• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLO"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLOBAL SEBAGAI BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI INDONESIA

PAPER

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan, mata kuliah Politik Hukum, Semester I, Tahun Akademik 2017/2018

Disusun oleh :

110620170046 Garin Tirana

Kelas A

Dibawah bimbingan :

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.

Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M.

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS PADJAJARAN

(2)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji serta syukur penulis panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ”

KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLOBAL SEBAGAI BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI INDONESIA”.

Dalam penulisan paper ini, penulis mencoba memaparkan hasil diskusi dan informasi dengan kemampuan yang penulis miliki. Meski begitu penulis menyadari, bahwa pada pembuatan paper ini belum mencapai sempurna. Namun demikian, penulis yakin bahwa makalah ini mengandung banyak memberi manfaat bagi kita semua.

Penulis anggap pembuatan paper ini sebagai benteng menuju kesuksesan dalam mencapai suatu tujuan sehingga dalam pembuatan paper ini penulis selalu mencoba bersemangat dan berfikir kritis supaya mendapatkan hasil yang maksimal. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H. dan Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M.

Dosen Pembimbing, orang tua serta teman -teman yang senantiasa memberikan dorongan dan bantuan baik berupa moril ataupun materil sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan baik.

Penulis rasa dalam paper ini terdapat kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan sumbangsih pemikiran, baik berupa saran atau kritikan dari para pembaca. Dan semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandung, 23 November 2017

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

BAB II PEMBAHASAN.. ... 4

A.Peran Film dalam budaya Global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa Indoneisa ... 5

B.Kebijakan Strategis Film dalam budaya Global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa Indonesia ... 7

BAB III PENUTUP ... 14

A.Kesimpulan ... 14

B.Rekomendasi ... 15

(4)
(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar tahun 1945 secara

nyata menyatakan bahwa Indoneisa adalah negara hukum, yaitu pada Pasal 1ayat (3) UUD 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi: “negara Indonesia adalah negara hukum”. Jimly Asshiddiqie menggunakan istilah nomorcy sebagai padanan negara hukum.1 Selanjtnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Perekonomian diselenggarkan berdasarkan atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Maka dapat disimpulkan bahwa Indoneia merupakan negara hukum kesejahteraan (welfarestate).

Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan (welfarestate) dihadapkan pada berbagai tuntutan dalam rangka pembangunan nasional. Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan, antara lain dalam bidang perfilman. Sejalan dengan bergesernya posisi film dari rumpun politik ke rumpun kebudayaan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lahirlah gagasan tentang perlunya paradigma baru.

Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan

memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1 Jimly Ashiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

(6)

Film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukan dengan atau tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi massa yang membawa pesan yang berisi gagasan vital, kepada publik (khalayak) dengan daya pengaruh yang besar. Itulah sebabnya film mempunyai tugas pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Kegiatan pembuatan film melibatkan insan perfilman, pemerintah, pemerintah daerah,

dan masyarakat yang memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Film sebelum beredar dan dipertunjukan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film. 2

Berdasarkan konsideran menimbang huruf a Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (selanjutnya disebut UU Perfilman), bahwa: “Film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman.”

Menurut Pasal 1 angka 1UU Perfilman bahwa :” Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan." Menurut Wibowo, film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita, film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Secara essensial dan substansial film memiliki power yang akan berimplikasi terhadap komunikasi masyarakat.3 Sedangkan menurut Effendy,

film adalah teatrikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan

2 Penjelasan Undnag-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

3 Fred Wibowo, Teknik Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2006,

(7)

digedung-gedung bioskop dan televisi atau sinetron yang dibuat khusus untuk siaran televisi.4

Film dalam budaya global merupakan bentuk ketahanan budaya. Ketahanan budaya memainkan peranan penting terkait dengan isu identitas.5 Istilah ketahanan budaya pun lahir. Walaupun hingga kini, konsep tersebut belum menuju satu definisi yang jelas, sudah banyak para ahli yang

mendefiniskannya. Misal, Menurut TirtoSudarmo, ketahanan budaya disandingkan dengan konsep nasionalisme, yang dianggap sebagai kemampuan sebuah bangsa untuk bertahan terhadap “ancaman”, “serangan”, atau “tantangan” yang umumnya datang dari luar.6

Ketahanan budaya dapat juga diartikan sebagai “culture defence”. Ketahanan budaya yang lemah, dapat menjadi sasaran dari aneka ‘pencaplokan budaya’ dan ‘pencurian simbol’ oleh kekuatan asing.7

Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai perfilman terus mengalami perubahan. Semuanya diarahkan pada pengaturan mengenai perfilman yang dapat menunjang ketahanan budaya bangsa Indonesia yang semakin dihadapkan pada degradasi nilai akibat pengaruh budaya globalisasi.

Banyak pakar sudah menyampaikan gagasannya yang berkaitan dengan perubahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada umumnya, perubahan yang ditawarkan berkaiatan dengan arah kebijakan hukum terkait dengan kehidupan politik dan demokrasi. Hal ini sangat wajar mengingat hukum merupakan faktor penting dalam menentukan arah kebijakan kehidupan politik maupun demokrasi. Dengan kata lain proses kehidupan politik dan demokrasi akan

berjalan dengan baik apabila tersedia aturan hukum yang jelas, tegas,

4 H. Effendy, Mari Membuat Film, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 201

5 Hurip Danu Ismadi, Ketahanan Budaya (Pemikiran dan Wacana), Insignia, Jakarta,

2014, hlm. 7

6 Ibid

7 Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium

(8)

transparan, dan adil.8 Dalam kehidupan politik dan demokrasi sudah cukup banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan. Hali itu dilakukan agar kehidupan politik dan demokrasi dapat berjalan menjadi lebih baik daripada sebelumnya.9

Berdasrkan uraian diatas, maka penulis tertarik membuat sebuah paper dengan judul : KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA

GLOBAL SEBAGAI BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI INDONESIA.

B. Identifikasi Masalah

Bedasarkan latar belakang penelitian diatas, penulis dapat mengidentifikasi permasalahan terkait dengan judul artikel penulis, sebagai berikut :

1. Bagimana Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia ?

2. Bagaimana kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia ?

8 Op.Cit, Hurip Danu Ismadi, hlm. 7 9

Hernadi Affandi, Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Nasional Dalam Pembangunan Politik dan Demokrasi di Indonesia,

(9)

BAB II PEMBAHASAN

A. Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia

Menurut Kartawinata, ketahanan budaya dapat diartikan sebagai suatu proses perwujudan kesadaran kolektif yang tersusun dalam masyarakat untuk meneguhkan, menyerap, dan mengubahsuaikan berbagai pengaruh dari budaya lain melalui proses belajar kebudayaan, yaitu enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi yang disandarkan pada pengalaman sejarah yang sama.10 Film dapat didefinisikan sebagai representasi kebudayaan.

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita didalam pemaknaan tertentu. Cultural Studies memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.11

Dalam Pasal 4 UU Perfilman, dinyatakan bahwa Perfilman mempunyai fungsi:

a. Budaya;

b. Pendidikan;

c. Hiburan;

d. Informasi;

e. Pendorong karya kreatif; dan

f. Ekonomi.

Selanjutnya dalam Pasal 48 UU Perfilman dinyatakan bahwa setiap insan perfilman berkewajiban:

10 Op.Cit

11 Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice,Sage, New Delhi,2004, hlm. 8

(10)

a. Memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;

b. Melaksanakan pekerjaan secara profesional;

c. Melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan

d. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Robert Keohane dan Joseph Nye menyebut globalisasi sebagai proses kontemporer dari globalism. Globalisasi merupakan dimensi lain dari

globalism, selain interdependensi. Globalisme sendiri merupakan jaringan antar negara-negara di dunia yang terhubung secara interdependensi dalam jarak yang melintas benua (multicontinental distantances). Jaringan itu terwujud melalui aliran dan pengaruh modal dan barang, informasi dan gagasan, migrasi masyarakat, dan kekuatan militer, serta substansi biologis dan lingkungan seperti reaksi asam dan patogen. Globalisasi merupakan peningkatan hubungan itu. 12

Dalam menyikapi era globalisasi yang membawa dampak ganda, disatu sisi membuka kesemapatan kerjasama seluas-luasnya antara negara dan di sisi lain era ini membawa persaiangan yang semakin tajam dan ketat dibutuhkan sebuah produk kebijakan yang berdampak pada iklim industri film.

Namun kembali lagi pada fokus utama dari kajian dalam paper ini,

film yang merupakan saran komunikasi harus dibuat dan didasarkan pada nilai-nilai yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia. Perfilman Indonesia harus mencerminkan budaya bangsa Indonesia, yaitu seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia diseluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu setiap film yang akan ditayangkan di Indonesia harus terlebih dahulu diteliti oleh Lembaga Sensor film. Sensor film adalah

12Koehane dan Nye, “Globalization: What’s New? What’s Not? (And So

(11)

penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada khaylayak umum.

Selian itu dalam Pasal 41 UU Perfilman dinyatakan bahwa :

(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

(2) Pemerintah wajib membatasi impor film dengan menjaga proporsi antara film impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi budaya asing.

Sebagai produk representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai refresentasi budaya.

Sebagai media komunikasi masa film dibuat dengan tujuan tertentu. Karakteristik psiologinya khas bila dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal yaitu bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif.13

B. Kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia

Kebijakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kebijakan mengandung arti sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (untuk pemerintahan, organisasi dan sebagainya), penyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

13 Joseph M. Boggs, The Art of Watching Film, Yayasan Citra Pusat Perfilman HaJI

(12)

Selain kebijakan yang diatur dalam peraturan perundanga-undangan yang sifatnya mengikat, pemerintah juga pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (Vrijbeleid). Menurut Bagir Manan, dengan adanya peraturan kebijakan akan terjamin ketaatasasan tindakan administrasi negara dan setiap peristiwa yang mengandung persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat

dipercaya karena didasarkan pada peraturan yang sudah tertentu.14

Menurut Muladi, beberapa langkah atau kebijakan hukum yang harus diambil dalam rangka memperbaiki keadaan bangsa dan negara ke depan dapat berupa:15

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara Hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

3. Menegakan hukum secraa konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM.

Di Indonesia aturan hukum yang mengatur Pertama kali mengenai Perfilman adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Namun dalam perkembangannya, undang-undang tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga perlu dicabut dan diganti. Denagn latar belakang pemikiran tersebut, maka disusunlah

14 Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Vanili Pengadilan, 2008

15 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan

(13)

Rancangan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman sehingga lahir Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman.

Penyususnan UU Perfilman baru ini tentu dilakukan sesuai dengan persyaratan penyususnan undang-undang dengan melibatkan seluruh elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan kemudian akademisi, praktisi-praktisi perfilman, para pengamat film dan

kebudayaan, bahkan para artis juga pengusaha-pengusaha perfilman.16

Undang-undang Perfilman yang baru yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 ini terdiri dari 14 bab dan 90 Pasal, jika dibandingkan dengan UU Perfilman yang lama yaitu UU Nomor 8 Tahun 1992 yang hanya terdiri dari 12 bab 46 Pasal, cakupan undang-undnag perfilman yang bau jauh lebih luas. Pada perubahan ini, Lembaga Sensor Film (LSF) diperkuat pula dalam UU ini. Dengan terdiri dari 19 orang komisioner, dan merekrut sampai 250 orang tenaga sensor.

Lembaga Sensor film diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor film. Peran lembaga sensor film seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah No 7 tahun 1994 bahwa lembaga sensor film mempunyai fungsi melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

Arah dan tujuan pembuatan perfilman harus berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang perfilman Nomor 33 Tahun 2009 terdapat delapan arah dan tujuan perfilman Indonesia antara lain: Pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa, pembangunan watak an

kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa,

16

(14)

pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman, terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan, penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh karena itu, penyensoran melindungi masyarakat dari dampak dan

pengaruh kemungkinan negatif perfilman yang tidak sesuai dengan arah dan tujuan perfilman Indonesia. Keberadaan lembaga sensor film bukan sebagai lembaga penjamin moral akan tetapi menyaring terhadap arus infomasi yang dapat merusak tata nilai dan budaya bangsa terlebih dalam era globalisasi ini yaitu era keterbukaan segala informasi bisa masuk begitu pula dengan perfilman semua jenis film bisa masuk baik film impor maupun film nasional tanpa adanya pembatasan terhadap film dan didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi modern atau disebut juga information and communication technology (ICT) siapa pun dan dimana pun dapat mengakses informasi.

Wewenang Lembaga Sensor Film (Pasal 59 UU Perfilman adalah: melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, melaksanakan penyensoran berdasarka prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor, mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki, mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki, serta

(15)

Selanjutnya pada kurun waktu tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat menilai bahwa UU Perfilman Nomor 33 tahun 2009 dirasa memiliki kekurangan dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, Komisi I mengusulkan untuk memasukan UU Perfilman untuk masuk dalam DAFTAR Proglam Legislasi Nasional (Selanjutnya disebut Prolegnas) periode tahun 2015-2019.

Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), UU Perfilman menjadi salah satu UU yang diagendakan untuk diubah.

Deskripsi Konsepsi (DPR), meliputi :17

Judul : Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Tanggal : 2 Februari 2015

Pengusul : Dewan Perwakilan Rakyat

Latar belakang dan tujuan penyusunan adalah bahwa UU Perfilman masih terdapat substansi Pasal-pasal yang kurang berkesesuaian dan belum jelas serta bertentangan satu dengan yang lainnya, diantaranya:

1. Lembaga Sensor Film dibiayai dari APBN dan dapat didukung oleh APBD;

2. Lembaga Sensor Film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan terhadap film yang disensor;

3. Pengelola dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit oleh Akuntan Publik dan diumumkan kepada masyarakat. Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

17 Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Program

(16)

Selanjutnya Sasaran yang ingin diwujudkan diantarannya adalah mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya industri perfilman Indonesia yang kuat, bermartabat dan berkualitas.

Jangkauan dan Arah Pengaturan RUU Perfilman meliputi :

1. Pengaturan meliputi:

a. Politik kebijakan perfilman nasional yang mendukung terciptanya industri perfilman yang kuat, bermartabat dan berkualitas yang menjamin adanya kemerdekaan berekspresi dan berkreasi sesuai dengan kepribadian bangsa dan tujuan berbangsa dan bernegara.

b. Seluruh aspek yang berkaitan dengan perfilman yang meliputi produksi, distribusi, dan pemasaran film. Kontol dan supervisi terhadap industri perfilman nasional.

Dasar Pembentukan UU Perfilman didasarkan pada Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) UUD1945.

Kejatuhan dan keberhasilan sebuah negara ataupun sebuah industri film ditentukan “kehebatan” kebijakan publiknya, bukan oleh sumber daya alam, posisi strategis, atau politiknya, semua itu hanyalah sebagai faktor pembentuk bukan faktor penentu. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang menguntungkan baik bagi insan perfilman selaku pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen yang saling dapat memeberikan manfaat satu sama lain.

Apabila regulasi perfilman itu sendiri tumbuh dan berkembang secara positif, dipadu dengan bekerjanya peraturan perundang-undangan tertentu

(17)

menguntungkan bagi konsumen apabila semua pihak, khususnya pelaku usaha perfilman, menjalankan dan menaati hukum yang berlaku serta disamping itu, mempunyai moral yang tinggi dalam mengejar tujuan usaha yang dijalankannya.18

18 Nasution A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Dadid Media,

(18)

BAB III PENUTUP A.Kesimpulan

1. Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia bahwa film sebagai ketahanan budaya dapat diartikan sebagai suatu proses perwujudan kesadaran kolektif yang tersusun dalam

masyarakat untuk meneguhkan, menyerap, dan mengubahsuaikan berbagai pengaruh dari budaya lain melalui proses belajar kebudayaan, yaitu enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi yang disandarkan pada pengalaman sejarah yang sama. Dalam Pasal 4 UU Perfilman, dinyatakan bahwa Perfilman mempunyai fungsi Budaya, Pendidikan, Hiburan, Informasi;, Pendorong karya kreatif, dan Ekonomi. Sebagai produk representasi budaya, khususnya di era globalisasi film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai refresentasi budaya.

2. Kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa di Indonesia bahwa di Indonesia aturan hukum yang mengatur Pertama kali mengenai Perfilman adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Namun dalam perkembangannya, undang-undang tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga perlu dicabut dan diganti. Dengan latar

belakang pemikiran tersebut, maka disusunlah Rancangan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman sehingga lahir Undang-Undang

(19)

dengan perkembangan zaman, Komisi I mengusulkan untuk memasukan UU Perfilman untuk masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), UU Perfilman menjadi salah satu UU yang diagendakan untuk diubah. Kejatuhan dan keberhasilan sebuah negara ataupun sebuah industri film ditentukan “kehebatan” kebijakan publiknya, bukan oleh sumber daya alam, posisi strategis, atau politiknya, semua itu

hanyalah sebagai faktor pembentuk bukan faktor penentu. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang menguntungkan baik bagi insan perfilman selaku pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen yang saling dapat memeberikan manfaat satu sama lain.

B. Rekomendasi

1. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan tugas pokok dan fungsi Lembaga Sensor Film Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan menilai layak atau tidaknya suatu film ditayangkan. Supaya tidak terjadi peristiwa-peristiwa dimana suatu film dinyatakan lulus sensor padahal film tersebut tidak layak untuk ditayanngkan, misalnya karena bersifat asusila atau bertentangan dengan nilai-nilai agama. Salah satu caranya dengan menjadikan UU Perfilman masuk dalam Prolegnas 2015-2019.

2. Sebaiknya insan perfilman lebih berhati-hati dalam hal memproduksi suatu film. Jangan sampai film yang seharusnya berfungsi sebagai ketahanan nasional bangsa Indonesia justru malah menimbulkan degradasi nilai bangsa kita sendiri karena bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di negara Indonesia.

3. Sebaiknya masyarakat lebih selektif dalam menentukan pilihan jenis film

(20)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice, Sage, New Delhi, 2004 Fred Wibowo, Teknik Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta,

2006

H. Effendy, Mari Membuat Film, Erlangga, Jakarta, 2009

Hurip Danu Ismadi, Ketahanan Budaya (Pemikiran dan Wacana), Insignia, Jakarta, 2014,

Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme), Mizan, Bandung, 2008 Jimly Ashiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008

M. Boggs, The Art of Watching Film, Yayasan Citra Pusat Perfilman HaJI Umar Ismail, Jakarta 1986

Koehane dan Nye, “Globalization: What’s New? What’s Not? (And So What)?.”dalam Foreign 104Policy, Spring, 2000

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi, dan Reformasi Hukum di Indonesia,

Cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta, 2002

Nasution A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Dadid Media, Jakarta, 2006

B.Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor film

C.Sumber Lain 1. Jurnal

Hernadi Affandi, Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Nasional Dalam Pembangunan Politik dan Demokrasi di Indonesia,

https://blogs.unpad.ac.id/heraff/files/2010/11/PENGATURAN-KEBIJAKAN-HUKUM -DALAM-PEMBANGUNAN-POLITIK.pdf,

diunduh pada tanggal 16 November 2017 Pukul 10.00

(21)

2. Website

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Program Legislasi Nasional www.dpr.go.id/uu/prolegnas, diakses pada tanggal 16 November 2017, pukul 11.00 WIB

Syamsa, Nyimas Gandasri,

http://www.annida.online.com/review/tidak-ada-kontroversi-soal-uu-perfilman-yang-baru-html diunduh pada

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu diperlukan perhatian yang serius untuk menangani kasus ini karena DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok

bahwa setelah penggunaan rokok elektrik lebih dari lima menit, kadar Nitrit.. Oksida udara ekshalasi menurun secara signifikan dan tahanan jalan

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan Problem Based Learning lebih baik

Biasanya gelombang yang menjalar ke semua arah (gelombang bola) Biasanya gelombang yang menjalar ke semua arah (gelombang bola) Contoh gelombang bunyi menjalar di udara dan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi proses produksi patung jangir dengan tungku ukuran kecil dan mengumpulkan variabel keuangan

[r]

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. - KUHP Pasal 360

Adam Malik Medan guru penulis yang tidak pernah bosan dan penuh kesabaran dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis