ELISA APRILIA MANAJEMEN ESAI
Membangun Konsep Pendidikan yang Memanusiakan Manusia: Eksistensi Peran Negara dalam Pencapaian Tujuan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dalam Belenggu Globalisasi di Indonesia
Globalisasi yang terjadi diberbagai negara berperan besar dalam aspek-aspek kehidupan manusia dalam segala bidang misalnya, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa diera informasi yang begitu deras ini kemudian muncul berbagai tantang dan permasalahan baru yang harus dipecahkan. Pendidikan sebagai salah satu hal yang penting pun tak luput dari pengaruh globalisasi. Sebagai alat pentransformasian pengetahuan, pendidikan menjadi penting bagi setiap orang di dunia ini. Selain itu, penjustifikasian atas benar-salah ataupun baik-buruk diperoleh dari proses pendidikan.
Pendidikan dikalangan pendidik radikal, dibagi menjadi dua perspektif atau pandangan. Yang pertama, bahwa pendidikan ataupun penyelenggaraan proses belajar-mengajar diantaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasrnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan system sosial ekonomi maupun kekuasan yang ada. Dan kedua, bahwa pendidikan adalah proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhakan kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Pendirian yang kedua ini, berangkat dari asumsi, bahwa manusia dalam system dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena ekploitasi kelas, dominai gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sarana untuk “memproduksi” kesadaran untuk mengembalikan kemanusian manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Contoh rilnya, pendidikan di Indonesia saat ini nyatanya tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan. Selain itu swastanisasi akibat pengaruh dari globalisasi-neoliberalisme membuat lahirnya kesenjangan-kesenjangan baru dalam dunia pendidikan dimana, hanya orang-orang berpunya yang dapat menikmati pendidikan yang layak. Tidak sampai disitu saja, lembaga pendidikan kemudian semakin terabaikan oleh pemerintah dan semakin menjadi hal yang menarik bagi masuknya investor-investor. Pemerintah yang saat ini berada dalam naungan globalisasi-neoliberalisme seakan bernaung dalam wewenang satu pihak, pengetatan untuk menciptakan yang disebut “keteraturan” dan penarikan atas subsidi-subsidi. Dan para investor-investor yang kemudian menjadikan kaum yang dididik sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan dan bisnisnya. Hasilnya, orang-orang yang ada dalam proses pendidikan entah fasilitator ataupun peserta didik saat ini menjadi apatis dan menerima apa adanya segala kebijakan yang ada. Padahal, pendidikan seyogianya bukan untuk menjadikan seseorang seperti robot, namun mendorong seseorang untuk tidak menerima apa adanya suatu masalah, namun melihat masalah itu secara lebih holistik dan radikal.
Menyangkut mengenai globalisasi, dalam konteks neoliberalisme. Peran Negara yang menjadi bagian dari agenda neoliberalisme secara tidak langsung terbatasi. Negara yang berkepentingan dengan agenda neoliberalisme kemudian secara perlahan-lahan menjadi apatis dengan Negara dan tujuan Negara yang senantiasa dikumandangkan misal, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Padahal Negara, dalam hal ini pemerintah dan pihak terkait merupakan kunci lahirnya kebijakan-kebijakan yang kemudian berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, kita perlu menempatkan pendidikan sebagai proses. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat memahami apakah proses itu memiliki aspek-aspek yang termasuk dalam lingkup pendidikan. Schofield, dengan mengutip pandangan dari R.S. Peters mengemukakan ada tiga standar untuk mengetahui suatu prose situ termasuk kedalam pendidikan atau bukan. Yang pertama, pendidikan berisikan pemindahan (transmission) apa yang berarti bagi mereka yang memerlukan perkembangan untuk itu; yang kedua, pendidikan haruslah menyangkut pengetahuan dan pemahaman dan beberapa jenis “perspektif kognitif” yang tidak merupakan pembawan; dan yang ketiga, pendidikan akan menyingkirkan beberapa prosedur pemindahan yang dapat mengabaikan ‘kemauan dan sikap sukarela dari pihak didik.
Selanjutnya, Schofield menunjukkan adanya beberapa rangkaian usaha agar tujuan yang ingin dicapai dapat sampai pada hasil yang tepat yakni, pertama, berusaha untuk menentukan kembali arti istilah-istilah pendidikan yang bersangkutan (khusus), yang telah kabur karena penggunaan istilah tersebut yang kurang teliti; kedua, konsep-konsep tersebut ditinjau secara objektif, berarti menjauhkan dari gagasan-gagasan yang telah ada prakonsepsi; ketiga, analisa yang digunakan hendaklah bersendikan atas penerapan logika dan bukan semata-mata atas dogmatism. Hendaklah bukan karena reputasi seseorang suatu konsep dinyatakan benar, melainkan karena secara objektif dapat digunakan sebagai pegangan; dan terakhir, suatu proses penemuan hemdaklah didasarkan pada pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara pikiran, bahasa, dan realita. Apa yang merupakan hasil pikiran haruslah dapat dilukiskan dengan bahasa, dan memenuhi syarat sebagai realita.