• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER PADA TOKOH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER PADA TOKOH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER PADA TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL “KUPU-KUPU MALAM” KARYA ACHMAD MUNIF

Endah Susanti

SMP Muhammadiyah Malang

Abstrak

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini: 1)bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa kekerasan yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif?2) bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif? Kekuasaan perempuan sebagai kekuasaan inferior, memaksa perempuan melakukan apa saja yang diminta oleh kaum laki-laki sebagai kaum patriarkhi. Hasil analisis menunjukkan bahwa Subordinasi dan stereotype membuat perempuan mendapatkan perlakuan semena-mena, karena adanya anggapan bahwa kekuasaan terbesar ada pada kaum laki-laki dan perempuan harus tunduk terhadap laki-laki.Perempuan yang dianggap lemah dan tidak mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, membuat perempuan selalu bergantung dan mengakibatkan anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin.Asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya. Maka setiap kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini dengan semakin merendahkan kedudukan perempuan, maka akan semakin diindahkannya kesempatan yang dimiliki perempuan di dalam masyarakat karena merasa di nomor duakan dan tidak dianggap penting.Marginalisasi membuat

kedudukan perempuan inferior dan berdampak pada pekerjaan perempuan yang tidak terlalu bagus (baik dari gaji, jaminan kerja, status pekerjaaan).

Kata kunci: ketidakadilan, gender, perempuan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sastra selalu menghadirkan hidup dan kehidupan dalam masyarakat, semua yang dihadirkan dalam peristiwa sastra dapat terjadi dalam kehidupan nyata, dan kehidupan di luar alam nyata. Namun yang jelas sastra mampu membuat penikmat terkesima dalam peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dengan penuh daya sublimasi, interpretasi, asosiasi terhadap berbagai realitas yang ada dalam kehidupan manusia.

Karya sastra dipandang sebagai cara komunikasi antarpersonal, aparatus interaksi sosial, yang keberadaannya dinilai melalui

sistem antar hubungan peranan. Karya sastra tidak lahir secara alamiah, karya sastra juga tidak dilahirkan dalam kondisi yang khas, karena itu karya sastra tidak dapat dianggap sebagai gejala-gejala yang unik.

Novel, merupakan jenis karya sastra berbentuk prosa fiktif yang mecerminkan kehidupan manusia di masyarakat atau dengan kata lain bahwa novel merupakan mimesis terhadap masalah sosial di

(2)

Masalah sosial yang muncul berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia, serta kemanusiaan itu sendiri. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang dapat mempengaruhi perkembangan relasi yang ada dalam masyarakat. Adanya perbedaan gender di lingkungan sosial yang dipengaruhi baik dari faktor pendidikan, budaya, agama, dan ekonomi menimbulkan ketidakadilan sosial.

Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender yang merupakan proses menganalisis data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk

mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi

Ketidakadilan gender sendiri adalah sifat, perbuatan, perlakuan yang berat sebelah atau sesuatu yang memihak pada jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat meyebabkan kesenjangan sosial antar individu. Hal ini merupakan perwujudan dari proses ketidaksetaraan gender yang dapat mengakibatkan tidak adanya

kebebasan, seperti yang dicontohkan pada bentuk marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Perempuan sering menjadi korban dari tindak kejahatan, hal ini dipengaruhi oleh aspek budaya yang menempatkan kekuasaan laki-laki atau hak milik sepenuhnya ada di laki-laki sebagai kebudayaan patriarkhi. Sehingga, memicu bahwa kedudukan perempuan ada di nomor dua setelah laki-laki. Aspek ekonomi, membuat perempuan tergantung pada laki-laki untuk pemenuhan kebutuhan, karena adanya anggapan bahwa perempuan sebagai tenaga kerja

Hal inilah yang mengantarkan peneliti untuk menganalisis adanya

ketidakadilan gender pada tokoh perempuan, yang ada dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif. Dalam novel ini terdapat pembatasan hak perempuan oleh laki-laki, yang merupakan penindasan terhadap kesempatan yang seharusnya dimiliki perempuan itu sendiri. Anggapan bahwa perempuan mempunyai tugas pokok sebagai pengatur kehidupan domestik rumah tangga. Tugas pokok bahwa perempuan melayani suami, memberikan keturunan, menjaga kehormatan suami, dan menjadi pendidik bagi anak membuat kesempatan perempuan menjadi tidak seimbang dengan laki-laki.

Kekuatan-kekuatan yang

mendeskriminasikan perempuan, antara lain pada lapangan pendidikan, penggunaan tenaga kerja, agama, perempuan miskin dan malang, gambaran perempuan dalam media massa, hak-hak politik perempuan, dan keluarga. Hal inilah sebagai faktor yang menggap bahwa perempuan sebagai kaum yang pasif.

Masalah

Permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut: 1) bentuk ketidakadilan gender berupa

kekerasan yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif,

2) bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif.

Berdasarkan pembatasan tersebut, maka masalah dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(3)

2) bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif?

Kerangka Teori

Menurut Sugiarti (2001: 2), karya sastra merupakan khasanah intelektual yang dengan caranya sendiri merekam dan menyuarakan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Karya sastra berbeda dengan teori-teori, tidak hanya berbicara kepada intelek pembaca, melainkan kepada seluruh kepribadian termasuk keinginan, emosi, dan khayalan-khayalannya. Pendeknya,

kesusastraan merupakan bagian integral yang penting dan proses sosial.

Maka dengan adanya pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa karya sastra merupakan bagian dari sosiologi sastra yang menurut Endraswara (2003: 78), sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Sastra tentunya tidak menyodorkan fakta secara mentah, namun suatu kenyataan yang telah ditafsirkan.

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Secara implisit, karya sastra merefleksikan proposisi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang, dan masa mendatang. Oleh karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup dan dinamis.

Beranjak dari novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif, yang sangat berhubungan dengan nilai-nilai sosiologi, didapatkan adanya perbedaan gender di lingkungan sosial yang dipengaruhi baik dari faktor pendidikan, budaya, agama, dan ekonomi menimbulkan ketidakadilan sosial. Hal ini akan memicu tentang kehidupan

perempuan itu sendiri dan berkaitan dengan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan.

Konsep Gender

Konsep gender menurut Fakih (1996: 8), dijelaskan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun

perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sejarah perbedaan gender antara manusia dan laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Maka, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan bahkan oleh negara.

Sosialisasi tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah. Sebaliknya konstruksi sosial tentang gender dengan dialektika akhirnya

tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Maka, karena konstruksi sosialisasi tersebut

mempengaruhi tidak saja pada

perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, namun secara fisik dan biologis mempengaruhi perkembangan berikutnya.

Proses sosialisasi dan rekonstruksi yang berjalan secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit lagi dibedakan apakah sifat-sifat gender seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum lelaki perkasa itu dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau suatu kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.

Gender dalam Sastra

(4)

akan menarik dan mengenai sasaran bila dikaji secara ekstrinsik. Hal itu merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan pengarang melaui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri

merupakan kenyataan sosial (Santosa dalam Satoto, 2000: 251).

Kesusastraan sebagai lembaga sosial, menampung berbagai aspirasi masyarakat yang disuarakan oleh pengarang melalui karya sastra yang dihasilkannya. Masalah kekuasaan tidak luput menjadi perhatian para sastrawan sejak zaman dahulu sampai sekarang.

Salah satunya wacana tentang persoalan gender tidak akan pernah lepas dan sistem sosial, budaya, politik yang berlaku dalam suatu negara atau dengan kata lain, realitas persoalan gender merefleksikan realitas sosial budaya politik yang ada.

Gender adalah dikotomoi ada laki-laki, ada perempuan. Namun, dalam

persepektif gender, dengan adanya dikotomi nature (bahwa dalam menentukan laki-laki dan perempuan berbeda, setidaknya dari segi jasmani, karena itu perempuan bisa

mengandung dan laki-laki hanya bisa membuahi) dan nature (bahwa ternyata kebudayaan, adat istiadat, hukum, dan sebagainya mengacu pada kepentingan laki-laki). Seolah untuk menjadi manusia,

perempuan harus menghapus jati dirinya dan mengikuti laki-laki, dan seolah perempuan tidak mungkin menjadi ketua. Dikotomi telah menyulap diri menjadi hirarki laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan, dan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

Pengertian Ketidakadilan Gender

Menurut Fakih (1996: 11) perbedaan gender menyebabkan berbagai

ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau

memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Jika konstruksi gender dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender

mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana lelaki dan perempuan berpikir bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut.

Pembedaan yang dilakukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai kelompoklah yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan

perempuan.

Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi (proses pemiskinan bagi kaum perempuan), subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1996: 12). Uraian berikut membahas secara rinci masing-masing manifestasi dari ketidakadilan gender:

1)Marginalisasi

Marginalisasi terhadap perempuan terjadi sejak berada di rumah tangga, diskriminasi terjadi atas anggota keluarga yang lelaki dan perempuan. Proses tersebut mengakibatkan memiskinkan kaum

(5)

pengasuh, keibuan, dan lembut. Figur dominan perempuan di mana saja, masih tetap sama dengan zaman paleolitik yaitu sebagai ibu dan pengasuh anak-anaknya. Figur dominan perempuan seperti inilah yang dianggap sebagai kendala besar bagi terwujudnya kesetaraan gender.

2) Subordinasi

Pandangan gender, menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, maka dianggap tidak dapat memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1996: 15).

Bentuk-bentuk subordinasi terjadi dalam segala macam perbedaan tempat dan waktu. Misalnya di Jawa, yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bahkan, pemerintahan pernah memiliki peraturan bahwa suami dapat mengambil keputusan sendiri ketika hendak belajar jauh dari keluarga. Praktik seperti itulah yang sesungguhnya berangkat dari suatu kesadaran gender yang tidak adil.

3) Stereotype

Stereotype yang terjadi sering dijadikan sebagai pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Misalnya, label yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya. Maka setiap kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini.

Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah

melayani suami. Stereotype berakibat layak sekali pendidikan kaum perempuan

dinomorduakan. Stereotype terhadap kaum perempuan ini banyak terjadi di mana-mana. Peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan, dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype ini.

4) Kekerasan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menyebabkan orang terhalang untuk

mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kekerasan dapat berupa perilaku kasar, sehingga menyebabkan suatu yang mencemaskan, rasa takut sehingga berdampak pada sesuatu yang tidak menyenangkan.

Kekerasan atau violence adalah gabungan dua kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” berasal dari kata ferre yang berarti membawa. Menurut

Poerwodarminto (dalam Sugiarti, 2003: 79) menjelaskan, bahwa kekerasan diartikan sebagai sifat, kekuatan, paksaan. Sedangkan, paksaan berarti membawa kekuatan,

paksaan, dan tekanan.

Kekerasan menurut Galtung (Sugiarti, 2003: 79) adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Berdasarkan beberapa konsep tersebut, jelas bahwa kekerasan selalu berhubungan dengan tindakan atau perilaku kasar, mencemaskan, menakutkan, dan selalu menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi korbannya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.

Penjelasan tentang kekerasan oleh Budi Sampurna bahwa kekerasan merupakan tindakan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual bahkan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, baik terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (dalam Luhulima, 2000: 52). Kemudian, Luhulima (2000: 11) memetakan secara umum tentang bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan, antara lain mencakup:

(6)

Laki-laki secara fisik lebih kuat daripada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang lebih tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat, laki-laki juga dibiasakan untuk melatih dan menggunakan fisiknya.

Sehingga, hal ini memicu perempuan sebagai korban tindak kekerasan fisik yang dilakukan pelaku kekerasan (Luhulima, 2000: 18).

Kekerasan fisik dapat berupa pemukulan, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat atau senjata, membunuh, kekerasan dengan benda tajam, siraman zat kimia atau air panas.

Pada pemeriksaan atas korban akibat kekerasan fisik, yang dinilai sebagai akibat penganiayaan didapati perlukaan bukan karena kecelakaan. Hal ini dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga fatal.

b) Kekerasan secara Psikologis

Jika ditelaah dari aspek psikologi, ada tiga penjelasan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu: pertama, penjelasan yang mengarah ke kondisi internal. Karakteristik pribadi atau psikopatologi pelaku kekerasan yang menyebabkan kekerasan kemudian terjadi. Misalnya, kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang “terganggu”, tertekan, memiliki banyak konflik dan masalah, yang kemudian direspon dengan cara melakukan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya. Pandangan ini biasanya menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan hal umum, melainkan hal sangat khusus atau kasuistik.

Kedua, penjelasan yang mengarah ke alasan-alasan yang dilekatkan

kekarakteristik pribadi korban kekerasan. Masuk dalam bagian ini adalah penjelasan

bahwa kejadian kekerasan diprovokasi oleh korban, misalnya dengan tingkah lakunya yang mengundang atau korban memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang menyebabkannya mudah mengalami kekerasan (penuntut, histerik, masokistik). Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya, karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Hal ini dapat digambarkan dalam bentuk berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misal keluarga, anak, suami, teman dekat).

c) Kekerasan secara Seksual

Kekerasan seksual yaitu melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak, melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. Pornografi (dengan dampak sosial yang sangat luas bagi perempuan pada umumnya).

d)Kekerasan secara Finansial

(7)

penganiayaan dari orang pada siapa korban menggantungkan hidup. Hal ini yang membedakan perempuan Kekerasan finansial dapat berupa mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang hingga sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban.

e) Kekerasan secara Spiritual

Kekerasan bersifat spiritual, yaitu kekerasan dalam bentuk merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.

Seorang sosiolog Robert Merton (dalam Sugiarti, 2003: 76) memandang bahwa kekerasan sebagai perilaku

menyimpang, yang terjadi ketika orang tidak punya pilihan atau cara yang sah untuk mendapatkan sesuatu, maka mereka akan melakukan penyimpangan, diantaranya tindakan kekerasan. Dengan kata lain, terdorong untuk menggunakan cara (instrumen) illegal, misalnya kekerasan untuk mencapai tujuan secara budaya menjadi tuntutan pemenuhan kebutuhan.

Terdapat hubungan antar berbagai macam kekerasan dilakukan terhadap perempuan seluruh dunia. Perkosaan dan pemukulan yang berakibat pada kematian, perusakan atau pemotongan organ intim perempuan (seperti Afrika), pembuatan pornografi. Hubungannya adalah karena perempuan dilihat sebagai objek yang harus dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya (Sugiarti, 2003: 82).

Pemanfaatan perempuan dalam jaringan prostitusi dan perdagangan internasional telah menjadi pusat perhatian

penting dalam kejahatan internasional yang terorganisir, mengingat bahwa keadaan tersebut merupakan faktor penyebab (tambahan) dalam pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, serta kebebasan pokok perempuan. Mengingat bahwa korban dari perdagangan internasional tersebut menghadapi resiko yang lebih tinggi terhadap kekerasan lebih lanjut, kehamilan yang tidak dikehendaki dan infeksi melalui hubungan intim, termasuk infeksi HIV atau AIDS.

5) Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, maka anggapan itu membawa akibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Hal ini mengakibatkan banyak kaum perempuan harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan, dan kerapian rumah tangganya.

Bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban kerja dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga inilah yang menjadi korban

sesungguhnya bias gender di masyarakat. Bekerja lebih lama dan berat, tanpa perlindungan dan kejelasan kebijakan negara.

Metode

(8)

karya Achmad Munif. Adapun sumber data berupa novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif yang diterbitkan oleh Media Pressindo pada tahun 2005 di Yogyakarta.

Hasil Analisis Data

Analisis Bentuk Ketidakadilan Gender berupa Kekerasan yang Dialami Tokoh Perempuan dalam Novel “Kupu-kupu Malam” Karya Achmad Munif

Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa analisis gender merupakan jenis kelamin yang dimiliki laki-laki dan perempuan, yang dapat membentuk relasi sosial yang membedakan fungsi, peran, dan tanggung jawab

keduanya. Hal ini berakibat terbentuknya ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan gender tersebut.

Ketidakadilan gender merupakan sifat, perbuatan, perlakuan yang berat sebelah atau sesuatu yang memihak pada jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat meyebabkan kesenjangan sosial antar individu, termanifestasi dalam beberapa bentuk ketidakadilan seperti bentuk kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, psikologi, seksual, finansial, dan spiritual. Lebih jelasnya akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya dan disertai dengan contoh kalimat maupun kutipan-kutipan dialog yang terdapat dalam novel “Kupu-kupu Malam”.

1) Kekerasan Fisik

Dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya Achmad Munif ini, terdapat perilaku bentuk kekerasan fisik. Kekerasan ini dapat mengakibatkan suatu ketakutan dalam diri korban sebagai bentuk ancaman terhadap pelaku kekerasan tersebut.

Kekerasan fisik dapat berupa pemukulan, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat atau senjata, membunuh, kekerasan dengan benda tajam, siraman zat

kimia atau air panas. Diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh tokoh Kemi pada Sriyati yang hendak dianiaya. Tokoh Rum yang merupakan perempuan “penjajah seks”, mendapat kekerasan fisik dari Kurdi. Pada saat Rum tidak ingin melayani hasrat seksual laki-laki itu. Maka ia dipaksa agar melakukan hubungan itu dengannya, meskipun Rum mendapatkan pukulan, tamparan, dan Kurdi melukai anggota tubuh Rum dengan putung rokok yang telah disulut api.

2) Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis yang

digambarkan sebagai bentuk penindasan atas perbedaan jenis kelamin. Menyebabkan muncul berbagai bentuk ancaman,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang dan dapat

menimbulkan traumatik terhadap korban kekerasan psikologis.

Kekerasan psikologi dapat berupa tindakan berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misal keluarga, anak, suami, teman dekat). Misal, luapan kekecewaan seorang perempuan yang bernama Nurima terhadap laki-laki yang pernah menyakitinya. Hal itu dapat berupa suatu ungkapan menyumpah dan menguntit dalam hati sebagai bentuk dendam.

Sedangkan, Sarti yang dianggap menggoda Dokter Pram, membuat Sarti terhina ketika warga desanya menyebut sebagai

perempuan penggoda.

3) Kekerasan Seksual

(9)

Diantara kekerasan seksual yang terjadi mengarah kepada ajakan atau desakan seksual, seperti mengucapkan hal-hal yang merendahkan dan melecehkan terhadap aspek jenis kelamin korban. Misalnya, tindakan yang mengarah kepada ajakan atau desakan seksual seperti

menyentuh, meraba, dan mencium terjadi pada para penari tayub. Sampur sebagai alat yang digunakan para penari tayub,

merupakan sebuah budaya dari tradisi yang seharusnya dilestarikan. Namun, hal ini disalah gunakan bagi laki-laki “nakal”, sampur digunakan penari untuk mengajak para penonton menari dan bukan

memanfaatkan penari tayub untuk melakukan tindakan seksual.

4) Kekerasan Finansial

Kekerasan finansial yang cenderung dihitung dengan nominal, membuat korban merasa dirinya sebagai “lahan uang”. Sarti atau Agustin dapat dicontohkan sebagai tokoh yang menjadi korban pemerasan Gandon. Agustin yang bekerja, Gandonlah yang mendapat upah. Dari pengeluaran Agustin demi untuk pemenuhan kebutuhan pribadinya, harus menyisihkan uang untuk Gandon. Agustin merasa diperas Gandon, dan membuat dirinya merasa dikendalikan Gandon. Gandon merasa dialah yang paling berjasa atas kesuksesan Agustin selama itu, dan Agustin berhak untuk membalas budi terhadapnya.

Analisis Bentuk Ketidakadilan Gender berupa Marginalisasi yang Dialami Tokoh Perempuan dalam Novel “Kupu-kupu Malam”, Achmad Munif

Jenis ketidakadilan selain kekerasan terhadap perempuan yang dibahas dalam penelitian ini, adalah marginalisasi. Marginalisasi yaitu bentuk pemiskinan, peminggiran, dan tidak dianggap penting peran perempuan oleh laki-laki, baik secara illegal maupun legal.

Masyarakat membentuk relasi yang kemudian tercipta pembagian kekuasaan lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini dapat meciptakan kondisi yang tidak seimbang, baik dalam memperoleh hak maupun kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap kelas kedua setelah laki-laki dan perempuan terpinggirkan karena adanya perbedaan tersebut. Perempuan dianggap mempunyai pandangan feminin, artinya perempuan hanya dianggap sebagai pengasuh, keibuan, dan lembut.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan tentang analisis ketidakadilan gender pada tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam”, karya Achmad Munif, maka didapatkan kesimpulan tentang bentuk ketidakadilan gender terhadap kekerasan yang dialami tokoh perempuan dan bentuk ketidakadilan terhadap marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Kupu-kupu Malam, karya Achmad Munif. Maka, kesimpulan tersebut dapat diungkapkan:

1. Kekuasaan perempuan sebagai kekuasaan inferior, memaksa perempuan melakukan apa saja yang diminta oleh kaum laki-laki sebagai kaum patriarkhi.

2. Subordinasi dan stereotype membuat perempuan mendapatkan perlakuan semena-mena, karena adanya anggapan bahwa kekuasaan terbesar ada pada kaum laki-laki dan perempuan harus tunduk terhadap laki-laki.

3. Perempuan yang dianggap lemah dan tidak mampu melakukan segala

sesuatunya sendiri, membuat perempuan selalu bergantung dan mengakibatkan anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. 4. Asumsi bahwa perempuan bersolek

(10)

dengan label ini dengan semakin merendahkan kedudukan perempuan, maka akan semakin diindahkannya kesempatan yang dimiliki perempuan di dalam masyarakat karena merasa di nomor duakan dan tidak dianggap penting.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Bahan pembelajaran analisis gender Pengarusutamaan Gender (PUG) bidang hukum. 2006.

Departemen Hukum dan HAM, diakses 1 September 2009.

Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan

Kalyanamitra.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM.

. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (edisi revisi).

Malang: UMM.

Kusniarti, Tuti. 2002. Pengantar Sejarah dan Sastra Indonesia. Malang: UMM.

Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan

dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: P.T Alumni.

Munif, Achmad. 2004. Kupu-kupu Malam. Yogyakarta: Media Pressindo.

Munti, Ratna Batara. 2007. “RUU KUHP Masih Diskriminatif Terhadap Perempuan?”. Jakarta:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tim. 1990. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik: Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM.

Satoto, Sudiro dan Zainuddin Fananie (Eds.). 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan.

Surakarta: UMM Press.

Sugiarti. 2001. Pengetahuan dan Kajian Prosa Fiksi. Malang: UMM.

. 2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. Malang: UMM.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

 Kelebihan : (1) pengarang jurnal ini semua berasal dari tingkatan RN dan telah berpengalaman dalam dunia keperawatan, sehingga analisis pemikiran mereka juga tentunya sangat

Improvement of the accountability of the education organization: Organizing education in collaboration with an international education institution will improve. accountability,

Merupakan tanah yang dimiliki atau diperoleh dengan maksud untuk digunakan dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap digunakan. Aktiva tetap tanah diakui pada

(Alm)., (2) Fungsi tari Baris Katekok Jago yaitu sebagai Tari Wali yang ditarikan sebagai pengiring disetiap upacara Dewa Yadnya dan upacara Pitra Yadnya

Penelitian ini dilakukan pada pekerja Kecantikan Kuku (Manicure-Pedicure) di Salon The Nail Shop Medan tahun 2016 untuk mengetahui hubungan anatara usia, lama kerja,

1. Guru menyiapkan sebuah wacana, kemudian keluarkan kalimat- kalimat yang terdapat dalam wacana tersebut ke dalam kartu-kartu kalimat. Strategi Belajar Mengajar.

Salah satu asumsi lain yang dapat digunakan yaitu faktor penyebab j dan faktor penyebab total dalam penyusutan jamak memiliki distribusi seragam untuk penyusutan

Identifikasi Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap Risiko Perangkat Daerah dan Risiko Kegiatan dengan cara mengidentifikasi penyebab