• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA POLISI (Studi Kasus Nomor.114Pid.2012PT.TK) Oleh: FERRY ADTIA HUTAJULU ABSTRAK - PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA PO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA POLISI (Studi Kasus Nomor.114Pid.2012PT.TK) Oleh: FERRY ADTIA HUTAJULU ABSTRAK - PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA PO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DELIK

PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM ANGGOTA POLISI (Studi Kasus Nomor.114/Pid./2012/PT.TK)

Oleh:

FERRY ADTIA HUTAJULU

ABSTRAK

Pencabulan adalah proses, cara, perbuatan melecehkan, kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan. Perbuatan pencabulan yang dilakukan oleh seorang anggota polisi bersama dengan tiga orang temannya kepada seorang wanita oleh hakim dipidana penjara selama sepuluh (10) bulan penjara pada tingkat banding merupakan putusan yang lebih ringan dibandingkan dengan putusan hakim pada tingkat pertama yaitu dua (2) tahun penjara. Adapun permasalahan dalam penulisan ini, yaitu : bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap oknum polisi yang melakukan pencabulan ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor.114/pid./2012/PT.TK.) dan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota polisi yang melakukan pencabulan ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor. 114/pid./2012/PT.TK). Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan dua (2) pendekatan, yaitu: pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris, adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, setelah data diolah kemudian dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil terbukti melakukan tindak pidana pencabulan dan dihukum penjara selama sepuluh (10) bulan, hakim menjatuhkan pidana penjara sepuluh (10) bulan terhadap Aulia Rahman Bin Abdul Jalil karena menurut pandangan hakim unsur dari pelanggaran pasal 289 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tidak terpenuhi seutuhnya Terdakwa sudah dianggap mampu bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya tersebut dan telah terpenuhinya sebagian unsur-unsur dari pasal 289 KUHP serta hal yang memberatkan.Saran yang diberikan penulis adalah hakim dalam mengambil keputusan terhadap suatu perkara pidana harus lebih cermat dan hati-hati agar tujuan akhir dari adanya proses hukum yakni penegakan rasa kebenaran dan keadilan dapat terpenuhi. Karena pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa menurut hemat penulis terlalu ringan mengingat terdakwa adalah seorang anggota polisi yang memiliki tugas melindungi dan mengayomi masyarakat.

(2)

CRIMINAL LIABILITY OF MOLESTATION OFFENSE DONE BY THE MEMBER OF POLICE

(VERDICT’S STUDY OF DISTRICT COURT IN TANJUNG NO.114/Pid./2012/PT.TK)

By:

FERRY ADTIA HUTAJULU

ABSTRACT

Molestation is a process, mean, act , harassment, indecent, violating decency and morality, The judge verdict on appellate jurisdiction to sentace the member of police along with three of his friends with 10 months impriosment for molesting a woman is lighter than original jurisdiction’s 2 years imprisonment sentace. The focus of this research are how the criminal liability to the molesting police officer (Verdict’s study of Tanjung Karang District Count No.114./pid./2012/PT.TK) and the judge basic consideration to judge the molestation case (Verdict’s study of Tanjung Karang District Count No.114./pid./2012/PT.TK). This research use two approaches normative juridicial approaches and empiric juridicial approaches, there are two data type, primary and secondary data which analyzed using quantitative method to reach a conclusion which shows the facts from the research result it can be concluded that the defendant, Aulia Rahman Bin Abdul jalil, is proven guilty for molestation and sentenced with 10 months imprisonment. The reason behind this verdict, according to the judge is the violation element of article 289 KUHP Jo article 55 paragraph (1) of-1 KUHP is not fulfilled. The defendant is considered able to responsible of his criminal conduct and several elements of Article 289 KUHP are fulfilled, The researcher suggest that the judge should be more selective in improsing verdict so that the ultimate of legal process, the enforcement of sense of the truth and justice, can be fulfilled. The researcher feels that verdict was too lenient since the defendant is a police officer whose duty is to protect people.

(3)

I. PENDAHULUAN

Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat Indonesia, berkaitan dengan kejahatan maka kekerasan sering menjadi pelengkap dari dari bentuk kejahatan itu sendiri. Dilihat dari persfekit kriminologi, kekerasaan ini menju pada tingkah laku yang berbeda-beda baik mengenai motif maupun tindakanya, seperti kejahatan seksual yang belakangan ini sering terjadi dimasyarakat, diantaranya tindakan perkosaan, pelecehan seksual, ekspolitasi, penyiksaan dan tindakan pencabulan, semakin maraknya tindak kekekrasan terhadap perempuan diperlukan kesadaran baik dari masyarakat maupun dari aparat keamanan Kepolsian Negara Republik Indonesia (polri) sebagai media pelyan masyarakat yang memiliki tugas utama yaitu ketertiban dan keamanan masyarakat (kambtibmas), ubtuk menangani maraknya tidank pidana kejahtan seksual tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, nuansa kemasyarakatan atau sosial memunculkan paradigma baru dalam sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berbagai kejahatan dan tindak pidana sering dilakukan oknum anggota polisi, Seperti hal nya yang terjadi pada kasus pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil seorang anggota kepolisian dimana korbanya adalah seorang perempuan yang bernama Rini Hatati Binti Darmo Suwito. Kasus ini diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan hakim yang mengadili yaitu Fx. Supriyadi sebagai Ketua Majelis, Ahmad Virza dan Rudi Rafli

Siregar masing-masing sebagai hakim anggota.

Putusan yang diucapkan dalam sidang pengadilan Tanjung Karang menjatuhkan pidana selama sepuluh bulan penjara terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 289 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Delik Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Oknum Anggota Polisi ( Studi Putusan Nomor.114/pid./2012/PT.TK)”

Berdasarkan uraian latar belakang di atas. Permasalahan dalam skripsi ini adalah:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota polisi? (studi putusan

Nomor.114/pid./2012/PT.TK) b. Bagaimana pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan terhadap delik pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota polisi dalam perkara nomor.114/pid/2012/PT.TK

(4)

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Pertanggungjawaban pidana pelaku pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota polisi (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 114/Pid/2012/PN.TK).

Berdasarkan putusan pengadilan

Tinggi Tanjung Karang

No.114/Pid.B/2012/PT.TK.) bahwa terdakwa Aulia Rahman terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan dan dilakukan bersama-sama terhadap korban Rini, oleh karena itu Aulia

Rahman harus

mempertanggungjawabkan tindakan pidana tersebut. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang mengandung perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsure pertanggungjwaban pidana kepada pelakunya. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya. Dasar adanya tindak pidana adalah asal legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan ileh Undang-undang yang mengaturnya dan diancam dengan pidana kepada barang siapa yang melakukannya, sedangkan dasar dari pemidanaan itu sendiri adalah asas tindak pidana tanpa ada kesalahan. Seseorang tidak mungkin mempertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan tindakan pidana tidaklah selalu dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana apabila terbukti mempunyai kesalahan. Psykhis (bathin) orang yang melakukan perbuatan dan

hubungannya dengan perbuatan yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal adanya kesalahan adalah sebagai berikut :

1. Keadaan bathin (psykihis) dari orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu mengenai keadaan bathin dari orang yang melakukan melakukan perbuatan dalam ilmu pengetahuan hokum pidana merupakan soal yang lazim disebut kemampuan bertanggungjawab. 2. Hubungan antara keadaan bathin

dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga orang itu dapat dicela karena pebuatannya, yaitu mengenai hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah “kesenjangan, kealpaan, serta alasan pemaaf”

sehingga mampu

bertanggungjawab.

Kasus pencabulan yang terjadi dikota Bandar Lampung yang termasuk wilayah hokum pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Terdakwa adalah seorang anggota polisi yang bernama Aulia Rahman Bin Abdul Jalil (22 tahun) dengan seorang janda bernama Rini Hartati Binti Darmo Suwito. Tindak pidana pencabulan tersebut dilakukan terdakwa pada hari Minggu 23 oktober 2011, bertempat di Lapangan Tanah Merah Komplek PKOR Jalan Agung Way Halim Bandar Lampung.

(5)

yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya, masalah. Pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh

karena adanya asas

pertanggungjawaban yang dengan tegas “tidak dipidan tanpa ada kesalahan” untuk menetukan apakah seseorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hokum pidana, akan dilihat apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hokum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.

Ulibasa hutagalung melanjutkan bahwa kesalahan diartikan sebagai keadaan tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan tindak perbuatan pidana, sedangkan menurut Sobeng Surandal selaku jaksa pada Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undan. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang dilarang, maka akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Selain itu menurut Sobeng Surandal, untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal

yaitu adanya kemampuan untuk untuk membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafanya tentang baik buruknya perbuatan yang dilakukan. Sementara itu Aulia Rahman Bin Abdul Jalil (terdakwa), adalah seorang yang mampu bertanggungjawab dengan jiwanya yang sehat, dan juga sebagai anggota kepolisian yang tugasnya sebagai penegak hukum dan sudah mengetahui bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum dan juga dapat menentukan kehendaknya sebgai kesadarannya. Berkaitan

dengan kemampuan

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Menurut ketentuan pasal 44 ayat (1) seorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua (2) alas an yaitu :

1. Jiwa nya cacat dalam pertumbuhan dan

2. Jiwanya terganggu karena penyakit.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab kecuali ada tanda-tanda yang meunjukan lain. Maka dapat diambil kesimpulan

bahwa pengertian

(6)

diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

Berdasarkan pengertian dan karakteristik atau unsur suatu pertanggungjawaban pdana yang telah dijelaskan oleh para nara sumber maka dalam kasus ini terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil terbukti sah melakukan tindak pidana yaitu yaitu tindak pidana pencabulan bersama saksi terdakwa lainnya. Terdakwa memiliki kemampuan untuk menerima resiko dari perbuatan yang telah diperbuatnya sesuai dengan

undang-undang sehingga harus

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya karena telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana dan dinyatakan sehat jasmani dan rohani dan sebagai beban dengan menerima sanksi disiplin dari kepolisian atas perbuatan tercela yang mencoreng nama baik kepolisian.

Dalam hal ini penulis setuju dengan para nara sumber, Penulis berpendapat bahwa berdasarkan kronologi kasus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil dengan kesengajaan, niat, kesadaran serta dengan keinginan sendiri melakukan tindak pidana tersebut sehingga terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil patut dan layak untuk dijatuhkan atau dikenakan pertanggungjawaban pidana dan menerima sanksi pidana sesuai Undang-undang yang mengaturnya yaitu pasal 289 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam kasus ini terdakwa terbukti bersalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan ancaman pidana paling lama Sembilan (9) tahun penjara, sehingga terdakwa sudah dianggap mampu bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya tersebut karena sudah memenuhi unsur tindak pidana serta tidak adanya alas an pemaaf bagi terdakwa.

B.Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oknum Polisi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 114/Pid.B/2012/ PT.TK).

Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus di hormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihakpun yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal. Baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat. Menurut Mackenzie sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai (2011:105), ada beberapa teori dan pendekatan yang dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangankan penjatuhan putusan dalam suatu perkara sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

(7)

undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antaralain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakta, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim, sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

c. Teori Pendekatan Keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistemik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan haki. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalama dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapi sehari-hari, dengan pengalaman

yang dimilikinya, seorang hakim akan dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarlam pada motivasi yang jelas untuk menegakan hukum dan membiarkan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

(8)

pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara

yang merdeka untuk

menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselengaranya Negara Hukum Republik Indonesia, namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana menurut seleranya sendiri tanpa ukura tertentu.

Dalam keputusan hakim harus dipaparkan proses pemikiran, yang dapar diikuti oleh orang lain, sehingga dalam pemberian pidana oleh hakim dapat diikuti oleh orang lain terutama terdakwa, orang yang paling berkepentingan dalam proses pemeriksaan ini. Tinggi dan rendahnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dapat menimbulkan kesenjangan antara keharusan atau harapan dan kenyataan. Harapan yang timbul dimasyarakat dan korban agar pelaku dipidana dengan seberat-beratnya, tetapi berbanding terbalik dengan keluarga terdakwa dan terdakwa itu sendiri dengan harapan masyarakat dan keluarga korban yang mengharapkan pidana yang diberikan serendah mungkin dan diberikan alasan pemaaf. Diperlukannya pembuktian yang sah menurut undang-undang sehingga seseorang dapat diadili dan dijatuhi pidana, yang mana pembuktian yang sah tersebut adalah sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 183 KUHAP.

Alat-alat bukti tersebut dapat berupa keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; maupun keterangan terdakwa.

Pembuktian yang sah menurut undang-undang ini adalah salah satu pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. Pertimbangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara selanjutnya adalah dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan dakwaan dan tuntutan itulah kemudian mengarahkan hakim untuk melakukan pembuktian di persidangan.

(9)

pemberian pidana yang khusus, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana.Pasal-pasal dalam KUHP hanya menyebutkan maksimum pidana dan tidak menyebutkan minimum khusus pidananya. Sehingga harus dikembalikan pada Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Dalam batas minimum dan maksimum umum ini, hakim bebas bergerak untuk menjatuhkan pidana yang tepat menurut keyakinanya.

Pasal 289 KUHP telah menyebutkan ancaman pidana adalah pidana penjara paling lama sembilan tahun, sehingga hakim tidak boleh memberikan pidana terhadap pelaku berada dibawah ketentuan KUHP. Dakwaan atau tuntutan Jaksa

Penuntut Umum juga

melatarbelakangi berat ringannya pidana yang dijatuhkan oleh hakim, disamping faktor-faktor lainnya, seperti pelaku, perbuatan dan korban. Berdasarkan dakwaan jaksa tersebut, hakim dapat mempertimbangkan pidana yang tepat terhadap pelaku.

Menurut hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Kelas IA Tanjung Karang Ulibasa Hutagalung, S.H.,M.H yang menangani kasus ini, pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pidana pencabulan yang dilakukan oleh oknum polisi, bahwasannya hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana didasarkan pada tidak

terpenuhinya seluruh unsur-unsur Pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, setelah itu akan ditentukan apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah pelanggaran hukum atau bukan pelanggaran hukum.Setelah diketahui bahwa perbuatan itu melanggar hukum, maka hakim menentukan pidana terhadap diri terdakwa atau pertanggungjawaban terdakwa terhadap perbuatannya yang telah dilakukan yang selanjutnya menjatuhkan pidana dan jika sebaliknya maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana yaitu seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan.

Menurut hakim yang menangani kasus ini, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi pidana selama 10 (sepuluh) bulan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh oknum polisi (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No.114/Pid.B/2012/PT.TK), yaitu sudah terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 289 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Barang siapa

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

3. Menyerang kehormatan kesusilaan

4. Membiarkan dilakukannya perbuatan cabul

Menimbang unsur-unsur dakwaan penuntut umum tersebut, majelis hakim mempertimbangkan sebgai berikut:

1. Unsur barang Siapa

(10)

dengan barang siapa adalah menunjuk pada manusia sebagai subyek hukum, yaitu seorang

yang dianggap mampu

mempertanggung jawabkan perbuatannya berdasarkan hukum pidana. Dalam perkara ini yang diajukan sebagai terdakwa oleh Penuntut Umum adalah Aulia Rahman Bin Abdul Jalil dengan identitas sebagai terurai dalam dakwaan dan berdasarkan pengamatan majelis hakim selama persidangan ternyata terdakwa dapat memberikan keterangan secara runtut dan jelas serta dapat menerima serta menolak keterangan para saksi secara terperinci, maka majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa dapat dianggap mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka berdasarkan pertimbangan tersebut unsur barang siapa disini telah terpenuhi.

2. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memkasa seorang wanita

Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bahwa pengertian kekerasan disini menurut pendapat majelis hakim terdapat 2 (dua) macam, yaitu kekerasan fisik yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak berdayanya fisik untuk melakukan perlawanan terhadap orang yang melakukan kekerasan tersebut dan kekerasan psikologis yaitu kekerasan yang tidak menimbulkan rasa sakit bagi tubuh, akan tetapi menimbulkan perasaan takut atau perasaan tidak berani untuk melawan atau menolak perintah atau kemauan

dari orang yang ditakuti itu.

3. Menyerang Kehormatan Kesusilaan

Bahwa yang dimaksud dengan segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkaran nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada.

4. Membiarkan dilakukannya perbuatan cabul

Bahwa yang dimaksud dengan membiarkan dilakukannya perbuatan cabul adalah membiarkan terjadinya perbuatan cabul yang diketahuinya terhadap seorang wanita.

(11)

kepolisian serta melakukan perbuatan cabul bersama-sama rekan kerjanya sebanyak 3 (tiga) orang yang bernama Sabarudin, Sukarman dan Martin. Rekan terdakwa sudah lebih dulu melakukan hubungan tubuh terhadap korban, sedangkan terdakwa Aulia Rahman terbukti telah membiarkan ketiga rekannya melakukan tindak pidana perkosaan.Perbuatan yang tercela tersebut mereka lakukan dengan cara bergantian dimana yang menyetubuhi korban pertama kali adalah Saburudin, kedua yaitu Martin Arizona kemudian Sukarman dan terakhir yaitu terdakwa Aulia Rahman yang datang yang kemudian menanyakan kepada korban apa yang terjadi setelah itu terdakwa memegang paha dan alat kelamin korban yang tidak berdaya lagi.

Kemudian menurut penulis, hakim harusnya mempertimbangan hukuman terhadap terdakwa karena terdakwa melakukan pencabulan setelah saksi sabarudin selesai memperdaya saksi korban dan meninggalkan korban disemak-semak. Hakim yang menjatuhkan pidana selama 10 (sepuluh) bulan, selain karena unsur Pasal 289 KUHP tidak sepenuhnya terpenuhi, pencabulan yang dilakukan bersama-sama rekannya 3 (tiga) orang, ada juga hal-hal yang memberatkan terdakwa, yaitu:

1. Perbuatan terdakwa mencemarkan nama baik dan masa depan korban.

2. Perbuatan terdakwa dapat mencemarkan nama baik lembaga Kepolisian Republik Indonesia Daerah Lampung.

3. Terdakwa sebagai anggota polisi yang bertugas untuk melindungi seluruh masyarakat, akan tetapi melakukan perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat.

Selain hal-hal yang memberatkan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu: 1. Antara terdakwa dan korban telah

terdakwa dan korban telah terjadi perdamaian sebagaimana tercantum dalam surat pernyataan perdamaian tertanggal 27 Oktober 2011, demikian juga saksi korban Rini Hartati yang menerangkan bahwa diantara terdakwa dengan saksi korban Rini Hartati telah terjadi perdamaian.

2. Terdakwa berlaku sopan dipersidangan.

3. Terdakwa belum pernah dihukum. 4. Terdakwa menyesal dan berjanji

tidak akan mengulangi perbuatannya.

Setelah pertimbangan yang singkat mengenai hal yang memberatkan dan meringankan tersebut, untuk menentukan lamanya pidana dijatuhkan, biasanya kemudian diakhiri dengan kalimat sederhana: “menimbang, bahwa dengan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut, maka pidana yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa menurut hakim/majelis hakim telah sesuai dan setimpal dengan kesalahan yang dilakukan terdakwa.”

(12)

pidana yang dijatuhkan menjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan yang seharusnya diancam atau dijatuhkan.

Memang harus diakui, bahwa Pasal 197 KUHAP hanya menggariskan materi muatan suatu putusan, tetapi tidak mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana hakim dapat sampai pada suatu pemidanaan sekian lama. Begitu juga dengan KUHP, dimana didalam ketentuan umunya tidak mengatur tata cara menentukan berat ringannya hukuman, maupun dalam bab II tentang kejahatan dan pelanggarannya hanya menetukan batasan maksimum pidana. Selain itu, di dalam undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana juga hanya menentukan batasan minimum-maksimum pidana, tanpa memberikan pedoman bagaimana proses hakim sampai pada kesimpulan lama pidana sekian bulan atau tahun dan sebagainya, sehingga semuanya berpulang pada hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman didalam level interval ancaman pidana tersebut.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya di dalam skripsi ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh oknum polisi diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung

Karang pada perkara

Nomor.114/Pid.B/2012/PT.TK yang menyatakan bahwa terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan dan membiarkan dilakukannya tindak pidana perkosaan terhadap warga sipil dengan korban bernama Rini Hatati Binti Darmo Suwito yang diatur dalam Pasal 289 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan tersebut, karena sudah memenuhi unsur unsur suatu tindak pidana yaitu perbuatan terdakwa telah mempunyai unsur-unsur perbuatan manusia, diancam atau dilarang oleh Undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu dipertanggungjawabkan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang divonis pidana selama 10 (sepuluh) bulan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 114/Pid.B/2012/PT.TK adalah tidak terpenuhinya seluruh unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum yaitu unsur-unsur dari Pasal 289 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Barang siapa;

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita;

3. Bersetubuh dengan dia; 4. Diluar perkawinan.

(13)

1. Perbuatan terdakwa mencemarkan nama baik dan masa depan korban;

2. Perbuatan terdakwa dapat mencemarkan nama baik Lembaga Kepolisian Republik Indonesia khususnya Kepolisian Daerah Lampung;

3. Terdakwa sebagai anggota Polisi yang bertugas untuk melindungi seluruh masyarakat, akan tetapi melakukan perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Wahid, Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advodkasi atas Hak Perempuan. Refika Aditama, Bandung.

Darminta, Poerwa, W.J.S, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Farid, Zainal, Abidin, 2009, Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andy, 2009, Delik-delik tertentu dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta.

Marpaung, Leden, 1991 Unsur-unsur Perbuatan yang dapat dihukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Moeljatno, 2008, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1987, Pembaharua Hukum Pidana di Indonesia,

Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Poernomo, Bambang, 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirdjono, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung.

Santoso, Topo, 1997, Seksualitas dan Hukum Pidana, IND.HILL-CO, Jakarta.

Sugahandi, R., 1980, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan penjelasannya, Surabaya.

Soerjono, Soekanto,. 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Soeharto,1999, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta.

Suparman, Marzuki, 1997, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Tongat, 2009, Dasar-dasar Hukum Pidana dalam Persfektif Pembaharuan, UMM Press, Malang.

Surbakti, Edi. 1997. Permasalahan

dan Asas-Asas

Pertanggungjawaban Pidana. Bandung: Alumni.

Utrecht, 1986. Hukum Pidana 1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

(14)

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Referensi

Dokumen terkait

Subjek dapat memenuhi indikator mengenal berbagai konsep dan menginterpresentasikan konsep dengan cara menuliskan arti dari simbol dan menerapkan sesuai sifat-sifat

diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan kualitas auditnya, auditor tetap harus memiliki kehati-hatian dan kecermatan dalam mengaudit agar laporan yang dihasilkan

Tujuan dilakukannya penelitian adalah mengidentifikasi bentuk interaksi sosial antarsiswa dalam pembelajaran di kelas IV SDN 1 Grendeng dan mengetahui implikasi interaksi

Bigne et al ., (2010) dalam studinya di bidang pariwisata menemukan bukti nyata bahwa citra secara positif mempengaruhi niat untuk berkunjung lagi diwaktu yang akan

Sub-sub judul dalam buku ini antara lain, Kota Raya di Tepian Brantas (membahas tentang sejarah Kerajaan Majapahit dan lahirnya Kota Mojokerto), Batik

Tanaman bambu dimanfaatkan untuk membuat aneka kerajinan tangan khas suku dayak desa yang dikemas dalam bentuk souvenir dengan kreasi model-model baru merubah ukuran aslinya

Lebih lanjut, Permendagri ini menyatakan bahwa ada mixed- approach sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip tersebut, “Orientasi Proses Pendekatan Perencanaan Politik (penjabaran

Tujuan utama dari masalah ground-holding dengan dua terminal dalam pengendalian lalu lintas udara adalah meminimumkan biaya penundaan pesawat yang terjadi di