalui

proses panjang, mereka memilih untuk menyerah saja pada

ilmu pengetahuan. Bukan saja karena ketidakberdayaan

menjawab pertanyaan-pertanyaan radikal, melainkan juga

dipikir-pikir memang masuk akalnya. Gugatan-gugatan iman

11 Jason Lase(Ed.), Pendidikan Agama Kristen: Untuk Mahasiswa di

(15)

yang diajukan oleh kaum ilmuwan secara rasional ada

benarnya. Jadi, kenapa harus ditolak? Justru sebaliknya,

mereka merasa berada di panggung kebebasan. Mereka telah

dibebaskan dari goa kegelapan setelah sekian lama

mengembara di “dunia seberang” yakni dunia iman yang serba

tidak jelas.

Imannya menjadi begitu mudah digoyahkan. Mengapa?

Karena dasar iman yang belum mengakar. Iman yang hanya

setingkat anak sekolah minggu. Imannya tidak tahan uji. Hal

ini umumnya terjadi pada mahasiswa yang masuk teologi

karena kebimbangan, karena keraguan, mencari jati diri

imannya. Lalu mereka berpikir, masuk teologi akan menolong

mereka mengatasi kebimbangan ini. Menolong mereka

mengatasi pertanyaan-pertanyaan sulit yang belum terjawab

sebelumnya. Mereka berharap masuk teologi untuk

meneguhkan imannya. Mereka berpikir masuk teologi itu

hari-harinya baca alkitab, renungan dan bernyanyi. Ketika yang

terjadi di ruang kuliah sebaliknya, mereka terkejut. Terkejut

karena mereka harus berhadapan dengan bermacam ilmu

seperti logika, filsafat, bahasa yunani dan bahasa ibrani,

sosiologi, agama dan masyarakat dan sebagainya. Kejutan itu

membuat mereka belum sanggup mempertanggungjawabkan

(16)

kencang, ia terombang ambing kian kemari. Imannya dalam

sekejap diruntuhkan oleh pertanyaan-pertanyaan tingkat

mahasiswa, sehingga lebih baik memilih tamat dari panggung

iman, memilih selamat tinggal masa lalu dan selamat datang

masa pencerahan.12

Sekali lagi, rasio menjadi ukuran segala-galanya. Baik

dalam bidang sains maupun agama. Bahkan dengan percaya

diri, mereka mengajukan gugatan-gugatan atas alkitab karena

dinilai keliru dan tidak ilmiah. Pernyataan alkitab harus

disesuaikan dengan penemuan sains. Teks-teks yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dikategorikan

sebagai mitos. Bila perlu, alkitab ditulis ulang dengan dalih

konteks sejarah yang tidak lagi relevan untuk masa kini.13

3. Pemisahan: Iman dan Ilmu dilihatnya terpisah

Sebagian mahasiswa melihat agama dan ilmu pengetahuan

sama-sama penting. Karenanya, ia merasa sangat memerlukan

keduanya. Namun pada saat yang sama ia sadar bahwa

keduanya tidak mungkin disatukan. Keduanya tetap dilihat

sebagai dua wilayah yang berbeda. Baik iman maupun ilmu

pengetahuan dipisahkan oleh objek kajiannya yang berbeda.

12 David Cuples, Beriman dan Berilmu: Spiritualitas Mahasiswa Teologi

dan PAK..., 11-12.

13

(17)

Keyakinannya pada isi alkitab tetap harus dipelihara. Sesuatu

yang tidak terjangkau oleh rasio (hal-hal yang supranatural atau

sakral) manusia menjadi tanggung jawabab menjelaskannya.

Sementara itu, peristiwa-peristiwa alamiah tetap menjadi tugas

ilmu pengetahuan. Keduanya harus terpisah dengan tetap saling

menghargai perbedaan. Pandangan demikian menjadi bersifat

dualistik. Berpikir rasional di bangku studi teologi, menurutnya

suatu kenyataan yang harus dialami dalam rangka mengetahui

segala sesuatu. Persoalan iman, itu masalah lain yang tidak

boleh dicampur aduk.

Pemisahan secara mutlak masih tipis. Dalam arti tentu ada

tumpang tindih dalam berpikir, baik berpikir dalam perspektif

agama maupun dalam perspektif sains. Namun upaya ke arah

sana (independensi) tentu saja ada. Cuples mengatakan:

(18)

diragukan di ruang kuliah dan oleh buku pelajaran. Namun

tidak ada pengaruh atas imannya.14

Hampir dapat dipastikan bahwa mahasiswa kelompok ini

sangat menghargai kebebasan ilmiah. Mereka membiarkan

perbedaan ide atau gagasan dalam studi teologinya. Bahkan

bisa saja ia menempatkan diri sebagai mahasiswa yang kritis di

ruang kuliah. Bisa saja ia meragukan kebenaran kitab suci atau

alkitab dalam studinya.namun dalam praktik iman, ia tetap

memelihara persekutuan, berdoa, membangun hubungan

dengan Tuhan dalam doa, nyanyian pujian. Bukan karena

ikut-ikutan dan malu karena tidak dianggap rohani, melainkan

karena keyakinan imannya. Hanya saja perlu diakui bahwa

pemisahan ini tidak akan terang, melainkan terjadi kekaburan.

Dalam hal dan situasi tertentu, bisa saja ia meragukan imannya,

tetapi tidak sampai meninggalkannya-tidak sampai berubah

setia.

4. Dipadukan (Integrasi): iman dan ilmu dipadukan

Dipadukan dalam arti integrasi dalam diversitas atau

kesatuan dalam keragaman. Dengan kata lain, bermitra dalam

karunia yang berbeda-beda. Sebagian mereka berpikir hanya

14 David Cuples, Beriman dan Berilmu: Spiritualitas Mahasiswa Teologi

(19)

dengan demikianlah imannya menjadi kuat karena menemukan

dasar pemahaman yang dapat diterima secara rasional.

Baginya, apa yang telah lama ia yakini, perlu dikaji di ruang

kuliah. Ada kesadaran bahwa untuk mengerti imannya perlu

studi dengan pendekatan rohani dan ilmiah atas alkitab dengan

tetap menghormati batas dan cara kerja setiap pendekatan

tersebut.15

Pendekatan integrasi berkeyakinan bahwa sumber utama

dalam studi teologi bukan dari ilmu pengetahuan, melainkan

dari alkitab. Namun ilmu pengetahuan dapat menjelaskannya

dengan kaidah-kaidah metode ilmiah. Oleh karena itu, studi

teologi bukan sekedar pemenuhan syarat akademis, melainkan

suatu keperluan untuk menerangkan iman seseorang. Targetnya

menghasilkan mahasiswa yang beriman secara rasional. Cuples

mengatakan:

Pendekatan terpadu bermaksud memadukan akal budi dan hati, ilmu dan iman, teologi dan pengalaman, hidup dan pelajaran dalam penyerahan diri kepada Kristus. Kalau yang hendak kita capai dalam studi teologi adalah pengenalan akan Allah, maka kepercayaan dan kesalehan kita harus terpadu dengan segala usaha teologis kita. Pada zaman ini dibutuhkan ahli-ahli teologi yang mempunyai pengetahuan luas secara akademis dan spiritual sejati, yang

15

(20)

akal budinya makin diperbarui, sehingga ia makin

menyerupai gambar Anak Allah.16

C.BAGAIMANA SEHARUSNYA: SUATU TAWARAN

“Aku berpikir karena itu aku ada”. Kira-kira begitulah pernyataan Rene Descartes, salah satu filsuf terkenal pada

zamannya. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pada

dirinya manusia tidak pernah puas atas pengetahuannya.

Demikian juga halnya dalam hubungannya dengan Allah.

Terbatasnya pengetahuan akan Allah mendorong manusia

untuk terus bertantang tentang Dia. Pengetahuan tentang Allah

dan alam semesta yang masih rahasia besar menuntut manusia

untuk tetap bertanya siapa Allah itu sebenarnya. Bagaimana

alam semesta itu ada sebagaimana adanya sekarang? Itulah

salah satu tugas teologi yakni menjelaskan keberadaan Allah

dan karyanya dalam hubungan dengan dunia. Manusia dapat

mengetahui Allah dari Alkitab dan sains.

16 David Cuples, Beriman dan Berilmu: Spiritualitas Mahasiswa Teologi

dan PAK...,22. Dalam pidatonya di Akademi Pontifikal ilmu-ilmu pengetahuan tanggal 20 Oktober 1986, Yohanes Paulus II mengingatkan kembali kaum Akademisi akan sikap gereja tentang ilmu pengetahuan sebagaimana hasil konsili vatikan II. Dalam sambutannya, Yohanes Paulus II mengatakan bahwa tata pengetahuan yakni tata iman dan akal hendaknya saling memperkaya. Mesti berbesar hati untuk menghargai perbedaan

metode dalam setiap ilmu termasuk metode dalam “TAHU” tentang Allah

(21)

Alkitab yang berisi firman Allah itu mungkin saja ada

bagian-bagian yang tidak dimengerti oleh manusia. Hal itu

sangat wajar mengingat Alkitab ditulis dalam konteks dan

budaya yang berbeda. Karena itu diperlukan suatu ilmu untuk

memahaminya yang disebut hermeneutik atau ilmu tafsir.

Alkitab semestinya dapat dilihat dari kacamata batin atau

rohani maupun ilmiah. Untuk yang terakhir itulah, ilmu

pengetahuan atau sains diperlukan. Dari perspektif iman,

kebenaran tentang Allah dapat diketahui dari Alkitab tanpa

mempertanyakannya lagi. Sebab diyakini bahwa Allah sumber

pengada. Ia adalah sumber sesuatu. Oleh karena itu, Alkitab

sebagai firman Allah tidak mungkin salah. Berbeda dengan

studi ilmiah. Dalam studi ilmiah, alkitab dimengerti dalam

logika ilmiah dengan metode dan cara kerja yang sistematis.

Akal memain peran penting di dalamnya. Mungkin saja

keyakinan atau iman seseorang digoyangkan dengan

pertanyaan-pertanyaan radikal. Dalam situasi begitu, seseorang

cenderung mulai meragukan keyakinannya semula. Mereka

memasuki tahap kegalauan akibat indoktrinasi terus menerus

oleh para ilmuwan.17

17 Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta:

(22)

Kalau begitu, harus bagaimana? Haruskah mereka

mencampakkan kesetiaan dengan meninggalkan imannya?

Seharusnya tidak! Harapan akhir pendidikan adalah perubahan.

Namun bukan berarti belajar teologi menjadikan seseorang

kering rohani. Adalah suatu kekeliruan manakala meremehkan

alkitab hanya karena isinya diragukan secara ilmiah. Bukan

berarti juga menjadi alergi dengan studi yang sistematis dan

kritis. Tidak juga memisahkan agama dan sains jauh-jauh

hanya karena takut jatuh ke dalam pencobaan. Takut imannya

diobok-obok. Sebaliknya justru memadukan keduanya untuk

mendapatkan gambaran yang utuh tentang Allah dan alam

semesta. Jadi, sikap 3.1 s.d 3.3 dalam merespon perjumpaan

agama dan sains tidak bisa dibenarkan.18 Cuples kembali

menegaskan:

Tujuan alkitab satu-satunya ialah agar kita dapat mengenal Allah [di dalam Yesus Kristus] dengan pengenalan sejati yang mendatangkan hidup yang kekal (Yoh.17:3). [kalau mau memahaminya sebagai ilmu pengetahuan, tidak juga salah. Namun ia juga adalah kumpulan ajaran moral]. Alkitab bertujuan memperlihatkan kepada kita cara hidup yang memuliakan Allah dan yang benar di mana Tuhan. Paulus menjelaskan maksud Allah dalam memberi kitab suci sebagai berikut: ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal kitab suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh

18 W. Stanley Heath, Sains, Iman dan Teknologi: Manakah yang Benar:

(23)

iman kepada Yesus Kristus.segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk

setiap perbuatan baik (2 Tim.3:15-17).19

Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa alkitab haruslah

menjadi pegangan untuk mengenal Allah. Dalam rangka

memahami alkitab, bisa dibantu dengan ilmu pengetahuan dan

sains. Bahkan kalau boleh saja katakan, dalam alkitab itu

sendiri terdapat ilmu pengetahuan. Ijinkan saya mengutip

pendapat Friedrich W. Nietzsche dalam karya Louis Leahy

sebagai berikut:

Pada hakikatnya paham [Kristen] itu merupakan suatu ajaran serta suatu ilmu pengetahuan hidup. Ia merupakan ilmu pengetahuan penciptaan...suatu ajaran yang menjadi sumber ajaran informasi yang perlu agar supaya manusia dapat mencapai kesempurnaan. Yesus memberitahukan kepada manusia tentang misteri-misteri kehidupan akrab Allah; dia mengabarkan kepada manusia mengenai tujuan luar biasa yang akan menjadi milik-Nya, jika Ia menghendakinya; Injil menyatakan kepada manusia cinta kasih tak terhingga dari bapak kepadanya, sampai menghendaki agar manusia ikut berpartisipasi pada

kehidupan-Nya sendiri yang akrab.20

Alkitab bukanlah sesuatu yang tabu untuk dijelajahi,

diselam, dan dikritisi. Sebaliknya sia-sialah pengenalan akan

19

David Cuples, Beriman dan Berilmu: Spiritualitas Mahasiswa Teologi dan PAK...,25-26

(24)

Allah tanpa melibatkan akal budi. Namun hendaknya akal budi

itu tidak mencampakkan kesaksian alkitab begitu saja,

melainkan saling melengkapi. Berkaitan dengan hubungan

keduanya, mari sejenak kita melihat pernyataan Salomo dalam

kitab Amsal 1:7, “Takut akan Tuhan adalah permulaan

pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan

didikan.”21

Ada dua hal yang penting untuk dicatat dari nas di atas.

Pertama, hikmat. Setiap orang beriman seharusnya berhikmat. Dengan kata lain, hikmat wajib dimiliki semua orang. Hanya

orang bodohlah yang membenci atau alergi dengan hikmat.

Ada yang terlupakan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan

hikmat? Izinkan saya menebus kealpaan itu. terjemahan

bebasnya, hikmat merupakan kebijaksanaan, kepandaian,

kecerdikan atau kecerdasan. Jadi hikmat itu berbicara tentang

orang yang jenius, kaum intelektual. Seorang yang berhikmat

pastilah seorang intelektual, orang yang berpengetahuan tinggi.

Namun seorang yang intelektual, tidak secara otomatis

berhikmat. Kenapa? Karena hubungan dengan poin kedua di

berikut ini.22

21 Bdk.Amsal 9:10; Mzm.111:10. 22

(25)

Kedua, tunduk pada kuasa Allah. Seorang intelektual seharusnya rendah hati, sadar akan keterbatasan dunia ide dan

metode ilmiah dalam mengetahui alam semesta. Kesadaran ini

mendorongnya untuk mengakui kedaulatan Allah, kuasa-Nya.

Meyakini bahwa Allah sebagai perancang, pencipta. Akal

budinya tidak lebih dari mencari makna di balik rahasia Allah

itu. di sinilah perkara terakhir muncul. Kenapa kaum

intelektual, ilmuan tidak secara otomatis berhikmat? Karena

tidak semua mereka takut akan kuasa Allah. Hal ini nampak

dari penganut kaum antroposentrisme-manusia sebagai pusat

segalanya. Allah dicampakkan, tidak diakui. Bahkan dengan

percaya diri menganggap Allah sudah mati. Sementara itu,

menurut Salomo, takut akan Allah merupakan prasyarat untuk

memperoleh pengetahuan tentang Allah dan ciptaan-Nya.23

Bagaimana agar impian mulia itu terwujud? Tidak lain

selain dari mencintai keduanya. Ia harus menjadi mahasiswa

kritis, tetapi juga mahasiswa Kristen yang tunduk pada ajaran

moral, tunduk pada kuasa Allah. Sebagai mahasiswa kritis, ia

hendaknya tidak berhenti mendayagunakan akalnya untuk

menemukan MAKNA terdalam dari sebuah pencarian ilmu

pengetahuan. Ia haruslah seorang yang suka menggali

informasi dari buku, dosen, sesama mahasiswa, lingkungan

(26)

Teks alkitab

Konteks

hermeneutik Aksi

sosial, meneliti fenomena sosial. Sebagai mahasiswa Kristen, ia

haruslah melakukan dan memelihara disiplin rohani seperti

persekutuan atau ibadah, disiplin doa dan meditasi, bersaat

teduh dan membaca alkitab. Dengan demikian, imannya tidak

cepat runtuh oleh studi-studi kritisnya dalam studi teologi.

Prosesnya nampak dalam gambar di bawah ini.

Jadi studi teologi

itu mesti berupa

lingkaran. Suatu

studi yang tak putus

dan tak pernah

berhenti. Dari mana

mulainya? Terserah!

Kalau tidak dari

konteks, bisa dari teks alkitab dalam mengetahui dunia. Harus

dilihat: apa kata alkitab tentang dunia? Lalu bagaimana konteks

sekarang? Bagaimana dunia dimengerti dalam zaman ini?

Kemudian coba ditafsir ulang. Mana paradigma yang

mengalami pergseran? Lalu cari titik temunya. Bisa jadi

tafsiran atas teks sebelumnya keliru, ataukah konteksnya yang

sudah menyimpang dari alkitab? Output hermeneutik/tafsiran

harus sampai pada penyusunan program rencana aksi. Jangan

(27)

Berikutnya, praktik iman itu harus dievaluasi ulang dengan

melihat teks dan konteks. Seterusnya dan seterusnya harus

begitu.

Berangkat dari deskripsi di atas, studi teologi tidak lain

dan tidak bukan merupakaadalah suatu proses bangun dunia

yakni dunia teologi yang terus menerus berlangsung. Menurut

berger, ada tiga unsur dalam pembangunan dunia atau

masyarakat yakni internalisasi, eksternalisasi dan objektivikasi.

Manusia selalu melibatkan idenya tentang dunia yang ia

bangun. Ia melakukan penghayatan atau perenungan terdalam

dalam dirinya (internalisasi). Kebenaran yang ia yakini

kemudian disusun sedemikian rupa untuk diwujudkan dalam

dunia aksi. Jadi, mencurahkan dirinya ke dalam dunia secara

terus menerus baik berupa aktivitas fisik dan mental

(eksternalisasi), sehingga menghasilkan wujud konkret atau

produk tindakan (objektivikasi). Produk tindakan itu diakui,

dihayati, direnung ulang dalam dirinya (internalisasi). Lalu

dicurahkan kembali di dalam tindakan (eksternalisasi),

sehingga menghasilkan produk baru (objektivikasi). Demikian

seterusnya.24

24

(28)

V. PENUTUP

Apa yang mau ditekankan di sini ialah seorang mahasiswa

teologi, seharusnya menjadi mahasiswa yang beriman dan

berilmu. Dengan kata lain, hendaknya ia menjadi mahasiswa

Kristen yang radikal. Kesimpulan ini menegaskan: pertama,

sebagai seorang Kristen, ia mesti tunduk pada konsep-konsep

moral Kristen. Indikasinya: tidak alergi melakukan praktik

kekristenan.25 Ia juga mesti tidak meragukan kuasa Allah.

Keyakinan itu harus muncul dalam gagasan dan tindakannya

(praksis).

Kedua, sebagai manusia radikal, ia harus bisa mempertanggungjawabkan imannya atau keyakinannya secara

rasional. Ia harus bisa menjelaskan apa, mengapa, dan siapa

yang ia yakini. Pemberdayaan akal budi dalam mencari

kebenaran dan kehendak-Nya sangat penting. Banyak orang

yang beriman buta. Ia percaya kepada Yesus hanya menurut

kata orang. Banyak Kristen keturunan. Ia menjadi Kristen

karena ikut orang tua. Setelah menjadi Kristen, ia tidak mau

menggali imannya. Akibatnya, ia tidak bisa menjelaskan secara

25 Ini suatu konsep untuk maksud yang amat luas/komprehensif. Praktik

(29)

rasional, siapa Yesus itu? kalau Ia Tuhan, mengapa ia lahir dan

mati seperti manusia biasa. Ketika pertanyaan-pertanyaan

seperti itu dilontarkan, ia bingung menjawabnya dengan

dalih:itu kehendak Allah. Jadi tidak perlu dipertanyakan lagi.

Akibat lebih lanjut, imannya goyah, sehingga begitu mudah ia

pindah agama.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. The Sacred Canopy: Element of a Sociological

Theory of Religion. New York: Anchor Books a Division of Random House, 1967.

Conn, Harvie M. Teologi Kontemporer. Malang: Literatur

SAAT, 20087.

Cupples, David. Beriman dan Berilmu: Spiritualitas

Mahasiswa Teologi dan PAK. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Heath, W.Stanley. Sains, Iman dan Teknologi: Manakah yang

Benar: Firman Allah ataukah Sains Modern? ogyakarta: Yayasan Andi, 1997.

Lase, Jason (Ed.). Pendidikan Agama Kristen: Untuk

Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum. Bandung: Bina Media Infoemasi, 2005.

Leahy, Louis SJ. Aliran-aliran besar ateisme: Tinjauan Kritis.

(30)

_____________.Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

_____________.Sains dan Agama dalam Konteks Zaman ini.

Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 200217.

Seran, Alex dan Henriquez, Embu (Peny.). Iman dan Ilmu:

Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Soetomo, Greg. Sains dan Problem Ketuhanan. Yogyakarta:

Kanisius, 1995.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta, 2013.

Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu: dari Hakikat Menuju Nilai.

Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Tim Penyusun. Pambelum: Jurnal Teologi, Volum 3 No.1

Maret 2011. Banjarmasin: Bidang Penerbitan dan Publikasi STT GKE, 2011.

Sanon, Intelektual Kristen: Mencari Format Keseimbangan

Referensi

Dokumen terkait

Metode ASLT merupakan metode penentuan umur simpan produk pangan menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat ( accelerated ) terjadinya reaksi-reaksi penurunan

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

Penelitian mengenai keberadaan dan jumlah sarang maleo pada setiap tipe habitat sangat perlu dilakukan karena hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga populasi,

1 Di dalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karena pemuda

Bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan mampu memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan)

Pada anomali pertumbuhan hati akan terbentuk intrahepatic congenital cysts yang mungkin berasal dari calon buluh empedu yang tidak terbentuk sempurna

Jika nilai tukar Rupiah melemah atau menguat sebesar 14,90% dibandingkan dengan nilai tukar Dolar Amerika Serikat per tanggal 31 Maret 2020 dan 2019 (dengan semua variabel

Dari berbagai analisis yang telah dilakukan terhadap kondisi atmosfer Kabupaten Poso terkait fenomena hujan lebat pada tanggal 17 Juli 2017, baik dalam skala global, skala