PENDAHULUAN
Budidaya rumput laut di Indonesia telah
dikenal sebagai budidaya tanaman berbasis
kerakyatan yang mulai dikembangkan sejak 1984
dengan mengadopsi teknologi yang berhasil
dikembangan di Filipina. Kemudian dalam
penerapannya, Provinsi Gorontalo merupakan
salah satu provinsi yang menjadi lokasi proyek
percontohan. Hal ini selaras dengan strategi pengembangan daerah Provinsi Gorontalo yang
berbasis minapolitan. Langkah awal dari program ini adalah identikasi permasalahan terkait
pengembangan kriteria pemilihan lokasi budidaya rumput laut. Setelah diidentifikasi, maka
zona-zona pengembangan budidaya, zona penyangga, dan zona konservasi dapat
ditentukan. Pelaksanaan proyek percontohan ini tentu tidak lepas dari berbagai kendala yang
dihadapi. Pengembangan kriteria ini disebabkan karena terbatasnya waktu, jarak ke lokasi,
dan pendanaan.
Critical review ini mengangkat tema tentang pemilihan lokasi budidaya rumput laut dengan mengacu pada jurnal yang berjudul Pengembangan Kriteria Pemilihan Lokasi Pada Proyek Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Provinsi Gorontalo.
RINGKASAN
Penelitian ini menggunakan lima lokasi budidaya rumput laut. Kelima lokasi ini
tersebar di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo (Keacamatan Sumalata, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Kwandang darat dan laut), Kabupaten Boalemo (Kecamatan Tilamua),
dan Kabupaten Pohuwato (Kecamatan Lemito). Meskipun karakteristik dari kelima lokasi ini
lokasinya berdekatan, namun diperlukan pendekatan yang berbeda agar budidaya rumput
laut dapat dilaksanakan. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah yang
terpilih merupakan daerah yang terbaik bagi pengembangan rumput laut dari berbagai sisi,
yaitu daya dukung lingkungan, volume pengembangan, kesiapan SDM (Sumber Daya
Manusia), dan kesiapan pasar.
Gambar 1Budidaya Rumput Laut
Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Provinsi Gorontalo
Oleh Jennie Yuwono (3613100062)
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Penulis Jurnal: Yus Budiyono
2
JENNIE YUWONO_3613100062Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif dengan
membandingkan lokasi-lokasi potensial yang ada berdasarkan pengamatan langsung oleh
ahli budidaya rumput laut dari BPPT, keterangan petani setempat, dan data statistik setempat.
Hasil yang ingin dicapai dari survei ini adalah penentuan zona perangkat lunak simulasi.
Berbagai parameter dimasukkan kedalam perangkat lunak simulasi ini, terutama parameter
yang berpengaruh terhadap ekosistem dan parameter lingkungan terkait yang terpengaruh,
meliputi habitat ekosistem dan topografi pantai.
Hasil Pengamatan
Data statistik dan peta menunjukkan bahwa
Kecamatan Lemito merupakan daerah dengan
potensi rumpul laut yang paling besar
dibandingkan daerah lain di seluruh pantai selatan
Provinsi Gorontalo. Ini disebabkan karena volume
produksi rumput laut di Kecamatan Lemito yang
sangat melimpah dan banyaknya pulau-pulau kecil
yang melindungi kawasan pantai di Kabupaten
Puhowato. Pengamatan secara langsung tidak mungkin dilakukan di daerah ini karena
kesulitan transportasi dan keterbatasan waktu yang dimiliki untuk menuju lokasi.
Lokasi survei yang kedua adalah Kecamatan Tilamuta. Kecamatan ini memiliki 3 desa
yang membudidayakan rumput laut, yaitu Desa Bajo, Desa Patoameme, dan Desa Botomoito.
Toal potensi yang bisa dikembangkan mencapai 30 Ha. Aksesibilitas ke lokasi ini tergolong
mudah. Gambaran geografis dari lokasi ini berupa daerah sempit dan relatif terbuka dari laut
lepas. Lokasi ini rentan mengalami kerusakan pada saat musim angin barat tiba. Pembeli dari
produk yang dihasilkan dari Desa Bajo adalah PT. Sumber Rejeki yang berdomisili di Manado.
Kualitas produk dari Desa Bajo tergolong kurang baik karena masih mengadung garam
sampai 10% dari batas ideal sebesar 2-3%. Hal sebaliknya terjadi pada produksi rumput laut
dari Desa Patoameme. Meskipun produksi dari desa ini kualitasnya termasuk baik, namun
terhambat di tahap pemasaran karena tidak ada pembeli.
Kondisi geomorfologi dan keterbatasan aksesibilitas menjadi penghambat budidaya
rumput laut di Kecamatan Sumalata. Kondisi perairan di lokasi ini berupa laut terbuka (Laut
Sulawesi) yang hanya memungkinkan untuk pengembangan budidaya pada bulan
Desember-Februari pada titik-titik yang terlindung di sekitar pulau yang bersebrangan dengan daratan
utama di daerah pantai Utara. Tidak diketahui adanya jaringan pemasaran yang jelas untuk
memasarkan produksi rumput laut di Kecamatan Sumalata.
3
JENNIE YUWONO_3613100062Budidaya rumput laut di Kecamatan Kwandang terbagi menjadi 2 daerah utama
berdasarkan karakteristik lokasi. Lokasi pertama merupakan tambak air payau yang potensial
untuk pengembangan tumpang sari mina-rumput laut Gracilaria sp., yang bibitnya didatangkan dari dan lokasi kedua berupa daerah pantai untuk pengembangan Euchema sp. Lokasi budidaya rumput laut di kecamatan ini tersebar di desa, yaitu Desa Moluo, Desa
Mootinelo, dan Desa Ponelo.
Tambak rumput laut di Desa Moluo memiliki luas 20 Ha dari potensi yang bisa digarap
mencapai 50 Ha. Bibit rumput laut yang digunakan di desa ini bukan merupakan bibit lokal
sehingga masih perlu didatangkan dari luar Gorontalo. Lokasi kedua, yaitu tambak yang
berada di Desa Mootinelo, telah tergarap seluas 20 Ha dari potensi yang mencapai 40 Ha.
Lokasi ini meskipun mudah dijangkau, namun berada jauh dari jalan utama sehingga
memerlukan pengembangan transportasi. Kondisi ini berbeda dengan keadaan lokasi
budidaya rumput laut di Desa Ponelo. Lokasi ini mudah dijangkau dengan menggunakan
angkutan umum darat dari Kota Gorontalo yang kemudian dilanjutkan dengan menumpang
perahu nelayan. Petani di Pulau Ponelo seluruhnya menggunakan metode penanaman rawai
atau metode tali gantung. Pada metode ini bibit rumput laut diikat menggunakan tali ris pada
bantalan berukuran 25x50 m. Metode lain dengan menggunakan rakit pernah diterapkan, tapi
mengalami kendala pada saat arus sedang kuat. Pembeli dari hasil budidaya di lokasi ini
adalah PT. Sumber Rejeki dari Manado dan pedagang pengumpul setempat yang juga
berfungsi sebagai wakil BBPT di lokasi yang turut melakukan pembinaan.
No. Lokasi Potensi (Ha) Jenis
1 Lemito >100 Ha Eucheuma cottonii
2 Tilamuta 30 Ha Eucheuma cottonii
3 Dulupi >1 Ha Eucheuma cottonii
4 Sumalata 1 Ha Eucheuma cottonii
5 Kwandang daratan 100 Ha Gracilaria sp.
6 Kwandang Laut >50 Ha Eucheuma cottonii
Tabel 1 Volume Potensi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Gorontalo
(sumber: BPPT, 2003)
No. Lokasi Potensi Sumber Daya Manusia Pemasaran
1 Lemito >100 Ha Ok Ok
2 Kwandang Laut 30 Ha Ok Ok
3 Tilamuta >1 Ha Ok Tidak
4 Kwandang Darat 1 Ha Tidak Siap Tidak Diketahui
4
JENNIE YUWONO_36131000626 Sumalata >50 Ha Ok Tidak Diketahui
Tabel 2 Urutan Pemilihan Lokasi Percontohan Berdasar Potensi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Lokasi Survei
(sumber: BPPT, 2003)
Dari kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kriteria teknis bagi
pengembangan rumput laut, Kecamatan Lemito, Kabupaten Pohuwato, memiliki potensi
terbaik untuk dilaksanakan kegiatan percontohan bagi keperluan petani dan institusi
perencanaan setempat. Sedangkan untuk penambahan kriteria teknis dan non teknis
pemilihan lokasi dilakukan perubaha lokasi penerapan, yaitu Pulau Ponelo, Kecamatan
Kwandang, Kabupaten Gorontalo.
TINJAUAN LOKASI
Faktor Pemilihan LokasiRumput laut merupakan salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan
karena hasil olahannya memiliki pangsa pasar yang luas. Di Indonesia, rumput laut
merupakan dimasukkan sebagai salah satu komoditas yang masuk dalam program revitalisasi
perikanan. Hal tersebut didasari oleh alasan dua alasan, yaitu : (1) pasar produk derivatif
dalam bentuk food grade dan non food grade sangat bervariasi dan permintaan pasar dunia
terhadap produk ini cukup tinggi; (2) teknologi budidaya yang mudah dikuasai oleh
pembudidaya rumput laut.
Dalam budidaya rumput laut dikenal tiga macam metode. Ketiga cara tersebut adalah
metode lepas dasar, metode rakit apung, dan metode tali gantung. Ketiga metode ini
bergantung pada kondisi geomorfologi dan iklim setempat dan kepraktisan dalam
membudidayakan rumput laut.
Secara umum, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi budidaya
rumput antara lain bebas dari pengaruh angin topan dan ombak yang kuat, arus laut berkisar
antara 20-30 cm/detik, dasar perairan agak keras yang terdiri atas pasir dan karang serta
bebas dari lumpur, masih digenangi air dengan kedalaman 30-60 cm pada waktu surut,
kejernihan air tidak kurang dari 5 cm, suhu air berkisar antara 20-28o C dengan fluktuasi harian maksimum sebesar 4o C, Ph air antara 7-9, air mengandung cukup makro dan mikro nutrien, bebas dari pencemaran, bebas dari ikan dan hewan air yang bersifat herbivor, serta lokasi
yang mudah dijangkau untuk kelancaran proses produksi sampai pemasaran hasil budidaya.
Dalam jurnal yang dibahas, penulis jurnal tidak menyebutkan secara sepesifik kondisi
lahan budidaya di kawasan studi. Seharusnya penulis mendeskripksikan kondisi lahan yang
menjadi objek penelitian dan menganalisisnya dengan berpedoman kepada kesesuaian yang
5
JENNIE YUWONO_3613100062Kemudian dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan strategi dan rekomendasi yang tepat
untuk memaksimalkan potensi dari budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo.
Prospek dari usaha budidaya rumput laut ini sangat menguntungkan. Hal ini juga
didukung oleh daya tarik nilai investasi budidaya rumput laut. Dengan modal invetasi sebesar
Rp65.000.000,00 per hektar, seorang investor dapat mendapatkan keuntungan hingga
Rp260.000.000,00 per hektar dalam siklus 90 hari. Biaya produksi rumput laut tergolong
rendah karena media yang digunakan hanya tali dan bantalan pelampung. Berbeda dari
komoditas pertanian lainnya, rumput laut tidak perlu diberi pestisida dan pupuk (kecuali untuk
jenis Gracilaria sp. yang memerlukan pemupukan). Masa panen yang terhitung cepat, yaitu antara 45-60 hari menjadikan bisnis ini sangat menarik. Selain itu, permintaan dunia dan
harga rata-rata rumput laut terus meningkat. Indonesia merupakan negara pengekspor
rumput laut terbesar kedua di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia (2011), Kawasan Timur Indonesia merupakan kawasan
utama penghasil rumput laut dengan persentase mencapai 80% dari total produksi rumput
laut. Sementara itu, meskipun sebagian besar rumput laut dibudidayakan di KTI, industri
pengolahan rumput laut berada di Provinsi Jawa Timur. Tren selama empat tahun terakhir
menunjukkan bahwa rata-rata produksi rumput laut Indonesia meningkat sebesar 29% setiap
tahunnya. Meskipun produksi rumput laut terus meningkat setiap tahunnya, namun hanya
25% dari total hasil produksi yang terserap oleh industri di dalam negeri.
Teori Lokasi
Berdasarkan studi kasus yang diangkat oleh penulis, dapat diketahui bahwa faktor
yang menghambat budidaya rumput laut di Provinsi Gorontalo adalah aksesbilitas dan
mobilitas dalam kelancaran proses produksi dan pemasaran hasil budidaya. Kondisi
infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi, sangat berpengaruh dalam menentukan
biaya produksi yang harus dibayarkan. Meskipun rumput laut hasil budidaya petani di Provinsi
Gorontalo meskipun kualitasnya bagus, namun biaya yang harus dibayarkan untuk
transportasi tergolong mahal. Industri pengolahan rumput laut terdekat yang mengambil
bahan baku dari kawasan studi berlokasi di Surabaya. Sedangkan satu perusahaan lagi yang
berlokasi di Manado bukan merupakan industri pengolahan, melainkan pedagang besar.
Pada tahun 2010 pemerintah melakukan teroboson dengan mengoperasikan
minapolitan industri rumput laut di Provinsi Gorontalo. Potensi budidaya rumput laut di provinsi
ini mencapai angka 14.250 Ha dengan lahan yang termanfaatkan hanya sebesar 7,65% atau
dengan luas 1.090 Ha. Keberadaan industri pengolahan rumput laut ini yang berlokasi tidak
jauh dari sumber bahan baku dan mendekati permukiman pekerja ini berimplikasi pada biaya
6
JENNIE YUWONO_3613100062Semakin dekat lokasi industri dengan sumber bahan baku, maka biaya yang dikeluarkan
untuk transportasi juga semakin rendah. Hal ini sesuai dengan Teori Weber yang digunakan
dalam analisis lokasi industri.
Menurut Weber, lokasi industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya
paling minimal. Lokasi tersebut didefinisikan sebagai tempat dimana biaya total transportasi
dan tenaga kerja minimum sehingga identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan RI, pada tahun 2007 biaya pemasaran rumput laut dari Teluk Tomini sampai ke
pengolah di Surabaya dan Manado masing-masing adalah Rp1.350 per kg dan Rp1.150 per
kg, dengan kisaran 50-60% adalah biaya untuk transportasi. Berhubung jaminan yang lebih
tinggi diperoleh dari penjualan ke pabrik pengolahan yang berada di Surabaya, resiko yang
dihadapi pedagang yang terlibat dalam bisnis ini cukup tinggi karena terkait dengan
ketersediaan infrastruktur transportasi.
Implikasi
Kegiatan budidaya rumput laut ternyata memberikan implikasi yang besar bagi para
pihak yang berkepentingan. Dari sisi sosial ekonomi kegiatan ini jelas memberikan nilai
tambah ekonomi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Dalam mata rantai
bisnis rumput laut, terdapat tujuh pelaku yang terlibat. Ketujuh pelaku ini memiliki resiko,
tanggungjawab, dan keuntungan finansial yang berbeda-beda pula. Dalam tabel ini
diperlihatkan karakteristik para pelaku bisnis rumput laut.
No. Jenis Usaha Skala
Tidak akses Tidak akses Belum terlihat
2 Sarana Produksi Kecil Risk
aversion
Tidak akses Terbatas Belum terlihat
7
JENNIE YUWONO_36131000625 Pedagang
Kecamatan
Menengah Risk
preference
Cukup baik Terbatas Meningkatkan
pendapatan,
menyediakan
lapangan kerja
6 Pedangan Besar Besar Risk
preference
Baik Cukup luas Meningkatkan
pendapatan,
menyediakan
lapangan kerja
7 Jasa Transportasi Besar Risk
neutrality
Baik Luas Meningkatkan
pendapatan,
menyediakan
lapangan kerja
Tabel 3 Karakteristik Pelaku Bisnis Rumput Laut di Gorontalo
(sumber: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan)
Keuntungan lain dengan adanya industri pengolahan rumput laut tersebut adalah
peningkatan harga jual sehingga margin keuntungan yang didapat juga semakin besar. Di
pasar domestik komoditas ini lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk rumput laut kering.
Perdagangan dalam bentuk rumput laut basah belum dikenal karena belum berkembangnya
industri yang mengolah rumput laut basah yang dapat diolah menjadi berbagai produk turunan
alginat. Produk yang dihasilkan dari indsutri pengolahan rumput laut di Gorontalo adalah ATC
(Alkali Treated Cottonii). Selain mengolah rumput laut produksi lokal, industri pengolahan ini
juga menjalin kerjasama ekspor dengan perusahaan di Malaysia, yaitu Vinkas Agromarine
Sdn Bhd dengan nilai 3,5 USD per kilogram. Dari penawaran tersebut PT. Gorontalo Fitrah
Mandiri mendapatkan rendemen (keuntungan) dengan perbandingan 3:1.
Selain berimplikasi pada kehidupan sosial, kegiatan budidaya rumput laut juga
mempengaruhi lingkungan akuakultur. Akuakultur didefinisikan sebagai lingkungan budidaya
perikanan. Menurut sebuah analisis yang dikeluarkan oleh WorldFish Center and
Conservation Center (2011) yang mengkaji dampak lingkungan dari sistem produksi
akuakultur, budidaya pangan hasil laut menimbulkan kerusakan yang lebih kecil terhadap
ekologi dibandingkan produksi peternakan. Akuakultur dengan dampak lingkungan terendah
adalah bivalvia, kerang-kerangan, dan rumput laut. Hal ini dikarenakan produk-produk
tersebut tidak memerlukan pakan tambahan karena berada pada posisi terendah dalam rantai
makanan. Selain itu, produksi produk akuakultur negara-negara Asia secara kolektif
8
JENNIE YUWONO_3613100062LESSON LEARNED
Berdasarkan apa yang telah dibahas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
kegiatan budidaya rumput laut pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat penting. Pada
tahap produksi pemilihan lokasi didasarkan pada kecocokan dengan metode budidaya yang
digunakan dan geomorfologi laut. Selanjutnya, pada tahap pemasaran hasil produksi rumput
laut dari beberapa lokasi di Provinsi Gorontalo ternyata menemui hambatan. Pada beberapa
lokasi ditemui hasil produksi dengan kualitas bagus namun terhambat pada tahap pemasaran.
Infrastruktur yang kurang memadai dan lokasi industri yang memanfaatkan rumput laut
sebagai bahan baku berada jauh dari sumber bahan baku menyebabkan bisnis agak
terhambat.
Untuk mengatasi permasalahan pada tahap pemasaran, maka Pemerintah Provinsi
Gorontalo mendirikan industri pengolahan untuk menampung hasil produksi rumput laut lokal.
Keberadaan industri pengolahan yang berlokasi tidak jauh dari sumber bahan baku ini
diprediksi dapat mengurangi biaya transportasi secara signifikan karena sebelumnya rumput
laut hasil produksi pembudidaya di Gorontalo dipasarkan ke Surabaya dan Manado.
Kedepannya penulis berharap budidaya rumput laut ini bertahan dan semakin berkembang
sesuai dengan strategi yang disusun oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo.
REFERENSI
Admin. 2015. Kemenperin Dukung Penghentian Ekspor Rumput Laut. Maret.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/3435/Kemenperin-Dukung-Penghentian-Ekspor-Rumput-Laut.
Anonim. 2011. Operasionalisasi Minapolitan Industri Rumput Laut Gorontalo. Diakses Maret 2015. http://piafpan.org/Berita/tabid/581/articleType/ArticleView/articleId/2079/Operasionalisasi-Minapolitan-Industri-Rumput-Laut-Gorontalo.aspx.
Editor. 2015. Laporan Investigasi Dampak Lingkungan Akuakultur; Budidaya Pangan Hasil Laut Berkelanjutan Menjadi Kunci Ketahanan Pangan Global Masa Depan. 17 Maret .
http://www.conservation.org/NewsRoom/pressreleases/Pages/Laporan-Investigasi-Dampak-Lingkungan-Akuakultur.aspx.
Khasanah, Uswaton. 2013. ANALISIS KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN KECAMATAN SAJOANGING, KABUPATEN WAJO. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Zulham, Armen. 2007. “MARJIN PEMASARAN DAN RESIKO PEDAGANG: KASUS
PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT DI GORONTALO.” Balai Besar Riset Sosial Ekonomi